BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · religius yang mengklaim sebagai keturunan langsung...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · religius yang mengklaim sebagai keturunan langsung...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Orang-orang Arab yang sekarang tinggal di Nusantara mayoritas berasal
dari Hadramaut Yaman, hanya sedikit di antara mereka yang datang dari Maskat,
di tepian Teluk Persia, Suriah, Mesir, atau dari pantai timur Afrika (Van den Breg,
1989: 1). Orang-orang Arab yang berasal dari Hadramaut tersebut dikenal dengan
sebutan Hadhrami.
Kedatangan orang-orang Hadhrami ke Indonesia terbagi menjadi 4
gelombang (Bahafdullah, 2000: 167-171). Gelombang pertama dimulai sejak abad
ke-12 M, yaitu sejak kedatangan golongan Alawiyyin dari marga Syahab ke Siak.
Golongan Alawiyyin adalah orang-orang yang bernasab kepada Rasulullah SAW
(Alkaf, 2014: 277). Alawiyyin dikenal pula dengan sebutan Bani Alawi, Ali bin
Alawi, Ba‟alwi atau secara personal mereka disebut Habib, Sayyid, Syarif untuk
laki-laki, dan Hababah, Sayiddah, Syarifah untuk perempuan (selanjutnya
penelitian ini menggunakan istilah Alawiyyin). Dinamakan Alawiyyin karena
mereka adalah keturunan Alwi bin Ubaidillah yang nasabnya bersambung dengan
cucu Rasulullah yaitu al-Imam Husain (Aidid, 1999: 19). Adapun di Indonesia,
mereka biasanya bermarga Syahab, Yahya, Qurais, Habsyi, dan lain sebagainya.
Misi kedatangan gelombang pertama ini adalah untuk mendakwahkan ajaran
Islam.
2
Migrasi gelombang kedua orang-orang Hadhrami ke Indonesia terjadi
pada awal abad ke-18 M di Cirebon yang terdiri dari marga Assegaf, al-Habsyi,
al-Hadad, al-Aydrus, al-Atas, al-Jufri, Syahab, Jamalulail, al-Qadri, Basyaiban,
dan bin Yahya (Bahafdullah, 2000: 168). Adapun, misi utama kedatangan
gelombang kedua ini masih sama dengan gelombang pertama, yaitu untuk
mendakwahkan ajaran Islam.
Pada awal abad ke-19 M, disusul kedatangan orang-orang Hadhrami
gelombang ketiga yang mayoritas adalah non-Habaib atau yang disebut dengan
Ghabili. Misi utama mereka lebih banyak dalam bidang sosial, ekonomi di
samping agama itu sendiri (Bahafdullah, 2000: 170). Ghabili adalah golongan
sultan dan kepala Qabila beserta pendukungnya yang biasanya bergelar al-Katiri,
Baswedan, Sungkar, Thalib, Abdul Aziz (Muhandis, 2013: 323).
Migrasi orang-orang Hadhrami gelombang keempat terjadi pada abad ke-
20 M (Bahafdullah, 2000: 171). Migrasi orang-orang Hadhrami ke Indonesia
disebabkan karena terjadinya kemelut politik dan keamanan yang menyebabkan
peperangan sehingga menyebabkan hancurnya sendi-sendi sosial, budaya, politik,
hukum, dan keamanan. Hal ini yang menjadi faktor utama hijrahnya orang-orang
Hadhrami ke Indonesia.
Orang-orang Hadhrami yang bermigrasi ke Indonesia menyebar ke seluruh
penjuru Nusantara untuk menetap dan melangsungkan kehidupannya. Pada
umumnya mereka tinggal berkelompok di perkampungan Arab yang tersebar
diberbagai wilayah di Jawa seperti: Jakarta (Pekojan), Bogor (Empang), Surakarta
(Pasar Kliwon), Surabaya (Ampel), Gresik (Gapura), Malang (Jagalan),
3
Yogyakarta (Kauman), Probolinggo (Diponegoro), dan Bondowoso, serta
berbagai wilayah di luar Jawa seperti Palembang, Banda Aceh, Makasar, Ambon,
Kupang, dan Papua (Bulkia, 2012: 1).
Di Surakarta, orang-orang Hadhrami ini ditempatkan secara berkelompok.
Penempatan secara berkelompok ini sudah diatur sejak masa kerajaan yang tak
lepas dari kebijakan kolonial Belanda untuk mempermudah pengurusan bagi etnis
asing dan agar terwujudnya ketertiban dan keamanan (Zunainingsih, 2010: 18).
Mayoritas keturunan Arab Hadhrami di Surakarta melangsungkan
hidupnya di berbagai kelurahan yang terdapat di Kecamatan Pasar Kliwon.
Diperkirakan, mereka mulai datang di Pasar Kliwon sejak abad ke-19 M
(Zunainingsih, 2010: 18). Belum dapat dipastikan dari marga Arab Hadhrami
yang manakah yang pertama menginjakkan kaki di Pasar Kliwon, akan tetapi
berdasarkan observasi yang dilakukan, mayoritas etnis keturunan Arab Hadhrami
berada di Kecamatan ini.
Kecamatan Pasar Kliwon terbagi menjadi sembilan kelurahan. Dari
sembilan kelurahan yang ada, mayoritas keturunan Arab menempati tiga wilayah,
yaitu: Kelurahan Semanggi, Kelurahan Kedung Lumbu, dan Kelurahan Pasar
Kliwon. Kesimpulan tersebut berdasarkan data persebaran masyarakat keturunan
Arab di kelurahan-kelurahan yang ada di Kecamatan Pasar Kliwon (data terlampir
dalam lampiran 5). Secara kuantitasnya, Kelurahan Pasar Kliwon berada diurutan
ketiga terbanyak penduduk keturunan Arabnya, akan tetapi ditinjau dari segi
aktifitas atau tradisi yang diselenggarakan keturunan Arab, Kelurahan Pasar
Kliwon menjadi pusat kegiatan keturunan Arab di Surakarta. Hal ini terbukti dari
4
adanya serangkaian tradisi yang ada di kelurahan ini, seperti peringatan Haul
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi di Masjid Riyadh setiap tanggal 20 Rabi’ul-
Akhir yang sekaligus menjadi agenda tahunan pemerintah Kota Surakarta. Acara
Haul ini diselenggarakan guna memeringati meninggalnya ulama tersebut. Habib
Ali bin Muhammad al-Habsyi adalah ulama‟ besar pengarang Kitab Maulid
Simtuddurar. Kitab ini yang menjadi bacaan rutin oleh sebagian umat muslim di
majelis-majelis peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini
diselenggarakan oleh anak keturunan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Hal
Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Kelurahan Pasar Kliwon. Di Kelurahan ini
pula terdapat suatu masjid yang penamaannya diambil dari nama suatu marga
Arab Hadhrami dari golongan Alawiyyin, yaitu masjid Assegaf. Hal inilah yang
menjadi pendorong diadakannya penelitian mengenai keturunan Arab Hadhrami
golongan Alawiyyin di Surakarta.
Masyarakat Hadhrami secara tradisional terbagi dalam sistem yang disebut
sebagai “sistem stratifikasi sosial ascriptive” yang memengaruhi hampir setiap
aspek kehidupan, termasuk pekerjaan (Burja (1967) dalam Keshes (2007: 21).
Sistem stratifikasi ini mengatur masyarakat Hadhrami dalam kelompok-kelompok
yang berbeda menurut banyaknya nenek moyang termasyhur (Kesheh, 2007: 21).
Jadi, stratifikasi ini diurutkan berdasarkan banyaknya nenek moyang meraka yang
menjadi tokoh masyarakat. Stratifikasi ini menentukan status sosial dan
melahirkan tata krama pergaulan di lingkungannya, akan tetapi sistem stratifikasi
ini telah runtuh pada abad ke-19 (Kesheh, 2007: 25).
5
Penggolongan tingkatan sosial tertinggi masyarakat keturunan Arab
Hadhrami dipegang oleh golongan Sayyid; kedua, Masha’ikh (sarjana), dan
Ghabili (anggota suku); ketiga, Masakin (orang miskin), dan Dhuafa (tidak
mampu) (Kesheh, 2007: 21-23). Golongan Sayyid adalah kelompok elit sosial dan
religius yang mengklaim sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW
melalui cucunya al-Imam Husain, sedangkan golongan Masha’ikh memegang
kepemimpinan religius dan Ghabili berperan dalam mengawasi sebagian besar
daerah pedalaman, membawa senjata dan dianggap kurang saleh (Kesheh, 2007:
23). Adapun, profesi Masakin mencakup pedagang, tukang, seniman, lalu diikuti
oleh Dhuafa semacam pegrajin tanah liat (tukang bangunan, pembuat barang
tembikar, dan buruh kasar) (Kesheh, 2007: 23).
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada para Sayyid atau yang dikenal
dengan istilah golongan Alawiyyin (seterusnya penelitian ini menggunakan istilah
Alawiyyin). Pemfokusan ini dilatarbelakangi karena ada dari golongan Alawiyyin
yang menjadi tokoh masyarakat seperti guru, mubaligh, dan dai yang berpengaruh
dan dihormati oleh masyarakatnya, seperti yang berada di Kota Surakarta yaitu,
Habib Anis bin Ali al-Habsyi, Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf, Habib
Novel al-Aydrus.
Golongan Alawiyyin adalah golongan yang mengaku keturunan
Rasulullah SAW melalui cucunya Husain yang merupakan putra dari putri
Rasulullah SAW yang bernama Fatimah az-Zahra yang menikah dengan Ali bin
Abi Thalib. Melalui generasi kedelapan dari keturunan Putri Rasulullah SAW
yang bernama Ahmad bin Isa al-Muhajir (seorang emigran) ini keturunan mereka
berkembang (Bahafdullah, 2010: 198), (Aidid, 1999: 19).
6
Menurut petugas pencatatan nasab keturunan Arab Hadhrami dari
golongan Alawiyyin, terdapat 200 marga Alawiyyin di seluruh dunia, akan tetapi
yang berada di Indonesia sebanyak 68 marga saja (Ahmad Muhammad al-Atas,
wawancara, 29 Juli 2015 jam 10.45). Adapun kaitannya di Kelurahan Pasar
Kliwon, penelitian ini menemukan sebanyak 21 marga Alawiyyin dan 16 marga
non-Alawiyyin yang mencantumkan nama marganya di Kartu Keluarga yang
terdapat di kantor Kelurahan Pasar Kliwon (data terlampir dalam lampiran 4).
Masyarakat Keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon walaupun hidup
membaur dengan masyarakat pribumi, mereka masih tetap memegang teguh
tradisi pemargaan keturunannya. Tradisi pemargaan ini dipertahankan agar
mereka tidak lupa dengan leluhur mereka. Tradisi pemargaan ini merupakan suatu
identitas yang tidak terpisahkan bagi mereka. Mereka mempertahankan tradisi
pemargaan ini melalui pencantuman nama marga pada akhir nama dirinya.
Nama merupakan sesuatu yang selalu disebut dan dipahami sebagai kata,
istilah, atau ungkapan yang digunakan untuk mengenali seseorang atau sesuatu
dari yang lainnya (Widodo, 2012: 1). Nama juga dapat menceritakan sesuatu
kisah, sejarah, kejadian, dan peristiwa sesuatu dengan lebih jelas (Crystal dalam
Widodo dan Suyatno, 2013: 2). Di samping itu, nama menyimpan harapan, doa,
cita-cita leluhur, orang tua, dan pihak pemberi nama (Widodo (2010) dalam
Widodo dan Suyatno, 2013: 2). Adapun, Sibarani (2004: 108) menambahkan
bahwa nama adalah penanda identitas yang dapat meperlihatkan budaya. Dengan
demikian, nama memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Nama terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah marga.
7
Marga “nama keluarga/kerabat” adalah nama yang diberikan kepada
seseorang dengan otomatis berdasarkan kekerabatan yang unilineal atau garis
keturunan geneologis secara patrilineal dari satu nenek moyang (Sibarani, 2004:
111). Marga juga dapat menujukkan ciri sebagai pengenal seseorang yang
menunjukkan asal-usul keluarga yang biasanya diletakkan di belakang nama diri.
Nama marga keturunan Arab Hadhrami memiliki makna dan maksud yang
bervariasi. Makna dan maksud yang terdapat dalam nama marga tersebut dapat
menyimpan doa, pengharapan, kisah, peristiwa, ataupun sejarah kehidupan. Selain
itu, pada setiap nama marga dapat mengandung makna yang dikaitkan dengan
suatu kepercayaan, seperti legenda, dan mitos.
Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal) yang
selanjutnya diteruskan kepada anak keturunannya. Nama marga ini menjadi suatu
penanda identitas yang tidak dapat dipisahkan dikalangan keturunan Arab
Hadhrami. Nama marga bagi masyarakat Hadhrami merupakan suatu rujukan
untuk menentukan asal-usul garis keluarga. Jika Seorang masyarakat Hadhrami
mempunyai marga, maka mereka tidak perlu bingung-bingung apabila mencari
sanak saudaranya. Melalui marga ini pula seorang keturunan Arab Hadhrami bila
ingin menikah maka akan dipertimbangkan marganya, karena marga ini
menentukan stratifikasi sosial seseorang seperti yang sudah dijelaskan pada
paragraf sebelumnya.
Masyarakat Arab Hadhrami sangat menjujung tinggi tradisi pemargaan.
Tradisi pemargaan keturunan Arab Hadhrami ini melalui berbagai proses. Proses
penentuan marga dimulai sejak pernikahan. Salah satu bentuk perkawinan yang
masih berlaku pada sebagian masyarakat Arab Hadhrami adalah sistem
8
perkawinan endogami. Aturan yang ditetapkan mereka berdasarkan prinsip
patrilineal yang apabila seorang perempuan keturunan Arab Hadhrami menikah
dengan non-Arab maka garis keturunannya akan terputus, karena mengikuti garis
keturunan dari ayah. Adapun, bagi laki-laki keturunan Arab Hadhrami penarikan
garis keturunan masih tetap pada pihak mereka walaupun mereka menikah dengan
keturunan non-Arab. Melaui tradisi perkawinan inilah nama marga seseorang
keturunan Arab Hadhrami ditentukan.
Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa
penelitian yang mempunyai kaitan yang penting dan relevan terhadap penelitian
ini sehingga memberika gambaran wacana penelitian. Pertama, penelitian oleh
Rustiani (2014) yang berjudul “Nama Keturunan Arab di Kelurahan Pasar Kliwon
Surakarta: Sebuah Tinjauan Morfologi”. Penelitian tersebut memfokuskan
kajiannya untuk mengetahui bentuk nama keturunan Arab di Pasar Kliwon secara
morfologis. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa nama keturunan Arab di
Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta berbentuk ismul-‘alam mufrad, ismul-‘alam
murakkab, ismul-‘alam jinsiy, ismul-‘alam kunyah, ismul-‘alam murtajal dan
ismul-‘alam manqu>l yang dapat berbentuk fi’il, shifah, ismul fa>’il, ismu’t-tafdhi>l,
dan mashdar.
Kedua, penelitian oleh Widodo (2013) yang berjudul “Konstruksi Nama
Orang Jawa: Studi Kasus Nama-nama Modern di Surakarta”. Penelitian tersebut
meneliti nama dari jumlah elemen penyusunnya. Penelitian tersebut menemukan
bahwa kecenderungan nama modern disusun dari lebih satu unsur nama walaupun
masih ada juga yang terdiri dari satu unsur saja. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pemahaman mengenai proses kontruksi nama Jawa sangat penting untuk
9
mengetahui selera budaya, keinginan, harapan, dan cita-cita masyarakat yang
terus berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Muhandis (2013) yang berjudul
“Relasi Bahasa Arab dengan Strata Sosial Masyarakat dan Implikasinya Terhadap
Kehidupan Sosial, Ekonomi, Politik, dan Agama (Kajian Sosiolinguistik pada
Masyarakat Tutur Arab Keturunan di Kelurahan Kauman Pekalongan Timur”.
Penelitian tersebut menunjukkan adanya strata sosial masyarakat Arab keturunan
di Kelurahan Pekalongan Timur yang berimplikasi pada pola penggunaan bahasa
Arab, kehidupan sosial, politik, dan keagamaan.
Keempat, penelitian Sinaga (2010) yang berjudul “Makna Nama Orang
pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige”. Skripsi tersebut
mendiskripsikan makna nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Balige yang menyangkut proses pemberian nama, jenis nama orang, dan makna
nama orang. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pemberian nama orang
pada msyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige dilakukan dengan cara adat
istiadat (proses) berupa upacara penyambutan sampai kelahiran hingga pemberian
nama. Jenis nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige yaitu
pranama, goar sihadakdanahon, panggoaran goar-goar dan marga. Nama-nama
yang ada di sana mengandung makna pengharapan dan makna kenangan. Di
samping itu, nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige
mengandung nilai pragmatis, yaitu: konotasi formal, konotasi non formal,
konotasi kelaki-lakian dan konotasi kewanitaan.
10
Kelima, penelitian oleh Sibarani (2004) yang berjudul “Makna Nama
dalam Budaya Batak Pakpak-Dairi”. Penilitian yang dituliskan dalam bukunya
yang berjudul “Antropolinguistik” dapat disimpulkan bahwa nama-nama
masyarakat Batak Pakpak-Dairi terbagi atas lima jenis nama, yaitu pranama, nama
sebenarnya/sejak lahir, teknonim, nama julukan, dan marga. Adapun, makna
namanya terbagi menjadi tiga jenis makna, yaitu: makna situasional,
pengharapan, dan kenangan.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian tentang marga
keturunan Arab di Indonesia belum pernah dilakukan. Ditambah lagi, penelitian
tentang nama khususnya marga masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan
pelbagai kajian atau penelitian lain dalam bidang bahasa, sosial, dan budaya. Hal
itu mendorong penulis untuk melakukan penelitian di bidang tersebut dengan
judul, Nama Marga Keturunan Arab Hadhrami di Pasar Kliwon Surakarta:
Kajian Antropolinguistik. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki posisi penting
bagi pengembangan studi ilmu bahasa dan kebudayaan, karena bahasa dan budaya
tidak pernah berdiri sendiri, keduanya saling memengaruhi karena kebudayaan
suatu daerah dapat dipelajari melalui bahasanya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis
maupun teoritis. Adapun, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terbagi
menjadi empat poin, pertama, menambah sumbangsih dari kajian semantik
tentang penamaan. Kedua, mengembangkan kajian antropolinguistik yang selama
ini kurang mendapat perhatian dari kalangan bahasawan maupun antropolog.
Ketiga, memberi gambaran tentang fenomena pemargaan keturunan Arab
Hadhrami di Pasar Kliwon Surakarta. Keempat, kajian ini dapat membuka
11
wawasan masyarakat luas tentang manfaat penggunaan marga yang selama ini
belum banyak diketahui masyarakat pada umumya.
B. Perumusan Masalah
Masalah utama yang diungkap dalam penelitian ini yang pertama ialah
kategorisasi nama marga keturunan Arab Hadhrami di Pasar Kliwon Surakarta.
Perspektif ini merupakan piranti analisis bahasa yang menangkap secara kritis
berbagai gejala kebahasaan yang berkaitan dengan bentuk nama marga Arab
Hadhrami khususnya di bidang morfologi yang ditinjau dari unsur penyusun dan
pola. Kedua, mengungkap sistem pemargaan keturunan Arab Hadhrami yang
mengungkap aspek penamaan dan pemaknaannya.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini yang pertama adalah mendeskripsikan
sistem kebahasaan pada marga keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon yang
menitikberatkan kajiannya pada pengkategorisasian marga tersebut khususnya
dalam bidang morfologi yang ditinjau dari unsur penyusun dan polanya. Kedua,
mendeskripsikan sistem pemargaan melalui aspek penamaan dan pemaknaan yang
terkandung di dalamnya sebagai bentuk perekam peristiwa dan karakter dari
keturunan Arab Hadhrami.
12
D. Pembatasan Masalah
Terdapat sembilan kelurahan di Kecamatan Pasar Kliwon. Dari sembilan
kelurahan yang ada, penelitian ini menfokuskan kajiannya pada Kelurahan Pasar
Kliwon. Hal tersebut didasari karena Kelurahan Pasar Kliwon merupakan
perkampungan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat keturunan Arab di Kota
Surakarta. Selain itu, penelitian ini juga menfokuskan kajiannya pada keturunan
Arab Hadhrami dari golongan Alawiyyin saja. Hal ini didasari karena masyarakat
keturunan Arab tidak hanya dari golongan Alawiyyin saja (seperti yang sudah
dijelaskan di latar belakang masalah).
Adapun, untuk pengefisiensi kalimat, penyebutan “Kelurahan Pasar
Kliwon Surakarta” disingkat dengan KPKS agar pembahasan pada penelitian ini
menjadi efektif. Penelitian ini juga membatasi kajiannya pada nama-nama marga
keturunan Arab Hadhrami yang ditinjau dari jumlah kata, pola, penamaan dan
pemaknaan marga yang terdapat dalam tradisi pemargaan keturunan Arab
Hadhrami di Pasar Kliwon Surakarta.
E. Landasan Teori
Penelitian ini melandasi kajiannya dengan teori-teori linguistik murni dan
teori multidisiplin yaitu antropolinguistik. Dari segi linguistik murni, penelitian
ini mengkaji nama marga dari segi morfologi kata yang menfokuskannya pada
pembahasan pembentukan suatu kata. Adapun dari bidang semantik, penelitian ini
mengkaji nama marga dengan teori-teori penamaan. Dari bidang
antropolinguistik, penelitian ini melandasi penelitiannya dengan teori pemaknaan
untuk mengkaji nama marga keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon Surakarta.
13
1. Morfologi
Secara etimologi, kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti
„bentuk‟ dan kata logi yang berarti „ilmu‟. Menurut Kridalaksana dalam Kamus
Linguistik (2008: 159) morfologi adalah (1) bidang linguistik yang mempelajari
morfem dan kombinasi kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang
mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem. Di samping itu, menurut
Asrori (2004: 22) morfologi membahas pembentukan kata. Jadi, morfologi adalah
sebuah ilmu bahasa yang mengkaji tentang seluk-beluk pembentukan kata.
a. Pembentukan kata
Pembentukan kata dalam berbagai bahasa memiliki dua sifat, pertama
membentuk kata-kata yang bersifat inflektif (infleksi) dan kedua yang bersifat
derivatif (derivasi) (Chaer, 2008: 170). Adapun, penjelasannya sebagai berikut.
1) Infleksi
Menurut Kridalaksana (2008: 93), infleksi (inflection) adalah (1)
perubahan bentuk kata yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal;
(2) unsur yang ditambahkan pada sebuah kata untuk menujukkan
hubungan gramatikal.
Al-Khuli (1982: 131) dalam bukunya A Dictionary of Theoretical
Linguistics (English-Arabic) menyebutkan bahwa infleksi adalah:
عالقتها بسواىا.ى وظيفتها في الجملة و : إضافة زوائد الكلمة لتدّل علتصريفال a’t-Tashri>fu: idha>fatu zawa>’idi’l-kalimati litadulla ‘ala > wazhi>fatiha> fi> al-jumlati wa ‘ala>qatiha> bisiwa>ha>.
14
„Infleksi adalah menambahkan beberapa huruf tambahan
kepada satu kata dengan tujuan merubah fungsinya dalam
kalimat dan hubungannya dengan kata-kata sebelumnya‟.
Alat atau unsur yang ditambahkan pada kata dapat berupa afiks
yang meliputi prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks, atau dapat juga berupa
modifikasi internal, yaitu perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu.
2) Derivasi
Derivasi (derivation) adalah proses pengimbuhan afiks non-
inflektif pada dasar untuk membentuk kata (Kridalaksana, 2008: 47).
Dalam bahasa Arab, istilah derivasi dikenal dengan تقاق شإ isytiqa>q.
Adapun, definisi isytiqa>q menurut al-Khuli (1982: 70).
مثل )كاتب( المشتقة قاق: تكوين كلمة أخرى تتحد معها في الجذر,اإلشت. ويكون اإلشتقاق عادة بإضافة writeمنالمشتقة writer ( ومن )كتب
.زائدة واحدة أو أكثر إلى الجذر أو الساق
al-Isytiqa>qu: takwi>nu kalimatun ukhra> tattachidu ma’aha> fi> al-judzri, mitslu (ka>tibun) al-musytaqatu min (kataba) wa writer al-musytaqqatu min write. Wa yaku>nu al-isytiqa>qu ‘a>datan bi idha>fati za>’idatin wachi>datin aw aktsaru ila> al-judzri aw a’s-sa>qi.
‘Derivasi adalah pembentukan satu kata baru yang serupa
dengan kata sebelumnya ditinjau dari akar kata
pembentukannya, seperti kata (ka>tibun) yang dibentuk dari
kata (kataba), sama halnya seperti kata writer yang dibentuk
dari kata write. Biasanya pembentukan kata derivasi yaitu
dengan menambahkan satu huruf tambahan atau lebih pada
akar katanya’.
15
Menurut Ni‟mah (1988) dan al-Ghulayaini (2007), bentuk kata dalam
bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu ismul-ja>mid dan ismul-musytaq.
a) Ismul-ja>mid merupakan ism (nomina) yang tidak terbentuk dari fi’il
(verba) (Ni‟mah, 1988: 33). Adapun, ismul-ja>mid menurut Busyro
(2007: 189) adalah kata yang tidak dibentuk dari kata lainnya. Ismul-
ja>mid terbagi ke dalam dua jenis, yaitu Ismul-dza>t dan ismul-
ma’na>/masdhar.
1) Ismul-dza>t adalah nomina yang tidak muncul darinya kata kerja
semakna, contohnya /rajulun/ „laki-laki‟, /nahrun/ „sungai‟.
2) Ismul-ma’na>/mashdar yaitu sesuatu yang menunjukkan peristiwa
atau kejadian yang tidak disertai dengan penunjukkan waktu.
Contohnya /adlun/ „adil‟, /ijtiama>’un/ „perkumpulan‟.
Bentuk masdhar secara sima>’i mempunyai beberapa pola,
diantaranya adalah pola dari mashdar fi’il tsula>tsi mujarrad yaitu:
/fi’a>latun/, /fa’ala>nun/, /fu'latun/, /fu’a>lun/, dan /fi’a>lun/ (Ni’mah,
1988: 31). Adapun, masdhar secara qiya>si dari fi’il ruba>’i yang
berasal dari bentuk /af’ala/, maka masdharnya berpola /if'a>lun/; jika
berbentuk /fa’’ala/, maka berpola /taf’i >lun/; jika berbentuk fi’il
mu’tal akhir, maka masdharnya berpola /taf’alatun/; selain itu, jika
berasal dari fi’il mahmu>z a>khir, maka berpola /taf’i >lun/ atau
/taf’ilatun/; Jika berbentuk /fa>’ala/, maka masdharnya /fi’a>lun/ atau
/mufa>’alatun/; jika berbentuk /fa’lala/, maka masdharnya berpola
/fa’lalatun/ atau /fi’la >lun/ (Ni’mah, 1988: 32-33).
16
2) Ismul-musytaq adalah sesuatu yang dibentuk dari kata kerja yang
menujukkan pada yang disifati dengan sifatnya. Ada 7 macam ismul-
musytaq, yaitu: ismul-fa>’il, ismul-maf’u>l, shifah musyabbahah,
ismu’t-tafdhi>l, ismu’z-zama>n, ismul-maka>n, dan ismul-a>lat (Ni’mah,
1988: 38).
1) Ismul-fa>’il adalah nomina untuk menunjukkan atas pelaku yang
melakukan pekerjaan (Ni‟mah, 1988: 38). Bentuk ismul-fa>’il
apabila berasal dari fi’il tsula>tsi mujarrad mengikuti wazan (pola)
/fa>’ilun/. Apabila berasal dari selain fi’il tsula>tsi muthlaq, wazan
ismul-fa>’il sesuai dengan wazan fi’il mudha>ri’, dengan mengganti
churuful-mudha>ra’ah mim madhmu>mah dan mengkasrah harakat
huruf sebelum akhir, contohnya /yuqa>tilu/ „berperang‟ menjadi
/muqa>tilun/ „orang yang berperang‟ (Ni‟mah, 1988: 40).
Bentuk lain dari ismul-fa>’il adalah shiyaghul-muba>laghah
yang berfungsi untuk menguatkan atau menyangatkan arti yang
berasal dari wazan /fa’’a>lun/ (Ni‟mah, 1988: 42). Secara sima>’i,
bentuk ini memiliki lima pola, yaitu: /fa’’a>lun/, contoh /chajja>run/
„maha perkasa‟; /mif’a>lun/, contoh /mifdha>lun/ ‘sangat
bermanfaat‟; /fa’u>lun/, contoh /syaru>bun/ „sangat banyak minum‟;
/fa’i>lun/, contohnya /ali>mun/ „maha mengetahui‟; /fi’ilun/, contoh
/chidzirun/ „sangat berhati-hati‟; (Ni‟mah, 1988: 42)
17
2) Isim maf’u>l adalah nomina yang dibentuk dari fi’il mabni majhu>l
untuk menunjukkan kepada sesuatu yang menimpa kepadanya
perbuatan (Ni‟mah, 1988: 43). Bentuk ism maf’u>l dari fi’il tsula>tsi
mujarrad mengikuti wazan /maf’u>lun/, contohnya /masmu>’un/.
Adapun, bentuk ism maf’u>l dari yang berasal fi’il kecuali fi’il
tsula>tsi mengikuti wazan mudha>ri’ yakni mengganti huruf
mudha>ra’ah dengan mi>m dan mengharakati fatchah sebelum akhir.
Contohnya /yughliqu/ „ditutup‟ menjadi /mughlaqan/ ‘yang
ditutup‟.
3) Shifah musyabbahah bi ismil-fa>’il adalah ism yang dibentuk dari
fi’il yang tidak memiliki maf’u>l bih (fi’il tsula>si lazim) yang
memiliki arti sifat yang tetap dimiliki oleh fa>’il (Ni‟mah, 1988: 46).
Shifah musyabbahah bi ismil-fa>’il yang berasal fi’il la>zim terdiri
dari tiga pola, yaitu: /fa’ila/, /fa’ula/, dan /fa’ala/. Adapun, shifah
musyabbahah bi ismil-fa>’il yang berasal dari pola /fa’ila/ yaitu:
/fa’ilun/, misalnya /farichun/ „bahagia‟; /af’alun/, misalnya
/achmarun/ „merah‟, dan bentuk mu’annats-nya yaitu: /fa’la>’u/,
misalnya /chasna>’u/; /fa’la>nu/ misalnya /jau’a>nu/ „lapar‟, dan
bentuk mu’annats-nya yaitu: /fu’la>/. Selain itu, shifah
musyabbahah bi ismil-fa>’il yang berasal dari pola /fa’ula/ yaitu:
/fa’i>lun/, misal /kari>mun/ ‘sangat mulia’; /fa’lun/ misalnya /sahlun/
‘mudah‟; /fu’a>lun/, misalnya /syuja>’un/ „berani‟; /fa’alun/ misalnya
/chasanun/ „bagus‟; /fu’lun/, misalnya /chulwun/ ’manis’. Adapun
18
yang berasal dari pola /fa’ala/ jumlah shifah musyabbahah bi ismil-
fa>’il-nya sangat sedikit, pola tersebut beragam, contohnya
/thayyibun/.
4) Ismu’t-tafdhil adalah ism bentukan yang berwazan /af’alu/ yang
menunjukkan kepada dua hal yang berserikat, salah satu
mempunyai arti lebih dari yang lain (Ni‟mah, 1988: 49). Adapun,
contoh kata yang mengikuti wazan ism tafdhil yaitu, /akbaru/.
Adapun, wazan dalam bentuk mu’annatsnya yaitu /fa’la>/,
contohnya /a’la/>
5) Ismu’z-zama>n adalah ism yang dibentuk dari fi’il dan
menunjukkan makna waktu terjadinya peristiwa, contohnya
/maw’idun/ (Ni‟mah, 1988: 51).
6) Ismul-maka>n adalah ism yang dibentuk dari fi’il dan menunjukkan
makna tempat terjadinya peristiwa, /mal’abun/ (Ni‟mah, 1988: 51).
Bentuk pola dari ismu’z-zama>n dan ismul-maka>n sama.
Apabila pola tersebut berasal dari fi’il tsula>tsi dapat mengikuti
bentuk, pertama, /maf‟alun/, contoh /mal’abun/ ‘tempat bermain’,
kedua, /maf’ilun/, contoh /maw’idun/ „pertemuan‟. Adapun yang
berasal dari selain fi’il tsula>tsi yaitu, /mif’alatun/, contohnya
/miknasatun/ „sapu‟.
19
7) Ismul-a>lat adalah ism yang dibuat untuk menunjukkan alat yang
digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan (Ni‟mah, 1988: 53).
Bentuk ismul-a>lat dari fi’il muta’adi (transitif) mempunyai tiga
bentuk: /mif’a>lun/, contoh /mifta>chun/ „alat untuk membuka‟;
/mif’alun/, contoh /mibradun/ „alat pendingin‟, dan /mif’alatun/,
contoh /mil’aqatun/ „sendok‟.
b. Objek kajian morfologi
Istilah morfem (morpheme) dalam bahasa Arab dikenal dengan /murfi>m/
(al-Khuli, 1982: 174). Morfem-morfem ada yang mengalami proses afiksasi
berupa pengimbuhan afiks. Menurut Verhaar (2010: 107) afiks terbagi menjadi
empat.
1) Prefiks, yaitu pengimbuhan di sebelah kiri kata dasar yang disebut
proses “prefiksasi”. Contoh: أكتب /aktubu/. Huruf hamzah (ء) di awal
kata /aktubu/ adalah prefiks.
2) Sufiks, yaitu pengimbuhan di sebelah kanan kata dasar yang disebut
dengan proses sufiksasi. Contoh كتبت /katabtu/. Huruf ta> (ت) di akhir
kata /katabtu/ merupakan sufiks.
3) Infiks, pengimbuhan dengan penyisipan di tengah/di dalam kata dasar
itu yang disebut dengan proses “infiksasi” Contoh كاتب /ka>tibun/. Huruf
alif (ا) yang terletak di tengah kata /ka>tibun/ adalah al- infiks.
20
4) Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang
diimbuhkan untuk sebagian di sebelah kiri dan sebelah kanan kata dasar
yang prosesnya disebut dengan “konfiksasi”, atau “simulfiksasi”, atau
“ambifiksasi”, atau sirkumfiksasi”. Contoh مشهور /masyhu>run/. Huruf
mim (م) yang terletak di awal kata dan huruf waw (و) yang terletak di
tengah kata /masyhu>run/merupakan konfiks.
Selain itu, menurut Tajuddin (2008: 66) morfem menurut kemandiriannya
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Morfem bebas adalah kata atau unit morfologi yang berdiri sendiri,
seperti dhama>ir munfashilah (independent pronoun) seperti ىو/huwa/,
huma/. Termasuk pula akar kata yang terdiri dari tiga/ ىما hum/, dan/ىم
huruf (ج ب ر), yang apabila diputar balik hurufnya akan memiliki
makna yang berbeda.
2) Morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat dipergunakan secara
mandiri, dan harus menyatu dengan yang lainnya seperti: al-churu>ful
mudha>ra’ah, wawul-jama’ah, aliful-itsnain, dhama>’iru muttashilah,
contoh يذىبون /yadzhabu>na/. kata /yadzhabu>na/ berasal dari morfem
bebas /dzahaba/ „pergi‟ dan morfem terikatnya ada tiga, yaitu huruf; ya>,
wau, dan nu>n.
21
2. Semantik
Dalam menelaah makna yang terkandung pada nama marga keturunan
Arab Hadhrami memerlukan kajian semantik. Menurut Kridalaksana (2008: 216)
semantik (semantic) adalah (1) Bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan
makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; (2) Sistem dan
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Adapun, menurut al-Khuli (1982: 250) sebagai berikut.
.بعلم الّداللة, )ب( ذو عالقة بالّداللة عالقةىي )أ( ذو دالليّ
Dala>liyyun hiya (a) dzu> ala>qati bi ’ilmi’d-dila>lah (b) dzu> ‘ala>qati bi’d-dila>lah.
„Semantik adalah (a) yang berhubungan dengan ilmu arti (b) yang
berhubungan dengan arti‟.
Menurut Alwi, dkk., (2005: 1300) semantik adalah (1) ilmu tentang
makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti
kata; (2) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau
struktur makna suatu wicara; perubahan-perubahan makna. Selain itu, menurut
Verhaar (2010: 385) semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau
makna. Adapun, arti menurut al-Khuli (1982: 253) sebagai berikut.
يختلف ىو بذلكحسبما يفهمو السامع أو القارئ. و ىو معنى الكلمة أو الجملة معنيّ .الكلمة أو الجملة كما تقرره معاجم اللغةى الذي ىو معن gnieaemعن
Ma’aniyyun huwa ma’na> al-kalimata aw al-jumlata chasbama> yufhamuhu’s-sa>mi’u aw al-qa>ri>u. Wa huwa bi-dzalika yakhtalifu ‘an
meaning aladzi> huwa ma’na> al-kalimata aw al-jumlata kama> tuqariruhu ma’a>jimu’l-lughah.
„Makna adalah makna suatu kata atau kalimat menurut apa yang
dipahami oleh pendengar atau pembaca. Makna berbeda dengan arti,
arti adalah makna suatu kata atau kalimat sebagaimana yang terdapat
dalam kamus kebahasaan‟.
22
Adapun makna (meaning) menurut al-Khuli (1982: 166) adalah
.معّني, داللة: ىو ما يفهمو الشخص من الكلمة أو العبارة أو الجملة
Ma’anniyun, dala>latu: huwa ma> yufhamuhu’s-syakhshu mina’l-kalimati au al-‘iba>rati au al-jumlah.
„Makna (meaning), semantik adalah sesuatu yang dipahami
seseorang dari suatu kata atau frasa atau kalimat‟.
a. Teori penamaan
Dalam menganalisis pemargaan keturunan Arab Hadhrami, penelitian ini
berpijak pada teori Chaer (2013: 44-52) yang membagi latar belakang penamaan
menjadi sembilan poin, adapun teori penamaan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Peniruan bunyi
Peniruan bunyi adalah kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan
bunyi. Maksudnya, nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk
berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh
benda tersebut. Misalnya, binatang sejenis reptil kecil yang melata di
dinding disebut cecak karena bunyinya “cek, cak, cak-,”. Kata-kata yang
dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini disebut kata peniru bunyi atau
onomatope.
2) Penyebutan bagian
Penyebutan bagian adalah penamaan suatu benda atau konsep
berdasarkan bagian dari benda atau ciri khas yang menonjol dari benda itu
dan sudah diketahui umum. Misalnya, kata kepala dalam kalimat setiap
kepala menerima bantuan seribu rupiah, bukanlah dalam arti “kepala” itu
saja, melainkan seluruh orangnya sebagai satu keutuhan. Fenomena di atas
dikenal dengan istilah pras prototo, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan
23
bagian dari suatu benda atau hal, padahal yang dimaksud keseluruhan.
Kebalikan dari fenomena pras proparte yaitu totem proparte yaitu
menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Misalnya, kata perguruan
tinggi dalam kalimat semua perguruan tinggi ikut dalam lomba baca puisi,
maksudnya kalimat itu hanyalah peserta-peserta lomba dari perguruan
tinggi.
3) Penyebutan sifat khas
Penyebutan sifat khas adalah penamaan suatu benda berdasarkan
sifat yang khas yang ada pada benda itu. Pada penamaan ini, terjadi
perubahan dari kata sifat menjadi kata benda. Misalnya, orang yang sangat
kikir lazim disebut si kikir atau si bakhil.
4) Penemu atau pembuat
Penamaan berdasarkan penemu atau pembuat adalah penamaan
yang dibuat berdasarkan nama penemunya, nama pabrik pembuatnya, atau
nama dalam peristiwa sejarah. Nama-nama benda yang demikian disebut
dengan istilah appelativa. Misalnya, mujahir atau mujair yaitu nama
sejenis ikan tawar yang mula-mula ditemukan dan diternakkan oleh
seorang petani yang bernama Mujair dari Kediri, Jawa Timur.
5) Tempat asal
Penamaan berdasarkan tempat asal adalah sejumlah nama benda
berdasarkan nama asal benda tersebut. Misalnya, kata kenari, yaitu nama
sejenis burung yang berasal dari nama Pulau Kenari di Afrika.
24
6) Bahan
Penamaan berdasarkan bahan adalah sejumlah nama benda yang
penamaanya diambil dari nama bahan pokok benda itu. Misalnya, kaca
adalah nama bahan. Lalu barang-barang lain yang dibuat dari bahan kaca
disebut juga dengan kaca mata, kaca jendela, kaca spion, dan kaca mobil.
7) Keserupaan
Penamaan berdasarkan keserupaan adalah kata itu digunakan
dalam suatu ujaran yang maknanya dipersamakan atau diperbandingkan
dengan makna leksikal dari kata itu. Dalam praktik berbahasa banyak kata
yang digunakan secara metaforis. Misalnya, kata raja pada raja minyak.
Raja adalah orang yang paling berkuasa atau paling tinggi kedudukannya
di negarannya, maka raja minyak dapat dimaknai „pengusaha minyak yang
paling besar‟.
8) Pemendekan
Penamaan berdasarkan pemendekan adalah kata-kata yang
terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur-unsur awal huruf atau suku
kata dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Misalnya, ABRI
yang berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
9) Penamaan baru
Penamaan berdasarkan penamaan baru adalah kata atau istilah baru
yang dibentuk untuk menggatikan kata atau istilah lama yang sudah ada.
Kata-kata atau istilah-istilah lama yang sudah ada perlu diganti dengan
kata-kata baru atau sebutan baru karena dianggap kurang tepat, tidak
rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah. Pada hakikatnya, bahasa itu
25
mempunyai sifat berkembang (dinamis), maka penggunaan istilah-istilah
baru itu sangat diperlukan. Misalnya, penggantian kata gelandangan
menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tunasusila, dan buta huruf menjadi
tuna aksara.
3. Antropolinguistik
Untuk mengkaji persoalan yang ada, diperlukan kajian antropolinguistik
yang memadukan kajian kebahasaan dalam prespektif budaya, karena suatu
bahasa dihasilkan oleh budayanya, dan budaya dapat tercermin melalui
bahasanya.
Antropolinguistik adalah gabungan antara dua disiplin ilmu yaitu
antropologi dan linguistik. Menurut Ratna (2011: 295) antropologi adalah ilmu
tentang manusia, sedangkan linguistik adalah ilmu mengenai bahasa. Di samping
itu, menurut Kridalaksana (2008: 144) linguistik (linguistics) adalah ilmu tentang
bahasa dalam penyelidikan bahasa secara ilmiah. Adapun, linguistik menurut al-
Khuli (1982: 155) sebagai berikut.
.لغوّي: )أ( ذو عالقة بالّلغة, )ب( ذو عالقة بعلم الّلغة
Lughawiyyun: (a) dzu ’ala>qata bi’l-lugah, (b) dzu ‘ala>qata bi-‘ilmi’l-lughah.
„Linguistik adalah (a) yang berhubungan dengan bahasa; (b) yang
berhubungan dengan ilmu bahasa‟.
Antropolinguistik dikenal pula dengan etnolinguistik, linguistik antroplogi,
antropologi linguistik. Penelitian ini menggunakan istilah antropololiguistik
karena menitikberatkan kajiannya pada kebahasaan yang digunakan induvidu
dalam kaitannya dengan budaya. Adapun, etnolinguistik lebih menitikbertkan
kajiannnya pada kebahasaan suatu kelompok atau etnik dengan kaitannya dengan
26
budaya. Antopolinguistik dengan demikian adalah ilmu tentang bahasa dalam
prespektif budaya yang digunakan oleh manusia.
Sibarani (2004: 50) mendefinisikan antropolinguistik sebagai cabang ilmu
yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan,
pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika bahasa, adat istiadat, dan pola-pola
kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Adapun, Ratna (2001: 295)
mendefinisikan antopologi linguistik sebagai ilmu tentang bahasa dalam kaitannya
dengan manusia sebagai penggunannya. Kridalaksana (2008: 144) mendefinisikan
linguistik antropologi (anthropological linguistics) sebagai, (1) cabang linguistik
yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam kebudayaan dan ciri-ciri
bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan, atau
kekerabatan; (2) metode dan teknik penyelidikan bahasa masyarakat yang tidak
mempunyai tradisi tulisan dengan mengandalkan pengumpulan data berupa
penyelidikan lapangan. Menurut Alwi, dkk., (2005: 80) linguistik antropologi
adalah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, perkembangan, adat-
istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau. Adapun, antropolinguistik
menurut al-Khuli (1982: 18) yaitu.
دراسة لغات الجماعات الّلغويّة التي ليس لديها نظام كتابّي :علم اللغة األنثروبولوجّي .أو إنتاج أدبيّ
‘Ilmu‘l-lughati’l-antsaru>bu>lu>jiyyu: dira>satu lugha>ti’l-jama>’a>ti’l-lughawiyyati’l-lati> laisa ladayha> nidza>mun kita>biyyun au inta>jun adabiyyu.
„Antropolinguistik adalah pengkajian bahasa suatu masyarakat
yang tidak terdapat suatu sistem yang tertulis atau produk
kebudayaan pada bahasa yang bersangkutan‟.
27
a. Teori pemaknaan
Adapun, untuk menganalisis nama marga keturunan Arab Hadhrami
KPKS dari segi makna dalam kaitannya dengan budaya, penelitian ini berpijak
pada teori Sibarani (2004: 115-118) yang membagi tiga makna nama dalam
antropolinguistik, yaitu: makna futuratif, situasional, dan makna kenangan.
Adapun, penjelasan makna-makna tersebut sebagai berikut:
1) Makna futuratif
Makna futuratif adalah makna nama yang mengandung pengharapan
agar kehidupan pemilik nama seperti makna namanya (Sibarani, 2004: 115).
Makna futuratif banyak terdapat pada nama orang, nama usaha dan nama
tempat. Hal ini, mengacu pada makna nama diri pemilik nama yang
mengandung pengharapan. Contohya, nama Dengkoh yang dalam bahasa
Batak berarti „dengar‟. Penamaan Dengkoh mengandung makna pengharapan
yaitu, agar anak tersebut dapat memperhatikan/membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk.
2) Makna situasional
Makna situasional adalah makna nama yang mengandung
pemberitahuan situasi-sekarang kehidupan keluarga pemilik nama (Sibarani,
2004: 115). Makna nama situasional ini diberikan sesuai dengan nama yang
mengacu pada situasi pada saat itu. Pada makna nama situasional, pemaknaan
dikaitkan dengan nilai-nilai budaya atau suatu kepercayaan bagi pemilik nama
terhadap suatu hal yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi. Makna nama
situasional ini dapat ditemukan di tengah masyarakat. Contohnya, nama Heger
28
yang dalam bahasa Batak berarti „musim‟. Penamaan Heger dilatarbelakangi
karena anak itu lahir pada waktu panen.
3) Makna kenangan
Makna nama kenangan adalah makna nama yang mengandung
kenangan. Makna nama kenangan ini diberikan sesuai dengan kenangan yang
dialami pemberi nama. Makna nama kenangan memiliki pengharapan
didalamnya sesuai dengan kenangan yang dialaminya. Contohnya seseorang
yang benama Monang. Dalam bahasa Batak, Monag berarti menang. Makna
yang terkandung dalam nama ini yaitu, kenangan bahwa ketika lahir anak
tersebut, orang tuanya menang dalam perkara.
F. Sumber Data, Populasi dan Sampel
Berdasarkan sumbernya, data penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1. Daftar nama penduduk keturunan Arab yang terdapat di kantor KPKS.
2. Peristiwa dan tradisi pemberian marga Arab Hadhrami yang terdapat pada
buku-buku atau literature yang tersedia.
3. Informasi dari para pemilik marga atau tokoh keturunan Arab Hadhrami di
KPKS.
Data penelitian ini berupa penamaan dan pemaknaan marga keturunan
Arab Hadhrami di KPKS. Adapun populasinya yaitu keseluruhan masyarakat
keturunan Arab Hadhrami di KPKS. Populasi dalam penelitian bahasa menurut
Mahsun (2005: 29) menyangkut satu wilayah kelurahan yang menjadi tempat
bermukimnya penutur bahasa yang diteliti tersebut. Di samping itu, berdasarkan
29
Data Potensi Kelurahan Pasar Kliwon Kota Surakarta tahun 2014, terdapat 619
Jiwa keturunan Arab. Setelah ditanyakan kepada petugas Kelurahan Pasar
Kliwon, data tersebut diperoleh melalui Kartu Keluarga. Data keturunan Arab di
Kelurahan Pasar Kliwon tersebut menjadi rahasia dari kantor itu. Hal tersebut
dikarenakan sekarang tidak boleh mengkotak-kotakkan dari mana etnis tersebut
berasal. Akhirnya dilakukan suatu penelusuran data secara mandiri dari Kartu
Keluarga yang berada di Kelurahan Pasar Kliwon. Setelah dilakukan penelusuran,
ditemukan 486 keturunan Arab yang mencantumkan marganya di Kartu Keluarga
(KK).
Penelitian ini mengambil sampel marga keturunan Arab Hadhrami dari
golongan Alawiyyin yang berada di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini dapat disebut sampel dalaman (internal
sampling), yaitu sampel yang diambil mewakili informasi dan bukan semata-mata
karena jumlah informan yang diambil dari populasi yang ada (Bogdan dan Biklen
dalam Widodo dan Suyatno (2013: 11).
G. Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan sesuai dengan kondisi permasalahan
yang diteliti. Pemilihan metode secara langsung juga berkaitan dengan sumber
data penelitian ini. Dalam memecahkan permasalahan penelitian, diperlukan tiga
tahapan strategis yang diwujudkan dalam bentuk metode. Tahapan-tahap itu
adalah (1) metode penyediaan data; (2) metode analisis data; (3) metode penyajian
hasil analisis.
30
1. Metode dan Teknik Penyediaan Data
Tahap penyediaan data disebut juga tahap pengumpulan data. Tahap
penyediaan ini sekurang-kurangnya ada tiga kegiatan, pertama, mengumpulkan
data yang ditandai dengan pencatatan; kedua, memilih dan memilah-milah data
dengan membuang data yang tidak diperlukan; ketiga, penataan data menurut tipe
atau jenis data yang telah dicatat, dipilih, dan dipilah-pilahkan itu (Sudaryanto,
1993: 10-11).
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penyediaan data ini adalah
metode cakap atau percakapan. Metode ini memanfaatkan teknik pancing, teknik
cakap semuka (CS), teknik rekam, dan teknik catat. Metode cakap ini berbentuk
wawancara terhadap lima keturunan Arab Hadhrami dari golongan Alawiyyin.
Metode cakap ini dimanfaatkan guna menemukan informasi mengenai kehidupan
masyarakat Arab Hadhrami dan informasi mengenai seluk-beluk marganya.
Setelah semua data didapatkan maka tahap selanjutnya adalah pengklasifikasian
data. Data diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu: aspek penamaan dan aspek
pemaknaan. Dalam aspek penamaan, penelitian ini mencari informasi-informasi
mengenai latar belakang pembentukan nama marganya. Adapun, dalam aspek
pemaknaan penelitian ini mencari informasi mengenai makna-makna yang
terkandung dalam nama marga tersebut baik dari segi bahasa maupun budaya
yang memengaruhinya.
31
Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menempuh beberapa
prosedur administrasi yang harus dilalui sebelum melaksanakan penelitian.
Adapun, tahapan tersebut yaitu meminta surat pengantar penelitian dari Fakultas
Ilmu Budaya yang ditujukan kepada Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol) Surakarta, Badan Penelitian dan pengembangan (Bapedda)
Surakara, Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta, dan Kelurahan Pasar Kliwon
Surakarta sebagai bentuk surat ijin penelitian. Setelah mendapatkan surat
pengesahan dari instansi-instasi tersebut, penelitian ini mulai mencari data nama-
nama penduduk Arab di kantor KPKS. Setelah data didapatkan, data tersebut
dipilah-pilah nama-nama yang mempunyai marga keturunan Arab Hadhrami dari
golongan Alawiyyin dan non-Alawiyyin, kemudian dilakukan pencatatan data
dalam kartu data.
2. Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah tahap penyediaan data dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah
analisis data. Sudaryato (1993: 6) mengungkapkan bahwa analisis data adalah
suatu cara mengolah data yang telah terkumpul agar dapat diuraikan. Analisis data
ini memanfaatkan metode agih dan metode padan referensial. Menurut
Sudaryanto (1993: 15) metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya
terdapat di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti. Metode agih ini
menggunakan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) guna menganalisis marga
dengan pendekatan kebahasaan melalui pembagian unsur kontruksi penyusunnya.
Berdasarkan analisis tersebut marga dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu:
berdasarkan jumlah penyusun kata dan polanya.
32
Penelitian ini memanfaatkan metode padan referensial dalam menganalisis
marga berdasarkan pola (wazan), penamaan, dan pemaknaannya. Metode padan
referensial adalah metode yang alat penentunya berupa kenyataan yang ditunjuk
oleh bahasa atau referent bahasa (Sudaryanto, 1993: 13). Dalam penelitian ini,
pemanfaatan metode padan referensialnya membutuhkan teknik dasar Pilah Unsur
Penentu (PUP), dengan teknik lanjutan berupa teknik Hubung Banding
Menyamakan (HBS). Penggunaan metode padan referensial ini didasari karena
unsur penentu dari analisis marga ini referennya berada diluar.
Pemilihan teknik Pilah Unsur Penentu ini dikarenakan alat penentu dari
analisis data ini berupa referen yang ditunjuk dari masing-masing data. Adapun
dari segi polanya, referennya berupa wazan marga itu sendiri. Disamping itu,
marga yang dianalisis berdasarkan sistem pemargaannya dibagi menjadi dua sudut
pandang, yaitu: aspek penamaan dan aspek pemaknaan. Dalam aspek penamaan,
marga tersebut dianalisis berdasarkan referen latar belakang penamaan marga.
Adapun dalam aspek pemaknaan, marga dianalisis mengenai makna yang terdapat
dalam marga yang menyangkut referen dari tujuan pemberian nama marga. Jadi,
dari segi penamaan dan pemaknaan, referennya itu ditentukan berdasarkan sejarah
yang melatarbelakangi penamaan marga dan makna dibalik marga.
Setelah dianalisis melalui teknik Pilih Unsur Penentu, maka data yang ada
dianalisis melalui teknik Hubung Banding menyamakan. Menurut Kesuma (2007:
53) teknik hubung banding menyamakan adalah teknik analisis data yang alat
penentunya berupa daya banding menyamakan di antara satuan-satuan kebahasaan
yang ditentukan identitasnya. Penentuan identitas dalam penelitian ini
33
menghasilkan beberapa pembagian marga yang dikelompokkan berdasarkan
kategori penamaan dan pemaknaannya.
3. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Pada tahap penyajian hasil analisis, data disajikan dalam bentuk laporan
penelitian dengan menggunakan metode informal. Metode informal adalah
metode penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata biasa walaupun
dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145).
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari subbab-subbab. Pertama, latar belakang masalah yang
mengulas mengenai pentingnya pembahasan masalah atau alasan yang
mendorong pemilihan topik, serta telaah pustaka atau komentar mengenai
tulisan yang telah ada yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
baik secara langsung maupun tidak langsung, serta mengulas pula
manfaat praktis dari hasil pembahasan dalam penelitian ini. Kedua,
perumusan masalah yang berisi tentang pokok permasalahan penelitian
dalam bentuk pernyataan. Ketiga, tujuan pembahasan yang berisikan
tentang upaya pokok yang dikerjakan dalam pemecahan masalah atau
garis besar yang hendak dicapai. Keempat, pembatasan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini. Kelima, landasan teori yang memuat
sejumlah teori yang digunakan dalam menganalisis masalah-masalah
34
yang diteliti. Keenam, sumber data, populasi, dan sampel berisikan
tentang objek penelitian, jumlah data dan sampel data yang diteliti.
Ketujuh, metode dan teknik penelitian yang memaparkan tentang metode
dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, analisis data, dan
penyajian hasil analisis. Kedelapan, sistematika penulisan yang berisikan
urutan hal-hal yang dimuat dalam penelitian ini.
Bab II : Kategorisasi nama marga keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon
Surakarta
Bab ini berisi tentang analisis bentuk marga berdasarkan jumlah kata
penyusunnya dan pola pembentukannya.
Bab III : Sistem Pemargaan keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon Surakarta
Bab ini berisi mengenai analisis penamaan dan pemaknaan marga yang
ditinjau dari segi semantik dan antropolinguistik
Bab IV : Penutup
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.