BAB 1 PENDAHULUAN... · 2018-04-12 · konsumen dan hak asasi manusia. Terdapat beberapa defenisi...

35
1 BAB 1 PENDAHULUAN Tujuan Pembelajaran 1. Peserta didik mampu mengetahui pentingnya keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan dengan baik 2. Peserta didik mampu mengetahui Undang-undang dan peraturan keselamatan kerja dengan benar 3. Peserta didik mampu menjelaskan konsep dasar K3 dengan benar 4. Peserta didik mampu menjelaskan kecelakaan industri di Indonesia dengan baik 5. Peserta didik mampu melakukan evaluasi dan pengendalian kecelakaan kerja dengan tepat

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN... · 2018-04-12 · konsumen dan hak asasi manusia. Terdapat beberapa defenisi...

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Tujuan Pembelajaran

1. Peserta didik mampu mengetahui pentingnya keselamatan

kerja dan kesehatan lingkungan dengan baik

2. Peserta didik mampu mengetahui Undang-undang dan

peraturan keselamatan kerja dengan benar

3. Peserta didik mampu menjelaskan konsep dasar K3 dengan

benar

4. Peserta didik mampu menjelaskan kecelakaan industri di

Indonesia dengan baik

5. Peserta didik mampu melakukan evaluasi dan pengendalian

kecelakaan kerja dengan tepat

2 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Salah satu tantangan besar kondisi global yang kita hadapi di sektor ketenagakerjaan pada saat ini adalah kualitas sumber daya manusia, baik yang akan memasuki dunia kerja, maupun yang telah memasuki dunia kerja. Pada era globalisasi ini terutama dalam menghadapi persaingan perdagangan internasional maka azas penerapan K3 merupakan syarat utama yang berpengaruh besar terhadap nilai investasi, kualitas dan kuantitas produk, kelangsungan usaha perusahaan serta daya saing sebuah Negara. Kondisi tersebut harus kita jadikan sebagai tantangan sekaligus peluang dalam meraih keberhasilan perdagangan global. Disisi lain, persyaratan tersebut selalu dihubungkan dengan perlindungan bagi tenaga kerja, konsumen dan hak asasi manusia.

Terdapat beberapa defenisi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang diambil dari beberapa sumber, diantaranya adalah defenisi K3 menurut Filosofi, menurut Keilmuan serta menurut standar OHSAS 18001:2007 (Darmiatun dan Tasrial, 2015).

1. Filosofi (Mangkunegara) : suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani maupun rohani tenaga kerja khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil dan makmur.

2. Keilmuan : Semua ilmu dan penerapannya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK), kebakaran, peledakan dan pencemaran lingkungan. Atau bisa juga dikatakan sebagai “ilmu mengantisipasi, mengetahui, mengevaluasi, dan mengontrol bahaya yang timbul didalam atau dari tempat kerja yang dapat merusak kesehatan dan kesejateraan pekerja, dan juga berdampak pada komunitas dan lingkungan sekitarnya.

3. OHSAS 18001 : 2007 : kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang berdampak, atau dapat berdampak pada kesehatan dan keselamatan karyawan atau pekerja lain (termasuk pekerja kontral dan personel kontraktor, atau orang lain di tempat kerja).

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 3

Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah dilaksanakan oleh banyak organisasi yang bertujuan untuk mengurangi atau menghindari risiko kecelakaan kerja (Zero Accident). Berbagai peristiwa telah menimpa pekerja akibat perlakuan tidak aman yang menimbulkan kecelakaan kerja. Perusahaan-perusahaan manufaktur umumnya memiliki risiko kecelakaan kerja yang besar. Kebanyakan kecelakaan kerja ditimbulkan perilaku yang tidak aman, misalnya kejatuhan benda-benda berat, jatuh dari tempat tinggi, tertimpa reruntuhan bangunan, kesetrum listrik, dan lain sebagainya. Penyebab lain yang sering menimbulkan kecelakaan kerja adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan karyawan dalam menggunakan peralatan yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Berdasarkan laporan dari Biro Pelatihan Tenaga Kerja, penyebab kecelakaan kerja lainnya yang terjadi saat ini adalah akibat perlakuan tidak aman, seperti tidak mematuhi peraturan, tidak mengikuti standar prosedur kerja, tidak memakai alat pelindung diri, dan kondisi badan lemah.

1.1 PENTINGNYA KESELAMATAN KERJA DAN KESEHATAN LINGKUNGAN Keselamatan kerja merujuk pada perlindungan atas keamanan

kerja yang dialami setiap pekerja. Perlindungan mengarah pada kondisi fisik dan mental para pekerja yang diakibatkan lingkungan kerja yang ada pada perusahaan. Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan kerja akan terdapat sedikit karyawannya yang mengalami cidera jangka pendek atau jangka panjang akibat pekerjaan mereka.

Konsep keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan bukan sesuatu yang baru lagi, sudah menjadi tanggung jawab perusahaan untuk melindungi karyawannya. Seseorang yang sehat, tidak bermasalah tentang kondisi fisik atau mental dan emosional, akan dapat melaksanakan aktivitasnya secara normal. Keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan sesuatu yang diinginkan oleh setiap

4 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

anggota organisasi. Perusahaan besar pada umumnya memiliki bagian yang menangani bidang keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan, sementara di perusaan kecil ditangani langsung bagian sumber daya manusia atau manajer.

Keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan sangat penting diperhatikan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan kerja karyawan yang menjadi tanggung jawab para pemberi kerja. Berdasarkan laporan mengenai kecelakaan kerja sangat mengagetkan, terdapat 83.714 kasus kecelakaan kerja di Indonesia pada tahun 2007 dengan rata-rata 233 kasus kecelakaan kerja setiap harinya. Data tersebut menggambarkan bahwa kasus kecelakaan kerja secara

nasional tergolong tinggi, bahkan menurut catatan ILO (International Labor Organization), Indonesia merupakan Negara tertinggi kedua yang memiliki kecelakaan kerja.

Pada umumnya, kecelakaan kerja disebabkan oleh dua faktor utama, anatara lain, manusia dan lingkungannya. Faktor manusia berkaitan dengan tindakan tidak aman karena mengabaikan peraturan dan ketentuan kerja. Disisi lain, kecelakaan kerja dapat juga terjadi akibat kondisi tidak aman dari lingkungan kerja dan yang menyangkut peralatan-peralatan kerja yang memberikan kejadian yang lebih tinggi frekuensinya dibandingkan dengan faktor manusia. Para pekerja umumnya tidak patuh terhadap prosedur dan waktu kerja sesuai dengan persyaratan pekerjaan. Kebanyakan para pekerja mengalami kecelakaan kerja akibat kecerobohan, misalnya bekerja dibawah beban yang bergantung, bekerja pada tempat yang kurang aman, kurang penyinaran, bekerja pada malam hari, dan tidak menggunakan peralatan kerja yang semestinya digunakan seperti helm, penutup hidung dan mulut, dan lain sebagainya.

Menurut Wilson (2012) Tiga alasan mengapa program keselamatan kerja merupakan keharusan bagi setiap perusahaan untuk melaksanakannya yaitu:

1. Moral

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 5

Manusia merupakan makhluk termulia didunia, oleh karena itu sepatutnya manusia memperoleh perlakuan yang terhormat dalam organisasi. Manusia memiliki hak utnuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang susai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama. Para pemberi kerja melaksanakan perlindungan kepada pekerjanya atas dasar kemanusiaan. Mereka melakukan itu untuk membantu dan memperingan beban penderitaan atas musibah kecelakaan kerja yang dialami para karyawan dan keluarganya.

2. Hukum Alasan lain yang sama pentingnya dengan moral, terdapat juga alasan hukum yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Undang – tentang ketenaga kerjaan merupakan jaminan bagi setiap pekerja untuk menghadapi risiko kerja yang dihadapinya. Berdasarkan undang – undang, ketetntuan – ketentuan, dan peraturan – peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, hal – hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pemberi kerja dan dipatuhi oleh pekerja itu sendiri.

3. Ekonomi Alasan ekonomi akan dialami oleh banyak perusahaan karena mengeluarkan biaya-biaya yang tidak sedikit jumlahnya akibat kecelakaan kerja yang dialami pekerja. Kebanyakan perusahaan membebankan kerugian kecelakaan kerja yang dialami karyawan kepada pihak asuransi.

6 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

1.2 UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN KESELAMATAN KERJA DAN KESEHATAN Dewasa ini terlihat semakin tingginya kecelakaan kerja yang

dialami para pekerja di berbagai Negara didunia. Dewan Keselamatan Kerja Nasional Amerika Serikat mencatat lebih dari 14.000 kematian dan melebihi 2 Juta luka-luka akibat kecelakaan kerja. Berdasarkan data Jamsostek, angka kecelakaan kerja di Indonesia mengalami peningkatan : tercatat 95.418 kasus pada tahun 2004, kondisi ini mengalami peningkatan menjadi 99.093 kasus pada tahun 2005 dan 95.624 kasus pada tahun 2006. Angka kecelakaan kerja yang tercatat belum menunjukkan jumlah yang sebenarnya terjadi secara nyata. Banyak kasus kecelakaan yang tidak termasuk dalam laporan dari berbagai instansi yang berwenang untuk mencatat kejadian tentang kecelakaan kerja (Wilson, 2012). Untuk menanggulangi atau mengurangi tingginya risiko kecelakaan kerja, berbagai Negara telah menetapkan undang-undang dan peraturan tentang Keselamatn kerja dan kesehatan lingkungan.

Peraturan Kerja sebelum ini sudah pernah dibuat. Pertama, ditemukan di Babilonia, pada 2000 tahun SM dibawah pemerintahan Hammurabi (Ke-6) dan peraturan yang berhubungan dengan K3

dikenal sebagai Code of Hamuurabi yang pertama kali menyebutkan jaminan tenaga kerja atau kompensasi atau asuransi; dijelaskan sebagai berikut :

Apabila ada seseorang yang kehilangan matanya, maka ia berhak mendapat pergantian untuk mata tersebut.

Namun, sampai saat Revolusi Industri terjadi, belum ada perlindungan pekerja yang terorganisasi, demikian pula tentang standar kondisi lingkungan kerja. Karena sudah banyak ditemukan penyakit akibat kerja, keracunan, kecelakaan, eksploitasi tenaga kerja wanita dan anak, serta dampak buruk mekanisasi di Industri seperti di uraikan terdahulu, para ahli/pejuang prikemanusiaan bergerak

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 7

untuk memperbaiki nasib pekerja dengan membuat peraturan sebagai berikut :

1349-1351 : Undang-undang pertama yang membatasi jam kerja dari 79 menjadi 40 Jam/minggu

1788 : Chimmey Sweep Act membatasi usia pembersih cerobong asap (Chimmey sweeper) dari 10 tahun menjadi 14 tahun, kemudian dinaikkan lagi menjadi 21 tahun (1840)

1891 : Factory Act tentang batas usia pekerja mulai 11 tahun dan perlunya tangga darurat.

1890-1900 : Terbentuknya asosiasi, yakni Internasional Association of Labour Legislation agar dapat membuat aturan yang seragam dan dapat mencari solusi berbagai masalah secara bersama, meneliti penyebab dan pencegahan penyakit jabatan, membuat daftar racun industri, dan lain-lain yang merupakan cikal bakal Internasional

Labour Organisation (ILO).

Atas permintaan pemerintah RI (Departemen Perburuhan saat itu), pada tahun 1953, dilakukan survey oleh seorang ahli dari

International Labour Organization (ILO), yaitu Dr. Thiis Evension. Hasil survei tersebut antara lain menyatakan bahwa inspeksi industri dilakukan hanya oleh departemen perburuhan, yakni Jawatan Pengawas Perburuhan. Departemen Kesehatan hanya berfungsi sebagai konsultan. Dasar Inspeksi ialah beberapa peraturan

perburuhan dan Veligheids Ordonantie/Reglement (VO) yang dibuat pada tahun 1910, dicabut pada tahun 1970 dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara RI No.1 tahun 1970). Setelah selesai survei yang dilakukan oleh ILO, disadari pentingnya kesehatan kerja sehingga ditempatkan seorang dokter ahli di Departemen Perburuhan yang berwenang melakukan inspeksi (alm. Prof dr. Karimuddin). Kemudian, dibentuk lembaga K3 di bawah Departemen Perburuhan yang saat ini menjadi Lembaga

8 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Nasional K3. Lembaga ini mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan, penelitian, publikasi, pelayanan insdustri, dan sebagai badan penghubung dengan organisasi internasional.

Menurut Salami (2015) Setelah Kemerdekaan RI, dibuat pula beberapa undang-undang yang penting antara lain:

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang mengatur tentang hak dan kewajiban baik pengusaha maupun pekerja;

2. Standar Lingkungan Kerja (NAB) pada 1997; 3. Peraturan tentang asuransi tenaga kerja yang dikenal sebagai

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek); 4. Permen Tenaga Kerja No.5 Tahun 1996 tentang Sistem

Manajemen K3 atau SMK3 beserta sistem auditnya; 5. PP No. 74 tahun 2001 tentang K3 untuk Bahan Beracun dan

Berbahaya atau B3; 6. Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang sistem Jaminan

Sosial Nasional; dan 7. Undang-undang No.24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara

Jaminan Sosial.

1.2.1 Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja 1974

Banyak pemerintahan telah mengeluarkan undang - undang yang ditujukan untuk meningkatkan keselamatan dalam bekerja, salah satunya adalah Undang - undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja 1974. Tujuan dari undang - undang ini adalah menyediakan kerangka hukum untuk menstimulasi dan mendorong standar tinggi dalam kesehatan dan keselamatan bekerja:

Undang-undang ini meletakkan tanggung jawab keselamatan kerja baik pada pekerja maupun manajer. Perusahaan memiliki kewajiban untuk memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerjanya (Bagian 2 dari Undang-undang). Untuk melaksanakan ini perusahaan harus memastikan bahwa,

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 9

a. Kondisi pekerjaan dan standar kesehatan memadai; b. Pabrik, alat, dan peralatan dijaga dengan benar; c. Peralatan keselamatan yang dibutuhkan seperti peralatan

pelindung perorangan, penghilang debu dan gas, dan pelindung mesin tersedia dan digunakan dengan benar;

d. Pekerja terlatih untuk menggunakan peralatan dan pabrik dengan aman;

Pekerja berkewajiban menjaga kesehatan dan keselamatan diri mereka sendiri dan pekerja lainnya yang mungkin terpengaruh oleh kegiatan mereka (Bagian 7 dari Undang-undang). Untuk melaksanakan hal ini mereka harus,

a. Memberikan perhatian sepenuhnya untuk menghindari mencederai diri mereka sendiri atau orang lain sebagai akibat dari aktivitas pekerjaan mereka.

b. Bekerjasama dengan majikan mereka, membantunya untuk memenuhi persyaratan dari Undang-undang.

c. Tidak mencampuri atau menyalahgunakan segala sesuatu yang disediakan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan mereka.

Gagal dalam mematuhi Undang - undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan tindakan pidana dan pelanggaran terhadap hukum yang dapat menyebabkan denda yang tinggi, yaitu hukuman penjara atau keduanya (Linsley, 2004).

1.2.2 Dokumen Keselamatan

Dalam Undang - undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja, perusahaan bertanggung jawab untuk memastikan instruksi dan informasi yang cukup telah diberikan kepada pekerja agar mereka sadar akan keselamatan. Bagian l, seksi 3 dari Undang - undang memerintahkan semua perusahaan untuk menyiapkan sebuah pernyataan tertulis tentang kebijaksanaan kesehatan dan keselamatan serta untuk mengingatkan pekerjanya akan hal ini. Untuk mempromosikan ukuran kesehatan dan keselamatan yang memadai perusahaan harus berkonsultasi dengan perwakilan keselamatan

10 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

pekerja. Dalam perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 20 orang hal ini biasanya dilakukan dengan membentuk suatu komite keselamatan yang terdiri dari petugas keselamatan dan wakil para pekerja, yang biasanya dinominasikan oleh serikat kerja. Petugas keselamatan biasanya dipekerjakan dengan waktu penuh dalam tugasnya. Perusahaan-perusahaan kecil biasanya mempekerjakan seorang pengawas keselamatan, yang juga memiliki tugas lain di dalam perusahaan, atau selain itu, mereka dapat bergabung dengan sebuah ‘grup keselamatan’. Grup keselamatan kemudian berbagi biaya untuk mempekerjakan seorang penasehat keselamatan atau petugas keselamatan yang akan mengunjungi setiap perusahaan secara bergiliran.

Seorang pekerja yang mendapati kondisi membahayakan harus terlebih dahulu melapor pada perwakilan keselamatan di lokasi. Perwakilan keselamatan kemudian harus memberitahukan keadaan berbahaya tersebut kepada komite keselamatan agar melakukan tindakan yang dapat menghilangkan bahaya tersebut. Ini mungkin berarti mengganti kebijakan atau prosedur perusahaan atau membuat modifikasi terhadap peralatan. Semua tindakan dari komite keselamatan harus didokumentasikan dan dicatat sebagai bukti bahwa perusahaan menganggap serius kebijakan kesehatan dan keselamatannya.

Di bawah payung perlindungan umum dari Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja, bagian lain dari peraturan juga akan mempengaruhi mereka yang bekerja dalam industri kontraktor listrik (Linsley, 2004).

1.2.3 Undang - Undang 1945 dan Undang - Undang No.13 tahun 2003

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 11

Penerapan K3 harus memiliki payung hukum yang kuat untuk menjamin prosesnya. Peraturan tertinggi di Indonesia Undang-Undang dasar 1945 menyatakan (Darmiatun dan Tasrial, 2015) :

1. Pasal 27 (2): Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2. Pasal 28D (2) : Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

3. Pasal 28 H (3): Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan pada (Darmiatun dan Tasrial, 2015) :

1. Pasal 86 (2) : Untuk melindungi keselamtan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Pernyataan “upaya keselamatan dan kesehatan kerja” dari ayat ini dimaksudkan sebagai memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengandaian bahaya ditempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

2. Pasal 86 (3): Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

3. Pasal 87 (1): setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Yang dimaksud dengan “sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja” dalam ayat ini adalah; bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang yang meliputi struktur organisasi, perencenaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang

12 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efesien, dan produktif.

4. Pasal 87 (2): ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

UU diterjemahkan lebih rinci dalam peraturan-peraturan dibawahnya secara bertingkat, sebagai berikut:

1. Peraturan pemerintah No.84 Tahun 2013 tentang perubahan kesembilan atas peraturan pemerintah nomor 14 tahun 1993 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja.

2. Peraturan presiden No.111 tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan.

3. Keputusan presiden No.22 tahun 1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan kerja.

4. Peraturan menteri (permen) perburuhan No.7 Tahun 1964 tentang syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam tempat kerja.

5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja.

6. Peraturan menteri tenaga kerja dan Transmigrasi No : Per.04/MEN/1980 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan.

7. Peraturan menteri tenaga kerja dan Transmigrasi No : Per.01/MEN/1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja.

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 13

8. Peraturan menteri tenaga kerja dan Transmigrasi No : Per.03/MEN/1982 tentang pelayanan kesehatan tenaga kerja.

9. Peraturan menteri tenaga kerja Republik Indonesia No : Per.02/MEN/1983 tentang instalasi alarm kebakaran automatik.

10. Peraturan menteri tenaga kerja R.I No. Per.05/MEN/1996 tentang sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

11. Peraturan menteri tenaga kerja R.I No. Per.03/MEN/1998 tentang tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan.

12. Peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi Republik Indonesia No.08 tahun 2010 tentang alat pelindung diri.

13. Peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi Republik Indonesia No.13 tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja.

14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor Per.07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

15. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No. Kep.1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

16. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.: KEPTS.333/ MEN / 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja

17. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.: Kep.245/MEN/1990 tentang Hari Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Nasional

18. Keputusan Menteri Tenaga Kerja ND. 147 tahun 1998 tentang Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kerja Bagi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

14 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

19. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep.Sl/MEN/ 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja

20. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep.IS7/MEN/1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya

21. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI. No. 79 tahun 2003 tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja

22. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.: Kep.235/MEN/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan. Keselamatan Atau Moral Anak

23. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi R.I. No.: Kep.68/MEN/IV/2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja

24. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi R.I. No. 609 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja

25. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja R.I. No. : Kep. 84/BW/1998 Tentang Cara Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan Ketenagakerjaan.

Pelanggaran K3 menimbulkan konsekuensi sanksi. UU No.1/1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada pasal 15 UU menetapkan bagi yang melanggar ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dapat diancam pidana dengan hukuman kurungan selama lamanya tiga bulan atau denda setinggi tingginya Rp100.000.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), khususnya mengenai tenaga kerja dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja), pada dasarnya adalah merupakan hubungan hukum perdata. Namun, agar manusia sebagai makhluk

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 15

Ilahi tidak dieksploitasi dan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), maka Negara mengatur (melalui UU) perlindungan kepada tenaga kerja serta memperketat persyaratan (administratif) untuk mempekerjakan seorang tenaga kerja.

Pengaturan (dalam UU) tersebut baik mengenai waktu kerja dan waktu istirahatnya, keselamatan dan kesehatan kerjanya (K3), maupun mengenai upah dan jaminan sosialnya serta bentuk perlindungan perlindungan lainnya. Oleh karena itu, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran UU Ketenagakerjaan, di samping terdapat sanksi (konsekuensi) perdata, juga ada sanksi pidana serta sanksi yang bersifat administratif.

Ada beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai sanksi perdata (contoh misalnya pasal 59 ayat [7] UU Ketenagakerjaan), di samping itu, para pihak juga harus memperjanjikan konsekuensi perdata lainnya dalam perjanjian kerja (PK) dan/atau dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama (PP/PKB) bila terjadi wanprestasi. Sedangkan. sanksi pidana dan sanksi administratif diatur dalam pasal 183 s/d pasal 189 serta pasal 190 UU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), apabila terjadi perselisihan hubungan industrial sampai di Pengadilan Hubungan Industrial/PHI, hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali diatur secara khusus dalam UU ini.

Namun, dalam hal terjadi tindak pidana (terkait ketentuan dalam hukum ketenagakerjaan], karena tidak diatur secara khusus dan tidak dikesampingkan ketentuan umum, maka tentu prosedur beracara yang berlaku adalah hukum formal yang diatur dalam KUHAP. Sedangkan, sanksi administratif diamanatkan untuk diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, walaupun hingga saat ini belum diatur secara khusus, namun ada beberapa Peraturan

16 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Menteri yang isinya telah mencantumkan konten sanksi administratif.

Penegakan hukum ini diharapkan dapat mendidik, menyehatkan, dan mendisiplinkan seluruh komponen bangsa, khususnya perusahaan serta pekerja secara bersama mendukung K3. Dengan demikian, sangat diperlukan adanya pengawasan yang disertai sanksi tegas dalam menerapkan sistem menejemen K3 di perusahaan, sehingga benar benar dalam sistem produksi berbudaya

K3 dan pada akhirnya menjadi zero accident (Darmiatun dan Tasrial, 2015).

1.2.4 Occupational Health and Safety Assesment Series (OHSAS) 18001

Terjadinya kerusakan lingkungan akibat industrialisasi dan masih banyaknya kecelakaan kerja, dunia internasional menekankan mutu proses K3 yang dikenal sebagai Occupational Health and Safety

Assesment Series (OHSAS) 18001. Para pemangku kepentingan menggunakan OHSAS ini dalam perdagangan bebas dan globalisasi agar industri mau memperbaiki mutu K3-nya agar kompetitif terhadap industri Internasional, mendapatkan banyak kepercayaan pelanggan, dan keuntungan lain dengan mendapatkan sertifikasi OHSAS 18001.

OHSAS 18001 akan membantu perusahaan mengendalikan risiko kecelakaan, dan memperbaiki kinerjanya. OHSAS berisi spesifikasi K3 yang harus dipenuhi bila dikehendaki sertifikasi OHSAS 18001. Semuanya ini merupakan tekanan global/perdagangan bebas dari konsumen. Meningkatkan kinerja dan mengurangi kecelakaan akan memperbaiki moral pekerja yang dikehendaki perusahaan dalam melaksanakan proses dan prosedur.

OHSAS juga mendukung reputasi perusahaan dan tanggung jawab pengusaha terhadap pelanggan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara umum. OHSAS 18001 akan memasukkan struktur

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 17

K3 kedalam perusahaan/bisnis. Didalamnya terdapat proses

perencanaan, pelaksanaan, monitoring-evaluasi, dan tindak lanjut yang berkelanjutan sehingga tercapai kondisi zero accident. Di Indonesia, sistem pengendali mutu K3 ini dikenal sebagai sistem manajemen K3 (SMK3), dilaksanakan atas dasar Permenaker No.05 Tahun 1996. Semua perusahaan besar (mempunyai lebih dari 100 orang pekerja) wajib mempunyai SMK3, begitu pula perusahaan kecil apabila ada proses atau materi yang berbahaya. Keadaan ini didasari fakta bahwa kecelakaan di Indonesia 80% disebabkan oleh perilaku pekerja yang tidak aman (Salami, 2015).

1.2.5 Health and Safety Executive (HSE)

Hukum dan peraturan harus ditegakkan agar menjadi efektif. Sistem pengontrol di bawah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja dibentuk oleh Eksekutif Kesehatan dan

Keselamatan (Health and Safety Executive) HSE yang bertugas menegakkan hukum tersebut. HSE dibagi menjadi sejumlah inspektur spesialis atau seksi-seksi yang beroperasi dari kantor lokal di seluruh UK. Dari kantor lokal inspektur mengunjungi tempat-tempat kerja individu. Inspektur HSE telah diberi kekuasaan luas untuk membantu mereka dalam menegakkan hukum (Linsley, 2004). Mereka dapat :

1. Memasuki wilayah inspeksi tanpa pemberitahuan dan melakukan penyelidikan, melakukan pengukuran atau pemotretan;

2. Mengambil pernyataan dari individu-individu; 3. Mengecek catatan dan dokumen-dokumen yang

dipersyaratkan oleh peraturan; 4. Memberi informasi dan nasehat kepada pihak perusahaan

atau pekerja mengenai keselamatan di tempat kerja;

18 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

5. Menuntut pembongkaran atau penghancuran peralatan, material, atau bahan apa pun yang kemungkinan akan segera menyebabkan kecelakaan serius;

6. Mengeluarkan peringatan perbaikan yang mengharuskan pihak perusahaan untuk menghentikan haknya, dalam periode wuktu yang tertentu, karena pelanggaran kecil terhadap peraturan;

7. Mengeluarkan peringatan larangan yang mengharuskan pihak perusahaan secepatnya menghentikan semua aktivitas yang besar kemungkinan akan menimbulkan kecelakaan serius, dan akan ditegakkan kembali sampai keadaannya terkendali;

8. Menuntut semua orang yang tidak mematuhi kewajiban keselamatan mereka, termasuk perusahaan, pekerja, perancang, pabrikan, penyedia suplai, dan pekerja mandiri.

1.2.6 Peraturan 1988 Tentang Pengawasan Bahan-Bahan yang Berbahaya untuk Kesehatan (COSHH)

Peraturan ini mengawasi pemaparan bahan berbahaya kepada manusia di tempat kerja. Peraturan 6 mengharuskan majikan untuk memperkirakan risiko kesehatan bekerja dengan bahan-bahan berbahaya, melatih pekerja tentang teknik-teknik yang akan mengurangi risiko atau menyediakan peralatan pelindung personil sehingga pekerja tidak membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain terhadap penggunaan bahan-bahan berbahaya.

Para pekerja juga harus mengetahui prosedur pembersihan, penyimpanan, dan pembuangan yang diperlukan dan prosedur darurat apa yang harus dilakukan. Semua informasi ini harus tersedia kepada semua orang yang menggunakan bahan-bahan berbahaya dan dokumentasinya harus tersedia bagi inspektur HSE yang berkunjung.

Bahan-bahan berbahaya di antaranya:

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 19

1. Semua bahan yang mengeluarkan uap yang menyebabkan sakit kepala atau iritasi saluran pernafasan.

2. Serat buatan yang dapat menyebabkan iritasi kulit atau mata (misalnya insulasi atap).

3. Asam yang menyebabkan kulit terbakar dan iritasi pernafasan (misalnya aki mobil, yang mengandung asam belerang cair).

4. Bahan pelarut yang menyebabkan iritasi kulit dan saluran pemafasan (bahan pelarut kuat digunakan untuk mengelem pasangan saluran PVC dan tabung).

5. Uap dan gas yang menyebabkan sesak nafas (PVC yang terbakar mengeluarkan uap yang beracun).

6. Debu semen dan kayu yang menyebabkan kesulitan bernafas dan iritasi mata.

Ketika peralatan pelindung personil disediakan oleh perusahaan, pekerja berkewajiban menggunakannya untuk melindungi dirinya.

Peraturan ini juga memberikan ketentuan terhadap perusahaan listrik regional mengenai instalasi dan penggunaan jalur dan peralatan listrik. Peraturan ini dijalankan oleh Inspektorat Teknik dari Divisi Kelistrikan Departemen Energi dan biasanya tidak akan terkait dengan kontraktor listrik kecuali peraturan yang mengatur tentang pengedaran suplai listrik pada posisi meteran (Linsley, 2004).

1.2.7 Peraturan 1989 tentang Listrik dalam Pekerjaan (EWR)

Peraturan ini berlaku pada tahun 1990 dan menggantikan peraturan sebelumnya seperti Peraturan Khusus Kelistrikan (Undang-Undang Kepabrikan). Tujuan dari peraturan ini adalah untuk mengharuskan dilakukannya tindakan pencegahan terhadap bahaya kematian atau cedera personal akibat listrik dalam aktivitas pekerjaan. Seksi 4 dari EWR menyatakan bahwa semua sistem harus dibangun

20 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

sedemikian rupa untuk mencegah bahaya cedera akibat listrik, dan dipelihara dengan baik. Semua aktivitas pekerjaan harus dilaksanakan dengan cara yang tidak menimbulkan bahaya dalam pekerjaan yang melibatkan listrik, lebih baik bila konduktor diputuskan (aliran listriknya) sebelum pekerjaan dimulai. EWR tidak memberitahu secara khusus bagaimana melakukan aktivitas pekerjaan dan menjamin pemenuhan peraturan tetapi apabila laporan (tuntutan diajukan terhadap seseorang individu karena melanggar EWR, satu-satunya pembelaan yang dapat diterima adalah membuktikan bahwa semua langkah logis dan usaha yang maksimal telah dilakukan untuk mencegah pelanggaran (Peraturan 29). Kontraktor listrik dapat secara logis diharapkan telah melakukan semua upaya bila instalasi telah dipasang sesuai dengan Peraturan Pengkabelan IIE (lihat di bawah ini) (Linsley, 2004).

1.2.8 Peraturan Pengkabelan IEE

Persyaratan Institute of Electrical Engineers (IEE) untuk instalasi listrik (peraturan IEE) adalah peraturan yang bukan undang-undang. Peraturan-peraturan ini pada prinsipnya menjelaskan desain, seleksi, penegakan, inspeksi, dan pengujian suatu instalasi listrik, baik permanen ataupun sementara, umumnya di dalam dan di sekitar bangunan-bangunan dan tempat-tempat agrikultural dan hortikultural, tempat konstruksi dan karavan, dan situs-situsnya. Paragraf 7 dari pendahuluan EWR menyebutkan: ‘Peraturan Pengkabelan IEE adalah kode praktis yang secara luas diakui dan diterima di Kerajaan Inggris dan dengan memenuhi peraturan ini besar kemungkinan akan dicapai pemenuhan terhadap semua aspek relevan dari Listrik dalam Undang-undang Kerja. Peraturan Pengkabelan IEE hanya berlaku untuk instalasi yang beroperasi dengan tegangan bolak balik sampai dengan 1.000 V. Peraturan ini tidak berlaku untuk instalasi listrik di tambang dan pertambangan, di mana peraturan khusus berlaku karena kondisi buruk yang ada di sana. Edisi terakhir dari Peraturan Pengkabelan IEE adalah edisi ke-

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 21

16 yang menyertakan tambahan nomor l (1994) dan nomor 2 (1997). Alasan utama untuk menyertakan Peraturan Pengkabelan IIE ke dalam British Standard BS 7671 adalah untuk menciptakan harmonisasi dengan standar Eropa (Linsley, 2004).

1.2.9 Lambang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah elemen kunci untuk terciptanya kondisi kerja yang layak dan kultur keselamatan preventif yang kuat. Lambang K3 beserta arti dan maknanya tertuang dalam Kepmenaker RI 1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Arti dari Makna Lambang pada Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dijelaskan (Darmiatun dan Tasrial, 2015) :

Gambar 1.1 Lambang K3 (Darmiatun dan Tasrial, 2015)

1. Bentuk lambang : palang dilingkari roda bergigi sebelas berwarna hijau diatas warna dasar putih.

2. Arti dan makna lambang : a. Palang : bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja

(PAK). b. Roda Gigi : bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani. c. Warna Putih : Bersih dan Suci. d. Warna Hijau : Selamat, sehat dan sejahtera. e. Sebelas gigi roda : sebelas bab dalam Undang-Undang No.1

Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

22 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I No.609

Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja menyebutkan : 1. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung

dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.

2. Penyakit akibat kerja yang selanjutnya disingkat PAK (Occupational Disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

3. Bahwa suatu kasus dinyatakan kasus kecelakaan kerja apabila terdapat unsur ruda paksa (trauma) yaitu cedera pada tubuh manusia akibat suatu peristiwa atau kejadian (seperti terjatuh, terpukul, tertabrak dan lain-lain)

Risiko kerja yang kerap dialami tenaga kerja meliputi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Perbedaan antara kedua jenis risiko akibat bekerja ini terletak pada waktu kejadiannya. Kecelakaan kerja merupakan peristiwa yang mendadak dan biasanya terjadi kekerasan terhadap struktur fisik/tubuh manusia. Seperti terkena benda keras, terpotong benda tajam, jatuh dari ketinggian, kesetrum listrik dan lainnya. Sedangkan risiko penyakit kerja timbul secara perlahan-lahan dan dapat memakan waktu 10 tahun hingga 20 tahun.

Namun dari sudut pandang program jaminan sosial, kedua risiko akibat bekerja ini mempunyai akibat yang sama, yaitu dapat menimbulkan cacat, kematian, dan perawatan. Selain itu besaran santunan untuk kedua risiko akibat bekerja tersebut juga tergolong sama. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mempertegas kategori kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja juga diberlakukan sama.

Sepintas uraian diatas merupakan pengertian yang sama dari penyelenggaraan program jaminan sosial bagi tenaga kerja yang

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 23

diselenggarakan PT Jamsostek (Persero) yang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992. Khusunya untuk program jaminan kecelakaan kerja (JKK). Peraturan dan perundangan sangat diperlukan untuk mencegah penyakit akibat kerja karena para pekerja merupakan bagian dari penduduk yang berada dalam usia produktif dan menanggung beban mereka yang tidak lagi bekerja (lansia) dan yang belum boleh bekerja (anak). Dapat dipahami bahwa cacat atau penyakit yang diderita pekerja akan merugikan seluruh penduduk negera tersebut dan menurunkan produktivitasnya. Beban yang di tanggung oleh seorang tenaga kerja dinyatakan sebagai angka beban tanggungan (Darmiatun dan Tasrial, 2015).

1.3 KECELAKAAN INDUSTRI DI INDONESIA

Undang-undang No. 1 Tahun 1970 sebagai payung utama pelaksanaan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di Indonesia yang dalam pasal-pasalnya mengatur pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sudah berjalan 39 tahun dan sudah melalui era reformasi sebelas tahun yang awalnya menjanjikan penegakan hukum dan perbaikan kondisi ketenaga kerjaan.

Namun, dalam kenyataannya belum banyak terjadi perubahan yang berarti. Kondisinya masih sangat buruk, ditandai dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Juga telah berlaku Permen Tenaga Kerja No.05 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen K3 karena dikatakan bahwa 80% penyebab kecelakaan merupakan perilaku yang tidak aman sehingga sepertinya kontrol rekayasa saja tidak cukup dan harus mulai beralih atau ditambah dengan kontrol manajerial. Hal ini sudah lama berlaku di Amerika Serikat saat evaluasinya pada tahun 1982. Kecelakaan kerja tertinggi didapati di Industri yang memproduksi alat berat, pengeboran minyak dan gas bumi, dan industri konstruksi. Oleh karena itu, peran manajemen dalam K3 ditingkatkan.

24 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Buruknya kondisi K3 di Indonesia dapat dilihat dari angka-angka kecelakaan kerja secara nasional berdasarkan laporan PT Jamsostek (Persero), seperti tampak pada Tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1 Jumlah Kecelakaan Kerja di Indonesia, 2003-2007

Tahun Jumlah Kasus Kecelakaan 2003 105.846 Kasus 2004 95.418 Kasus 2005 99.023 Kasus 2006 95.624 Kasus 2007 95.000 Kasus

Diantara semua kasus tersebut, terdapat 1.883 kasus kematian akibat kecelakaan kerja atau rata-rata 5 tenaga kerja yang meninggal setiap hari. Kerugian akibat kecelakaan kerja diperkirakan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) sebesar Rp.750 miliar pertahun. Sementara itu, berdasarkan data PT Jamsostek sejak tahun 2005, kerugian langsung akibat mengabaikan K3 sedikitnya berjumlah Rp.540 miliar.

Kerugian tidak langsung, yaitu terganggunya proses produksi dan perbaikan alat-alat ataupun instrument yang rusak akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan inefisiensi diperkirakan lima kali lipat dari kerugian langsung. Sejak tahun 2002 hingga 2005, kerugian tidak langsung diperkirakan Rp.3 Triliun atau Rp.750 miliar pertahun. Setiap tahun sedikitnya terdapat sedikitnya 300.000 kecelakaan kerja. Selama semester satu tahun 2006, jumlah pekerja tewas akibat pengabaian K3 berjumlah 5.531 orang dan pekerja yang cacat sebanyak 511 orang. (Salami, 2015)

Beberapa faktor yang turut mempengaruhi tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia dilaporkan antara lain (i) sumber daya manusia (SDM) tidak memiliki keahlian dan keterampilan mengoperasikan mesin-mesin pabrik yang berteknologi tinggi; (ii) Status kesehatan kerja dan gizi kerja yang tidak memadai; (iii) banyaknya pengangguran membuat tenaga kerja memilih lebih baik

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 25

bekerja tanpa memperhitungkan pekerjaan yang berbahaya, yang penting bekerja ketimbang menganggur; (iv) lemahnya pengawasan dari instansi ketenaga kerjaan; (v) banyaknya tenaga kerja yang tidak di lindungi program jamsostek.

Dari jumlah perusahaan yang tercatat sebanyak 190.000, yang terdaftar di Depnakertrans pusat baru 91.000 perusahaan yang mengikut sertakan pekerjanya dalam program Jamsostek. Hal ini berarti bahwa baru 8 juta pekerja dari 28,5 juta pekerja formal yang mendapat perlindungan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pelayanan kesehatan

Jamsostek (Kompas, 20 September 2008, hlm. 25).

Melihat angka-angka kecelakaan kerja tersebut, kondisi K3 di Indonesia dianggap sangat buruk dan bahkan merupakan data paling buruk di kawasan ASEAN. Di Indonesia, 20 orang meninggal/100.000 pekerja, di Malaysia 8,5/100.000 pekerja, Thailand 8,9/100.000 pekerja. Dengan demikian, Indonesia menduduki urutan ke-5 atau terburuk dibandingkan dengan Singapura menduduki urutan pertama, disusul Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Dari penelitian yang diadakan ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) mengenai standar kecelakaan kerja, Indonesia menempati urutan ke-152 dari 153 negara yang ditelitinya. Ini berarti bahwa begitu buruknya masalah kecelakaan kerja dinegara ini. Di Amerika Serikat, kecelakaan kerja sudah banyak berkurang berkat

penanganan unsafe acts and conditions. Akan tetapi, evaluasi pada tahun 1982 menunjukkan bahwa kecelakaan kerja masih banyak ditemui pada industri konstruksi, alat berat, dan pertambangan minyak dan gas bumi. Oleh karena itu, pengendalian kecelakaan kerja

bergeser dari kerekayasaan ke pengendalian manajerial atau safety management. Banyak penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh top manager terhadap kecelakaan, pengaruh middle level manager

terhadap kecelakaan, dan pengaruh supervisor terhadap kecelakaan.

26 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

1.4 KONSEP DASAR K3 / HIGIENE INDUSTRI

Produktivitas suatu Negara ditentukan oleh kegiatan K3-nya. Pekerja juga harus dilindungi, dijaga agar tidak sakit/celaka dengan melaksanakan kegiatan K3 di industri karena terdapat berbagai faktor yang berbahaya dalam lingkungan kerja. Kegiatan demikian dikenal

sebagai kegiatan hegiene industri (HI). Yang dimaksud dengan HI adalah ilmu dan kiat/seni yang dicurahkan terhadap identifikasi, evaluasi, dan pengendalian faktor-faktor yang berbahaya berasal dari atau berada didalam lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan penyakit, gangguan kesehatan, atau ketidak nyamanan yang signifikan, serta turunnya efesiensi para pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, seorang ahli HI seharusnya adalah lulusan S-1 dalam kerekayasaan, S-1 Kimia, Fisika, Kedokteran, Ilmu Biologi, dan lain-lainnya yang telah mendapatkan pendidikan khusus serta kompeten dalam Higiene industri.

Pendidikan dan pelatihan sedemikian sudah harus cukup memberikan keterampilan dalam melakukan identifikasi faktor berbahaya beserta efeknya terhadap kesehatan, melakukan evaluasi dengan teknik pengukuran dan menilai apakah keadaan dapat membahayakan lingkungan dan pekerjanya, dan pengendalian faktor sedemikian dengan melakukan reduksi, eliminasi faktor berbahaya, serta menghilangkan efeknya terhadap kesehatan. (Salami, 2015)

1.4.1 Identifikasi Faktor Bahaya dalam Lingkungan Kerja

Untuk dapat melakukan identifikasi bahaya dalam lingkungan kerja, diperlukan seorang ahli yang paham akan pengoperasian dan proses kerja. Data demikian biasanya bisa diperoleh dari manajer pabrik, tercantum pula bahan baku, bahan imbuhan, serta berbagai jenis buangannya. Faktor yang berbahaya dapat dikategorikan sebagai berikut.

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 27

1. Zat kimia, baik cairan, padatan seperti debu, uap logam, embun, uap, maupun gas.

2. Zat fisis seperti radiasi elektromagnetik, radiasi pengion, bising, vibrasi, temperature serta tekanan barometrik yang ekstrem.

3. Zat biologis seperti insekta, tungau, jamur, ragi, bakteri dan virus. 4. Ergonomi, yakni posisi badan, fungsi badan sehubungan dengan

kerja, kejiwaan seperti kerja yang monoton, kegaduhan, panas, keadaan jiwa seperti kerisauan, tekanan/beban kerja dan kelelahan.

Identifikasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dan menggunakan pancaindra sewaktu melakuakn survei didalam Industri. Data sekunder yang diperlukan antara lain proses, bahan baku, bahan tambahan untuk proses, data pemantauan lingkungan kerja, kepegawaian, kesehatan karyawan, dan lain-lain. Dari data sekunder dapat diperkirakan bahaya yang mungkin ada di industri.

Survei (Walk-in Survey) melewati semua proses industri yang sedang berjalan dapat sekaligus melakukan observasi apa yang sedang terjadi. Mata dapat melihat cara orang bekerja, peringatan-peringatan yang ditempel apakah ada pekerja yang menggunakan APD, bagaimana penggunaannya. Telinga bisa mendengar bising yang mungkin terlalu tinggi; dapat kah orang berkomunikasi dengan baik? Kulit dapat merasakan kalau ada proses dingin atau panas dan kecepatan angin, kelembapan, dan seterusnya. Sama halnya dengan data sekunder survei ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan perkiraan bahaya yang ada didalam pabrik.

1.5 EVALUASI DAN PENGENDALIAN

28 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Evaluasi adalah usaha penilaian secara objektif terhadap perkiraan bahaya yang didapat pada proses identifikasi. Untuk keperluan ini perlu dipersiapkan berbagai hal :

1. Penelusuran literatur tentang berbagai zat kimia yang digunakan, seperti efeknya, toksisitasnya, sifat kimia-fisikanya, dan seterusnya;

2. Peralatan dan bahan yang mungkin diperlukan dalam sampling;

3. Teknisi yang perlu dibawa;

4. Penentuan lokasi sampling, banyaknya sampel yang harus diambil;

5. Jenis sampel, apakah grab/sesaat, komposit, dan seterusnya; tanpa melakukan identifikasi, persiapan evaluasi tidak dapat dilakukan.

Evaluasi dilakukan untuk mengukur eksposur yang diterima pekerja dan kualitas lingkungan kerja. Untuk hal ini, perlu dipikirkan

apakah sampling berupa perseorangan atau umum saja. Untuk ini, juga perlu dilakukan evaluasi terhadap pekerja sendiri, apakah dengan eksposur yang ada terjadi kelainan pada fungsi tubuh pekerja.

Semua hasil pengukuran akhirnya perlu dibandingkan dengan standar yang berlaku. Bila didapat bahwa eksposur melebihi batas yang berlaku, perlu diambil tindakan pengamanan. Sebaliknya, tentu tidak perlu dilakukan apa-apa, kecuali bila sudah ada efek buruk terhadap pekerja. Maka perlu dipertanyakan apakah standar yang berlaku perlu diubah?

Berdasarkan uraian diatas, dapat dimengerti bahwa seorang ahli K3 perlu terampil dalam berbagai hal sebagai berikut:

1. Pengambilan sampel; 2. Dasar-dasar penentuan lokasi sampel sehingga

representative; 3. Alasan pengambilan jumlah sampel;

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 29

4. Pengukuran variabel yang ingin diukur, termasuk pengertian tentang cara kerja suatu alat ukur, karakteristik sebagai alat ukur ;

5. Mengolah data sehingga dapat diperbandingkan dengan NAB yang berlaku;

6. Membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindak lanjut.

Data yang diperoleh kemudian diolah agar dapat dinilai/dibandingkan dengan nilai ambang batas (NAB) yang berlaku. Nilai NAB ruang kerja diartikan sebagai konsentrasi suatu zat kimia-fisika-biologi-ergonomi yang memajani pekerja selama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu selama masa kerja, yang tidak akan menyebabkan kelainan kesehatan pada 80 – 90% pekerja. Penentuan NAB dilakukan dengan memberi pembebanan waktu pada konsentrasi yang terukur selama 8 jam sehingga data harus dikumpulkan dan diolah sesuai dengan proses bagaimana NAB itu ditentukan, yakni dengan pembebanan waktu. Hal ini dilakukan karena setiap pekerja selama 8 jam kerja tidak akan berada ditempat yang sama dan tidak terpajan terhadap konsentrasi yang sama. Angka yang didapat dikenal sebagai Time Weighted Average Concentration atau disingkat TWA.

Nilai NAB di Indonesia dibuat oleh pemerintah, yakni Departemen Tenaga Kerja bersama tim ahlinya. Di USA, himpunan

ahli K3 menentukan Threshold Limit Values (TLV) atau disini disebut NAB, bersama-sama atas dasar pengalaman kerjanya masing-masing

di industi, dikenal sebagai TLV dari American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGHI). Mereka beranggapan bahawa kesehatan kerja menyangkut kesehatan mereka sendiri sehingga mereka aktif menentukan TLV yang terbaik. Dengan demikian, TLV dapat berubah tiap tahun kalau diperlukan. Sekalipun demikian, nilai TLV ini merupakan nilai yang dibuat oleh pihak swasta sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali TLV tersebut diadaptasi oleh Environmental Protection Agency / US – EPA.

30 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

1.5.1 Pengelolaan Umum

Pengelolaan merupakan tindakan khusus untuk memelihara dan memperbaiki kualitas lingkungan kerja sehingga tidak berdampak negatif terhadap pekerja. Pengelolaan dapat dilakukan pada sumber, jalur, dan penerima; secara rekayasa umum dan khusus, secara manajerial, medis, dan pendidikan dan pelatihan. Apabila telah terjadi suatu dampak/efek kesehatan terhadap pekerja atau konsentrasi kontaminan dalam lingkungan kerja telah melebihi NAB, perlu dilakukan tindak pengendalian/pengamanan. Tindakan demikian perlu dimonitor untuk melihat efisiensinya. Selanjutnya, kasus yang pernah terjadi idealnya tidak akan terulang dengan melakukan usaha pencegahan dan pemeliharaan.

1.5.2 Pengendalian Khusus

Berbagai peralatan kerja sering kali perlu pengendalian secara khusus, misalnya bila ada bising, dimana letak kontrol sebaiknya; apa pada sumber bising atau kontrol pada jalur? Bagaimana bangunan dan mesin? Dimana sumbernya? Apa penyebabnya? Aus? Erosi? Korosi? Tua? Elastisitas turun? Longgar? Patah? Kurang Pelumas? Ada benda asing? Perubahan kondisi lingkungan? Perubahan bahan kimia? Dan seterusnya. Dapatkah vibrasi dikurangi? Perlu isolasi

dengan barrier, dengan damper?

Bagi zat tertentu, diperlukan pengamanan yang sangat khusus, misalnya untuk mengurangi paparan :

1. Zat radioaktif dengan monitor personal seperti film badges, 2. Diperlukannya monitor kontinu dengan alarm, pada

kontaminan B3, 3. Bila didapat peralatan dengan voltase tinggi, dan lain-lain. 4. Bila ada panas radiasi, yang mungkin diperlukan:

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 31

a. Perisai reflektif (pakaian, boks) terdiri atas Cr, Al, Cu, Ni,

b. Perisai heat-exchanger : Fe, Steel, H2O,

c. Perisai absorbing + Insulasi, dan d. Perisai transparan: heat absorbing glass/heat reflecting glass.

5. Bekerja ditempat tertutup, mengandung B3, dan lain-lain.

Pengendalian khusus juga merupakan suplemen terhadap engineering control, misalnya bagaimana :

1. Safe handling material/proses 2. Prosedur yang aman; 3. Menggunakan dan memelihara APD dan instrumentasi yang

aman; dan 4. Pembuangan limbah berbahaya dengan lege artis.

1.5.3 Pengendalian Secara Manajerial

Pengendalian secara rekayasa telah lama dilakukan dan telah banyak mengurangi dampak negatif terhadap pekerja dan lingkungan. Meskipun demikian, kecelakaan dan penyakit akibat kerja masih tetap banyak sehingga orang saat ini beranggapan perlu beralih dari pengendalian rekayasa ke manajemen. Usaha demikian yang termasuk sangat mendasar, anatara lain fungsi manajer untuk keamanan dan kesehatan dalam hal :

1. Pembeliah alat dan bahan yang mempunyai spesifikasi aman; 2. Pemilihan personalia yang cocok bagi pekerjaan tertentu; 3. Pekerja perlu berada dalam keadaan sehat; 4. Pendidikan dan pelatihan sebelum kerja dan secara periodik; 5. Pemantauan dan evaluasi; 6. Inspeksi peralatan dan cara kerja proses/pekerja; 7. Pencatatan dan pelaporan K3; 8. Kebijakan yang harus dikomunikasikan kepada seluruh pekerja

agar dapat berpartisipasi dalam K3;

32 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

9. Kebijakan harus dilaksanakan maka perlu bukti dan laporan dan pencatatannya;

10. Komitmen manajer dan partisipasinya dalam K3 akan sangat menentukan keberhasilan usaha K3, demikian pula dengan ahli rekayasa, supervisor, dan pekerja.

1.5.4 Pengendalian Secara Medis

Pengendalian secara medis merupakan titik pantau (check

point) pengendalian kerekayasaan dengan melakukan pemeriksaan sebelum bekerja dan secara periodik setelah terkena faktor bahaya dan pengobatan dini, serta memberikan umpan balik pada sistem keamanan untuk perbaikan lingkungan kerja. Misalnya, karena banyak penyakit kulit, apakah diperlukan subtitusi atau isolasi ataukah tambahan atau perubahan APD.

1.5.5 Pendidikan dan Pelatihan

(Salami, 2015) Pendidikan dan pelatihan diberikan kepada pekerja baru dan sebagai pengulangan apabila telah melupakannya atau ada pegawai/proses kerja baru. Diklat yang penting ialah pemeliharaan kebersihan pribadi atau higiene perseorangan yang merupakan proses panjang dan kontinu untuk mengubah perilaku pekerja yang tidak higienis menjadi sehat. Hal ini diperlukan karena orang tidak dapat berubah dalam sekejap dan perlu diingatkan untuk jangka panjang sampai perilaku sehat tadi menjadi kebiasaan pekerja. Hal ini dilakukan dengan memberikan pendidikan dan latihan, misalnya bagaimana cara menggunakan berbagai mesin dan fasilitas yang tersedia.

Dari ruang lingkup yang perlu dikuasai dan telah dibahas seorang ahli K3 akan perlu pelatihan dan pendidikan agar dapat terampil berfungsi :

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 33

1. Mengelola program K3; 2. Mamantau dan menilai kualitas lingkungan kerja, termasuk

mempelajari proses produksi, alat proses produksi, produk utama dan sampingan, dapat memberi usulan, cara kerja demi perbaikan lingkungan kerja; mengukur besaran eksposur yang diterima pekerja, menguji sampel lingkungan dan sampel biologis;

3. Menginterpretasi hasil pengumpulan data, termasuk data kesehatan pekerja, kerusakan yang terjadi, menganalisis, dan mengambil kesimpulan;

4. Menentukan kebutuhan dan efektivitas cara pengamanan; bila perlu memberi rekomendasi untuk perbaikan;

5. Membuat aturan dan peraturan kerja, standar prosedur sehingga lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat umum menjadi tetap sehat;

6. Memberikan kesaksian sebagai ahli dihadapan peradilan, komisi kompensasi, dengar pendapat, badan pengaturan, dan lembaga investigasi lain-lain;

7. Membuat teks untuk label, informasi keselamatan kerja, materi berbahaya, dan lain-lain;

8. Melaksanakan pelatihan K3 bagi pekerja dan masyarakat umum untuk mencegah terjadinya menyakit jabatan/gangguan.

9. Memimpin studi epidemiologis di industri untuk mencari/mendapatkan penyakit jabatan dan memperbaiki NAB agar kesehatan dan efesiensi kerja terjamin;

10. Melaksanakan penelitian untuk meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan penyakit jabatan, pencemaran udara, bising, dan gangguan lainnya; dan

11. Secara rutin melaksanakan proses identifikasi, evaluasi, dan pengendalian umum.

34 | Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan

Rangkuman

1. Keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan sangat penting

diperhatikan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan kerja karyawan yang menjadi tanggung jawab para pemberi kerja. Tiga alasan program keselamatan kerja merupakan keharusan bagi setiap perusahaan yaitu : Moral, Hukum, dan Ekonomi.

2. Banyak pemerintahan telah mengeluarkan undang - undang yang ditujukan untuk meningkatkan keselamatan dalam bekerja diantaranya adalah :

a. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang mengatur tentang hak dan kewajiban baik pengusaha maupun pekerja

b. Permen Tenaga Kerja No.5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen K3 atau SMK3 beserta sistem auditnya

c. Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja 1974

d. Undang - Undang 1945 dan Undang - Undang No.13 tahun 2003

e. Occupational Health and Safety Assesment Series (OHSAS) 18001

f. Health and Safety Executive (HSE)

g. Peraturan 1988 Tentang Pengawasan Bahan-Bahan yang Berbahaya untuk Kesehatan (COSHH)

h. Peraturan 1989 tentang Listrik dalam Pekerjaan (EWR)

i. Peraturan Pengkabelan IEE 3. Higieni Industry (HI) adalah ilmu dan kiat/seni yang

dicurahkan terhadap identifikasi, , dan pengendalian faktor-faktor yang berbahaya berasal dari atau berada didalam lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan penyakit, gangguan kesehatan, atau ketidak nyamanan yang signifikan,

Keselamatan Kerja & Kesehatan Lingkungan | 35

serta turunnya efesiensi para pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

4. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia dilaporkan antara lain (i) sumber daya manusia (SDM) tidak memiliki keahlian dan keterampilan mengoperasikan mesin-mesin pabrik yang berteknologi tinggi; (ii) Status kesehatan kerja dan gizi kerja yang tidak memadai; (iii) banyaknya pengangguran membuat tenaga kerja memilih lebih baik bekerja tanpa memperhitungkan pekerjaan yang berbahaya, yang penting bekerja ketimbang menganggur; (iv) lemahnya pengawasan dari instansi ketenaga kerjaan; (v) banyaknya tenaga kerja yang tidak di lindungi program jamsostek.

Tes Formatif

1. Jelaskan Pentingnya Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan bagi pekerja dan perusahaan!

2. Sebutkan dan Jelaskan tiga alasan mengapa program keselamatan kerja penting bagi perusahaan !

3. Sebutkan beberapa undang-undang mengenai ketenaga kerjaan serta kesehatan lingkungan setelah kemerdekaan RI!

4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Higieni Industri ! 5. Jelaskan mengapa pendidikan dan pelatihan perlu diberikan

kepada pekerja baru !

Tugas

Buatlah kliping mengenai kecelakaan kerja di Indonesia !