BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Penyakit...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Penyakit...
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Penyakit Jantung Koroner
PJK adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat
menyebabkan serangan jantung (American Heart Association, 2013).
PJK juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik
(IHD), atau penyakit jantung aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak
ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot
jantung) (Manitoba Centre for Health Policy, 2013).
PJK terjadi ketika zat yang disebut plak menumpuk di arteri yang memasok
darah ke jantung (disebut arteri koroner), penumpukan plak dapat menyebabkan
angina, kondisi ini menyebabkan nyeri dada dan tidak nyaman karena otot jantung
tidak mendapatkan darah yang cukup, seiring waktu, PJK dapat melemahkan otot
jantung, hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia (Centers for Disease
Control and Prevention, 2009).
PJK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung
yang disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung
pun memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh
tubuh, jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan
pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan
darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dan pasokan zat makanan dan oksigen, makin besar persentase
penyempitan pembuluh koroner makin berkurang aliran darah ke jantung, akibatnya
timbullah nyeri dada (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan& Kesehatan, 2009)
2.2. Anatomi, Fisiologi Jantung dan Arteri Koroner
Sistem kardiovaskular dapat dianggap sebagai sistem transportasi tubuh,
sistem ini memiliki tiga komponen utama yaitu jantung, pembuluh darah dan darah
itu sendiri. Jantung adalah alat pemompa dan pembuluh darah adalah rute
pengiriman, darah dianggap sebagai cairan yang mengandung oksigen dan nutrisi
yang dibutuhkan tubuh dan membawa limbah yang perlu dibuang (Virtual Medical
Centre, 2013).
2.2.1 Struktur dan Fungsi Jantung
2.2.1.1 Struktur Jantung
Jantung adalah otot seukuran kepalan tangan dan berbentuk kerucut dengan
panjang 12 cm, lebar 9 cm dan tebal 6 cm, terletak di antara dua paru-paru di sebelah
kiri dari tengah dada, memiliki empat ruang yaitu atrium kiri, atrium kanan, ventrikel
kiri dan ventrikel kanan (Virtual Medical Centre, 2013).
2.2.1.2 Fungsi
Jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh (Virtual Medical
Centre, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.3 Arteri Koroner Jantung
Jantung manusia normal memiliki dua arteri koroner mayor yang keluar dari
aorta yaitu right coronary artery dan left main coronary artery, dinamakan koroner
karena bersama dengan cabangnya melingkari jantung seperti crown (mahkota
corona). Arteri koroner meninggalkan aorta lebih kurang ½ inci di atas katup
semilunar aorta, Left main coronary artery bercabang menjadi dua, yaitu left anterior
descendens yang memberikan perdarahan pada area anterior luas ventrikel kiri,
septum ventrikel dan muskulus papillaris anterior, sementara left circumflex
memberikan perdarahan pada area lateral ventrikel kiri dan area right coronary artery
dominan kiri. Right coronary artery memberikan perdarahan pada SA node, AV
node, atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri inferior, ventrikel kiri posterior
dan muskulus papillaris posterior (Kasma, 2011).
2.3. Patogenesis Plak Aterosklerosis
Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu: intima,
media dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang
menyelimuti lumen arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian
dalam sistem vaskular hampir seluas 700 m2 dan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki
berbagai fungsi, diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi
permukaannya dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat prostaglandin
seperti prostasiklin yang merupakan suatu vasodilator poten dan penghambat agregasi
Universitas Sumatera Utara
platelet, rusaknya lapisan endotel akan memicu terjadinya aterosklerosis sebagaimana
yang akan dijelaskan dibawah ini.
Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya
aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to
injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai response to
injure hypothesis sebagai berikut:
a. Stage A : Endothelial Injure
Endotelial yang licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah
koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya
lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding
arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan
ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet
adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).
b. Stage B : Fatty Streak Formation
Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang
telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density
Lipoprotein (LDL) dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh
radikal-radikal bebas pada permukaan endotel, lesi ini mulai tumbuh pada masa
kanak-kanak, makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, yang terdiri
dari sel-sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel otot polos dan
makrofag yang mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.
Universitas Sumatera Utara
c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan
ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable
fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque (Kasma, 2011).
2.4. Patofisiologi PJK
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan
kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan
makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke
tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri
koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. Langkah pertama dalam pembentukan
aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat
terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel
meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam
lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam
lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh
darah. Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun,
termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke
area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian
memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area
lesi, menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan
senyawa kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang
Universitas Sumatera Utara
mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area
cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial
yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah
putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai
berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit
yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang
meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel
otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima. Selain itu
kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas
lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan
lemak diarteri. Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit
meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh
diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah,
hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan
parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos
sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini
dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi
iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga
menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses
pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam
laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot
jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah
kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark (Corwin, 2009).
Patofisiologi PJK
Gambar 2.1. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
zat masuk arteri
Arteri
Proinflamatori
Permeabelitas
Reaksi inflamasi
Cedera sel endotel
Sel darah putih menempel di arteri
imigrasi keruang interstisial
Aliran darah pembuluh kaku & sempit
Pembentukan Trombus
monosit makrofag
Lapisan lemak
sel otot polos tumbuh
Nyeri
Asam laktat terbentuk
MCI
Kematian
Sumber : Ariesti, 2011.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Gejala PJK
Gejala PJK yang biasanya timbul adalah:
1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan tercekik.
Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher, bahkan
menembus ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering
dirasakan oleh penderita PJK.
2. Sesak nafas
3. Takikardi
4. Jantung berdebar-debar
5. Cemas
6. Gelisah
7. Pusing kepala yang berkepanjangan
8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas
9. Keringat dingin
10. Lemah
11. Pingsan
12. Bertambah berat dengan aktivitas
Tapi kebanyakan orang yang menderita PJK tidak mengalami beberapa gejala
di atas, tiba-tiba saja jantung bermasalah dan dalam kondisi yang kronis (UPT-Balai
Informasi Teknologi lipi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Klasifikasi PJK
Menurut Braunwald (2001), PJK memiliki beberapa klasifikasi sebagai
berikut:
1. Angina Pektoris Stabil
Angina pektoris stabil adalah keadaan yang ditandai oleh adanya suatu
ketidaknyamanan (jarang digambarkan sebagai nyeri) di dada atau lengan yang
sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan dengan aktivitas fisik atau stres
emosional dan menghilang dalam 5-15 menit dengan istirahat dan atau dengan
obat nitrogliserin sublingual (Yusnidar, 2007). Angina pektoris stabil adalah rasa
nyeri yang timbul karena iskemia miokardium yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen miokard.
Iskemia miokard dapat disebabkan oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri
koroner dan berkurangnya kapasitas oksigen di dalam darah (Aladdini, 2011).
2. Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen
ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut;
a. Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya berakhir
setelah lebih dari 20 menit (jika tidak diberikan nitrogliserin).
b. Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan onset
baru (dalam 1 bulan).
c. Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah lama, atau lebih
sering dari sebelumnya). Pasien dengan ketidaknyamanan iskemik dapat
datang dengan atau tanpa elevasi segmen ST pada EKG (yusnidar, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan
dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan kondisi lebih
kronis dari pada angina stabil. Angina tidak stabil merupakan bagian dari sindrom
koroner akut, dimana tidak ada pelepasan enzim dan biomarker nekrosis miokard.
Angina dari sindrom koroner akut (SKA) cenderung merasa lebih parah dari angina
stabil, dan biasanya tidak berkurang dengan istirahat beberapa menit atau bahkan
dengan tablet nitrogliserin sublingual. SKA menyebabkan iskemia yang mengancam
kelangsungan hidup otot jantung. Kadang-kadang obstruksi menyebabkan SKA
hanya berlangsung selama waktu yang singkat dan tidak ada nekrosis jantung yang
terjadi, SKA memiliki dua dua bentuk gambaran EKG yantu:
1. Infak Otot Jantung tanpa ST Elevasi (Non STEMI)
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi dan ruptur
plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
Pada non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi
menyeluruh pada lumen arteri koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis
dan patofisiologi yang mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda. Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis angina tidak stabil menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard
berupa peningkatan biomarker jantung.
Universitas Sumatera Utara
2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (STEMI)
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya
(Kasma, 2011).
Bagan dibawah 2.2. memperlihatkan suatu reorganisasi manifestasi klinis
infark miokard akut yang sekarang disebut sindroma koroner akut.
Gambar 2.2. Nomenklatur Sindroma Koroner Akut
Sumber : Braunwald. Acute myocardial Infarction. Heart Disease. 2001
2.7. Komplikasi PJK
Adapun komplikasi PJK adalah:
1. Disfungsi ventricular
2. Aritmia pasca STEMI
3. Gangguan hemodinamik
4. Ekstrasistol ventrikel
Sindroma Koroner Akut
Elevasi ST Tanpa Elevasi ST
Infark miokard Angina tak stabil
Universitas Sumatera Utara
5. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
6. Syok kardiogenik
7. Gagal jantung kongestif
8. Perikarditis
9. Kematian mendadak (Karikaturijo, 2010).
2.8. Epidemiologi PJK
PJK merupakan penyakit tidak menular (noncommunacable disease) yang
tidak hanya menyerang laki-laki saja, namun wanita juga berisiko, meskipun
kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur > 65 tahun
ditemukan 20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita (Supriyono, 2008).
Penyakit jantung adalah penyakit negara maju atau negara industri, lebih
tepatnya, penyakit ini disebut sebagai penyakit masyarakat modern, dengan pola
hidup modern. Karena itu penyakit jantung tidak saja monopoli negara maju, tetapi
juga di negara yang sedang berkembang yang menunjukkan kecendrungan
peningkatannya sesuai dengan kecundrungan modernisasi masyarakatnya. Hal ini
disebabkan karena penyebab penyakit jantung berkaitan dengan keadaan dan perilaku
masyarakat maju misalnya tingginya stres, salah makan dan gaya hidup modern
seperti rokok dan minum alkohol yang berlebihan (Bustam, 2007).
Sementara itu PJPD di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia
cenderung meningkat sebagai modernisasi yang meniru gaya hidup negara sudah
berkembang. PJPD pada dasarnya bukanlah penyakit menular yang disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
suatu organisme tertentu, namun penularan penyakit ini melalui peniruan gaya hidup
sehingga penyakit ini ada yang menyebut sebagai ‘new communicable disease’.
Menurut WHO (1990), kematian karena PJPD adalah sebesar 12 juta jiwa pertahun,
sehingga dianggap sebagai pembunuh nomor satu umat manusia jika dibandingkan
dengan kematian yang disebabkan oleh penyakit lain seperti diare 5 juta jiwa, kanker
4,8 juta jiwa, dan TBC 3 juta jiwa/tahun. Padahal dikatakan bahwa PJPD ini adalah
suatu prevantable disease (penyakit yang dapat dicegah), di mana 50% kematian dini
dapat dicegah dengan upaya-upaya memodifikasi gaya hidup (Bustam, 2007).
Menurut PERKI (2004), PJPD saat ini menempati urutan pertama sebagai
penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh departeman kesehatan menunjukkan
bahwa PJPD memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian
pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Muttaqin, 2009).
2.9. Faktor Risiko PJK
Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua
atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat
dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi
dan DM. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin,
suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi
2.9.1.1 Keturunan
Fakta menyebutkan bahwa faktor keturunan telah lama dikenal memainkan
peran terhadap kejadian PJK, Sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Kristina
Sundquist dari Pusat Penelitian Perawatan Kesehatan Primer di Malmo (Swedia)
yang diterbitkan dalam American Heart Journal. Penelitian ini dimulai pada tahun
1973 sampai 2008, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah 80.214
responden yang diadopsi pada tahun ≤ 1932. Penelitian ini mengungkapkan bahwa
individu yang memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita PJK
memiliki risiko 40-60% terkena PJK jika dibandingkan dengan anak yang orang
tuanya tidak memiliki riawayat PJK, meskipun kedua orang tua angkatnya menderita
PJK. Kemudian Profesor Sundquist menyimpulkan bahwa hasil penelitian
menunjukkan bahwa risiko PJK tidak ditransfer melalui gaya hidup yang tidak sehat
dalam keluarga, melainkan melalui gen. Akan tetapi bukan berarti gaya hidup
seseorang bukanlah faktor risiko terhadap peningkatan kejadian PJK (Medical New
Today, 2011).
2.9.1.2 Umur
PJK berkembang semakin bertambahnya umur seseorang, Semakin bertambah
usia semakin besar kemungkinan untuk menderita PJK dan menderita serangan
jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko terkena PJK adalah 49% untuk laki-laki
dan 32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81% orang-orang yang meninggal
akibat PJK adalah ≥ 65 tahun. Data statistik ini melaporkan bahwa bertambahnya usia
Universitas Sumatera Utara
merupakan faktor risiko yang membuat orang-orang merasa agak tidak berdaya
dalam memerangi PJK (Garko, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delima dkk (2009), dengan
menggunakan studi kasus kontrol dengan tingkat kepercayaan 95% (CI 95%), jumlah
responden 661.165 orang, menyebutkan bahwa risiko menderita penyakit jantung
cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, risiko cenderung meningkat
hingga > 2,2 kali pada kelompok umur > 55 tahun, 2,49 kali pada kelompok umur >
75 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun.
2.9.1.3 Jenis Kelamin
American Heart Association (AHA) (2004), melaporkan bahwa 1 dari 3
wanita dewasa menderita PJPD, sejak tahun 1984 jumlah kematian akibat PJPD pada
perempuan lebih tinggi dari pada pada laki-laki. sekitar tiga juta wanita memiliki
riwayat serangan jantung akibat PJK. 38% wanita yang menderita serangan jantung
akan meninggal lebih awal dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan laki-laki
hanya 25%, meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih tua
daripada laki-laki, perempuan mungkin meninggal dalam beberapa minggu setelah
menderita PJK. Namun 64% dari wanita yang meninggal mendadak akibat PJK tidak
mengalami gejala sebelumnya. Peningkatan kejadian PJK pada wanita itu terjadi
setelah menopause dan kematian 2-3 kali lebih besar daripada wanita sebelum
menopause. Oleh karena itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap
PJK. Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung pertama akibat
PJK adalah usia 65,8 tahun sedangkan usia rata-rata untuk perempuan adalah 70,4
Universitas Sumatera Utara
tahun. Risiko PJK meningkat setelah umur > 40 tahun pada laki-laki yaitu 49% dan
perempuan 32%, meskipun kejadian PJK bagi perempuan lebih lambat 10-20 tahun
dari pada laki-laki, namun pada wanita yang lebih serius mengalami serangan jantung
dan kematian mendadak (Garko dan Michael, 2012).
Prevalensi penyakit jantung di Indonesia menunjukkan perempuan lebih
tinggi dari pada laki-laki. Hasil SKRT (2001) menunjukkan prevalensi penyakit
jantung pada populasi semua umur lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki
(4,9% vs 3,4%), hasil SKRT (2004), prevalensi penyakit jantung menurut gejala pada
populasi umur ≥ 15 tahun juga lebih tinggi pada perempuan (2,3% vs 1,3%), Bahkan
hasil penelitian tahun 1985 di masyarakat pedesaan di Kabupaten Semarang berbeda
dengan gambaran di rumah sakit saat itu, ternyata prevalensi penyakit jantung
iskemik pada wanita lebih tinggi dibanding laki-laki (Delima dkk, 2009).
2.9.1.4 Ras/Etnis
Studi statistik menunjukkan bahwa ras/etnis memiliki peran penting terhadap
kejadian PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang
Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia (Inggris)
dan Jepang (Asia Timur). Hal ini terjadi karena orang kulit hitam (terutama Afrika)
memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan
hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK (Garko dan
Michael, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.9.2 Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi
Adapun faktor risiko PJK yang dapat dimodifikasi adalah:
2.9.2.1 Merokok
Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan
serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan cara
menurunkan level kolesterol HDL (Hight density lifid). Semakin banyak merokok
semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti
merokok selama setahun maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan
jantung (Ramandika, 2012).
Menurut Depkes (2007), Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor
risiko terbesar pada penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001,
jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada
tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The
Global Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang
disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3%)
pelajar biasa merokok dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9% atau 3 diantara
10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. Data
Riskesdas tahun 2007 juga memperlihatkan tingginya prevalensi penduduk yang
merokok. Jumlah perokok aktif umur > 15 tahun adalah 35,4% (65,3% laki-laki dan
5,6% perempuan), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya
lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga
Universitas Sumatera Utara
mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Merokok dapat merubah
metabolisme khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu
dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh
yang besar terhadap terjadinya PJK (Arief, 2011).
Menurut laporan WHO (2002), tingkat merokok di Asia pada laki-laki (sekitar
> 40%) jauh lebih tinggi dari pada laki-laki di Barat (30-40%). Sebaliknya, tingkat
merokok di Asia pada perempuan (< 20%) jauh lebih rendah dibandingkan pada
wanita Barat (20-40 %). Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke dan PJK.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Korea dengan
menggunakan metode Prospektive Cohort Study dengan jumlah 648.346 laki-laki
Korea usia ≥10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
rokok yang dihisap perhari semakin tinggi risiko terjadinya PJK dan penyakit
penyakit lain yang ber hubungan dengan PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Hazart Rasio Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah pada Perokok
Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013
Dari gambar diatas maka dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan linier
yang kuat dari peningkatan risiko stroke iskemik, perdarahan subarachnoid dan MI
akibat dari banyaknya jumlah rokok yang dihisap per hari. Namun merokok tidak
berhubungan dengan perdarahan intraserebral. Dalam penelitian APCSC (Asia
Pacific Cohort Studies Collaboration) tahun 2005 dengan desain studi kohort dan CI
95% membandingkan antara perokok dengan bukan perokok, hasil penelitian tersebut
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan hasil resiko relatif (RR) 1,32 (1,24 -1.40) untuk stroke dan 1,60 (1,49-
1,72) untuk PJK. Ada hubungan dosis-respons yang jelas antara jumlah rokok dihisap
per hari dengan kejadian stroke dan PJK. Untuk mantan perokok, dibandingkan
dengan perokok saat ini dengan hasil RR 0,84 (0,76-0,92) untuk stroke dan 0,71
(0,64-0,78) untuk PJK, jadi dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa berhenti
merokok memiliki manfaat yang jelas (Hata dan Kiyohara, 2013).
Menurut penelitian Supriyono (2008), dengan design kasus kontol, dari hasil
analisisi bivariat menunjukkan bahwa kebiasaan merokok memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian PJK (p = 0,011), kebiasaan merokok juga berisiko untuk
terjadinya PJK pada usia > 45 tahun sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak
merokok (OR=2,4 ; 95% CI=1,3-4,5).
Penelitian Framingham dalam Anwar (2004), memaparkan bahwa kematian
mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan
perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih tinggi dari pada bukan perokok. Hal
ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan
menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merubah 5-10% Hb menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan
menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Efek merokok ini akan
berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan
hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses
aterosklerosis dari pada yang bukan perokok (Arief, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Ringkasnya, merokok merupakan faktor risiko untuk PJK dan stroke (stroke
iskemik) pada orang Asia. Karena tingkat merokok pada orang Asia jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan orang Barat, berhenti merokok sangat penting untuk
pencegahan PJPD di Asia (Hata dan Kiyohara, 2013).
2.9.2.2 Aktivitas Fisik
Aktifitas fisik dianjurkan terhadap setiap orang untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesegaran tubuh. Aktifitas fisik berguna untuk melancarkan peredaran
darah dan membakar kalori dalam tubuh (Hermansyah, 2012). Aktivitas fisik secara
teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan
pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan
dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan
secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Namun hampir
separuh penduduk (47,6%) kurang melakukan aktivitas fisik (Riskesdas Sumsel,
2007).
Latihan/olahraga merupakan suatu aktivitas aerobik, yang bermanfaat untuk
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan jantung, paru,
peredaran darah, otot-otot dan sendi-sendi. Suatu latihan olahraga yang dilakukan
secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tubuh kita. Latihan
fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan
mengubah tingkat kesegaran jasmani. Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko
PJK meskipun hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan (Salim dan Nurrohmah,
2013).
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Febriani (2011), Hariadi dan Ali (2005), menjelaskan bahwa
orang yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga beresiko lebih besar terkena PJK
daripada orang yang mempunyai kebiasaan olahraga, serta olahraga teratur bisa
mengurangi risiko PJK (Salim dan Nurrohmah, 2013).
Menurut penelitian Salim dan Nurrohmah (2013), di RSUD dr. Moewardi
menyebutkan bahwa responden yang tidak rutin melakukan olah raga berisiko
mengalami kejadian PJK 2.250 lebih besar dibandingkan dengan responden yang
rutin melakukan olah raga.
Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006),
Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan
yaitu:
1. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah
tinggi, DM dan lain-lain
2. Berat badan terkendali
3. Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat
4. Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional
5. Lebih percaya diri
6. Lebih bertenaga dan bugar
7. Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Rizki, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:
a. Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja
kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di
halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah
b. Lari ringan/jogging
c. Push-up
d. Naik turun tangga
e. Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)
f. Berkebun
g. Menimba air
h. Berkebun/bercocok tanam
i. Mencangkul
j. Bermain tenis
k. Bermain bulu tangkis
l. Bermain Sepak bola/basket/ volly
m. Senam aerobik
n. Berenang
o. Bersepeda
p. Latihan beban seperti dumble dan modifikasi lain
q. Mendaki gunung
r. Dan lainnya (Rizki, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.9.2.3 Diet
Diet dapat didefenisikan sebagai usaha seseorang dalam mengatur pola makan
dan mengurangi makan untuk mendapatkan berat badan yang ideal.
Diet terbagi 2 yaitu :
1. Diet sehat
2. Diet tidak sehat
Diet tidak sehat terbagi dua macam
a. Makanan Tinggi Lemak
Makan tinggi lemak sangat berhubungan dengan tingginya jumlah kolesterol
dalam darah. Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol
yang tinggi sehingga kadar kolesterol cenderung tinggi, sedangkan orang Jepang
umumnya berupa nasi, sayur-sayuran dan ikan sehingga orang Jepang rata-rata
memiliki kadar kolesterol rendah sehingga prevaleni PJK lebih rendah di Jepang dari
pada Amerika (Malau, 2011).
b. Kurang Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan
Menurut Reine (2005), Sayuran dan buah-buahan merupakan makanan
rendah kalori, kaya serat vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan (Dewi, 2013).
Perilaku makan sehat merupakan perilaku mengkonsumsi beberapa variasi kelompok
makanan yang direkomendasikan yaitu karbohidrat, protein, lemak, Sayuran dan
buah-biahan secara universal (Ogden, 2010). Data frekuensi dan porsi asupan sayuran
dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu
dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi
Universitas Sumatera Utara
sayuran dan buah-buahan apabila makan sayur dan atau buah minimal 5 porsi per
hari (400 g) selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila konsumsi
sayuran dan buah-buahan kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan,
penduduk umur > 10 tahun kurang konsumsi sayuran dan buah-buahan sebesar
97,0%. (Riskesdas Sumatera Selatan, 2007).
Riskesdas (2007), menyebutkan bahwa hanya 5,5 % warga Sumatera Utara usia
> 10 tahun yang mengonsumsi Sayuran dan buah yang mengandung serat sesuai
anjuran WHO (Starberita Medan, 2012).
Menurut Almatsier (2004), porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang
dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 150 – 200 gram dan porsi
buah yang dianjurkan sehari untuk dewasa adalah sebanyak 200-300 gram (Gustiara,
2012).
Dalam jangka panjang sedikit konsumsi sayuran dan buah-buahan dapat
menyebabkan penyakit kronis misalnya hipertensi, kanker, PJK, diabetes dan obesitas
(Ogden, 2010). Dalam penelitan studi meta-analisis, yang diterbitkan pada tahun
1992 dan 2004 menunjukkan bahwa konsumsi > 5 porsi buah dan sayuran/hari (>
391 g) menyebabkan 17% penurunan risiko PJK (p < 0,001). kemudian penelitian
serupa yang dilakukan He dkk (2007), dengan menggunakan metode studi meta-
analisis yang diterbitkan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi buah dan
sayuran > 5 porsi/hari akan menyebabkan penurunan risiko PJK sebesar 4% (Produse
for Better Health Foudatian, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Sejak studi meta-analisis diatas dipublikasikan maka Nikolic dkk (2008),
melakukan sebuah studi di Serbia dengan menggunakan metode kasus-kontrol yang
terdiri dari 290 responden (67% laki-laki dan 33% perempuan usia 23-79 tahun), dari
hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, subyek yang mengkonsumsi sedikit
sayuran (< 1 cawan per minggu p < 0,01) akan mengalami 3 kali kemungkinan lebih
tinggi terkena PJK jika dibandingkan dengan subjek yang mengkonsumsi lebih dari
satu cawan perhari dan untuk buah/jus buah, studi meta-analisis independen
menunjukkan bahwa orang yang mengkonsumsi sedikit buah/jus buah akan
mengalami 1,78 kali terjadinyan PJK (P < 0,05 , < 0.001) jika dibandingkan dengan
orang yang banyak mengkonsumsi buah/jus buah (>1 porsi perhari) (Produse for
Better Health Foudatian, 2011).
2.9.2.4 Dislipidemia (Kolestrol dalam Darah)
Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK,
kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh
arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak kemudian
mengalami aterosklerosis (Fuster dkk, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena
abnormal lipoprotein dalam darah, hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL dan
menurunnya HDL (Kumar dkk, 2010).
Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol
yang tinggi, sedangkan di negara-negara Asia, kolesterol total (TC) umumnya lebih
rendah dan kejadian PJK juga rendah. Namun dengan adanya industrialisasi dan
Universitas Sumatera Utara
urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol total pada negara-negara Asia
mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir. Misalnya, studi Hisayama di Japan
melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia (total kolesterol [TC] ≥ 5,7
mmol/L) meningkat dari 2,8% menjadi 25,8% pada pria dan dari 6,6% menjadi
41,6% pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan kolesterol di negara-negara
Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan makanan yang berlemak.
Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan informasi tentang
hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang dilakukan oleh Korean
National Health selama 11 tahun yang terdiri dari 787.442 pria dan wanita berusia
30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan peningkatan kejadian stroke
iskemik, MI, stroke hemoragik, seperti pada gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hyperdislipidemia
Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013.
Gambar diatas menggunakan design meta-analisis study dengan CI 95%,
menjelaskan bahwa peningkatan 1 mmol/L kolesterol maka HR akan menjadi 1,20
(1,16-1,24) untuk stroke iskemik, HR 0,91 (0,87-0,95) untuk stroke hemoragik dan
HR 1,48 (1,43-1,53) untuk infark. Penelitian APCSC dengan design studi kohort
selama 5,5 tahun dengan CI 95%, menjelaskan bahwa adanya hubungan TC
(kolesterol total) dengan kejadian PJPD dan menginformasikan bahwa peningkatan ≥
1 mmol/L akan menyebabkan terjadinya peningkatan risiko PJPD, dengan RR 1,35
(1,26-1,44), stroke iskemik fatal dan stroke iskemik non fatal dengan RR 1,25 (1,13-
Universitas Sumatera Utara
1,40), penurunan risiko stroke hemoragik fatal RR 0,80 (0,70-0,92 ) (Hata dan
Kiyohara, 2013).
Penelitan Hisayama di Jepang (2009), menunjukkan bahwa risiko terkena
infark pada otak nonembolic dan PJK megalami peningkatan pada responden dengan
LDL yang tinggi, tetapi tidak ada hubungan yang jelas dengan kejadian stroke
hemoragik. Penelitan arteriosklerosis yang dilakukan di Jepang pada tahun 2010
dengan mengunakan longitudinal cohort study melaporkan bahwa non–highdensity
lipoprotein (non- HDL) lebih dapat dipercaya sebagai prediktor untuk peningkatan
terjadinya MI akut dari pada TC, singkatnya, hiperkolesterolemia umumnya
merupakan faktor risiko untuk penyakit aterosklerotik seperti stroke iskemik dan MI
pada orang Asia. Karena prevalensi hiperkolesterolemia telah meningkat di Asia
selama setengah abad terakhir, oleh karena itu pentingnya manajemen kolesterol
untuk mencegah penyakit aterosklerosis di masa depan (Imamura dkk, 2009).
Menurut Yayasan Jantung Indonesia (2003), kadar kolesterol dikatakan tinggi
apabila kadar kolesterol total ≥ 240 mg/L.
Menurut laboratorium RS Islam Malahayati, kadar kolesterol dikatakan tinggi
apabila :
1. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl.
2. Kadar kolesterol LDL ≥ 160 mg/dl.
3. Kadar kolesterol HDL ≤ 55 mg/dl.
4. Kadar trigliserida > 150 mg/dl.
Universitas Sumatera Utara
2.9.2.5 Obesitas
Obesitas sudah menjadi sebuah epidemi di negara maju, ukuran objektif
obesitas biasanya dinilai dari nilai IMT, dimana ukuran international untuk obesitas
adalah IMT ≥ 30 kg/m 2, sedangkan untuk ukuran orang Asia obesitas didefinisikan
dengan nilai IMT ≥ 25 kg/m 2 (WHO/IOTF/IASO, 2011). Obesitas memiliki
hubungan yang erat dengan tingginya kejadian PJPD. Obesitas dapat meningkatkan
kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan jantung dan menurunkan kadar HDL
yang bersifat kardioprotektif (Nursalim, 2011). Selain itu, seiring meningkatnya
obesitas, maka hipertensi juga meningkat. Obesitas juga dapat menyebabkan
disfungsi diastolik dan berhubungan dengan memburuknya fungsi sistolik (Artham,
2009).
Berdasarkan data WHO (2008), prevalensi obesitas pada usia dewasa di
Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5% dan pada
perempuan 6,9%. Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk
Indonesia yang obesitas hanya 4,7% (±9,8 juta jiwa).Ternyata hanya dalam 8 tahun,
prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, Sehingga kita perlu
mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya hidup sekarang yang
semakin sedentary (santai dan bermalas-malasan) sebagai akibat dari kemudahan
teknologi. Obesitas merupakan faktor risiko terhadap kejadian PJPD. Kelebihan berat
badan mempengaruhi faktor resiko penyakit kardiovaskular seperti peningkatan level
LDL, trigliserida, tekanan darah, kadar gula darah dan menurunkan kadar HDL serta
meningkatkan resiko perkembangan PJK, gagal jantung, stroke dan aritmia.
Universitas Sumatera Utara
Mencapai dan menjaga berat badan yang sehat selama hidup merupakan salah satu
faktor utama untuk menurunkan resiko PJPD. (Dinkes Prov Yogyakarta, 2014).
Data dari Framingham (2008), menunjukkan bahwa apabila setiap individu
mempunyai berat badan optimal, maka akan terjadi penurunan kejadian PJK
sebanyak 25% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5%.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki
sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia (Malau,
2011).
Laporan FAO/WHO/UNU (1985), menyatakan bahwa batasan berat badan
normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di
Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh
(IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,
maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup lebih panjang penggunaan IMT berlaku untuk orang
yang berumur > 18 tahun (Lutfah, 2013).
Adapun rumus perhitungan IMT menurut Lutfah (2013) adalah sebagai
berikut:
IMT = Berat Badan (kg)Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)
Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap
PJK, berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan toleransi
Universitas Sumatera Utara
glukosa. Pada penelitiannya menunjukkan bahwa penderita yang memiliki IMT >25
lebih banyak yang menderita PJK dari pada kontrol (Arief, 2011).
2.9.2.6 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang
menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan
darah sistolik normal < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg (Fuster
dkk, 2010). menurut Eighth Joint National Committee (JNC VIII), tekanan darah
dikatakan tinggi apabila tekanan sistolik ≥ 140 dan diastolik ≥ 90 mmHg (Culpeper,
2013).
Menurut penelitian Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi
merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK. Prevalensi
hipertensi pada usia dewasa berjumlah 38,3% di Jepang, 27,7% di Cina, 23,7% di
Taiwan, 21,7% di Thailand, 23,8 % di India Utara (urban) dan 30,7% di India Barat
(daerah perkotaan). Prevalensi hipertensi di Jepang tampaknya lebih tinggi dari pada
di negara-negara Asia lainnya, tetapi sulit untuk membuat akurat perbandingan
karena metode untuk pengumpulan data dan pengukuran tekanan darah yang tidak
standar antara studi memeriksa masalah ini. Dalam hal apapun kita dapat
menyimpulkan secara kasar bahwa seperempat atau sepertiga dari populasi orang
dewasa di Asia memiliki hipertensi. Prehipertensi terbukti menjadi faktor predisposisi
untuk hipertensi di masa depan, dan lebih jauh lagi, sudah ada beberapa studi yang
telah menjelaskan hubungan langsung antara prehipertensi dan risiko PJK. Penelitain
APCSC lebih dari 7 tahun dengan jumlah responden yang cukup besar, mengunakan
Universitas Sumatera Utara
studi meta-analisis dari design 44 studi kohort dengan 600.000 responden dari Asia
(Cina, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand) dan
Oceania (Australia dan Selandia Baru) untuk mencari pengaruh tekan darah tinggi
terhadap kejadian stroke dan PJK. Penelitian ini menggunakan kategori tekan darah
normal (TDS (tekanan darah sistolik) < 120 mmHg dan TDD (tekanan darah
diastolik) < 80 mmHg ) , prehipertensi (TDS 120-139 mmHg dan TDD 80-89
mmHg), hipertensi diastolik terisolasi (TDS < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg ),
hipertensi sistolik terisolasi (TDS ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg ) dan hipertensi
sistolik-diastolik (TDS ≥ 140 mmHg dan TTD ≥ 90 mmHg ).
Gambar 2.5. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hipertensi
Sumber : Arima dkk, 2012
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar diatas dapat dipahami bahwa hazart rasio (HR) dari multivariabel
dengan CI 95%, maka kejadian PJK adalah 1,41 (1,31-1,53) untuk prehipertensi, 1,81
( 1,61-2,04 ) untuk hipertensi diastolik terisolasi, 2,18 ( 2,00-2,37) untuk hipertensi
sistolik terisolasi dan 3,42 (3,17-3,70) untuk hipertensi sistolik-diastolik jika
dibandingkan dengan tekanan darah yang normal. Dalam analisis yang lain, keadaan
prehipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
PJPD seperti stroke iskemik, stroke hemoragik dan PJK. Hisayama Study (2012)
melakukan penelitian dengan design cohort study selama 19 tahun yang dimulai pada
tahun 1988 dengan total responden 2.634 usia ≥ 40 tahun menggunakan standar JNC7
untuk klasifikasi tekanan darah dengan CI 95%, melaporkan bahwa adanya hubungan
antara tingkatan tekanan darah dengan kejadian PJPD dengan hasil RR 1,58 (1,11–
2,26) untuk penderita prehipertensi, 1,70 (1,18–2,44) pada responden yang memiliki
tekanan darah prehipertensi, 1,93 kali (1,37–2,72) pada responden yang menderita
hipertensi derajat satu, 2,78 (1,93–4,01) pada responden yang menderita hipertensi
derajat dua jika dibandingkan dengan responden yang tidak menderita hipertensi,
setelah dilakukan standarisari dari faktor perancu. Hipertensi lebih sering
megakibatkan stroke hemoragik dari pada stroke iskemik dan PJK. Temuan ini
menunjukkan bahwa tidak hanya hipertensi tetapi juga prehipertensi merupakan
faktor risiko penting untuk PJPD di Asia. Untuk itu modifikasi gaya hidup seperti diet
rendah garam, latihan fisik dan berhenti merokok dianjurkan untuk mengurangi
prevalensi prehipertensi dan hipertensi dimasa yang akan datang (Hata dan Kiyohara,
2013).
Universitas Sumatera Utara
2.9.2.7 Diabetes Melitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan
penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sehingga dapat ditentukan langkah yang
tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara
menuju DM, Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM, 1/3 tetap dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT seringkali
berhubungan dengan resistensi insulin, pada kelompok TGT ini resiko terjadinya
aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT seringkali berkaitan
dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) atau kadar glukosa
darah puasa (GDP) dengan puasa paling sedikit 8 jam, kemudian dapat diikuti dengan
tes toleransi glukosa oral (TTGO) stándar setelah pemberian glukosa 75 gr pada
orang dewasa atau 1,75 gr/kgBB untuk anak-anak, kemudian diperiksa kadar glukosa
darahnya setelah 2 jam pemberian glukosa (Gustaviani, 2006).
Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan
aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat
penyakit arterial. Pada satu penelitian Helsinki policeman study, menjelaskan bahwa
angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal.
Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
Universitas Sumatera Utara
lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis dan advanced glycation endproducts
(AGE) yang menggambarkan metabolisme abnormal pada DM yang berdampak pada
injuri endotelium (Ramandika, 2012).
Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit
pembuluh darah (Malau,2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa laki-
laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada
orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian
Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan
kejadian PJK (Arif, 2011).
Menurut data APCSC yang representatif (2007), prevalensi DM 2,6% di China,
3,1% di Mongolia, 4,3% di India, 5,1% di Taiwan, 6,4% di Filipina, 6,9% di
Malaysia, 5,7% di Indonesia, 8,2% di Singapura, 9,6% di Thailand, 9,7% di Hong
Kong dan 10,5% di Korea Selatan. Dalam penelitian Hisayama Study pada penduduk
Jepang dengan total 2.421 responden yang diikuti selama selama 14 tahun untuk
memperkirakan hubungan antara status toleransi glukosa dengan kejadian
peningkatan PJPD. Dalam penelitian tersebut, Status toleransi glukosa ditentukan
dengan kriteria WHO tahun 1998, yaitu:
1. Toleransi glukosa normal (puasa glukosa < 6.1 mmol/L dan 2 jam setelah makan <
7,8 mmol/L)
2. Gangguan glikemia puasa (6,1-6,9 mmol/L dan 2 jam setelah makan > 7,8
mmol/L)
3. Toleransi glukosa puasa terganggu < 7,0 mmol/L dan 2 hpg 7,8-11,0 mmol/L)
Universitas Sumatera Utara
4. Diabetes ≥ 7,0 mmol/L dan atau 2 HPG ≥ 11,0 mmol/L), Seperti ditunjukkan
dalam gambar 2.6
Gambar 2.6. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Diabetes Melitus
Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013
Menurut penelitian APCSC diikuti selama 5,4 tahun untuk mencari hubungan
antara DM dengan kejadian PJPD, status DM masing-masing peserta ditentukan
berdasarkan riwayat medis dengan menggunakan CI 95% maka nilai RR 2.02 (1,57-
2,59) untuk stroke fatal, 2.19 (1,81-2,66 ) untuk PJK Fatal, 2,09 (1,65-2,64) untuk
total (fatal dan nonfatal ) stroke dan 1,73 ( 1,34-2,22 ) untuk total PJK. Untuk semua
hasil adalah sama pada populasi Asia baik yang pesisir maupun non-pesisir.
Singkatnya, diabetes merupakan faktor risiko penting untuk stroke dan PJK pada
Universitas Sumatera Utara
populasi Asia. Penelitian APCSC menunjukkan bahwa hiperglikemia berhubungan
dengan peningkatan risiko PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).
2.10. Pencegahan PJK
Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis
semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari
penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk
berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari
pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun
terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik
setelah menderita serangan jantung (Martohusodo, 2007).
Penanggulanagan PJK baik dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain
belum memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah
yang paling penting untuk menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi
Pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha
menjaga agar orang tidak menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai
sejak dini, yaitu pada masa remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty
streat atau proses awal aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan
Pencegahan sekunder adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan
jantung dengan segala komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK.
Berhubung aterosklerosis pada arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko
seperti stres, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
dengan mengubah gaya hidup yang meterialistis, konsumtif dan hedonistis (Kabo,
2008).
Dalam pencegahan PJK ada 4 tingkatan yaitu:
2.10.1 Pencegahan Primordial (Pre Primary Prevention)
Pencegahan primordial adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
munculnya faktor predisposisi PJK pada suatu wilayah dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko PJK (Bustam, 2007). Dalam Noor (1997), Upaya
pencegahan primordial dapat berupa kebijaksanaan nutrisi nasional dalam sektor
agrokultural, industri makanan, impor dan ekspor makanan, penanganan konprehensif
rokok, pencegahan hipertensi dan promosi aktivitas fisik/olah raga (Nasution, 2012).
2.10.2 Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan PJK sebelum seseorang
menderita. Dilakukan dengan pendekatan komuniti berupa penyuluh faktor risiko
PJK terutama pada kelompok risiko tinggi. Pencegahan primer ditujukan kepada
pencegahan terhadap berkembangnya proses atherosklerosis secara dini (Bustam,
2007).
Untuk mencegah berkembangnya atherosklerosis maka ada hal yang harus
dilakukan yaitu:
1. Diet
Adapun metode diet yang benar adalah:
a. Baca label makanan dan minuman yang dibeli untuk menentukan pilihan
yang terbaik
Universitas Sumatera Utara
b. Minimalisir asupan makanan dan minuman yang menggunakan pemanis
tambahan
b. Batasi porsi makan
c. Pilih produk-produk non-fat
d. Kurangi penggunaan garam dalam makanan dan hindari makanan yang asin,
konsumsi makanan tinggi serat dan kaya antioksidan
e. Tingkatkan konsumsi kacang kedelai, kacang-kacangan, ikan Salmon,
alpukat, bawang putih, bayam, margarin dari minyak biji bunga kanola dan
teh
f. Konsumsi ikan sedikitnya dua kali seminggu.
2. Pola hidup sehat
1. Berolah raga secara teratur
2. Menjaga berat badan yang sehat
3. Mengurang jumlah alkohol
4. Hindari merokok dan asap rokok (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan
dan Kesehatan, 2009).
2.10.3 Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan pada penderita yang sudah
tekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini diperlukan perubahan
pola hidup (terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan) dan kepatuhan berobat
bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan tingkat ketiga ini ditujukan
untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas
Universitas Sumatera Utara
(Bustam, 2007). Untuk menghindari terjadinya penyakit yang lebih parah atau
komplikasi yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan penegakan diagnosa dengan
cepat dan tepat seperti:
2.10.3.1 Riwayat/Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat, tepat dan
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada atau rasa
tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA.
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
1. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial
2. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas dan dipelintir
3. Penjalaran ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula dan
dapat juga ke lengan kanan
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan lemas.
Berat ringannya nyeri bervariasi sehingga sulit untuk membedakan antara gejala
APTS/NSTEMI dan STEMI.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut,
gejala yang tidak tipikal seperti: rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak
nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita,
Universitas Sumatera Utara
penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien
dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi
kesalahan diagnosis (Departemen Kesehatan, 2006)
Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum Penderita PJK
No. Patogenesis Penamplian klinis 1 Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus,
biasanya lebih dari 20 menit
2 Angina pertama kali Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III
3 Angina yang meningkat
Angina semakin lama makin sering, semakin lama dan lebih mudah tercetus
Sumber : Departemen Kesehatan, 2006
2.10.3.2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak terkontrol,
anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi
lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan
gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit
vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan penderita PJK
(Depkes, 2006).
2.10.3.3 Pameriksaan Penunjang/Pemeriksaan Diagnostik PJK
Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan
penunjaung diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
a. EKG
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan
saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
1. Depresi segmen ST > 0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris
di sandapan prekordial.
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya
perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan
diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat
mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi
lebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori:
1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai
gelombang Q
2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam (Kulick,
2014).
b. Chest X-Ray (foto dada)
Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF (gagal jantung
kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014).
c. Latihan tes stres jantung (treadmill)
Universitas Sumatera Utara
Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan
untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama
jantung, dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami
penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST
pada hasil rekaman (Kulick, 2014).
d. Ekokardiogram
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar
jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari
dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang
bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima
terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo
Clinik, 2012).
e. Kateterisasi jantung atau angiografi
Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal dengan
memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh
darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi
jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal
sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk
mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu
kelainan (Mayo Clinik, 2012).
f. CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)
Universitas Sumatera Utara
Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner adalah
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan
arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama
CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut
sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito
lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium
ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinik, 2012).
g. Magnetic resonance angiography (MRA)
Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan
penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya
penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas
pemeriksaan kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012).
h. Pemeriksaan biokimia jantung (profil jantung)
Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan
dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama
dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai
prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard
dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar serum creatinine kinase (CK)
dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard, risiko yang
lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST namun mengalami peningkatan
nilai CKMB (Depkes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.10.4 Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat atau kematian. Pencegahan dalam tingkatan ini berupa
rehabilitasi jantung, program rehabilitasi jantung ditujukan kepada penderita PJK,
atau pernah mengalami serangan jantung atau pasca operasi jantung (Bustam, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.11 Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.7. Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Hikmawati,2011
Riwayat PJK Keluarga
Obesitas
Hipertensi
Diabetes melitus
Keadaan sosioekonomi
Gaya hidup
Kolesterol total >200 mg/dl
Kolesterol <50 mg/dl
Inaktivitas fisik
Pola diet tak sehat
Kolesterol LDL >130 mg/dl
Rasio kolesterol total HDL >5
Trigliserida ≥150 mg/dl
Dislipidemia
Riwayat pengguna kontrasepsi oral
Penyakit Jantung Koroner
Universitas Sumatera Utara
2.12 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis
beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah, kerangka konsep membahas
saling ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi
dinamika situasi atau hal sedang atau akan diteliti (Hidayat, 2009).
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini.
Faktor Risiko
Gambar 2.8. Kerangka Konsep
A. Faktor yang Dapat Dimodifikasi 1. Merokok 2. Aktivitas fisik 3. Diet 4. Dislipidemia 5. Obesitas 6. Hipertensi 7. Diabates Melitus
B. Faktor yang tidak Dapat Dimodifikasi 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Ras 4. Riwayat keluarga/ keturunan
Penyakit Jantung Koroner
Universitas Sumatera Utara