Asma Bronkial

16
Oleh: Mikhwanul Jumar, 1307101030214 ASMA BRONKIAL (KD: 4A) Definisi Kata “Asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap bermacam-macam stimulus, ditandai dengan penyempitan bronkus atau bronkiolus dan berakibat sesak nafas. Penyempitan bronkus disebabkan oleh kontraksi otot polos, pembengkakan dinding bronkus dan sekresi yang berlebihan dari klenjar-kelenjar di mukosa bronkus. Atau lebih sederhana lagi Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran pernafasan secara menyeluruh (Dina and Mahdi, 1984; Angela et al., 2002). Etiologi Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkial (Tanjung, 2003). a. Faktor predisposisi • Genetik Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai 1

description

asmaaa

Transcript of Asma Bronkial

Oleh: Mikhwanul Jumar, 1307101030214

ASMA BRONKIAL (KD: 4A)

Definisi

Kata “Asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Asma

Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon trakea dan

bronkus terhadap bermacam-macam stimulus, ditandai dengan penyempitan bronkus

atau bronkiolus dan berakibat sesak nafas. Penyempitan bronkus disebabkan oleh

kontraksi otot polos, pembengkakan dinding bronkus dan sekresi yang berlebihan dari

klenjar-kelenjar di mukosa bronkus. Atau lebih sederhana lagi Asma Bronkial adalah

suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap

berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari kepekaan yang

berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran pernafasan secara menyeluruh (Dina and

Mahdi, 1984; Angela et al., 2002).

Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya

serangan asma bronkial (Tanjung, 2003).

a. Faktor predisposisi

• Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi

ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor

pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi

• Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

Seperti: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi

2. Ingestan, yang masuk melalui mulut

Seperti : makanan dan obat-obatan

3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit

1

Seperti : perhiasan, logam dan jam tangan

• Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi

asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya

serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti:

musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah

angin serbuk bunga dan debu.

• Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu

juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma

yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami

stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa

diobati.

• Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal

ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di

laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini

membaik pada waktu libur atau cuti.

• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan

aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan

serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah

selesai aktifitas tersebut.

Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik

sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2

agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis

obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan

tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya

pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-

ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2008).

2

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut)

(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008):

1. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)

Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel.1)

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

Sedangkan pada anak, secara arbiter Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)

mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodic jarang; 2) Asma episodic

sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 2)

3

2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global

Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan

gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan

menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan

ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma

(aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma

persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada

pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan

ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

4

Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak

Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh

hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast,

eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan

mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas

sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi

mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks

melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan

mediator yang membentuk proses inflamasi kronik (Rahmawati et al., 2003).

Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran

napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada malam

5

hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu

penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik (Rahmawati et

al., 2003).

Gambar 1. Patogenesis Asma

Tabel 4. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma

Mediator Pengaruh terhadap asma Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan A2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)

Kontruksi otot polos

Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan E2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)

Chymase Radikal oksigen

Udema mukosa

Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin Hidroxyeicosatetraenoic acid

Sekresi mukus

Radikal oksigen Enzim proteolitik Faktor inflamasi dan sitokin

Deskuamasi epitel bronkial

Diagnosa

6

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani

dengan baik. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta

pemeriksaan penunjang (Rengganis, 2008).

Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat

hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair

(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai

mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya

hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun

pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam

keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang

lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah

menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar

tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah

pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang

digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci

untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 5 (Rengganis, 2008).

7

Pemeriksaan Klinis

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,

menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis

pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk

anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas,

menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat

ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang (Rengganis, 2008).

Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk

menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Reversibilitas penyempitan saluran

napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume

8

Tabel 5. Gejala-gejala kunci Diagnosis Asma

ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak

20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator (Rengganis, 2008).

2. Peak Flow Meter/PFM

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut

digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena

pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan

pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan

dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk

diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,

PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan

dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1

(Rengganis, 2008).

3. X-ray dada/thorax

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang memberikan gejala serupa seperti

gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum.

Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak

memperlihatkan adanya kelainan (Rengganis, 2008).

4. Pemeriksaan IgE

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada

kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji

alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE

Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk

kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism) (Rengganis, 2008).

5. Petanda inflamasi

Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan

atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan

merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran

napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,

dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang

diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic

Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan

transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit

dilakukan di luar riset (Rengganis, 2008).

9

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan

berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet

ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita

yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek

alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada

subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20

um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan

informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk

mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau

kering, histamin, dan metakolin (Rengganis, 2008).

Diagnosis Banding

a. Bronkitis kronik

Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan

dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum

dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi

dan menurunkan kemampuan jasmani.

b. Emfisema paru

Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang

menyertainya.

c. Gagal jantung kiri

Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari

disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam

hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

d. Emboli paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping

gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

10

Daftar Pustaka

Angela et al. 2002. Mengenai Mencegah dan Mengatas Asma pada Anak Plus Panduan Senam Asma. Puspa Swara, Jakarta.

Anggia D. 2006. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari – Desember 2005. Pekanbaru : Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Dina, H and Mahdi, H. 1984. Pemakaian Dermatophagoides Pteronyssinus Sebagai pendekatan Tunggal guna Pembuktian Atopi pada Asma Bronkial. Universitas Airlangga Press, Surabaya.

Mcfadden ER. 2000. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 1311-18.

Meiyanti, M. 2000. Perkembangan pathogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. J. Kedokt Trisakti,19(3), 125-132.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.

Morris, M.J et al. Asthma. [ updated 2013 February 15; cited 2013 April 12]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. h 73-5

Rahmawati, I; Yunus, F and Wiyono W.H. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal Cermin Kedokteran, 141, 5–6.

Rees, J and Price, J. 1998. Petunjuk Penting Asma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon, 58(11), 444-451.

Tanjung, D. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. USU Digital Library.

11