BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

39
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Unzilal quran fil „arob, wa quria fi jawa (al-Quran diturunkan di Arab, namun ia lebih banyak dibaca di Jawa) --KH. Abdul Kholiq Syifa-- 1 Ini cerita tentang awal-mula keterantukan saya pada nada-nada tilawatil quran dan kerabat estetiknya. Orang-orang di kampung saya membilang tilawatil quran dengan sebutan singkat; tilawah. Alkisah, saat saya dilahirkan, uwak 2 saya, Murni, yang mengalmarhum sekira 18 tahun lalu, telah tidak lagi mau menyedekahkan suara emasnya di depan haribaan jibunan orang. Musababnya panjang. Ia telah menua. Tenaganya sudah tidak lagi bercadang. Pipinya yang keroak akibat hantaman kayu broti seorang lelaki pendengki di kampung kami pun menuntutnya untuk tidak lagi bersuka-suka melampaikan nada-suara lantunan al-Quran. Bahkan untuk hanya menyenandungkan mawlid barzanji, yaitu karangan prosa berbahasaarab tentang riwayat Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Syekh Ja‟far al-Barzanji (1716 M), pun ia akan mengulur-ulur pikiran. Padahal, di kampung saya, al-Quran dan mawlid barzanji adalah dua sejoli yang harus dipermantra di saat-saat keramat. Baik saat pernikahan, kelahiran, kekahan, 3 selametan, khataman al-Quran, khitanan, dan sepuak-puaknya. Lalu 1 Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dawuh ini disampaikan di acara “Pengajian Muharram” Masjid Nirnama Karangarum, 15/12/2012. 2 Abang ayah. Di Jawa disebut Pak Dhe. 3 Dari kata “aqiqah”, yaitu upacara pemotongan dua ekor kambing sebagai “penebus” kelahiran bayi laki-laki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan. “Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan Islam M. YASER ARAFAT Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Unzilal quran fil „arob, wa quria fi jawa

(al-Quran diturunkan di Arab, namun ia lebih banyak dibaca di Jawa)

--KH. Abdul Kholiq Syifa--1

Ini cerita tentang awal-mula keterantukan saya pada nada-nada tilawatil

quran dan kerabat estetiknya. Orang-orang di kampung saya membilang tilawatil

quran dengan sebutan singkat; tilawah. Alkisah, saat saya dilahirkan, uwak2 saya,

Murni, yang mengalmarhum sekira 18 tahun lalu, telah tidak lagi mau

menyedekahkan suara emasnya di depan haribaan jibunan orang. Musababnya

panjang. Ia telah menua. Tenaganya sudah tidak lagi bercadang. Pipinya yang

keroak akibat hantaman kayu broti seorang lelaki pendengki di kampung kami

pun menuntutnya untuk tidak lagi bersuka-suka melampaikan nada-suara lantunan

al-Quran. Bahkan untuk hanya menyenandungkan mawlid barzanji, yaitu

karangan prosa berbahasaarab tentang riwayat Nabi Muhammad SAW yang

ditulis oleh Syekh Ja‟far al-Barzanji (1716 M), pun ia akan mengulur-ulur pikiran.

Padahal, di kampung saya, al-Quran dan mawlid barzanji adalah dua sejoli

yang harus dipermantra di saat-saat keramat. Baik saat pernikahan, kelahiran,

kekahan,3 selametan, khataman al-Quran, khitanan, dan sepuak-puaknya. Lalu

1 Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dawuh ini disampaikan

di acara “Pengajian Muharram” Masjid Nirnama Karangarum, 15/12/2012. 2 Abang ayah. Di Jawa disebut Pak Dhe.

3 Dari kata “aqiqah”, yaitu upacara pemotongan dua ekor kambing sebagai “penebus” kelahiran

bayi laki-laki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

ayah merayu-rayu wak Murni. Ayah berharap agar ia sudi menyedekahkan

suaranya di upacara kekahan saya. Sekali saja. Sedaya-bisa. Selepas beberapa

jenak, akhirnya uwak saya itu berkersa. Betapa sumringahnya ayah. Lalu ia cepat-

cepat merogoh celengannya. Agar dua ekor kambing yang disyariatkan untuk

disembelih demi mengkekahi saya, anak lelaki pertamanya, dapat dipastikan

pembeliannya.

Kata ayah, keajaiban menghariba di malam kekahan itu, malam ketujuh

usia saya di dunia. Para hadirin terhisap ke alam nada-nada. Wak Murni menyihir

mereka dengan liang-liuk suara lantunan al-Quran dan senandung mawlid

barzanji. Sehingga mereka rela membetahi takdir untuk berleyeh-leyeh barang

beberapa bentar di atas rakit-rakit nada. Tentu saya tidak tahu kejadian itu

sepersis-persisnya. Waktu itu saya belum lagi bisa mencecap manis-pahit sejarah.

Saya hanya berakidah pada cerita ayah. Kelak, saat saya sudah bisa membata-

batakan bahasa, ayah sering membawa saya berhadir di majelis yang di sana al-

Quran dilantunkan, mawlid barzanji disenandungkan, sholawat dan kasidah pepuji

pada nabi didendangkan. Setelah ayah memasukkan saya ke sebuah madrasah,

yaitu semacam Taman Pendidikan al-Quran (TPA), para guru mulia di sana

menyuntikkan berliter-liter pengetahuan keislaman terpenting yang bersumber

dari al-Quran ke dalam kepala saya. Sebagian besarnya adalah ilmu-ilmu asas

bangunan Islam; tauhid atau akidah, sejarah nabi, tajwid, imla atau ilmu menulis

huruf Arab, dan fiqh atau ilmu hukum Islam.

Ilmu terpenting yang wajib dikuasai oleh setiap murid madrasah adalah

tajwid, yaitu pengetahuan teknis yang mengatur ketetapan dan ketepatan pelafalan

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

huruf, kesahihan pengucapan kata-kalimat al-Quran berikut panjang, pendek, dan

dengung-dengungnya.4 Dari sana, tahulah saya bahwa kepada al-Quran, kitab

bernada yang telah sering saya simak sebelumnya, lah umat Islam sejagadraya

berkitabsuci. Lantas, saya semakin memesrai gelegak golak baca-membaca dan

lantun-melantun al-Quran. Pelan-pelan, ayah pun mulai mengenalkan dunia

tilawah yang lebih luas kepada saya. Pada suatu waktu, ia menceritakan kisah

seorang pelantun al-Quran (qori) internasional dari Indonesia. Muammar ZA

namanya. Saat melakukan penelitian ini, saya berjumpa dengan banyak qori dan

pecinta al-Quran generasi 1970-1980-an yang mengidolakannya. Bagi mereka,

qori kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, itu, dianggap sebagai satu-satunya qori

tercempiang di Indonesia. Nafasnya panjang. Suaranya jernih. Kegagahannya pun

sangat kentara. Seperti tergambar di sampul kaset-kasetnya; duduk bersila dengan

al-Quran terbuka di atas rehal,5 berkacamata, berpeci hitam, dan berjas. Ayah juga

turut menyinggung qori ternama di kota kami, Medan. Hasan Basri, Khuwailid

Daulay, dan entah siapa lagi.

Ayah pernah mengajarkan tilawah kepada saya. Walaupun tilawah yang

diajarkannya pada saya masih terasa jauh gema dari suara -mengingat suaranya

yang fals, namun, dapat dibilang, ayahlah guru tilawah pertama saya. Memang,

selain ayah, ada beberapa guru tilawah di kampung sebelah yang rutin saya

datangi. Hanya saja, saya kurang pandai bertetap-hati. Kelas tilawah bersama

mereka tidak terlalu tegak saya dirikan. Saya sering membolos. Bila tidak, saya

akan membudak pada seribu alasan khas masa kanak agar saya tidak dikenakan

4 Hasani Syaikh Utsman, Haqqut Tilawah (Makkah: Darul Manarot, 1994), halaman 49-52.

5 Semacam alat untuk meletakkan al-Quran agar tidak besejajar atau lebih rendah daripada telapak

kaki pembaca al-Quran.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

kewajiban berlatih tilawah. Maklum saja. Di kampung saya, tilawah itu amal

pembangga hati. Para orangtua pasti akan berbagak-bagak bila satu di antara

beberapa anak mereka mahir bertilawah. Karena itu, mereka bisa sangat keras

mengikhtiarkan waktu agar anak-anak mereka mau belajar tilawah. Akan tetapi,

itu peristiwa zaman dahulu. Sekarang agaknya tidak lagi. Hingga saat ini, saya

belum lagi mendapati bibit-bibit qori baru di kampung saya. Juru azan yang rutin

meneriaki telinga warga setiap kali waktu sholat menyapa pun hanya seorang

kakek renta. Anak-anak mudanya mengacir dengan dunianya.

Begitulah. Bukan tidak mungkin tilawah akan ditinggalkan zaman.

Pasalnya, bertilawah adalah amal berat. Tidak setiap muslim mampu merajainya.

Lagipula, tilawah itu nomor dua. Memang, Nabi Muhammad SAW pernah

bertitah dalam sejumlah sabda yang berisi anjuran untuk mempercantik bunyi

bacaan (baca: bertilawah), di antaranya; Allah tidak memberi izin terhadap suatu

perbuatan sebagaimana Nabi diizinkan membaguskan suara dalam melantunkan

al-Quran;6 bukan golongan kami orang yang tidak melantunkan al-Quran;

7

hiasilah al-Quran dengan suaramu.8 Hanya saja, anjuran tersebut beralamat di

fase kedua setelah penguasaan tajwid. Bagaimanapun, percantikan bunyi bacaan

harus menghamba pada tajwid. Sebab, hanya dari penghambaan itu, pembacaan

al-Quran berbiak menjadi pelantunan al-Quran atau yang saat ini dikenal dengan

istilah tilawah atau tilawatil quran.

6 al-Bukhori, Shohih Bukhori (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006), hlm. 720.

7 al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrok „alash Shohihayn (Cairo: Darul Haromayn, 1997), Juz I,

hlm. 771-773. 8 Ibid., hlm. 774-782.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

Kelak, di Indonesia dan di beberapa negara Arab dan Asia, kemampuan

bertilawah bahkan dipertandingkan dalam ajang Musabaqoh Tilawatil Quran

(MTQ). Khusus di Indonesia, walaupun masih tergolong belia, MTQ menjelma

sebagai bensin pemantik unggunan tradisi tilawah. Pada tahun 1962, MTQ

Internasional dalam rangka Konferensi Islam Asia-Afrika pernah digelar di

Indonesia. Sementara MTQ Nasional (MTQN) untuk pertama kalinya baru dihelat

pada tahun 1968.9 Hari ini, tahun 2013, MTQN telah memasuki kali yang ke-24.

Ada banyak qori Indonesia yang dikenal oleh masyarakat dunia yang lahir dari

rahim MTQ. Setiap masa, selalu saja ada nama qori Indonesia terbaru yang

didaftarkan dunia sebagai juara MTQ Internasional. Bila tidak memeringkati

urutan pertama, qori-qori Indonesia biasanya tidak akan lalai untuk merebut kursi

urutan lima besar terbaik dunia.

Saya bahagia dapat mengenal dan berkarib dengan beberapa qori itu.

Mukmin Aenul Mubarok, qori dari Tasikmalaya, Jawa Barat, di antaranya.

Rekaman haflahnya10

di Masjid Faishal, Pakistan, pada tahun 2009, yang saya

unduh dari situs www.youtube.com, merupakan pelatuk niat untuk menembak

tradisi tilawah ini secara akademik. Pada tahun 2009 Mukmin menjadi juara

pertama di ajang MTQ Internasional di Malaysia dan juara kedua MTQ

Internasional di Iran. Sejak itu, ia sering diundang menjadi qori pehaflah utama di

9 Muhaimin Zen & Akhmad Mustafid (ed.), Bunga Rampai Mutiara al-Quran; Pembinaan Qori-

Qoriah dan Hafizh-Hafizhah (Jakarta: PP Jamiyyatul Qurra wal Huffazh), hlm. 27. 10

Haflah (حفح) berasal dari kata ha-fa-la ( ي-ف-ح ). Artinya; berkumpul dalam jumlah banyak. Lois

Malouf, al-Munjid fil Lughoh wal A‟lam (Beirut: Daar al-Masyriq, 2005), hlm. 143. Dalam dunia

seni baca al-Quran di Indonesia, istilah haflah telah dipatenkan menjadi nama peristiwa

berkumpulnya banyak orang untuk mendengarkan pembacaan al-Quran oleh beberapa qori. Ia

dapat diibaratkan sejenis “konser al-Quran”. Setiap qori melantunkan al-Quran selama beberapa

menit, bahkan lebih dari 1 jam, di depan para hadirin. Istilah lain yang terkadang dipakai adalah

mahfil (حف).

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

berbagai daerah di Indonesia, Pakistan, Singapura, Hongkong, dan Amerika

Serikat. Darwin Hasibuan juga menggores prestasi sepadan. Pada tahun 2011 lalu,

qori asal Medan, Sumatera Utara, itu, menyabet gelar juara kedua MTQ

Internasional di Iran. Sedangkan di tahun 2012, ia terpilih sebagai juara pertama

MTQ Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) di Malaka, Malaysia. Jauh sebelum itu,

tercatat telah ada banyak qori internasional dari Indonesia. Mulai Ahmad Syahid

(1968), Abdul Aziz Muslim (1964), Maria Ulfah (1981), Muammar ZA (1982),

dan masih banyak lagi.

Kelopak kebahagiaan di hati saya benar-benar merekah saat sejarah

menggiring saya untuk melipat-lipat ruang-waktu dalam persejawatan dengan

kawan-kawan qori.11

Terutama kawan-kawan qori yang tinggal di Kota

Karangarum, Provinsi Karangarum. Rata-rata, usia mereka berkisar di antara 20-

40 tahun. Satu orang sudah berprediket qori internasional. Lima orang masih baru

menasional. Sementara selebihnya banyak yang belum bisa berunjuk-diri di

pentas tilawah nasional. Ada pula kawan-kawan qori yang kukuh belajar tilawah,

namun, mereka menyengajakan diri untuk tidak sibuk ber-MTQ. Mereka kaum

minoritas. Tanpa menyungkurkan hormat kepada kawan-kawan qori yang

berusaha mati-matian untuk menjadi juara MTQ, saya terang-terangan menyunggi

hormat secacak-cacaknya buat golongan terakhir, qori minoritas, itu.

Prestasi para qori Indonesia di kancah tilawah internasional serta arus

deras minat anak-anak muda bangsa dalam belajar al-Quran dan mempelajari

tilawah itu cukup menakjubkan. Indonesia bukan negara Islam. Bukan negara

11

Mereka adalah informan saya. Akan tetapi, saya lebih suka menyebut mereka: “kawan-kawan”

atau “kawan penelitian”.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

Arab. Bukan pula ibu pertiwi bagi nada-nada qurani. Namun, faktisitas kultural

dan prestasi yang lahir dari polah tilawah itu menjadi tanda bahwa tilawatil quran

telah mengakar-kuat di dalam telatah kebudayaan masyarakat Islam Indonesia.

Seperti anggitan KH. Abdul Kholiq Syifa yang saya kutip di atas. Al-Quran

memang diturunkan di Arab, akan tetapi ia justru lebih banyak dibaca di Jawa.12

Karena itu, tilawah di Indonesia tidak dapat dicandra hanya sebagai kultur

kelatahan religius yang meletup dari materi persebaran kebudayaan Arab-Islam ke

seluruh kawasan. Pasti ada peta “kognitif” yang melambari pertumbuhannya.

Alhamdulillah! Setelah mengkhatamkan pembacaan peta itu melalui

penelitian ini, saya dijumpakan Tuhan dengan sebersit pemahaman. Bahwa

tilawah di Indonesia ternyata tidak hanya berstatus sekedar sebagai seni. Sejauh

ini, ia memang lazim disebut seni membaca al-Quran (the art of reciting the

quran). Orang Arab juga melisankannya dengan kalimat fannut tilawah (ف ارالج)

atau fannut tartil (ف ارطذ١) yang keduanya sama-sama berarti; seni baca al-Quran.

Sebagian besar akademisi dan bahkan para qori di Indonesia sendiri juga

menyatakannya sebagai seni baca al-Quran. Hanya saja, saya menemukannya

lebih dari „sekedar‟ seni. Tiga kawan qori terbaik saya dalam penelitian ini: Akid,

Pati, Sahal, serta beberapa kawan-kawan qori lainnya telah menggeret matahari

itu untuk saya. Melalui polah-solah quranik yang mereka pertontonkan, di sini

saya menyimpulkan bahwa bertilawah itu sama saja dengan bertarekat atau

berlelaku. Saya menjamin ini tidak berlebihan. Di telatah ini, tilawah telah diolah

12

“Jawa” di sini harus dibaca sebagai Nusantara atau Indonesia sebelum dikonstruksi menjadi

negara modern. Asia Tenggara juga termasuk Jawa. Orang-orang Arab pra-Islam bahkan

menyebut Asia Tenggara sebagai: Biladu Jawa atau Negeri Jawa. Lihat Michael Laffan, Islamic

Nationhood and Colonial Indonesia (London: Routledge Curzon, 2003).

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

secara kreatif oleh anak-anak „Ajam atau bangsa yang tidak fasih berbahasa(arab).

Kawan-kawan qori itu di mata saya tampak telah mengeksotikkan,

mengkeramatkan, dan bahkan memistikkan tilawah! Mereka menyelingkit saya

untuk tidak bermakmum pada kaul segolongan besar umat akademis yang

membaptis tilawah cuma sebagai sepicis “artefak seni”. Begitulah.

Berlambarkan hal itu, tesis ini saya juduli dengan sebaris kalimat;

“Tarekat Tilawatiyah”: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan

Islam. Kata “tarekat” yang saya ejakan di sini tidak mengacu pada tarekat sebagai

sebuah ordo sufistik. Akan tetapi “tarekat” sebagai sebuah jalan berkesenian yang

bukan “jalan biasa”. “Tarekat Tilawatiyah” adalah tarekat yang bukan tarekat. Ia

jalan seni yang bukan jalan seni. Untuk lebih jelasnya, saya merasa nikmat

membahasakannya dalam istilah; lelaku-seni. Ya! Lelaku-seni! Tilawah itu

lelaku-seni yang ditempuh oleh seorang qori. Dengan bertilawah, para qori

sebenarnya sedang berjuang untuk memakrifati diri, mengasmarai Muhammad

sang wadah wahyu, membaca sejarah, menandingi zaman, melontarkan pikiran,

dan menunaikan aspirasi. Semoga kata “lelaku” di sana akan langsung

membawakan suluh pemahaman pada kekeramatan kata yang menyetelahinya.

Tarekat Tilawatiyah juga berarti lelaku-seni yang ditempuh oleh kawan-

kawan qori untuk mengekspresikan Islam, yang di sini, saya sebut sebagai lelaku

menilawahkan Islam. Saya berharap agar istilah “menilawahkan Islam” tidak

terdengar sengau. Istilah itu saya tetaskan hanya untuk mengatakan bahwa oleh

para qori, Islam diamalkan serupa tilawah. Terkadang “nada” Islam harus mereka

naikkan. Terkadang pula nada itu wajib mereka turunkan. Lalu, tiba-tiba nada itu

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

mereka naikkan lagi melebihi kadar kenaikan awalnya. Tiba-tiba pula nada itu

mereka makzulkan sekehendaknya. Lalu, setelah berselang singkat masa, tiba-tiba

nada itu mereka hidupkan lagi entah dengan apa dan entah dengan bagaimana.

Dalam “tenggorokan” mereka, Islam mengalun dengan ketidakpastian tempo.

Sekilas, karena “keliaran berislam” itu, mereka tampak cenderung

menyerongi rambu keberislaman orang awam. Seolah-olah mereka buta al-Quran

dan tidak tahu Islam “yang benar”. Saat belum memahami ritme keberislaman

para seniman al-Quran atau para penganut Tarekat Tilawatiyah itu, saya sendiri

acap menyabung mereka dengan tembok legalisme agama. Untung saja, seiring

benderang pemahaman tentang seluk-beluk tabiat seni, barulah saya tahu bahwa

“kesesatan” yang mereka pertontonkan di depan saya adalah wajah lain kelurusan.

Kesesatan mereka adalah kebenaran yang tertunda. Mereka itu para penggaul

dasa-nama sejarah; baik-buruk, cantik-jelek, naik-turun, benar-salah. Mereka

sebenarnya sedang mengadon ramuan-ramuan Islam dalam kuali “karya seni”.

Sehingga akan sangat sulit untuk menapis mana abcdefgh, hanacaraka, atau

abatasaja. Seperti halnya proses kreatif mereka dalam melakonkan tilawah yang

akan saya ceritakan nanti. Semuanya lebur. Fana.

B. Rumusan Masalah

Pada saat proposal penelitian ini ditulis, hasil penelitian yang saya

mukaddimahkan di atas beranjak dari dua pertanyaan penelitian. Pertama, apa

makna tradisi tilawatil quran yang berkembang di Indonesia? Kedua, bagaimana

Islam diekspresikan oleh para qori dan apa maknanya?

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

C. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa makna tradisi tilawatil

quran di Indonesia dan makna ekspresi Islam para qori. Ruang lingkup penelitian

ini adalah Kota Karangarum, Provinsi Karangarum. Wilayah ini saya pilih karena

di sana ada banyak ahli ilmu al-Quran (muqri), qori, dan hafizh (penghafal al-

Quran). Secara khusus, saya punya ikatan hubungan sosial yang panjang dengan

qori-qori penting di kota ini, khususnya kawan-kawan qori yang bertempatinggal

di Masjid Nirnama Karangarum dan kawan-kawan qori yang tergabung dalam

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Roudhotul Qurro wal Huffazh (RQH)13

Al-Kail

Universitas Asmaradana Karangarum.

Suatu ketika, yaitu bulan Ramadhan tahun 2012 lalu, saya sengaja

“menyantri kilat” di Pesantren Murottalul Quran “Al-Mubarok”, Awipari,

Cibereum, Tasikmalaya yang diasuh oleh KH. M. Zaenal Abidin dan Pesantren

Murottalul Quran “Mukmin Aenul Mubarok”, Nagarakasih, Kersanegara,

Cibereum, Tasikmalaya, yang diasuh oleh Mukmin Aenul Mubarok. Ada banyak

hal yang saya lihat dan catat di sana. Karena itu, dalam tesis ini, saya

memasukkan sedikit lengkingan suara dari catatan „wisata‟ itu untuk memperkaya

uraian dan mempertajam perspektif.

D. Kajian Pustaka

Kristina Nelson telah merintis kajian terawal tentang seni baca al-Quran

melalui disertasinya di University of California, Berkeley, USA, yang telah

13

Artinya: taman para qori dan penghafal al-Quran. UKM tersebut adalah unit kegiatan mahasiswa

yang menghimpun para pelantun al-Quran, pendendang sholawat, para hafiz atau penghafal al-

Quran, dan para kaligrafer atau pelukis ayat al-Quran.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

dibukukan dengan judul The Art of Reciting the Quran (USA: University of Texas

Press, 1985). Selama lebih-kurang 3 tahun melakukan penelitian di Mesir, ia

melihat eksistensi seni baca al-Quran dalam hubungannya dengan tradisi

bermusik dan berlagu masyarakat Arab. Hasilnya, Nelson mengatakan bahwa seni

baca al-Quran merupakan peristiwa juxtapose yang mempertemukan manusia dan

Tuhan dalam suatu “kerja budaya”. Kerja Tuhan tercurah dalam bebunyian al-

Quran itu sendiri. Sedangkan kerja manusia tertumpah dalam pelantunan al-Quran

dengan beragam lagu, berbagai teknik suara, dan pemahaman makna. Dari sanalah

ia menyebut tilawah sebagai the great art. Nelson telah berhasil mendeskripsikan

tilawatil quran dan menjelaskan hakikatnya bagi bangsa Arab, bangsa pengucap

Bahasa Arab yang sejak lahir telah “menangis” dengan nada-nada Arab.

Sebelumnya, ia telah menginisiasi tesisnya itu dalam tulisan berjudul Reciter and

Listener: Some Factors Shaping the Mujawwad Style of Quranic Reciting.14

Anna M Gade, dalam buku Perfection Makes Practice; Learning,

Emotion, and The Recited Quran in Indonesia (USA: University of Hawai‟i Press,

2004) telah memulai penelitian tentang dunia pengajaran dan pembelajaran al-

Quran di Indonesia sejak tahun 1997 sampai tahun 2000. Ruang lingkup

penelitiannya adalah Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jakarta. Dengan

menjadikan motivasi dan emosi sebagai kerangka teori, ia menemukan empat

macam aktivitas atau kemampuan quranik masyarakat Islam Indonesia;

memorization (menghafal al-Quran), reading (membaca al-Quran), expressive

aesthetics (melantunkan al-Quran), dan competing (berlomba-lomba dalam

14

Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society for Ethnomusicology, Vol. 26, No. 1,

Januari 1982, hlm. 41-47.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

membaca al-Quran). Bagi Gade, empat macam kemampuan quranik itu

merupakan ekspresi kesalehan masyarakat Islam Indonesia, yang ia masukkan

sebagai efek motivasi “kecemburuan untuk kebaikan (an envy for goodness)”.

Hemat saya, kertas kerja Gade ini bersifat deskriptif. Keunggulannya terletak pada

upayanya menghubungkan praktik berquran masyarakat Indonesia dengan

penciptaan tingkat religiusitas.

Anne K Rasmussen dalam Women, the Recited Quran, and Islamic Music

in Indonesia (USA: University of California Press, 2010) menyinggung pasal seni

baca al-Quran di Indonesia dalam satu di antara beberapa bahasan mengenai

fenomena tertampilkannya Islam di ruang-suara (sound-scape) masyarakat. Lebih

khusus lagi, ia memotret eksistensi para perempuan pelantun al-Quran (qoriah) di

sana. Seperti Maria Ulfah, qoriah Indonesia yang kualitasnya telah diakui secara

internasional; Nurasiah Djamil, pelopor grup nasyid dan qoriah terbaik Indonesia

pada tahun 1968; serta para qoriah lain yang tergabung dalam grup nasyid

populer, Nasyida Ria. Fakta itu kemudian ia soroti sebagai manifestasi praktik

pembacaan al-Quran, islamisme musik, wacana keperempuanan, dan nasionalisme

yang terlecut bersamaan dengan rembetan fakta revivalisme Islam global ke

Indonesia. Kelebihan kerja akademik Rasmussen ini terletak pada kejeliannya

menangkap kenyataan keperempuanan dalam realitas kebudayaan quranik

masyarakat Islam Indonesia.

Abul Haris Akbar mengajukan skripsi kepada Jurusan Tafsir-Hadis

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009 yang berjudul

Musikalitas al-Quran (Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal dan Eksternal).

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

Dengan metode studi kepustakaan, Akbar menemukan adanya dua dimensi yang

menyebabkan al-Quran tampil sebagai bacaan dengan keindahan bunyi, yaitu

dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal bunyi al-Quran diperkuat

oleh struktur-dalam al-Quran itu sendiri. Mulai dari fonologi al-Quran, pola

penyusunan kata-kalimat yang prosais dan puitik, keberadaan fitur rima akhir

setiap ayat, serta keterikatan bunyi-bunyi itu dengan ilmu tajwid. Sementara

dimensi eksternalnya dibangun oleh struktur-luar yang lebih bersifat ornamental,

yaitu sistem melodi Arab yang dipakai untuk melantunkan al-Quran, teknik vokal

dan suara, serta strategi pembacaan yang dikemas sebagai live performance.

Sumbangan terbesar Akbar di sini adalah upayanya untuk mendeskripsikan

elemen-elemen yang menyebabkan al-Quran layak ditilawahkan. Saya berhutang

banyak pada karya deskriptif ini.

Selain itu, ada beberapa karya deskriptif lain yang menyasar seni baca al-

Quran sebagai fokus kajiannya. Arini Munjiyati dalam “Hadis-Hadis Tentang

Laisa Minna Man Lam Yataghanna Bi Al-Quran (Kajian Ma‟anil Hadis)” telah

mengangkat permasalahan seni baca al-Quran. Akan tetapi, skripsi di Jurusan

Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006, itu,

tidak secara khusus melihat seni baca al-Quran sebagai seni. Melalui pemeriksaan

atas matan atau bunyi teks dan sanad atau alur periwayatan hadis, ia hanya

menganalisis makna beberapa hadis Nabi Muhammad SAW yang berisi dasar

legalitas tradisi seni baca al-Quran. Menurutnya, hadis tersebut memang benar-

benar shohih. Karena itu, tilawah termasuk perbuatan sunnah; diamalkan

berpahala, tidak diamalkan tidak apa-apa. Ada pula artikel Lois Ibsen al-Faruqi

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

yang berjudul “Quran Reciters in Competition in Kuala Lumpur”.15

Di sana, ia

melukiskan peristiwa pembelajaran dan perlombaan seni baca al-Quran di

Malaysia. Mulai dari sisi sejarah, organisasi penyelenggara, para peserta, aspek-

aspek lagu yang diajarkan dan diperlombakan, serta kriteria penghakiman yang

dipakai di dalam MTQ. Ibsen juga menulis karya ilmiah berjudul “The

Cantillation of The Quran”16

yang berisi jepretan rinci tentang nama-nama lagu,

kriteria, perekaman, perlombaan, teknik olah suara dan nafas, dan aspek-aspek

teknis tilawah lainnya.

Satu buku kunci yang dikutip oleh semua para penulis karya ilmiah

tersebut di atas adalah at-Taghonni bil Quran; Bahts Fiqhi Tarikhi (Cairo: al-

Maktabatus Tsaqafiyyah, 1970), yang ditulis oleh Labib al-Said. Buku ini berisi

uraian tentang historisitas seni baca al-Quran dan legalitasnya dalam Islam. Labib

al-Said juga menulis buku al-Jam‟us Showtiyyul Awwal lil Quranil Karim awil

Mushhafil Murottal (Cairo: Darul Kitab al-„Arabi lith Thiba‟ah wan Nasyr, 1967),

yang berisi pembahasan mengenai pewarisan al-Quran sebagai kitab yang ditulis,

dibaca, didengarkan, dibukukan, dan dilagukan. Dua buku ini cukup otoritatif

untuk disandari dalam melihat fenomena seni baca al-Quran secara umum. Seperti

juga buku The Music of The Arabs (Portland, OR: Amadeus Press, 1996) karya

Habib Hassan Touma. Buku berisi babaran rinci mengenai alam musik dunia Arab

itu kerap dirujuk untuk melacak historisitas dan tradisi berlagu masyarakat Arab

dalam hubungannya dengan seni baca al-Quran.

15

Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society for Ethnomusicology, Vol. 31, No.2

(Spring-Summer, 1987), hlm. 221-228. 16

Asian Music, University of Texas Press, Vol. 19, No. 1, 1987, hlm. 1-25.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

Kajian saya ini tidak searah dengan karya-karya tersebut di atas. Penelitian

Kristina Nelson memang agak menyerempet apa yang saya kerjakan. Namun,

Nelson berada dalam jalur penguakan aspek ontologis tilawatil quran dalam

hubungannya dengan konstruksi kebudayaan Arab. Ia tidak menyasar makna

tilawatil quran itu sendiri bagi orang Arab alih-alih orang non-Arab. Lagipula,

ruang lingkup penelitiannya adalah Mesir, salah satu negeri rahim seni baca al-

Quran. Tentu hasil penelitian tersebut akan berbeda bila ruang-lingkup

penelitiannya adalah Indonesia, negeri dimana seni baca al-Quran bukan anak

kandungnya. Selain itu, Nelson tidak menyoroti bagaimana Islam diekspresikan

oleh para qori. Ia hanya menghubungkan tilawatil quran dengan persepsi musikal

para qori, bagaimana kemudian makna al-Quran yang ditilawahkan itu dipahami,

dan bagaimana pula respon para pendengarnya.

Penelitian Anne K Rasmussen juga menyerongi topik penelitian saya. Ia

hanya menyasar tilawatil quran sebagai elemen ekspresi bunyi Islam di Indonesia

yang berhubungan dengan manifestasi ajaran “dakwah”. Sayangnya, Rasmussen

meletakkan tilawah di Indonesia “hanya” semata-mata sebagai efek revivalisme

Islam di tingkat global. Sehingga ia memasukkan isu-isu feminisme dan

nasionalisme di dalamnya. Sementara Anna M Gade cuma melihat dunia

perquranan di Indonesia dengan kacamata psikologi emosi dan motivasi. Ia tidak

melihat makna tilawatil quran. Seperti Rasmussen, ia juga meletakkan pengajaran

dan pembelajaran al-Quran “cuma” sebagai efek revivalisme Islam. Sebuah tesis

yang menurut saya cukup keliru. Bila memang cuma efek, ia pasti tidak punya

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

daya tahan, elan gerak, dan gen prestasi yang memukau. Padahal, seni ini bukan

“produk lokal” dari Indonesia.

Hal terdasar yang menggaib di dalam semua karya ilmiah itu adalah

perspektif seni-sufistik dalam melihat tilawah. Kristina Nelson memang

memasukkan bahasan mengenai topik sufistik; sama‟ di dalam karyanya. Akan

tetapi ia hanya menarik sama‟ ke dalam perbincangan legalitas (fiqhiyyah) tilawah

dan bebunyian di dalam Islam. Sehingga, di tangannya, tilawah “terpaksa” harus

dikurung dengan kategori musik-non musik, boleh-tidak boleh, halal-haram, yang

manusiawi-yang ilahi. Gade dan Rasmussen juga cuma mencantolkan sama‟

dalam diskursus fiqh bunyi dan suara. Posisi saya berada di seberang mereka. Di

sini, tilawah saya tinjau dengan perspektif seni-sufistik. Pasal fiqih suara dan

bunyi; sama‟, hanya saya singgung sebaris di dalam percakapan teoritik itu.

E. Landasan Teori

1. Ancangan Paradigmatis

Seni itu pokok kebudayaan manusia.17

Ia “bawaan lahir” kehidupan.

Manusia pun dilahirkan dengan daya seni. Hanya saja, pada saat manusia memilih

tilawah, ulah seninya itu menjadi tindak kultural. Mengamati seni berarti juga

meletakkannya sebagai kebudayaan. Ketika seni dibicarakan, kebudayaan telah

ikut terbicarakan dengan sendirinya.18

Teori tentang seni, pada saat yang sama

mewujud sebagai teori tentang kebudayaan. Sedangkan kebudayaan itu sendiri

17

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, Edisi Revisi, 2009),

hlm. 165. 18

Clifford Geertz, “Art as a Cultural System”, dalam Local Knowledge: Further Essays in

Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), hlm. 109.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

adalah teks yang ditenun oleh manusia.19

Oleh karena manusia hidup di dalam

jerat-jaring kehidupan nan sarat makna, maka teks pun pasti memiliki makna.

Meneliti seni berarti meneliti kebudayaan. Meneliti kebudayaan sama dengan

meneliti makna-makna.

Apa itu makna? Clifford Geertz, yang terinspirasi dari Paul Ricoeur,

menjelaskan makna sebagai noema, yaitu “pikiran”, “isi”, “gist” dari

pembicaraan.20

Ini berarti bahwa makna merupakan sesuatu yang dikatakan oleh

keterjadian (occurence) dan keagenan (agency) kenyataan kultural21

–dalam hal

ini tilawatil quran. Baik yang berupa sesuatu yang menggelikan, menantang,

penuh ironi atau kemarahan, sarat kecongkakan atau kebanggaan. Dalam bahasa

yang lain, makna adalah apa yang dikatakan dari pembicaraan (the said of

speaking).22

“Pembicaraan” dalam penelitian ini tentulah tradisi tilawatil quran.

Namun, makna tidak memuncar dengan sendirinya. Ia harus disedot dengan

penafsiran. Sedangkan penafsiran menjadi mungkin dilakukan dengan jalan

memahami apa yang diketahui, dirasakan, dan dialami oleh penjalin teks atau

pelaku budaya (from the native point‟s of view) -dalam hal ini para qori.23

Penafsiran atas suatu teks bertumpu pada dua model. Pertama, apa yang

disebut sebagai lingkaran hermeneutik, yaitu penafsiran yang bersifat melingkar.

Pemahaman salah satu unsur teks membentuk pemahaman keseluruhan teks.

19

Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, cetakan VI, 2000), hlm. 249. 20

Ibid., hlm. 24. 21

Ibid. hlm. 13. Untuk memahami apa itu “makna”, edisi Inggris buku Clifford Geertz ini, The

Interpretation of Culture, lebih layak untuk dirujuk. 22

Clifford Geertz, The Interpretation of Culture: Selected Essays (New York: Basic Books Inc.

Publisher, 1973), hlm. 19. 23

Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essay in Interpretive Anthropology (USA: Basic

Books Inc. Publisher, 1983), hlm. 55.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

Sebaliknya, keseluruhan teks memberikan pemahaman kepada unsur teks.

Penafsiran sejauh mungkin menghindari penyimpangan dari maksud pengarang

teks.24

Kedua, penafsiran berubah-ubah. Makna teks tidak bergantung pada

maksud pengarang teks dan pembacanya, akan tetapi pada teks itu sendiri. Model

kedua ini memberikan ciri dinamis suatu penafsiran. Sebab, dari waktu ke waktu,

angka kelahiran bayi makna terus bertambah seiring penumpukan pengalaman

dan pemahaman manusia.

Dibandingkan dengan model pertama, model kedua jauh lebih berkuasa

untuk menerangkan dinamika “kehidupan”. Ia juga lebih bertaji untuk menjawab

pertanyaan; mengapa satu teks dibaca-ulang setelah berulangkali dibaca? Jelas!

Karena makna teks selalu memperbarui diri dan selalu akan hadir setiap kali teks

dibaca. Penafsiran atas teks tradisi tilawatil quran dan masalah bagaimana Islam

diekspresikan di dalam penelitian ini memakai model kedua ini. Karakter utama

penafsiran model ini adalah ketiadaan kepastian pemahaman. Makna tidak

bertumpu pada otoritas di luar teks. Makna berangkat dari teks itu sendiri. Alhasil,

pemahaman bisa meledakkan dunia pengarang sekaligus dunia penafsirnya.25

Paul

Ricoeur menyebut peristiwa ledakan ini sebagai dekontekstualisasi dan

rekontekstualisasi,26

yakni keterlepasan teks dari cakrawala intensi pengarangnya

yang terbatas dan keterbukaannya bagi segala kemungkinan pemahaman.

24

EKM. Masinambow, ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”, dalam T Christomy &

Untung Yuwono (ed.), Semiotika Budaya (Jakarta: PPKB UI, 2004), hlm. 23. 25

Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad

Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 126. 26

Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 123. Lihat juga E.

Soemaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm. 109.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

Sepantun dengan itu, perlu ditegaskan di sini, bahwa makna yang muncul

dari penafsiran atas teks, yaitu hasil penelitian ini, merupakan sesuatu yang belum

selesai. Akhirnya, pemahaman atau hasil penelitian ini hadir sebagai tafsiran saya

atas tafsiran-tafsiran kawan-kawan qori atas teks tilawatil quran.27

Singkat kata,

saya ingin mengiyakan ungkapan Clifford Geertz tentang tulisan-tulisan

antropologis sebagai “fiksi-fiksi”, dalam arti fictio sebagai “sesuatu yang

diciptakan” atau “sesuatu yang dibentuk”.28

Sekalipun begitu, dalam prosesnya,

penafsiran saya merupakan paparan yang berorientasi pada pelaku (actor-oriented

description), yaitu kawan-kawan qori. Merekalah yang membimbing saya dalam

kerja memahami teks budaya tilawatil quran.

2. Uraian istilah

a. Murottal, Mujawwad, Maqom, Naghom

Ada dua macam gaya membaca al-Quran. Pertama, gaya murottal (طذ).

Kata murottal adalah kembangan dari kata ro-ta-la ( ي- خ - ض ), artinya tersusun

rapi.29

Sedangkan rottala, dengan tambahan tadh‟if atau penggandaan huruf “t/ta”

di tengah, artinya menyusun rapi secara pelan-pelan. Murottal artinya sesuatu

yang dibaca pelan dan disusun rapi. Ia merupakan kata berbentuk objek atau

maf‟ul dari rottala. Selain murottal, tartil (ذطذ١) adalah kembangan kata rottala

lain yang sering dipakai untuk membilang tindak membaca al-Quran dengan

tajwid secara pelan-pelan. Membaca al-Quran dengan gaya murottal atau tartil

27

Clifford Geertz, Tafsir..., op.cit., hlm. 10. 28

Ibid., hlm. 19. 29

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, cet.xiv, 1997),

hlm. 471.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

juga berarti membaca al-Quran tanpa lagu dan liukan suara. Gaya ini paling

mudah dimainkan. Karena ia hanya berhajat pada penepatan dan penetapan tajwid

saja. Percantikan bunyi-suara cenderung ditepikan. Setiap hari, terutama dalam

sholat Subuh, Maghrib, dan Isya, gaya inilah yang dibawakan oleh imam sholat.

Ia juga jamak dimainkan dan diperdengarkan oleh para pembaca al-Quran tingkat

pemula, para penghafal al-Quran (hafizh), dan kaum muslim awam. Setakat

kecanggihan teknologi, gaya murottal ini juga banyak direkam dan diproduksi.

Baik dalam bentuk kaset, Compact Disk (CD) maupun sebagai suplemen

cangkokan untuk Hand Phone (HP).

Kedua, gaya mujawwad ( زج ). Asal katanya dari ja-wa-da ( ز- - ج ),

artinya menjadi baik/bagus.30

Sedangkan jawwada, dengan tadh‟if atau

penggandaan huruf tengah, yaitu “w/waw”, artinya membaikkan/membaguskan

secara keseluruhan. Mujawwad berarti sesuatu yang penuh-seluruhnya

dibaguskan/dibaikkan. “Mujawwad” sendiri merupakan kata berbentuk objek atau

maf‟ul dari jawwada. Membaca al-Quran dengan gaya mujawwad berarti

membaca al-Quran lengkap dengan tajwidnya dan dengan celedak-celedok lagu-

suara. Gaya inilah yang disebut tilawatil quran atau tilawah. Ia menjelma menjadi

karib nadawi orang-orang yang telah mahir membaca al-Quran. Meskipun cukup

sulit dipelajari, akan tetapi ia elok didengarkan, diperdengarkan dalam aneka

acara, dan diperlombakan di arena MTQ. Pembacaan al-Quran dengan gaya

mujawwad atau tilawah inilah topik yang saya sasar dalam penelitian ini.

30

Ahmad Warson Munawwir, ibid., hlm. 221.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

Tilawah berarti pelantunan al-Quran sesuai dengan tajwid, dibarengi

dengan keindahan suara, ketahanan nafas, dan alunan lagu yang disebut naghom

atau al-maqomatul „arobiyyah (ما) Sumber naghom adalah maqom .(غ)

Para qori di Indonesia menerjemahkan istilah itu menjadi sistem .(امااخ اعطت١ح)

melodi Arab. Maqom merujuk pada pengertian proses unik dalam pengembangan

seni suara dan musik Arab dalam bentuk terlebarnya di beberapa belahan dunia, di

antaranya; Afrika Utara, Timur Dekat, dan Asia Tengah yang isi kebudayannya

banyak kemasukan unsur-unsur Arab. Tiga negeri yang menjadi habitat utama

kehidupan maqom adalah Turki, Persia, dan Arab.31

Maqom itu ibarat sumur.

Debit air lagu-lagu (naghom) di sumur itu tidak pernah kering. Para praktisi musik

Arab mengambil air sumur itu dengan teknik, variasi, warna, dan gayanya

masing-masing. Akan tetapi para qori hanya menimba 7 air lagu saja.

b. Qori, Qiroah, Tilawah

Qori (لاضئ) artinya pembaca. Asalnya dari kata qo-ro-a ( ء-ض-ق) yang

artinya membaca, menelaah, meneliti.32

Istilah qori lazim dipakai untuk menyebut

pembaca al-Quran sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Qurro (لطاء) adalah

bentuk plural qori. Baik di Indonesia maupun di Arab, petilawah atau

pembaca/pelantun al-Quran disebut qori. Ditilik jenis kelamin katanya, qori

adalah pembaca al-Quran lelaki. Pembaca al-Quran perempuan disebut qoriah.

31

Habib Hassan Touma, “The Maqam Phenomenon; an Improvisation Technique in The Music of

The Middle East”, dalam Jurnal Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society of

Ethnomusicology, Vol. 15, No. 1 (Jan., 1971), hlm. 38-48. Uraian detail penulis yang sama

mengenai naghom, maqom, dan alam musikal orang Arab, dapat dilihat dalam buku The Music of

The Arabs Arabs (Portland, OR: Amadeus Press, 1996). 32

Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 1101. Lois Malouf, op.cit., hlm. 616.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22

Secara umum, dalam penelitian ini, baik pembaca al-Quran laki-laki maupun

perempuan disebut qori saja. Ada istilah lain yang sering disepadankan dengan

qori, yaitu muqri (مطئ). Bedanya, qori dianggap pembaca al-Quran biasa. Ia

mengetahui ilmu-ilmu al-Quran („ulumul quran/ ,namun ,(ع امطآ

pengetahuannya masih belum sampai tahap terinci. Ia juga belum punya otoritas

untuk mengajarkan ilmu tersebut secara luas. Sedangkan muqri adalah seorang

ahli membaca al-Quran, mengetahui ilmu-ilmu al-Quran hingga renik-reniknya,

dan memiliki otoritas untuk mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada kalangan

luas.33

Istilah muqri jarang dan bahkan tidak pernah dipakai di Indonesia.

Sedangkan qiroah (لطاءج) dan qiroatul quran (لطاءج امطآ) adalah istilah

yang lazim dipakai untuk menyebut tindakan membaca al-Quran. Qiroah artinya

pembacaan. Qiroatul quran berarti pembacaan al-Quran. Selain qiroatul quran,

ada istilah lain yang biasa dipakai untuk menyebut pembacaan al-Quran, yaitu

tilawati(u)l quran (ذالج امطآ). Secara linguistik, tilawah(t) berasal dari kata ta-

la-wa ( -ي-خ ), yang artinya membaca dan mengikuti.34

Pelaku tilawah disebut tali

.Tilawatil quran dan qiroatil quran sama-sama berarti pembacaan al-Quran .(ذا)

Akan tetapi penekanan tilawah terletak pada tindakan mengikuti atau

mengamalkan al-Quran setelah membacanya. Tilawah lebih “berisi” ketimbang

qiroah. Ia bukan pekerjaan membaca al-Quran biasa. Isitlah qori untuk menyebut

pembaca al-Quran, bukan tali, dipakai untuk mengambil pengertian umum

seorang pembaca al-Quran. Akan tetapi, perlombaan membaca al-Quran disebut

33

Hasani Syaikh Utsman, op.cit., hlm. 46. 34

Lois Ma‟louf, op.cit., hlm. 64. Lihat juga Syawqi Dhoyf dkk., al-Mu‟jam al-Wasith (Kairo:

Maktabah Syuruqid Dawliyah), hlm. 87.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

23

Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ). Bukan Musabaqoh Qiroatil Quran. Hal itu

sebagai penekanan bahwa materi perlombaan sebenarnya adalah pengamalan al-

Quran, bukan hanya sekedar pembacaannya.

Kesimpulannya, tilawah berarti membaca sesuatu untuk mengikuti apa

yang dibaca. Sedangkan qiroah adalah membaca sesuatu untuk berinteraksi

dengan sesuatu yang dibaca tersebut, untuk mencari pandangan atas dan darinya,

serta untuk menelaahnya. Tilawah adalah pembacaan al-Quran yang khusus.

Sedangkan qiroah adalah pembacaan al-Quran yang umum. Semua pembaca al-

Quran adalah seorang qori. Akan tetapi tidak semua qori menempati derajat tali

atau pelaku tilawah. Tilawah adalah lelaku mengikuti, lebih tepatnya,

mengamalkan al-Quran. Sedangkan qiroah masih sebatas amal membaca al-

Quran. Lepas dari definisi tersebut, dalam tulisan ini, setiap ulasan berisi kata

tilawah menunjuk pengertian pembacaan al-Quran bergaya mujawwad. Masalah

“pengamalan” atau “pembacaan”, tidak terlalu disinggung di dalam tulisan ini.

3. Tilawah: Penghampiran Teoritik

a. Tilawah Sebagai Seni: Proses dan Estetisisasi

Apakah tilawah itu seni? Sebelum menjawabnya, perlu dipertanyakan

apakah seni itu? Seni, dalam Bahasa Indonesia (Melayu) mengarah pada arti

tukang.35

Raden Saleh, dalam Majalah Sin Po, 25 Juli 1931, disebut sebagai

seorang tukang menggambar indonesier. Kamus Belanda-Melayu susunan

Klinkert menyatakan seni alias kunst sebagai kata berpengertian; hikmat, ilmu,

pengetahuan, kepandaian, ketukangan. Sesuai dengan pengertian art dalam

35

Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: ITB Press, 2000), hlm. 41-42.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24

Bahasa Inggris, yaitu skill in making or doing. Kenyataannya memang demikian.

Art dapat berarti keterampilan (skill), aktivitas manusia, karya (work of art), seni

indah (fine art), dan seni rupa (visual art). Atas dasar beberapa pengertian itu,

kiranya dapat dipahamilah kemunculan istilah; seni perang, seni memasak, seni

berdagang, seni berdiplomasi, dan seni mempengaruhi orang lain. Bahkan hidup

sebenarnya seni.

Keterampilan, kemampuan, dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk

menjadi tukang (seniman), memungkinkan para calon „tukang‟ untuk belajar dan

mempelajari asas-asas penciptaan karya seni dan mempraktikkannya. Hubungan

teori dan praktik ini pelan-pelan akan menyerasi, mengharmoni, dan

menumbuhkan pohon intuisi di dalam diri si calon tukang. Saat itulah, ia

bersentuhan dengan keharusan untuk mencipta. Maksudnya, dalam olah-latih

pertukangannya, seorang calon tukang akan teranugerahi bekal ruhaniah, yaitu

kreatifitas.36

Selain dibantu oleh eksperimentasi dan panduan seperangkat kaidah-

kaidah teknikal dalam mencipta, unsur intuisi si tukang bekerja lebih untuk

memadukan eksperimentasi dan kaidah-kaidah teknikal itu. Sehingga apa yang ia

tukangi menyembul sebagai “sesuatu yang baru”. “Sesuatu yang baru” itulah

karya seni, yaitu sesuatu yang lahir dari ramuan teori dan praktek yang dibalur

dengan kreatifitas, dapat dilihat, didengar, atau dilihat sekaligus didengar.37

Lalu bagaimana nasib ke-seni-an tilawah? Apakah ia dapat disebut sebagai

karya seni dan seni itu sendiri? Sebelum itu, tilawah perlu dilihat sebagai karya

kebudayaan Arab. Membaca al-Quran bukan amal khusus untuk orang Arab.

36

Ibid. 37

Ibid.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

25

Akan tetapi pelantunan al-Quran pertama kali dilakukan oleh orang-orang Arab.

Ruang sosial kehidupan al-Quran memang berada di sana. Tinjauan geneologis itu

berlaku juga untuk melongok status ke-seni-an tilawah. Istilah seni dalam

kebudayaan Arab harus ditengok terlebih dahulu. Seni, dalam Bahasa Arab,

disebut fann (ف). Asal katanya dari fanna atau fa-na-na ( - - ف ), yang artinya

menghiasi. Terkadang, dalam konteks tertentu, kata fann dipakai untuk menyebut

aktifitas menghalau binatang liar, menipu dalam konteks jual-beli, menunda-

nunda pembayaran utang, mencampur, membuat/memberi variasi,

mencipta/menemukan. Diskursus keilmuan masyarakat Arab mengartikan fann

sebagai ilmu terapan atau ilmu kerja-mulia („ilmun „amaliyyun aw shina‟ah

syarifah). Fann juga berarti macam-macam sesuatu.38

Secara umum, membaca al-

Quran termasuk seni. Sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad at-Thowil dalam

Fannut Tartil wa „Ulumuhu.39

Jadi, ke-seni-an tilawah tidak butuh bantahan.

Berurusan dengan al-Quran sama saja berurusan dengan seni.

Memang, pada awalnya, tilawatil quran adalah amal religi (ibadah). Siapa

yang mengerjakannya akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Rasulullah

SAW bersabda; barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Quran, maka ia

mendapatkan satu kebaikan, yang satu kebaikan itu sama dengan sepuluh kali

lipat ganjarannya. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf. Alif itu

satu huruf, Lam itu satu huruf, dan Mim itu satu huruf.40

Ada banyak anjuran-

anjuran lain dari sang Nabi SAW untuk membaca al-Quran. Baik dikaitkan pada

38

Ahmad Warson..., op.cit., hlm. 1074. 39

Ahmad at-Thowil, Fannut Tartil wa „Ulumuhu (Madinah: Majma‟ Malikul Fahd, 1999). 40

HR.Tirmidzi. Lihat Syarofuddin an-Nawawi, Riyaadhush Shoolihiin (Beirut: Darul Fikr, 1978),

hlm. 432.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

26

aspek perolehan ganjaran, maupun pada peramuan sistem sosial berbasis

pembacaan al-Quran. Bahkan, seperti disebut di atas, anjuran membaca al-Quran

itu amat disukai bila diiringi dengan pembagusan suara. Sampai di sini, tilawah

semakin menampakkan raut ke-seni-annya. “Membaguskan suara” merupakan

petunjuk tentang wujud kegigihan usaha untuk melahirkan sesuatu yang ber-nilai.

Inilah pintu masuk ke-seni-an tilawah.41

Pembagusan suara juga mendalilkan

perlunya muslihat untuk menemukan dan menerapkan cara, teknik, dan metode

tertentu. Suara bagus tidak dibutuhkan dalam membaca al-Quran. Akan tetapi

pembagusan suara. Dalam pembagusan suara inilah, pembacaan al-Quran bersua

dengan seperangkat kemampuan, hikmat, keterampilan, dan kreatifitas.

Konsepsi ini bersuamuka dengan pengakuan dunia ilmiah Islam pada seni

baca al-Quran sebagai teknik suara atau handasatush showt ( .(سسح اصخ42

Handasat artinya teknik. Showt artinya suara. Jadi, tilawah itu teknik suara.

Bukan musik. Tilawah tidak bisa disamakan dengan lagu atau nyanyian, dalam

hal ini nyanyian Arab. Meskipun perkara produksi, teknik olah suara, dan citarasa

estetiknya agak menyenggol pasal estetika musikologi Arab. Wajar. Karena

teknik suara itu memanfaatkan lagu Arab atau naghom. Selain sebagai lagu, arti

lain naghom adalah wicara yang tersembunyi (al-kalamul khofiy/ 43.(اىال ارف

Dengan bernaghom, seorang qori sebenarnya tidak sedang bersenandung, akan

tetapi berbicara, membicarakan sesuatu, dan mengajak pendengarnya untuk

41

Jakob Sumardjo, op.cit., hal. 45. 42

Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid; Esensi dan Ekspresi Estetika Islam (Yogyakarta: Bentang

Budaya, 1999), hlm. 186-189. 43

Ibnu Manzhur, Lisanul „Arob (Cairo: Daar al-Maarif, tt.tp., jilid VI), hlm. 4490. Syawqi Dhoyf

dkk., op.cit., hlm. 937. Lihat juga Lois Ma‟louf, op.cit., hlm. 822.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

27

menyimak pembicaraan. Apa sebenarnya yang ingin dibicarakan dengan

bernaghom?

Naghom itu rangkaian nada. Lazimnya nada, ia punya watak representatif

bagi seluruh kekayaan pengalaman rasa manusia. Nada yang terdengar sedih

adalah wakil atau gambaran dari ubah-usik kesedihan manusia. Sebagaimana nada

yang terungu senang merupakan agen ulah-alih rasa senang-gembira manusia.

Penyertaan naghom dalam pembacaan al-Quran menandaskan wujud sesuatu yang

lebih penting daripada kesedihan, kesenangan, dan lampas-lampis kosmologi

kemanusiaan lainnya. Itulah suara Tuhan; al-Quran atau firman Allah SWT, yang

dilagukan oleh tukang lagu al-Quran. Pada tataran ini, meminjam wirid teoritik

Maruska Svasek, tilawah mengalami proses dan estetisisasi (aestheticisation).

Sebagai proses, tilawah berarti sesuatu yang dibangun oleh peristiwa. Sementara

sebagai objek estetisisasi, tilawah berarti sesuatu yang dimainkan sebagai

ungkapan pengalaman tentang rasa dan ide-ide abstrak atau keyakinan-keyakinan

(beliefs) tertentu.44

Lebih lanjut menurut Svasek, estetisisasi berupa ungkapan

pengalaman-pengalaman itu berada di atas landasan pijak historis yang khas. Jadi,

selama masih diproses dan diestetisisasi, tilawah akan terus meng-karya-seni.

b. Tasawuf: Rumah-Seni Tilawah

1. Hubungan Seni dan Agama

Merembukkan pasal tilawah berarti mencekau hubungan dua lembaga

kebenaran terpurba; seni dan agama. Ditinjau dari ancangan teoritiknya, seni

44

Maruska Svasek, Anthropology, Art, and Cultural Production (London: Pluto Press, 2007), hlm.

10.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

28

sangat dekat dengan agama –untuk tidak menyebutnya bagian dari agama. Apa

yang dijangkau oleh agama, yaitu sesuatu yang adikodrati, juga dijangkau oleh

seni. Baik agama maupun seni sama-sama mengakui supremasi dunia metafakta.

Bedanya, untuk menonggaki pengakuan itu, seni bertumpu pada intuisi atau

sistem penghayatan. Sedangkan agama berdasar pada kepercayaan. Saraf tolak-

terima agama ditunggui oleh sistem kepercayaan. Sementara saraf tolak-terima

seni dirawat oleh sistem penghayatan. Dengan kepercayaan, manusia mengakui

apa yang sukar ia jangkau. Dengan intuisi, manusia menghayati apa yang tidak

kuasa ia jelaskan.45

Bila agama berbasis pada kemutlakan doktrin, seni berasas

pada pemanfaatan rasa manusia.

Agama dan seni dapat menjadi telangkai untuk masuk ke dalam alam

spiritual atau alam keruhanian. Pendekatan seni seumpama gerak menaik dari

bawah ke atas. Sementara pendekatan agama, secara lahiriah-umum, ibarat gerak

menurun dari atas ke bawah. Ketika agama turun ke bumi dan masuk ke dalam

dimensi duniawi, ia tersimbolisasi. Agama menjadi mata air tanda-tanda.

Sementara saat seni naik ke atas, ke alam metafakta, ia bertubrukan dengan

kebenaran yang tidak kuasa ia jelaskan kecuali dengan simbolisme juga. Pada

wilayah kebutuhan akan simbol inilah seni dan agama bersua-muka. Memahami

seni dimulai dari penilikan melalui kacamata sejarah sosial imajinasi dalam

konstruksi dan dekonstruksi sistem simbolis.46

Begitu juga untuk memahami

agama. Karena agama juga bersejarah-sosial. Rumusan Geertz tentang agama

cukup memadai untuk mendalilkan hal ini;

45

Jakob Sumardjo, op.cit, hlm. 3-6. 46

Clifford Geertz, “Art as...”, op.cit., hlm. 119.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

29

a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and

long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions

of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with

such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem

uniquely realistic.47

Selain itu, agama dan seni juga bersigandeng dalam satu kepakan sayap,

yaitu spiritualitas atau aspek penghayatan batin agama. Di dalam spiritualitas,

agama bukan lagi doktrin “pemaksa”, akan tetapi “pakaian rasa”. Agama menjadi

“bahan mentah” yang diolah secara aktif dan kreatif untuk menjadi sesaji atau

uborampe manusia kepada Tuhannya. Di sinilah seni dan agama bersilengket.

Keduanya berkelindan dalam kerja kreatif, tindak aktif, penghikmatan, dan

pengkhusyuan. Keduanya berkawin, bersetubuh, dan bersejumbuh. Itulah yang

terjadi dengan tilawah. Paras perjumbuhan agama dan seni di dalam tilawah telah

terhias dengan sangat molek. Hingga ia pantas digolongkan sebagai “nyanyian”

persembahan manusia untuk Tuhannya.

2. Seni-Sufistik: Rumah-Jumpa Seni dan Agama

Situs pertemuan seni dan agama, di dalam Islam, disebut tasawuf. Tasawuf

itu ibarat seninya agama. Berbeda dengan fiqh. Meskipun keduanya sama-sama

bersifat praktikal, namun fiqh lebih menitik-beratkan pada aspek legalisme.

Sedangkan tasawuf mematok-kuatkan dasarnya pada daya rasa. Nama lain

tasawuf adalah mistisisme Islam. Disebut demikian karena jalan tasawuf

cenderung anti arus. Sebagaimana asal kata mistik itu sendiri, dari kata myein,

yang artinya menutup mata.48

Namun, diskursus mistisisme dalam tasawuf

47

Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System”, dalam The Interpretation of Culture: Selected

Essays (New York: Basic Book Inc.), hlm. 90. 48

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 1-2.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

30

mengacu pada kesediaan untuk menjalani hidup secara total, ikhlas, dan khusyu‟.

Hingga ego atau keberadaan diri betul-betul lenyap. Inilah yang membuat tasawuf

terlihat mistikal.

Tasawuf berasal dari kata sho-wa(i)-fa ( ف--ص ), yang artinya banyak

bulunya. Kata ini biasa diapakai untuk menyebut domba yang bulunya mulai

melebat. Sedangkan tashowwafa (ذصف) artinya menjadi pemakai pakaian

sederhana yang terbuat dari bulu domba, yang biasanya disebut; sufi. Jadi,

tashowwafa artinya menjadi sufi. Ada beberapa analisa mengenai asal kata

“tasawuf”.49

Pertama, dari kata ahlush shuffah ( yaitu orang-orang ,(أ اصفح

yang ikut berhijrah dari Mekkah ke Madinah bersama Nabi Muhammad SAW.

Mereka meninggalkan rumah dan harta. Saat sampai di Madinah, mereka tidur

berlapiskan pelana kuda (shuffah). Kedua, ash-shoff (اصف), artinya barisan.

Pandangan ini menyandarkan tasawuf sebagai shof atau barisan pertama agama.

Ketiga, shufi (صف), dari kata shofi (صاف) dan shofiyyun (صف), yang artinya

suci, bersih, dan jernih. Kata ini mengandaikan tasawuf sebagai jalan untuk

menjernihkan diri. Keempat, dari bahasa Yunani, sophos, yang artinya hikmah.

Kelima, shuf (صف), yang artinya kain kasar dari wol. Sedangkan wol adalah

simbol kesederhanaan dan kebersahajaan.

Hubungan antara Islam dan seni dapat dilihat melalui jendela ini; tasawuf.

Corak keberagamaan sufistiklah yang terlekat dengan khittah epistemologi seni.

Tasawuf berbicara pada masalah rasa. Seni pun sama. Tasawuf mengamarkan

49

Ahmad al-Hasaniy, Iqozhul Himam fi Syarhil Hikam, (Beirut: Darul Fikr, tt.), hlm. 7.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

31

agar manusia berjalan mencari mutiara tersembunyi, yaitu Tuhan itu sendiri.

Sementara seni memerkarakan pasal dunia misteri atau teka-teki imajinasi.

Prinsip-prinsip yang diberikan Islam untuk membincangkan seni juga berpijak

pada nilai dasar tauhid: laku-lampah untuk, demi, dan menuju Tuhan, zat Yang

Maha Agung, Maha Indah, dan Maha Sempurna. Katakanlah: sesungguhnya

sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan

semesta alam.50

Penciptaan bebunyian, sebagaimana kehidupan dalam penuh-seluruhnya,

termasuk dalam amar ketauhidan ini. Suara, bunyi, dan “nyanyian” (baca: seni)

dianjurkan untuk diciptakan sebagai cermin keagungan-Nya (al-Jalal/اجالي) dan

keindahan-Nya (al-Jamal/اجاي) yang bergerak menuju kesempurnaan-Nya (al-

Kamal/اىاي). Atas dasar itulah, tilawah menjelma menjadi seni yang diproduksi

secara abstrak dan berkualitas non-programatik.51

Saat dimainkan, tidak ada

seorang pun –bahkan sang pelantun atau qori itu sendiri- yang dapat menebak

lagu berikut variasi yang akan dihadirkan, kapan atau di mana bacaan akan dijeda

atau diberhentikan, serta bagaimana pendengar melemparkan tanggapan. Keadaan

tersebut membentuk tilawah menjadi seni pelampau fungsi-fungsi hiburan

sebagaimana seni suara pada umumnya. Itulah karakter seni-sufistik.

Seni-sufistik memindai dunia sebagai realitas yang luput dari radius

bahasa. Kebenaran (al-haqq),52

atau Tuhan itu sendiri tidak bisa didefinisikan

50

QS:6:162. 51

Ismail Raji al-Faruqi, op.cit., hlm. 206. 52

Al-Haqq tidak saja bermakna Tuhan, akan tetapi juga keseluruhan realitas dan fakta-fakta dunia.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

32

dengan bahasa dan konsepsi. Akan tetapi dengan ekspresi simbolik dan artistik,53

-ini berarti bahwa tiada jalan untuk lari dari seni. Aturan ekspresi simbolik dan

artistik itu, di dalam tasawuf ditata oleh beberapa prinsip yang mencirikan upaya

pencarian bagian terinti atau terdalam segala sesuatu, aspek metafisikal

pandangan-dunia, dan etika pengelolaan kehidupan.54

Kaidah-kaidah artistik ini

didasari oleh pandangan-dunia tasawuf tentang keteka-tekian (riddles) realitas

yang melahirkan tiga prinsip utama seni-sufistik.

Pertama, prinsip perubahan tiada henti dalam keabadian (the principle of

constant change within permanence). Seni ditaja sebagai kerja kreatif untuk

mengekspresikan aliran darah dunia dan semua kesalingterkaitan ciptaan. Artinya,

seni adalah cara manusia berproses untuk mengungkapkan nafas perubahan

berkesinambungan dunia. Seni harus membimbing manusia untuk menemukan

pengetahuan (ma‟rifat) tentang Yang Maha Mutlak, yaitu Tuhan atau keabadian

itu sendiri. Sementara itu, alam semesta menggeliat berdasarkan hukum-hukum

keabadian itu. Wajah keabadian paling kasat terletak dalam perubahan tiada henti.

Mencipta karya seni berarti menangkap sekaligus melepaskan atau membekukan

sekaligus mencairkan perubahan. Dengan kata lain, mencipta karya seni adalah

mencatat keabadian. Tegasnya, “menyimbolisasikan” Tuhan.

Kedua, prinsip ketidakpastian pemahaman manusia (the principle of

uncertainty of human understanding). Kerja seni berdasar pada keyakinan bahwa

dunia punya ragam-macam penampakan (appearances). “Kepastian” pemahaman

tidak mungkin dilabelkan pada kemacamragaman itu. Implikasinya, karya seni

53

Jale Nejdet Erzen, “Islamic Aesthetics: An Alternative Way to Knowledge”, dalam The Journal

of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 65, No. 1, Winter 2007, hlm. 69-75. 54

Ibid.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

33

harus bersifat multidimensional. Multidimensionalisasi karya seni merupakan cara

untuk menunjukkan konsekuensi ketidakmungkinan penggapaian realitas secara

total sebagaimana sejatinya (al-Haqq). Tuhan diketahui dengan banyak nama.

Akan tetapi tetap saja itu hanya sebatas pengetahuan tentang nama-Nya. Bukan

“Dia”. Dia akan selalu terhijab. Bahkan oleh pengetahuan tentang-Nya.

Ketiga, prinsip cinta (the principle of love). Inilah prinsip penting yang

menghubungkan seni dan spiritualitas. Segala sesuatu menjadi “sesuatu” karena

cinta (al-hubb, al-mahabbah). Tuhan ingin agar Ia diketahui. Maka dengan cinta,

Ia mencipta agar segala ciptaan itu mencintai-Nya.55

Setelah itu, dengan cinta pula

Ia memanifestasikan diri-Nya melalui dunia. Manusia bagian dari keseluruhan

dunia. Manusia juga bagian dari dunia. Karena itu manusia adalah bagian dari

Tuhan. Cinta pada Tuhan dapat diamalkan dengan cinta pada sesama. Sebagai

seniman, cinta diterapkan dengan ketenggelaman (fana/فاء) dalam karya. Sebab

segala sesuatu adalah manifestasi Tuhan. Alhasil, seniman bukan subjek. Karya

seni bukan objek. Seniman adalah karya seni itu sendiri. They become like what

they admire; observers become similar to what they look.56

Saya merasa teori ini

pas disebut manunggaling seniman-karya seni. Bisa pula dibalik menjadi

manunggaling karya seni-seniman.

Ada tiga hal yang muncul sebagai buah tiga prinsip tata teknis kerja seni

tersebut. Pertama, seni, kerja seni, karya seni, harus dipandang sebagai proses.

Bukan hasil. Bukan produk. Persis seperti anggitan Maruska Svasek. Garis ini

55

Mahmud Mahmud al-Ghurob (ed.), al-Hubb wal Mahabbah al-Ilahiyyah: min Kalamisy Syaikh

al-Akbar Ibnu Arabi (Damaskus: Nadhr, 1992), hlm. 12. 56

Jale Nejdet Erzen, op.cit., hlm. 72.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

34

mengikuti kaidah pertama, bahwa dunia selalu bergerak. Tidak pernah berhenti

(fixed). Proses berkesenian adalah keseluruhan seni. Kesediaan untuk menjalani

proses dan tunduk pada hukum proses adalah jalan utuh untuk memesrai dunia

metafakta. Itulah yang disebut lelaku. Berkesenian adalah berlelaku, bertarekat.

Titik sasarnya adalah proses berkarya. Kedua, kerja seni merupakan lelaku cinta

(mahabbah). Bentuknya merupa dalam pemanunggalan yang sakral dan yang

profan, cinipta dan Pencipta, cininta dan pecinta, lelaki dan perempuan, dan

seterusnya. Makna terletak dalam kemanunggalan semua daftar “oposisi biner”

itu. Inilah maksud seni sebagai adonan al-Jalal (keagungan) dan al-Jamal

(keindahan) yang dihidangkan ke meja semesta dalam bentuk al-Kamal

(kesempurnaan).57

Terakhir, kerja seni adalah tindakan fana atau ketenggelaman

total ke dalam apa yang dikerjakan itu. Karenya, simbol atau ekspresi artistik –

baca: karya seni- bukan ciptaan seniman. Simbol adalah sesuatu yang terberi. Ia

sudah ada “di sana”. Seniman cuma menemukannya (discover) dengan ke-fana-

annya. Seniman boleh mengklaim orisinalitas, akan tetapi orisinalitas itu bukan

haknya. Orisinalitas adalah pesona yang “sejak dari sononya” telah terdaftar

sebagai “harta Tuhan”.

Alhasil, tinjauan terhadap tilawah tidak bisa dikerjakan dengan

berpandukan pada batasan-batasan legal-formal (fiqh) –atau dengan

mempertanyakan status halal-haramnya, pemeriksaan ontologis, amatan

motivasional, maupun tinjauan relasional atasnya. Tilawah harus dipandang dari

perspektif seni-sufistik sebagaimana telah dibabarkan di atas. Apalagi, lahan

57

Ibnu Arabi, Kitab al-Jalal wal Jamal (Beirut: Darul Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), hlm. 24-36.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

35

diskursif tilawah terdapat dalam bab penting tasawuf berjudul; sama‟. Sama‟

adalah lelaku merungu alunan suara agar seseorang masuk ke dalam fase wujd

.atau ekstase di pucuk derajat kecintaan dan kedekatan kepada Tuhan (اجس)58

4. Lived Islam: Seni dan Ekspresi Islam

Topik yang juga cukup menarik untuk saya teliti adalah mengenai

bagaimana Islam diekspresikan oleh para qori atau para seniman al-Quran.

Perkara ini perlu saya masukkan. Pertama, keberbedaan gaya berislam setiap

muslim. Baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Ada banyak pendapat

dan aliran (mazhab) dalam Islam yang memungkinkan pertumbuhan keberbedaan

tersebut. Kedua, ini yang terpenting, para qori bukan orang-orang suci, meskipun

mereka lihai melantunkan al-Quran. Islam yang mereka eskpresikan sangat unik,

di luar arus utama (mainstream), agak liar, dan “liberal”. Sesekali, kebebalan otak

ini memicu saya untuk menggoyahkan “Islam mereka” dengan kritik atau tanya.

Hanya saja, saya perlu menaksir mereka dari sudut lain; kesenimanan. Ketiga,

boleh dibilang, bahasan ini merupakan “efek” kerangka teori seni-sufistik yang

menganggitkan bahwa seniman adalah karya seni dan karya seni adalah seniman

itu sendiri. Dengan kata lain, bahasan ini adalah miniatur praktikal teori

manunggaling seniman-karya seni.

58

Kristina Nelson, The Art of Reciting the Quran (Cairo: The American University in Cairo Press,

2001), hlm. 32-51. Pembahasan sama‟ dalam terma sufisme, lihat al-Qusyayri, Arrisalatul

Qusyairiyyah fi „Ilmit Tashowwuf (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyyah, 2011), hlm. 389-404. Al-

Ghozzali secara khusus membahas pasal ini dalam “Kitabus Sama‟ wal Wujd” dalam Ihya

„Ulumiddin, Juz II, (Daru Ihyail Kutubil „Arobiyyah, tt.tp.), hlm. 266-302. Bahasan ilmiah

mengenai hubungan Sama‟, tilawail quran, serta nada Islam, lihat Kristina Nelson, The Art...,

op.cit., hlm. 32-51. Lihat juga Arthur Gribetz, “The Samaa‟ Controversy: Sufi vs Legalist”, dalam

Studia Islamica, No. 74 (1991), hlm. 43-62. Lihat pula “Music and Trance among The Arabs”

dalam Gilbert Rouget, Music and Trance: A Theory of the Relations between Music and

Possession (Chicago: The University of Chicago Press, 1985), hlm. 255-314.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

36

Para qori memang seniman sekaligus karya seni. Mereka bermukim di

wisma balik “fakta”. Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa para seniman adalah

orang-orang yang menjejaki tangga teratas di atas para birokrat dan ulama.59

Pendapat itu ia landaskan di atas penggalan ayat al-Quran surat al-Hasyr;

huwalloohul kholiqul baariul mushowwir.. (Dialah Yang Maha Membuat,

Menyusun, dan Menata).60

Menurutnya, al-Khooliq (اراك) adalah para birokrat.

Mereka berurusan dengan legalisme dan segala perkara yang terkait dengan

kebenaran. Al-Bariu (اثاضئ) adalah para ulama. Urusan mereka adalah apa-apa

yang baik dan segala hal yang bersentuhan dengan kebaikan. Sedangkan al-

Mushowwir (اصض) adalah para seniman, sastrawan, dan budayawan. Mereka

berperkara dalam seluruh tindak estetik. Di tangan merekalah keindahan -yang

merupakan “wajah utama” Tuhan- dipertaruhkan. Mereka sudah tidak lagi

berhajat pada dikotomi baik-buruk dan handai-taulannya.

Seperti telah disebut di atas, inti dari prinsip utama dalam tindak

berkesenian yang dikembangkan oleh seni-sufistik adalah proses berkesenian itu

sendiri. Bukan bentuk. Bukan hasil. Bukan produk. Karena itu, Islam yang

diekspresikan para seniman al-Quran di sini saya lihat tidak jauh dari teleskop ke-

proses-an itu. Kata “proses” dalam berislam di sini berarti bagaimana Islam

dihayati dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Islam yang nyeni, yang tidak pernah

selesai dan tentu saja tidak bisa didefinisikan. Itulah maksud kata: lived Islam atau

59

Emha Ainun Najib, “Ceramah Budaya” di acara ulang tahun ke-45 Persada Studi Klub (PSK) di

rumah “Budaya Emha Ainun Nadjib (EAN)”, Yogyakarta, 15 Maret 2013. 60

QS: 59: 24.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

37

Islam yang dihidupi dalam kehidupan sehari-hari.61

Islam dijepret tidak dari lensa

persetujuan atau penolakan seorang muslim atas doktrin-doktrin dan otoritas

keislaman. Menjadi seorang muslim adalah menjalani kehidupan dalam kemul

historisitas. Rujukannya tidak hanya al-Quran dan hadis –tentu dengan penafsiran

atas keduanya, ilmu-ilmu keislaman, dan fatwa para ulama. Gagasan, aspirasi,

perdebatan, citraan, dialog, dan rona-rona historis yang dialami oleh orang-orang

beriman juga merupakan rujukan dalam berislam. Hasilnya, Islam akan tampil

sebagai agama yang diekspresikan dengan penuh improvisasi estetik. Islam

merupa ayat-ayat yang dilagukan atau ditilawahkan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Saya menggunakan metode kualitatif untuk mengumpulkan data. Ada

beberapa teknik yang saya tempuh. Pertama, observasi-partisipasi. Saya ikut

tenggelam ke dalam dunia sehari-hari pelantun al-Quran. Mencatat apa yang

dikatakan, mendengarkan apa yang dibicarakan, dan memirsa apa yang terjadi

menjadi kesemestian bagi saya. Kedua, in-depth interview. Dalam ketenggelaman

itu, pengajuan pertanyaan dilakukan dalam wawancara mendalam (in-depth

interview) kepada para pelaku budaya, yaitu para qori, pihak-pihak yang terlibat

dalam ajang seni baca al-Quran, serta para penghayat seni, penggelut kebudayaan,

dan pengamal tasawuf atau pejalan spiritual. Terakhir, studi pustaka tidak bisa

ditinggalkan untuk menopang kerja penafsiran. Melalui penelusuran pustaka,

data-data yang terkait dengan persoalan penelitian akan sangat mudah ditemukan.

61

Istilah “lived Islam” saya adaptasi dari Kenneth M George. Lihat Kenneth M. George, Picturing

Islam Art and Ethic in Muslim Lifeworld (UK: Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 135-137.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

38

G. Maklumat: Hijab Untuk Kawan-Kawan Penelitian

Nama, dunia, identitas, dan segala hal yang berkait dengan kawan

penelitian saya, yaitu tiga orang kawan qori; Akid, Pati, dan Sahal, yang saya

ceritakan di sini telah saya samarkan. Saya menulis “dunia-bawah” para seniman

al-Quran. Kata yang perlu digarisbawahi di sana adalah “al-Quran”. Kata itu,

dalam pusaran arus keberagamaan manusia modern, telah selalu lekat dengan

“kesalehan umum”. Maksud saya, kesalehan umum pasti akan menuding siapapun

orang yang telah dipredikasi dengan ke-al-Quranan (baca: qori) sebagai orang

yang kesalehannya dapat dicandra dengan mata, jelas didengar telinga, dan mudah

dicerna. Kesalehan umum akan selalu mencatat sang ahli al-Quran sebagai orang

yang pasti sopan bicaranya, rapi busananya, halus tutur-katanya, dan tertata

hidupnya. Begitu juga prediket “takmir” atau “aktivis masjid”. Kesalehan umum

mendakwa siapa saja yang berkemul selimut masjid sebagai pemilik tindak-

tanduk yang identik dengan ciri “kenormalan beragama”.

Sayangnya, tiga orang kawan qori tidak demikian adanya. Mereka “orang-

orang gila”. Mereka hidup di dunia bawah. Dunia yang tidak akan terpindai bila

saya tidak masuk dan hidup bersama mereka dalam tempo yang cukup lama.

Mereka adalah seniman al-Quran dan aktivis masjid yang “tidak normal. Anda

akan dapat membaca kisah mereka di Bab III dan beberapa perciknya di Bab IV.

Karena itu, untuk menjaga kehormatan serta ketulusan tarekat mereka, maka

nama, identitas, lokasi penelitian, hingga masjid yang mereka takmiri saya

samarkan di sini. Nama beberapa informan “normal”, baik yang qori dan non-

qori, tetap saya biarkan menganga. Saya bertaruh bahwa mereka semua nyata.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

39

Bila terasa terlalu aneh, barangkali kata-kalimat yang saya kendarai untuk

memperkalamkan mereka saja yang terlalu bernafsu untuk memanipulasi

kenyataan. Kata-kalimat memang selalu begitu. Mereka akan berhengkang setiap

kali hendak dlidahkan. Wallahu a‟lam.

“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/