BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Unzilal quran fil „arob, wa quria fi jawa
(al-Quran diturunkan di Arab, namun ia lebih banyak dibaca di Jawa)
--KH. Abdul Kholiq Syifa--1
Ini cerita tentang awal-mula keterantukan saya pada nada-nada tilawatil
quran dan kerabat estetiknya. Orang-orang di kampung saya membilang tilawatil
quran dengan sebutan singkat; tilawah. Alkisah, saat saya dilahirkan, uwak2 saya,
Murni, yang mengalmarhum sekira 18 tahun lalu, telah tidak lagi mau
menyedekahkan suara emasnya di depan haribaan jibunan orang. Musababnya
panjang. Ia telah menua. Tenaganya sudah tidak lagi bercadang. Pipinya yang
keroak akibat hantaman kayu broti seorang lelaki pendengki di kampung kami
pun menuntutnya untuk tidak lagi bersuka-suka melampaikan nada-suara lantunan
al-Quran. Bahkan untuk hanya menyenandungkan mawlid barzanji, yaitu
karangan prosa berbahasaarab tentang riwayat Nabi Muhammad SAW yang
ditulis oleh Syekh Ja‟far al-Barzanji (1716 M), pun ia akan mengulur-ulur pikiran.
Padahal, di kampung saya, al-Quran dan mawlid barzanji adalah dua sejoli
yang harus dipermantra di saat-saat keramat. Baik saat pernikahan, kelahiran,
kekahan,3 selametan, khataman al-Quran, khitanan, dan sepuak-puaknya. Lalu
1 Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dawuh ini disampaikan
di acara “Pengajian Muharram” Masjid Nirnama Karangarum, 15/12/2012. 2 Abang ayah. Di Jawa disebut Pak Dhe.
3 Dari kata “aqiqah”, yaitu upacara pemotongan dua ekor kambing sebagai “penebus” kelahiran
bayi laki-laki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
ayah merayu-rayu wak Murni. Ayah berharap agar ia sudi menyedekahkan
suaranya di upacara kekahan saya. Sekali saja. Sedaya-bisa. Selepas beberapa
jenak, akhirnya uwak saya itu berkersa. Betapa sumringahnya ayah. Lalu ia cepat-
cepat merogoh celengannya. Agar dua ekor kambing yang disyariatkan untuk
disembelih demi mengkekahi saya, anak lelaki pertamanya, dapat dipastikan
pembeliannya.
Kata ayah, keajaiban menghariba di malam kekahan itu, malam ketujuh
usia saya di dunia. Para hadirin terhisap ke alam nada-nada. Wak Murni menyihir
mereka dengan liang-liuk suara lantunan al-Quran dan senandung mawlid
barzanji. Sehingga mereka rela membetahi takdir untuk berleyeh-leyeh barang
beberapa bentar di atas rakit-rakit nada. Tentu saya tidak tahu kejadian itu
sepersis-persisnya. Waktu itu saya belum lagi bisa mencecap manis-pahit sejarah.
Saya hanya berakidah pada cerita ayah. Kelak, saat saya sudah bisa membata-
batakan bahasa, ayah sering membawa saya berhadir di majelis yang di sana al-
Quran dilantunkan, mawlid barzanji disenandungkan, sholawat dan kasidah pepuji
pada nabi didendangkan. Setelah ayah memasukkan saya ke sebuah madrasah,
yaitu semacam Taman Pendidikan al-Quran (TPA), para guru mulia di sana
menyuntikkan berliter-liter pengetahuan keislaman terpenting yang bersumber
dari al-Quran ke dalam kepala saya. Sebagian besarnya adalah ilmu-ilmu asas
bangunan Islam; tauhid atau akidah, sejarah nabi, tajwid, imla atau ilmu menulis
huruf Arab, dan fiqh atau ilmu hukum Islam.
Ilmu terpenting yang wajib dikuasai oleh setiap murid madrasah adalah
tajwid, yaitu pengetahuan teknis yang mengatur ketetapan dan ketepatan pelafalan
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
huruf, kesahihan pengucapan kata-kalimat al-Quran berikut panjang, pendek, dan
dengung-dengungnya.4 Dari sana, tahulah saya bahwa kepada al-Quran, kitab
bernada yang telah sering saya simak sebelumnya, lah umat Islam sejagadraya
berkitabsuci. Lantas, saya semakin memesrai gelegak golak baca-membaca dan
lantun-melantun al-Quran. Pelan-pelan, ayah pun mulai mengenalkan dunia
tilawah yang lebih luas kepada saya. Pada suatu waktu, ia menceritakan kisah
seorang pelantun al-Quran (qori) internasional dari Indonesia. Muammar ZA
namanya. Saat melakukan penelitian ini, saya berjumpa dengan banyak qori dan
pecinta al-Quran generasi 1970-1980-an yang mengidolakannya. Bagi mereka,
qori kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, itu, dianggap sebagai satu-satunya qori
tercempiang di Indonesia. Nafasnya panjang. Suaranya jernih. Kegagahannya pun
sangat kentara. Seperti tergambar di sampul kaset-kasetnya; duduk bersila dengan
al-Quran terbuka di atas rehal,5 berkacamata, berpeci hitam, dan berjas. Ayah juga
turut menyinggung qori ternama di kota kami, Medan. Hasan Basri, Khuwailid
Daulay, dan entah siapa lagi.
Ayah pernah mengajarkan tilawah kepada saya. Walaupun tilawah yang
diajarkannya pada saya masih terasa jauh gema dari suara -mengingat suaranya
yang fals, namun, dapat dibilang, ayahlah guru tilawah pertama saya. Memang,
selain ayah, ada beberapa guru tilawah di kampung sebelah yang rutin saya
datangi. Hanya saja, saya kurang pandai bertetap-hati. Kelas tilawah bersama
mereka tidak terlalu tegak saya dirikan. Saya sering membolos. Bila tidak, saya
akan membudak pada seribu alasan khas masa kanak agar saya tidak dikenakan
4 Hasani Syaikh Utsman, Haqqut Tilawah (Makkah: Darul Manarot, 1994), halaman 49-52.
5 Semacam alat untuk meletakkan al-Quran agar tidak besejajar atau lebih rendah daripada telapak
kaki pembaca al-Quran.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
kewajiban berlatih tilawah. Maklum saja. Di kampung saya, tilawah itu amal
pembangga hati. Para orangtua pasti akan berbagak-bagak bila satu di antara
beberapa anak mereka mahir bertilawah. Karena itu, mereka bisa sangat keras
mengikhtiarkan waktu agar anak-anak mereka mau belajar tilawah. Akan tetapi,
itu peristiwa zaman dahulu. Sekarang agaknya tidak lagi. Hingga saat ini, saya
belum lagi mendapati bibit-bibit qori baru di kampung saya. Juru azan yang rutin
meneriaki telinga warga setiap kali waktu sholat menyapa pun hanya seorang
kakek renta. Anak-anak mudanya mengacir dengan dunianya.
Begitulah. Bukan tidak mungkin tilawah akan ditinggalkan zaman.
Pasalnya, bertilawah adalah amal berat. Tidak setiap muslim mampu merajainya.
Lagipula, tilawah itu nomor dua. Memang, Nabi Muhammad SAW pernah
bertitah dalam sejumlah sabda yang berisi anjuran untuk mempercantik bunyi
bacaan (baca: bertilawah), di antaranya; Allah tidak memberi izin terhadap suatu
perbuatan sebagaimana Nabi diizinkan membaguskan suara dalam melantunkan
al-Quran;6 bukan golongan kami orang yang tidak melantunkan al-Quran;
7
hiasilah al-Quran dengan suaramu.8 Hanya saja, anjuran tersebut beralamat di
fase kedua setelah penguasaan tajwid. Bagaimanapun, percantikan bunyi bacaan
harus menghamba pada tajwid. Sebab, hanya dari penghambaan itu, pembacaan
al-Quran berbiak menjadi pelantunan al-Quran atau yang saat ini dikenal dengan
istilah tilawah atau tilawatil quran.
6 al-Bukhori, Shohih Bukhori (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006), hlm. 720.
7 al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrok „alash Shohihayn (Cairo: Darul Haromayn, 1997), Juz I,
hlm. 771-773. 8 Ibid., hlm. 774-782.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
Kelak, di Indonesia dan di beberapa negara Arab dan Asia, kemampuan
bertilawah bahkan dipertandingkan dalam ajang Musabaqoh Tilawatil Quran
(MTQ). Khusus di Indonesia, walaupun masih tergolong belia, MTQ menjelma
sebagai bensin pemantik unggunan tradisi tilawah. Pada tahun 1962, MTQ
Internasional dalam rangka Konferensi Islam Asia-Afrika pernah digelar di
Indonesia. Sementara MTQ Nasional (MTQN) untuk pertama kalinya baru dihelat
pada tahun 1968.9 Hari ini, tahun 2013, MTQN telah memasuki kali yang ke-24.
Ada banyak qori Indonesia yang dikenal oleh masyarakat dunia yang lahir dari
rahim MTQ. Setiap masa, selalu saja ada nama qori Indonesia terbaru yang
didaftarkan dunia sebagai juara MTQ Internasional. Bila tidak memeringkati
urutan pertama, qori-qori Indonesia biasanya tidak akan lalai untuk merebut kursi
urutan lima besar terbaik dunia.
Saya bahagia dapat mengenal dan berkarib dengan beberapa qori itu.
Mukmin Aenul Mubarok, qori dari Tasikmalaya, Jawa Barat, di antaranya.
Rekaman haflahnya10
di Masjid Faishal, Pakistan, pada tahun 2009, yang saya
unduh dari situs www.youtube.com, merupakan pelatuk niat untuk menembak
tradisi tilawah ini secara akademik. Pada tahun 2009 Mukmin menjadi juara
pertama di ajang MTQ Internasional di Malaysia dan juara kedua MTQ
Internasional di Iran. Sejak itu, ia sering diundang menjadi qori pehaflah utama di
9 Muhaimin Zen & Akhmad Mustafid (ed.), Bunga Rampai Mutiara al-Quran; Pembinaan Qori-
Qoriah dan Hafizh-Hafizhah (Jakarta: PP Jamiyyatul Qurra wal Huffazh), hlm. 27. 10
Haflah (حفح) berasal dari kata ha-fa-la ( ي-ف-ح ). Artinya; berkumpul dalam jumlah banyak. Lois
Malouf, al-Munjid fil Lughoh wal A‟lam (Beirut: Daar al-Masyriq, 2005), hlm. 143. Dalam dunia
seni baca al-Quran di Indonesia, istilah haflah telah dipatenkan menjadi nama peristiwa
berkumpulnya banyak orang untuk mendengarkan pembacaan al-Quran oleh beberapa qori. Ia
dapat diibaratkan sejenis “konser al-Quran”. Setiap qori melantunkan al-Quran selama beberapa
menit, bahkan lebih dari 1 jam, di depan para hadirin. Istilah lain yang terkadang dipakai adalah
mahfil (حف).
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
berbagai daerah di Indonesia, Pakistan, Singapura, Hongkong, dan Amerika
Serikat. Darwin Hasibuan juga menggores prestasi sepadan. Pada tahun 2011 lalu,
qori asal Medan, Sumatera Utara, itu, menyabet gelar juara kedua MTQ
Internasional di Iran. Sedangkan di tahun 2012, ia terpilih sebagai juara pertama
MTQ Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) di Malaka, Malaysia. Jauh sebelum itu,
tercatat telah ada banyak qori internasional dari Indonesia. Mulai Ahmad Syahid
(1968), Abdul Aziz Muslim (1964), Maria Ulfah (1981), Muammar ZA (1982),
dan masih banyak lagi.
Kelopak kebahagiaan di hati saya benar-benar merekah saat sejarah
menggiring saya untuk melipat-lipat ruang-waktu dalam persejawatan dengan
kawan-kawan qori.11
Terutama kawan-kawan qori yang tinggal di Kota
Karangarum, Provinsi Karangarum. Rata-rata, usia mereka berkisar di antara 20-
40 tahun. Satu orang sudah berprediket qori internasional. Lima orang masih baru
menasional. Sementara selebihnya banyak yang belum bisa berunjuk-diri di
pentas tilawah nasional. Ada pula kawan-kawan qori yang kukuh belajar tilawah,
namun, mereka menyengajakan diri untuk tidak sibuk ber-MTQ. Mereka kaum
minoritas. Tanpa menyungkurkan hormat kepada kawan-kawan qori yang
berusaha mati-matian untuk menjadi juara MTQ, saya terang-terangan menyunggi
hormat secacak-cacaknya buat golongan terakhir, qori minoritas, itu.
Prestasi para qori Indonesia di kancah tilawah internasional serta arus
deras minat anak-anak muda bangsa dalam belajar al-Quran dan mempelajari
tilawah itu cukup menakjubkan. Indonesia bukan negara Islam. Bukan negara
11
Mereka adalah informan saya. Akan tetapi, saya lebih suka menyebut mereka: “kawan-kawan”
atau “kawan penelitian”.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Arab. Bukan pula ibu pertiwi bagi nada-nada qurani. Namun, faktisitas kultural
dan prestasi yang lahir dari polah tilawah itu menjadi tanda bahwa tilawatil quran
telah mengakar-kuat di dalam telatah kebudayaan masyarakat Islam Indonesia.
Seperti anggitan KH. Abdul Kholiq Syifa yang saya kutip di atas. Al-Quran
memang diturunkan di Arab, akan tetapi ia justru lebih banyak dibaca di Jawa.12
Karena itu, tilawah di Indonesia tidak dapat dicandra hanya sebagai kultur
kelatahan religius yang meletup dari materi persebaran kebudayaan Arab-Islam ke
seluruh kawasan. Pasti ada peta “kognitif” yang melambari pertumbuhannya.
Alhamdulillah! Setelah mengkhatamkan pembacaan peta itu melalui
penelitian ini, saya dijumpakan Tuhan dengan sebersit pemahaman. Bahwa
tilawah di Indonesia ternyata tidak hanya berstatus sekedar sebagai seni. Sejauh
ini, ia memang lazim disebut seni membaca al-Quran (the art of reciting the
quran). Orang Arab juga melisankannya dengan kalimat fannut tilawah (ف ارالج)
atau fannut tartil (ف ارطذ١) yang keduanya sama-sama berarti; seni baca al-Quran.
Sebagian besar akademisi dan bahkan para qori di Indonesia sendiri juga
menyatakannya sebagai seni baca al-Quran. Hanya saja, saya menemukannya
lebih dari „sekedar‟ seni. Tiga kawan qori terbaik saya dalam penelitian ini: Akid,
Pati, Sahal, serta beberapa kawan-kawan qori lainnya telah menggeret matahari
itu untuk saya. Melalui polah-solah quranik yang mereka pertontonkan, di sini
saya menyimpulkan bahwa bertilawah itu sama saja dengan bertarekat atau
berlelaku. Saya menjamin ini tidak berlebihan. Di telatah ini, tilawah telah diolah
12
“Jawa” di sini harus dibaca sebagai Nusantara atau Indonesia sebelum dikonstruksi menjadi
negara modern. Asia Tenggara juga termasuk Jawa. Orang-orang Arab pra-Islam bahkan
menyebut Asia Tenggara sebagai: Biladu Jawa atau Negeri Jawa. Lihat Michael Laffan, Islamic
Nationhood and Colonial Indonesia (London: Routledge Curzon, 2003).
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
secara kreatif oleh anak-anak „Ajam atau bangsa yang tidak fasih berbahasa(arab).
Kawan-kawan qori itu di mata saya tampak telah mengeksotikkan,
mengkeramatkan, dan bahkan memistikkan tilawah! Mereka menyelingkit saya
untuk tidak bermakmum pada kaul segolongan besar umat akademis yang
membaptis tilawah cuma sebagai sepicis “artefak seni”. Begitulah.
Berlambarkan hal itu, tesis ini saya juduli dengan sebaris kalimat;
“Tarekat Tilawatiyah”: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan
Islam. Kata “tarekat” yang saya ejakan di sini tidak mengacu pada tarekat sebagai
sebuah ordo sufistik. Akan tetapi “tarekat” sebagai sebuah jalan berkesenian yang
bukan “jalan biasa”. “Tarekat Tilawatiyah” adalah tarekat yang bukan tarekat. Ia
jalan seni yang bukan jalan seni. Untuk lebih jelasnya, saya merasa nikmat
membahasakannya dalam istilah; lelaku-seni. Ya! Lelaku-seni! Tilawah itu
lelaku-seni yang ditempuh oleh seorang qori. Dengan bertilawah, para qori
sebenarnya sedang berjuang untuk memakrifati diri, mengasmarai Muhammad
sang wadah wahyu, membaca sejarah, menandingi zaman, melontarkan pikiran,
dan menunaikan aspirasi. Semoga kata “lelaku” di sana akan langsung
membawakan suluh pemahaman pada kekeramatan kata yang menyetelahinya.
Tarekat Tilawatiyah juga berarti lelaku-seni yang ditempuh oleh kawan-
kawan qori untuk mengekspresikan Islam, yang di sini, saya sebut sebagai lelaku
menilawahkan Islam. Saya berharap agar istilah “menilawahkan Islam” tidak
terdengar sengau. Istilah itu saya tetaskan hanya untuk mengatakan bahwa oleh
para qori, Islam diamalkan serupa tilawah. Terkadang “nada” Islam harus mereka
naikkan. Terkadang pula nada itu wajib mereka turunkan. Lalu, tiba-tiba nada itu
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
mereka naikkan lagi melebihi kadar kenaikan awalnya. Tiba-tiba pula nada itu
mereka makzulkan sekehendaknya. Lalu, setelah berselang singkat masa, tiba-tiba
nada itu mereka hidupkan lagi entah dengan apa dan entah dengan bagaimana.
Dalam “tenggorokan” mereka, Islam mengalun dengan ketidakpastian tempo.
Sekilas, karena “keliaran berislam” itu, mereka tampak cenderung
menyerongi rambu keberislaman orang awam. Seolah-olah mereka buta al-Quran
dan tidak tahu Islam “yang benar”. Saat belum memahami ritme keberislaman
para seniman al-Quran atau para penganut Tarekat Tilawatiyah itu, saya sendiri
acap menyabung mereka dengan tembok legalisme agama. Untung saja, seiring
benderang pemahaman tentang seluk-beluk tabiat seni, barulah saya tahu bahwa
“kesesatan” yang mereka pertontonkan di depan saya adalah wajah lain kelurusan.
Kesesatan mereka adalah kebenaran yang tertunda. Mereka itu para penggaul
dasa-nama sejarah; baik-buruk, cantik-jelek, naik-turun, benar-salah. Mereka
sebenarnya sedang mengadon ramuan-ramuan Islam dalam kuali “karya seni”.
Sehingga akan sangat sulit untuk menapis mana abcdefgh, hanacaraka, atau
abatasaja. Seperti halnya proses kreatif mereka dalam melakonkan tilawah yang
akan saya ceritakan nanti. Semuanya lebur. Fana.
B. Rumusan Masalah
Pada saat proposal penelitian ini ditulis, hasil penelitian yang saya
mukaddimahkan di atas beranjak dari dua pertanyaan penelitian. Pertama, apa
makna tradisi tilawatil quran yang berkembang di Indonesia? Kedua, bagaimana
Islam diekspresikan oleh para qori dan apa maknanya?
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
C. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa makna tradisi tilawatil
quran di Indonesia dan makna ekspresi Islam para qori. Ruang lingkup penelitian
ini adalah Kota Karangarum, Provinsi Karangarum. Wilayah ini saya pilih karena
di sana ada banyak ahli ilmu al-Quran (muqri), qori, dan hafizh (penghafal al-
Quran). Secara khusus, saya punya ikatan hubungan sosial yang panjang dengan
qori-qori penting di kota ini, khususnya kawan-kawan qori yang bertempatinggal
di Masjid Nirnama Karangarum dan kawan-kawan qori yang tergabung dalam
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Roudhotul Qurro wal Huffazh (RQH)13
Al-Kail
Universitas Asmaradana Karangarum.
Suatu ketika, yaitu bulan Ramadhan tahun 2012 lalu, saya sengaja
“menyantri kilat” di Pesantren Murottalul Quran “Al-Mubarok”, Awipari,
Cibereum, Tasikmalaya yang diasuh oleh KH. M. Zaenal Abidin dan Pesantren
Murottalul Quran “Mukmin Aenul Mubarok”, Nagarakasih, Kersanegara,
Cibereum, Tasikmalaya, yang diasuh oleh Mukmin Aenul Mubarok. Ada banyak
hal yang saya lihat dan catat di sana. Karena itu, dalam tesis ini, saya
memasukkan sedikit lengkingan suara dari catatan „wisata‟ itu untuk memperkaya
uraian dan mempertajam perspektif.
D. Kajian Pustaka
Kristina Nelson telah merintis kajian terawal tentang seni baca al-Quran
melalui disertasinya di University of California, Berkeley, USA, yang telah
13
Artinya: taman para qori dan penghafal al-Quran. UKM tersebut adalah unit kegiatan mahasiswa
yang menghimpun para pelantun al-Quran, pendendang sholawat, para hafiz atau penghafal al-
Quran, dan para kaligrafer atau pelukis ayat al-Quran.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
dibukukan dengan judul The Art of Reciting the Quran (USA: University of Texas
Press, 1985). Selama lebih-kurang 3 tahun melakukan penelitian di Mesir, ia
melihat eksistensi seni baca al-Quran dalam hubungannya dengan tradisi
bermusik dan berlagu masyarakat Arab. Hasilnya, Nelson mengatakan bahwa seni
baca al-Quran merupakan peristiwa juxtapose yang mempertemukan manusia dan
Tuhan dalam suatu “kerja budaya”. Kerja Tuhan tercurah dalam bebunyian al-
Quran itu sendiri. Sedangkan kerja manusia tertumpah dalam pelantunan al-Quran
dengan beragam lagu, berbagai teknik suara, dan pemahaman makna. Dari sanalah
ia menyebut tilawah sebagai the great art. Nelson telah berhasil mendeskripsikan
tilawatil quran dan menjelaskan hakikatnya bagi bangsa Arab, bangsa pengucap
Bahasa Arab yang sejak lahir telah “menangis” dengan nada-nada Arab.
Sebelumnya, ia telah menginisiasi tesisnya itu dalam tulisan berjudul Reciter and
Listener: Some Factors Shaping the Mujawwad Style of Quranic Reciting.14
Anna M Gade, dalam buku Perfection Makes Practice; Learning,
Emotion, and The Recited Quran in Indonesia (USA: University of Hawai‟i Press,
2004) telah memulai penelitian tentang dunia pengajaran dan pembelajaran al-
Quran di Indonesia sejak tahun 1997 sampai tahun 2000. Ruang lingkup
penelitiannya adalah Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jakarta. Dengan
menjadikan motivasi dan emosi sebagai kerangka teori, ia menemukan empat
macam aktivitas atau kemampuan quranik masyarakat Islam Indonesia;
memorization (menghafal al-Quran), reading (membaca al-Quran), expressive
aesthetics (melantunkan al-Quran), dan competing (berlomba-lomba dalam
14
Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society for Ethnomusicology, Vol. 26, No. 1,
Januari 1982, hlm. 41-47.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
membaca al-Quran). Bagi Gade, empat macam kemampuan quranik itu
merupakan ekspresi kesalehan masyarakat Islam Indonesia, yang ia masukkan
sebagai efek motivasi “kecemburuan untuk kebaikan (an envy for goodness)”.
Hemat saya, kertas kerja Gade ini bersifat deskriptif. Keunggulannya terletak pada
upayanya menghubungkan praktik berquran masyarakat Indonesia dengan
penciptaan tingkat religiusitas.
Anne K Rasmussen dalam Women, the Recited Quran, and Islamic Music
in Indonesia (USA: University of California Press, 2010) menyinggung pasal seni
baca al-Quran di Indonesia dalam satu di antara beberapa bahasan mengenai
fenomena tertampilkannya Islam di ruang-suara (sound-scape) masyarakat. Lebih
khusus lagi, ia memotret eksistensi para perempuan pelantun al-Quran (qoriah) di
sana. Seperti Maria Ulfah, qoriah Indonesia yang kualitasnya telah diakui secara
internasional; Nurasiah Djamil, pelopor grup nasyid dan qoriah terbaik Indonesia
pada tahun 1968; serta para qoriah lain yang tergabung dalam grup nasyid
populer, Nasyida Ria. Fakta itu kemudian ia soroti sebagai manifestasi praktik
pembacaan al-Quran, islamisme musik, wacana keperempuanan, dan nasionalisme
yang terlecut bersamaan dengan rembetan fakta revivalisme Islam global ke
Indonesia. Kelebihan kerja akademik Rasmussen ini terletak pada kejeliannya
menangkap kenyataan keperempuanan dalam realitas kebudayaan quranik
masyarakat Islam Indonesia.
Abul Haris Akbar mengajukan skripsi kepada Jurusan Tafsir-Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009 yang berjudul
Musikalitas al-Quran (Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal dan Eksternal).
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Dengan metode studi kepustakaan, Akbar menemukan adanya dua dimensi yang
menyebabkan al-Quran tampil sebagai bacaan dengan keindahan bunyi, yaitu
dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal bunyi al-Quran diperkuat
oleh struktur-dalam al-Quran itu sendiri. Mulai dari fonologi al-Quran, pola
penyusunan kata-kalimat yang prosais dan puitik, keberadaan fitur rima akhir
setiap ayat, serta keterikatan bunyi-bunyi itu dengan ilmu tajwid. Sementara
dimensi eksternalnya dibangun oleh struktur-luar yang lebih bersifat ornamental,
yaitu sistem melodi Arab yang dipakai untuk melantunkan al-Quran, teknik vokal
dan suara, serta strategi pembacaan yang dikemas sebagai live performance.
Sumbangan terbesar Akbar di sini adalah upayanya untuk mendeskripsikan
elemen-elemen yang menyebabkan al-Quran layak ditilawahkan. Saya berhutang
banyak pada karya deskriptif ini.
Selain itu, ada beberapa karya deskriptif lain yang menyasar seni baca al-
Quran sebagai fokus kajiannya. Arini Munjiyati dalam “Hadis-Hadis Tentang
Laisa Minna Man Lam Yataghanna Bi Al-Quran (Kajian Ma‟anil Hadis)” telah
mengangkat permasalahan seni baca al-Quran. Akan tetapi, skripsi di Jurusan
Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006, itu,
tidak secara khusus melihat seni baca al-Quran sebagai seni. Melalui pemeriksaan
atas matan atau bunyi teks dan sanad atau alur periwayatan hadis, ia hanya
menganalisis makna beberapa hadis Nabi Muhammad SAW yang berisi dasar
legalitas tradisi seni baca al-Quran. Menurutnya, hadis tersebut memang benar-
benar shohih. Karena itu, tilawah termasuk perbuatan sunnah; diamalkan
berpahala, tidak diamalkan tidak apa-apa. Ada pula artikel Lois Ibsen al-Faruqi
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
yang berjudul “Quran Reciters in Competition in Kuala Lumpur”.15
Di sana, ia
melukiskan peristiwa pembelajaran dan perlombaan seni baca al-Quran di
Malaysia. Mulai dari sisi sejarah, organisasi penyelenggara, para peserta, aspek-
aspek lagu yang diajarkan dan diperlombakan, serta kriteria penghakiman yang
dipakai di dalam MTQ. Ibsen juga menulis karya ilmiah berjudul “The
Cantillation of The Quran”16
yang berisi jepretan rinci tentang nama-nama lagu,
kriteria, perekaman, perlombaan, teknik olah suara dan nafas, dan aspek-aspek
teknis tilawah lainnya.
Satu buku kunci yang dikutip oleh semua para penulis karya ilmiah
tersebut di atas adalah at-Taghonni bil Quran; Bahts Fiqhi Tarikhi (Cairo: al-
Maktabatus Tsaqafiyyah, 1970), yang ditulis oleh Labib al-Said. Buku ini berisi
uraian tentang historisitas seni baca al-Quran dan legalitasnya dalam Islam. Labib
al-Said juga menulis buku al-Jam‟us Showtiyyul Awwal lil Quranil Karim awil
Mushhafil Murottal (Cairo: Darul Kitab al-„Arabi lith Thiba‟ah wan Nasyr, 1967),
yang berisi pembahasan mengenai pewarisan al-Quran sebagai kitab yang ditulis,
dibaca, didengarkan, dibukukan, dan dilagukan. Dua buku ini cukup otoritatif
untuk disandari dalam melihat fenomena seni baca al-Quran secara umum. Seperti
juga buku The Music of The Arabs (Portland, OR: Amadeus Press, 1996) karya
Habib Hassan Touma. Buku berisi babaran rinci mengenai alam musik dunia Arab
itu kerap dirujuk untuk melacak historisitas dan tradisi berlagu masyarakat Arab
dalam hubungannya dengan seni baca al-Quran.
15
Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society for Ethnomusicology, Vol. 31, No.2
(Spring-Summer, 1987), hlm. 221-228. 16
Asian Music, University of Texas Press, Vol. 19, No. 1, 1987, hlm. 1-25.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Kajian saya ini tidak searah dengan karya-karya tersebut di atas. Penelitian
Kristina Nelson memang agak menyerempet apa yang saya kerjakan. Namun,
Nelson berada dalam jalur penguakan aspek ontologis tilawatil quran dalam
hubungannya dengan konstruksi kebudayaan Arab. Ia tidak menyasar makna
tilawatil quran itu sendiri bagi orang Arab alih-alih orang non-Arab. Lagipula,
ruang lingkup penelitiannya adalah Mesir, salah satu negeri rahim seni baca al-
Quran. Tentu hasil penelitian tersebut akan berbeda bila ruang-lingkup
penelitiannya adalah Indonesia, negeri dimana seni baca al-Quran bukan anak
kandungnya. Selain itu, Nelson tidak menyoroti bagaimana Islam diekspresikan
oleh para qori. Ia hanya menghubungkan tilawatil quran dengan persepsi musikal
para qori, bagaimana kemudian makna al-Quran yang ditilawahkan itu dipahami,
dan bagaimana pula respon para pendengarnya.
Penelitian Anne K Rasmussen juga menyerongi topik penelitian saya. Ia
hanya menyasar tilawatil quran sebagai elemen ekspresi bunyi Islam di Indonesia
yang berhubungan dengan manifestasi ajaran “dakwah”. Sayangnya, Rasmussen
meletakkan tilawah di Indonesia “hanya” semata-mata sebagai efek revivalisme
Islam di tingkat global. Sehingga ia memasukkan isu-isu feminisme dan
nasionalisme di dalamnya. Sementara Anna M Gade cuma melihat dunia
perquranan di Indonesia dengan kacamata psikologi emosi dan motivasi. Ia tidak
melihat makna tilawatil quran. Seperti Rasmussen, ia juga meletakkan pengajaran
dan pembelajaran al-Quran “cuma” sebagai efek revivalisme Islam. Sebuah tesis
yang menurut saya cukup keliru. Bila memang cuma efek, ia pasti tidak punya
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
daya tahan, elan gerak, dan gen prestasi yang memukau. Padahal, seni ini bukan
“produk lokal” dari Indonesia.
Hal terdasar yang menggaib di dalam semua karya ilmiah itu adalah
perspektif seni-sufistik dalam melihat tilawah. Kristina Nelson memang
memasukkan bahasan mengenai topik sufistik; sama‟ di dalam karyanya. Akan
tetapi ia hanya menarik sama‟ ke dalam perbincangan legalitas (fiqhiyyah) tilawah
dan bebunyian di dalam Islam. Sehingga, di tangannya, tilawah “terpaksa” harus
dikurung dengan kategori musik-non musik, boleh-tidak boleh, halal-haram, yang
manusiawi-yang ilahi. Gade dan Rasmussen juga cuma mencantolkan sama‟
dalam diskursus fiqh bunyi dan suara. Posisi saya berada di seberang mereka. Di
sini, tilawah saya tinjau dengan perspektif seni-sufistik. Pasal fiqih suara dan
bunyi; sama‟, hanya saya singgung sebaris di dalam percakapan teoritik itu.
E. Landasan Teori
1. Ancangan Paradigmatis
Seni itu pokok kebudayaan manusia.17
Ia “bawaan lahir” kehidupan.
Manusia pun dilahirkan dengan daya seni. Hanya saja, pada saat manusia memilih
tilawah, ulah seninya itu menjadi tindak kultural. Mengamati seni berarti juga
meletakkannya sebagai kebudayaan. Ketika seni dibicarakan, kebudayaan telah
ikut terbicarakan dengan sendirinya.18
Teori tentang seni, pada saat yang sama
mewujud sebagai teori tentang kebudayaan. Sedangkan kebudayaan itu sendiri
17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, Edisi Revisi, 2009),
hlm. 165. 18
Clifford Geertz, “Art as a Cultural System”, dalam Local Knowledge: Further Essays in
Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), hlm. 109.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
adalah teks yang ditenun oleh manusia.19
Oleh karena manusia hidup di dalam
jerat-jaring kehidupan nan sarat makna, maka teks pun pasti memiliki makna.
Meneliti seni berarti meneliti kebudayaan. Meneliti kebudayaan sama dengan
meneliti makna-makna.
Apa itu makna? Clifford Geertz, yang terinspirasi dari Paul Ricoeur,
menjelaskan makna sebagai noema, yaitu “pikiran”, “isi”, “gist” dari
pembicaraan.20
Ini berarti bahwa makna merupakan sesuatu yang dikatakan oleh
keterjadian (occurence) dan keagenan (agency) kenyataan kultural21
–dalam hal
ini tilawatil quran. Baik yang berupa sesuatu yang menggelikan, menantang,
penuh ironi atau kemarahan, sarat kecongkakan atau kebanggaan. Dalam bahasa
yang lain, makna adalah apa yang dikatakan dari pembicaraan (the said of
speaking).22
“Pembicaraan” dalam penelitian ini tentulah tradisi tilawatil quran.
Namun, makna tidak memuncar dengan sendirinya. Ia harus disedot dengan
penafsiran. Sedangkan penafsiran menjadi mungkin dilakukan dengan jalan
memahami apa yang diketahui, dirasakan, dan dialami oleh penjalin teks atau
pelaku budaya (from the native point‟s of view) -dalam hal ini para qori.23
Penafsiran atas suatu teks bertumpu pada dua model. Pertama, apa yang
disebut sebagai lingkaran hermeneutik, yaitu penafsiran yang bersifat melingkar.
Pemahaman salah satu unsur teks membentuk pemahaman keseluruhan teks.
19
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, cetakan VI, 2000), hlm. 249. 20
Ibid., hlm. 24. 21
Ibid. hlm. 13. Untuk memahami apa itu “makna”, edisi Inggris buku Clifford Geertz ini, The
Interpretation of Culture, lebih layak untuk dirujuk. 22
Clifford Geertz, The Interpretation of Culture: Selected Essays (New York: Basic Books Inc.
Publisher, 1973), hlm. 19. 23
Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essay in Interpretive Anthropology (USA: Basic
Books Inc. Publisher, 1983), hlm. 55.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Sebaliknya, keseluruhan teks memberikan pemahaman kepada unsur teks.
Penafsiran sejauh mungkin menghindari penyimpangan dari maksud pengarang
teks.24
Kedua, penafsiran berubah-ubah. Makna teks tidak bergantung pada
maksud pengarang teks dan pembacanya, akan tetapi pada teks itu sendiri. Model
kedua ini memberikan ciri dinamis suatu penafsiran. Sebab, dari waktu ke waktu,
angka kelahiran bayi makna terus bertambah seiring penumpukan pengalaman
dan pemahaman manusia.
Dibandingkan dengan model pertama, model kedua jauh lebih berkuasa
untuk menerangkan dinamika “kehidupan”. Ia juga lebih bertaji untuk menjawab
pertanyaan; mengapa satu teks dibaca-ulang setelah berulangkali dibaca? Jelas!
Karena makna teks selalu memperbarui diri dan selalu akan hadir setiap kali teks
dibaca. Penafsiran atas teks tradisi tilawatil quran dan masalah bagaimana Islam
diekspresikan di dalam penelitian ini memakai model kedua ini. Karakter utama
penafsiran model ini adalah ketiadaan kepastian pemahaman. Makna tidak
bertumpu pada otoritas di luar teks. Makna berangkat dari teks itu sendiri. Alhasil,
pemahaman bisa meledakkan dunia pengarang sekaligus dunia penafsirnya.25
Paul
Ricoeur menyebut peristiwa ledakan ini sebagai dekontekstualisasi dan
rekontekstualisasi,26
yakni keterlepasan teks dari cakrawala intensi pengarangnya
yang terbatas dan keterbukaannya bagi segala kemungkinan pemahaman.
24
EKM. Masinambow, ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”, dalam T Christomy &
Untung Yuwono (ed.), Semiotika Budaya (Jakarta: PPKB UI, 2004), hlm. 23. 25
Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad
Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 126. 26
Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 123. Lihat juga E.
Soemaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm. 109.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Sepantun dengan itu, perlu ditegaskan di sini, bahwa makna yang muncul
dari penafsiran atas teks, yaitu hasil penelitian ini, merupakan sesuatu yang belum
selesai. Akhirnya, pemahaman atau hasil penelitian ini hadir sebagai tafsiran saya
atas tafsiran-tafsiran kawan-kawan qori atas teks tilawatil quran.27
Singkat kata,
saya ingin mengiyakan ungkapan Clifford Geertz tentang tulisan-tulisan
antropologis sebagai “fiksi-fiksi”, dalam arti fictio sebagai “sesuatu yang
diciptakan” atau “sesuatu yang dibentuk”.28
Sekalipun begitu, dalam prosesnya,
penafsiran saya merupakan paparan yang berorientasi pada pelaku (actor-oriented
description), yaitu kawan-kawan qori. Merekalah yang membimbing saya dalam
kerja memahami teks budaya tilawatil quran.
2. Uraian istilah
a. Murottal, Mujawwad, Maqom, Naghom
Ada dua macam gaya membaca al-Quran. Pertama, gaya murottal (طذ).
Kata murottal adalah kembangan dari kata ro-ta-la ( ي- خ - ض ), artinya tersusun
rapi.29
Sedangkan rottala, dengan tambahan tadh‟if atau penggandaan huruf “t/ta”
di tengah, artinya menyusun rapi secara pelan-pelan. Murottal artinya sesuatu
yang dibaca pelan dan disusun rapi. Ia merupakan kata berbentuk objek atau
maf‟ul dari rottala. Selain murottal, tartil (ذطذ١) adalah kembangan kata rottala
lain yang sering dipakai untuk membilang tindak membaca al-Quran dengan
tajwid secara pelan-pelan. Membaca al-Quran dengan gaya murottal atau tartil
27
Clifford Geertz, Tafsir..., op.cit., hlm. 10. 28
Ibid., hlm. 19. 29
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, cet.xiv, 1997),
hlm. 471.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
juga berarti membaca al-Quran tanpa lagu dan liukan suara. Gaya ini paling
mudah dimainkan. Karena ia hanya berhajat pada penepatan dan penetapan tajwid
saja. Percantikan bunyi-suara cenderung ditepikan. Setiap hari, terutama dalam
sholat Subuh, Maghrib, dan Isya, gaya inilah yang dibawakan oleh imam sholat.
Ia juga jamak dimainkan dan diperdengarkan oleh para pembaca al-Quran tingkat
pemula, para penghafal al-Quran (hafizh), dan kaum muslim awam. Setakat
kecanggihan teknologi, gaya murottal ini juga banyak direkam dan diproduksi.
Baik dalam bentuk kaset, Compact Disk (CD) maupun sebagai suplemen
cangkokan untuk Hand Phone (HP).
Kedua, gaya mujawwad ( زج ). Asal katanya dari ja-wa-da ( ز- - ج ),
artinya menjadi baik/bagus.30
Sedangkan jawwada, dengan tadh‟if atau
penggandaan huruf tengah, yaitu “w/waw”, artinya membaikkan/membaguskan
secara keseluruhan. Mujawwad berarti sesuatu yang penuh-seluruhnya
dibaguskan/dibaikkan. “Mujawwad” sendiri merupakan kata berbentuk objek atau
maf‟ul dari jawwada. Membaca al-Quran dengan gaya mujawwad berarti
membaca al-Quran lengkap dengan tajwidnya dan dengan celedak-celedok lagu-
suara. Gaya inilah yang disebut tilawatil quran atau tilawah. Ia menjelma menjadi
karib nadawi orang-orang yang telah mahir membaca al-Quran. Meskipun cukup
sulit dipelajari, akan tetapi ia elok didengarkan, diperdengarkan dalam aneka
acara, dan diperlombakan di arena MTQ. Pembacaan al-Quran dengan gaya
mujawwad atau tilawah inilah topik yang saya sasar dalam penelitian ini.
30
Ahmad Warson Munawwir, ibid., hlm. 221.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Tilawah berarti pelantunan al-Quran sesuai dengan tajwid, dibarengi
dengan keindahan suara, ketahanan nafas, dan alunan lagu yang disebut naghom
atau al-maqomatul „arobiyyah (ما) Sumber naghom adalah maqom .(غ)
Para qori di Indonesia menerjemahkan istilah itu menjadi sistem .(امااخ اعطت١ح)
melodi Arab. Maqom merujuk pada pengertian proses unik dalam pengembangan
seni suara dan musik Arab dalam bentuk terlebarnya di beberapa belahan dunia, di
antaranya; Afrika Utara, Timur Dekat, dan Asia Tengah yang isi kebudayannya
banyak kemasukan unsur-unsur Arab. Tiga negeri yang menjadi habitat utama
kehidupan maqom adalah Turki, Persia, dan Arab.31
Maqom itu ibarat sumur.
Debit air lagu-lagu (naghom) di sumur itu tidak pernah kering. Para praktisi musik
Arab mengambil air sumur itu dengan teknik, variasi, warna, dan gayanya
masing-masing. Akan tetapi para qori hanya menimba 7 air lagu saja.
b. Qori, Qiroah, Tilawah
Qori (لاضئ) artinya pembaca. Asalnya dari kata qo-ro-a ( ء-ض-ق) yang
artinya membaca, menelaah, meneliti.32
Istilah qori lazim dipakai untuk menyebut
pembaca al-Quran sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Qurro (لطاء) adalah
bentuk plural qori. Baik di Indonesia maupun di Arab, petilawah atau
pembaca/pelantun al-Quran disebut qori. Ditilik jenis kelamin katanya, qori
adalah pembaca al-Quran lelaki. Pembaca al-Quran perempuan disebut qoriah.
31
Habib Hassan Touma, “The Maqam Phenomenon; an Improvisation Technique in The Music of
The Middle East”, dalam Jurnal Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society of
Ethnomusicology, Vol. 15, No. 1 (Jan., 1971), hlm. 38-48. Uraian detail penulis yang sama
mengenai naghom, maqom, dan alam musikal orang Arab, dapat dilihat dalam buku The Music of
The Arabs Arabs (Portland, OR: Amadeus Press, 1996). 32
Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 1101. Lois Malouf, op.cit., hlm. 616.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Secara umum, dalam penelitian ini, baik pembaca al-Quran laki-laki maupun
perempuan disebut qori saja. Ada istilah lain yang sering disepadankan dengan
qori, yaitu muqri (مطئ). Bedanya, qori dianggap pembaca al-Quran biasa. Ia
mengetahui ilmu-ilmu al-Quran („ulumul quran/ ,namun ,(ع امطآ
pengetahuannya masih belum sampai tahap terinci. Ia juga belum punya otoritas
untuk mengajarkan ilmu tersebut secara luas. Sedangkan muqri adalah seorang
ahli membaca al-Quran, mengetahui ilmu-ilmu al-Quran hingga renik-reniknya,
dan memiliki otoritas untuk mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada kalangan
luas.33
Istilah muqri jarang dan bahkan tidak pernah dipakai di Indonesia.
Sedangkan qiroah (لطاءج) dan qiroatul quran (لطاءج امطآ) adalah istilah
yang lazim dipakai untuk menyebut tindakan membaca al-Quran. Qiroah artinya
pembacaan. Qiroatul quran berarti pembacaan al-Quran. Selain qiroatul quran,
ada istilah lain yang biasa dipakai untuk menyebut pembacaan al-Quran, yaitu
tilawati(u)l quran (ذالج امطآ). Secara linguistik, tilawah(t) berasal dari kata ta-
la-wa ( -ي-خ ), yang artinya membaca dan mengikuti.34
Pelaku tilawah disebut tali
.Tilawatil quran dan qiroatil quran sama-sama berarti pembacaan al-Quran .(ذا)
Akan tetapi penekanan tilawah terletak pada tindakan mengikuti atau
mengamalkan al-Quran setelah membacanya. Tilawah lebih “berisi” ketimbang
qiroah. Ia bukan pekerjaan membaca al-Quran biasa. Isitlah qori untuk menyebut
pembaca al-Quran, bukan tali, dipakai untuk mengambil pengertian umum
seorang pembaca al-Quran. Akan tetapi, perlombaan membaca al-Quran disebut
33
Hasani Syaikh Utsman, op.cit., hlm. 46. 34
Lois Ma‟louf, op.cit., hlm. 64. Lihat juga Syawqi Dhoyf dkk., al-Mu‟jam al-Wasith (Kairo:
Maktabah Syuruqid Dawliyah), hlm. 87.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ). Bukan Musabaqoh Qiroatil Quran. Hal itu
sebagai penekanan bahwa materi perlombaan sebenarnya adalah pengamalan al-
Quran, bukan hanya sekedar pembacaannya.
Kesimpulannya, tilawah berarti membaca sesuatu untuk mengikuti apa
yang dibaca. Sedangkan qiroah adalah membaca sesuatu untuk berinteraksi
dengan sesuatu yang dibaca tersebut, untuk mencari pandangan atas dan darinya,
serta untuk menelaahnya. Tilawah adalah pembacaan al-Quran yang khusus.
Sedangkan qiroah adalah pembacaan al-Quran yang umum. Semua pembaca al-
Quran adalah seorang qori. Akan tetapi tidak semua qori menempati derajat tali
atau pelaku tilawah. Tilawah adalah lelaku mengikuti, lebih tepatnya,
mengamalkan al-Quran. Sedangkan qiroah masih sebatas amal membaca al-
Quran. Lepas dari definisi tersebut, dalam tulisan ini, setiap ulasan berisi kata
tilawah menunjuk pengertian pembacaan al-Quran bergaya mujawwad. Masalah
“pengamalan” atau “pembacaan”, tidak terlalu disinggung di dalam tulisan ini.
3. Tilawah: Penghampiran Teoritik
a. Tilawah Sebagai Seni: Proses dan Estetisisasi
Apakah tilawah itu seni? Sebelum menjawabnya, perlu dipertanyakan
apakah seni itu? Seni, dalam Bahasa Indonesia (Melayu) mengarah pada arti
tukang.35
Raden Saleh, dalam Majalah Sin Po, 25 Juli 1931, disebut sebagai
seorang tukang menggambar indonesier. Kamus Belanda-Melayu susunan
Klinkert menyatakan seni alias kunst sebagai kata berpengertian; hikmat, ilmu,
pengetahuan, kepandaian, ketukangan. Sesuai dengan pengertian art dalam
35
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: ITB Press, 2000), hlm. 41-42.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
Bahasa Inggris, yaitu skill in making or doing. Kenyataannya memang demikian.
Art dapat berarti keterampilan (skill), aktivitas manusia, karya (work of art), seni
indah (fine art), dan seni rupa (visual art). Atas dasar beberapa pengertian itu,
kiranya dapat dipahamilah kemunculan istilah; seni perang, seni memasak, seni
berdagang, seni berdiplomasi, dan seni mempengaruhi orang lain. Bahkan hidup
sebenarnya seni.
Keterampilan, kemampuan, dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk
menjadi tukang (seniman), memungkinkan para calon „tukang‟ untuk belajar dan
mempelajari asas-asas penciptaan karya seni dan mempraktikkannya. Hubungan
teori dan praktik ini pelan-pelan akan menyerasi, mengharmoni, dan
menumbuhkan pohon intuisi di dalam diri si calon tukang. Saat itulah, ia
bersentuhan dengan keharusan untuk mencipta. Maksudnya, dalam olah-latih
pertukangannya, seorang calon tukang akan teranugerahi bekal ruhaniah, yaitu
kreatifitas.36
Selain dibantu oleh eksperimentasi dan panduan seperangkat kaidah-
kaidah teknikal dalam mencipta, unsur intuisi si tukang bekerja lebih untuk
memadukan eksperimentasi dan kaidah-kaidah teknikal itu. Sehingga apa yang ia
tukangi menyembul sebagai “sesuatu yang baru”. “Sesuatu yang baru” itulah
karya seni, yaitu sesuatu yang lahir dari ramuan teori dan praktek yang dibalur
dengan kreatifitas, dapat dilihat, didengar, atau dilihat sekaligus didengar.37
Lalu bagaimana nasib ke-seni-an tilawah? Apakah ia dapat disebut sebagai
karya seni dan seni itu sendiri? Sebelum itu, tilawah perlu dilihat sebagai karya
kebudayaan Arab. Membaca al-Quran bukan amal khusus untuk orang Arab.
36
Ibid. 37
Ibid.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Akan tetapi pelantunan al-Quran pertama kali dilakukan oleh orang-orang Arab.
Ruang sosial kehidupan al-Quran memang berada di sana. Tinjauan geneologis itu
berlaku juga untuk melongok status ke-seni-an tilawah. Istilah seni dalam
kebudayaan Arab harus ditengok terlebih dahulu. Seni, dalam Bahasa Arab,
disebut fann (ف). Asal katanya dari fanna atau fa-na-na ( - - ف ), yang artinya
menghiasi. Terkadang, dalam konteks tertentu, kata fann dipakai untuk menyebut
aktifitas menghalau binatang liar, menipu dalam konteks jual-beli, menunda-
nunda pembayaran utang, mencampur, membuat/memberi variasi,
mencipta/menemukan. Diskursus keilmuan masyarakat Arab mengartikan fann
sebagai ilmu terapan atau ilmu kerja-mulia („ilmun „amaliyyun aw shina‟ah
syarifah). Fann juga berarti macam-macam sesuatu.38
Secara umum, membaca al-
Quran termasuk seni. Sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad at-Thowil dalam
Fannut Tartil wa „Ulumuhu.39
Jadi, ke-seni-an tilawah tidak butuh bantahan.
Berurusan dengan al-Quran sama saja berurusan dengan seni.
Memang, pada awalnya, tilawatil quran adalah amal religi (ibadah). Siapa
yang mengerjakannya akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Rasulullah
SAW bersabda; barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Quran, maka ia
mendapatkan satu kebaikan, yang satu kebaikan itu sama dengan sepuluh kali
lipat ganjarannya. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf. Alif itu
satu huruf, Lam itu satu huruf, dan Mim itu satu huruf.40
Ada banyak anjuran-
anjuran lain dari sang Nabi SAW untuk membaca al-Quran. Baik dikaitkan pada
38
Ahmad Warson..., op.cit., hlm. 1074. 39
Ahmad at-Thowil, Fannut Tartil wa „Ulumuhu (Madinah: Majma‟ Malikul Fahd, 1999). 40
HR.Tirmidzi. Lihat Syarofuddin an-Nawawi, Riyaadhush Shoolihiin (Beirut: Darul Fikr, 1978),
hlm. 432.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
aspek perolehan ganjaran, maupun pada peramuan sistem sosial berbasis
pembacaan al-Quran. Bahkan, seperti disebut di atas, anjuran membaca al-Quran
itu amat disukai bila diiringi dengan pembagusan suara. Sampai di sini, tilawah
semakin menampakkan raut ke-seni-annya. “Membaguskan suara” merupakan
petunjuk tentang wujud kegigihan usaha untuk melahirkan sesuatu yang ber-nilai.
Inilah pintu masuk ke-seni-an tilawah.41
Pembagusan suara juga mendalilkan
perlunya muslihat untuk menemukan dan menerapkan cara, teknik, dan metode
tertentu. Suara bagus tidak dibutuhkan dalam membaca al-Quran. Akan tetapi
pembagusan suara. Dalam pembagusan suara inilah, pembacaan al-Quran bersua
dengan seperangkat kemampuan, hikmat, keterampilan, dan kreatifitas.
Konsepsi ini bersuamuka dengan pengakuan dunia ilmiah Islam pada seni
baca al-Quran sebagai teknik suara atau handasatush showt ( .(سسح اصخ42
Handasat artinya teknik. Showt artinya suara. Jadi, tilawah itu teknik suara.
Bukan musik. Tilawah tidak bisa disamakan dengan lagu atau nyanyian, dalam
hal ini nyanyian Arab. Meskipun perkara produksi, teknik olah suara, dan citarasa
estetiknya agak menyenggol pasal estetika musikologi Arab. Wajar. Karena
teknik suara itu memanfaatkan lagu Arab atau naghom. Selain sebagai lagu, arti
lain naghom adalah wicara yang tersembunyi (al-kalamul khofiy/ 43.(اىال ارف
Dengan bernaghom, seorang qori sebenarnya tidak sedang bersenandung, akan
tetapi berbicara, membicarakan sesuatu, dan mengajak pendengarnya untuk
41
Jakob Sumardjo, op.cit., hal. 45. 42
Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid; Esensi dan Ekspresi Estetika Islam (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 1999), hlm. 186-189. 43
Ibnu Manzhur, Lisanul „Arob (Cairo: Daar al-Maarif, tt.tp., jilid VI), hlm. 4490. Syawqi Dhoyf
dkk., op.cit., hlm. 937. Lihat juga Lois Ma‟louf, op.cit., hlm. 822.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
menyimak pembicaraan. Apa sebenarnya yang ingin dibicarakan dengan
bernaghom?
Naghom itu rangkaian nada. Lazimnya nada, ia punya watak representatif
bagi seluruh kekayaan pengalaman rasa manusia. Nada yang terdengar sedih
adalah wakil atau gambaran dari ubah-usik kesedihan manusia. Sebagaimana nada
yang terungu senang merupakan agen ulah-alih rasa senang-gembira manusia.
Penyertaan naghom dalam pembacaan al-Quran menandaskan wujud sesuatu yang
lebih penting daripada kesedihan, kesenangan, dan lampas-lampis kosmologi
kemanusiaan lainnya. Itulah suara Tuhan; al-Quran atau firman Allah SWT, yang
dilagukan oleh tukang lagu al-Quran. Pada tataran ini, meminjam wirid teoritik
Maruska Svasek, tilawah mengalami proses dan estetisisasi (aestheticisation).
Sebagai proses, tilawah berarti sesuatu yang dibangun oleh peristiwa. Sementara
sebagai objek estetisisasi, tilawah berarti sesuatu yang dimainkan sebagai
ungkapan pengalaman tentang rasa dan ide-ide abstrak atau keyakinan-keyakinan
(beliefs) tertentu.44
Lebih lanjut menurut Svasek, estetisisasi berupa ungkapan
pengalaman-pengalaman itu berada di atas landasan pijak historis yang khas. Jadi,
selama masih diproses dan diestetisisasi, tilawah akan terus meng-karya-seni.
b. Tasawuf: Rumah-Seni Tilawah
1. Hubungan Seni dan Agama
Merembukkan pasal tilawah berarti mencekau hubungan dua lembaga
kebenaran terpurba; seni dan agama. Ditinjau dari ancangan teoritiknya, seni
44
Maruska Svasek, Anthropology, Art, and Cultural Production (London: Pluto Press, 2007), hlm.
10.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
sangat dekat dengan agama –untuk tidak menyebutnya bagian dari agama. Apa
yang dijangkau oleh agama, yaitu sesuatu yang adikodrati, juga dijangkau oleh
seni. Baik agama maupun seni sama-sama mengakui supremasi dunia metafakta.
Bedanya, untuk menonggaki pengakuan itu, seni bertumpu pada intuisi atau
sistem penghayatan. Sedangkan agama berdasar pada kepercayaan. Saraf tolak-
terima agama ditunggui oleh sistem kepercayaan. Sementara saraf tolak-terima
seni dirawat oleh sistem penghayatan. Dengan kepercayaan, manusia mengakui
apa yang sukar ia jangkau. Dengan intuisi, manusia menghayati apa yang tidak
kuasa ia jelaskan.45
Bila agama berbasis pada kemutlakan doktrin, seni berasas
pada pemanfaatan rasa manusia.
Agama dan seni dapat menjadi telangkai untuk masuk ke dalam alam
spiritual atau alam keruhanian. Pendekatan seni seumpama gerak menaik dari
bawah ke atas. Sementara pendekatan agama, secara lahiriah-umum, ibarat gerak
menurun dari atas ke bawah. Ketika agama turun ke bumi dan masuk ke dalam
dimensi duniawi, ia tersimbolisasi. Agama menjadi mata air tanda-tanda.
Sementara saat seni naik ke atas, ke alam metafakta, ia bertubrukan dengan
kebenaran yang tidak kuasa ia jelaskan kecuali dengan simbolisme juga. Pada
wilayah kebutuhan akan simbol inilah seni dan agama bersua-muka. Memahami
seni dimulai dari penilikan melalui kacamata sejarah sosial imajinasi dalam
konstruksi dan dekonstruksi sistem simbolis.46
Begitu juga untuk memahami
agama. Karena agama juga bersejarah-sosial. Rumusan Geertz tentang agama
cukup memadai untuk mendalilkan hal ini;
45
Jakob Sumardjo, op.cit, hlm. 3-6. 46
Clifford Geertz, “Art as...”, op.cit., hlm. 119.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and
long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions
of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with
such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem
uniquely realistic.47
Selain itu, agama dan seni juga bersigandeng dalam satu kepakan sayap,
yaitu spiritualitas atau aspek penghayatan batin agama. Di dalam spiritualitas,
agama bukan lagi doktrin “pemaksa”, akan tetapi “pakaian rasa”. Agama menjadi
“bahan mentah” yang diolah secara aktif dan kreatif untuk menjadi sesaji atau
uborampe manusia kepada Tuhannya. Di sinilah seni dan agama bersilengket.
Keduanya berkelindan dalam kerja kreatif, tindak aktif, penghikmatan, dan
pengkhusyuan. Keduanya berkawin, bersetubuh, dan bersejumbuh. Itulah yang
terjadi dengan tilawah. Paras perjumbuhan agama dan seni di dalam tilawah telah
terhias dengan sangat molek. Hingga ia pantas digolongkan sebagai “nyanyian”
persembahan manusia untuk Tuhannya.
2. Seni-Sufistik: Rumah-Jumpa Seni dan Agama
Situs pertemuan seni dan agama, di dalam Islam, disebut tasawuf. Tasawuf
itu ibarat seninya agama. Berbeda dengan fiqh. Meskipun keduanya sama-sama
bersifat praktikal, namun fiqh lebih menitik-beratkan pada aspek legalisme.
Sedangkan tasawuf mematok-kuatkan dasarnya pada daya rasa. Nama lain
tasawuf adalah mistisisme Islam. Disebut demikian karena jalan tasawuf
cenderung anti arus. Sebagaimana asal kata mistik itu sendiri, dari kata myein,
yang artinya menutup mata.48
Namun, diskursus mistisisme dalam tasawuf
47
Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System”, dalam The Interpretation of Culture: Selected
Essays (New York: Basic Book Inc.), hlm. 90. 48
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 1-2.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
mengacu pada kesediaan untuk menjalani hidup secara total, ikhlas, dan khusyu‟.
Hingga ego atau keberadaan diri betul-betul lenyap. Inilah yang membuat tasawuf
terlihat mistikal.
Tasawuf berasal dari kata sho-wa(i)-fa ( ف--ص ), yang artinya banyak
bulunya. Kata ini biasa diapakai untuk menyebut domba yang bulunya mulai
melebat. Sedangkan tashowwafa (ذصف) artinya menjadi pemakai pakaian
sederhana yang terbuat dari bulu domba, yang biasanya disebut; sufi. Jadi,
tashowwafa artinya menjadi sufi. Ada beberapa analisa mengenai asal kata
“tasawuf”.49
Pertama, dari kata ahlush shuffah ( yaitu orang-orang ,(أ اصفح
yang ikut berhijrah dari Mekkah ke Madinah bersama Nabi Muhammad SAW.
Mereka meninggalkan rumah dan harta. Saat sampai di Madinah, mereka tidur
berlapiskan pelana kuda (shuffah). Kedua, ash-shoff (اصف), artinya barisan.
Pandangan ini menyandarkan tasawuf sebagai shof atau barisan pertama agama.
Ketiga, shufi (صف), dari kata shofi (صاف) dan shofiyyun (صف), yang artinya
suci, bersih, dan jernih. Kata ini mengandaikan tasawuf sebagai jalan untuk
menjernihkan diri. Keempat, dari bahasa Yunani, sophos, yang artinya hikmah.
Kelima, shuf (صف), yang artinya kain kasar dari wol. Sedangkan wol adalah
simbol kesederhanaan dan kebersahajaan.
Hubungan antara Islam dan seni dapat dilihat melalui jendela ini; tasawuf.
Corak keberagamaan sufistiklah yang terlekat dengan khittah epistemologi seni.
Tasawuf berbicara pada masalah rasa. Seni pun sama. Tasawuf mengamarkan
49
Ahmad al-Hasaniy, Iqozhul Himam fi Syarhil Hikam, (Beirut: Darul Fikr, tt.), hlm. 7.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
agar manusia berjalan mencari mutiara tersembunyi, yaitu Tuhan itu sendiri.
Sementara seni memerkarakan pasal dunia misteri atau teka-teki imajinasi.
Prinsip-prinsip yang diberikan Islam untuk membincangkan seni juga berpijak
pada nilai dasar tauhid: laku-lampah untuk, demi, dan menuju Tuhan, zat Yang
Maha Agung, Maha Indah, dan Maha Sempurna. Katakanlah: sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.50
Penciptaan bebunyian, sebagaimana kehidupan dalam penuh-seluruhnya,
termasuk dalam amar ketauhidan ini. Suara, bunyi, dan “nyanyian” (baca: seni)
dianjurkan untuk diciptakan sebagai cermin keagungan-Nya (al-Jalal/اجالي) dan
keindahan-Nya (al-Jamal/اجاي) yang bergerak menuju kesempurnaan-Nya (al-
Kamal/اىاي). Atas dasar itulah, tilawah menjelma menjadi seni yang diproduksi
secara abstrak dan berkualitas non-programatik.51
Saat dimainkan, tidak ada
seorang pun –bahkan sang pelantun atau qori itu sendiri- yang dapat menebak
lagu berikut variasi yang akan dihadirkan, kapan atau di mana bacaan akan dijeda
atau diberhentikan, serta bagaimana pendengar melemparkan tanggapan. Keadaan
tersebut membentuk tilawah menjadi seni pelampau fungsi-fungsi hiburan
sebagaimana seni suara pada umumnya. Itulah karakter seni-sufistik.
Seni-sufistik memindai dunia sebagai realitas yang luput dari radius
bahasa. Kebenaran (al-haqq),52
atau Tuhan itu sendiri tidak bisa didefinisikan
50
QS:6:162. 51
Ismail Raji al-Faruqi, op.cit., hlm. 206. 52
Al-Haqq tidak saja bermakna Tuhan, akan tetapi juga keseluruhan realitas dan fakta-fakta dunia.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
dengan bahasa dan konsepsi. Akan tetapi dengan ekspresi simbolik dan artistik,53
-ini berarti bahwa tiada jalan untuk lari dari seni. Aturan ekspresi simbolik dan
artistik itu, di dalam tasawuf ditata oleh beberapa prinsip yang mencirikan upaya
pencarian bagian terinti atau terdalam segala sesuatu, aspek metafisikal
pandangan-dunia, dan etika pengelolaan kehidupan.54
Kaidah-kaidah artistik ini
didasari oleh pandangan-dunia tasawuf tentang keteka-tekian (riddles) realitas
yang melahirkan tiga prinsip utama seni-sufistik.
Pertama, prinsip perubahan tiada henti dalam keabadian (the principle of
constant change within permanence). Seni ditaja sebagai kerja kreatif untuk
mengekspresikan aliran darah dunia dan semua kesalingterkaitan ciptaan. Artinya,
seni adalah cara manusia berproses untuk mengungkapkan nafas perubahan
berkesinambungan dunia. Seni harus membimbing manusia untuk menemukan
pengetahuan (ma‟rifat) tentang Yang Maha Mutlak, yaitu Tuhan atau keabadian
itu sendiri. Sementara itu, alam semesta menggeliat berdasarkan hukum-hukum
keabadian itu. Wajah keabadian paling kasat terletak dalam perubahan tiada henti.
Mencipta karya seni berarti menangkap sekaligus melepaskan atau membekukan
sekaligus mencairkan perubahan. Dengan kata lain, mencipta karya seni adalah
mencatat keabadian. Tegasnya, “menyimbolisasikan” Tuhan.
Kedua, prinsip ketidakpastian pemahaman manusia (the principle of
uncertainty of human understanding). Kerja seni berdasar pada keyakinan bahwa
dunia punya ragam-macam penampakan (appearances). “Kepastian” pemahaman
tidak mungkin dilabelkan pada kemacamragaman itu. Implikasinya, karya seni
53
Jale Nejdet Erzen, “Islamic Aesthetics: An Alternative Way to Knowledge”, dalam The Journal
of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 65, No. 1, Winter 2007, hlm. 69-75. 54
Ibid.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
harus bersifat multidimensional. Multidimensionalisasi karya seni merupakan cara
untuk menunjukkan konsekuensi ketidakmungkinan penggapaian realitas secara
total sebagaimana sejatinya (al-Haqq). Tuhan diketahui dengan banyak nama.
Akan tetapi tetap saja itu hanya sebatas pengetahuan tentang nama-Nya. Bukan
“Dia”. Dia akan selalu terhijab. Bahkan oleh pengetahuan tentang-Nya.
Ketiga, prinsip cinta (the principle of love). Inilah prinsip penting yang
menghubungkan seni dan spiritualitas. Segala sesuatu menjadi “sesuatu” karena
cinta (al-hubb, al-mahabbah). Tuhan ingin agar Ia diketahui. Maka dengan cinta,
Ia mencipta agar segala ciptaan itu mencintai-Nya.55
Setelah itu, dengan cinta pula
Ia memanifestasikan diri-Nya melalui dunia. Manusia bagian dari keseluruhan
dunia. Manusia juga bagian dari dunia. Karena itu manusia adalah bagian dari
Tuhan. Cinta pada Tuhan dapat diamalkan dengan cinta pada sesama. Sebagai
seniman, cinta diterapkan dengan ketenggelaman (fana/فاء) dalam karya. Sebab
segala sesuatu adalah manifestasi Tuhan. Alhasil, seniman bukan subjek. Karya
seni bukan objek. Seniman adalah karya seni itu sendiri. They become like what
they admire; observers become similar to what they look.56
Saya merasa teori ini
pas disebut manunggaling seniman-karya seni. Bisa pula dibalik menjadi
manunggaling karya seni-seniman.
Ada tiga hal yang muncul sebagai buah tiga prinsip tata teknis kerja seni
tersebut. Pertama, seni, kerja seni, karya seni, harus dipandang sebagai proses.
Bukan hasil. Bukan produk. Persis seperti anggitan Maruska Svasek. Garis ini
55
Mahmud Mahmud al-Ghurob (ed.), al-Hubb wal Mahabbah al-Ilahiyyah: min Kalamisy Syaikh
al-Akbar Ibnu Arabi (Damaskus: Nadhr, 1992), hlm. 12. 56
Jale Nejdet Erzen, op.cit., hlm. 72.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
mengikuti kaidah pertama, bahwa dunia selalu bergerak. Tidak pernah berhenti
(fixed). Proses berkesenian adalah keseluruhan seni. Kesediaan untuk menjalani
proses dan tunduk pada hukum proses adalah jalan utuh untuk memesrai dunia
metafakta. Itulah yang disebut lelaku. Berkesenian adalah berlelaku, bertarekat.
Titik sasarnya adalah proses berkarya. Kedua, kerja seni merupakan lelaku cinta
(mahabbah). Bentuknya merupa dalam pemanunggalan yang sakral dan yang
profan, cinipta dan Pencipta, cininta dan pecinta, lelaki dan perempuan, dan
seterusnya. Makna terletak dalam kemanunggalan semua daftar “oposisi biner”
itu. Inilah maksud seni sebagai adonan al-Jalal (keagungan) dan al-Jamal
(keindahan) yang dihidangkan ke meja semesta dalam bentuk al-Kamal
(kesempurnaan).57
Terakhir, kerja seni adalah tindakan fana atau ketenggelaman
total ke dalam apa yang dikerjakan itu. Karenya, simbol atau ekspresi artistik –
baca: karya seni- bukan ciptaan seniman. Simbol adalah sesuatu yang terberi. Ia
sudah ada “di sana”. Seniman cuma menemukannya (discover) dengan ke-fana-
annya. Seniman boleh mengklaim orisinalitas, akan tetapi orisinalitas itu bukan
haknya. Orisinalitas adalah pesona yang “sejak dari sononya” telah terdaftar
sebagai “harta Tuhan”.
Alhasil, tinjauan terhadap tilawah tidak bisa dikerjakan dengan
berpandukan pada batasan-batasan legal-formal (fiqh) –atau dengan
mempertanyakan status halal-haramnya, pemeriksaan ontologis, amatan
motivasional, maupun tinjauan relasional atasnya. Tilawah harus dipandang dari
perspektif seni-sufistik sebagaimana telah dibabarkan di atas. Apalagi, lahan
57
Ibnu Arabi, Kitab al-Jalal wal Jamal (Beirut: Darul Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), hlm. 24-36.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
diskursif tilawah terdapat dalam bab penting tasawuf berjudul; sama‟. Sama‟
adalah lelaku merungu alunan suara agar seseorang masuk ke dalam fase wujd
.atau ekstase di pucuk derajat kecintaan dan kedekatan kepada Tuhan (اجس)58
4. Lived Islam: Seni dan Ekspresi Islam
Topik yang juga cukup menarik untuk saya teliti adalah mengenai
bagaimana Islam diekspresikan oleh para qori atau para seniman al-Quran.
Perkara ini perlu saya masukkan. Pertama, keberbedaan gaya berislam setiap
muslim. Baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Ada banyak pendapat
dan aliran (mazhab) dalam Islam yang memungkinkan pertumbuhan keberbedaan
tersebut. Kedua, ini yang terpenting, para qori bukan orang-orang suci, meskipun
mereka lihai melantunkan al-Quran. Islam yang mereka eskpresikan sangat unik,
di luar arus utama (mainstream), agak liar, dan “liberal”. Sesekali, kebebalan otak
ini memicu saya untuk menggoyahkan “Islam mereka” dengan kritik atau tanya.
Hanya saja, saya perlu menaksir mereka dari sudut lain; kesenimanan. Ketiga,
boleh dibilang, bahasan ini merupakan “efek” kerangka teori seni-sufistik yang
menganggitkan bahwa seniman adalah karya seni dan karya seni adalah seniman
itu sendiri. Dengan kata lain, bahasan ini adalah miniatur praktikal teori
manunggaling seniman-karya seni.
58
Kristina Nelson, The Art of Reciting the Quran (Cairo: The American University in Cairo Press,
2001), hlm. 32-51. Pembahasan sama‟ dalam terma sufisme, lihat al-Qusyayri, Arrisalatul
Qusyairiyyah fi „Ilmit Tashowwuf (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyyah, 2011), hlm. 389-404. Al-
Ghozzali secara khusus membahas pasal ini dalam “Kitabus Sama‟ wal Wujd” dalam Ihya
„Ulumiddin, Juz II, (Daru Ihyail Kutubil „Arobiyyah, tt.tp.), hlm. 266-302. Bahasan ilmiah
mengenai hubungan Sama‟, tilawail quran, serta nada Islam, lihat Kristina Nelson, The Art...,
op.cit., hlm. 32-51. Lihat juga Arthur Gribetz, “The Samaa‟ Controversy: Sufi vs Legalist”, dalam
Studia Islamica, No. 74 (1991), hlm. 43-62. Lihat pula “Music and Trance among The Arabs”
dalam Gilbert Rouget, Music and Trance: A Theory of the Relations between Music and
Possession (Chicago: The University of Chicago Press, 1985), hlm. 255-314.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Para qori memang seniman sekaligus karya seni. Mereka bermukim di
wisma balik “fakta”. Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa para seniman adalah
orang-orang yang menjejaki tangga teratas di atas para birokrat dan ulama.59
Pendapat itu ia landaskan di atas penggalan ayat al-Quran surat al-Hasyr;
huwalloohul kholiqul baariul mushowwir.. (Dialah Yang Maha Membuat,
Menyusun, dan Menata).60
Menurutnya, al-Khooliq (اراك) adalah para birokrat.
Mereka berurusan dengan legalisme dan segala perkara yang terkait dengan
kebenaran. Al-Bariu (اثاضئ) adalah para ulama. Urusan mereka adalah apa-apa
yang baik dan segala hal yang bersentuhan dengan kebaikan. Sedangkan al-
Mushowwir (اصض) adalah para seniman, sastrawan, dan budayawan. Mereka
berperkara dalam seluruh tindak estetik. Di tangan merekalah keindahan -yang
merupakan “wajah utama” Tuhan- dipertaruhkan. Mereka sudah tidak lagi
berhajat pada dikotomi baik-buruk dan handai-taulannya.
Seperti telah disebut di atas, inti dari prinsip utama dalam tindak
berkesenian yang dikembangkan oleh seni-sufistik adalah proses berkesenian itu
sendiri. Bukan bentuk. Bukan hasil. Bukan produk. Karena itu, Islam yang
diekspresikan para seniman al-Quran di sini saya lihat tidak jauh dari teleskop ke-
proses-an itu. Kata “proses” dalam berislam di sini berarti bagaimana Islam
dihayati dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Islam yang nyeni, yang tidak pernah
selesai dan tentu saja tidak bisa didefinisikan. Itulah maksud kata: lived Islam atau
59
Emha Ainun Najib, “Ceramah Budaya” di acara ulang tahun ke-45 Persada Studi Klub (PSK) di
rumah “Budaya Emha Ainun Nadjib (EAN)”, Yogyakarta, 15 Maret 2013. 60
QS: 59: 24.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
Islam yang dihidupi dalam kehidupan sehari-hari.61
Islam dijepret tidak dari lensa
persetujuan atau penolakan seorang muslim atas doktrin-doktrin dan otoritas
keislaman. Menjadi seorang muslim adalah menjalani kehidupan dalam kemul
historisitas. Rujukannya tidak hanya al-Quran dan hadis –tentu dengan penafsiran
atas keduanya, ilmu-ilmu keislaman, dan fatwa para ulama. Gagasan, aspirasi,
perdebatan, citraan, dialog, dan rona-rona historis yang dialami oleh orang-orang
beriman juga merupakan rujukan dalam berislam. Hasilnya, Islam akan tampil
sebagai agama yang diekspresikan dengan penuh improvisasi estetik. Islam
merupa ayat-ayat yang dilagukan atau ditilawahkan.
F. Teknik Pengumpulan Data
Saya menggunakan metode kualitatif untuk mengumpulkan data. Ada
beberapa teknik yang saya tempuh. Pertama, observasi-partisipasi. Saya ikut
tenggelam ke dalam dunia sehari-hari pelantun al-Quran. Mencatat apa yang
dikatakan, mendengarkan apa yang dibicarakan, dan memirsa apa yang terjadi
menjadi kesemestian bagi saya. Kedua, in-depth interview. Dalam ketenggelaman
itu, pengajuan pertanyaan dilakukan dalam wawancara mendalam (in-depth
interview) kepada para pelaku budaya, yaitu para qori, pihak-pihak yang terlibat
dalam ajang seni baca al-Quran, serta para penghayat seni, penggelut kebudayaan,
dan pengamal tasawuf atau pejalan spiritual. Terakhir, studi pustaka tidak bisa
ditinggalkan untuk menopang kerja penafsiran. Melalui penelusuran pustaka,
data-data yang terkait dengan persoalan penelitian akan sangat mudah ditemukan.
61
Istilah “lived Islam” saya adaptasi dari Kenneth M George. Lihat Kenneth M. George, Picturing
Islam Art and Ethic in Muslim Lifeworld (UK: Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 135-137.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
G. Maklumat: Hijab Untuk Kawan-Kawan Penelitian
Nama, dunia, identitas, dan segala hal yang berkait dengan kawan
penelitian saya, yaitu tiga orang kawan qori; Akid, Pati, dan Sahal, yang saya
ceritakan di sini telah saya samarkan. Saya menulis “dunia-bawah” para seniman
al-Quran. Kata yang perlu digarisbawahi di sana adalah “al-Quran”. Kata itu,
dalam pusaran arus keberagamaan manusia modern, telah selalu lekat dengan
“kesalehan umum”. Maksud saya, kesalehan umum pasti akan menuding siapapun
orang yang telah dipredikasi dengan ke-al-Quranan (baca: qori) sebagai orang
yang kesalehannya dapat dicandra dengan mata, jelas didengar telinga, dan mudah
dicerna. Kesalehan umum akan selalu mencatat sang ahli al-Quran sebagai orang
yang pasti sopan bicaranya, rapi busananya, halus tutur-katanya, dan tertata
hidupnya. Begitu juga prediket “takmir” atau “aktivis masjid”. Kesalehan umum
mendakwa siapa saja yang berkemul selimut masjid sebagai pemilik tindak-
tanduk yang identik dengan ciri “kenormalan beragama”.
Sayangnya, tiga orang kawan qori tidak demikian adanya. Mereka “orang-
orang gila”. Mereka hidup di dunia bawah. Dunia yang tidak akan terpindai bila
saya tidak masuk dan hidup bersama mereka dalam tempo yang cukup lama.
Mereka adalah seniman al-Quran dan aktivis masjid yang “tidak normal. Anda
akan dapat membaca kisah mereka di Bab III dan beberapa perciknya di Bab IV.
Karena itu, untuk menjaga kehormatan serta ketulusan tarekat mereka, maka
nama, identitas, lokasi penelitian, hingga masjid yang mereka takmiri saya
samarkan di sini. Nama beberapa informan “normal”, baik yang qori dan non-
qori, tetap saya biarkan menganga. Saya bertaruh bahwa mereka semua nyata.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
Bila terasa terlalu aneh, barangkali kata-kalimat yang saya kendarai untuk
memperkalamkan mereka saja yang terlalu bernafsu untuk memanipulasi
kenyataan. Kata-kalimat memang selalu begitu. Mereka akan berhengkang setiap
kali hendak dlidahkan. Wallahu a‟lam.
“Tarekat Tilawatiyah―: Melantunkan al-Quran, Memakrifati Diri, Melakonkan IslamM. YASER ARAFATUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/