BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tanaman nangka ...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tanaman nangka ...
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus L)
Gambar 2.1 Tanaman nangka
Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus L) merupakan tanaman buah
yang berasal dari India dan menyebar luas ke berbagai daerah tropis,
terutama Indonesia. Tanaman nangka merupakan tanaman yang tergolong
kedalam jenis buah tahunan. Menurut Sunarjono (2008), ada dua macam
nangka yakni Artocarpus heterophyllus L yang biasa disebut nangka dan
Artocarpus champeden yang biasa disebut cempedak. Cempedak mempunyai
bulu kasar pada daunnya serta beraroma harum spesifik dan tajam, sedangkan
nangka tidak. Tanaman nangka memiliki nama berbeda-beda dan bervariasi
tergantung wilayah maupun daerahnya.
2.1.1 Nama tanaman
Nama asing : Jacfruit, jack (Inggris), nangka (Malaysia), liangka
(Filipina), peignai (Myanmar), khnaor (Kamboja),
mimiz, miiz hnang (Laos), khanun (Thailand), mit
(Vietnam) (Heyne, 1987).
Nama daerah : Nongko atau nangka (Jawa, Gorontalo), langge
(Gorontalo), anane (Ambon), lumasa/malasa
(Lampung), nanal atau krour (Irian Jaya), nangka
8
(Sunda dan Madura), kapiak (Papua Nugini), panah
(Aceh), pinasa, sibodak, nangka atau naka (Batak),
baduh atau enaduh (Dayak) (Rukmana, 1997).
2.1.2 Klasifikasi tanaman nangka menurut Syamsuhidayat dan Hutapea
(1991)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophyllus
2.1.3 Morfologi tanaman nangka
Pohon nangka memiliki tinggi 10-15 meter. Batangnya tegak, berkayu,
bulat, kasar dan berwarna hijau kotor. Bunga nangka merupakan bunga
majemuk yang berbentuk bulir, berada diketiak daun dan berwarna
kuning. Bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai yang
memiliki cincin, bunga jantan ada dibatang baru diantara daun atau
diatas bunga betina. Buah berwarna kuning ketika masak, oval, dan
berbiji coklat muda. Daun nangka tunggal, berseling, lonjong,
memiliki tulang daun yang menyirip, daging daun tebal, tepi rata,
ujung runcing, panjang 5-15 cm, lebar 4-5 cm, tangkai panjang kurang
lebih 2 cm dan berwarna hijau (Heyne, 1987). Menurut Rukmana
(1997) daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata,
tumbuh secara berselang-seling dan bertangkai pendek, permukaan
atas daun berwarna hijau tua mengkilap, kaku dan permukaan bawah
daun berwarna hijau muda. Bunga tanaman nangka berukuran kecil,
tumbuh berkelompok secara terususun dalam tandan, bunga muncul
dari ketiak cabang atau pada cabang-cabang besar.
9
2.1.4 Habitat dan penyebaran
Tanaman nangka merupakan jenis tanaman buah tropis yang
multifungsi dan dapat ditanam di daerah tropis dengan ketinggian
kurang dari 1000 meter diatas permukaan laut yang berasal dari India
Selatan. Tanaman nangka dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik
di daerah yang beriklim panas dan tropis. Nangka tumbuh dengan baik
di iklim tropis sampai dengan lintang 25o utara maupun selatan,
walaupun diketahui pula masih dapat berbuah hingga lintang 30o.
Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500
mm per tahun di mana musim keringnya tidak terlalu keras. Nangka
kurang toleran terhadap udara dingin, kekeringan dan penggenangan
(Rukmana, 2008).
2.1.5 Kandungan kimia
Hasil skrining fitokimia pada daun nangka menurut Sari (2012)
menunjukkan hasil positif terhadap senyawa flavonoid, saponin, dan
tanin. Serta didukung dengan penelitian oleh Adnyani et al., (2016)
daun nangka yang positif mengandung flavonoid sebagai antioksidan
dengan intensitas kandungan flavonoid yang sangat tinggi yaitu
khalkon, flavonon atau flavonol.
2.1.5.1 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa fenolik yang mempunyai
struktur dasar C6-C3-C6. Tiap bagian C6 merupakan cincin
benzena yang terdistribusi dan dihubungkan oleh atom C3
yang merupakan rantai alifatik yang bersifat polar sehingga
mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol dan metanol
(Redha, 2010). Flavonoid dikenal memiliki fungsi sebagai
antioksidan, antiinflamasi, antifungi, antiviral, antikanker, dan
antibakteri. Senyawa flavonoid yang telah diisolasi dan
10
diidentifikasi dari daun nangka (Artocarpus heterophyllus L),
yaitu isokuesertin (Sari, 2012).
2.1.5.2 Tanin
Menurut Sari et al., (2015) tanin merupakan senyawa
polifenol yang memiliki berat molekul besar yang terdiri dari
gugus hidroksi dan karboksil. Senyawa tanin terdiri dari dua
jenis yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
adalah senyawa fenol dengan berat molekul yang cukup
tinggi, mengandung gugus hidroksil dan kelompok lain yang
cocok (seperti karboksil) untuk membentuk kompleks yang
efektif dengan protein dan makro molekul yang lain dibawah
kondisi lingkungan tertentu yang telah dipelajari. Tanin
merupakan bentuk komplek dari protein, pati, selulosa dan
mineral (Stephanie, 2015).
2.1.5.3 Saponin
Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas
membentuk busa bila dikocok dalam air. Adanya saponin
dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit.
Saponin larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter
(Octaviani, 2009).
2.1.6 Kegunaan tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus L)
Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus L) telah diketahui secara
empiris banyak khasiatnya baik pada bagian daun, buah, biji buah,
getah dan kayu. Secara tradisional, daun nangka digunakan sebagai
pakan ternak. Buah mudanya (nangka muda) digunakan sebagai
sayuran. Nangka dilaporkan mengandung banyak senyawa antioksidan
sehingga baik untuk mencegah kanker dan juga baik digunakan
sebagai pemutih alami kulit. Senyawa antioksidan yang terkandung
11
dalam daun nangka mampu membantu tubuh melawan penuaan dini.
Seperti yang telah banyak diketahui, antioksidan menangkal radikal
bebas dalam tubuh sehingga penuaan dini dapat dicegah, selain itu
daun nangka memiliki kandungan flavonoid yang dapat menurunkan
kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan aktivitas antioksidan
dan meregenerasi sel pankreas (Roosdiana et al., 2009). Menurut
(Nasution & Rahmah, 2014) daun nangka dapat digunakan sebagai
pelancar ASI, borok, diare, dan luka. Bioaktifnya berkhasiat sebagai
antikanker, antivirus, dan antiinflamasi.
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). Simplisia atau herbal adalah
bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan
belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan
simplisia tidak lebih dari 60oC (Ditjen POM, 2008).
2.2.1 Menurut Depkes RI, Materia medika Indonesia simplisia dibedakan
menjadi tiga :
2.2.1.1 Simplisia nabati
Simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman,
eksudat tanaman atau gabungan antara ketiganya. Yang
dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu
sengaja dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat
berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan atau diisolasi dari tanamannya
(Depkes RI, 1995).
2.2.1.2 Simplisia hewani
12
Simplisia yang dapat berupa hewan utuh, bagian hewan atau
zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum
berupa bahan kimia. (Gunawan, 2010).
2.2.1.3 Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum
diolah atau yang telah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa zat kimia murni (Gunawan, 2010).
2.2.2 Proses pembuatan simplisia
Pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan, diantaranya yaitu
dimulai dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian
pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan
penyimpanan.
2.2.2.1 Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran
atau bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang,
daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus
dibuang. Tanah yang mengandung bermacam-macam mikroba
dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan
simplisia dan tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah
mikroba awal (Gunawan, 2010).
2.2.2.2 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian
dilakukan dengan air bersih, misalnya air dan mata air, air
sumur dan PDAM. Bahan simplisia yang mengandung zat
mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Gunawan,
2010).
13
2.2.2.3 Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk
memperoleh proses pengeringan, pengepakan, dan
penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan
maka semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat
waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga
menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat
yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi,
bau, rasa yang diinginkan (Melinda, 2014).
2.2.2.4 Pengeringan
Tujuannya untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik akan mencegah penurunan mutu atau perusak
simplisia. Air yang masih tersisa pada kadar tertentu dapat
merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik
lainnya. Proses pengeringan dapat menghentikan proses
enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang
dari 10%. Hal-hal yang perlu di perhatikan dari proses
pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara,
waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu yang
terbaik pada pengeringan adalah tidak melebihi 60oC, tetapi
bahan aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah menguap
harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya
30oC sampai 45
oC. Terdapat dua cara pengeringan yaitu
pengeringan alamiah alami (dengan sinar matahari langsung
atau dengan diangin-anginkan) dan pengeringan buatan
dengan menggunakan instrument (Melinda, 2014).
14
2.2.2.5 Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan
atau pengotoran-pengotoran lainnya yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering (Gunawan, 2010).
2.2.2.6 Penyimpanan
Simplisia perlu ditempatkan suatu wadah tersendiri agar tidak
saling bercampur dengan simplisia lain. Untuk persyaratan
wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia
adalah harus inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain,
tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari
cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan bahan aktif
dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air (Melinda, 2014).
2.3 Ekstrak dan ekstraksi
2.3.1 Ekstrak
2.3.1.1 Pengertian ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan kering, kental atau cair dibuat
dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, diluar
pengaruh cahaya matahari langsung (Soesilo, 1995). Ekstrak
kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Depkes RI,
2008). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani
dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
pelarut atau hampir semua pelarut di uapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 2000).
15
Menurut Syamsuni (2007) ekstrak di kelompokan atas dasar
sifatnya yaitu :
a. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi
semacam madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan
dingin dan dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah
sampai 30%.
c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi
kering dan mudah dituang. Sebaiknya memiliki kandungan
lembab tidak lebih dari 5%.
d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat sedemikiannya
sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian
ekstrak cair.
Menurut literatur lain, ekstrak ada tiga macam yaitu ekstrak
kering (siccum), kental (spissum) dan cair (liquidhum), yang
dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut
cara yang sesuai di luar pengaruh cahaya matahari langsung.
Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan
penyari yang digunakan air, etanol dan campuran air etanol
(Syamsuni, 2006).
2.3.2 Ekstraksi
2.3.2.1 Pengertian ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang
dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut
dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam
berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloida, flavonoida, dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang di kandung simplisia akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat
16
(Ditjen POM, 2000). Menurut Syamsuni (2006) ekstraksi
adalah suatu cara menarik satu atau lebih zat dari bahan asal
menggunakan suatu cairan penarik atau pelarut. Umumnya
ekstraksi dikerjakan untuk simplisia yang mengandung zat-zat
berkhasiat atau zat-zat lain untuk keperluan tertentu. Simplisia
yang digunakan umumnya sudah dikeringkan, tetapi kadang
simplisia segar juga digunakan. Simplisia dihaluskan terlebih
dahulu agar proses difusi zat-zat berkhasiatnya lebih cepat.
2.3.2.2 Tujuan ekstraksi
Menurut Saptoharjo (2003) untuk memisahkan suatu
komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut.
Tujuan utama ekstraksi ialah mendapatkan atau memisahkan
sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan
(concentrate) dari zat-zat yang tidak berfaedah agar lebih
mudah dipergunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa, pemakaian,
dan lain-lain) dan disimpan dibandingkan simplisia asal, dan
tujuan pengobatannya lebih terjamin (Syamsuni, 2006).
2.3.2.3 Macam-macam ekstraksi menurut Depkes RI (2000) pada
skripsi Fadhilaturrahmi (2015) yaitu :
a. Ekstraksi cara dingin terbagi dua, yaitu :
1) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan
pada suhu ruangan. Prosedurnya di lakukan dengan
merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam
wadah tertutup. Pengadukan yang dilakukan dapat
meningkatkan kecepatan ekstraksi. Kelemahan dari
maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang
cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat
17
menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang
dapat berpotensi hilangnya metabolit. Beberapa
senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika
kurang terlarut pada suhu kamar (27oC). Ekstraksi
secara maserasi dilakukan pada suhu kamar (27oC),
sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang
tidak tahan panas.
2) Perkolasi
Perkolasi merupakan proses mengekstraksi senyawa
terlarut dari jaringan selular simplisia dengan pelarut
yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya
dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai,
baik untuk ekstraksi pendahuluan maupun dalam
jumlah besar.
b Ekstraksi cara panas terbagi empat, yaitu :
1) Refluks
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah
ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan
diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu
alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak,
lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan
menguap, uap tersebut akan di embunkan dengan
pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif
dalam simplisia tersebut. Ekstraksi ini biasanya
dilakukan tiga kali dan setiap kali di ekstraksi selama
empat jam.
18
2) Soxhlet
Metode ekstraksi dengan prinsip pemanasan dan
perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya
pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan
tekanan antara di dalam dan di luar sel. Dengan
demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam
sitoplasma akan terlarut ke dalam pelarut organik.
Larutan itu kemudian menguap ke atas dan melewati
pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut
menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila
larutan melewati batas lubang pipa samping soxhlet
maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang
itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari
temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC.
4) Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada
temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam
penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC)
selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekokta
Dekok adalah infusa pada waktu yang lebih lama
(>300oC) dan temperatur sampai titik didih air.
19
2.4 Pelarut
2.4.1 Jenis pelarut
Menurut Fessenden (2009), hal yang perlu diperhatikan dalam proses
ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan
lebih mudah tertarik atau terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat
kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat
tiga golongan pelarut yaitu :
2.4.1.1 Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari tanaman.
Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya
walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan
tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu contoh pelarut polar
adalah air, methanol, etanol, dan asam asetat.
2.4.1.2 Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk
mendapatkan senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan.
Contoh pelarut semipolar adalah aseton, etil asetat, dan
kloroform.
2.4.1.3 Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini
baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali
tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk
mengekstrak berbagai jenis minyak. Contohnya adalah heksana
dan eter.
20
2.4.2 Macam-macam cairan penyari
Macam-macam cairan penyari menurut Fessenden (2009) yaitu :
2.4.2.1 Air
Termasuk yang mudah dan murah dengan pemakaian yang
luas, pada suhu kamar adalah pelarut yang baik untuk
bermacam-macam zat misalnya garam-garam alkaloida,
glikosida, asam tumbuh-tumbuhan, zat warna dan garam-garam
mineral.
2.4.2.2 Etanol
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap,
kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, klorofil,
lemak, malam, tanin, dan saponin. Etanol digunakan sebagai
penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh
dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya
baik, dan mudah bercampur dengan air. Untuk meningkatkan
penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air.
Perbandingan yang digunakan tergantung pada bahan yang
akan disari (Lestari, 2016). Etanol juga menyebabkan enzim-
enzim tidak bekerja termasuk peragian dan menghalangi
pertumbuhan jamur dan kebanyakan bakteri. Sehingga
disamping sebagai cairan penyari juga berguna sebagai
pengawet. Campuran air-etanol (hidroalkoholic menstrum)
lebih baik dari pada air sendiri.
2.4.2.3 Gliserinum (Gliserin)
Terutama dipergunakan sebagai cairan penambah pada cairan
menstrum untuk penarikan simplisia yang mengandung zat
samak. Gliserin adalah pelarut yang baik untuk tanin-tanin dan
hasil-hasil oksidanya, jenis-jenis gom dan albumin juga larut
21
dalam gliserin. Karena cairan ini tidak atsiri, tidak sesuai untuk
pembuatan ekstrak-ekstrak kering.
2.4.2.4 Eter
Sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat untuk
pembuatan sediaan obat dalam atau sediaan yang nantinya
disimpan lama.
2.4.2.5 Solvent Hexane
Cairan ini adalah salah satu hasil dari penyulingan minyak
tanah kasar. Pelarut yang baik untuk lemak-lemak dan minyak-
minyak. Biasanya di pergunakan untuk menghilangkan lemak
dari simplisia yang mengandung lemak-lemak yang tidak
diperlukan, sebelum simplisia tersebut dibuat sediaan galenik,
misalnya strychni, secale cornutum.
2.4.2.6 Acetonum
Tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam, pelarut
yang baik untuk bermacam-macam lemak, minyak atsiri,
damar. Baunya kurang enak dan sukar hilang dari sediaan.
Dipakai misalnya pada pembuatan capsicum oleoresin.
2.4.2.7 Chloroform
Tidak dipergunakan untuk sediaan dalam, karena efek
farmakologinya. Bahan pelarut yang baik untuk basa alkaloida,
damar, minyak lemak dan minyak atsiri.
2.5 Lotion
Menurut Rusdiana et al., (2007) lotion adalah salah satu sediaan kosmetik
perawatan kulit yang mengandung senyawa antioksidan. Lotion adalah
22
sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cair
yang ditujukan untuk penggunaan pada kulit (Ditjen POM, 2014).
2.6 Kulit
2.6.1 Struktur kulit secara struktural terdiri atas 3 lapisan yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis dan lapisan hipodermis.
2.6.1.1 Lapisan epidermis
Lapisan epidermis merupakan lapisan teratas dan terluar, dan
terdiri dari sel-sel mati yang menjadi datar dan tampak seperti
pengelupasan kulit (atau skuama). Sel-sel ini berisi lapisan
keratin yang kuat dan berikatan silang, pada bagian dalam
terikat pada lipid khusus, dan pada bagian luar membentuk
sawar anti-air yang kuat. Skuama akhirnya mengelupas
(Peckham, 2014).
2.6.1.2 Lapisan dermis
Lapisan dermis merupakan lapisan yang terletak diantara
lapisan epidermis dan subkutan. Lapisan ini lebih tebal
daripada lapisan epidermis. Di dalam dermis terdapat juga
folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran
keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung
pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak
yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit
(subkutan/hipodermis) (Tranggono & Latifah, 2007).
2.6.1.3 Lapisan subkutan atau hypodermis
Lapisan hipodermis terletak dibawah lapisan dermis. Terdiri
dari jaringan ikat longgar dan lemak. Lapisan ini terdiri dari
sebagian besar jaringan adipose dan merupakan tempat
penyimpanan lemak tubuh. Lapisan ini juga memiliki fungsi
sebagai pengikat kulit dengan permukaan di bawahnya,
23
menyerap guncangan dari benturan kulit, dan menyediakan
penyekatan suhu (Pack, 2007).
2.6.2 Fungsi kulit menurut Djuanda (2007)
2.6.2.1 Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik
atau mekanik (tarikan, gesekan, dan tekanan), gangguan
bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet), gangguan infeksi luar
dan gangguan kimia seperti zat-zat yang iritan).
2.6.2.2 Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda
padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap,
begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2,
CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian
pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi
oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme
dan jenis vehikulum.
2.6.2.3 Fungsi ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, asam urat,
urea, dan ammonia.
2.6.2.4 Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengeksresikan
keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah
kulit. Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit
berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu
suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi
24
penguapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu tubuh
dapat dijaga tidak terlalu panas.
2.6.2.5 Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutan sehingga kulit mampu mengenali rangsangan yang
diberikan. Rangsangan panas di perankan oleh badan ruffini di
dermis dan subkutan, rangsangan dingin di perankan oleh
badan krause yang terletak di dermis, rangsangan rabaan di
perankan oleh badan meissner yang terletak di papilla dermis,
dan rangsangan tekanan di perankan oleh badan paccini di
epidermis.
2.6.2.6 Fungsi kreatinisasi
Fungsi ini memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi
secara mekanis fisiologik.
2.6.2.7 Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal
dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan jumlah
serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan
warna kulit ras maupun individu.
2.6.2.8 Fungsi pembentukan atau sintesis vitamin D.
2.7 Radikal bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang memiliki elektron tidak
berpasangan dalam orbital terluarnya sehingga sangat reaktif terhadap sel
yang ada disekitarnya. Radikal ini cenderung mengadakan reaksi berantai
yang apabila terjadi di dalam tubuh akan dapat menimbulkan kerusakan-
kerusakan yang berlanjut dan terus menerus (Rosahdi et al., 2013). Reaksi ini
25
akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak di hentikan akan
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung koroner, serta
penyakit degeneratif lainnya (Muchtadi, 2013).
Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan terhadap serangan radikal bebas
terutama terjadi melalui peristiwa metabolisme sel normal dan peradangan.
Jumlah radikal bebas dapat mengalami peningkatan yang diakibatkan faktor
stress, radiasi, dan polusi lingkungan yang buruk menyebabkan sistem
pertahanan tubuh yang tidak memadai, sehingga tubuh memerlukan
tambahan antioksidan dari luar yang dapat melindungi dari serangan radikal
bebas (Budilaksono et al., 2014).
Menurut Fadhilaturrahmi (2015) mekanisme reaksi radikal bebas terbentuk melalui
tiga tahapan reaksi, yaitu :
2.7.1 Permulaan (Inisiasi, initiation) suatu radikal bebas.
Tahap awal terbentuknya radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).
2.7.2 Perambatan (Propagasi, propagation) reaksi radikal bebas.
Tahap perpanjangan radikal berantai, dimana terjadi reaksi antara suatu
radikal bebas dengan senyawa lain dan menghasilkan radikal baru
(Kumalaningsih, 2006).
2.7.3 Pengakhiran (Terminasi, termination) reaksi radikal bebas.
Tahap akhir, terjadi pengikatan suatu radikal bebas dengan radikal
bebas yang lain sehingga membentuk senyawa non radikal yang
biasanya kurang reaktif dari radikal induknya (Kumalaningsih, 2006).
2.8 Antioksidan
Menurut Kumalaningsih (2006) antioksidan adalah senyawa yang
mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada
molekul radikal bebas dan memutus reaksi berantai dari radikal bebas.
26
Antioksidan merupakan senyawa yang memiliki peranan penting dalam
menjaga kesehatan karena dapat menangkap molekul radikal bebas sehingga
menghambat reaksi oksidatif dalam tubuh yang merupakan penyebab
berbagai penyakit (Adawiah, 2015). Antioksidan atau senyawa penangkap
radikal bebas merupakan zat yang dapat menetralkan radikal bebas, atau
suatu bahan yang berfungsi mencegah sistem biologi tubuh dari efek
merugikan yang timbul dari proses ataupun reaksi yang menyebabkan
oksidasi berlebihan. Berdasarkan bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa
antioksidan mengurangi resiko terhadap penyakit kronis seperti kanker dan
penyakit jantung koroner (PJK) (Rosahdi et al., 2013).
2.8.1 Macam-macam antioksidan
Menurut Sayuti & Rina (2015), antioksidan tubuh dikelompokkan
menjadi tiga yakni :
2.8.1.1 Antioksidan primer
Berfungsi untuk mencegah pembentuk senyawa radikal baru
karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi
molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal
bebas ini sempat bereaksi. Contohnya adalah enzim
superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai
pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas.
2.8.1.2 Antioksidan sekunder
Berfungsi untuk menangkap senyawa serta mencegah
terjadinya reaksi berantai. Contohnya adalah vitamin E,
vitamin C dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-
buahan.
2.8.1.3 Antioksidan tersier
27
Memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan
radikal bebas. Contohnya enzim metionin sulfoksidan
reduktase untuk memperbaiki DNA pada inti sel.
Khasiat antioksidan untuk mencegah berbagai penyakit akibat pengaruh
oksidatif akan lebih efektif jika kita mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan yang kaya akan antioksidan daripada menggunakan antioksidan
tunggal. Hal ini mungkin dikarenakan oleh adanya komponen lain dan
interaksinya dalam sayur-sayuran dan buah-buahan yang berperan secara
positif (Silalahi, 2006). Pada bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan
berfungsi untuk mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan
pembuluh darah, penuaan dini, dan lain-lain (Sayuti, 2015).
Senyawa antioksidan alami tumbuhan adalah senyawa fenolik datau
polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, kumarin, tokoferol, dan
asam-asam organik. Senyawa polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi,
penangkap radikal bebas. Antioksidan alami yaitu antioksidan yang dapat
diperoleh dari tanaman atau hewan berupa vitamin C, tokoferol, β-karoten,
flavonoid dan senyawa fenolik (Kumalaningsih, 2006).
2.8.2 Antioksidan alami
2.8.2.1 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul
176,13 dengan rumus bangun C6H8O6, dengan titik lebur 190-
192o. Asam Askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0%
C6H8O6. Menurut Stephanie (2015) :
Pemerian : Serbuk atau hablur putih atau agak kuning,
tidak berbau, rasa asam, dalam larutan cepat
teroksidasi.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya.
Khasiat : Sebagai antiskorbut.
28
Gambar 2.2 Rumus bangun Vitamin C (Asam askorbat)
(Sayuti, 2015).
Asam Askorbat adalah antioksidan yang ditemukan pada
tumbuhan dan hewan karena manusia tidak mempunyai enzim
gulunolactone oxidase untuk memproduksi senyawa ini
sehingga vitamin C harus diperoleh dari luar. Menurut Hamid
et al., (2010) asam askorbat adalah agen pereduksi sehingga
dapat mengurangi oksigen reaktif.
2.8.2.2 Flavonoid
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan
senyawa C6C3-C6. Kelompok terbesar flavonoid memiliki ciri
adanya cincin piran yang menghubungkan rantai tiga-karbon
dengan salah satu dari cincin benzene. Senyawa ini merupakan
pereduksi yang baik karena mampu menghambat reaksi
oksidasi. Flavonoid pada tumbuhan berfungsi sebagai
pelindung terhadap serangan jamur ataupun radiasi sinar UV
yang dapat merusak tumbuhan, selain itu flavonoid juga
terlibat dalam proses fotosintesis, transfer energi dan respirasi
pada tumbuhan.
29
(1) (2) (3)
Gambar 2.3 Rumus bangun flavonoid (1) Flavon. (2)
Isoflavon. (3) Neoflavonoid. (Silalahi, 2006).
Senyawa ini adalah senyawa pereduksi yang dapat
menghambat reaksi oksidasi sehingga dapat dijadikan sebagai
antioksidan. Senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal
bebas karena mengandung gugus hidroksil (Stephanie, 2015).
2.8.2.3 Tokoferol (Vitamin E)
Tokoferol merupakan salah satu antioksidan yang terdapat
dalam tumbuhan.
Gambar 2.4 Struktur α-tokoferol (Siswanto et al., 2013).
Beberapa tokoferol ada yang terdapat dialam, salah satunya α-
tokoferol yang merupakan senyawa paling aktif secara
biologis (Silalahi, 2006). Aktivitas antioksidan dari α-
tokoferol dapat mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas,
anti aging dan sedang dilakukan penelitian lebih lanjut
30
mengenai efektivitasnya dalam pengobatan Alzheimer
(Yoshida et al., 2007).
2.8.2.4 Karotenoid
Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna
kuning, jingga atau merah jingga, mempunyai sifat larut dalam
lemak atau pelarut organik tetapi tidak larut dalam air. Salah
satu senyawa karotenoid adalah β-karoten, yaitu senyawa yang
akan dikonversikan menjadi vitamin A oleh tubuh sehingga
juga disebut sebagai pro-vitamin A (Kumalaningsih, 2006). β-
karoten mempunyai berat molekul 536,9 dengan rumus
molekul C40H56. Karakteristik β-karoten adalah hablur atau
serbuk berwarna coklat-merah atau merah kecoklatan, praktis
tidak larut dalam air, sedikit larut dalam sikloheksana, kurang
larut dalam etanol. β-karoten peka terhadap udara, panas dan
cahaya, terutama ketika dalam bentuk larutan.
Gambar 2.5 Rumus bangun β-karoten (Andreas & Astawan, 2008).
Sebagai antioksidan, β-karoten memperlambat fase inisiasi
radikal bebas sehingga dapat melindungi tubuh terhadap
berbagai penyakit, yaitu menghambat pertumbuhan sel kanker,
mencegah serangan jantung, mencegah katarak, serta
meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh (Silalahi, 2006).
2.8.2.5 Polifenol
31
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada
tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak
gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol memiliki spektrum
luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-
beda, hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa
tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya. Turunan
polifenol sebagai antioksidan dapat menstabilkan radikal
bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas. Polifenol merupakan komponen
yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan dalam
buah dan sayur (Stephanie, 2015).
2.9 Tinjauan bahan tambahan
2.9.1 Asam stearat
Asam stearat merupakan campuran asam organik padat yang diperoleh
dari lemak terdiri dari rantai hidrokarbon, berwujud keras, sedikit
berkilap, berupa padatan kristal atau serbuk berwarna putih maupun
kekuningan dan seperti lemak. Asam stearat memiliki titik leleh
>54oC, asam stearat mudah larut dalam kloroform, eter, etanol, dan
praktis tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi
dalam sediaan kosmetika (Puspita, 2012).
Menurut Puspita (2012) dalam formulasi untuk penggunaan topikal,
asam stearat berfungsi sebagai emulsifying agent dan solubilizing
agent. Emulsifier (pengemulsi) yang digunakan dalam pembuatan
lotion ini memiliki gugus polar maupun non polar secara bersamaan
dalam satu molekulnya sehingga pada satu sisi akan mengikat minyak
yang non polar dan di sisi lain juga akan mengikat air yang polar
sehingga zat-zat yang ada dalam emulsi ini akan dapat dipersatukan.
Suatu emulsi biasanya terdiri lebih dari satu zat pengemulsi karena
32
kombinasi dari beberapa zat pengemulsi akan menambah
kesempurnaan sifat fisik maupun kimia dari emulsi (Anggraini, 2017).
2.9.2 Trietanolamin
Gambar 2.6 Struktur molekul trietanolamin (Goskonda, 2009).
Trietanolamin atau TEA mempunyai rumus molekul N(C2H4OH)3
dengan berat molekul 149,188. Trietanolamin merupakan cairan tidak
berwarna atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau, atau
hampir tidak berbau, berupa cairan kental dan higroskopis serta
memiliki titik leleh 20-21oC. TEA dapat larut air dan etanol tetapi
sukar larut dalam eter. TEA ketika dicampurkan dengan asam lemak
seperti asam stearat atau asam oleat, TEA membentuk sabun dengan
pH sebesar 8, yang dapat berfungsi sebagai emulsifying agent untuk
menstabilkan emulsi dengan tipe M/A, pengatur pH dan pengemulsi
pada fase air dalam sediaan lotion dan merupakan bahan kimia organik
yang terdiri dari amino dan alkohol yang berfungsi sebagai
penyeimbang pH pada formulasi lotion. Biasanya konsentrasi yang
digunakan sebesar 2-4% v/v (Puspita, 2012).
2.9.3 Paraffin cair
Minyak mineral (Paraffin cair) adalah campuran hidrokarbon cair yang
berasal dari sari minyak tanah. Minyak ini merupakan cairan bening,
tidak berwarna, tidak larut dalam alkohol atau air, jika dingin tidak
berbau dan tidak berasa namun jika dipanaskan sedikit berbau minyak
33
tanah. Minyak mineral berfungsi sebagai pelarut dan penambah
viskositas dalam fase minyak. Paraffin cair juga disebut mineral oil
yaitu merupakan minyak kental yang transparan, tidak berwarna dan
tidak memiliki rasa. Memiliki titik didih >360oC dan larut dalam
aseton, benzene, kloroform, karbon disulfide eter, petroleum eter, serta
praktis tidak larut dalam air. Penggunaan paraffin cair pada emulsi
topikal yaitu 1,0% - 32,0%, biasanya digunakan pada emulsi minyak
dalm air M/A (Yovita, 2016).
Menurut Anggraini (2017) paraffin merupakan hidrokarbon yang jenuh
dan dapat mengikat atom hidrogen secara maksimal sehingga bersifat
tidak reaktif. Bahan ini memiliki kompatibilitas yang sangat baik
terhadap kulit. Minyak mineral mempunyai peranan yang khas sebagai
occlusive emolien. Emolien didefinisikan sebagai sebuah media yang
bisa digunakan pada lapisan kulit yang keras dan kering akan
mempengaruhi kelembutan kulit dengan adanya hidrasi ulang. Dalam
lotion, emolien yang digunakan memiliki titik cair yang lebih tinggi
dari suhu kulit. Fenomena ini dapat menjelaskan timbulnya rasa
nyaman, kering, dan tidak berminyak bila lotion dioleskan pada kulit.
Kisaran penggunaan pelembut adalah 0,5-15%.
2.9.4 Setil alkohol
Setil alkohol (C16H33OH) merupakan butiran atau serpihan yang
berwarna putih licin, berbentuk serpihan lilin, berbau khas lemak,
granul, dan melebur pada suhu 45-52°C (Puspita, 2012). Setil alkohol
larut dalam etanol dan eter, tidak larut dalam air, larut dalam sebagian
sebagian air dan tercampur ketika dilelehkan dengan lemak, paraffin
cair atau padat. Pada lotion digunakan sebagai emollient (pelembut),
water-absorbtive, dan emulsifying artinya berfungsi sebagai
pengemulsi, penstabil, dan pengental. Alkohol dengan bobot molekul
tinggi seperti setil alkohol, dan gliseril monostearat digunakan
34
terutama sebagai zat pengental dan penstabil untuk emulsi minyak
dalam air dari lotion (Yovita, 2016).
2.9.5 Gliserin
Gambar 2.7 Struktur molekul gliserin (Nunez & Medina, 2009).
Menurut Anggraini (2017) gliserin (C3H8O3) disebut juga gliserol atau
gula alkohol, merupakan cairan yang kental, jernih, tidak berwarna,
sedikit berbau, dan mempunyai rasa manis. Gliserin larut dalam
alkohol dan air tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Gliserin tidak
hanya berfungsi sebagai humektan tetapi juga berfungsi sebagai
pelarut, penambah viskositas, dan perawatan kulit karena dapat
melumasi kulit sehingga mencegah terjadinya iritasi kulit. Gliserol
larut pada air, metanol, etanol, sehingga praktis tidak larut pada
minyak dan kloroform serta memiliki titik leleh 17,8oC (Yovita, 2016).
Bahan ini ditambahkan ke dalam sediaan kosmetik untuk
mempertahankan kandungan air produk pada permukaan kulit saat
pemakaian. Humektan berpengaruh terhadap kulit yaitu melembutkan
kulit dan mempertahankan kelembaban kulit agar tetap seimbang.
Humektan juga berpengaruh terhadap stabilitas lotion yang dihasilkan
karena dapat mengurangi kekeringan ketika produk disimpan pada
suhu ruang. Komposisi gliserin yang digunakan pada formula berkisar
310%. Gliserin diperoleh dari hasil samping industri sabun atau asam
lemak dari tanaman dan hewan (Anggraini, 2017).
35
2.9.6 Metil paraben
Gambar 2.8 Struktur molekul metil paraben (Haley, 2009).
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba
dalam kosmetik, dan formulasi farmasi dan digunakan baik sendiri
atau kombinasi dengan paraben lain atau dengan antimikroba lain.
Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet yang paling sering
digunakan. Metil paraben memiliki bentuk Kristal atau serbuk kristal,
metil paraben tidak berwarna serta tidak berbau (Puspita, 2012). Metil
paraben meningkatkan aktivitas antimikroba dengan panjangnya
rantai alkil, namun dapat menurunkan kelarutan terhadap air,
sehingga paraben sering dicampur dengan bahan tambahan yang
berfungsi meningkatkan kelarutan. Kemampuan pengawet metil
paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Rowe et
al., 2009). Metil paraben merupakan pengawet yang larut baik dalam
minyak, propilen glikol, dan dalam gliserol. Metil paraben digunakan
sebagai pengawet dalam sediaan topikal dalam jumlah 0,02-0,3%
(Ameliana dan Winarti, 2011).
2.9.7 Pewangi
Penambahan pewangi pada produk merupakan upaya agar produk
mendapatkan tanggapan yang positif. Pewangi sensitif terhadap panas,
oleh karenanya bahan ini ditambahkan pada temperatur rendah. Jumlah
pewangi yang ditambahkan harus serendah mungkin yaitu berkisar
36
antara 0,1-0,5%. Pada proses pembuatan lotion pewangi dicampurkan
pada suhu 35˚C agar tidak merusak emulsi yang sudah terbentuk
(Anggraini, 2017).
2.9.8 Aquadest
Air merupakan komponen yang paling besar persentasinya dalam
pembuatan lotion. Air yang digunakan dalam pembuatan lotion
merupakan air murni yaitu air yang diperoleh dengan cara
penyulingan, proses penukaran ion dan osmosis sehingga tidak lagi
mengandung ion-ion dan mineral. Air murni hanya mengandung
molekul air saja dan dideskripsikan sebagai cairan jernih, tidak
berwarna, tidak berasa, memiliki pH 5,0-7,0 dan berfungsi sebagai
pelarut (Anggraini, 2017).
Pada pembuatan lotion, air merupakan bahan pelarut dan bahan baku
yang tidak berbahaya, tetapi air mempunyai sifat korosi. Air yang
digunakan juga dapat mempengaruhi kestabilan dari emulsi yang
dihasilkan. Pada sistem emulsi air juga berperan penting sebagai
emolien yang efektif (Anggraini, 2017).
2.10 Evaluasi sediaan lotion ekstrak daun nangka
2.10.1 Pengujian Organoleptik
Pengamatan dilihat secara langsung bentuk, warna, dan bau dari
lotion secara visual (Karina, 2014).
2.10.2 Pengujian Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui
tercampurnya bahan-bahan sediaan lotion (Juwita et al., 2013).
Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara sampel lotion
dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok,
37
sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat
adanya butiran kasar (Karina, 2014).
2.10.3 Pengujian Daya Sebar
Evaluasi daya sebar dilakukan untuk mengetahui luasnya penyebaran
lotion pada saat dioleskan di kulit. Lotion yang mempunyai kualitas
baik harus mempunyai daya sebar yang cukup, semakin besar daya
sebar formula lotion maka pelepasan efek terapi yang diinginkan di
kulit semakin cepat (Rahman, 2008). Pemeriksaan daya sebar sediaan
lotion dilakukan dengan menekan dua lempengan kaca pada 0,5 g
sediaan, diukur daya sebarnya pada permukaan kaca pada tiap
penambahan beban, yaitu sebesar 50, 100, 150, dan 200 g. Dihitung
diameter penyebaran formula yang diambil dari panjang rata-rata
diameter dari beberapa sisi (Nugraha, 2012).
2.10.4 Pengujian Daya Lekat
Uji Daya Lekat dilakukan dengan cara letakkan lotion (secukupnya)
diatas kaca objek yang telah ditentukan luasnya. Letakkan objek glass
yang lain diatas lotion tersebut tekanlah dengan beban 1 kg selama 5
menit. Kaca objek diletakkan pada alat uji berupa beban 80 g yang
digantungkan pada salah satu kaca objek. Pencatatan waktu mulai
dilakukan ketika kedua kaca objek terlepas (Nugraha, 2012). Uji daya
lekat penting untuk mengevaluasi lotion dengan kelengketan dapat
diketahui sejauh mana lotion dapat menempel pada kulit sehingga zat
aktifnya dapat diabsorbsi secara merata. Syarat untuk daya lekat
pada sediaan topikal pada penelitian sebelumnya disebutkan
adalah tidak kurang dari 4 detik (Sari et al., 2015).
2.10.5 Pengujian pH
Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui berapa nilai keasaman dari
sediaan kosmetik yang dibuat, menentukan pH sediaan lotion yang
38
sesuai dengan pH kulit dan syarat rentang pH produk pelembab kulit
agar tidak mengiritasi kulit saat pemakaian. Berdasarkan SNI 16-
43991996 bahwa nilai pH produk pelembab kulit disyaratkan berkisar
antara 4,5-8,0 (Rahayu, 2016). Pengujian pH dilakukan dengan
menggunakan pH meter digital yang dicelupkan ke dalam sediaan
lotion (Karina, 2014).
2.11 Kerangka konsep
Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari
hal-hal khusus, serta model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana
seorang peneliti menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap
penting dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).
Gambar 2.9 Kerangka Konsep
Formulasi dan Uji Sifat Fisik Lotion dari Ekstrak
Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus L)
a. Pengujian Organoleptik
b. Pengujian Homogenitas
c. Pengujian daya sebar
d. Pengujian daya lekat
e. Pengujian pH
Sesuai dengan
persyaratan
Tidak Sesuai dengan
persyaratan