BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pola hidup agraris terus dipraktikkan dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat di Pematang Raya. Pola hidup agraris tersebut dipertahankan karena struktur sosial-ekonomi yang ada pada mayoritas masyarakat di Pematang Raya, yaitu sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Dari jumlah luas Pematang Raya, yaitu 3.800 Ha atau 38 km², lahan lebih banyak digunakan sebagai lahan pertanian nonsawah oleh masyarakat yaitu seluas 3.257 Ha. Sektor pertanian merupakan sumber daya yang sangat menentukan perekonomian masyarakat Pematang Raya. Sejak tahun 2008, Pematang Raya yang terletak di Kecamatan Raya menjadi ibukota kabupaten yang baru. Ini menyebabkan Pematang Raya terus mengalami perkembangan dan pembangunan. Kebutuhan atas tanah untuk pelaksanan program pembangunan pun semakin meningkat. Program pembangunan tersebut berhadapan dengan pola hidup agraris yang dipraktikkan masyarakat Pematang Raya. Banyak terdapat masalah penjualan maupun pelepasan lahan di Pematang Raya karena lahan pertanian merupakan sektor yang sangat menentukan perekonomian mayoritas masyarakat. Sejauh ini Pemerintah Kabupaten Simalungun telah mengambilalih sejumlah tanah milik masyarakat guna pembangunan ibukota baru dengan memberikan biaya pembebasan lahan ataupun ganti rugi lahan kepada masyarakat.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pola hidup agraris terus

dipraktikkan dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat di Pematang Raya.

Pola hidup agraris tersebut dipertahankan karena struktur sosial-ekonomi yang

ada pada mayoritas masyarakat di Pematang Raya, yaitu sebagian besar

masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Dari jumlah luas Pematang Raya, yaitu

3.800 Ha atau 38 km², lahan lebih banyak digunakan sebagai lahan pertanian

nonsawah oleh masyarakat yaitu seluas 3.257 Ha. Sektor pertanian merupakan

sumber daya yang sangat menentukan perekonomian masyarakat Pematang Raya.

Sejak tahun 2008, Pematang Raya yang terletak di Kecamatan Raya

menjadi ibukota kabupaten yang baru. Ini menyebabkan Pematang Raya terus

mengalami perkembangan dan pembangunan. Kebutuhan atas tanah untuk

pelaksanan program pembangunan pun semakin meningkat. Program

pembangunan tersebut berhadapan dengan pola hidup agraris yang dipraktikkan

masyarakat Pematang Raya. Banyak terdapat masalah penjualan maupun

pelepasan lahan di Pematang Raya karena lahan pertanian merupakan sektor yang

sangat menentukan perekonomian mayoritas masyarakat. Sejauh ini Pemerintah

Kabupaten Simalungun telah mengambilalih sejumlah tanah milik masyarakat

guna pembangunan ibukota baru dengan memberikan biaya pembebasan lahan

ataupun ganti rugi lahan kepada masyarakat.

2

Kajian ini fokus pada masalah penjualan lahan pertanian Simandame,

Pematang Raya milik masyarakat yang diminta oleh Pemerintah Kabupaten

Simalungun untuk program pembangunan. Para pemilik lahan pertaniaan

Simandame selama ini memanfaat lahan pertanian mereka untuk pertanian

nonsawah. Luas lahan pertanian Simandame adalah 100 Ha dan kebanyakan

ditanami Kopi Arabika (produktif) oleh petani. Masalah tersebut melibatkan lebih

dari 100 (seratus) orang pemilik lahan. Mereka mengelola lahan mereka dari

tahun ke tahun untuk memenuhi kebutuhan hidup, menyekolahkan anak-anak

mereka, dan untuk tabungan masa depan keluarga mereka. Program pembangunan

Pematang Raya sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun yang baru,

mempengaruhi pola hidup agraris yang dipraktikkan seluruh masyarakat

Pematang Raya; termasuk para pemilik lahan pertanian Simandame. Namun

pembangunan tersebut tidak membuat pola hidup agraris yang selama ini

dipraktikkan oleh masyarakat menjadi berubah.

Kajian ini dianggap penting karena beberapa alasan. Alasan pertama,

struktur sosial-ekonomi yang dijawatahkan melalui tindakan sosial masyarakat

secara langsung biasanya berpengaruh terhadap arah kebijakan pemerintah daerah.

Alasan kedua, setiap pembangunan daerah, khususnya untuk daerah yang

dikembangkan menjadi ibukota baru, harus didukung penuh oleh masyarakat yang

ada daerah tersebut agar pembangunan daerah menjadi lancar dan memberikan

keuntungan bagi masyarakat.

3

Telaah pembangunan daerah bukan hanya studi mengenai peran utama

pemerintah dalam pembangunan tersebut, tetapi juga mengenai masyarakat

dengan struktur dan tindakan-tindakan sosial yang dipraktikkan dalam kehidupan

mereka. Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mempercepat pembangunan

ekonomi karena mereka juga merupakan stakeholder proses pembangunan.

Mayoritas masyarakat di Pematang Raya adalah bermata pencaharian sebagai

petani, pola hidup agraris yang mereka praktikkan selama ini seharusnya

memberikan dampak terhadap penerapan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

daerah. Program kebijakan Pemerintah Kabupaten Simalungun akan dapat

diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait, apabila sesuai dengan

situasi dan kondisi masyarakat di Pematang Raya.

Pada kajian-kajian terdahulu menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya

masyarakat mampu mempengaruhi perilaku para birokrat dalam pencapaian

kebijakan-kebijakan yang berguna bagi pembangunan suatu wilayah. Salah satu

studi pernah dilakukan di Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.1

Studi tersebut menunjukkan bahwa birokrasi daerahnya sangat dipengaruhi oleh

sistem nilai budaya Dayak. Keberhasilan kinerja birokrasi daerah yaitu:

pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan dapat dicapai dengan

penerapan nilai-nilai budaya masyarakat lokal oleh para birokrat. Penerapan nilai-

nilai budaya lokal tersebut akan mendukung proses kegiatan dan tujuan dari

kinerja birokrasi itu sendiri.

1 Gotat, Pengaruh Nilai Budaya Dayak Terhadap Kinerja Birokrasi Daerah: Studi Tentang

Penafsiran Sistem Nilai Budaya Dayak Terhadap Pelaksanaan Birokrasi Daerah Kabupaten

Kotawaringin Provinsi Kalimantan Timur, (Yogyakarta, Jurusan Pemerintahan, Program

Sarjana FISIPOL UGM, 2002).

4

Nilai budaya yang melekat pada masyarakat Kabupaten Kota Waringin

Timur adalah nilai budaya Betang,2 yaitu; nilai atau prinsip hidup masyarakat

yang mengandung sistem kebersamaan, kesetaraan, keterbukaan dalam setiap

aspek kehidupan yang terkandung dan dijalankan masyarakat setempat. Dalam

masyarakat tersebut terdapat lembaga adat yang disebut Damang. Damang yang

dipimpin oleh seorang tokoh adat dan pemimpin informal dalam masyarakat

Dayak yang mempunyai pengaruh besar bagi masyarakatnya. Damang mampu

mempengaruhi warganya untuk mendukung maupun melaksanakan

pembangunan. Damang juga mampu memberikan masukan maupun kritikan

terhadap kinerja atau pelaksanaan birokrasi di Kabupaten Kotawaringin Timur.

Budaya itulah mempengaruhi setiap proses pembangunan yang dijalankan oleh

birokrasi daerah. Maka dari itu, kinerja pemerintah daerah akan berjalan secara

maksimal apabila nilai-nilai budaya Betang diikutsertakan dalam setiap proses

pembangunan.

Akan tetapi di beberapa daerah menunjukkan bahwa sering kali terjadi

konflik dalam pembangunan, khususnya pembangunan suatu kota: yaitu konflik

tanah karena tidak adanya kesepakatan antara masyarakat pemilik tanah dengan

pemerintah daerah, maupun antara masyarakat dengan pengusaha/pihak swasta.

Pada kajian terdahulu yang dilakukan di Kabupaten Banggai,3 Sulawesi Utara

menunjukkan perlawanan masyarakat petani Singkoyo yang bertujuan untuk

memperjuangkan hak, kepentingan, dan memperkuat posisi tawar petani dalam

2 Ibid.,

3 Nur Rosintah Triana Tahwali, Gerakan Masyarakat Petani Merespon Program Kemitraan

Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Singkoyo Kabupaten Banggai, (Yogyakarta:

Program Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Program

Pascasarjana, FISIPOL UGM).

5

kemitraan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di PT Kurnia Luwuk Sejati.

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat menentukan perekonomian

Kabupaten Banggai. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian

sebagai petani, sekitar 93,98 % desa di Kabupaten Banggai berpotensi dalam

sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan. Program

Pengembangan Perkebunan kelapa sawit di kabupaten tersebut memanfaatkan

areal hutan produksi serta areal penggunaan lain-lain; sebenarnya merupakan

salah satu kebijakan Pemerintah Kabupaten Banggai dalam memacu pertumbuhan

ekonomi untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan pembangunan daerah.

Akan tetapi program pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh PT

Kurnia Luwuk Sejati dengan Pemerintah malah menimbulkan berbagai

keresahan.4 Pertama, program pengembangan yang sepihak tanpa melibatkan

partisipasi masyarakat petani dalam proses perumusan program pengelolaan.

Kebijakan program pengelolaan kelapa sawit dengan pola kemitraan, dianggap

mengakomodasi peran dan kepentingan perusahaan, serta pihak-pihak tertentu

saja tanpa partisipasi petani dan masyarakat sekitar perkebunan. Kedua, upaya

yang telah dilakukan Pemerintah untuk mengatasi masalah petani plasma dan

masyarakat sekitar perkebunan dengan menghadirkan perusahaan baru tidak

melibatkan peran serta masyarakat. Penyelesaian masalah perkebunan kelapa

sawit, berdampak pada kerugian petani dan masyarakat. Ketiga, respon

masyarakat sekitar perkebunan yang kehilangan sumber penghidupan karena

lahan atau tanah yang menjadi sumber perekonomian dan pendapatan

4 Ibid.,

6

dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Perluasan lahan perkebunan sawit

berdampak pada hilangnya sumber perekonomian petani dan lingkungan. Program

pengembangan perkebunan yang lebih berorientasi pada pasar tanpa

mempertimbangkan kondisi kultur sosial ekonomi masyarakat, telah

mendiskriminasi masyarakat dalam upaya pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi masyarakat.

Proses pergerakan masyarakat petani Singkoyo awalnya tidak terstruktur,

kemudian dimobilisasi melalu proses framing (pendidikan dan pelatihan) sehingga

lebih terstruktur dengan tujuan yang jelas.5 Organisator gerakan perlawanan

petani Singkoyo memobilisasi massa dengan memanfaatkan peluang otonomi

daerah, isu demokratisasi, pemilihan Kepala Daerah dan membingkai kejadian-

kejadian kontemporer sehingga menimbulkan kepercayaan publik. Pergerakan

masyarakat petani dilakukan dengan perjuangan secara konvensional atau amuk

(pendudukan, sabotase, konsolidasi, dan legalisasi).

Proses perjuangan yang dilakukan mendorong respon dari aktor-aktor

pemerintah dan swasta (perusahaan) dengan berbagai motif kepentingan.6 Elit-elit

lokal yang akan berkontestasi dalam Pemilu Kepala Daerah ikut terlibat dalam

situasi gerakan ketika melihat adanya peluang bahwa gerakan mampu menarik

simpati dan bisa dijadikan sumber-sumber perolehan suara dalam Pemilihan

Kepala Daerah. Organisasi petani berkoalisi dengan aktor lainnya namun tetap

memperjuangkan agenda-agenda organisasi yang menjadi komitmen bersama.

Namun, proses pergerakan masyarakat petani Singkoyo sejak 2008 belum mampu

5 Ibid.,

6 Ibid.,

7

merubah kebijakan kemitraan pengelolaan perkebunan yang berpihak pada

masyarakat petani. Meskipun demikian, momentum gerakan masyarakat petani

Singkoyo merupakan titik tolak upaya keterlibatan masyarakat untuk

memposisikan keberadaan mereka sejajar dengan aktor pembangunan lainnya

(pemerintah dan swasta).

Kajian lain menunjukkan terjadinya konflik tanah antarmasyarakat pada

pusat pertumbuhan baru. Konflik tanah tersebut didasarkan pada masalah

pengambilahilan tanah masyarakat untuk mendirikan bangunan sarana dan

prasana oleh Pemerintah Daerah, serta untuk tempat usaha para investor.

Kegagalan pemerintah daerah dalam mengendalikan harga tanah dianggap sebagai

pemicu terjadinya konflik. Kelurahan Wailiti yang terletak di pinggiran Kota

Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggarra Timur mengalami konflik

ketika terjadi pengembangan kota yang berdampak pada kenaikan harga tanah.7

Pemerintah dinilai tidak mampu mengendalikan tanah sebagai objek kepentingan

baik itu oleh negara, pemilik modal maupun masyarakat.

Kajian tersebut mengutarakan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam

masyarakat Wailiti yang umumnya bekerja sebagai petani dalam memaknai

tanah.8 Tanah yang sebelumnya dimaknai sebagai faktor produksi telah berubah

dengan memaknai tanah sebagai benda (barang dagangan) dengan nilai ekonomis

tinggi. Sebelumnya tanah-tanah di Wailiti merupakan tanah tak berpenghuni yang

dikuasi oleh negara, kemudian masyarakat menggarapnya. Akan tetapi, proses

7 Ambrosius Peter, Berebut Tanah (Studi Tentang konflik Horizontal Pertanahan di Kelurahan

Wailiti Kecamatan Alok Barat Kebupaten Sikka), (Yogyakarta: Program Studi Ilmu Politik

Konsentraasi Politik Lokal & Otonomi Daerah, Program Pascasarjana, FISIPOL UGM, 2011). 8 Ibid.,

8

penggarapan tersebut tidak dilanjutkan oleh masyarakat karena kondisi tanah yang

tandus sehingga tanah-tanah itu pun ditelantarkan. Ketika ada pengembangan kota

dan pembangunan sampai ke wilayah Wailiti, tanah-tanah tersebut mengalami

kenaikan harga. Kondisi tersebut menimbulkan situasi saling komplain dalam

kepemilikan tanah.

Ketidakjelasan legalitas kepemilikan tanah akibat adanya tumpang tindih

kepemilikan tanah, menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal pertanahan:

yaitu antara sesama anggota masyarakat.9 Kondisi ini memperlihatkan kegagalan

Pemkab.Sikka dalam mengendalikan harga tanah. Hal ini sekaligus menunjukkan

kegagalan negara dalam pengelolaan kekuasaan jika dilihat dari tidak

terkendalinya harga tanah dan persoalan pengadministrasian pertanahan.

Kajian lain menunjukkan masalah konflik tanah ataupun agraria antara

perusahaan perkebunan atau pihak swasta dengan masyarakat. Di Kabupaten

Agam, Sumatera Barat terjadi perebutan kekuasaan atas tanah antara masyarakat

hukum adat dengan perusahaan perkebunan besar seperti PT.Mutiara Agam.10

PT.

Mutiara Agam tersebut mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Masyarakat

mengklaim perusahaan perkebunan tersebut telah mengeksploitasi tanah ulayat

Pasukuan Tanjung Manggopoh yang merupakan identitas penting bagi masyarakat

adat dan keberadaan sebuah Pasukuan di Minangkabau. Masyarakat hukum adat

menuntut pengembalian sekitar 2.000 Ha tanah ulayat milik masyarakat oleh PT.

9 Ibid.,

10 Egie Pratama Mulya, Konflik Tanah Ulayat (Studi Kasus Tanah Ulayat Masyarakat Adat

Pasukuan Tanjung Manggopoh dengan PT.Mutiara Agam, Kabupaten Agam), (Yogyakarta:

Program Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal & Otonomi Daerah, Program Pascasarjana

FISIPOL UGM, 2011).

9

Mutiara Agam. Tuntutan tersebut disertai dengan aksi-aksi sepihak oleh

masyarakat adat dengan pendudukan lahan sengketa.

Reproduksi konflik melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan

masing-masing dalam konflik.11

Konflik ini hadir dan dipicu oleh hasil investigasi

dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), yaitu adanya penyelewengan

PT.Mutiara Agam bekerjasama dengan oknum Pemerintah Daerah terhadap luas

bentangan tanah yang akan dijadikan lahan perkebunan. Seiring hal tersebut,

terdapat surat perjanjian kerjasama lahan yang tidak direalisasikan antara

masyarakat adat dengan perusahaan.

Konflik pun semakin memanas setelah keluar hasil Putusan Pengadilan

Negeri Lubuk Basung yang memenangkan pihak Suku Tanjung Manggopoh

terhadap lahan sengketa.12

Hal ini membuat masyarakat merasa memiliki dasar

hukum dalam pendudukan lahan tanah sengketa. Dalam kondisi ini Pemda dinilai

gagal dalam meresolusi konflik karena pemda bukanlah mediator penyelesaian

konflik yang otonom tetapi ikut terlibat sebagai aktor konflik. Akibatnya, proses

mediasi yang dilakukan tidak tegas dan tidak pernah menghasilkan alternatif

resolusi.

Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa identitas yang terancam

merupakan pendorong gejolak dan konflik dalam masyarakat.13

Konflik yang

berhubungan dengan adat sering terjadi karena pola hubungan kekerabatan di

dalam lingkungan masyarakat adat. Menguatnya konsep adat dalam kehidupan

11

Ibid., 12

Ibid., 13

Ibid.,

10

masyarakat sering berimplikasi pada solidnya kekerabatan dalam masyarakat adat.

Penguatan identitas kelompok ini bisa menjadi konflik karena terjadi ancaman

bagi harga diri dan identitas kelompok (sense of identity) yang merupakan sumber

kebanggaan, kebahagian, kekuatan kelompok, dan komunitas. Konflik tanah

ulayat ini merupakan salah satu konflik Sumber Daya Alam yang ditandai dengan

perebutan terhadap akses Sumber Daya Alam oleh para aktor untuk kepentingan

ekonomi masing-masing.

Pembangunan Pematang Raya sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun

yang baru telah mengancam dan berusaha mengubah pola hidup agraris yang

selama ini dipraktikkan masyarakat Pematang Raya. Pembangunan tersebut telah

mengorbankan lahan-lahan pertanian milik masyarakat di Pematang Raya yang

merupakan sumber daya ekonomi utama. Tidak seperti nilai Budaya Betang milik

Suku Dayak yang mempengaruhi perilaku Birokrat Kabupaten Kotawaringin

Timur, Prov. Kalimantan Tengah; pola hidup agraris yang dipraktikkan oleh

masyarakat Pematang Raya ternyata tidak sepenuhnya mempengaruhi kebijakan-

kebijakan Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk program pembangunan.

Akan tetapi pembangunan Pematang Raya yang mengorbankan sektor

agraris yang selama ini dipertahankan masyarakat tersebut, tidak menimbulkan

konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Kabupaten Simalungun. Hal ini

berbeda dengan masyarakat petani Singkoyo, Kab. Banggai, Sulawesi Utara yang

melakukan perlawanan terhadap pihak Pemerintah Daerah dan juga Pihak Swasta

karena perluasan lahan perkebunan kepala sawit milik PT Kurnia Luwuk Sejati

berdampak pada hilangnya sumber perekonomian petani plasma. Ini juga berbeda

11

dengan masyarakat Kabupaten Agam yang melakukan perlawan terhadap

perusahaan perkebunan besar, yaitu PT Mutiara Agam karena telah

mengeksploitasi tanah ulayat Pasukuan Tanjung Manggopoh yang merupakan

keberadaan sebuah Pasukuan di Minangkabau; walaupun Pematang Raya sendiri

mayoritas dihuni oleh Suku Batak Simalungun yang tentunya memiliki adat dan

budaya.

Peningkatan pembangunan Pematang Raya yang mengorbankan lahan

pertanian masyarakat juga tidak dapat dimanfaatkan oleh elit-elit lokal untuk

menggerakkan masyarakat dalam melakukan perlawanan kepada Pemerintah

Daerah. Hal ini berbeda dengan elit-elit lokal Kab.Banggai yang terlibat dalam

masalah petani Singkoyo untuk menarik simpati masyarakat agar bisa menjadi

sumber perolehan suara dalam Pemililihan Kepala Daerah berikutnya. Padahal

masalah pembangunan yang mengancam pola hidup agraris masyarakat Pematang

Raya tersebut bisa digunakan oleh elit-elit lokal maupun kompetitor Kepala

Daerah untuk menggulingkan kekuasaan Pemerintah Kabupaten Simalungun.

Seperti kajian lain yang dibahas dalam latar belakang masalah ini, yaitu

pada masyarakat Kelurahan Wailiti, Kota Maumere, Nusa Tenggara Timur;

masyarakat yang umumnya bekerja sebagai petani awalnya mamaknai tahan

sebagai faktor produksi. Ketika ada pengembangan kota dan pembangunan

sampai ke wilayah Wailiti, terjadi perubahan pemaknaan tanah oleh masyarakat

dimana tanah dimaknai sebagai benda (barang dagangan) dengan nilai ekonomis

tinggi. Maka dari itu, kesediaan masyarakat Pematang Raya dalam mengorbankan

lahan-lahan pertanian mereka untuk program pembangunan menimbulkan

12

pertanyaan; apakah hal tersebut terjadi karena ada pergeseran nilai-nilai dalam

masyarakat; apakah pola hidup agraris yang selama ini dipraktikkan oleh

masyarakat Pematang Raya mengalami perubahan.

B. RUMUSAN PERTANYAAN

Adapun yang menjadi rumusan pertanyaan dalam kajian ini adalah:

1. Bagaimana dialektika antara agen dan struktur dalam pengelolaan lahan

pertanian Simandame, Pematang Raya?

C. KERANGKA TEORI

Studi ini menyepakati bahwa aturan-aturan dan sumber daya yang

dipraktikkan dalam kehidupan sosial secara berulang dalam lintas ruang dan

waktu adalah struktur. Sedangkan orang-orang konkret yang patuh terhadap

struktur tersebut dan terlibat dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa disebut

sebagai pelaku (actor) atau agen. Maka dari itu, studi ini akan menggunakan teori

strukturasi Giddens untuk menjelaskan bagaimana pola hidup agraris terus

dipraktikkan dan dipertahankan oleh masyarakat. Pola hidup agraris itu

merupakan struktur signifikasi yang menyangkut simbolik, pemaknaan, dan

wacana.

Pada hakekatnya, agen-struktur juga merefer pada mikro-makro. Pada

level mikro adalah aktor manusia, yang mana tindakannya dapat merefleksikan

pada “tindakan kolektif.” Sebaliknya, struktur yang berada pada level makro juga

13

dapat merefleksikan kondisi mikro. Dengan melihat struktur, dapat diketahui

bagaimana tindakan individu dalam masyarakat atau kelompok masyarakat

tertentu.

Pola hidup agraris merupakan suatu tindakan yang dipraktikkan oleh

masyarakat suatu daerah karena mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai

petani. Dalam hubungan antara agen-struktur, pola hidup agraris yang

dipraktikkan masyarakat dapat merefleksikan tindakan aktor manusia; termasuk

Pemerintah Daerah. Demikian juga sebaliknya, tindakan ataupun kebijakan yang

ambil oleh Pemerintah Daerah dapat merefleksikan pola hidup agraris yang

dipraktikkan masyarakat suatu daerah.

14

1. TEORI STRUKTURASI

Dalam rangka Teori Strukturasi, Giddens membedakan antara “struktur”

dan “sistem” yaitu:14

Struktur Sistem Strukturasi

Aturan dan sumber

daya, atau seperangkat

relasi transformasi,

terorganisasi sebagai

kelengkapan-

kelengkapan dari sistem-

sistem sosial.

Relasi-relasi yang

direproduksi di antara

para aktor atau

kolektivitas, teorganisasi

sebagai praktik-praktik

sosial regular.

Kondisi-kondisi yang

mengatur keterulangan

atau transformasi

struktur-struktur dan

karenanya reproduksi

sistem-sistem sosial itu

sendiri.

Giddens mengenali adanya baik dimensi sintagmatik maupun

paradigmatik dalam penstrukturan hubungan-hubungan sosial (structuring of

social relations).15

Dimensi sintagmatik meliputi reproduksi praktik-praktik yang

tadinya terikat pada ruang-waktu tertentu (reproduction of situated practices).

Sedangkan dimensi paradigmatik meliputi suatu tata virtual cara-cara

penstrukturan (modes of structuring) yang terlibat berulangkali dalam proses

reproduksi tersebut. Struktur dipahami sebagai “kumpulan aturan dan sumber

daya yang berulangkali terorganisasikan” (recursively organized sets of rules and

resources). Struktur merujuk pada sifat-sifat penstrukturan (structuring

properties) yang memberikan bentuk sistemik pada kegiatan-kegiatan sosial

serupa dan yang memungkinkan mereka bertahan dalam lintas waktu dan ruang.

14

Anthony Giddens, Teori Strukturasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p. 40. 15

Martin Suhartono, Basis (Edisi Khusus Anthony Giddens), Januari – Februari 2000 , p. 27.

15

Sedangkan sistem-sistem sosial (social system) sebagai “praktik-praktik

sosial yang direproduksikan” (reproduced social practices),16

yaitu berupa

kegiatan-kegiatan terikat ruang-waktu tertentu dari pelaku manusia…diadakan

kembali dalam lintas waktu dan ruang serta secara berulang-ulang melibatkan

struktur di dalamnya. Sistem-sistem sosial tak memiliki struktur-struktur, tetapi

menunjukkan sifat-sifat struktural (structural properties). Struktur ada hanya

dalam perwujudan seketika (instantiations) dalam sistem-sistem sosial dan

sebagai jejak-jejak ingatan (memory traces) bagi orientasi perilaku manusia.

Struktur tidaklah berada “di luar” aktor individu. Agen atau aktor (pelaku) adalah

orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu” tindakan dan peristiwa di dunia.

Pertama dan terutama harus disajikan teori strukturasi adalah hubungan

antara agen atau pelaku (tindakan) dan struktur, yaitu berupa relasi dualitas

(timbal-balik), bukan dualisme (tegangan atau pertentangan).17

Hubungan antara

struktur dan agen bukanlah pada relasi dualisme (dualism), yaitu pelaku versus

struktur. Giddens memproklamirkan hubungan keduanya sebagai relasi dualitas

(duality): “tindakan dan struktur saling tergantung serta saling mengandaikan satu

sama lain.” Teori strukturasi bukanlah aktor individual, bukan pula totalitas

masyarakat, melainkan “praktik sosial yang terpola dalam lintas ruang dan

waktu.” Maka dari itu, dualitas itu terjadi dalam “praktik sosial yang berulang dan

terpola dalam lintas ruang dan waktu.”

16

Ibid., 17

B.Herry-Priyono, Anthony Giddens Suatu Penghantar, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia, 2002), p. 18, 22.

16

Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses di mana “struktur sosial

merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial.18

Struktur sejajar dan analog dengan langue (yang mengatasi waktu dan ruang),

sedangkan praktik sosial analog dengan parole (dalam waktu dan ruang).

Berdasarkan dualitas antara struktur dan pelaku tersebut, Giddens kemudian

membangun suatu teori yang disebut Teori Strukturasi. Strukturasi adalah proses

bagaimana praktik-praktik sosial yang dijalankan dalam lintas ruang dan waktu

menjadi sebuah struktur.

Sentralitas waktu dan ruang merupakan poros yang menggerakkan teori

strukturasi.19

Waktu dan ruang biasanya dipahami sebagai arena dan ruang atau

panggung tindakan (stage), ke mana kita masuk, dari mana kita keluar. Giddens

menyatakan bahwa waktu dan ruang bukanlah arena atau panggung tindakan,

melainkan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya,

tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Pokok ini juga yang membuat Giddens

menamakan teorinya sebagai “struktur-asi,” sebagaimana setiap akhiran “is (asi)”

menunjukkan pada kelangsungan proses. Artinya, waktu dan ruang merupakan

unsur yang tidak-bisa-tidak (sine qua non) bagi terjadinya peristiwa atau gejala

sosial.

Relasi dualitas antara pelaku dan struktur yang merupakan hal pertama dan

terutama dalam teori strukturasi. Dualitas terletak dalam fakta bahwa suatu

“struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip praktik-praktik di berbagai tempat

dan waktu merupakan hasil perulangan berbagai tindakan manusia, sebaliknya,

18

Ibid., p. 19. 19

Ibid., p. 19-20.

17

terdapat pula skemata yang mirip “aturan”, juga menjadi sarana (medium) bagi

berlangsungnya praktik sosial.20

Giddens menyebut skemata itu struktur. Sifat

struktur adalah mengatasi waktu dan ruang (timeless and spaceless) serta maya

(virtual) sehingga dapat diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi. Bagi

Giddens, struktur bukan hanya bersifat mengekang (constraining), melainkan

struktur juga bersifat memberdayakan (enabling). Itulah sebabnya Giddens

melihat struktur sebagai sarana (medium dan resources).

Bagi Giddens struktur bukanlah benda melainkan “skemata yang hanya

tampil dalam praktik-praktik sosial.”21

Pertama, struktur penandaan atau

signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan,

penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination)

yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang atau hal

(ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang

mencakup skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum.

Skemata tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:22

Struktur Wilayah Teoritis Tata Institusional

Signifikasi Teori Pengodean Tata-tata simbolis

Dominasi

Teori autorisasi sumber daya

Teori alokasi sumber daya

Institusi politik

Institusi ekonomi

Legitimasi Teori regulasi normative Institusi hukum

20

Ibid., p. 22-23. 21

Ibid., p. 24-25. 22

Anthony Giddens., Op.Cit., p. 53.

18

Kita bisa memahami relasi-relasi yang terlibat antara signifikasi, dominasi,

dan legitimasi itu seperti berikut:

S-D-L tata simbolis/bentuk wacana

D (otoritas)-S-L Institusi politik

D (alokasi)-S-L Institusi ekonomi

L-D-S Institusi hukum

Keterangan: S = Signifikasi, D = Dominasi, L = Legitimasi

Dalam gerak praktik-praktik sosial, ketiga gugus prinsip struktural:

signifikasi, dominasi, dan legitimasi adalah terkait satu sama lain. Struktur

signifikasi pada gilirannya juga mencakup struktur dominasi dan legitimasi.23

Contohnya, skemata simbolik dan pemaknaan terhadap lahan pertanian sebagai

sektor terpenting dalam pendapatan masyarakat. Struktur signifikasi tersebut pada

gilirannya menyangkut struktur dominasi dan struktur legitimasi di mana upaya

suatu masyarakat/suatu komunitas untuk mempertahankan lahan pertanian mereka

berhadapan dengan kekuasaan Pemerintah Daerah.

23

B. Herry-Priyono, Op.Cit.,

19

2. DIALEKTIKA AGEN DAN STRUKTUR

Bagi Giddens, jenis-jenis aturan yang paling penting bagi teori sosial

berada pada lingkup reproduksi praktik-praktik terlembagakan, yaitu praktik-

praktik yang paling mengendap kuat dalam ruang-waktu.24

intensif tahu sama tahu informal memiliki sanksi ringan

: : :

dangkal diskursif formal memiliki sanksi keras

“Struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip praktik-praktik di

berbagai tempat dan waktu serta merupakan perulangan berbagai tindakan,

menimbulkan pertanyaan apakah para pelaku (agency) tahu dan sadar akan hal

tersebut? Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku, yaitu motivasi tak

sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical consciousness), dan

kesadaran diskursif (discursive consciousness).25

Motivasi tak sadar menyangkut

keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan

tindakan itu sendiri. Misalnya, sangat jarang siswa-siswi di sekolah, tidak

terkecuali siswa-siswi sekolah menengah, memakai seragam sekolah karena

digerakkan oleh motivasi “agar tidak tampak kesenjangan sosial jika dilihat dari

pakaian yang dikenakan.” Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita

merefleksikan, memberikan penjelasan rinci, serta eksplisit atas tindakan kita.

Dengan kata lain, kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan

tindakan kita dalam kata-kata. Misalnya, mengapa memakai seragam sekolah?

24

Anthony Giddens, Op.Cit., p. 35. 25

B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 28-29.

20

Mungkin akan jawaban diberikan “karena sudah diwajibkan” atau “saya mau

menghindari hukuman guru.” Kesadaran praktis menunjuk pada gugus

pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Tahu aturan untuk diam saat

masuk tempat ibadah, adalah bentuk kesadaran praktis seperti itu. Kesadaran

praktis melibatkan tindakan yang dianggap agen benar,26

tanpa mampu

mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Tipe

kesadaran praktis inilah yang sangat penting bagi teori strukturasi; berarti teori ini

lebih memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan aktor ketimbang apa yang

dikatakannya.

Kebanyakan aturan dan sumber daya yang terlibat dalam produksi dan

reproduksi praktik-praktik sosial tidak secara formal tertulis dalam hukum. Aturan

dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial

tersebut hanya dipahami secara tahu sama tahu oleh para agen/pelaku: mereka

tahu harus “melanjutkan.”27

Bagi Giddens, sangatlah keliru jika kita meremehkan

kekuatan sanksi-sanksi informal terkait pelanggaran pelaku terhadap aturan dan

sumber daya tersebut. Pola hidup agraris oleh para pelaku atau agen dalam adalah

didasari “tahu sama tahu” antara semua pelaku atau agen tersebut. Tindakan

tersebut terlaksana dalam praktik-praktik kehidupan mereka secara berulang dan

mereka paham alasan mereka untuk mempertahankan tindakan tersebut.

26

George Ritzer & Dauglass J.Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004),

p.509 27

Anthony Giddens, Op.Cit., p. 36-37.

21

Dalam fenomenologi,28

kesadaran praktis merupakan wilayah kepribadian

yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted

knowledge). Gugus pengetahuan yang sudah diandaikan ini merupakan sumber

“rasa aman ontologis” (ontological security), melalui gugus pengetahuan praktis

ini, manusia tahu bagaimana melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus

mempertanyakan terus-menerus apa yang terjadi atau yang mesti dilakukan.

Rutinitas hidup personal dan sosial terbentuk melalui kinerja gugus kesadaran

praktis. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami proses

bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat-laun menjadi struktur,

serta bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik

sosial manusia.

Suatu perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi,29

betapapun

kecilnya perubahan itu. “Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif

sangatlah lentur dan tipis, …tidak seperti antara kesadaran diskursif dan motivasi

tak sadar.” Giddens mengajukan argumen bahwa setiap pelaku punya kemampuan

untuk instrospeksi dan mawas diri (reflexive monitoring of conduct). Perubahan

terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil jarak) ini meluas sehingga

berlangsung “dee-rutinisasi.” Derutinisasi menyangkut gejala di mana skemata

yang selama ini menjadi aturan dan sumber daya dalam tindakan/praktik sosial

tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan

pengorganisasian berbagai praktik sosial yang berlangsung, ataupun yang sedang

diperjuangkan menjadi praktik sosial baru.

28

B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 29. 29

Ibid., p. 30.

22

Bagi Giddens,30

agen akan terus-menerus memonitor pemikiran dan

aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka. Dalam upaya

mereka mencari perasaan aman, aktor merasionalisasikan kehidupan mereka.

Rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang tak

hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan

mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien. Aktor juga

mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini meliputi keinginan dan

hasrat yang mendorong tindakan. Jadi sementara rasionalisasi dan reflektivitas

terus-menerus terlibat dalam tindakan, motivasi dapat dibayangkan sebagai

potensi untuk bertindak, tetapi menurut Giddens sebagian besar tindakan kita

tidak dimotivasi secara langsung. Meski tindakan tertentu tidak dimotivasi dan

motivasi kita umumnya tak disadari, namun motivasi memainkan peran penting

dalam tindakan manusia.

Perubahan pada pola hidup agraris juga dapat terjadi pada masyarakat di

daerah yang dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan baru. Para pelaku dengan

tindakan sosialnya mempunyai kemampuan instrospeksi dan mawas diri.

Perubahan terhadap tindakan/praktik hidup sosial terjadi ketika para pelaku

menganggap bahwa tindakan sosial yang dipraktikkan tidak lagi memadai untuk

dipertahankan karena dianggap tidak memberikan kontribusi positif, tidak

memberikan rasa aman, dan tidak menciptakan kehidupan sosial yang efisien bagi

pelaku ataupun untuk pembangunan daerahnya.

30

George Ritzer & Douglas J.Goodman, Op.Cit.,

23

Keterlibatan hakiki waktu dan ruang tentu juga ikut andil pada perubahan

proses strukturasi.31

Daya konstitutif waktu dan ruang tampak jelas dalam gejala

bahwa waktu dan ruang menentukan makna tindakan kita maupun perbedaan

nama tindakan yang satu dari tindakan yang lain. Sesuatu “tidak hanya berada

dalam waktu (dan ruang); waktu (dan ruang) membentuk makna dari sesuatu

tersebut. Singkatnya, hubungan antara waktu-ruang dan tindakan berupa

hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat kondrati dan menyangkut

makna serta hakikat tindakan itu sendiri, lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak

ada tindakan.

Adanya revolusi dalam koordinasi waktu dan ruang mempunyai implikasi

yang sedemikian mendalam pada tata hidup.32

Kalau waktu dan ruang sebagai

kondisi konstitutif praktik sosial mengalami transformasi yang mendalam, begitu

juga yang terjadi pada praktik sosial. Transformasi dapat menyangkut orientasi

kita pada tradisi, adat, dan berbagai gugus kepercayaan lain. Apa yang dulu

tampak sebagai ketetapan eksternal alami (kodrati) semakin kehilangan daya

pembentuknya terhadap cara hidup kita. Masa lalu semakin kehilangan giginya,

dan “masa depan yang terbuka dengan berbagai skenario menjadi titik perhatian

yang menyeret kita.”

Gejala-gejala tersebut terkait dengan apa yang disebut reflexive monitoring

of action pada taraf individual.33

Sebagaimana yang dikatakan Giddens, “praktik

sosial dikaji dan diperbaharui terus-menerus menurut informasi baru yang pada

31

B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 36-37. 32

Ibid., p. 44-46. 33

Ibid., p. 47.

24

gilirannya mengubah praktik sosial secara konstitutif.” Contohnya tindakan sosial

masyarakat berupa pola hidup agraris yang didesak program pembangunan dan

disuguhi tawaran keuntungan. Praktik sosial berupa pola hidup agraris tersebut

pada gilirannya akan cepat usang dan akhirnya diubah atau bahkan dihapuskan

apabila tidak diperbaharui secara terus-menerus berdasarkan masukan (feedback

mechanism) dari para pelaku (agency) tersebut. Inilah yang disebut dengan

“waktu dan ruang yang merupakan konstitutif praktik sosial telah mengalami

transformasi.” Transformasi yang menyangkut orientasi para pelaku dalam

masyarakat pada tradisi, adat, ataupun kepercayaan lain. Apa yang dulu

tampaknya sebagai ketetapan kodrati atau warisan tradisi semakin kehilangan

daya pembentuknya terhadap praktik sosial.

Maka dari itu, Giddens sangat menekankan arti penting keagenan (agency)

dalam teori struktarasinya.34

Giddens memberikan kekuasaan besar terhadap agen.

Dengan kata lain, menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan

pertentangan dalam kehidupan sosial, bahkan dia lebih yakin lagi bahwa agen tak

berarti apa-apa tanpa kekuasaan. Artinya, aktor berhenti menjadi agen bila ia

kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Giddens tentu saja

mengakui adanya paksaan atau pembatas terhadap aktor, tetapi ini tak berarti

bahwa aktor tidak mempunyai pilihan atau peluang untuk mengubah situasi.

Struktur sering memberikan kemungkinan bagi agen untuk melakukan sesuatu

yang sebaliknya tak akan mampu mereka kerjakan.

34

George Ritzer & Douglas J.Goodman, Op.Cit., p.509-511.

25

Giddens menyatakan pentingnya membedakan istilah kekuasaan (power)

dengan istilah dominasi (domination).35

Dominasi mengacu pada skemata

asimetris hubungan pada tataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut

kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (praktik sosial

atau interaksi). Dalam teori strukturasi, kekuasaan bukanlah gejala yang terkait

dengan struktur ataupun sistem, melainkan kapasitas yang inheren (melekat) pada

pelaku. Karena itu, kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif.

Sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur

dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung di antara pelaku yang konkret

(entah antara jenderal dan kolonel, majikan dan buruh, antara tuan tanah dan

buruh, atau kombinasi dari semua itu).

Penguasaan terjadi lewat mobilisasi struktur dominasi.36

Sumber daya

yang membentuk skemata dominasi, yaitu penguasaan alokatif atas barang/hal

(ekonomi) dan penguasaan otoritatif atas orang (politik); “kekuasaan terbentuk

dalam dan melalui reproduksi [dua] struktur dominasi” ini. Karena kekuasaan

merupakan kapasitas yang inheren pada pelaku, tidak pernah mungkin terjadi

penguasaan total atas orang lain, entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun

penjara. Giddens menamakan gejala ini sebagai dialektika kontrol (the dialectic of

control). Artinya, dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan

ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai: “jika

seorang pelaku (agent) yang tidak terlibat dalam dialektika kontrol, sekalipun

hanya dalam kadar yang minimal, maka sebenarnya dia berhenti menjadi pelaku.”

35

B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 33. 36

Ibid., p.34.

26

3. STRUKTUR SIGNIFIKASI: PEMAKNAAN TANAH SEBAGAI

BENTUK SIMBOLIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Dalam setiap masyarakat terdapat beberapa bentuk simbolis yang

dipertahankan dalam praktik kehidupan mereka. Pengertian simbolis tidaklah

sama dengan pengertian simbol. Erwin Goodenough (dalam Dallistone)

mendefinisikan simbol sebagai berikut:37

“Simbol adalah barang atau pola yang,

apa pun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia,

melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah

dalam bentuk yang diberikan itu.” “Simbol memiliki maknanya sendiri atau

nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuataannya sendiri untuk

menggerakkan kita.” Sedangkan simbolis (A.N. Whitehead dalam Dallistone)

berkaitan dengan pikiran manusia, yaitu pikiran manusia berfungsi sebagai

simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran,

kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain

pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol” dan

perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian

organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan

disebut referensi.”

Tanah merupakan salah satu dari beberapa contoh bentuk simbolis. Bagi

Dallistone,38

tanah mempunyai arti simbolis yang sangat penting bagi kalangan

petani di seluruh dunia. Memiliki sebidang tanah, sekecil apapun, memberi

keyakinan jati diri dan keamanan. Tanah merupakan tanda yang jelas sekali

37

F.W. Dallistone, The Power of Symbols, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2002), p. 18-19. 38

Ibid., p. 50-51.

27

mengenai kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan serta

menyediakan sumber makanan yang dapat diandalkan dari tahun ke tahun. Jati

diri dan rasa percaya diri adalah salah satu perasaan manusia yang terkuat. “Tuhan

melarang saya memberikan kepada Raja warisan ayah saya,” adalah jawaban

Nabot kepada tawaran raja berupa kebun anggur yang jauh lebih unggul sebagai

ganti kebun peninggalan leluhur. Kecintaan atau rasa lekat pada tanah ini, dalam

beberapa masyarakat agraris dihubungkan dengan penghormatan kepada dewi

bumi, ibu pertiwi, yang melahirkan kodrati.

Dalam suatu suku tertentu, tanah juga mempunyai arti simbolis yang

sangat penting. Sebidang tanah yang dimiliki seorang individu, seluas atau

sesempit apa pun, memberikan jati diri atau harga diri terhadap keluarganya,

inilah yang disebut tanah sebagai bentuk simbolis. Jati diri ataupun harga diri

tersebut menyangkut apa yang dirasakan individu terhadap identitas keluarganya

dan penghormatan terhadap keluarganya. Tindakan mempertahankan tanah

warisan keluarga, tindakan mempertahankan tanah hasil pembelian sendiri, semua

itu adalah wujud penghormatan, solidaritas, dan kecintaan kepada keluarganya.

Di beberapa daerah, penduduk suatu desa tidak diperbolehkan menjual

tanah kepada orang dari luar desa itu.39

Hal semacam ini sudah ada yang tidak

dijalankan lagi, tetapi di beberapa daerah hal ini terus dipertahankan. Penjualan

tanah kepada orang di luar desa (daerah) dianggap merugikan desa itu, karena

tanah tidak akan memberi manfaat kepada masyarakat desa itu. Penduduk desa

39

Mochammad Tauchid, Masalah Agraria (Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran

Rakyat Indonesia), (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), 2009), p. 137,

139

28

asli dianggap lebih memahami bagaimana mengelola tanah agar bermanfaat bagi

desa mereka. Hak dan hubungan daerah atas tanah yang juga menentukan dan

mengambil sikap dalam soal tanah di lingkungannya terhadap “orang asing”

(orang dari luar daerah) atau pendatang. Di daerah Batak misalnya, ada “marga

tanah” dan “marga paripe” untuk membedakan orang yang asli-yang berhak atas

tanah dan orang pendatang.

Victor Turner (dalam Dallistone) menyatakan bahwa simbol berfungsi

dalam mengatur kehidupan sosial.40

Bagi Turner ada dua segi yang harus

dipertimbangkan: pertama, penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang

memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari; kedua, munculnya kelompok-

kelompok komunal dengan keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat bersama yang

menata diri mereka dengan cara-cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat luas.

Tanah yang mempunyai arti simbolis bagi masyarakat dalam teori

strukturasi Giddens merupakan struktur signifikasi (menyangkut skemata

simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana) dalam masyarakat. Dalam

refleksi Giddens untuk hal tersebut,41

“tak ada sesuatu yang disebut ideologi; yang

ada hanya aspek-aspek ideologis dari sistem simbol.” “Menganalisis aspek-aspek

ideologis berarti mengkaji bagaimana struktur signifikasi dimobilisasi untuk

membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok yang sedang atau akan

berkuasa.

40

F.W. Dallistone, Op.Cit., p. 111. 41

B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 35-36.

29

Mengenai budaya, Giddens tidak pernah mengajukan definisi formal

tentang budaya.42

Namun menurut Priyono, ada dua kemungkinan. Pertama, dari

sudut pandang yang biasa dipakai oleh para antropolog (budaya sebagai

keseluruhan hidup), budaya menyangkut keseluruhan gugus skemata yang

menjadi prinsip semua praktik sosial, atau struktur dalam pengertian Giddens

(baik itu signifikasi, dominasi, maupun legitimasi, S-D-L). Kedua, dalam arti

yang biasa dipakai oleh para sosiolog, ekonom, dan politikologi (budaya sebagai

gugus nilai), budaya lebih mengacu pada skemata signifikasi dan kegiatan yang

menyangkut skemata signifikasi, seperti: ritus, simbol, cara wacana, dan

semacamnya. Dalam pengertian yang kedua, budaya hanya menunjuk pada S

(signifikasi), dan bukan D (dominasi) serta L (legitimasi). Akan tetapi, perlu

ditegaskan kembali bahwa ketiga gugus prinsip struktural (signifikasi, dominasi,

maupun legitimasi) tersebut adalah terkait satu sama lain. Struktur signifikasi

pada gilirannya juga mencakup struktur dominasi dan legitimasi.

Dewasa ini, menurut Dallistone,43

betapa pun pentingnya secara simbolis,

tanah tidak dapat dipisahkan dari panggung ekonomi yang lebih luas. Ketika

jumlah penduduk masih relatif kecil, banyak sekali tanah belum dikelola, para

petani masih dapat berswasembada dalam mencukupi kebutuhan makanan, dan

pada waktu yang sama dapat menjual hasil surplus mereka kepada orang-orang

kota. Akan tetapi, ketika jumlah penduduk semakin bertambah dan semakin

berkembangnya jaringan interkomunikasi, tanah tidak dapat dibiarkan dengan

hasil yang sedikit karena tetap dipertahankannya praktek-praktek kehidupan

42

Ibid., 43

F.W. Dallistone, Op.Cit., p. 52.

30

tradisional. Tanah dan sumber dayanya yang dahulu dihargai oleh kelompok

sosial manapun sebagai organisme suci yang mengalir dalam urat-urat nadi

mereka, pada akhirnya mungkin hanya dipandang sebagai bagian dari suatu

kompleks ekonomi yang mahabesar.

D. KERANGKA BERPIKIR

Pembangunan ekonomi melibatkan 3 (tiga) stakeholder, yaitu pemerintah,

swasta dan masyarakat. Maka dengan demikian, pembangunan ibukota kabupaten

yang baru akan berjalan lancar jika didukung oleh masyarakat di daerah tersebut.

Dalam masyarakat terdapat praktik-praktik sosial yang terus dipertahankan, yaitu

pola hidup agraris. Pola hidup agraris tersebut lambat laun menjadi aturan-

aturan/sumber daya (struktur) karena terus dipraktikkan dan dipertahankan

masyarakat di Pematang Raya bahkan ketika berhadapan dengan program

pembangunan. Pola hidup agraris tersebut merupakan struktur signifikasi

menyangkut skemata simbolis, pemaknaan, dan wacana mengenai lahan pertanian

oleh masyarakat.

Program

pembangunan

ibukota kabupaten

yang baru oleh

Pemda Pro

Pola hidup

agraris

Kontra

Struktur

31

E. DEFINISI KONSEP

Struktur adalah aturan dan sumber daya yang dipraktikkan secara berulang

ataupun rutin dalam lintas ruang dan waktu.

Agen ataupun aktor (pelaku) adalah orang-orang konkret yang secara

kontinu patuh dan melaksanakan struktur dalam praktik rutin kehidupan

sosialnya.

Strukturasi adalah proses bagaimana praktik-praktik sosial yang dijalankan

oleh para pelaku dalam lintas ruang dan waktu lambat-laun menjadi

sebuah struktur.

F. DEFINISI OPERASIONAL

Berkenaan dengan definisi konsep di atas, maka penulis menyusun definisi

operasional untuk melihat bagaimana proses strukturasi yang terjadi pada

masyarakat di Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.

Beberapa hal ini akan dijelaskan:

Struktur terdiri dari tiga gugus prinsip, yaitu:

a) Struktur signifikasi (struktur penandaan) yang menyangkut skemata

simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Dalam hal ini praktik

sosial pada masyarakat: pola hidup agraris yang selama ini

dipraktikkan oleh masyarakat di Pematang Raya dianggap sebagai

struktur signifikasi.

32

b) Struktur dominasi (struktur penguasaan) yang mencakup skemata

penguasaan atas orang (politik) dan barang atau hal (ekonomi). Dalam

hal ini mengenai ada atau tidak adanya sanksi sosial bagi seseorang

yang tidak menjalankan pola hidup agraris. Ini dianggap sebagai

struktur dominasi yaitu penguasaan atas orang (politik) oleh orang-

orang dalam kehidupannya.

c) Struktur legitimasi (struktur pembenaran) yang mencakup skemata

peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Dalam hal ini

mengenai ada atau tidaknya sanksi hukum bagi seseorang yang tidak

menjalankan pola hidup agraris.

Agen atau aktor (pelaku) yaitu: orang-orang yang konkret dalam “arus

kontinu” tindakan dan peristiwa yang menyangkut pola hidup agraris:

khususnya pola hidup agraris yang dipraktikkan masyarakat petani

Simandame, Pematang Raya. Dalam hal ini ada 3 (tiga) agen yang terlibat

dalam proses strukturasi, yaitu:

a. Masyarakat Petani Simandame, Pematang Raya;

b. Bupati dan Birokrasi Simalungun;

c. DPRD Kabupaten Simalungun.

33

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Studi ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu untuk

mengungkapkan fakta/keadaan mengenai masalah pengelolaan lahan pertanian di

Pematang Raya, khususnya oleh masyarakat petani Simandame. Studi

menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara. Alasannya, struktur yang

merupakan aturan-aturan dan sumber daya yang dipraktikkan secara berulang atau

rutin sehingga menjadi struktur. Dengan kata lain, struktur itu terbentuk melalui

suatu proses, artinya: waktu dan ruang merupakan unsur yang tidak-bisa-tidak

(sine qua non) bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial. Penggunaan riset

deskriptif kualitatif akan berupaya untuk mencari makna suatu tindakan

masyarakat dalam kehidupan sosial dari sudut pandang atau pemahaman individu-

individu dalam masyarakat sehingga diperoleh suatu pemahaman mengenai

bagaimana suatu aturan dan sumber daya dapat dipraktikkan secara bersama

dalam kehidupan sosial masyarakat; bagaimana aturan/sumber daya itu lambat-

laun menjadi struktur yang terus dipraktikkan dan dipertahankan oleh para pelaku.

Melalui gugus pengetahuan praktis, para pelaku tahu bagaimana

melaksanakan serta mempertahankan aturan dan sumber daya tersebut dalam

praktik sosial tanpa harus mempertanyakan secara terus-menerus apa yang terjadi

atau yang mesti dilakukan. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk

memahami proses bagaimana tindakan dalam praktik sosial lambat-laun menjadi

struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan

tindakan/praktik sosial para pelakunya.

34

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan efektif dalam menjelaskan

masalah dalam studi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data

melalui wawancara. Wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu

dengan dialog agar dapat tergali data yang belum terungkap.

Dalam kajian ini, pihak yang diwawancarai adalah masyarakat Pematang

Raya dan juga pemilik lahan pertanian Simandame. Selain itu wawancara juga

dilakukan bagi mereka yang diantisipasi memiliki wawasan atau pendapat

mengenai pokok masalah yang diteliti. Pokok bahasan yang dikaji harus

menentukan siapa-siapa tokoh kunci yang bakal dihubungi dan yang paling baik

setelah diidentifikasi lewat berbagai sumber. Beberapa narasumber yang

diwawancarai, yaitu:

No. Narasumber Tujuan Pemilihan Narasumber

1

Masyarakat

Pematang Raya,

terutama masyarakat

pemilik lahan

pertanian

Simandame.

Mendapatkan keterangan dari masyarakat

mengenai pandangan ataupun pemaknaan mereka

mengenai lahan pertanian yang mereka miliki.

Kemudian meminta mereka menjelaskan

bagaimana mereka menyikapi program

pembangunan ibukota baru yang mengorbankan

lahan-lahan pertanian milik mereka.

2

Camat Raya dan

Lurah Pematang

Raya

Memperoleh data mengenai masalah penjualan

lahan pertanian Simandame untuk pembangunan

Pematang Raya. Dari narasumber akan didapat

data mengenai: pemilik lahan, sosialisai untuk

pemilik lahan, ganti rugi lahan yang diberikan

oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun, dan

status peralihan kepemilikan lahan pertanian.

35

3. Metode Analisis Data

Kajian ini dirancang dengan menggunakan analisis strukturasi untuk

mengetahui proses bagaimana pola hidup agraris yang dipraktikkan secara

berulang dalam masyarakat menjadi struktur. Analisis diawali dengan pengkajian

pemaknaan lahan pertanian oleh masyarakat di Pematang Raya. Langkah kedua

adalah mangkaji proses penjualan lahan pertanian Simandame oleh masyarakat

kepada Pemerintah Daerah. Langkah terakhir merupakan kesimpulan yang

mencakup proses strukturasi yaitu mengenai ketahanan pola hidup agraris yang

dipraktikkan oleh masyarakat Pematang Raya ketika berhadapan dengan program

pembangunan.

4. Lokasi Penelitian

Kajian ini dilakukan pada masyarakat di Pematang Raya, Kecamatan

Raya, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Alasan pemilihan lokasi

penelitian yaitu; Pertama, sejak Pusat Pemerintahan/Ibukota Kabupaten

Simalungun dipindahkan ke Pematang Raya pada Tahun 2008, daerah tersebut

mengalami proses pembangunan yang berkelanjutan hingga saat ini jika dilihat

dari pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana pelayanan publik lainnya.

Kedua, masyarakat di Pematang Raya selama ini mempraktikkan pola hidup

agraris dimana lahan pertanian dianggap sebagai sektor terpenting dalam mata

pencaharian mereka.

36

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I ini berisi landasan pemikiran tesis dan kerangka operasional kerja

tesis. Bab I terdiri dari: latar belakang; rumusan pertanyaan; kerangka teori;

kerangka berpikir; definisi konsep dan operasional; metode penelitian; dan

sistematika penulisan. Bab I bertujuan mendeskripsikan permasalahan mengenai

pola hidup agraris yang dipraktikkan oleh masyarakat dalam lintas ruang dan

waktu hingga menjadi struktur, termasuk di dalamnya telaah kajian terdahulu dan

kerangka teori yang ditawarkan.

Bab II memaparkan secara singkat pemindahan Ibukota Kabupaten

Simalungun ke Kec. Raya. Selanjutnya bab ini akan mendeskripsikan bagaimana

setting sosial dan ekonomi masyarakat Pematang Raya serta pemaknaan lahan

tanah/lahan pertanian dalam Suku Simalungun yang mendominasi daerah

tersebut.

Bab III akan memaparkan pemetaaan agen dan struktur dalam kebijakan

pengelolaaan lahan pertanian Simandame, Pematang Raya.

Bab IV akan memaparkan proses tindakan penjualan lahan pertanian

Simandame, Pematang Raya oleh petani kepada Pemerintah Kabupaten

Simalungun. Bab ini juga berisi dialektika antara masyarakat petani dengan

Pemerintah Daerah dalam penjualan lahan pertanian Simandame. Selanjutnya bab

ini akan menunjukkan bagaimana pola hidup agraris tetap bertahan ketika

berhadapan dengan program pembangunan, sekaligus menunjukkan telah terjadi

proses strukturasi, yaitu: pola hidup agraris terus dipraktikkan dan dipertahankan

37

oleh masyarakat setempat meskipun lahan pertanian mereka telah dikorbankan

untuk program pembangunan.

Bab V merupakan bagian penutup yang merangkum jawaban atas

rumusan pertanyaan dalam studi ini sekaligus kesimpulan sebagai refleksi teoritis

terkait masalah yang dikaji.