BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makna tujuan ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Satu hal ...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Satu hal ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Satu hal terpenting yang perlu disorot dari kawasan Asia Timur adalah ketegangan politik
antara kelima negara. Letak permasalahan utamanya terdapat pada perkembangan kekuatan
militer China, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Kekhawatiran utama yang
muncul dari peningkatan kekuatan militer negara-negara di kawasan dapat dilihat dari dua segi;
pertama, dari segi kualitas, negara-negara di kawasan mampu memproduksi persenjataan
berteknologi tinggi; kedua, dari segi kuantitas, negara-negara kawasan dapat memproduksi
senjata secara massal.1 Kedua kemampuan tersebut dapat diimplementasikan dalam
memproduksi persenjataan konvensional, seperti peningkatan kekuatan angkatan laut dan
angkatan udara pada kelima negara, maupun kekuatan militer non-konvensional, seperti
pengembangan dan ujicoba senjata nuklir, rudal balistik, dan sistem pertahanan anti-rudal.
Peningkatan kekuatan pertahanan kelima negara menimbulkan dilema keamanan di
kawasan, dimana peningkatan kekuatan pertahanan yang dijalankan oleh satu negara ditujukan
untuk memperlemah pertahanan negara lainnya, sehingga memicu kekhawatiran dan sikap saling
curiga satu sama lain. Dilema keamanan inilah yang menjadi permasalahan utama penelitian,
dimana kecurigaan antar negara satu sama lain terkait pengembangan kekuatan militernya
masing-masing berpotensi menimbulkan konflik dalam skala besar ketika terjadi
kesalahpahaman. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dilema keamanan yang dialami kelima
negara merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam melihat situasi keamanan di kawasan
Asia Timur.
Perlunya mengangkat kelima negara tersebut dikarenakan setiap upaya peningkatan
kekuatan pertahanan salah satu negara berimbas pada keempat negara lainnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Contohnya seperti upaya China dalam menjalankan
modernisasi militernya memicu Jepang untuk melakukan interpretasi ulang terhadap
konstitusinya terkait di bidang pertahanan, dan juga Taiwan untuk menjalankan reformasi
1 Taik-young Hamm, Arming the Two Koreas, State, Capital, and Military Power, Routledge, New York,
2001, p. 115.
2
militernya. Adapun upaya Jepang tersebut mendapat respon dari Korea Selatan, selain protes,
juga diikuti dengan meningkatkan kemampuan pertahanannya, sementara upaya Korea Selatan
tersebut mendapat reaksi dari Korea Utara dengan terus meningkatkan kemampuan senjata rudal
dan nuklirnya untuk memberikan daya gentar terhadap Korea Selatan.2
Adanya timbal balik terkait peningkatan kekuatan pertahanan antara kelima negara di
kawasan Asia Timur tersebut menjadikan peningkatan kekuatan pertahanan China, Jepang,
Korea Selatan, Korea Utara, dan Taiwan, perlu diangkat untuk melihat secara utuh stabilitas
keamanan di kawasan Asia Timur. Pengambilan salah satu atau dua negara sebagai fokus utama
dalam penelitian hanya akan menjadikan penyajian mengenai permasalahan stabilitas keamanan
di kawasan Asia Timur sangat terbatas dan parsial. Maka dari itu, penelitian secara menyeluruh
terhadap kelima negara diperlukan, mengingat keterkaitannya satu sama lain, adapun yang perlu
difokuskan adalah aspek isunya.
Demikian pula sebaliknya, contohnya seperti setiap upaya Korea Utara meningkatkan
kemampuan senjata pemusnah massalnya memicu reaksi Jepang dan Korea Selatan untuk terus
meningkatkan kekuatan pertahanannya dengan mengembangkan sistem pertahanan anti-rudal.
Upaya Jepang untuk mengembangkan sistem pertahanan tersebut memaksa China untuk terus
meningkatkan kemampuan senjata rudalnya supaya dapat memberikan daya gentar secara
maksimal terhadap Jepang maupun Taiwan, sedangkan Taiwan merespon peningkatan kekuatan
senjata rudal China dengan menggalang kerjasama dengan AS untuk mengembangkan sistem
pertahanan anti-rudal.3 Berdasarkan kasus tersebut, maka setiap upaya kelima negara untuk
meningkatkan pertahanannya merupakan respon sekaligus direspon terhadap dan untuk keempat
negara lainnya.
Pada dasarnya, terkait stabilitas keamanan di Asia Timur, tidak hanya kelima negara
tersebut yang memainkan peranan penting, dimana Russia dan AS merupakan dua negara
lainnya yang turut terlibat dalam politik keamanan di kawasan Asia Timur. Namun, arti penting
dari kedua negara tersebut berbeda halnya dengan kelima negara yang akan diangkat dalam
penelitian, mengingat secara geografis kedua negara tersebut pada dasarnya kekuatan dari luar
yang turut mempengaruhi, bukan kekuatan utama di kawasan yang telah memiliki akar historis
2 Kent Calder and Min Ye, The Making of Northeast Asia, Stanford University Press, Stanford, 2010, pp. 5-8.
3 Kent Calder and Min Ye, The Making of Northeast Asia, pp. 8-12.
3
dan kultural lebih kuat. Selain itu, diperlukan fokus untuk mengangkat penelitian, yang
difokuskan pada lima negara semata.
Sebagaimana telah disinggung, terdapat dua negara lainnya yang memiliki kepentingan di
kawasan, yaitu AS dan Russia. Kedua negara tersebut tidak dimasukan sebagai bagian utama
penelitian dikarenakan beberapa alasan. Untuk Russia, meskipun negara tersebut memiliki
wilayah teritorial di Asia Timur, termasuk wilayah yang diperselisihkan dengan Jepang seperti
Gugusan Pulau Kurile dan Pulau Sakhalin, secara geopolitik, jantung dari wilayah territorial
Russia bukanlah di Asia, melainkan di Eropa, sehingga fokus utama dari politik luar negeri
Russia cenderung memprioritaskan kawasan lainnya seperti Kaukasus dan Eropa Timur,
sebagaimana yang ditunjukan dalam intervensi Russia di Georgia pada tahun 2008 dan
intervensinya di Ukraina sekarang.4
Berdasarkan alasan tersebutlah, mengapa Russia tidak dimasukan kedalam fokus utama
penelitian, meskipun secara geografis memiliki wilayah territorial di Asia Timur, jantung dari
wilayah utamanya terletak di Eropa, bukan Asia. Demikian pula halnya dengan AS, dikarenakan
statusnya sebagai negara adidaya, mampu dan terlibat dalam berbagai intervensi di berbagai
belahan dunia, tak terkecuali kawasan Asia Timur. Secara geostrategis dan geopolitik, maka,
Russia dan AS tidak dapat dimasukan sebagai bagian dari fokus utama penelitian dalam
mengangkat dilema keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur.
Sementara AS, meskipun terikat aliansi dengan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan,
namun, status AS sebagai negara adidaya menyebabkan konsentrasi politik luar negerinya
terpecah ke berbagai kawasan lainnya. Hal tersebut ditunjukan sikap AS yang mulai memberi
kelonggaran pada Jepang dan Korea Selatan dalam meningkatkan kemampuan militernya secara
mandiri melalui berbagai perjanjian, pengurangan pasukan pendudukannya secara berkala di
Korea Selatan, dan sikap komprominya dengan Jepang terkait relokasi kedudukan pasukannya di
Iwo Jima dan Okinawa. Sementara di kawasan Timur Tengah, AS semakin menunjukan tindakan
nyata berupa dukungan terhadap Israel menyangkut isu Palestina dan berbagai bentuk intervensi
lainnya di kawasan Timur Tengah.5
4 Joshua Rovner, The Washington Post, What Ukraine Means for How We Study War (online), 4 Agustus
2014, <http://www.washingtonpost.com/blogs/monkey-cage/wp/2014/08/04/what-ukraine-means-for-how-we-
study-war/>, diakses 18 Agustus 2014. 5 Melvyn P. Leffler, Foreign Affairs, September 11 in Retrospect, George W. Bush’s Grand Strategy,
Reconsidered, September/Oktober 2011, <http://www.foreignaffairs.com/articles/68201/melvyn-p-
leffler/september-11-in-retrospect>, diakses 18 Agustus 2014.
4
Alasan lain mengapa AS dan Rusia tidak dibahas secara khusus karena kedua negara
tersebut secara otomatis masuk dalam pembahasan terkait hubungan kedua negara dengan
beberapa negara di kawasan dalam bidang pertahanan. Contohnya seperti aliansi AS dengan
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, yang salah satunya berupa pengembangan sistem pertahanan
anti-rudal, serta kerjasama dalam perdagangan sistem persenjataan tertentu, untuk memperkuat
pertahanan masing-masing. Demikian pula kerjasama antara Russia dengan China dan Korea
Utara dalam penjualan persenjataan tertentu, yang menjadikan Russia secara otomatis dimasukan
dalam penelitian, meskipun bukan sebagai fokus utama penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama dalam penelitian adalah dilema
keamanan yang dihadapi kelima negara di kawasan, yaitu China, Taiwan, Jepang, Korea Selatan,
dan Korea Utara. Upaya yang dilakukan kelima negara dalam mengatasi dilema keamanannya
dilakukan dengan meningkatkan kekuatan pertahanannya, oleh karena itu, penelitian akan
dirumuskan dalam pertanyaan: Bagaimana kelima negara – China, Jepang, Taiwan, Korea
Selatan, dan Korea Utara – merespon dan bersaing dalam peningkatan kekuatan pertahanan satu
sama lain?
C. Reviu Literatur
Terkait dengan isu pertahanan keamanan di Asia Timur yang paling fenomenal pada
masa sekarang adalah modernisasi militer China. Kekuatan militer China menjadi salah satu
faktor yang mengundang kekhawatiran tetangga-tetangganya, salah satunya dikarenakan doktrin
militer China yang menganut prinsip perang ofensif maupun perang defensif untuk menjaga
kedaulatannya, sebagaimana dikutip dari buku China’s Military Modernization, Building for
Regional and Global Reach, yang ditulis Richard D. Fisher. Fisher sendiri dalam bukunya
memberikan contoh dalam sejarah kontemporer dimana Cina pernah membuktikannya dalam
keterlibatan militernya di Perang Korea pada tahun 1950-1953 dan konflik perbatasan dengan
Vietnam pada tahun 1979.6
Diantara kelima negara di Asia Timur, China merupakan satu dari dua negara di kawasan
yang memiliki senjata nuklir. Meskipun China merupakan negara pertama sekaligus pemilik hulu
6 Richard D. Fisher, China’s Miliary Modernization, Building for Regional and Global Reach, Praeger
Security International, Westport, 2008, p. 40.
5
ledak nuklir terbanyak di kawasan, kemampuan senjata pemusnah massal yang dimilikinya
masih memiliki banyak keterbatasan. Mengutip pernyataan dari Jeffrey Lewis, dalam buku The
Minimum Means of Reprisal, China’s Search for Security in the Nuclear Age, senjata nuklir dan
berbagai missil yang dimilikinya hanya sebatas dijadikan alat politik untuk menjalankan daya
gentar dalam konteks keamanan di kawasan.7
Untuk merespon setiap kemampuan China dalam meningkatkan kekuatan pertahanannya,
Taiwan meresponnya dengan menjalankan reformasi di bidang pertahanan. Salah satunya dengan
menjalankan modernsiasi militernya dan memperbesar akses dalam memiliki persenjataan yang
canggih untuk menghadapi China, sebagaimana yang disampaikan Dennis V. Hickey dalam
Taiwan’s Defense Reform, yang ditulis Martin Edmonds dan Michael M. Tsai.8 Tanpa
melakukan reformasi di bidang pertahanan, sulit bagi Taiwan untuk menghadapi ancaman militer
dari China.
Problem utama dari keamanan Taiwan adalah fakta bahwa ancaman utamanya, yaitu
China, hanya berjarak 100 nm dari wilayahnya, sementara sekutunya, berjarak ribuan mil dari
wilayah Taiwan, untuk itulah Taiwan perlu memberikan daya gentar secara efektif terhadap
China. Meskipun AS memiliki Armada Ke-7 di Pasifik, belum tentu menjamin keamanan
Taiwan. Dalam bukunya Taiwan’s Security, History and Prospects, Bernard Cole mengutip para
ahli strategi dari Taiwan yang menyatakan bahwa stretegi efektif yang dapat dilakukan Taiwan
dalam menghadapi ancaman China adalah daya gentar dan pertahanan yang gigih, dengan kata
lain, opsi defensif merupakan pilihan paling realistis bagi Taiwan dalam menjaga
kedaulatannya.9
Selain menjelaskan secara umum mengenai reformasi dan prospek kebijakan
pertahanannya, hal lainnya yang tidak kalah penting adalah aspek peningkatan kapasitas
pertahanan maritim Taiwan sebagai negara pulau. Tanpa kekuatan laut yang memadai, sulit bagi
Taiwan untuk mengatasi dilema keamanannya dalam menghadapi modernisasi angkatan laut
China. Sebagaimana yang disampaikan Ming-hsien Wong and Tung-lin Wu dalam buku
Taiwan’s Maritime Security yang disusun Martin Edmonds dan Michael M. Tsai, kebijakan
7 Jeffrey Lewis, The Minimum Means of Reprisal, China’s Search for Security in the Nuclear Age, American
Academy of Arts and Sciences, Cambridge, 2007, p. 4. 8 Dennis V. Hickey, „China‟s Military Modernization and Taiwan‟s Defense Reforms: Programs, Problems,
and Prospects‟, in Martin Edmonds & Michael M. Tsai (ed.), Taiwan’s Defense Reform, Routledge, New York,
2006, p. 44. 9 Bernard Cole, Taiwan’s Security, History and Prospects, Routledge, New York, 2006, p. 152.
6
maritim merupakan syarat mutlak bagi tujuan nasional strategis bagi Taiwan dalam menjaga
eksistensi, keamanan, dan pembangunannya.10
Berbicara mengenai politik keamanan Taiwan, masa depan pertahanan dan keamanan
Taiwan tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas dan kapasitas kekuatan udaranya. Sebagai negara
pulau, Taiwan tidak hanya membutuhkan angkatan laut yang kuat, tetapi juga dukungan
kekuatan udaranya untuk memberikan daya gentar secara efektif terhadap China. Sebagaimana
yang disampaikan Martin Edmonds dan Michael M. Tsai dalam buku Taiwan’s Security and Air
Power, Taiwan’s Defense Against the Air Threat from Mainland China, yang secara spesifik
membahas mengenai strategi Taiwan dalam menghadapi ancaman dari China dengan
memperkuat angkatan udaranya 11
Selain Taiwan, Jepang merupakan salah satu negara yang merasa terancam dengan
kebangkitan China, termasuk kekuatan militernya. Sebagaimana halnya Taiwan, sebagai negara
kepulauan, Jepang perlu meningkatkan kekuatan lautnya untuk menetralisir ancaman China dan
Korea Utara. Sebagaimana dalam penelitian Euan Graham dalam bukunya Japan’s Sea Lane
Security 1940-2004, a Matter of Life and Death? yang menyebutkan kekuatan laut China
mengundang kekhawatiran Jepang karena dapat mengancam SLOC, sehingga SLOC sendiri
menjadi salah satu fokus utama pertahanan Jepang pasca Perang Dingin. Selain China, negara
lainnya yang mengundang kekhawatiran Jepang atas ancamannya terhadap SLOC adalah Korea
Utara, dikarenakan negara tersebut memiliki kapasitas kapal penebar ranjau dan kapal selam
yang potensial untuk memberi ancaman terhadap keamanan maritim Jepang.12
Selain keamanan maritimnya, strategi yang diperlukan Jepang dalam politik
keamanannya untuk menghadapi ancaman nuklir Korea Utara adalah mengembangkan
kemampuan sistem pertahanan anti-rudal. Sistem pertahanan tersebut diperlukan tidak hanya
dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara, tetapi juga meningkatnya kemampuan China
dalam mengembangkan senjata rudal. Daniel M. Kliman, dalam buku Japan’s Security Strategy
10
Ming-hsien Wong & Tung-lin Wu, „Taiwan‟s Maritime Strategy and the New Security Environment‟, in
Martin Edmonds & Michael M. Tsai, Taiwan’s Maritime Security, Routledge Curzon, London, 2003, p. 110. 11
Martin Edmonds & Michael M. Tsai, „Introduction: Taiwan and Air Power‟, in Martin Edmonds &
Michael M. Tsai, Taiwan’s Security and Air Power, Taiwan’s Defense Against the Air Threat from Mainland China,
Routledge Curzon, London, 2004, p. 1. 12
Euan Graham, Japan’s Sea Lane Security 1940-2004, a Matter of Life and Death?, Routledge, New York,
2006, pp. 202-203.
7
in the Post-9/11 World: Embracing a New Realpolitik, menyebutkan bahwa pasca peristiwa 9/11
Jepang semakin intensif meningkatkan sistem pertahanan anti-rudalnya.13
Selain Perselisihan antara China dengan Jepang dan Taiwan, sumber dilema keamanan
lainnya yang terdapat di kawasan Asia Timur adalah krisis di Semenanjung Korea. Krisis
tersebut meliputi berbagai tindakan provokatif Korea Utara, sehingga memicu reaksi dari Jepang
dan Korea Selatan untuk terus meningkatkan pertahanannya, oleh karena itu, perlu kiranya
membahas bagaimana serangkaian tindakan provokatif Korea Utara, mulai dari program
nuklirnya, yang diawali dengan upaya pengunduran diri dari NPT pada tahun 1993, hingga
ujicoba nuklir yang dilakukannya pada tahun 2006, sebagaimana dalam buku yang ditulis oleh
Narushige Michishita, North Korea’s Military-Diplomatic Campaigns, 1966-2008.14
Dalam melihat krisis di Semenanjung Korea, pada dasarnya, kurang tepat jika hanya
melihat Korea Utara sebagai pihak antagonis, hal tersebut dikarenakan dalam melihat politik
keamanan di kawasan, perlu dilihat secara menyeluruh tujuan politik masing-masing setiap
negara, dengan sudut pandang secara berimbang. Maka dari itu, selain melihat dari sudut Korea
Utara, perlu dilihat bagaimana Korea Selatan menjalankan politik luar negerinya, khususnya
yang menyangkut masalah pertahanan keamanan, terutama pasca Perang Dingin, dimana Korea
Selatan, sebagai negara dengan posisi geostrategis yang rawan, mengharuskannya untuk berhati-
hati dalam menjalankan politik keamanannya di kawasan. Hal tersebut sesuai dengan ayng
disampaikan Shin-wha Lee, dalam bab South Korean Strategic Thought toward Regionalism,
pada buku South Korean Strategic Thought toward Asia, bahwa Korea Selatan memasuki
permasalahan yang semakin kompleks pasca Perang Dingin, dalam menghadapi politik
keamanan di kawasan.15
D. Kerangka Dasar Berfikir
Untuk memperkuat argumen penelitian, digunakan teori dan beberapa konsep yang
relevan. Teori dan beberapa konsep yang digunakan erat kaitannya dengan perspektif realisme.
Sesuai dengan tema penelitian, teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori dilema
13
Daniel M. Kliman, Japan’s Security Strategy in the Post-9/11 World: Embracing a New Realpolitik,
Praeger, Westport, 2006, p. 1. 14
Narushige Michishita, North Korea’s Military-Diplomatic Campaigns, 1966-2008, Routledge, New York,
2010, pp. 2-3. 15
Shin-hwa Lee, „South Korean Strategic Thought Toward Regionalism‟, in Gilbert Rozman, In-Taek Hyun,
& Shin-hwa Lee, South Korean Strategic Thought Toward Asia, Palgrave Macmillan, New York, 2008, p. 225.
8
keamanan, sedangkan beberapa konsep utama yang akan digunakan dalam penelitian adalah
daya gentar, kekuatan militer konvensional dan non-konvensional.
Dilema Keamanan
Sebagaimana telah dibahas, bahwa kekhawatiran akan stabilitas keamanan di kawasan
dikarenakan setiap pengembangan kemampuan pertahanan satu negara direspon oleh negara
tetangganya, dimana rasa khawatir dan sikap saling curiga merupakan salah satu unsur dari
dilema keamanan.16
Contohnya seperti pengembangan sistem pertahanan anti-rudal yang
dikembangkan oleh Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, untuk menetralisir kemampuan senjata
rudal China dan Korea Utara. Bentuk lainnya adalah pengembangan kemampuan peperangan
anti-kapal selam Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang untuk mengantisipasi ancaman kekuatan
armada kapal selam China dan Korea Utara.
Selain rasa khawatir dan rasa takut yang berlebihan antara satu negara dengan negara
lainnya, yang terdapat di kawasan Asia Timur, adalah tidak adanya kesatuan yang lebih besar,
dalam bentuk regionalisme di kawasan, khususnya dalam isu keamanan. Tidak adanya
regionalisme di kawasan mengakibatkan persaingan kelima negara dalam meningkatkan
kekuatan pertahanannya tidak terkendali, sehingga sulit untuk menghentikan upaya peingkatan
kekuatan militer konvensional dan kekuatan militer non-konvensionalnya. Tidak adanya
kesatuan yang lebih besar di kawasan merupakan salah satu unsur terpenting dari dilema
keamanan, yang terdapat di kawasan Asia Timur.17
Secara garis besar, teori dilema keamanan memiliki relevansi dengan situasi keamanan di
kawasan Asia Timur, terkait peningkatan pertahanan kelima negara. Salah satunya adalah upaya
setiap negara untuk memperkuat pertahanannya sendiri dengan melemahkan pertahanan negara
lainnya.18
Sebagaimana ditunjukan dalam pemaparan sebelumnya, setiap upaya Jepang, Korea
Selatan, dan Taiwan dalam mengembangkan sistem pertahanan anti-rudal dan peperangan anti-
kapal selam, ditujukan untuk melemahkan kemampuan senjata rudal dan kekuatan kapal selam
China dan Korea Utara.
Daya Gentar
16
Shiping Tang, „The Security Dilemma: A Conceptual Analysis‟, Security Studies, vol. 18, no. 3, 2009, pp.
589-590. 17
Shiping Tang, „The Security Dilemma: A Conceptual Analysis‟, p. 590. 18
Shiping Tang, „The Security Dilemma: A Conceptual Analysis‟, p. 592.
9
Pada dasarnya, setiap upaya peningkatan kekuatan pertahanan yang dilakukan oleh
kelima negara pada dasarnya ditujukan untuk memberikan daya gentar terhadap negara
tetangganya. Daya gentar tersebut ditujukan untuk memastikan keamanan dan tetap
berlangsungnya stabilitas di kawasan bagi kelima negara. Contoh dari daya gentar yang
ditunjukan, sebagaimana akan dibahas dalam bab pembahasan berikutnya, adalah pengembangan
dan ujicoba senjata rudal dan nuklir Korea Utara, pengembangan jet tempur siluman J-20 dan
pembuatan kapal induk yang dilakukan China, proyek pengembangan jet tempur siluman ATD-X
dan produksi kapal selam kelas Soryu serta kapal perusak kelas Izumo oleh Jepang, pembelian
beberapa unit jet tempur F-35 dari AS yang dilakukan oleh Taiwan dan Korea Selatan.
Konsep daya gentar diperlukan dalam penelitian, mengingat relevansinya dalam
penelitian, sebagaimana yang ditunjukan oleh kemampuan kelima negara dalam menunjukan
kemampuan pertahanannya dengan meningkatkan kemampuan persenjataannya. Secara definitif,
daya gentar memiliki definisi sebagai upaya untuk mencegah timbulnya ancaman dari pihak luar
dengan menunjukan kekuatan berupa aksi secara langsung. Adapun pengertian lainnya adalah
menunjukan kredibilitas berupa kemampuan atau kekuatan yang dimiliki sehingga pihak lawan
berfikir dua kali sebelum melakukan ancaman atau tindakan.19
Kekuatan Militer Konvensional
Dalam penelitian, kelima negara mengembangkan kekuatan militer konvensionalnya
untuk menetralisir ancaman negara tetangganya. Kekuatan militer konvensional yang
dikembangkan khususnya pada matra angkatan laut kelima negara, mengingat luasnya perairan
di kawasan dan pentingnya wilayah maritim sebagai urat nadi ekonomi negara-negara di
kawasan. Hal tersebut, sebagaiman akan dibahas dalam bab pembahasan selanjutnya, ditunjukan
bagaimana China, Jepang, dan Korea Selatan, Korea Utara, dan Taiwan, mengembangkan blue
water navy, peperangan anti-kapal selam, kekuatan kapal selam, dan penebaran ranjau laut.
Secara definitif, kekuatan militer konvensional dapat diartikan sebagai kekuatan militer,
yang secara umum dibagi kedalam tiga matra, yaitu angkatan darat, laut, dan udara. Kekuatan
militer konvensional adalah kekuatan militer dengan kemampuan untuk menggelar operasi
dengan menggunakan persenjataan konvensional. Maka dari itu, konsep tersebut memiliki
19
Joint Publication 1-02, Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms, Department of
Defense Instruction, Washington D.C., 2010, p. 73.
10
relevansi dengan penelitian berupa pengembangan kekuatan laut yang dilakukan kelima negara
di kawasan Asia Timur.20
Kekuatan Militer Non-Konvensional
Selain persaingan kelima negara di kawasan dalam meningkatkan kekuatan lautnya,
sumber ancaman lainnya bagi stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur, sebagaimana akan
dibahas nanti, adalah proliferasi senjata rudal dan nuklir di kawasan, khususnya terkait
pengembangan yang dilakukan oleh Korea Utara dan China. Upaya kedua negara tersebut
menimbulkan kekhawatiran bagi Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, sehingga memaksanya
untuk mengembangkan sistem pertahanan anti-rudal, melalui kerjasamanya dengan AS. Untuk
itulah engembangan senjata pemusnah massal yang dilakukan oleh kelima negara tersebut perlu
untuk ditelaah lebih lanjut.
Kekuatan militer non-konvensional adalah kekuatan militer yang digunakan untuk
menghadapi musuh secara asimetris dengan menggunakan persenjataan non-konvensional,
seperti senjata pemusnah massal, yang terdiri dari seperti rudal balistik, senjata nuklir, senjata
kimia, dan senjata biologi.21
Selain penggunaan senjata pemusnah massal, kekuatan militer non-
konvensional lainnya adalah kemampuan untuk melakukan peperangan pada kedua matra diluar
kekuatan militer konvensional, seperti area luar angkasa dan peperangan siber.22
Terkait
penelitian, konsep tersebut memiliki relevansinya dengan pengembangan senjata rudal dan nuklir
yang dilakukan oleh Korea Utara dan China, serta pengembangan sistem pertahanan anti-rudal
yang dikembangkan oleh Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan.
E. Hipotesis
Pengembangan kekuatan militer konvensional dan non-konvensional yang dilakukan
kelima negara – China, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, dan Taiwan – diakibatkan oleh
dilema keamanan di kawasan yang mendorong kelima negara melakukannya. Tujuan kelima
negara meningkatkan kekuatan militer konvensional dan non-konvensional adalah untuk
memastikan keamanannya dengan memberikan daya gentar terhadap negara-negara tetangganya.
Upaya yang dilakukan oleh kelima negara dalam meningkatkan kekuatan militer konvensional
20
Joint Publication 1-02, Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms, p. 57. 21
Joint Publication 1-02, Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms, p. 284. 22
Joint Publication 1-02, Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms, p. 64.
11
dan non-konvensional dilakukan dengan memperkuat pertahanannya dengan memperlemah
pertahanan tetangganya, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan satu sama lain.
F. Jangkauan Penelitian
Jangkauan penelitian difokuskan pada upaya kelima negara meningkatkan kekuatan
persenjataannya, baik persenjataan konvensional maupun non-konvensional. Adapun aspek-
aspek lainnya yang tidak terkait dengan kedua hal tersebut diminimalisir supaya penelitian tidak
keluar dari inti pembahasan. Dari segi kurun waktu, fokus penelitian diprioritaskan pasca
peristiwa 9/11, dikarenakan dilema keamanan kelima negara mengalami peningkatan yang
signifikan pada kurun waktu tersebut.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode eksploratif melalui pengumpulan data dalam bentuk studi literatur. Kajian literatur yang
digunakan dalam penelitian mengedepankan penggunaan buku-buku yang relevan dengan
penelitian sebagai bahan pengkajian. Selain buku, sumber lain yang digunakan diantaranya
adalah artikel jurnal, laporan, dan artikel internet untuk menunjang penelitian.
H. Sistematika Penelitian
Secara keseluruhan, pembahasan dari penelitian akan dibagi kedalam empat bab.
Bab Satu menjadi dasar utama penelitian membahas tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, kerangka dasar berfikir, reviu literatur, hipotesis, jangkauan penelitian,
metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab Dua membahas tentang data-data yang memperkuat tentang peningkatan
kemampuan pertahanan kelima negara di kawasan Asia Timur.
Bab Tiga membahas pengembangan kekuatan militer non-konvensional yang dilakukan
kelima negara di kawasan Asia Timur.
Bab Empat membahas peningkatan kekuatan militer konvensional yang dilakukan kelima
negara di kawasan Asia Timur.
Bab Lima membahas kesimpulan sekaligus penutup dari penelitian.