BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alun-alun merupakan sebuah lapangan yang luas dan dikelilingi oleh pohon-pohon berupa pohon beringin atau pohon lainnya serta memiliki sepasang pohon beringin di tengahnya; dapat berupa lapangan berumput maupun lapangan berpasir (Paulus,1917). Keberadaan Alun-alun dapat kita temui dalam perkembangan kota-kota berlatar belakang Kerajaan di Pulau Jawa; dan berkembang seiring dengan perkembangan fungsi yang terjadi di masyarakat. Alun-alun berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota tersebut, dengan karakter yang berbeda-beda di setiap kotanya (Handinoto, 1992). Sebuah kota yang mempunyai identitas adalah kota yang memiliki tujuan masa depan dan kenangan masa lalunya. Adanya sejarah yang membentuk suatu kota, seperti bermula dari sebuah bentuk kerajaan, dapat menggoreskan sedikit demi sedikit identitas suatu kota (Kartikawening, 2001). Identitas kota merupakan citra kota yang terbentuk bersama waktu yang menjadikan kota berwajah, bersuasana dan bermakna. Kehadiran konsep ruang Alun-alun ini sudah ada semenjak jaman pra- kolonial atau jaman kerajaan; yaitu semenjak jaman Kerajaan Majapahit sampai dengan jaman Kerajaan Mataram (sekitar abad 13 -18). Keberadaan Alun-alun di masa lalu ini melibatkan keberadaan elemen kekuasaan, yaitu Keraton serta keberadaan tempat untuk beribadah (candi). Tata letak keberadaan alun-alun adalah di utara keraton, dan pada sisi barat atau timur alun-alun terdapat tempat

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alun-alun merupakan sebuah lapangan yang luas dan dikelilingi oleh

pohon-pohon berupa pohon beringin atau pohon lainnya serta memiliki sepasang

pohon beringin di tengahnya; dapat berupa lapangan berumput maupun

lapangan berpasir (Paulus,1917). Keberadaan Alun-alun dapat kita temui dalam

perkembangan kota-kota berlatar belakang Kerajaan di Pulau Jawa; dan

berkembang seiring dengan perkembangan fungsi yang terjadi di masyarakat.

Alun-alun berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota tersebut,

dengan karakter yang berbeda-beda di setiap kotanya (Handinoto, 1992). Sebuah

kota yang mempunyai identitas adalah kota yang memiliki tujuan masa depan

dan kenangan masa lalunya. Adanya sejarah yang membentuk suatu kota,

seperti bermula dari sebuah bentuk kerajaan, dapat menggoreskan sedikit demi

sedikit identitas suatu kota (Kartikawening, 2001). Identitas kota merupakan citra

kota yang terbentuk bersama waktu yang menjadikan kota berwajah, bersuasana

dan bermakna.

Kehadiran konsep ruang Alun-alun ini sudah ada semenjak jaman pra-

kolonial atau jaman kerajaan; yaitu semenjak jaman Kerajaan Majapahit sampai

dengan jaman Kerajaan Mataram (sekitar abad 13 -18). Keberadaan Alun-alun di

masa lalu ini melibatkan keberadaan elemen kekuasaan, yaitu Keraton serta

keberadaan tempat untuk beribadah (candi). Tata letak keberadaan alun-alun

adalah di utara keraton, dan pada sisi barat atau timur alun-alun terdapat tempat

2

beribadah atau pemujaan. Pada era Mataram Islam peran tempat beribadah

berupa candi digantikan dengan masjid yang terletak disisi barat dari alun-alun.

Alun-alun merupakan titik temu dari beberapa elemen, yaitu Keraton sebagai

elemen kekuasaan; masjid sebagai elemen religi; dan pasar sebagai kegiatan

ekonomi. Konsep pertemuan dari keempat elemen tersebut, yaitu Alun-alun,

Keraton, Masjid, dan Pasar dikenal sebagai konsep “Catur gatra tunggal”.

Konsep ini kemudian diyakini sebagai konsep yang selalu melandasi

terbentuknya kota Jawa lama yang berlatarbelakang sebuah kerajaan (Ikaputra,

1995). Alun-alun pada masa yang lalu memiliki fungsi sentral dimana seluruh

elemen inti pembentuk kota akan bertemu, baik secara simbolik maupun riil.

(Notosusanto dalam Koesmartadi, 1985). Keraton dan masjid selalu terletak di dekat

Alun-alun, sedangkan pasar terletak di arah dan lokasi yang berbeda terhadap

Alun-alun. Ketiga elemen pertama, yaitu : Keraton, Masjid dan Alun-alun

merupakan pusat kesakralan dan kosmologi yang melambangkan kekuatan

politik, kehidupan spiritual dan sebagai tempat penyelenggaraan upacara-

upacara tradisional keraton maupun keagamaan.

Dalam konteks kota (urban), Alun-alun termasuk dalam ruang terbuka

kota; yaitu merupakan salah satu dari beberapa elemen pembentuk suatu

kawasan perkotaan. Pada kenyataan fisiknya alun-alun hampir selalu

mempunyai bentuk segi empat, jajaran genjang atau hampir bujur sangkar. Alun-

alun berbentuk segi empat atau hampir bujur sangkar karena adanya konsep

“Mancapat” yang dianut oleh Orang jawa sebagai pusat orientasi spasial

(Zoetmulder, 1935 dalam P. Wiryomartono, 1995). Konsep “Mancapat” adalah

konsep yang berdasarkan empat arah mata angin; yaitu ara utara, arah timur,

arah selatan dan arah barat. Konsep empat arah mata angin ini dipegang dan

3

dijadikan pedoman oleh orang Jawa pada masa lalu untuk diterapkan pada

berbagai tatanan kehidupan sehari-hari; misalnya sebagai pedoaman pada tata

ruang rumah tinggal sampai pada tatanan sebuah kawasan, termasuk Alun-alun.

Proses perkembangan kota sampai pada dewasa ini menempatkan

keberadaan Alun-alun sebagi ruang terbuka (“square”) kota yang dapat

dimanfaatkan sebagai wadah berkegiatan masyarakat kota; baik berupa kegiatan

yang bersifat periodik sampai pada kegiatan yang bersifat temporer. Kegiatan

yang dilakukan disini juga sangat beragam, baik kegiatan yang bersifat aktif

maupun pasif, kegiatan komersial maupun non komersial, serta kegiatan yang

dilakukan secara berkelompok maupun kegiatan yang bersifat individual. Adanya

perubahan yang terjadi di dalam sebuah Alun-alun terkait dengan fungsinya;

dimana pada awalnya adalah sebagai ruang privat sebuah keraton dan pada

saat ini berkembang menjadi ruang publik kota, tidak akan terlepas dari sejarah

panjang dari perkembangan sebuah Keraton itu sendiri dalam menjadi sebuah

kota yang majemuk. Bisa dikatakan bahwa Alun-alun tidak akan terlepas dari

perubahan jika ada elemen-elemen utama pembentuk kota yang lain mengalami

perubahan (Ikaputra, dalam Cecilia Kristywulan, 2003).

Salah satu model kota yang dapat dilihat sebagai prototype kota berlatar

belakang kerajaan di Pulau Jawa pada jaman pra-kolonial yang lebih muda

adalah Kota Yogyakarta. Berawal sebagai pusat Kerajaan Kasultanan

Yogyakarta, Kota Yogyakarta pada saat ini berkembang menjadi sebuah kota

yang sangat majemuk dengan segudang predikat yang melakat padanya. Mulai

dari predikat sebagai kota pendidikan, sebagai kota perjuangan, sampai dengan

sebagai kota pusaka budaya yang membuktikan bahwa keberadaan atau

kehadirannya mempunyai arti dan harus tetap terjaga citranya.

4

Sebagai model dari kota lama di Pulau Jawa, Kota Yogyakarta juga

memiliki Alun-alun pada pusat kotanya. Keberadaan Alun-alun di Yogyakarta ini

tidak bisa lepas dari adanya tata rakit Keraton Kasultanan Yogyakarta

Hadiningrat. Alun-alun menjadi elemen penting dalam membentuk struktur utama

pusat pemerintahan kerajaan Keraton Yogyakarta pada masa lalu. Yang menarik

dari Alun-alun di Yogyakarta adalah keberadaan atau munculnya Alun-alun

Selatan. Konsepsi/keberadaan Alun-alun Selatan ini dapat memberikan ciri yang

membedakan Kota Yogyakarta dengan kota lainnya. Hampir sama dengan Kota

Surakarta (solo) yang mempunyai dua buah Alun-alun, namun di Yogyakarta

Alun-alun Selatan dibuat lebih kecil dan terletak di dalam tembok benteng

Keraton Yogyakarta. Alun-alun Selatan disini nampak seperti halaman belakang

dari Keraton Yogyakarta. Pada Alun-alun Selatan tidak temukan lagi adanya

konsep “Catur Gatra Tunggal” seperti pada Alun-alun Utara yang memang

dipersiapkan sebagai sarana hubungan Keraton dengan Kota (dunia luar). Ide

atau gagasan mengenai Alun-alun Yogyakarta pada masa lalu dipengaruhi oleh

kesakralan Keraton Kasultanan Yogyakarta memang sulit dilepaskan dari unsur-

unsur misteri dan mitos yang mendasari konsepsi filosofi tatanan/susunan

Keraton Yogyakarta. Kepercayaan pada waktu itu meyakini bahwa Gunung

Merapi dan Laut Selatan adalah dua sumber kekuatan gaib. Dengan demikian

tata rakit Keraton tidak boleh membelakangi Gunung Merapi dan Laut Selatan.

Guna menghormati kedua sumber kekuatan gaib tersebut maka pada sisi utara

dan selatan Keraton di buat sebuah Alun-alun. Alun-alun Utara, selain sebagai

konsepsi “Catur Gatra Tunggal” juga sebagai penghormatan kepada Gunung

Merapi; sedangkan Alun-alun Selatan dibuat sebagai sebagai penyeimbang

Alun-alun Utara serta penghormatan kepada laut Selatan. Dengan Adanya dua

5

buah Alun-alun tersebut Keraton seolah-olah menghadap ke utara dan selatan.

Semenjak Keraton berdiri pasca perjanjian Giyanti pada tahun 1755, masyarakat

meyakini adanya sumbu imajiner antara jagad cilik (mikro kosmos) dengan jagad

gedhe (makro kosmos) Keraton itu. Sumbu itu berupa poros yang memanjang

dari Pantai Selatan ke Gunung Merapi. Sebuah poros berupa garis lurus dari

Selatan ke Utara melewati Panggung Krapyak – Keraton Yogyakarta – Tugu –

terus ke puncak Gunung Merapi. Poros ini sekarang dipercaya menjadi garis

imajiner dari konsepsi filosofis cikal bakal terbentuknya kota Yogyakarta. Bentuk

tata ruang berdasar garis imajiner ini dimaknai dengan Sangkan Paraning

Dumadi – Manunggaling Kawulo Gusti, yang menggambarkan proses dari

kelahiran seorang manusia menuju dewasa sampai kemudian akan kembali lagi

kepada sang pencipta. Sejumlah tempat yang berada dalam garis imajiner

tersebut merupakan simpul sosial, budaya dan ekonomi kegiatan Keraton pada

masa lalu.

Gambar 1.1 Konsepsi Filosofis Sumbu Imajiner Kota Yogyakarta

Sumber : FGD haribakti PU DIY ke-63, 2013

6

Proses perjalanan dan perkembangan kota seiring dengan waktu

membuat Kota Yogyakarta berubah. Berawal dari kota yang homogen (kerajaan)

menjadi kota yang heterogen (menyandang berbagai predikat). Perkembangan

Kota Yogyakarta pada saat ini terkesan semrawut; hal ini dapat dilihat pada

beberapa fenomena perkembangan, yaitu : berawal dari kota yang damai dan

tenang menjadi kota yang hiruk pikuk dan dimana-mana macet; dari kota yang

sejuk menjadi kota yang panas; serta dari kota yang berbudaya menjadi kota

yang komersial. Hal ini dapat terjadi dikarenakan perencanaan dan

pengembangan Kota Yogyakarta tidak memadukan konsep Yogyakarta pada

masa lalu, pada masa kini dan pada masa mendatang. “Kalau Yogyakarta ingin

tetap terjaga citranya, akar budaya dan sejarah tidak boleh ditinggalkan” (KGPH

Hadiwinoto, 2000). Pemikiran tersebut dikemukakan dalam diskusi rangkaian

“Parade Karya Arsitektur” yang bertema Citra Kota Yogyakarta : Masa Lalu,

Masa Kini dan Masa Mendatang di Keraton Yogyakarta. Pada kesempatan

tersebut KGPH Hadiwinoto mengatakan bahwa sejarah awal kota, merupakan

akar bagi pertumbuhan kota selanjutnya. Pengembangan kota yang dinamis

tetap tidak boleh kehilangan akar sejarah dan budayanya (Kedaulatan Rakyat,

2000).

Perkembangan Kota Yogyakarta juga berimbas pada perkembangan

kedua Alun-alun kota Yogyakarta. Alun-alun yang dulu merupakan halaman

privat sebuah Keraton kini berkembang menjadi area publik bagi masyarakat

Kota Yogyakarta. Bahkan kegiatan-kegiatan informal pendukung komersial mulai

tampak dan tumbuh di Alun-alun Kota Yogyakarta. Bila dibandingkan antara

Alun-alun Utara dengan Alun-alun Selatan pada saat ini, maka dapat dilihat

bahwa aktivitas/kegiatan publik di Alun-alun Selatan nampak lebih hidup dan

7

berkembang dengan sendirinya. Alun-alun Selatan saat ini menjadi salah satu

orientasi kegiatan publik bagi masyarakat Yogyakarta dan masyarakat luas.

Segala bentuk kegiatan dan atraksi didalamnya mampu memberi warna bagi

Kota Yogyakarta dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan;

sehingga Alun-alun selatan dapat menjadi salah satu tujuan wisata Kota

Yogyakarta.

Dalam buku Toponim Yogyakarta (Dinas Pariwisata, Yogyakarta, 2007) di

jelaskan bahwa pada era kerajaan atau pra-kolonial Alun-alun Selatan disebut

dengan istilah “pengkeran”, (bentuk krama) dari “mburi” (belakang), yaitu

merupakan halaman belakang privat Keraton Yogyakarta. Seluruh bagian Alun-

alun Selatan berada di dalam area benteng Keraton. Keberadaan ini berbeda

dengan Alun-alun Utara yang merupakan peralihan antara area luar dan dalam

benteng Keraton, dimana Alun-alun Utara merupakan penghubung antara istana

dengan kota (gambar 1.2). Ukuran Alun-alun Selatan ini juga lebih kecil

dibandingkan dengan Alun-alun Utara, atau sekitar 160 x 160 meter. Alun-alun

Selatan pada masa ini berupa ruang terbuka berbentuk lapangan persegi empat

yang tertutupi oleh pasir halus, serta memiliki pembatas berupa pagar dinding.

Alun-alun ini memilki dua beringin di tengahnya dan diberi pagar pada tiap

beringinnya; dan disebut dengan beringin “Supit Urang”. Selain sepasang

beringin “Supit Urang” terdapat sepasang beringin lagi yang terdapat pada

pertemuan/simpul lapangan Alun-alun dengan jalan yang mengarah ke selatan

(ke arah Plengkung Nirbaya / Plengkung Gading) yang disebut dengan beringin

“Wok”. Lapangan Alun-alun Selatan dikelilingi oleh pohon Pakel dan Kweni serta

pohon Gayam. Semua pohon dan tatanannya di lapangan Alun-alun Selatan

pada masa lalu memiliki makna khusus yang mendukung keberadaan Alun-alun

8

Selatan sebagai konsepsi dasar filosofis di bentuknya tata rakit Keraton

Yogyakarta.

Gambar 1.2 Peta Kasultanan Yogyakarta pada awal dirancang (sekarang menjadi KCB “Jeron Beteng”)

Sumber : FGD haribakti PU DIY ke-63, 2013

Fungsi dari Alun-alun Selatan pada masa lalu (masa kerajaan) adalah

sebagai wadah kegiatan-kegiatan privat dari Keraton Yogyakarta, seperti untuk

berlatih prajurit Keraton sampai dengan sebagai jalur prosesi dalam upacara

pemakaman jenazah seorang Sultan yang akan dimakamkan ke Pajimatan

Imogiri. Alun-alun Selatan dipergunakan untuk membantu mempersiapkan acara-

acara yang akan digelar di Alun-alun Utara, misalnya acara Grebeg Maulud,

Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Ini merupakan upacara ritual keagamaan

Keraton yang disesuaikan dengan peristiwa penting dalam Islam. Alun-alun

9

Selatan melambangkan kesatuan kekuasaan yang sakral antara raja dengan

para bangsawan yang tinggal di sekitar Alun-alun Selatan. Dengan demikian

keberadaan serta segala bentuk aktivitas dan kegiatan di Alun-alun Selatan lebih

bersifat intern dan oleh pihak-pihak dalam KeratonYogyakarta.

Gambar 1.3 Situasi & Kondisi Alun-alun Selatan di Sekitar Beringin Kurung tahun 1920

Sumber : Koleksi Foto Jogja Tempo Doeloe - gudeg net

Kondisi Alun-alun Selatan Kota Yogyakarta pada saat ini berbeda dengan

kondisi Alun-alun Selatan pada masa lalu. Pada area Alun-alun Selatan pada

saat ini terdapat lapangan berumput yang ditengahnya terdapat dua pohon

beringin. Lapangan ini dikelilingi oleh jalan aspal yang tersambung dengan lima

jalan/akses keluar-masuk Alun-alun. Disamping jalan aspal yang mengelilingi

lapangan juga terdapat perkerasan sebagai jalur pejalan kaki/pedestrian ways.

Didalam Alun-alun Selatan pada saat ini berkembang berbagai aktivitas publik

oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Perkembangan atau perubahan pada kondisi

Alun-alun Selatan ini seiring dengan adanya perkembangan dinamika kehidupan

Kota Yogyakarta. Berbagai macam kegiatan publik dan atraksi oleh masyarakat

muncul dan berkembang disini seiring dengan modernisasi kehidupan kota

Yogyakarta. Salah satu kebutuhan dalam perkembangan fisik pusat kota seperti

10

Kota Yogyakarta adalah pemenuhan suatu ruang publik, sebagai wadah

bersosialisasi masyarakat; dimana sosialisasi telah menjadi salah satu

kebutuhan dasar dari manusia dalam masyarakat kota pada saat ini (Maslow,

1995). Masyarakat Kota Yogyakarta memanfaatkan Alun-alun Selatan sebagai

wadah kegiatan sosialisasi yang bersifat rekreatif, seperti bertemu teman,

berolah raga, bermain, makan dan minum, maupun hanya sekedar duduk santai.

Gambar 1.4 Situasi & Kondisi Alun-alun Selatan di Sekitar Beringin Kurung tahun 2014

Sumber : Dokumantasi di lapangan, 2014

Pada pagi hari sekali banyak masyarakat yang beraktivitas jogging dan

berolah raga di area Alun-alun Selatan ini. Pagi menjelang siang dapat kita

jumpai beberapa komunitas masyarakat yang berkumpul disini, dan pada hari–

hari tertentu pada jam sekolah, di lapangan Alun-alun Selatan ini digunakan

sebagai lapangan olah raga oleh beberapa sekolah yang terletak tidak jauh dari

kawasan Alun-alun. Aktifitas baru beranjak ramai pada waktu sore hingga malam

hari; Alun-alun Selatan diisi oleh pengunjung yang berolahraga dan

menghabiskan waktu untuk bersantai, jalan-jalan serta berekreasi menikmati

suasana dan atraksi permainan yang ada. Selain itu, pada waktu-waktu tertentu

Alun-alun juga digunakan sebagai sarana untuk mengadakan acara-acara

kontemporer seperti konser musik, kampanye politik, pesta olah-raga (contoh :

11

Funbike); serta pegelaran budaya (contoh: pertunjukan wayang kulit). Segala

bentuk aktivitas/kegiatan dan berbagai atraksi publik yang rutin sehari-hari

ataupun berkala oleh masyarakat yang terjadi di Alun-alun Selatan pada saat ini

dapat dilihat sebagai refleksi kebudayaan dari masyarakat Yogyakarta pada saat

ini dalam menggunakan dan memanfaatkan ruang terbuka Alun-alun Selatan;

dimana kebudayaan dapat terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata

nilai (values), gaya hidup (life style), dan akhirnya aktivitas (activities) yang

bersifat konkrit yang terjadi dalam masyarakat (Amos rapoport, 1977).

Gambar 1.5 Kegiatan Olah Raga oleh Masyarakat pada Pagi Hari di Alun-alun Selatan

Sumber : Dokumentasi di lapangan, 2014

Gambar 1.6 Rekreasi dan Refreshing oleh Masyarakat pada pagi sampai malam hari di

Ruang Alun-alun Selatan Yogyakarta Sumber : Dokumentasi di lapangan, 2014

Perkembangan aktivitas/kegiatan publik yang terjadi di dalam Alun-alun

Selatan memicu pertumbuhan sektor-sektor informal pendukung komersial di

dalam Alun-alun Selatan. Pada saat ini di dalam Alun-alun Selatan dapat kita

jumpai kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pendukung komersial yang

tumbuh didalamnya yang menunjang keberadaannya sebagai ruang terbuka

publik bagi Kota Yogyakarta; seperti : berkembangnya Pedagang Kaki Lima

12

(PKL) mengisi dominasi fungsi penggunaan ruang didalam Alun-alun Selatan

dengan rentang waktu yang cukup panjang dan rutin; berkembangnya

persewaan atraksi permainan yang menempati atau mengisi ruas jalan di

sekeliling Alun-alun pada waktu sore hingga malam hari; munculnya spot-spot

sebagai area parkir (kendaraan roda dua maupun empat) di dalam Alun-alun

Selatan.

Gambar 1.7 Sektor Informal Pendukung Komersial di Alun-alun Selatan

Sumber : Dokumentasi di lapangan, 2014

Berkembangnya berbagai aktivitas publik seperti olah raga, rekreasi;

serta berkembangnya sektor informal pendukung komersial seperti munculnya

pedagang kaki lima yang sporadis, persewaan atraksi permainan yang

bertebaran di pinggir jalan dan di lapangan Alun-alun, serta parkir yang

menempati badan jalan dikawatirkan dapat berpotensi kurang aman dan

nyaman. Kondisi-kondisi yang seperti ini dapat memberikan beberapa dampak,

yaitu; selain membuat kualitas halaman belakang Karaton Yogyakarta crowded

secara visual juga mengganggu aktifitas sosial warga di dalam alun-alun itu

sendiri (rekreasi, bermain dan olahraga) pada saat Alun-alun Selatan ramai atau

dipadati oleh pengunjung. Kondisi ini memberikan kesan menjadi tidak rapi atau

tidak tertata dengan baik. Bila kondisi ini terjadi berkelanjutan dikawatirkan akan

menurunkan kualitas citra Alun-alun Selatan sebagai kelengkapan

keprabondalem Keraton Yogyakarta dan pemberi identitas bagi Kota Yogyakarta;

yang kemudian berimbas juga pada penurunan kualitas citra Kota Yogyakarta.

13

Kekawatiran ini juga pernah disampaikan oleh beberapa tokoh pengemuka di

Yogyakarta sebagai berikut :

“jika para kerabat Keraton merasa gerah dengan situasi alun-alun saat ini, itu

merupakan hal yang wajar. Pasalnya, alun-alun merupakan aset dan bukti

kebesaran Keraton Yogyakarta yang harus dilestarikan. Jika kondisinya kumuh

serta tidak teratur, maka secara langsung akan mencoreng peninggalan leluhur

tersebut” (Kepala Dinas Kebudayaan DIY yang juga merupakan budayawan Yogyakarta,

Djoko Dwiyanto; Kedaulatan Rakyat, 25 Februari 2010 )

Sri Sultan Hamengku Buwono X juga berpendapat :

“Pada dasarnya kekumuhan dari alun-alun itu memang mencerminkan citra dari

DIY. "Kekumuhan alun-alun itu punya cerminan kekumuhan keraton dan pribadi

yang jumeneng (pemimpinnya. red). Alun-alun itu kan memang tempat publik tapi

bukan berarti untuk tempat jualan dan parkir. Itu kelengkapan keprabondalem,

dimana ada keraton ya disitu ada alun-alun" (Sri Sultan HB X; Kedaulatan Rakyat,

25 Februari 2010)

Kawasan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu contoh dari sekian

banyak pusaka Yogyakarta yang wajib dijaga dan dilestarikan. Kawasan yang

menjadi pusat cikal bakal Kota Yogyakarta yang di kenal juga dengan area

“Jeron beteng” ini diharapakan mampu memberikan wajah bagi Kota Yogyakarta.

Wajah yang memberikan kesan dan membentuk memori kolektif bagi siapa saja

mengunjunginya; yang menunjang pada pembentukan identitas Kota

Yogyakarta. Alun-alun Selatan sebagai salah satu komponen dari kawasan

Keraton perlu diperhatikan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Jika kita

melihat gambaran kondisi Alun-alun Selatan pada saat ini dan melihat gambaran

14

kondisi Alun-alun Selatan pada masa lalu, maka dapat diketahui adanya

perbedaan/perubahanan pada tatanan fisik di dalam Alun-alun Selatan.

Perbedaan/perubahan tatanan fisik pada Alun-alun Selatan ini juga diikuti

adanya perubahan pemanfaatan serta aktivitas/kegiatan yang terjadi di dalam

Alun-alun Selatan. Perbedaan ini tentunya akan memunculkan pemaknaan yang

berbeda di Alun-alun Selatan pada masa lalu dan sekarang. Dijaga dan

dilestarikan bukan berarti dikekang perkembangannya, pelestarian berhubungan

erat dengan keberlanjutan kota, dibiarkan berkembang dan dikendalikan

sekaligus. Perancangan kawasan kota yang baik adalah perancangan yang

memperhatikan pada masa lalu, pada masa sekarang, dan pada masa yang

akan datang. Dilestarikan dan berkembang sekaligus, dalam untaian benang

merah sejarah, agar karakteristiknya sebagai pendukung karakter Kawasan

Cagar Budaya Keraton tetap terjaga; yang berarti pula turut menjaga citra Kota

Yogyakarta.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Dari uraian latar belakang dapat diketahui adanya perkembangan yang

terjadi di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Kondisi perkembangan Alun-alun

Selatan sampai pada saat ini dikawatirkan dapat mempengaruhi kualitas

citra/karakter Alun-alun Selatan sebagai kelengkapan keprabondalem Keraton

dan sebagai identitas kawasan pusaka budaya yang telah terbentuk pada masa

lalu. Citra/karakter suatu kawasan/tempat berkaitan dengan tatanan fisik,

fungsi/kegiatan, serta makna tempat.

Dengan demikian, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan

penelitian sebagi berikut :

15

1. a. Seperti apakah karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta pada masa lalu

dan pada saat ini ?

b. Seperti apakah perubahan karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta saat ini

?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan karakter Alun-

alun Selatan ?

3. Strategi apakah yang dapat dilakukan dalam upaya melestarikan Alun-alun

Selatan sebagai salah satu karakter kawasan pusaka budaya Yogyakarta ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan pada Alun-alun Selatan Yogyakarta yang telah

mengalami perbedaan/perkembangan semenjak direncanakan sampai pada saat

ini. Tempat yang semula direncanakan sebagai halaman privat sebuah keraton

serta lambang kesatuan kekuasaan yang sakral antara raja dengan para

bangsawan keraton yang tinggal di sekitar Alun-alun Selatan kini berkembang

menjadi ruang terbuka publik bagi Kota Yogyakarta. Dimana dalam

perkembangannya tersebut disinyalir adanya perubahan/perbedaan tatanan fisik

dan fungsinya, yang berakibat pada pembentukan makna tempat yang baru; dan

ini dikawatirkan yang akan berimbas/berpengaruh pada kualitas citra/makna

Alun-alun Selatan yang menjadi kelengkapan keprabondalem keraton dan

sebagai bagian kawasan pusaka budaya Yogyakarta. Dari kondisi yang ada

tersebut, tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

16

1. Mengetahui karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta pada masa lalu (sebagai

karakter dasar yang dimiliki oleh Alun-alun Selatan sebagai elemen pusaka

budaya) dan karakter Alun-alun Selatan pada saat ini.

2. Mengidentifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan karakter Alun-

alun Selatan sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam

mempertahankan/melestarikan serta menjaga karakter Kawasan Alun-alun

Selatan Yogyakarta kedepannya.

3. Merumuskan strategi/design guidlines yang dapat dilakukan pada Alun-alun

Selatan dalam upaya melestarikan karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta

sebagai bagian dari kawasan pusaka budaya Keraton Yogyakarta.

1.4 Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan karakter kawasan pada hal tatanan

fisik, kegiatan dan lainnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti

sebelumnya dengan fokus detail yang berbeda di beberapa lokasi. Penelitian-

penelitian tersebut digunakan sebagai ‘prevous study’ dan rujukan. Penelitian ini

merujuk pada penelitian sebelumnya, yaitu : Kajian Karakter Kawasan Historis

“Alun-alun lama Semarang” oleh FX Prasetya Cahyana, 2013 dalam hal cara

membaca komponen karakter yang ada dalam sebuah kawasan berserta elemen

Urban Design yang membentuk karakter kawasan, dimana elemen yang

membentuk karakter kawasan ini akan dikerangkakan lebih lanjut dengan melihat

Alun-alun Selatan Yogyakarta sebagai ruang terbuka “square” yang merupakan

bagian dari Urban Design, sebagai lokus penelitian ini. Beberapa penelitian yang

pernah dilakukan sebelumnya sebagai “previous study “ dan rujukan adalah

sebagai berikut :

17

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No Peneliti Tahun Judul Fokus Lokus Metode

1 Maria Triatmandany Dyah Irianawati

2002 Arahan Rancangan Sebagai Dasar Pengembangan Kawasan Kota Baru di Yogyakarta Untuk Mempertahankan Citra Kawasan

Citra Kawasan terkait dengan perubahan fungsi, langgam bangunan dan vegetasi kawasan

Kota Baru, Yogyakarta

Deskriptif kualitatif, Observasi, Pengkategorian melibatkan pakar & awam

2 Yohannes Firzal

2002 Arahan Rancangan Menjaga Karakter Visual Kawasan. Studi Kasus : Jl.Asia-Afrika, Bandung

Karakter visual : uniqueness & spirit of place dengan elemen signifikan kawasan : massa bangunan, ruang, sirkulasi, fungsi, aktivitas, vegetasi

Jalan Asia-Afrika, Bandung

Observasi, Deskriptif kualitatif

3 Endi Hasary 2004 Perubahan Identitas Kawasan Alun-alun Klaten sebagai Ruang Terbuka publik

Morfologi kawasan Alunalun Klaten sebagai ruang terbuka Publik

Kawasan Alun-alun Klaten

Rasionalistik, Observasi, Wawancara

4 Faizrul Ramdan

2009 Arahan Rancangan Pengendalian Karakter Visual Kawasan Kota Lama Padang

Arahan Rancangan Pengendalian Karakter Visual Kawasan Kota Lama Padang

Kawasan Kota Lama Padang

Rasionalistik kualitatif

5 Muhammad Zaki

2010 Perubahan karakteristik kawasan Karebosi sebagai Ruang Terbuka Publik ditinjau dari kajian Spasial dan Historikal

Morfologi kawasan dan Kajian Spasial Historikal Lapangan Karebosi Makassar sebagai Ruang Terbuka Publik

Kawasan Lapangan Karebosi Makassar

Rasionalistik, observasi, wawancara.

6 Fx. Prasetya Cahyana

2013 Karakter Kawasan Historis Alun-alun lama Semarang

Kajian karakter kawasan meliputi aspek fisik, fungsi dan makna kawasan

Kawasan Alun-alun lama Semarang

Observasi, Deskriptif Kualitatif

7 Ary Prasetiyo 2015 Karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta

Kajian karakter kawasan meliputi aspek fisik, fungsi dan makna kawasan

Alun-alun Selatan Yogyakarta

Observasi, Deskriptif Kualitatif