ASKEP CEREBRALPALSY

download ASKEP CEREBRALPALSY

of 62

Transcript of ASKEP CEREBRALPALSY

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY

A. DEFINISI

Clark (1964) mengemukakan, yang dimaksud dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat motorik atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik.

Pada tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.

Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya dalam susunan saraf pusat.

CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan), dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup, dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa kelumpuhan spastik, gangguan ganglia basalis dan serebelum.

B. ETIOLOGI

Sebab-sebab yang dapat menimbulkan CP pada umumnya secara kronologis dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Pranatal Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella dan penyakit infeksi sitomegalik. Kelainan yang menyolok biasanya gangguan pergerakan dan reterdasi mental. Anoksia dalam kandumgan, terkena radiasi sinar X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan serebral palsi.

Perinatala)Anoksia/hipoksia Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi bayi abnoemal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar.

b)Perdarahan

otak

Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya,

misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruangsubdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.

c)Prematuritas Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita pendarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, factor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.

d)Ikterus Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.

e)Meningitis

purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral.

Pascanatal Setiap kerusakan pada jaringan otak yang menggangu perkembangan dapat menyebabkan serebra palsi misalnya trauma kapitis, meningitis dan luka paruh pada otak pasca operasi.

Faktor Resiko:

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain adalah :

1. Letak sungsang.

2. Proses persalinan sulit.

Masalah vaskuler atau respirasi bayi selamaa persalinan merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permaanen.

3. Apgar score rendah. Apgar score yang rendah hingga 10 20 menit setelah kelahiran.

4. BBLR dan prematuritas.

Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir

5. Kehamilan ganda.

6. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut

menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.

7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.

Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.

8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.

9. Kejang pada bayi baru lahir.

C. MANIFESTASI KLINIS

a. Spastisitas Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota

gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.

b. Tonus otot yang berubah Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.

c. Koreo-atetosis Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.

d. Ataksia Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak bila mulai belajar

duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.

e. Gangguan pendengaran Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreoatetosis.

f. Gangguan bicara Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

g. Gangguan mata Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.

D. KLASIFIKASI Berdasarkan gejala klinis maka pembagian serebral palsi adalah sebai berikut: 1. Tipe spastis atau piramidal Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah: - Hiprtoni (fenomena pisau lipat) - Hiperfleksi yang disertai klonus

- Kecenderungan timbul kontraktur - Refleks patologis

2. Tipe ekstrapiramidal Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retradasi mental. Disamping itu juga dijumpai gejala hipertoni, hiperfleksi ringan, jarang sampai timbul klonus. Pada tipe ini kontraktun jarang ditemukan apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah yang asimetnis dan disantni

3.Tipe

campuran

Gejala-gejala merupakan campuran kedua gejala di atas, misalnya hiperrefleksi dan hipertoni disertai gerakan khorea.

Klasifikasi

berdasarkan

beratnya.

lalah

berdasarkan

beratnya

keterlibatan

neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup (activities of daily living).

1. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak mempunyai problema bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong.

2. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Ia memerlukan brace dan alat-alat penolong diri.

3. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian hebat, sehingga prognosis untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara adalah jelek.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat penting sebagai dasar dalam seleksi prosedur-prosedur terapeutik yang akan diambil.

Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal, persalinan dan post natal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan, umpamanya kapan mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan.

Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai, gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks fisiologik seperti refleks moro dan

tonic neck reflex pada anak usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP, demikian pula gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otototot, kontraktur dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting.

F. PEMERIKSAAN KHUSUS

Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang sering dilakukan, ialah :

1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan. 2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP likuor serebrospinalis normal. 3. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak. 4. Foto kepala (X-ray) dan CT Scan. 5. Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang diperlukan. 6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental.

Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi individu.

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh suatu

Team yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist,guru luar biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli THT, perawat anak dan lain-lain.

G. PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :

1) Reedukasi dan rehabilitasi.

Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.

2) Psiko terapi untuk anak dan keluarganya.

Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.

3) Koreksi operasi.

Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada

saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.

4) Obat-obatan.

Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.

Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 -- 10 mg pada pagi hari dan 2,5 -- 5 mg pada waktu tengah hari.

H. PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born" dapat dicegah dengan transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin" pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Biodata

Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.

Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar. Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.

2. Riwayat kesehatan.

Riwayat kesehaataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal serta keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.

3. Keluhan dan manifestasi klinik

Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang berhubungan dengan pencapaian perkembangan :

Perlambatan perkembangan motorik kasar

Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat sejalan dengan pertumbuhan.

Tampilan motorik abnormal

Penggunaan tangan unilateral yang terlaalu dini, merangkaak asimetris abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi, menghisap buruk, kesulitan makaan, sariawan lidah menetap.

Perubahan tonus otot

Peningkatan ataau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik (lengkung punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau berpakaian, kesulitan dalam menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul dan sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).

Posture abnormal

Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada posisi telungkup, menyilangkan ataau mengekstensikan kaki dengan telapak kaki plantar fleksi pada posisi telentang, postur tidur dan istirahat infantile menetap, lengan abduksi pada bahu, siku fleksi, tangan mengepal.

Abnormalitas refleks

Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa pun, tidak menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetaap atau hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek meregang muncul pada banyak kelompok otot pada gerakan pasif cepat.

Kelainan penyerta (bias ada, bisa juga tidak).

Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental pada kira-kira dua pertiga individu).

Kerusakan perilaku dan hubungan interpersonal

Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP: - Kecerdasan di bawah normal - Keterbelakangan mental - Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik) - Gangguan menghisap atau makan - Pernafasan yang tidak teratur

- Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan) - Gangguan berbicara (disartria) - Gangguan penglihatan - Gangguan pendengaran - Kontraktur persendian - Gerakan menjadi terbatas.

4. Pemeriksaan penunjang

(Bisa dilihat pada konsep dasar).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut. 2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas. 3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas. 4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.

C. INTERVENSI, RASIONAL DAN EVALUASI

1. Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.

Tujuan :

Anak berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya

Anak mengkonsumsi jumlah yang cukup

Intervensi :

Berikan nutrisi dengan cara yang sesuai dengan kondisi anak

Catat masukan dan haluaran

Pantau pemberian makan intravena (bila diinstruksikan)

Berikan formula makanan yang ditentukan dengan selang nasogastrik (sesuai indikasi)

Berika anak beberapa otonomi dalam cara makan pasif

Baringkan pasien dengan kepala tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk dan menegakkan leher

R/ posisi ideal saat makan sehingga menurunkan resiko tersedak

Libatkan dalam pemilihan makanan dan urutan makan yang dihidangkan (dalam batasan diet dan nutrisi)

Berikan makanan semipadat dan cairan melalui sedotan untuk anak yang berbaring pada posisi telungkup

R/ mencegah aspirasi dan membuat makan/minum menjadi lebih mudah

Berikan makanan daan kudapaan tinggi kalori dan tinggi protein

R/ memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan

Beri makanan yang disukai anak

R/ mendorong anak agar mau makan

Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen yang lain

R/ memaksimalkan kualitas asupan makanan

Pantau berat badan dan pertumbuhan

R/ intervensi pemberian nutrisi tambahan dapat diimpementasikan bila pertumbuhan mulai melambat dan berat badan menurun

Lakukan higiene oral setiap 4 jam dan setelah makan

Evaluasi :

Klien mendapat masukan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya.

2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

Tujuan :

Klien mempertahankan integritas kulit.

Intervensi :

Kaji kulit setiap 2 jam dan prn terhadap area tertekan, kemerahan dan pucat.

R/ pengkajian yang tepat dan lebih dini akan cepat pula penanganan terbaik pada masalah yang terjadi pada klien

Tempatkan anak pada permukaan yang mengurangi tekanan

R/ mencegaah kerusakan jaringan dan nekrosis karena tekanan

Ubah posisi dengan sering, kecuali jika dikontraindikasikan

R/ mencegah edema dependen dan merangsang sirkulasi

Lindungi titik-titik tekanan (misalnya : trikanter, sakrum, pergelangaan kaki,bahu dan oksiput)

Pertahankan kebersihan kulit dan kulit dalam keadaan kering

Berikan cairan yang adekuat untuk hidrasi

Berikan masukan makanan dengan jumlah protein dan karbohidrat yang adekuat.

Evaluasi :

Kulit klien tetap keadaan utuh, bersih dan kering

3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.

Tujuan :

Klien tidak mengalami cedera fisik

Intervensi :

Berikan lingkungan fisik yang aman :

Beri bantalan pada perabot. R/ untuk perlindungan.

Pasang pagar tempat tidur. R/ untuk mencegah jatuh.

Kuatkan perabot yang tidak licin. R/ untuk mencegah jatuh.

Hindari lantai yang disemir dan permadani yang berantakan. R/ untuk mencegah jatuh.

Pilih mainan yang sesuai dengan usia dan keterbatasan fisik. R/ untuk mencegah cedera.

Dorong istirahat yang cukup. R/ karena keletihan dapat meningkatkan resiko cedera.

Gunakan restrein bila anak berada dikursi atau kendaraan.

Lakukan teknik yang benar untuk menggerakkan, memindahkan daan memanipulasi bagian tubuh yang paralisis.

Implementasikan tindakan keamanan yang tepat untuk mencegah cedera termal. R/ terdapat kehilangan sensasi pada area yang sakit.

Berikan helm pelindung pada anak yang cenderung jatuh dan dorong untuk menggunakannya. R/ mencegah cedera kepala.

Berikan obat anti epilepsi sesuai ketentuan. R/ mencegah kejang.

Evaluasi :

Keluarga memberikan lingkungan yang aman untuk anak.

Anak bebas dari cedera.

4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.

Tujuan :

Klien melakukaan proses komunikasi dalam batas kerusakan.

Intervensi :

Beri tahu ahli terapi wicara dengan lebih dini

R/ sebelum anak mempelajari kebiasaan komunikasi yang buruk.

Bicara pada anak dengan perlahan

R/ memberikan waktu padaa anak untuk memahami pembicaraan

Gunakan artikel dan gambar

R/ menguatkan bicara adaan mendorong pemahaman

Gunakan teknik makan

R/ membantu memudahkan bicara seperti menggunakan bibir, gigi dan berbagai gerakan lidah.

Ajari dan gunakan metode komunikasi non-verbal (mis.,bahasa isyarat) untuk anak dengan disartria berat.

Bantu keluarga mendapatkan alat elektronik untuk memudahkan komunikasi nonverbal (mis., mesin tik, microkomputer dengan pengolah suara).

Evaluasi :

Anak mampu mengkomunikasikan kebutuhan pada pemberi perawatan.

KESIMPULAN

Cerebral Palsy adalah suatu kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen dan tidak progresif. Walaupun demikian, gambaran kliniknya masih dapat berubah dalam perjalanan hidup penderita. Insidensi penyakit ini di luar negeri bervariasi antara 0,07 -6per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia masih belum diketahui. Faktor penyebab mungkin terletak pada masa prenatal, natal dan post natal. Perubahan neuropatologik pada CP berlokasi pada korteks motorik, ganglia basalis dan serebelum. Manifestasi klinik bergantung pada lokalisasi dan luasnya kerusakan jaringan otak. Dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu spastisitas, atetosis dan ataksia. Diagnosis ditegakkan atas adanya riwayat yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kerusakan jaringan otak dan kelainan fisik/neurologik yang sesuai. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang.

Penanganan meliputi : reedukasi/rehabilitasi, psiko terapi, tindakan operasi dan pemberian obat-obatan, yang melibatkan suatu team yang terdiri dari berbagi disiplin keahlian. Prognosis bergantung pada : berat ringannya CP, gejala-gejala penyerta, cepatnya dimulai dan intensipnya penanganan, sikap dan kerjasama penderita/keluarga serta masyarakat.

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN LABIOPALATOSIS

A. DEFINISI Merupakan suatu kelainan yang terjadi pada daerah mulut,palatosis (sumbing palatum), dan labiosis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama perkembangan embrio. B. PATOFISIOLOGI Proses terjadinya labiopalatosis ini terjadi ketika kehamilan trimester ke-1 di mana terjadinya gangguan oleh karena berbagai penyakit seperti virus. Pada trimester pertama terjadi proses perkembangan pembentukan berbagai organ tubuh dan saat itu terjadi kegagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio. Apabila terjadinya kegagalan dalam penyatuan proses nasal medial dan maksilaris maka dapat mengalami labiosisis ( sumbing bibir), dan proses penyatuan tersebut akan terjadi pada usia 6 8 minggu. Kemudian apabila terjadi kegagalan penyatuan pada sususnan palato selama kehamilan 7 12 minggu maka dapat mengakibatkan sumbing pada palatum (palatosisis). Asuhan Keperawatan Pengkajian

Pada pengkajian didapatkan terjadi kesukaran dalam menghisap, menelan, makan, terjadi penurunan bernapas, mudah tersedak, distres pernapasan, dan dispne. Pada pengkajian faktor penyebab kemungkinan adalah kelainan kromosom, mutasi gen, atau adanya teratogen (faktor yang menimbulkan kecacatan pada masa otot), faktor herediter, serta adanya virus saat kehamilan trimester pertama. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan adanya distorsi hidung, adanya celah pada bibir apabila terjadi sumbing bibir (labiosisis), adanya ringga pada hidung, celah atau terbukanya langit langit, adanya celah pada uvula apabila terjadi sumbing palatum (palatosisis). DIAGNOSA KEPERAWATAN Prapembedahan 1. Kurang kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) 2. Risiko aspirasi Pascapembedahan 1. Risiko infeksi 2. Gangguan integritas kulit 3. Perubahan proses keluarga RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan) Pada diagnosis kekurangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tutbuh) dapat disebabkan karena ketidakmampuan menelan atau terjadi kesukaran dalam

makan oleh karena kecacatan pada daerah palatum, maka rencana yang dapat dilakukan adalah dengan mempertahankan asupan nutrisi agar kebutuhan terpenuhi. Tindakan 1. Monitor atau mengobservasi kemempuan menelan dan menghisap. 2. Gunakan dot/botol dengan lubang di pinggir dan letakkan lubang dot tersebut di atas lidah atau pada bayi letakkan dot di samping bibir mulut dan usahakan lidah mendorong ke dalam, kemudian dot sering dikeluarkan untuk memberikan kesempatan istirahat. 3. Jangan diangkat dot selama bayi menghisap. 4. Sendawakan dengan sering selama pemberian makan. 5. Kolaborasi dengan rencana pembedahan: Pembedahan pada sumbing bibir dapat dilakukan segera setelah lahir dan dalam waktu tiga bulan serta perbaikan dilakukan pada usia 2 3 bulan. Sedang pembedahan sumbing pada palatum dilakukan pada usia 9 12 bulan dengan penutupan membran mukosa dan restorasi struktur anatominya, dan jenis pembedahan dalam dengan cara operasi garis lurus, operasi menutup 1/3 bagian bawah, operasi menutup 1/3 bagian atas, dan operasi gabungan dengan menutup 1/3 bagian atas dan bawah. Risiko infeksi Masalah risiko aspirasi pada kelainan sumbing pada bibir dan palatum ini dapat disebakan oleh karena ketidakmampuan mengeluarkan sekresi secara spontan karena sumbing palatum dan bibir sehingga terjadi ketidakmampuan dalam

menghisap, maka rencana yang dapat dilakukan adalah mencegah agar tidak terjadi aspirasi dengan mempertahankan kepatenan jalan napas dan saluran cerna. Tindakan 1. Atur posisi kepala dengan mengangkat kepala waktu minum atau makan dan gunakan dot yang panjang. 2. Gunakan palatum buatan ( kalu perlu). 3. Lakukan penepukan punggung setelah pemberian makanan. 4. Monitor status pernapasan selama pemberian makan seperti frekuensi napas, irama, serta tanda tanda adanya aspirasi. Risiko infeksi Risiko infeksi dapat terjadi setelah pembedahan yang dapat disebabkan oleh karena adanya insisi luka akibat proses pembedahan, maka rencana yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kesterilan dari luka akibat insisi dengan mencegah terjadinya infeksi. Tindakan 1. Atur posisi miring ke kanan serta kepala agak ditinggikan pada saat makan. 2. Lakukan monitor tanda adanya infeksi seperti bau, keadaan luka, keutuhan jahitan. 3. Lakukan monitor adanya pendarahan dan edema. 4. Lakukan perawatn luka pasca operasi dengan aseptik. 5. Hindari gosok gigi kurang lebih 1 2 minggu.

Gangguan integritas kulit Masalah gangguan integritas kulit ini adalah masalah yang umum terjadi paad pasca pembedahan yang dapat disebabkan oleh karena insisi akibat pembedahan, maka rencana yang dapat dilakukan adalah mempertahankan keutuhan kulit agar gangguan integritas kulit dapat teratasi. Tindakan 1. Monitor adanya keutuhan kulit, pendarahan. 2. Bersihkan daerah insisi dengan menggunakan normal saline dan bersihkan sisa makan di sekitar mulut. 3. Hindari menangis dengan keras karena dapat merenggakan kulit. 4. Lakukan pergerakan aktif atau pasif untuk memperbaiki sirkulasi. 5. Lakukan pembilasan mulut dengan air bersih sebelum dan sesudah pemberian makan. 6. Pertahankan alat pelindung bibir. 7. Lakukan perawatan luka pasca pembedahan secara aseptik. 8. Bersihkan daerah garis sutura dan oleskan salep antibiotika.

Perubahan proses keluarga Masalah perubahan proses keluarga pada anak dengan bibir sumbing dan palatum ini dapat terjadi karena adanya kelainan yang ada pada anak dan membutuhkan proses perawatan yang lama. Tindakan 1. Tingkatkan partisipasi keluarga dalam perawatan.

2. Jelaskan dan demonstrasikan kepada keluarga cara perawatan, pemberian makan dengan alat, cara mencegah infeksi, cara mencegah aspirasi, cara pengaturan posisi, dan cara membersihkan mulut setelah makan.

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

2.1 Definisi Congenital heart disease (CHD) atau penyakit jantung bawaan adalah kelainan jantung yang sudah ada sejak bayi lahir, jadi kelainan tersebut terjadi sebelum bayi lahir. Tetapi kelaianan jantung bawaan ini tidak selalu memberi gejala segera setelah bayi lahir tidak jarang kelainan tersebut baru ditemukan setelah pasien berumur beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun (Ngastiyah:1997). 2.2 Etiologi Penyebab penyakit jantung congenital berkaitan dengan kelainan perkembangan embrionik, pada usia lima sampai delapan minggu, jantung dan pembuluh darah besar dibentuk. Penyebab utama terjadinya penyakit jantung congenital belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan : Faktor Prenatal : a. Ibu menderita penyakit infeksi : rubella, influenza atau chicken fox. b. Ibu alkoholisme. c. Umur ibu lebih dari 40 tahun. d. Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin. e. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu dan sebelumnya ikut program KB oral atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter, ( thalidmide, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin).

f. Terpajan radiasi (sinar X). g. Gizi ibu yang buruk. h. Kecanduan obat-obatan yang mempengaruhi perkembangan embrio. Faktor Genetik : a. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan. b. Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan. c. Kelainan kromosom seperti Sindrom Down. d. Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.

2.3 Tanda dan Gejala 1. Infants : Dyspnea. Difficulty breathing (Kesulitan Bernafas). Pulse rate over 200 beats/mnt (Nadi lebih dari 200 kali/menit). Recurrent respiratory infections (infeksi saluran nafas yang berulang). Failure to gain weight (kesulitan penambahan berat badan). Heart murmur. Cyanosis. Cerebrovasculer accident/ CVA. Stridor and choking spells/ mencekik.

2. Children : Dyspnea. Poor physical development ( perkembangan fisik yang kurang).

Decrease exercise tolerance (aktitas menurun). Recurrent respiratory infections (infeksi saluran nafas yang berulang). Heart murmur and thrill. Cyanosis. Squatting. Clubbing of fingers and toes. Elevated blood pressure (tekanan darah tinggi).

2.4 Klasifikasi Terdapat berbagai cara penggolongan penyakit jantung congenital.

Penggolongan yang sangat sederhana adalah penggolongan yang didasarkan pada adanya sianosis serta vaskuiarisasi paru. 1. Congenital Heart Diseases (CHD)non sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah, misalnya defekseptum (DSV), defek septum atrium (DSA), dan duktus arteriousus persisten (DAP). 2. Congenital Heart Diseases (CHD)non sianotik dengan vaskularisasi paru normal. Pada penggolongan ini termasuk stenosis aorta(SA),stenosis pulmonal (SP) dan koartasio aorta. 3. Congenital Heart Diseases (CHD)sianotik dengan vaskularisasi paru berkurang. Pada penggolongan ini yang paling banyak adalah tetralogi fallot (TF). 4. Congenital Heart Diseases (CHD)sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah, misalnya transposisi arteri besar (TAB). a. CHD/ PJB Non sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah

Terdapat defek pada septum ventrikel, atrium atau duktus yang tetap terbuka menyebabkan adanya pirau (kebocoran) darah dari kiri ke kanan karena tekanan jantung dibagian kiri lebih tinggi daripada dibagian kanan. 1. Defek Septum Ventrikel (VSD) DSV terjadi bila sekat ventrikel tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya darah dari bilik kiri mengalir ke bilik kanan pada saat sistole. Manifestasi klinik : Pada pemeriksaan selain didapat pertumbuhan terhambat, anak terlihat pucat, banyak keringat bercucuran, ujung-ujung jari hiperemik. Diameter dada bertambah, sering terlihat pembonjolan dada kiri. Tanda yang menojol adalah nafas pendek dan retraksi pada jugulum, sela intrakostalis dan region epigastrium. Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung yang hiperdinamik.

Penatalaksanaan Pasien dengan DSV besar perlu ditolong dengan obat-obatan utuk mengatasi gagal jantung. Biasanya diberikan digoksin dan diuretic, misalnya lasix. Bila obat dapat memperbaiki keadaan, yang dilihat dengan membaiknya pernafasan dan bertambahnya berat badan, rnaka operasi dapat ditunda sampai usia 2-3 tahun. Tindakan bedah sangat menolong karena tanpa tindakan tersebut harapan hidup berkurang.

(Gambar 2.1 Ventrikel Septum Defect/ VSD)

2. Defek Septum Atrium(ASD) Kelainan septum atrium disebabkan dari suatu lubang pada foramen ovale atau pada septum atrium. Tekanan pada foramen ovale atau septum atrium,tekanan pada sisi kanan jantung meningkat. Manifesfasi klinik Anak mungkin sering mengalami kelelahan dan infeksi saluran pernafasan atas, mungkin ditemukan adanya murmur jantung. Pada foto rongent

ditemukan adanya pembesaran jantung dan diagnosa dipastikan dengan kateterisasi jantung. Penatalaksanaan Kelainan tersebut dapat ditutup dengan dijahit atau dipasang suatugraft pembedahan jantung terbuka, dengan prognosis baik.

(Gambar 2.2 Atrium Septum Defect/ ASD)

3. Duktus Arteriosus Persisten (PDA) DAP adalah terdapatnya pembuluh darah fetal yang menghubungkan percabangan arteri pulmonalis sebelah kiri (left pulmonary artery) ke aorta desendens tepat di sebelah distal arteri subklavikula kiri. DAP terjadi bila duktus tidak menutup bila bayi lahir. Penyebab DAP bermacam-macam, bisa karena infeksi rubella pada ibu dan prematuritas. Manifestosi klinik

Neonatus

menunjukan

tanda-tanda

respiratory

distress

seperti

mendengkur, tacipnea dan retraksi. Sejalan dengan pertumbuhan anak, maka anak akan mengalami dispnea, jantung membesar, hipertropi ventrikuler kiri akibat penyesuaian jantung terhadap peningkatan volume darah, adanya tanda machinery type . Murmur jantung akibat aliran darah turbulensi dari aorta melewati duktus menetap. Tekanan darah sistolik mungkin tinggi karena pembesaran ventrikel kiri. Penatalaksanaan Karena neonatus tidak toleransi terhadap pembedahan, kelainan biasanya diobati dengan aspirin atau idomethacin yang menyebabkan kontraksi otot lunak pada duktus arteriosus. Ketika anak berusia 1-5 tahun, cukup kuat untuk dilakukan operasi.

(Gambar 2.3 Duktus Arteriosus Persisten/ PDA)

b. CHD/ PJB non sianotik dengan vaskularisasi paru normal 1. Stenosis Aorta Pada kelainan ini striktura terjadi diatas atau dibawah katup aorta. Katupnya sendiri mungkin terkena atau retriksi atau tersumbat secara total aliran darah. Manifestasi klinik Anak menjadi kelelahan dan pusing sewaktu cardiac output menurun, tanda-tanda ini lebih nampak apabila pemenuhan kebutuhan terhadap O2 tidak terpenuhi, hal ini menjadi serius dapat rnenyebabkan kematian, ini juga ditandai

dengan adanya murmur sistolik yang terdengar pada batas kiri sternum, diagnosa ditegakan berdasarkan gambaran EKG yang menunjukan adanya hipertropi ventrikel kiri, dan dari kateterisasi jantung yang menunjukan striktura. Penatalaksanaan Stenosis dihilangkan dengan insisi pada katup yang dilakukan pada saat anak mampu dilakukan pembedahan.

(Gambar 2.4 Stenosis Aorta/ SA)

2. Stenosis Pulmonal Kelainan pada stenosis pulmonik, dijumpai adanya striktur padakatup, normal tetapi puncaknya menyatu. Manifestasi klinik Tergantung pada kondisi stenosis. Anak dapat mengalami dyspne dankelelahan, karena aliran darah ke paru-paru tidak adekuat untukmencukupi kebutuhan O2 dari cardiac output yang meningkat. Dalamkeadaan stenosis yang berat, darah kembali ke atrium kanan yangdapat rnenyebabkan kegagalan jantung kongesti. Stenosis inididiagnosis berdasarkan murmur jantung sistolik, EKG dan kateterisasijantung.

Penatalaksanaan Stenosis dikoreksi dengan pembedahan pada katup yang dilakukanpada saat anak berusia 2-3 tahun.

(Gambar 2.4 Stenosis Pulmonal/ SP)

3. Koartasio Aorta Kelaianan pada koartasi aorta, aorta berkontriksi dengan beberapa cara. Kontriksimungkin proksimal atau distal terhadap duktus arteriosus. Kelaianan ini biasanyatidak segera diketahui, kecuali pada kontriksi berat. Untuk itu penting melakukanskrening anak saat memeriksa kesehatannya, khususnya bila anak mengikutikegiatan-kegiatan olah raga. Manifestasi klinik Ditandai dengan adanya kenaikan tekanan darah, secara proksimal pada kelainandan penurunan secara distal. Tekanan darah lebih tinggi pada lengan

daripadakaki. Denyut nadi pada lengan terasa kuat, tetapi lemah pada popliteal danfemoral. Kadang-kadang dijumpai adanya murmur jantung lemah

denganfrekuensi tinggi. Diagnosa ditegakkan dengan cartography. Penatalaksanaan Kelainan dapat dikoreksi dengan Balloon Angioplasty, pengangkatan bagianaorta yang berkontriksi atau anastomi bagian akhir, atau dengan caramemasukkan suatu graf.

(Gambar 2.5 Koartasio Aorta/ KA)

c. CHD/ PJB sianotik dengan vaskularisai paru berkurang 1. Tetralogi fallot Tetralogi fallot merupakan penyakit jantung yang umum, dan terdiri dari 4kelainan yaitu: 1) stenosis pulmonal, 2) hipertropi ventrikel kanan, 3) kelainanseptum ventrikuler, 4) kelainan aorta yang menerima darah dari ventrikel danaliran darah kanan ke kiri melalui kelainan septum ventrikel. Manifestasi klinik Bayi baru lahir dengan TF menampakkan gejala yang nayata yaitu adanyasianosis, letargi dan lemah. Selain itu juga tampak tanda-tanda dyspne yangkemudian disertai jari-jari clubbing, bayi berukuran kecil dan berat badan kurang.Bersamaan dengan pertambahan usia, bayi diobservasi secara teratur, sertadiusahakan untuk mencegah terjadinya dyspne. Bayi mudah mengalami infeksisaluran pernafasan atas. Diagnosa berdasarkan pada gejala-gejala klinis, mur-mur jantung, EKG foto rongent dan kateterisasi jantung. Penatalaksanaan Pembedahan paliatif dilakukan pada usia awal anak-anak, untuk memenuhipeningkatan kebutuhan oksigen dalam masa pertumbuhan.

Pembedahanberikutnya pada masa usia sekolah, bertujuan untuk koreksi secarapermanent. Dua pendekatan paliatif adalah dengan cara : 1. Blalock-Tausing,dilakukan pada ananostomi ujung ke sisi subklavikula kanan atau arterikarotis menuju arteri pulmonalis kanan.

2. Waterson dikerjakan padasisi ke sisi anastonosis dari aorta assenden, menuju arteri pulmonalis kanan,tindakan ini meningkatkan darah yang teroksigenasi dan membebaskangejala-gejala penyakit jantung sianosis.

(Gambar 2.6Tetralogi fallot/ TF)

d. CHD/ PJB sianotik dengan vaskularisasi parubertambah 1. Transposisi arteri besar/ Transpotition Great artery (TGA) Apabila pembuluh pembuluh darah besar mengalami transposisiaorta, arteri aorta dan pulmonal secara anatomis akan terpengaruh. Anaktidak akan hidup kecuali ada suatu duktus arteriosus menetap atau kelainanseptum ventrikuler atau atrium, yang menyebabkan bercampurnya daraharteri-vena. Pada TGA terjadi perubahan tempat keluarnya posisi aorta dan arteri pulmonalis yakni aorta keluar dari ventrikel kanan dan terletak di sebelahanterior arteri pulmonalis, sedangkan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri ,terletak posterior terhadap aorta. Akibatnya aorta menerima darah vena sistemik dari vena kava, atriumkanan, ventrikel kanan dan darah diteruskanke sirkulasi sistemik.

Sedang darah dari vena pulmonalis dialirkan keatrium kiri, ventrikel kiri dan diteruskan ke arteripulmonalis dan seterusnya keparu.Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan paru tersebutterpisah dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila ada komunikasiantara 2 sirkulasi ini. Pada neonatus percampuran darah terjadi melaluiduktus arteriosus dan foramen ovale keatrium kanan. Pada umumnyapercampuran melalui duktus dan foramen ovale ini tidak adekuat, dan biladuktus arteriosus menutup maka tidak terdapat percampuran lagi di tempattersebut, keadaan ini sangat mengancam jiwa penderita.

Manifesfasi klinik Transposisi adanyakelainan pembuluh-pembuluh atau stenosis. darah ini tergantung tampak pada apabila

Stenosis

kurang

kelainanmerupakan PDA atau ASD atau VSD, tetapi kegagalan jantung akanterjadi. Penatalaksanaan Pembedahan paliatif dilakukan agar terjadi percampuran darah. Pada saatprosedur, suatu kateter balon dimasukan ketika melakukan kateterisasi jantung, untukmemperbesar kelainanseptum intra arterial. Pada cara Blalock Halen dibuatsuatu kelainan septum atrium. Pada Edward vena pulmonale kanan. Sedangkan cara Mustard digunakan untuk koreksi yang permanent. Septum dihilangkandibuatkan sambungan sehingga darah yang teroksigenisasi dari venapulmonale kembali ke ventrikel kanan untuk sirkulasi tubuh dan darah tidakteroksigenisasi kembali dari vena cava ke arteri pulmonale untuk

keperluansirkulasi paru-paru. Kemudian akibat kelaianan ini telah berkurang secaranyata dengan adanya koreksi dan paliatif.

(Gambar 2.7 Transpotition Great Artery/ TGA)

2.5 Komplikasi Pasien dengan penyakit jantung congenital terancam mengalamiberbagai komplikasi antara lain: 1. Gagal jantung kongestif / CHF. 2. Renjatan kardiogenik/ Henti Jantung. 3. Aritmia. 4. Endokarditis bakterialistis. 5. Hipertensi. 6. Hipertensi pulmonal. 7. Tromboemboli dan abses otak. 8. Obstruksi pembuluh darah pulmonal. 9. Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur).

10. Enterokolitis nekrosis. 11. Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau displasia bronkkopulmoner). 12. Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit. 13. Hiperkalemia (penurunan keluaran urin). 14. Gagal tumbuh. 2.6 Pafofisiologi Kelainan jantung congenital menyebabkan dua perubahan hemodinamikutama. Shunting atau percampuran darah arteri dari vena serta perubahan alirandarah pulmonal dan tekanan darah. Normalnya, tekanan pada jantung kanan lebihbesar daripada sirkulasi pulmonal. Shunting terjadi apabila darah mengalir melaluilubang abnormal pada jantung sehat dari daerah yang bertekanan lebih tinggi kedaerah yang bertekanan rendah, menyebabkan darah yang teroksigenisasi mengalirke dalam sirkulasi sistemik. Aliran darah pulmonal dan tekanan darah meningkat bila ada

keterlambatanpenipisan normal serabut otot lunak pada arteriola pulmonal sewaktu lahir.Penebalan vascular meningkatkan resistensi sirkulasi pulmonal, aliran

darahpulmonal dapat melampaui sirkulasi sistemik dan aliran darah bergerakdari kananke kiri.Perubahan pada aliran darah, percampuran darah vena dan arteri, serta kenaikan tekanan pulmonal akan meningkatkan kerja jantung.Manifestasi dari penyakit jantung congenital yaitu adanya gagal jantung,perfusi tidak adekuat dan kongesti pulmonal.

2.7 Pathway

Congenital Heart Diseases Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik Sianotik Stenosis Stenosis Pulmonal, Koartasio Aorta () Obstruksi yang berat () Aliran Darah Paru () Resistensi Vaskuler Paru Kongesti Pulmonal Gangguan Pola Nafas Vaskularisasi Paru Berkurang Tetralogi Fallot Overiding Aorta Aliran Darah Aorta () Percampuran Darah Kaya O2 dengan CO2 Vaskularisasi Paru Bertambah Transpotition Great Artery/ TGA

Defek Septum DSV, DSA, DAP () Tekanan Sistolik puncak ventrikel Pirau () Kontraktilitas Jantung Penurunan Cardiac Output Hipertropi Ventrikel Kanan Hipoksemia Dyspnea/sesak nafas Kelemahan Fisik/ tubuh Anak cepat lelah jika menetek atau beraktifitas Gangguan Nutrisi Nutrisi Inadekuat Metabolisme tubuh () Suplai nutrisi Kejaringan () () Energi Intoleransi Aktifitas Anak Ansietas Stress Hospitalisasi Sianosis (Blue) Aritmia Percampuran Darah Kaya O2 dengan CO2

Hipoksemia Transport O2 kejaringan () () O2 dijaringan Miokard Iskemik Miokard Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Renjatan Kardiogenic/ Henti Jantung

Gangguan Perfusi Jaringan

Hipoksia dan () laktat Asidosis Metabolik Gangguan Pertukaran Gas () Suplai O2 kejaringan Gangguan Pertumbuhan Dan Perkembangan Perubahan Respon Jantung Berusaha Mengkompensasi () Aliran Darah Ke Ginjal Ginjal Meretensi Cairan Kongestif vena secara progresif Peningkatan Volume Cairan

Hipoksia Ginjal Ginjal mengeluarkan eritropoetin () Pembentukan SDM Polisithemia Trombosis

Orang Tua Kurang Pengetahuan Koping Keluarga Inefektif

Tromboemboli CVA

Perdarahan

2.8 Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorak : Melihat atau evaluasi adanya atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat. 2. Echokardiografi : Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan). 3. Pemeriksaan laboratorium : Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya

hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH. 4. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran darah dan arahnya. 5. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, adanya hipertropi ventrikel kiri, kateterisasi jantung yang menunjukan striktura. 6. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya. 7. Diagnosa ditegakkan dengan cartography dan Cardiac iso enzim (CPK & CKMB) meningkat.

Asuhan Keperawatan Pengkajian Keperawatan A. Riwayat Keperawatan 1. Riwayat terjadinya infeksi pada ibu selama trimester pertama. Agenpenyebab lain adalah rubella, influenza atau chicken pox. 2. Riwayat prenatal seperti ibu yang menderita diabetes mellitus

denganketergantungan pada insulin. 3. Kepatuhan ibu menjaga kehamilan dengan baik, termasuk menjaga giziibu, dan tidak kecanduan obat-obatan dan alcohol, tidak merokok. 4. Proses kelahiran atau secara alami atau adanya faktor-faktormemperlama proses persalinan, penggunaan alat seperti vakum untukmembantu kelahiran atau ibu harus dilakukan SC. 5. Riwayat keturunan, dengan rnemperhatikan adanya anggota keluargalain yang juga mengalami kelainan jantung, untuk mengkaji adanyafactor genetik yang menunjang. 6. Riwayat tumbuh Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan karena fatiq selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori sebagai akibat dari kondisi penyakit. 7. Riwayat psikososial/ perkembangan : Kemungkinan mengalami masalah perkembangan. Mekanisme koping anak/ keluarga.

Pengalaman hospitalisasi sebelumnya.

B. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan sama dengan pengkajian fisik yangdilakukan terhadap pasien yang menderita penyakit jantung padaumumnya. Secara spesifik data yang dapat ditemukan dari hasil pengkajian fisikpada penyakit jantung congenital ini adalah: Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas). Observasi adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (machinery mur-mur), cedera tungkai, hepatomegali. Observasi adanya hipoksia kronis : clubbing finger. Observasi adanya hiperemia pada ujung jari. Observasi pola makan, pola pertambahan berat badan. Bayi baru lahir berukuran kecil dan berat badan kurang. Observasi apakah anak terlihat pucat, banyak keringat bercucuran, ujung-ujung jari hiperemik. Observasi diameter dada bertambah, sering terlihat benjolan dada kiri. Tanda yang menojol adalah nafas pendek dan retraksi pada jugulum, sela intrakostal dan region epigastrium. Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung yang hiperdinarnik.

Observasi anak mungkin sering mengalami kelelahan dan infeksi saluran pernafasan, sedangkan neonatus menunjukan tanda-tanda respiratory distress seperti mendengkur, tacipnea dan retraksi.

Observasi apakah anak pusing, tanda-tanda ini lebih nampak apabila pemenuhan kebutuhan terhadap O2 tidak terpenuhi ditandai dengan adanya murmur sistolik yang terdengar pada batas kiri sternum.

Observasi apakah ada kenaikan tekanan darah. Tekanan darah lebih tinggi pada lengan daripada kaki. Denyut nadi pada lengan terasa kuat, tetapi lemah pada popliteal dan temporal.

Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.

Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas jantung, perubahan tekanan jantung. 2. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan peningkatan resistensi vaskuler paru, kongesti pulmonal. 3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia miokard. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori. 5. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke jaringan. 7. Peningkatan volume cairan tubuh berhubungan dengan kongestif vena, penurunan fungsi ginjal. 8. Kurang pengetahuan ibu tentang keadaan anaknya berhubungan dengan kurangnya inforrnasi. 9. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan kurang pengetahuan

keluarga tentang diagnosis/prognosis penyakit anak. Rencana Keperawatan 1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas jantung, perubahan tekanan jantung. Tujuan : Pasien dapat mentoleransi gejala-gejala yang ditimbulkan akibatpenurunan curah jantung, dan setelah dilakukan tindakan keperawatan terjadipeningkatan curah jantung sehingga keadaan normal. Intervensi: 1. Bina hubungan saling percaya (BHSP) dengan pasien dan keluarga pasien. Rasional : Menciptakan suasana yang kondusif dan bersahabat. 2. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang cardiac output.

Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat. 3. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam Rasional: permulaan terjadinya gangguan pada jantung akan ada perubahanpada tanda-tanda vital seperti pernafasan menjadi cepat, peningkatan suhu, nadimeningkat, peningkatan tekanan darah, semuanya dapat cepat dideteksi untukpenangan lebih lanjut. 4. Informasikan dan anjurkan tentang pentingnya istirahat yang adekuat. Rasional: istirahat yang adekuat dapat meminimalkan kerja dari jantung dandapat mempertahankan energi yang ada. 5. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai indikasi. Rasional:meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokord dan untukmelawan efek hipoksia/iskemia. 6. Observasi keadaan kulit terhadap pucat dan sianosis. Rasional: pucat menunjukan adanya penurunan perfusi sekunderterhadap ketidakadekuatan curah jantung, vasokonstriksi dan anemi. 7. Monitor tanda-tanda CHF seperti gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali. Rasional : untuk mengetahui sejauh mana tingkat kegawatan dari anak serta diperlukan dalam mendeteksi untuk penanganan lebih lanjut. 8. Observasi perubahan pada sensori, contoh letargi, bingung disorientasi cemas.

Rasional: dapat menunjukan tidak adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadappenurunan curah jantung. 9. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian tindakan farmakologis berupa digitalis dan digoxin. Rasional: mempengaruhi reabsorbsi natrium dan air, dan digoksinmeningkatkan kekuatan kontraksi miokard dan memperlambat frekuensi jantung dengan menurunkan konduksi dan memperlambat periode refraktori padahubungan AV untuk meningkatkan efisiensi curah jantung.

2. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan peningkatan resistensi vaskuler paru, kongesti pulmonal. Tujuan : Tidak terjadi ketidakefektitan pola nafas. Intervensi : 1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang cardiac output. Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat. 2. Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman serta catat upaya pernafasan. Rasional : pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi.

3. Observasi penyimpangan dada, penurunan ekspansi paru atau ketidaksimetrisan gerakan dada. Rasional : udara atau cairan pada area pleura mencegah ekspansi lengkap (biasanya satu sisi) dan memerlukan pengkajian lanjut status ventilasi. 4. Observasi ulang laporan foto thorax dan pemeriksaan laboratorium GDA, Hb sesuai indikasi. Rasional: pantau keefektifan terapi pernafasan dan catat terjadinya komplikasi. 5. Minimalkan menangis atau aktifitas yang meningkat pada anak. Rasional: menangis akan menyebabkan pernafasan anak akan meningkatkan.

3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia miokard. Tujuan : Menyatakan nyeri hilang dan anak keliatan nyaman. Intervensi: 1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang nyeri dan penanganannya. Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat. 2. Observasi adanya keluhan nyeri, pada anak bisa ditunjukan dengan rewel atau sering menangis. Rasional: Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. 3. Observasi perilaku dan tanda-tanda vital anak tiap 4 jam.

Rasional : Perilaku dan tanda vital membantu menentukan derajat atau adanya ketidaknyamanan pasien. 4. Evaluasi respon terhadap obat/terapi yang diberikan. Rasional: penggunaan terapi obat dan dosis, catat nyeri yang tidak hilang atau menurun dengan penggunaan nitrat. 5. Berikan lingkungan istirahat yang nyaman dan batasi aktivitas anak sesuai kebutuhan. Rasional: aktivitas berlebih dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. (contoh kerja tiba-tiba, stress, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada. 6. Ajarkan teknik distraksi relaksasi pada anak dan ibu. Rasional : dengan adanya distraksi nyeri anak dapat dialihkan/pengalihan dan dapat menurunkan respon nyeri. 7. Anjurkan ibu untuk selalu memberikan ketenangan pada anak. Rasional: ketenangan anak akan mengurangi stress yang dapat memperberat nyeri yang dirasakan. 8. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian analgesic. Rasional : analgesik bekerja dengan menghambat nosiseptor nyeri menempati reseptornya, sehingga nyeri tidak dirasakan lagi.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.

Tujuan: Anak dapat makan dan menyusu dan tidak terjadi penurunan beratbadan selama terjadi perubahan status nutrisi. Intervensi: 1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang manfaat dari nutrisi sendiri. Rasional: lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat. 2. Anjurkan ibu untuk terus memberikan anak susu, walaupun sedikit tetapi sering. Rasional: air susu akan mempertahankan kebutuhan nutrisi anak. 3. Pada anak yang sudah tidak menyusui lagi maka berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering dengan diet sesuai instruksi (TKTP). Rasional : meningkatan intake atau masukan dan mencegah kelemahan. 4. Jika anak menunjukkan kelemahan akibat ketidak adekuatannya nutrisi yang masuk maka pasang infuse. Rasional: infuse akan menambah kebutuhan nutrisi yang tidak dapat dipenuhimelalui oral.

5. Observasi selama pemberian makan atau menyusui. Rasional: selama makan atau menyusui mungkin dapat terjadi anak sesak atau tersedak.

6. Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama. Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi. 7. Observasi dan catat masukan makanan anak/ intake dan output secara benar. Rasional : mengawasi masukkan kalori dan kualitas kekurangan konsumsi makanan. 8. Berikan dan bantu hygiene mulut yang baik sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut, berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka. Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral, menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.

5. Peningkatan volume cairan tubuh berhubungan dengan kongestif vena, penurunan fungsi ginjal. Tujuan : Menunjukan keseimbangan masukan dan keluaran, berat badan stabil,tanda-tanda vital dalam rentang normal, tidak terjadinya edema.

Intervensi: 1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang cairan. Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.

2. Pantau pemasukan dan pengeluaran/ intake dan output, catat keseimbangan cairan, timbangberat badan anak setiap hari. Rasional : penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dankeefektifan terapi diuretic, keseimbangan cairan berlanjut dan berat badanmeningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung. 3. Kaji adanya edema periorbital, edema tangan dan kaki, hepatomegali, rales,ronchi, penambahan berat badan. Rasional: menunjukan kelebihan cairan tubuh. 4. Berikan batasan diet natrium sesuai dengan indikasi. Rasional : menurunkan retensi natrium. 5. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian diuretic ( furosemid ) sesuai indikasi. Rasional: menghambat reabsorsi natrium, yang meningkatkan eksresi cairan danmenurunkan kelebihan cairan total tubuh.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke jaringan. Tujuan : Anak dapat melakukan aktivitas yang sesuai tanpa adanyakelemahan. Intervensi: 1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang aktifitas.

Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat. 2. Kaji perkembangan tanda-tanda peningkatan tanda-tanda vital, seperti adanyasesak. Rasional: menunjukan gangguan pada jantung yang kemudian

akanmenggunakan energi lebih sebagai kompensasi sehingga akhirnya anak menjadikelelahan. 3. Bantu pasien dalam aktivitas yang tidak dapat dilakukannya. Rasional: teknik penghematan energi. 4. Support dalam pemberian nutrisianak. Rasional : nutrisi dapat membantu meningkatkan metabolisme juga

akanmeningkatkan produksi energi. 5. Batasi aktifitas anak yang berlebihan. Rasional : meminimalkan kerja dari jantung dan dapat mempertahankan energi yang ada.

7. Kurang pengetahuan ibu/ keluarga tentang keadaan anaknya berhubungan dengan kurangnya inforrnasi. Tujuan : Ibu/ keluarga tidak mengalami kecemasan dan mengetahui proses penyakit danpenatalaksanaan keperawatan yang dilakukan. Intervensi:

1. Berikan pendidikan kesehatan (health education) kepada ibu dan keluarga mengenaipenyakit serta gejala dan penataksanaan yang akan dilakukan. Rasional: informasi akan meningkatkan pengetahuan ibu/ keluarga sehingga cemas yangdialami ibu/ keluarga melihat kondisi anaknya akan berkurang bahkan hilang. Evaluasi Hasil yang diharapkan setelah dilakukannya asuhan keperawatan adalah : 1. Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung/ cardiac output. 2. Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru dan efektif pola nafasnya. 3. Anak akan merasa nyaman dan tidak mengalami/ merasa nyeri dada. 4. Anak akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat. 5. Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan. 6. Anak akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk

mempertahankan berat badan dalam menopang pertumbuhan. 7. Orang tua akan mengekspresikan perasaannya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.