BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68289/potongan/S1-2013...1 BAB I PENDAHULUAN...

16
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Peradaban manusia tidak pernah lepas dari mobilisasi. Seiring dengan kemajuan informasi, pengetahuan, dan teknologi, semakin beragam pula jenis kebutuhan manusia yang hanya mempu dipenuhi dengan jarak jangkauan yang luas serta frekuensi pergerakan yang tinggi. Perkembangan peradaban diiringi dengan perkembangan metoda transportasi. Terbukti dari berbagai prasasti sejarah yang menunjukkan pemanfaatan berbagai sarana dan sumber daya. Dimulai dari penggunaan tenaga manusia (seperti tandu, gerobak dorong), hewan (kuda, keledai, gajah) hingga berkembang menjadi kendaraan bermesin (mobil, pesawat, kapal). Menurut catatan sejarah, transportasi darat merupakan metoda transportasi yang paling awal berkembang dan paling banyak digunakan oleh manusia. “95% perjalanan penumpang dan barang menggunakan moda transportasi darat” (Ditjen Perhubungan Darat, Masterplan Transportasi Darat, 2005) Sayangnya, jarak jangkau kendaraan tidak diimbangi dengan ketahanan fisik manusia yang mengendarainya. Tingkat kelelahan manusia, disamping juga faktor kerusakan kendaraan, memicu berbagai efek lanjutan yang kadang berakibat kematian. Kemajuan teknologi industri dan perubahan pola hidup manusia turut memberi dampak pada jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat. Biaya produksi yang sebanding dengan teknologi yang ditawarkan membuat produsen kendaraan bermotor menjadi sangat kompetitif dalam menawarkan kelebihan produk di tiap lapisan masyarakat.

Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68289/potongan/S1-2013...1 BAB I PENDAHULUAN...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Peradaban manusia tidak pernah lepas dari mobilisasi. Seiring dengan

kemajuan informasi, pengetahuan, dan teknologi, semakin beragam pula jenis

kebutuhan manusia yang hanya mempu dipenuhi dengan jarak jangkauan yang

luas serta frekuensi pergerakan yang tinggi.

Perkembangan peradaban diiringi dengan perkembangan metoda

transportasi. Terbukti dari berbagai prasasti sejarah yang menunjukkan

pemanfaatan berbagai sarana dan sumber daya. Dimulai dari penggunaan tenaga

manusia (seperti tandu, gerobak dorong), hewan (kuda, keledai, gajah) hingga

berkembang menjadi kendaraan bermesin (mobil, pesawat, kapal).

Menurut catatan sejarah, transportasi darat merupakan metoda

transportasi yang paling awal berkembang dan paling banyak digunakan oleh

manusia. “95% perjalanan penumpang dan barang menggunakan moda

transportasi darat” (Ditjen Perhubungan Darat, Masterplan Transportasi Darat,

2005)

Sayangnya, jarak jangkau kendaraan tidak diimbangi dengan ketahanan

fisik manusia yang mengendarainya. Tingkat kelelahan manusia, disamping juga

faktor kerusakan kendaraan, memicu berbagai efek lanjutan yang kadang

berakibat kematian.

Kemajuan teknologi industri dan perubahan pola hidup manusia turut

memberi dampak pada jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat.

Biaya produksi yang sebanding dengan teknologi yang ditawarkan membuat

produsen kendaraan bermotor menjadi sangat kompetitif dalam menawarkan

kelebihan produk di tiap lapisan masyarakat.

2

Tabel 1. 1 Jumlah Kendaraan Bermotor Provinsi DIY Tahun 2011

(Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2012)

JENIS KENDARAAN

JUMLAH

UNIT PRESENTASE

mobil penumpang 138.987 8,56%

mobil barang 45.317 2,80%

bus 11.006 0,68%

sepeda motor 1.423.147 87,93%

TOTAL 1.618.457

(naik 8,76% dari th 2010)

(Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DIY. “DIY Dalam Angka 2011”. 2012)

Terutama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan data yang

dihimpun BPS tahun 2012, jumlah sepeda motor yang terdaftar (87,93%) jauh

melampaui jumlah kendaraan yang lain. Dan total jumlah kendaraan naik

sebanyak 8,76% dibandingkan tahun 2010. Peningkatan jumlah kendaraan

terdaftar mengindikasikan pula peningkatan jumlah kendaraan yang beroperasi

di jalan.

Perkembangan jumlah kendaraan tersebut diimbangi dengan

perkembangan jumlah kecelakaan akibat faktor manusia dan kendaraan.

Hubungan tersebut didasari oleh statistik laporan jumlah kecelakaan per tahun

yang telah dihimpun Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Diperkirakan jumlah kecelakaan tersebut sesungguhnya lebih besar, mengingat

kemungkinan terjadinya kasus yang tidak dilaporkan (under reporting accident).

Statistik jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa

3

Yogyakarta, yang diklasifikasikan berdasarkan area kecelakaan, fatalitas, dan

jenis kendaraannya, beserta analisanya, dapat dilihat di lampiran 4.

Menurut Iptu Sigit Purnomo, Kanit Laka Polres Kulon Progo, tingkat

kecelakaan bukan dilihat dari jumlah kecelakaan, melainkan presentase antara

fatalitas dengan jumlah kecelakaan. Semakin besar angkanya, berarti semakin

berbahaya.

Dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo menempati urutan terakhir dalam total

jumlah kecelakaan (380 peristiwa). Namun, dilihat dari fatalitas dan jenis

kendaraannya, Kabupaten Kulon Progo menempati peringkat ke – 4 korban

meninggal (75 peristiwa), peringkat ke – 4 korban luka berat (27 peristiwa),

peringkat ke – 3 korban luka ringan (695 peristiwa), dan peringkat ke – 4

kecelakaan mobil (45 peristiwa).

Penyebab kasus berbagai kecelakaan lalu – lintas tersebut beraneka

ragam, mengingat luasnya lingkup masalah dalam kegiatan berlalu – lintas setiap

individu. Mulai dari faktor fisik dan psikologis pengendara, kelayakan kendaraan,

kualitas sarana dan prasarana lalu – lintas, maupun faktor tak terduga seperti

cuaca dan bencana alam.

Hal serupa diungkapkan oleh Agum Gumelar, mantan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia, dalam harian Kompas tanggal 30 November

2003. Beliau menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu

lintas dan angkutan jalan adalah 86% dipengaruhi oleh kesalahan pengemudi,

baru kemudian keterampilan, disiplin, perilaku dan ekonomi. Penyebab

kecelakaan berikutnya adalah 7% disebabkan oleh prasarana jalan, antara lain

geometri, rambu, medan atau marka, jarak pandang serta pekerja jalan. 4%

kecelakaan disebabkan oleh kelaikan kendaraan, standar keselamatan, prosedur

pengangkutan serta prosedur perjalanan, 3% lainnya akibat faktor cuaca.

4

Sedangkan menurut penuturan Kepala Pusat Data Ops Ketupat Polres

Kulonprogo, Iptu Sutarno, dalam http://m.seputar-indonesia.com tanggal 6

September 2011 yang diakses tanggal 16 April 2013 pukul 20.27, penyebab

kecelakaan lalu – lintas di Kulon Progo, terutama saat mudik lebaran yaitu faktor

kelelahan. Menurut beliau, Kulon Progo memang merupakan titik lelah

perjalanan dari Jakarta, Bogor, Bandung, dan lainnya.

Faktor lelah sebagai salah satu penyebeb kecelakaan sudah dibuktikan

melalui riset. Pada tahun 2005, Departemen Perhubungan melakukan sebuah

riset, yang hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lelah dapat menimbulkan resiko

kecelakaan. (Ditjen Perhubungan Darat, Buku Petunjuk Tata Cara Berlalu Lintas

(Highway Code) di Indonesia, 2005).

Hubungan antara keselamatan berlalu – lintas dan kondisi lelah bahkan

diatur secara hukum. Undang Undang no. 22 Tahun 2009 pasal 90 ayat (3)

menyebutkan, “Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan

Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat

setengah jam.” Aturan lain mengenai pencegahan kecelakaan dari faktor lelah

diatur dalam pasal 90 mengenai Waktu Kerja Pengemudi.

Sebuah penelitan pada awal 1979 Afrika Selatan bahkan menyarankan

pengemudi untuk beritirahat ± 10 menit setiap jam, selain arahan lain membawa

teman mengemudi untuk mengatasi rasa bosan dan mengecek kondisi

kendaraan (Clark, 1979).

Di negara lain pun, hubungan rasa lelah dengan resiko kecelakaan sudah

dikaji secara mendalam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya

berbagai lembaga riset lalu – lintas, penelitian mengenai kecelakaan, dan

berbagai masterplan keselamatan berlalu – lintas. Beberapa contohnya seperti

“Rest Area – Reducing Accidents Involving Driver Fatigue” oleh UC Berkeley

Traffic Safety Center dan “Highway Design Manual” oleh California Department

of Transportation.

5

Bisa disimpulkan bahwa pihak – pihak terkait, yaitu pemerintah dan

berbagai badan riset independen, sudah mengamati pentingnya fasilitas

penunjang keselamatan lalu – lintas, dalam hal ini mengenai hubungannya

dengan suatu area peristirahatan bagi pengendara. Maka dari itu dibutuhkan

suatu desain fasilitas umum untuk menunjang kepentingan tersebut.

I.1.1. Rest Area

Gambar 1. 1 Foto Satelit Daerah Pembangunan Rest Area Provinsi DIY (Sumber: GoogleEarth, tanggal citra 9 Mei 2007; analisa penulis, 2013)

Menurut Perda DIY nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah tahun 2009 – 2029 Pasal 14 (4) disebutkan, ”Arahan

pengembangan pada jalan arteri/kolektor primer ditetapkan rest area di

Tempel dan Kalasan Kabupaten Sleman, Temon Kabupaten Kulon Progo

dan Bunder Kabupaten Gunungkidul.”

Dilihat dari rencana tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa

pemerintah daerah melihat pentingnya membangun sebuah rest area

berskala provinsi untuk menunjang pengembangan fasilitas jaringan jalan.

Mungkin pula disertai kebutuhan lain seperti peningkatan nilai ekonomi,

6

pengenalan budaya, promosi pariwisata, atau peluang di sektor lain yang

dapat turut diraih dalam nilai strategis rest area.

Dalam undang – undang yang sama, pemerintah daerah

mengartikan rest area sebagai,

“… tempat istirahat bagi pengemudi setelah menempuh waktu perjalanan tertentu. Di rest area ini tersedia fasilitas yang diperlukan baik bagi kendaraan maupun pengemudi.”

Dari pandangan pemerintah daerah mengenai rest area ideal

tersebut, dapat dilihat 3 poin utama, yang memiliki tingkat kepentingan

yang sama, yaitu:

Tempat istirahat

Menjadi tempat bagi pengemudi dalam mengembalikan

kondisi tubuh yang prima untuk melanjutkan perjalanan.

Fasilitas bagi kendaraan

Kondisi kendaraan dapat dimaksimalkan kembali melalui

pelayanan dan fasilitas yang tepat.

Fasilitas bagi pengemudi

Tersedia berbagai kebutuhan pengemudi, baik kebutuhan non-

fisik (informasi, hiburan, tempat ibadah) maupun fisik

(makanan, toilet).

Namun begitu, tentu saja besar kemungkinannya setiap badan

riset ataupun negara memiliki pandangan berbeda mengenai poin utama

dari sebuah rest area. Akan lebih mudah bila melakukan generalisasi dari

pendapat – pendapat tersebut, mengingat peran umum yang sama dari

sebuah rest area, untuk mengurangi tingkat kecelakaan lalu – lintas.

I.1.2. Desa Sindutan, Kecamatan Temon, Kulonprogo, DIY, Indonesia

Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari Provinsi Daerah

Istimewa Jogjakarta, dengan luas keseluruhan wilayah sebesar 58.627,5

7

Ha. Secara geografis berada di tepi paling barat provinsi Daerah Istimewa

Jogjakarta, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat dan

utara, Kabupaten Bantul dan Sleman di sebelah timur serta Samudra

Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 1).

Kecamatan Temon adalah kecamatan yang terletak di barat daya

Kabupaten Kulonprogo. Secara administratif, Temon membawahi 13

desa. Menurut data dari Bappeda tanggal 5 Desember 2012, jumlah

penduduk yang terdaftar di kecamatan Temon sebanyak 33.827 jiwa, di

dalam luas wilayah sebesar 3.629,09 Ha. Dikenal sebagai kecamatan yang

berbatasan langsung dengan kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa

Tengah. Pandangan tersebut dikarenakan terdapat tugu batas provinsi

antara provinsi DIY dengan provinsi Jawa Tengah yang menjulang di

kanan – kiri jalan.

Desa Sindutan merupakan desa yang secara administratif berada

di Kecamatan Temon, merupakan desa yang berada di bagian barat

kabupaten Kulonprogo. Meskipun bukan desa terbarat dari provinsi

Yogyakarta maupun hanya salah satu dari sekian banyak desa yang

berbatasan dengan Purworejo, namun desa Sindutan merupakan desa

paling barat yang dilewati jalan raya Wates yang merupakan jalur utama

kota Yogyakarta – Purworejo. Berdasarkan hal itu maka muncul

pandangan bahwa desa Sindutan menjadi batas terbarat dalam

perjalanan dari provinsi Yogyakarta.

Dalam lembaran nomor 2 Peraturan Daerah Kabupaten Kulon

Progo nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah tahun 2011 – 2016, dijelaskan mengenai isu strategis

kabupaten Kulon Progo. Dalam bab IV “Analisis Isu – Isu Strategis”

disebutkan salah satu poinnya yaitu “posisi strategis sebagai pintu

gerbang DIY bagian barat.”

8

Bisa dikatakan, Kabupaten Kulon Progo, terutama desa Sindutan,

kecamatan Temon, merupakan “wajah” provinsi DIY dari arah barat. Hal

ini tercermin dari ungkapan Farhamsyah Muhammad, ketua Himpunan

Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Sebagai wajah atau citra, maka

muncul berbagai potensi dan masalah yang berhubungan dengan citra

dan kelangsungan berbagai sektor kehidupan provinsi DIY.

Sehubungan dengan peran Kabupaten Kulon Progo sebagai batas

barat Provinsi DIY yang berbatasan langsung dengan Kabupaten

Purworejo Provinsi Jawa Tengah, maka wajar bila terdapat jalan kolektor

utama yang menjadi jalur antarkabupaten bahkan antarprovinsi. Sesuai

dengan penjelasan di awal, tingkat arus lalu – lintas yang tinggi sebanding

dengan tingkat resiko kecelakaan yang tinggi pula.

Menurut Unit Laka Kepolisian Resor Kulon Progo, sebagai jalan

kolektor utama, jalan Jogja – Wates memiliki tingkat kecelakaan relatif

tinggi dibanding daerah sekitarnya dalam lingkup kabupaten. Menurut

Iptu Sigit Purnomo, Kanit Laka Polres Kulon Progo, tingkat kecelakaan

tertinggi terjadi saat rangkaian hari raya Idul Fitri, dimana frekuensi

kendaraan terjadi paling tinggi.

Tambahnya lagi, hal ini disebabkan terutama karena faktor

kelelahan. Kelelahan ini dipicu oleh dua hal, yang pertama kondisi jalan

raya, dan yang kedua adalah posisi Kabupaten Kulon Progo terhadap kota

besar lain, terutama Yogyakarta. Kedua faktor tersebut ditambah pula

dengan faktor yang paling umum, jarak perjalanan tiap individu serta

faktor cuaca.

Faktor kondisi jalan raya melihat pada kondisi jalan dari arah

Purworejo menuju DIY. Kondisi jalan berlubang dan mudah licin. Di sini,

pengemudi terpaksa melaju dengan kecepatan rendah, namun harus

9

berkonsentrasi tinggi, demi keselamatan. Keadaan ini justru menambah

tingkat kelelahan pengemudi.

Ketika memasuki jalan raya dekat DIY yang kondisinya relatif lebih

baik, pengemudi tersebut memanfaatkannya dengan melaju dengan

kecepatan tinggi. Sayangnya, kecepatan tinggi itu tidak diimbangi dengan

tingkat fokus yang memadai. Maka terjadilah kecelakaan, terutama di

daerah sekitar daerah padat, seperti kota Wates dan Sentolo.

Faktor kedua yaitu posisi kabupaten Kulon Progo. Pengemudi yang

mulai memasuki wilayah DIY merasa bahwa kota besar, terutama

Yogyakarta, tinggal ± 1 jam perjalanan lagi. Padahal, tingkat kelelahan

yang dialami seringkali tidak memungkinkan hal tersebut. Ditambah

dengan faktor jalan yang disebut di atas, tingkat resiko kecelakaan

semakin meningkat. Apalagi bila ditambah dengan faktor cuaca, seperti

gerimis, dan jarak yang sudah dilalui pengemudi.

Menurut beliau, sangat tepat bila dibangun rest area di Temon

untuk mewadahi hal tersebut. Hal ini didasari keadaan bahwa black spot

(area rawan kecelakaan) pertama dari arah Jawa Tengah berada di sekitar

Temon. Maka, pengendara yang masuk harus secepatnya berhenti

sejenak untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.

10

Black Spot Black Area Black Link

Dudukan Km.19 Salam Rejo Km. 18 Sukoreno Km. 19 Dudukan Km. 19 Kalimenur Km.22

Salam Rejo Km. 18 Sukoreno Km. 19 Dudukan Km 19. Kalimenur Km. 22

Kalimenur Km.22

Depan Terminal Wates Km.29

Karang Nongko Km. 28,5 Depan Terminal Wates Km.29 Depan SPBU Km. 30 Tambak Km. 31 Dalangan Km. 32 Triharjo

Karang Nongko Km. 28,5 Depan Terminal Wates Km. 29 Depan SPBU Km. 30 Tambak Km. 31 Dalangan Km. 32 Triharjo Sebokarang Km. 31,5

Tambak Km. 31

Turi Km. 41

Gambar 1. 2 Peta Rawan Kecelakaan Jalan Jogja – Wates (Sumber: Polres Kulon Progo Unit Laka; Dokumentasi Penulis, 2013)

Dari keterangan tersebut, area Temon merupakan area rawan

kecelakaan lalu – lintas. Dapat dikatakan area Temon memerlukan

fasilitas untuk mengurangi tingkat kecelakaan tersebut.

Labih lanjut, dalam Perda Kabupaten Kulon Progo nomor 1 tahun

2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo Tahun

2012 – 2032 bagian ketiga : “Sistem Jaringan Transportasi” Pasal 14 (2)

disebutkan, “Pengembangan tempat peristirahatan (rest area) berada di

Desa Sindutan Kecamatan Temon.”

Dari peraturan daerah tersebut terlihat bahwa dalam usaha

peningkatan kualitas sistem jaringan transportasi, pemerintah daerah

Kabupaten Kulon Progo menyediakan fasilitas rest area sebagai solusi

masalah transportasi. Bila dikaitkan dengan fungsi tipologi rest area,

11

maka disimpulkan masalah yang dimaksud terutama masalah kecelakaan

lalu – lintas.

Melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan kecamatan Temon

memiliki dua alasan memerlukan sebuah rest area. Alasan pertama

mengenai statusnya sebagai area rawan kecelakaan lalu – lintas. Alasan

kedua mengenai keberadaannya sebagai pintu gerbang DIY dari arah

barat.

Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo

sudah memulai proyek rest area di kawasan ini. Sayangnya, proyek

tersebut belum berjalan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Dari 9 ha

luasan yang direncanakan, baru 1 ha yang terbangun dan beroperasi.

Fasilitas yang sudah terbangun berupa area parkir, kios tanaman hias, 1

kios biofarmaka, WC, musholla, gazebo, serta 1 rumah makan.

Menurut penuturan Departemen Perindustrian dan Perdagangan

Kulon Progo, masalah utama kelambatan proyek dikarenakan masih

sedikit investor yang bersedia menanamkan modal. Berdasarkan analisa

penulis dari beberapa sumber media, sepertinya para investor belum

dapat melihat potensi keberhasilan dari desain yang sekarang, baik dari

segi konsep pengembangan, kesesuaian lokasi, serta animo masyarakat

terhadap rest area yang sudah terbangun sekarang.

Melihat kondisi tersebut, maka diputuskan untuk melakukan

desain ulang rest area dengan penyesuaian berdasarkan isu –isu terkait.

12

I.2. Rumusan Masalah

I.II.1. Masalah Non – Arsitektural

1. Bagaimana membuat sebuah rest area yang menjadi citra

kabupaten Kulonprogo dan provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

2. Bagaimana rest area dapat menambah potensi ekonomi

daerah, terutama bagi warga lokal.

I.II.2. Masalah Arsitektural

1. Area Temon merupakan salah satu area rawan kecelakaan lalu

– lintas di Kabupaten Kulon Progo.

2. Delapan puluh enam persen (86%) kecelakaan lalu – lintas

terjadi karena kesalahan pengemudi. Sebagian besar kesalaha

pengemudi karena faktor kelelahan.

3. Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo merupakan pintu

gerbang provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari arah barat.

4. Kulonprogo memiliki berbagai potensi lokal yang belum dapat

terekspos secara maksimal.

5. Rest area di Indonesia pada umumnya belum dapat

mengangkat potensi ekonomi lokal, bahkan beberapa justru

mematikannya.

I.3. Tujuan

1. Merancang suatu rest area yang efektif mengurangi tingkat

kecelakaan lalu – lintas di Jalan Temon, Kulonprogo

2. Merancang fasilitas rest area yang memenuhi kebutuhan pengunjung

dalam rest, relax, comfort, information needs.

3. Merancang rest area yang mampu menjadi citra bagi kabupaten

Kulonprogo dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

13

4. Merancang rest area yang mampu memberi tambahan nilai potensi

ekonomi bagi masyarakat lokal sekaligus menarik bagi pengunjung.

5. Mengintegrasikan pendekatan terpilih dalam konsep perancangan

dengan penekanan pada fungsi rest area.

I.4. Sasaran Pembahasan

I.4.1. Sasaran Umum

Menyusun dan merumuskan konsep perencanaan dan

perancangan rest area di Temon, Kulonprogo melalui :

a. Identifikasi tapak terpilih pada kawasan

b. Identifikasi potensi alam pada kawasan

I.4.2. Sasaran Khusus

Menyusun dan merumuskan konsep perencanaan dan

perancangan rest area di Temon, Kulonprogo melalui :

a. Identifikasi potensi kawasan kaitannya dengan perancangan

rest area

b. Komparasi dan analisis perancangan rest area sejenis,

maupun bangunan dan fasilitas dengan fungsi serupa.

I.5. Lingkup Pembahasan

Lingkup pembahasan secara garis besar terdiri dari kajian tema dan topik

serta konsep. Kajian tema dan topik membahas tentang rest area secara garis

besar,dengan dilengkapi studi kasus.

Konsep terdiri dari analisis pendekatan konsep yang membahas

pengertian teori arsitektur organik berikut arsitek penganutnya, kebutuhan

ruang, standar ruang, sirkulasi, dan lain sebagainya secara umum dengan

14

landasan teoritik dan empirik. Kemudian diaplikasikan ke dalam sebuah konsep

perencanaan dan perancangan.

I.6. Metode Pembahasan

1. Metode deskriptif, yaitu penjelasan data dan informasi yang berkaitan

dengan latar belakang, permasalahan, dan tujuan penulisan.

2. Metode analisis, yaitu memahami lebih jauh mengenai kebutuhan

ruang dan fungsi dalam fasilitas rest area, dengan bantuan studi

literatur.

3. Metode studi kasus, yaitu mempelajari contoh – contoh fasilitas

serupa lalu membandingkannya untuk mempelajari konsep, program

ruang, aspek positif dan negatif, serta strategi penyelesaian masalah,

baik melalui studi literatur maupun survey lapangan.

I.7. Sistematika Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN

Substansi urutan penulisan, berisi latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penulisan, sasaran

pembahasan, lingkup pembahasan, metodologi

pembahasan, dan kerangka berpikir.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kajian mengenai tinjauan umum rest area, tinjauan lokasi

rest area, hubungan antara kelelahan dan pengaruhnya

dengan interaksi dengan alam, serta studi kasus preseden

rest area.

Tinjauan rest area berupa sejarah, kategori, peran

bangunan, kegiatan yang diwadahi, kebutuhan ruang, dan

15

standar fasilitas secara umum. Tinjauan lokasi berisi

pembahasan umum lokasi terpilih.

BAB III PENDEKATAN KONSEP PERANCANGAN

Analisis mengenai prinsip – prinsip arsitektur organik

berikut beberapa arsiteknya, analisis tapak terpilih, serta

penjelasan mengenai standar perancangan yang

dibutuhkan berkaitan dengan konsep. Standar

perancangan antara lain berupa kebutuhan ruang, tata

masa, sirkulasi, material, dan struktur konstruksi.

BAB IV ANALISIS DAN KONSEP PERANCANGAN

Analisis dan pembahasan dasar perancangan rest area

dengan latar belakang, pendekatan, dan konsep terpilih.

I.8. Keaslian Penulisan

Nama Penulis Judul Tugas Akhir Tahun Tujuan dan Konsep

Dinar Pratama Aji Rest Area di Jalan Jogjakarta -

Semarang 2006

Rest area dengan pendekatan

pemenuhan fungsi kebutuhan

keamanan, ketersediaan

informasi, dan kenyamanan.

Mahendra

Ardiyanto

Rest Area Multifungsi: Komersial

dan Rekreasi Dengan Pendekatan

Kearifan Lokal

2007

Rest area yang menjawab isu –

isu terhadap rendahnya PAD

Kulon Progo, dengan

pendekatan kearifan lokal.

Lestari Romdhiyatun Rest Area dengan Pendekatan

Green Architecture 2008

Pengoptimalan kenyamanan

rest area dengan pendekatan

green architecture.

Indriyanti Nasution

Rest Area di Jalan Lintas Sumatera

Utara dengan Pendekatan Green

Architecture

2010

Pengoptimalan fungsi rest area

yang memenuhi kebutuhan

keamanan, ketersediaan

informasi, dan kenyamanan,

dengan green architecture.

Idham

Rest Area sebagai Tempat Istirahat

Sementara dan Rekerasi di

Banyumas, Jawa Tengah

2011

Rest area sebagai sebuah

tempat istirahat sementara bagi

pemakai jalan, dengan

pendekatan green architecture.

16

I.9. Kerangka Berpikir

Diagram 1. 1 Kerangka Berpikir

(Sumber: Analisa Penulis, 2013)