BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun ini ASEAN genap berusia 47 tahun. Selama itu, telah banyak capaian-capaian yang telah diraih ASEAN dan sumbangsih yang diberikan ASEAN bagi negara-negara anggotanya. Salah satu capaian dan sumbangsih terpenting dari ASEAN adalah terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan merupakan hal utama sehingga program pembangunan Indonesia dapat terus dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN terus mengalami peningkatan. Secara khusus, ASEAN telah membantu Indonesia dalam penanganan bencana Tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, proses perdamaian di Aceh, penanggulangan kebakaran hutan dan lain-lain. Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan serta perkembangan positif dan signifikan yang mengarah pada pendewasaan ASEAN. Kerjasama ASEAN kini menuju tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan dengan akan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Hal ini diperkuat dengan disahkannya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang secara khusus akan menjadi landasan hukum dan landasan jati diri ASEAN ke depannya. 1 Namun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi ASEAN. ASEAN harus dapat melakukan berbagai penyesuaian seiring dengan adanya perkembangan yang pesat di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan pengetahuan serta bidang-bidang lainnya yang terjadi di negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga harus menyadari pentingnya upaya untuk lebih melibatkan masyarakat ASEAN sehingga tumbuh 1 ASEAN National Secretariat of Indonesia, ASEAN selayang pandang, (Jakarta : Sekretariat Nasional ASEAN, Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, 1997), hlm. 2

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tahun ini ASEAN genap berusia 47 tahun. Selama itu, telah banyak capaian-capaian yang

telah diraih ASEAN dan sumbangsih yang diberikan ASEAN bagi negara-negara anggotanya.

Salah satu capaian dan sumbangsih terpenting dari ASEAN adalah terciptanya perdamaian dan

stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan

merupakan hal utama sehingga program pembangunan Indonesia dapat terus dilaksanakan.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN terus mengalami peningkatan. Secara khusus,

ASEAN telah membantu Indonesia dalam penanganan bencana Tsunami di Aceh, gempa bumi

di Yogyakarta, proses perdamaian di Aceh, penanggulangan kebakaran hutan dan lain-lain.

Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan serta

perkembangan positif dan signifikan yang mengarah pada pendewasaan ASEAN. Kerjasama

ASEAN kini menuju tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan dengan akan

dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Hal ini diperkuat

dengan disahkannya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang secara khusus akan menjadi

landasan hukum dan landasan jati diri ASEAN ke depannya.1

Namun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi ASEAN. ASEAN harus dapat

melakukan berbagai penyesuaian seiring dengan adanya perkembangan yang pesat di bidang

politik, keamanan, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan pengetahuan serta bidang-bidang

lainnya yang terjadi di negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga harus

menyadari pentingnya upaya untuk lebih melibatkan masyarakat ASEAN sehingga tumbuh

1 ASEAN National Secretariat of Indonesia, ASEAN selayang pandang, (Jakarta : Sekretariat Nasional ASEAN,

Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, 1997), hlm. 2

2

“rasa memiliki” (we feeling) terhadap ASEAN. ASEAN harus memfokuskan dirinya untuk

dapat menjalin kerjasama yang dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat ASEAN.

Dengan demikian, diharapkan ASEAN tidak lagi menjadi forum kerjasama para pejabat

pemerintah negara-negara ASEAN atau kalangan elit tertentu, melainkan dapat menjadi

organisasi yang bertumpu pada masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat ASEAN

(people-centered organization).2

Belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional, khususnya

setelah bencana El Nino (ENSO) tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25

juta hektar di seluruh dunia.

Hal-hal tersebut merupakan tantangan yang membutuhkan

tanggapan tepat dan cepat yang tentunya tidak mudah untuk dilaksanakan. Salah satunya adalah

isu kebakaran hutan serta dampaknya terhadap lingkungan dan ekonomi.

3 Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi

pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem,4 kontribusinya

terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati.5 Di Asia

Tenggara, keprihatinan mengenai dampak kebakaran hutan cukup signifikan. Hal ini

ditunjukkan dengan penandatanganan Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut oleh negara-

negara anggota ASEAN pada bulan Juni 2002 di Kuala Lumpur. Kebakaran hutan merupakan

salah satu prioritas yang dinyatakan oleh Departemen Kehutanan Indonesia dan aksi untuk

menangani masalah ini dimasukkan dalam dokumen komitmen kepada negara-negara donor

yang terhimpun dalam CGI.6

Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain: Pertama, timbulnya

penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja

karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan

2 Ibid., 3 FAO. State of Worlds Forests. (Rome: FAO, 2001). 4 United Nations International Strategy for Disaster Reduction. Natural Disaster and Sustainable Development:

Understanding the Links Between Development and Environment and Natural Disaster, (New York: United Nations World Summit on Sustainable Development, 2002).

5 Rowell, A and Moore, P.F., Global Review of Forest Fires, (WWF: IUCN Gland, 2001) 6 Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan, CIFOR Occasional Paper No. 38 (i) hlm. 1.

3

diliburkan. Ketiga, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara. Keempat, timbulnya

persoalan internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil dan

imateriil pada masyarakat setempat dan sering kali menyebabkan pencemaran asap lintas batas

(transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura,

Brunei dan sebagian Thailand.

Pembakaran hutan dan lahan selama ini merefleksikan bahwa praktek ini dilakukan

secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan

Indonesia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kawasan yang terbakar adalah kawasan yang

telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan

perkebunan. Artinya kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan

yang ditujukan untuk melakukan pembersihan lahan.

Maraknya pembakaran hutan hutan dan lahan setidaknya juga dipengaruhi oleh (1)

pembangunan industri kayu yang tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman sebagai

bahan baku; (2) besarnya peluang yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha untuk

melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan

sawit dan perkebunan kayu (HTI); (3) penegakan hukum yang lamban merespon tindakan

konversi dan pembakaran yang dilakukan meskipun instrumen hukumnya melarang hal

tersebut.

Berkaca pada kebakaran hebat tahun 1997/1998, penyebabnya cukup bervariasi. Di

Jambi dan Riau pembakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh

perusahaan. Di Sumatera Selatan kebakaran terjadi di lahan basah yang berkaitan dengan

kebiasaan masyarakat untuk bersawah, penangkapan ikan dan penebangan pohon. Di

Kalimantan, Project Lahan Sejuta Hektar menjadi pemicu utama ekspor asap ke Malaysia dan

Singapura. Sementara di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, kebakaran disebabkan

pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI.

4

Pada tahun-tahun berikutnya, kebakaran hutan dan lahan memang tidak sedahsyat tahun

1997. Meski demikian, angka hotspot yang muncul setiap tahunnya tetap menjadi perhatian

karena memicu pencemaran kabut asap dan emisi karbon yang cukup besar. Pada tahun 2001,

angka hotspot yang dapat direkam di Sumatera dan Kalimantan pada Bulan Januari sampai

dengan Agustus sebanyak 3.202 titik, dan kemudian angka hotspot tidak pernah turun dari

40.000 titik setiap tahunnya pada tahun-tahun berikutnya kecuali pada tahun 2005 sebanyak 39

ribu titik dan menurun kembali pada tahun 2006 menjadi 23 ribu titik. Dari dua pulau tersebut,

Propinsi Riau tetap tercatat merupakan propinsi yang paling banyak menghasilkan titik panas.

Disusul kemudian Kalimantan Tengah, Kalbar dan Sumatera Selatan.

Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006

cukup besar. Untuk Sumatera saja, total kerugian untuk kebakaran pada medio tersebut

mencapai US$ 7,8 milyar kemudian disusul dengan Kalimantan yang mencapai US$ 5,8 milyar.

Namun toh gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugian di seluruh Indonesia

pada medio yang sama.

Dari kebakaran tersebut, hilangnya fungsi hutan sebagai pengendali erosi merupakan

satu hal yang patut dicermati. Keuntungan yang panjang yang dimiliknya membuat parameter

ini memiliki nilai yang sangat besar. Pembukaan hutan dan lahan yang mengakibatkan

kebakaran hutan akan mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil. Ketika musim hujan, molekul-

mlekul tanah akan saling melepaskan diri. Pada pergerakan minimal, molekul tersebut akan

terbawa air hujan dan menciptakan sedimentasi di sungai. Dimasa mendatang, ketika curah

hujan tinggi maka sungai tidak lagi mampu menampung air dalam volume yang besar sehingga

menyebabkan banjir. Sedangkan pada pergerakan maksimal yang apabila dipengaruhi dengan

faktor kemiringan maka akan menciptakan longsor. Malaysia yang juga terkena mengalami

kerugian US$ 300 juta di sector industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami

kerugian sekitar US% 60 juta di sector pariwisata.

5

Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura. ASEAN sebagai

organisasi regional yang menaungi daerah bencana ini patut memberikan bantuan. ASEAN

dalam hal ini sebagai organisasi tempat para pihak bernaung secara internasional memiliki

perangkat yuridis berupa traktat internasional yaitu The 1997 ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP). Namun negara-negara ASEAN terutama Malaysia

dan Singapura belum merasa puas karena Indonesia sampai saat ini belum meratifikasinya.

Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN yang telah meratifikasi AATHP yakni

Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja. Menurut

asas pacta sunt servanda( kepastian hukum dalam perjanjian ), Indonesia tidak terikat oleh

traktat tersebut.

Meskipun demikian, pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan

prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu prinsip adalah “Sic utere tuo ut

alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau

mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lan,7 dan prinsip good

neighbourliness.8 Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara

tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip-prinsip hukum internasional untuk perlindungan

lingkungan lainnya adalah general prohibition to pollute principle, the prohibition of abuse of

rights, the duty to prevent principle, the duty to inform principle, the duty to negotiate and

cooperate principle, intergenerational equity principle.9

Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta

pertanggungjawaban negara terhadap negara yang telah melakukan tindakan yang merugikan

negara lain. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara

7 J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional , Jakarta : Sinar Grafika Offset, edisi kesepuluh hal 546 8 Sucipto, Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang, 1985, hlm.82 9 Adji samekto, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.119

6

yang bersangkutan merugikan negara lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia

telah menimbulkan dampak negatif terhadap negara-negara tetangga.

Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan,

masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas kekurangannya,

pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan bantuan dalam jumlah

besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global dengan menghilangkan

keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gas-gas rumah kaca ke atmosfer (kebakaran tahun

1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbondioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini

meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan. Dalam kasus dimana masalah

Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global seharusnya meningkatkan kesempatan

untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan

baik.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Melihat permasalahan yang ditimbulkan maka ini menjadi alasan bagi penulis untuk

mempertanyakan: Mengapa AATHP ASEAN gagal menangani persoalan kebakaran hutan di

Indonesia?

1.3. Kajian Pustaka

Kajian pustaka (literature review) dipakai sebagai acuan terkait dengan penelitian

berjudul “Kerja Sama Asean Dalam Menangani Persoalan Kebakaran Hutan Dan Pencemaran

Asap Di Indonesia” oleh Raisa Rafina. Dalam hal ini ada beberapa studi yang dijadikan acuan

dalam kajian penelitian ini. Studi-studi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Dalam tulisan Raisa Rafina yang berjudul “Kerjasama Negara-Negara Asean Dalam

Pengendalian Pencemaran Udara Lintas Batas Negara Di Lihat Dari Hukum Internasional”10

10 Jurnal.usu.ac.id/index.php/jil/article/download/2654/pdf , diakses tanggal 28 April 2014

,

menguraikan tentang dasar hukum kerjasama Negara-negara ASEAN dalam pengendalian

7

pencemaran udara, kerjasama ASEAN dalam pengendalian pencemaran udara di lingkungan

ASEAN dalam perspektif hukum internasional, serta implikasi perjanjian kerjasama dalam

pengendalian pencemaran udara bagi Indonesia. Penelitian ini secara khusus membahas dua hal

yakni pertama mengenai AATHP dan kedua mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi

kebakaran hutan dan pencemaran asap, serta kendala-kendala yang dihadapi Negara-negara

ASEAN dalam mengatasi permasalahan tersebut. Persamaan antara tulisan Raisa dengan

penelitian ini yaitu sama-sama membahas mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi

kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia. Perbedaannya dalam hal objek bahasan,

yaitu Raisa membahas dari perspektif hukum internasional, termasuk implikasinya terhadap

Indonesia. Penelitian ini akan membahas mengenai kendala-kendala yang menghambat

kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia.

Tulisan Fadhlan Dini Hanif yang berjudul “tanggung jawab negara (state responsibility)

terhadap pencemaran udara lintas batas negara berdasarkan ASEAN agreement on

transboundary haze pollution”11

11 repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/.../4580/JURNAL.pdf?.( diakses pada tanggal 28 April 2014.

menguraikan tentang tanggung jawab Negara anggota terhadap

Pencemaran Udara Lintas Batas Negara yang diatur dalam ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution, konsekuensi negara pencemar dalam ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution, dan mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran

lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Persamaan antara tulisan Fadhlan dengan penelitian

ini yaitu sama-sama membahas tentang tanggung jawab Negara anggota terhadap Pencemaran

Udara Lintas Batas Negara yang diatur dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Fadhlan membahas dari perspektif

hukum internasional, termasuk konsekuensi dan mekanisme penyelesaian hukum terhadap

pencemaran lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Penelitian ini akan membahas

mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di

Indonesia.

8

Tulisan Agustia Putra yang berjudul “Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi

ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) Tahun 2002-2012”

kepentingan Indonesia belum meratifikasi Perjanjian ASEAN Pada Polusi Asap Lintas Batas (

AATHP ) dari awal AATHP ditandatangani oleh Indonesia pada tahun 2002 sampai 2012.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelemahan ASEAN dan adanya

kepentingan dan faktor-faktor lain yang menyebabkan AATHP Indonesia belum meratifikasi

hingga saat ini. Indonesia adalah negara yang memiliki kawasan hutan dalam jumlah besar di

wilayah Asia Tenggara. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Agustia membahas dari

kepentingan Indonesia yang belum meratifikasi AATHP. Penelitian ini juga akan membahas

mengenai dampak dari belumnya di ratifikasi AATHP oleh Indonesia.

1.4. Kerangka Teori

Untuk membahas permasalahan tentang efektivitas kerjasama ASEAN dalam

menangani permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia dan negara-negara

tetangga, penulis menggunakan Konsep Kerjasama dan Konsep Efektivitas serta Teori yang

digunakan adalah Teori Rezim.

1.4.1 Konsep Kerjasama

Menurut pendapat James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff kerjasama atau

cooperation dapat muncul dari kesepakatan masing-masing individu terhadap kesejahteraan

bersama atau sebagai akibat persepsi kepentingan sendiri.12

12 Dougherty E, Jamesdan Pfaltzgraff, Jr LRobert, Contending Theories of International Relatins: A

Chomprehensive Survey,4th.Ed. Addison Wesley Longman,New York,1997,hal. 418-419

Kunci dari perilaku yang mengarah

pada kerjasama terletak pada kepercayaan masing-masing pihak (masing-masing negara) bahwa

pihak lain juga akan melakukan kerjasama, dimana masalah utama yang muncul dari perilaku

ini adalah kepentingan nasional masing-masing negara. Bila mengarah pada persamaan

kepentingan nasional maka kerjasama yang diinginkan akan tercapai.

9

Kerjasama ini dilakukan oleh negara-negara yang secara langsung dan sering merasakan

akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran asap dari Indonesia. Upaya-upaya kerjasama

bilateral maupun regional untuk menangani kasus ini kemudian mulai dijalin dan dirumuskan.

Inisiatif kerjasama diambil dengan maksud bahwa kasus asap ini telah mengakibatkan kerugian

besar baik materiil maupun non materiil dan juga membahayakan kelangsungan ekologi bumi.

Sehingga dengan adanya inisiatif kerjasama ini peluang terjadirya.konflik dapat dihilangkan.

Kerjasama ASEAN yang secara khusus memfokuskan pada masalah kabut asap baru

dimulai pada bulan Juni 1995, seiring dengan peningkatan intensitas masalah pencemaran kabut

asap lintas batas yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Sebagai langkah awal

dalam menanggulangi masalah pencemaran kabut asap lintas batas, para Menteri Lingkungan

Hidup negara-negara anggota ASEAN pada bulan Juni 1995 di Manila sepakat untuk

membentuk ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution.

Bahwa polusi asap tersebut dapat menjadi acuan bagi negara-negara yang terkait dalam

hal ini untuk menjalin kerjasama baru dalam penanganan kebakaran ini. Tidak bisa dipungkiri

bahwa permasalahan lingkungan sudah menyentuh aspek human security ditambah lagi masalah

degradasi lingkungan dapat dikatakan membuat sejenis ancaman khusus yang bukan saja

ancaman bagi negara tetapi pada keseluruhan umat manusia.

Dari konsep kerjasama ini , bentuk kerjasama yang mampu menjelaskan unsur

kepentingan politik dan bagaimana efektivenya resim yang digunakan dalam penyelesaian

persoalan kebakaran hutan yang melanda Indonesia dan mempengaruhi negara tetangga dilihat

dari kerjasama internasional dalam 4 bentuk yaitu:13

13 Drs. R. Soeprapto, Hubungan Internasional”Sistem,Interaksi dan Perilaku” , PT.Raja Grafindo Persada,

Jakarta,1997,hal. 181-186

10

1) Kerjasama Global

Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam satu

wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama

bagi kerjasama global.

2) Kerjasama Regional

Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara-negara yang secara

geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa dalam bidang

pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain seperti pertanian, hukum, kebudayaan

dan lain sebaginya. Menurut Dr. Budiono, kerjasama regional baik yang

berbentuk organisasi atau bukan, pada waktu sekarang ini mendapatkan

masalah yang cukup rumit dan kompleks. Adapun yang menentukan terwujudnya

kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan dibidang

politik dan kebudayaan juga perbedaan struktur produktivitas ekonomi.

Kerjasama regional merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan

dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

3) Kerjasama Fungsional

Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun metode kerjasamanya menjadi

semakin kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi kerjasama

yang ada.Walaupun terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan yang

dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional baik dibidang ekonomi maupun

sosial,untuk pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan

politik.Kerjasama fungsional berangkat dari pragmatisme pemikiran yang

mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra dalam

kerjasama. Dengan demikian kerjasama fungsional tidak mungkin terselenggara

apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk

mendukung suatu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain.

11

Adapun kendala yang dihadapi dalam kerjasama fungsional terletak pada

ideologi politik dan isu-isu wilayah.

4) Kerjasama Ideologis

Pengertian ideologi menurut Vilfredo Pareto, adalah alat dari suatu kelompok

kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan.Dalam hal

perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah

relevan.Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan

memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka dalam forum yang global.

Untuk kasus kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia maka bentuk kerjasama

yang dapat digunakan adalah kerjasama regional. Karena kasus kebakaran hutan dan

pencemaran asap ini berdampak lintas batas yang merugikan negara-negara di kawasan

ASEAN, serta mempengaruhi negara-negara yang secara geografis letaknya berdekatan.

kerjasama regional negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menanggulangi

permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap lintas batas. Kerjasama regional ini tidak

mungkin terselenggara dengan baik apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak

mampu untuk mendukung atau mentaati ketentun-ketentuan dalam setiap peraturan atau

komitmen bersama dalam wadah sebuah resim yang ada dalam hal ini ASEAN.

Jadi masing-masing negara yang bersangkutan dan yang terkena dampak dari kebakaran

hutan dan pencemaran asap harus bekerjasama dan saling membantu karena terdapat

kepentingan yang sama dari masing-masing negara untuk menanggulangi masalah kebakaran

hutan dan pencemaran asap yang berdampak lintas batas.

Akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran asap ini telah membawa masalah di bidang

kesehatan, pariwisata, dan juga di bidang lalulintas. Karena kasus ini melibatkan negara-negara

tetangga, maka negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menanggulangi

permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap lintas batas. Kerjasama fungsional ini

12

tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu

untuk mendukung satu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. Jadi

masing-masing negara yang bersangkutan dan yang terkena dampak dari kebakaran hutan dan

pencemaran asap harus bekerjasama dan saling membantu karena terdapat kepentingan yang

sama dari masing-masing negara untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan

pencemaran asap yang berdampak lintas batas.

1.4.2 Konsep Efektivitas Rezim

Dalam melihat rezim, terdapat usaha dalam membangun kerjasama dan

mengimplementasinya. Namun permasalahannya, tingkat keberhasilan atau implementasi dari

sebuah rezim bervariasi, terdapat rezim yang dapat dikatakan sukses ataupun gagal14

Dalam konsep efektivitas rezim Arild Underdal melakukan pemilahan antara variabel

dependen, yaitu efektifitas rezim dengan variabel independen, yang terdiri dua hal yaitu : tipe

permasalahan, dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

.

Penyebabnya ada dua hal : Pertama terdapat pada karakter dari masalah itu sendiri: beberapa

masalah secara intelektual kurang rumit atau secara politik lebih benign daripada yang lain dan

karena itu lebih mudah untuk diselesaikan. Kemungkinan jawaban kedua focus pada problem-

solving capacity: beberapa usaha lebih sukses dibandingkan dengan yang lainnya karena

perangkat institusional yang lebih powerful atau skill dan energy yang lebih besar digunakan

untuk menyelesaikan masalah.

15

14 Underdal, Arild. Explaining Regime Effectiveness. [Pdf]. University of Oslo. Hal. 1

Kemudian ada juga

yang disebut intervening variable, sebuah variabel yang merupakan akibat dari variabel -

variabel independen namun juga bagian dari variabel yang berpengaruh terhadap variabel

15 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 4-15

13

dependen.16

Efektivitas Rezim sebagai variabel dependen memiliki 3 komponen untuk menganalisa

efektivitas rezim, yang terdiri dari output, outcome, dan impact yang ada dalam rezim.

Intervening variable disini menggunakan level of collaboration, atau tingkat

kolaborasi antara anggota dari sebuah rezim.

1.4.2.1 Dependent variable

17

Gambar 1. Objek dan penafsiran waktu

Output

Output adalah aturan, program, dan pengorganisasian yang ditetapkan oleh anggota

untuk mengoperasionalkan ketentuan dalam rezim, sehingga hal-hal yang semula hanya

berbentuk kesepakatan bisa diwujudkan18

16 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia

disitus:

. Keluaran yang muncul dari proses

pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya konvensi,

rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain.

Penandatangan rezim dan terjadinya langkah – langkah domestik negara terkait rezim

terjadi pada masa objek ini.

http: //books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 447 17 Ilien Halina. 2012. Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 3 18 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia

disitus: http: //books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 5

14

Outcome

Outcome adalah perubahan perilaku subyek yang dikenai ketentuan dalam rezim, baik

itu berupa penghentian tindakan yang dilakukan sebelum rezim berdiri, maupun

tindakan yang sebelum rezim berdiri tidak dilakukan19 . Langkah – langkah domestik

negara yang terlaksana mulai dirasakan efeknya pada masa objek ini.

Impact

]

Terakhir adalah Impact, yang berkaitan dengan tingkat keberhasilan dalam

mengatasi masalah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan rezim tersebut20

Masalah menjadi susah ketika masalah itu sendiri memang membuat negara - negara

tidak mau bekerjasama secara politis, karena memang susah. Malignancy ini memiliki 3

karakter antara lain Incongruity, Asymmetry dan Cumulative Cleavages

. Di

masa objek ini terlihat perubahan kebiasaan sebuah negara mengikuti atau tidak

mengikuti rezim internasional yang mana dia ikuti.

1.4.2.2 Independent variable

Jika negara yang melakukan hubungan cenderung lunak maka rezim tersebut akan

mudah mendapatkan kesepakatan bersama, sedangkan apabila bersifat malign(gawat) maka

rezim akan susah mendapatkan titik temu. Semakin identik dan harmonis preferensi aktor yang

ada, maka permasalahan tersebut semakin baik, sebaliknya semakin tidak harmonis preferensi

aktor yang terlibat maka permasalahan tersebut semakin malign

1.4.2.3 Problem Malignancy

21

19 Ibid. hal. 6 20 Ibid. hal. 6 21 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence.Tersedia disitus: http:

//books.google.co.id / books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 18-22

15

a. Incongruity

Ketidaksepahaman akibat tidak semua negara anggota dari sebuah rezim

menganggap sebuah isu sebagai permasalahan.

b. Asymmetry

Adanya kepentingan nasional yang berbeda – beda antara negara anggota dari

sebuah rezim.

c. Cumulative Cleavages

Perbedaan yang terakumulasi sehingga menimbulkan perpecahan.

1.4.2.4 Problem Solving Capacity

Underdal berargumen bahwa permasalahan dapat diatasi dengan efektif apabila

ditangani oleh lembaga atau sistem dengan power yang kuat serta didukung adanya ketrampilan

atau skill dan energi yang memadai.22

a. Seting kelembagaan (institutional setting) yang ada dalam rezim tersebut.

Apabila satu solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif,

maka problem solving capacity bisa dipahami sebagai fungsi saling terkait yang terdiri dari tiga

unsur, yaitu:

b. Distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara aktor yang terlibat. Jika ada

pembagian kekuasaan yang adil, dimana terdapat pihak dominan yang dapat

bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan

juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan.23

c. Skill (keahlian) dan energy (kekuatan) yang tersedia bagi rezim yang digunakan

untuk mencari.

22 Ibid.Hal.23-37 23 Ilien Halina. 2012. Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 17

16

1.4.2.5 Intervening Variable

Dalam melihat tingkat kolaborasi sebuah rezim internasional, Underdal mengemukakan

enam skala ukuran level kolaborasi24

0. Gagasan bersama tanpa suatu koordinasi tindakan bersama

, yang dapat dilihat dalam skala dibawah ini:

a. Level of Collaboration (skala 0-5)

1. Koordinasi tindakan secara diam – diam

2. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara

eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah

sebuah negara. Tidak ada penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah

tindakan.

3. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara

eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah

sebuah negara. Terdapat penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah

tindakan.

4. Koordinasi yang terencana, dikombinasikan dengan implementasi pada level

nasional. Didalamnya terdapat penilaian terpusat akan efektivitas sebuah

tindakan.

5. Koordinasi dengan perencanaan dan implementasi yang menyeluruh

terintegrasi, dengan penilaian terpusat akan efektitivitas.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa pada intinya tingkatan kolaborasi terdiri dari

beberapa langkah, sebagai berikut: gagasan bersama, koordinasi tindakan, rumusan aturan

secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi pada tingkat nasional, koordinasi

terencana dan integrasi antara perencanaan dan implementasi. Untuk mengetahui tingkatan

kolaborasi dalam sebuah rezim internasional, perlu melihat unsur – unser tersebut. Pembagian

24 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia

disitus: http://books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 7

17

antara masing - masing skala dengan unsur kolaborasi akan dilihat lebih jelas dalam tabel

dibawah :

Tabel 1.1 Tingkatan Kolaborasi

Jenis Kolaborasi Skala Kolaborasi

0 1 2 3 4 5

Gagasan bersama √ √ √ √ √ √

Koordinasi tindakan - √ √ √ √ √

Rumusan aturan secara eksplisit - - √ √ √ √

Penilaian secara terpusat - - - √ √ √

Implementasi pada level nasional - - - - √ √

Koordinasi terencana - - - - √ √

Integrasi perencanaan & Implementasi - - - - - √

Sumber: Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory

with Evidence.

b. Penentu Tingkat Kolaborasi

Efektivitas rezim juga mempunyai hubungan dengan tingkat kolaborasi dan perubahan

perilaku. Disini tingkat kolaborasi sebagai sebuah intervening variable, tingkat kolaborasi

dipengaruhi oleh problem malignancy dan problem solving capacity yang ada dalam sistem

yang membentuk rezim. Intervening variable juga berpengaruh dan memberikan efek langsung

terhadap efektivitas rezim. Sementara kedua variabel dependen juga memberikan pengaruh

terhadap efektivitas rezim, yang berarti efektivitas rezim dipengaruh oleh tiga variabel

18

Adanya masalah yang bersifat malign akan berpengaruh negatif terhadap tingkat

kolaborasi, sedangkan tingginya tingkat kolaborasi sendiri mempunyai pengaruh positif

terhadap efektifitas rezim. Sehingga adanya masalah yang bersifat malign tidak mendukung

semakin efektifnya sebuah rezim. Sedangkan kemampuan mengatasi masalah mempunyai

pengaruh positif atau dengan kata lain mendukung meningkatnya tingkat kolaborasi. Karena

tingkat kolaborasi mendukung efektifitas rezim maka kemampuan untuk mengatasi masalah

berpengaruh positif terhadap tercapainya efektivitas rezim. Untuk lebih jelasnya dalam melihat

hubungan diantara tiga variabel diatas dapat kita bisa lihat dalam gambar dibawah:

Gambar 2. Model Inti dari 3 Variabel

Disini muncul tiga hipotesis terkait model inti dari 3 variabel diatas25

a. Masalah semakin bersifat malignancy maka kemungkinan menciptakan kerjasama

yg efektif semakin kecil.

:

b. Jika malignancy bersifat politis dan knowledge, maka rezim akan semakin tidak

efektif. 25 Ilien Halina. 2012. Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 15-18.

19

c. Kalau rezim itu harus menghadapi persoalan yang malignancy, maka efektivitas

akan dapat dicapai, hanya jika:

1. Ada proses incentive baru yg diciptakan dari yang mempunyai kepentingan,

mis dalam masalah non-profilerasi nuklir, jikalau Amerika berjanji akan

memberi bantuan ekonomi yang lebih banyak apabila Iran mau mengurangi

nuklirnya,

2. Rezim yang menghadapi masalah yang sulit akan menjadi efektif jika rezim

mampu menghubungkan persoalan yang sulit dng persoalan yg lainnya yg

lebih gampang (linkage).

3. Jika rezim mengembangkan sistem problem-solving yg lebih canggih,

artinya akan ada improvement jika ada inovasi.

b.1 Tingkat Kolaborasi (level of collaboration).

Untuk mengukur tingkat kolaborasi suatu rezim, diperlukan terlebih dahulu analisis

terhadap efektivitas suatu rezim yang ditentukan oleh formula Er = f (Sr.Cr) + Br, dimana Sr

adalah Stringency (kekuatan aturan), Cr adalah Compliance (ketaatan anggota rezim terhadap

aturan), sedangkan Br berarti efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain kita harus

memeriksa terlebih dahulu output,outcome dan impact dari rezim AATHP mengenai kepatuhan

negara pihak dalam menerapkan aturannya.26

Keefektifan suatu rezim ditentukan oleh seberapa serius persoalan yang dihadapi.

Apabila persoalan semakin rumit, maka keefektifan rezim pun akan semakin kecil. Dengan kata

lain, jika terdapat suatu masalah yang sifat malignancynya semakin tinggi , maka kemungkinan

terciptanya kerjasama yg efektif akan semakin kecil.

b.2 Kegawatan Persoalan (problem malignancy)

27

26 Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien

Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.. Hlm. 6.

27 Ilien Halina. (2007). Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. Hlm.13.

Sebagaimana yang telah dijelaskan

20

sebelumnya bahwa peristiwa kebakaran hutan merupakan situasi sangat berbahaya dilihat dari

akibat yang ditimbulkannya,baik itu bagi negara Indonesia,dampaknya terhadap negara tetangga

seperti Singapura dan Malaysia, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

b.3 Kapasitas Problem ( Problem Capacity )

Kapasitas permasalahan (problem capacity). Problem solving capacity membicarakan

seputar efektivitas rezim diukur dari setting institusional, distribusi kekuasaan (power)28

a. Institusional setting (the rules of the game)

.

Setting Institusional dalam ASEAN berpengaruh terhadap kesepakatan –

kesepakatan yang telah dihasilkan, dalam hal ini AATHP.

b. Distribusi kekuasaan ( Power )

Distribusi kekuasaan ( Power ) menyangkut pembagian kekuasaan yang adil

dalam rezim dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader

namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak

minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan.29

1.4.3 Teori Rezim Internasional berdasarkan Pendekatan Interest

Pemanasan global merupakan salah satu isu hangat yang sedang marak diperdebatkan di

kancah sistem internasional. Fokus utama dari isu ini adalah dampak dari kebakaran hutan dan

polusi asap yang tidak hanya merugikan bagi masyarakat sekitar hutan tetapi juga melibatkan

negara-negara tetangga, termasuk di dalamnya kerugian dalam bidang ekonomi dan kesehatan.

Penyebab dari kebakaran hutan dan polusi asap ini adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca

yang dihasilkan oleh sistem industri ataupun praktik agrikultur. Indonesia dianggap sebagai

pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas,

28 Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien

Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Hlm.15-16

29 Ibid.

21

namun di sisi lain, negara-negara di dunia juga memiliki kepentingan terhadap kelestarian hutan

di Indonesia. Oleh karenanya, kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas menjadi sebuah isu

global yang patut dinegosiasikan oleh negara-negara di dunia, khususnya negara-negara yang

tergabung dalam ASEAN melalui sebuah rezim internasional sebagai refleksi dari

pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Berbagai bentuk kerjasama yang telah dibentuk ASEAN antara lain: ASEAN Co-

operation Plan onTransboundary Poluution, Haze Technical Task Force,Strategic Plan of

Action on Environment dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang

kesemuanya bertujuan untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap.

Kedua model negosiasi tersebut dapat dijadikan patokan bagi pembentukan rezim kebakaran

hutan dan polusi asap lintas batas yang baru. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan

pencapaian persetujuan atas isu kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas sejatinya lebih

sulit. Hal ini dikarenakan upaya penurunan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas di

Indonesia tak hanya melibatkan permasalahan lingkungan saja, namun upayanya juga

menghendaki sejumlah pengorbanan, termasuk pertumbuhan ekonomi. Negosiasi diantara

negara ASEAN lainnya dan negara Indonesia pun semakin sulit akibat adanya pertentangan

kepentingan. Sementara itu, isu kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas juga dianggap

penuh dengan ketidakpastian.

Hampir semua orang menyadari bahwa ada yang salah dengan penegakan hukum di

Indonesia sehingga masalah kebakaran hutan dan lahan selalu berulang setiap tahunnya. Namun

kesadaran saja ternyata tidak cukup. Dibutuhkan kemauan untuk merubah kebiasaan tersebut.

Masalah penegakan hukum misalnya, sampai dengan tahun 2006 ternyata hanya 11 kasus yang

ditangani pengadilan. Dari sebelas kasus tersebut hanya 3 yang memiliki putusan tetap. Sisanya

kandas sebelum atau dalam putusan sela dengan alasan administrasi atau masalah keterwakilan.

22

Pengendapan kasus-kasus kebakaran adalah hal lain yang juga harus dicermati.

Kebakaran hutan dan lahan pada pertengahan 2006 lalu misalnya, meskipun telah disebutkan

bahwa seluruh berkas telah siap namun hingga hari ini tidak pernah terdengar khabar beritanya.

Jadi pertanyaan publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakkan hukum baik

yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada maupun instrumen internasional

yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius, terutama untuk memenuhi rasa

keadilan masyarakat, kepentingan menjaga lingkungan dan penerapan prinsip zero burning.

Sampai disini, pemerintah Indonesia pada dasarnya telah gagal untuk meminimalisir

kebakaran hutan dan lahan. Meskipun ratusan seminar dan workshop telah dilakukan, ratusan

agenda telah dihasilkan namun toh kebakaran selalu berulang. Apakah dana menjadi kendala?

Sepertinya tidak. Hingga tahun 2004, Departemen Kehutanan telah menjalin kerjasama dengan

pihak donor dan mendapatkan dana hibah lebih dari 452 milyar.30

Untuk menghindari munculnya kekuatan koalisi penghalang, maka diperlukan sebuah

rancangan proses negosiasi yang baik. Rancangan tersebut dapat terdiri dari mekanisme ratchet,

negotiated baselines, dan tindakan sukarela.

Ini belum termasuk

kerjasama bilateral yang dilakukan secara langsung baik dengan departemen luar negeri

maupun dengan kemerntrian lingkungan. Ini juga belum termasuk bantuan langsung dari

Malaysia yang acap kali menurunkan bantuannya dalam bentuk team pemadam kebakaran

(Bomba).

31

30 Departemen Kehutanan, 2014 31 Sebenius, James K. 1991. Designing Negotiation Toward a New Regime: The Case of Global Warming, dalam

International Security, Vol 15, No 4 (Spring 1991), hlm. 110-148

Sebenius menawarkan sejumlah solusi, yakni

pendekatan sequential, yang menunjukkan adanya konsensus atas sejumlah protokol yang

mencakup potensi isu yang dapat memberikan keuntungan bersama; protokol dasar, yang

menjadi protokol utama; aksi sukarela, yang merupakan aksi pengusulan perencanaan secara

sukarela yang dapat diawali dengan greenhouse action plan; kemudian dilanjutkan dengan

persetujuan tambahan dan rachets, hal ini beriringan dengan adanya kemungkinan perubahan

23

pemahaman isu akibat fenomena baru yang berkaitan dengan isu; dan pengurangan benturan

antara negara Utara dan negara Selatan akibat perbedaan kepentingan.

Dari serangkaian penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan dan

polusi asap lintas batas menjadi sorotan kancah internasional seiring dengan pengaruh

fenomenanya secara global. Sepakat dengan pemikiran Sebenius, untuk menangani fenomena

tersebut, maka diperlukan sebuah negosiasi global diantara negara-negara di dunia yang dapat

diakomodasi melalui terbentuknya rezim internasional. Pembentukan rezim sendiri dapat

berkaca dari pengalaman terbentuknya negosiasi ASEAN ataupun AATHP. Belajar dari

hambatan-hambatan pada negosiasi sebelumnya, seperti hambatan koalisi penghalang, maka

penulis sepakat bahwa diperlukan sebuah rancangan negosiasi yang tepat dalam pembuatan

rezim kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas.

1.5. Argumen Utama

Kefektifan AATHP ASEAN didalam penanganan masalah kabut asap ini mencerminkan

bagaimana keberadaan ASEAN sebagai sebuah organisasi kerjasama regional menyadari

pentingnya penanganan secara mendalam menyangkut kebakaran hutan yang terjadi di

Indonesia tiap tahun.

Keterlibatan ASEAN dalam penanganan masalah kabut asap ini tidak berjalan efektif.

Hal ini dikarenakan dimana upaya keikutsertaan negara-negara anggota ASEAN dalam

meratifikasi isi perjanjian ini mengalami masalah yang bersifat malign . Dapat dlihat dari

adanya ketidaksepahaman ( Ingcongurity ) akibat tidak semua negara anggota ASEAN

menganggap sebuah isu sebagai permasalahan. Ini dikarenakan tidak semua negara mengalami

persoalan yang sama seperti yng terjadi di negara Malaysia dan Singapura yang berdekatan

letaknya dengan Indonesia. Walaupun demikian namun sikap ikut berperan serta dalam

mendukung upaya ASEAN dalam penangan isu ini tercermin dengan bersedianya masing-

masing negara mertifikasi hasil AATHP,terkecuali Indonesia.

24

Untuk mengetahui Incongruity ini dapat dilihat melalui asynmetry dan cumulative

cleavages. Asymmetry dalam incongruity ini, AATHP ASEAN pada negara-negara anggota

ASEAN terdapat perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan ini dibagi menjadi dua hal

yakni negara penghasil dan negara penerima. Dalam hal ini Indonesia dan negara tetangga

anggota ASEAN.

Dalam cumulative cleavages, dapat dilihat dari bagaimana keberadaan Indonesia yang

tidak meratifikasi dan negara-negara anggota ASEAN yang meratifikasi AATHP. Dengan

terbentuknya pihak yang berseberangan didalam AATHP ini, yaitu pihak yang meratifikasi dan

tidak meratifikasi.

Dengan terpenuhinya indikator asymmetry dan cumulative cleavages telah menunjukan

bahwa unsur incongruity yang merupakan tanda bahwa struktur masalah didalam rezim

merupakan masalah yang sulit untuk diselesaikan atau masalah yang bersifat malign. Strukutur

masalah polusi asap menjadi sulit diselesaikan karena terdapat perbedaan pandangan negara

anggota ASEAN dalam melihat AATHP. Perbedaan pandangan ini didasari atas perbedaan

kepentingan antar negara anggotanya, yaitu kepentingan sebagai negara penghasil, negara

penerima atau negara bukan pengasil atau penerima. Dengan adanya perbedaan kepentingan

inilah yang membuat terdapat perpecahan dan ketidakefetifan didalam AATHP ASEAN.

1.6. Metode Penelitian

Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dilakukan

melalui metode kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan data-data sekunder yang

diperoleh dari literature, buku-buku, jurnal, majalah-majalah, koran-koran, serta tulisan-tulisan

yang relevan dengan masalah-masalah yang akan dibahas. Selain itu data atau informasi juga

diperoleh melalui internet yang tentu saja berhubungan dengan tulisan yang dimaksud.

25

1.7. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab I, Penulis menulis dan membahas latar belakang

masalah,pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka,kerangaka teori, argument utama, dan

sistematika penulisan.

Bab II, Akan menjelaskan tentang kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas sebagai

isu rezim ASEAN. Dimana akan dibahas mengenai kebakaran hutan dan dampaknya,

kepentingan nasional Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut Asap, perjanjian kerjasama

ASEAN terhadap isu kabut asap di Indonesia serta Upaya pendekatan yang dilakukan ASEAN

terhadap Indonesia

Bab III, Ketidakefektifan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam penanggulangan polusi asap.

Bab IV, Akan membahas tentang kegagalan rezim ASEAN dalam menangani masalah

kabut asap di Indonesia. Pokok bahasan dalam bab ini akan menyoroti Kegagalan ASEAN di

level ASEAN, Level Indonesia, dan tentang lemahnya sentralitas ASEAN sebagai suatu rezim,

serta alasan Indonesia belum meratifikasi AATHP.

Bab V, Pada bab ini merupakan kesimpulan dan rangkuman atas uraian yang telah

dibahas dalam bab-bab sebelumnya.