BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada setiap diri manusia di dunia ini sudah pasti melekat hak-hak dasar yang turut lahir bersama dengan kelahiran manusia itu secara alamiah. Hak-hak dasar yang melekat pada setiap individu tersebut selayaknya perlu mendapatkan tempat tersendiri dalam masyarakat untuk dihormati dan dihargai. Hak dasar tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk menganut agama atau kepercayaan tertentu, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan lain sebagainya. Hak untuk bebas mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, juga termasuk dalam hak dasar manusia. Dalam kehidupan negara yang demokratis, hak atas kebebasan berpendapat ini sudah barang tentu diakui dan dilindungi pemenuhannya oleh negara. Ruang lingkup hak atas kebebasan berpendapat sangat luas, sebab dapat dilakukan melalui media apapun, dimanapun, dan dalam waktu yang tanpa batas. Dalam penulisan hukum ini, hak atas kebebasan berpendapat yang akan dibahas, diberikan batasan yaitu hanya yang dituliskan menjadi buku. Segala ide dan gagasan manusia yang mampu dituangkan seseorang dalam buku tentu membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini seseorang yang tidak mudah hilang begitu saja dari benak pembacanya. Buku juga dapat menunjukkan pemikiran lintas generasi. Tidak akan ada orang di dunia ini yang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada setiap diri manusia di dunia ini sudah pasti melekat hak-hak dasar

yang turut lahir bersama dengan kelahiran manusia itu secara alamiah. Hak-hak

dasar yang melekat pada setiap individu tersebut selayaknya perlu mendapatkan

tempat tersendiri dalam masyarakat untuk dihormati dan dihargai. Hak dasar

tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk menganut agama atau kepercayaan

tertentu, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan lain sebagainya.

Hak untuk bebas mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, juga

termasuk dalam hak dasar manusia. Dalam kehidupan negara yang demokratis,

hak atas kebebasan berpendapat ini sudah barang tentu diakui dan dilindungi

pemenuhannya oleh negara. Ruang lingkup hak atas kebebasan berpendapat

sangat luas, sebab dapat dilakukan melalui media apapun, dimanapun, dan dalam

waktu yang tanpa batas.

Dalam penulisan hukum ini, hak atas kebebasan berpendapat yang akan

dibahas, diberikan batasan yaitu hanya yang dituliskan menjadi buku. Segala ide

dan gagasan manusia yang mampu dituangkan seseorang dalam buku tentu

membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Selain dilihat dari proses

pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini seseorang yang

tidak mudah hilang begitu saja dari benak pembacanya. Buku juga dapat

menunjukkan pemikiran lintas generasi. Tidak akan ada orang di dunia ini yang

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

2

menjadi terpelajar jika tidak ada kemauan para penulis untuk membukukan

tulisannya. Tanpa ada manusia yang mencurahkan tulisannya dalam buku, maka

Voltaire, Tolstoy atau pun Kelsen tidak akan dikenal oleh generasi manusia abad

20 ini. Buah pemikiran mereka hanya didengar oleh diri mereka sendiri ataupun

generasi di masa mereka hidup. Jadi, tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa

buku memiliki peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa.

Pada tahun 1948, negara-negara di dunia berkumpul dan membuat

kesepakatan dalam rangka penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Antonio Cassese

menyebutkan dalam buku ‘Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah’, bahwa

pasca hadirnya DUHAM sebagai salah satu instrumen hukum HAM internasional,

semua negara di dunia jadi memiliki sebuah ‘kode internasional’ yang bersifat

universal, untuk menentukan bagaimana akan bertindak dan menilai yang lain1.

Pada titik itu, negara-negara di dunia sepakat untuk sama-sama melindungi dan

menghormati pemenuhan hak-hak dasar warga negaranya. Kemauan bersama

negara di dunia ini, sebenarnya didasarkan pada keinginan untuk memelihara

perdamaian dunia. Substansi yang terkandung dalam DUHAM juga menjadi salah

satu rujukan penting bagi negara untuk mengaturnya dalam konstitusi negara

mereka.

HAM dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat kuat. Demokrasi

memberikan pengakuan lahirnya keikutsertaan publik secara luas dalam

pemerintahan. Dalam perkembangan awal demokrasi, desakan ke arah hadirnya

1 Antonio Cassese, 2005, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. xx.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

3

peran serta publik mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan.2 Indonesia

merupakan salah satu negara yang menjunjung demokrasi dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang turut

serta mengakui DUHAM sebagai instrumen hukum HAM. Pemerintah telah

melakukan usaha untuk meningkatkan komitmennya terhadap perlindungan HAM

dunia, termasuk memasukkan pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak dasar

manusia ke dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 (UUD 1945). Hak-hak dasar

yang dijaminkan UUD 1945 tersebut diantaranya adalah hak berkumpul, agama,

politik dan mengemukakan pendapat, termasuk di bidang sosial, ekonomi dan

pendidikan.3 Usaha melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dan memasukkan

bab tersendiri tentang HAM, merupakan upaya yang dapat dipandang sebagai

usaha menegakkan demokrasi Indonesia.

Namun, usaha memasukkan pasal tentang perlindungan HAM warga

negara dalam konstitusi Indonesia belum cukup untuk melindungi hak dan

kebebasan warga negara. Salah satu alasannya adalah karena masih

berlangsungnya praktik-praktik pelarangan buku di Indonesia. Praktik pelarangan

buku boleh dilaksanakan melalui Undang-Undang No. 4/Pnps/1963 tentang

Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang Melanggar Ketertiban Umum.

Selain itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI

memberi legitimasi bagi institusi Kejaksaan di Indonesia untuk turut serta dalam

2 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Politik, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 45. 3 Jawahir Thontowi, 2002, Hukum Internasional di Indonesia Dinamika dan Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Madyan Press, Yogyakarta, hlm. 25.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

4

usaha ‘mengamankan peredaran buku’4. Berdasarkan Penjelasan Pasal 27 ayat (3)

huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, tugas dan wewenang kejaksaan untuk

mengamankan peredaran buku bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang belaku. Yang dimaksud dengan "turut

menyelenggarakan" adalah mencakup kegiatan-kegiatan membantu, turut serta,

dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa

memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.

Pada masa-masa praktik pelarangan buku begitu gencar, ternyata

berpengaruh pada peredaran buku di Indonesia. Pada periode 1945-1966, di

Indonesia terhitung sekitar 1.000 judul buku diterbitkan penerbit-penerbit

partikelir setiap tahunnya. Menginjak periode berikutnya, yakni 1966-1981, angka

itu beranjak menjadi 2.000 judul buku per tahun. Namun, di sela-sela periode itu,

terutama menjelang akhir '60-an hingga awal '70-an, industri penerbitan nasional

sempat mengalami guncangan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang

mengurusi bidang pendidikan (UNESCO) melaporkan, pada 1973 Indonesia

mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, tidak satu pun judul buku

diterbitkan oleh para penerbit nasional.(Koran Jakarta, 11 Maret 2009)

Upaya kontrol pemerintah terhadap konten buku dilakukan melalui

institusi yang terus digilir pada lembaga negara yang ada. Pergiliran penunjukan

lembaga yang ‘mengamankan peredaran buku’ ini berlangsung seiring dengan

pergantian rezim pemerintahan. Alasan yang digunakan sebagai dasar pelarangan

4 UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI Pasal 27 (3)

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

5

buku masih sama, yaitu ‘mengganggu ketertiban umum’. Dalam Undang-Undang

No. 4/Pnps/1963 dijelaskan mengenai alasan ‘ketertiban umum’ tersebut, yaitu:

Pengertian ‘mengganggu ketertiban umum’ haruslah dihubungkan dengan dasar tata tertib kehidupan dari Rakyat dan Negara pada suatu saat. Merusak kepercayaan Rakyat terhadap Revolusi, Sosialisme dan Pemimpin Nasional, adalah contoh terkemuka akan tetapi tidak satu-satunya dari pengertian mengganggu ketertiban umum. Tulisan-tulisan dan gambar yang merugikan dan memajukan pencabulan adalah contoh jenis lain dari pengertian tersebut.5

Konsep ‘ketertiban umum’ dalam penjelasan undang-undang di atas sangat

dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanan negara saat itu.

Sepanjang sejarah pelarangan buku, tercatat nama sastrawan dalam negeri,

Pramoedya Ananta Toer, sebagai salah satu penulis dengan buku yang terbanyak

dilarang terbit oleh pemerintah Indonesia. Berikut ini judul buku karya Pramoedya

yang dilarang terbit, dimiliki dan dibaca:

1. Subuh, Jakarta: Balai Pustaka, 1950 (Instruksi Menteri PD&K)

2. Pertjikan Revolusi, Jakarta: Balai Pustaka, 1951 (SK No. 1381/1965)

3. Keluarga Gerilya, Jakarta: Gapura

4. Mereka yang Dilumpuhkan, Jakarta

5. Ditepi Kali Bekasi, Jakarta: Gapura

6. Bukan Pasar Malam, Jakarta: Balai Pustaka, 1951

7. Tjeritera dari Blora, Jakarta: Nusantara, 1954

8. Gulat di Jakarta, Jakarta: Grafika, 1957

9. Tjeritera Tjalon Arang, Jakarta: Balai Pustaka, 1957

10. Sekali Peristiwa di Banten Selatan, Jakarta: Djawatan Penempatan Tenaga Kerja, PUT

11. Panggil Aku Kartini Sadja, Djilid I, Jakarta: Nusantara, 1962

12. Panggil Aku Kartini Sadja, Djilid II, Jakarta: Nusantara, 1962

13. Hoa Kiau di Indonesia, Jakarta: Nusantara, 1962

5 Fauzan, 2003, Mengubur Peradaban Politik Pelarangan Buku di Indonesia, LKiS, Yogyakarta, hlm. 124.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

6

14. Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1980 (SK No. Kep-052/JA/5/1981)

15. Anak Semua Bangsa, Jakarta: Hasta Mitra, 1981

16. Jejak Langkah, Jakarta: Hasta Mitra, 1985 (SK No. Kep-036/JA/5/1986)

17. Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985

18. Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra, 1988 (SK No. Kep-061/JA/1988)

19. Gadis Pantai, Jakarta: Hasta Mitra, 1988

20. Hikayat Siti Mariah, (penyunting Pramoedya Ananta Toer) Jakarta: Hasta Mitra, 1988 (SK No. Kep-081/JA/8/1988)

21. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Lentera, 1995

22. Memoar Oei Tjoe Tat (penyunting Pramoedya Ananta Toer dan Stanley), Jakarta: Hasta Mitra

(sumber: Jaringan Kerja Budaya, ELSAM)

Dari sederet judul buku tersebut, dapat diambil contoh salah satu judul,

‘Bumi Manusia’, buku pertama dalam rangkaian buku ‘Tetralogi Pulau Buru’

yang ditulis Pramoedya selama mendekam selama menjadi tahanan di Pulau Buru.

Sebuah Buletin Teritorial Edisi November 1980, terbitan Departemen Pertahanan

dan Keamanan (Dephankam) RI, mengulas ‘bahaya’ buku berjudul ‘Bumi

Manusia’ tersebut, yaitu6:

1) Pramoedya Ananta Toer masih belum menunjukkan kemauannya untuk melepaskan ideologi komunisnya, bahkan berusaha menonjolkan diri sebagai tokoh karya tulisnya;

2) Terdapat kelompok penyanjung buku ‘Bumi Manusia’ secara berlebih-lebihan dengan tujuan komersial agar masyarakat mau membeli buku tersebut dengan harga tinggi tanpa memikirkan ekses gangguan keamanan dan ketertiban yang ditimbulkan.

Selain Pramoedya, sebenarnya masih banyak lagi nama-nama lain yang

tercatat masuk ke dalam daftar korban pelarangan buku. Bahkan buku-buku yang

diterbitkan untuk kepentingan pendidikan, bilamana tidak sesuai dengan ‘buku

6 Ibid, hlm. 151.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

7

putih’ pemerintah, buku-buku tersebut dianggap tidak layak diedarkan dan ditarik

dari masyarakat.

Indonesia sebagai negara yang merdeka dan telah berani menyusun

konsitusi sendiri untuk kehidupan warga negara yang lebih baik, terbukti kurang

mampu mengakomodasi keinginan warga negaranya untuk bebas mengutarakan

buah pikiran melalui penerbitan buku. Sepanjang undang-undang pelarangan buku

masih ada, perlindungan hak atas kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam

konstitusi hanya sekadar idealita yang diletakkan sebagai ‘hitam di atas putih’,

yang tidak sinkron dengan implementasinya. Maka tidak berlebihan jika dikatakan

bahwa eksistensi undang-undang pelarangan buku telah menegasikan ketentuan

mengenai perlindungan hak atas kebebasan berpendapat melalui tulisan yang

dijaminkan Undang-Undang Dasar RI 1945.

Di tahun 1999, pemerintah berhasil menerbitkan Undang-undang No. 39

tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setelah setahun sebelumnya muncul

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 yang mengatur tentang HAM. Dengan

terbitnya produk hukum ini membawa sedikit angin segar akan adanya harapan

penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia bisa mengalami perbaikan.

Namun, asa itu meredup kembali ketika melihat Undang-undang pelarangan buku

masih berlaku dan praktik pelarangan buku terus berlanjut.

Pada tahun 2002, Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan atau

pengkajian terhadap buku Aku Bangga Menjadi anak PKI karya Ribka Tjiptaning

(2002). Tim yang di pimpin JAM Intel Basrief Arief itu memberikan rekomendasi

dari jaksa agung M.A. Rachman, yang meminta supaya buku tersebut dinyatakan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

8

dilarang dan disita dan ditarik dari peredaran karena buku tersebut dinilai

berpotensi menyebarkan kembali paham dan ajaran komunisme di Tanah air.

Di tahun berikutnya, Kejaksaan Negeri Jayapura melakukan pelarangan

buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay.

Buku ini memaparkan peristiwa sebelum, saat kejadian, dan setelah kematian

Ketua Presidium Dewan Papua itu, yang dibunuh pada 10 November 2001 oleh

Kopassus, unit pasukan elit khusus Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sementara Undang-Undang Pelarangan Buku belum juga dicabut, pada

tahun 2004, terbit undang-undang terbaru tentang Kejaksaan RI. Dalam Pasal 30

(3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, menyebutkan

bahwa kewenangan Kejaksaan dalam bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum,

ialah turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan.

Kata ‘pengawasan’ dalam undang-undang ini tidak banyak mengubah

kewenangan Kejaksaan dalam melarang buku. Dalam Undang-undang Kejaksaan

terdahulu, kewenangan itu disebut sebagai ‘mengamankan’.

Seiring dengan bangkitnya pemahaman dunia akan konstruksi hukum hak

asasi manusia, Indonesia meratifikasi The International Convenant on Civil and

Political Rights atau ICCPR. Ratifikasi tersebut dilakukan melalui Undang-

Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak

Sipil dan Politik. Sejak saat itu, Indonesia telah menundukkan diri dalam

ketentuan yang ada di dalam ICCPR. Hak atas kebebasan berpendapat adalah

salah satu hak yang diakui dan diatur secara internasional dalam ICCPR.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

9

Pasca ratifikasi ICCPR, Indonesia tetap bergeming. Undang-undang

pelarangan buku masih belum dicabut. Berbagai instrumen HAM dibentuk untuk

memberi rasa aman dan melindungi HAM masyarakat di Indonesia, namun

pelarangan buku masih dianggap lumrah untuk dilakukan. Hal ini menunjukkan

bahwa Indonesia belum begitu membuka mata dan menyetujui untuk memerangi

segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

ICCPR memang memperbolehkan negara pihak untuk mengurangi

pemenuhan hak yang termasuk pada kelompok derogable rights. Hak yang

termasuk dalam kategori ini yaitu: hak atas kebebasan berkumpul secara damai,

hak atas kebebasan berserikat dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau

berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi

dan segala macam gagasan baik lisan maupun tulisan.

Pembatasan terhadap hak tersebut hanya boleh dilakukan sepanjang tidak

melebihi dari yang ditetapkan oleh konvensi. Konvensi memperbolehkan

pembatasan atau pengurangan pemenuhan hak kategori derogable rights dengan

alasan untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan

atau moralitas umum; dan untuk menghormati hak atau kebebasan orang lain.

Selama ini alasan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk melakukan

pelarangan buku pun, terdengar nyaris ‘sejenis’ dengan alasan yang dibolehkan

ICCPR untuk mengurangi pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat, yaitu

ketertiban umum.

Dengan amandemen UUD 1945, munculnya Undang-Undang

perlindungan HAM, hingga ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional,

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

10

belum mampu menghapuskan praktik pelarangan buku di Indonesia. Bahkan

praktik pelarangan buku tidak memberikan upaya bagi korban untuk membela

diri.

Tahun 2006, Kejaksaan melakukan pelarangan terhadap Buku Atlas yang

memuat bendera Bintang Kejora (Bendera Organisasi Papua Merdeka) dan

mengkaji buku karya Maksud Simanungkalit berjudul Kutemukan Kebenaran

Sejati dalam Al-Qur’an. Pada tahun 2007, kejaksaan melarang peredaran buku

berjudul Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua

Barat karya Sendius Wonda, penerbit Galang Press. Selain melarang buku

Wonda, Kejaksaan juga mengambil tindakan untuk menyita buku-buku tersebut

bahkan yang sudah terlanjur beredar di toko-toko buku. Selain itu, Kejaksaan juga

mengeluarkan 13 surat keputusan yang melarang buku matapelajaran sejarah

untuk SLTP/A karena dianggap memutarbalikkan sejarah dengan tidak

mencantumkan akronim PKI di belakang “G 30 S” dan tidak mencantumkan

sejarah pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Pada akhir tahun 2009, Kejaksaan RI mengeluarkan lima buah surat

keputusan yang melarang peredaran buku di Indonesia. Lima buah judul buku

yang resmi dilarang oleh Kejaksaan RI adalah:

1) Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto,

karangan John Roosa;

2) Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan

cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, karangan

Socratez Sofyan Yoman;

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

11

3) Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian

Rakjat 1950-1965, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.

Dahlan;

4) Enam Jalan Menuju Tuhan, karangan Darmawan;

5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, karangan Drs. H. Syahrudin

Ahmad

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek

Darmanto, buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum dan

substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan.7

Bersamaan pengumuman penerbitan surat keputusan dan daftar judul buku

yang dilarang terbit, Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan RI

melalui siaran pers menjelaskan mengenai alasan yang dijadikan tolak ukur

pelarangan buku, yaitu ‘mengganggu ketertiban umum’.

Mengganggu Ketertiban Umum contohnya antara lain adalah barang cetakan yang berisikan tulisan-tulisan atau gambar-gambar/lukisan-lukisan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, GBHN atau sekarang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), mengandung dan menyebarkan ajaran/paham Komunis/Marxisme-Leninisme yang dilarang berdasarkan TAP MPRS XXV/MPRS 1966, merusak kesatuan dan persatuan masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan RI, merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan, merugikan dan merusak pelaksanaan Program Pembangunan Nasional yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai.8

7 Dewi Indriastuti, ‘Buku-buku ini Dilarang’, artikel harian Kompas 26 Desember 2009, http://www1.kompas.com/lipsus052009/antasariread/2009/12/26/08031264/buku-buku.ini.dilarang, diakses pada 30 Mei 2012 pukul 10.40 WIB. 8 Siaran Pers Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Republik Indonesia disiarkan tanggal 23 Desember 2009, http://www.kejaksaan.go.id/siaranpers.php?id=244

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

12

Mengingat pengertian ‘ketertiban umum’ yang begitu luas, pihak

Kejaksaan tidak menjelaskan mengenai alasan ‘ketertiban umum’ yang mana yang

dilanggar buku-buku itu.

Praktik yang terus bergulir ini tentu meresahkan warga masyarakat.

Namun, diam bukan lah opsi yang dipilih. Berbagai kampanye, orasi, diskusi,

pameran, penelitian tentang praktik pelarangan buku, dilakukan oleh masyarakat

yang berasal dari kalangan mahasiswa, aktivis, akademisi, LSM. Dengan satu

tujuan, untuk membuka mata pemerintah bahwa praktik pelarangan buku tidak

sesuai dengan konstitusi maupun produk hukum HAM yang telah diterbitkan.

Usaha yang dilakukan masyarakat tersebut menunjukkan bahwa

kegundahan sosial sudah semakin memuncak. Hingga akhirnya masalah praktik

pelarangan buku ini memasuki ranah hukum. Mahkamah Konstitusi menguji

kembali beberapa Undang-Undang No. 4/Pnps/1963 serta beberapa Pasal dalam

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang digunakan sebagai dasar hukum

pelarangan buku di Indonesia. Permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi

ini diajukan oleh beberapa orang perwakilan penulis, perwakilan

aktivis/mahasiswa maupun dari lembaga swadaya masyarakat.

Pada Oktober 2010, permohonan yang diajukan kepada Mahkamah

Konstitusi membuahkan hasil. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-

13-20/PUU-VIII/2010, Undang-Undang No. 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan

terhadap Barang Cetakan yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum dinyatakan

bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 sehingga tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, Mahkamah Konstitusi tidak turut

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

13

mencabut kewenangan Kejaksaan RI dalam ‘pengawasan peredaran buku’

sebagaimana diatur dalam UU No. 16 tahun 2004.

Lima tahun pasca ratifikasi ICCPR, Undang-undang tentang Pelarangan

Buku baru dicabut. Selama rentang waktu itu, praktik pelarangan buku masih

berlangsung tanpa melalui proses pengadilan (due process of law). Hingga saat

ini, Kejaksaan masih memiliki kewenangan untuk ‘mengawasi’ peredaran buku.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memilih judul penelitian:

PENGARUH RATIFIKASI INTERNATIONAL CONVENTION ON CIVIL

AND POLITICAL RIGHTS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ATAS

KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA DALAM PRAKTIK

PELARANGAN BUKU.

B. Rumusan Masalah

Melalui pemahaman latar belakang masalah dan uraian-uraian fakta yang

telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk

pertanyaan berikut:

1. Apakah praktik pelarangan buku berdasarkan Undang-Undang No.

4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang

Mengganggu Ketertiban Umum melanggar hak asasi manusia?

2. Bagaimana pengaruh ratifikasi The International Convenant on Civil

and Political Rights (ICCPR) terhadap perlindungan hak atas

kebebasan berpendapat di Indonesia dalam praktik pelarangan buku?

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

14

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian tersebut, penulis melakukan

penelitian hukum ini dengan tujuan obyektif:

1. Mengetahui apakah Undang-undang No. 4/PNPS/1963 tentang

Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban

Umum melanggar ketentuan hukum hak asasi manusia.

2. Mengetahui sejauh mana pengaruh ratifikasi Konvenan Hak Sipil dan

Politik yang dilakukan pemerintah terhadap perlindungan hak atas

kebebasan berpendapat dalam praktik pelarangan buku di Indonesia.

Selain hal-hal tersebut di atas, penulisan hukum ini secara

subyektif dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat agar penulis

dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada.

D. Keaslian Penelitian

Dalam mengetahui keaslian penelitian, penulis melakukan penelusuran

pada berbagai bentuk referensi dan hasil penelitian dari media, baik cetak maupun

elektronik. Penelusuran yang telah penulis lakukan bertujuan agar penulis mampu

meletakkan ide dan gagasan yang orisinil dalam penelitian hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan. Penulis sampaikan penelitian dari peneliti terdahulu yang

sekiranya memiliki persamaan dengan tema pokok yang menjadi variabel di

dalam penulisan hukum ini. Pada penelitian yang ada, telah membantu penulis

melahirkan hipotesis-hipotesis awal dari penelitian yang sedang penulis lakukan.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

15

Dengan demikian, penulis berharap penelitian ini mampu menambah dan

melengkapi penelitian yang telah ada.

Selama melakukan studi pustaka di perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, terdapat penelitian hukum yang dituangkan dalam

penulisan berbentuk skripsi, yang dilakukan oleh Osta Segara tahun 2012 dalam

dengan judul Kajian Hukum terhadap Hubungan Ketentuan Hak Kebebasan

Berpendapat Jurnalistik dengan Konstitusi dan Kerahasiaan Negara dalam

Kasus Pembocoran “US Diplomatic Cablegate” oleh Wikileaks membahas

mengenai topik hukum hak asasi manusia Internasional yang dihubungkan dengan

ketentuan hak kebebasan berpendapat jurnalistik dengan konstitusi dan

kerahasisaan negara. Penelitian hukum tersebut menganalisis kasus pembocoran

kawat diplomatik Amerika yang dilakukan oleh Wikileaks. Persamaan penelitian

hukum tersebut dengan penelitian hukum yang penulis lakukan adalah pada

pembahasan hak kebebasan berpendapat. Namun, dipandang dari sudut yang lebih

spesifik, penelitian yang telah dilakukan tersebut, menelaah dan mengkaji tentang

hak kebebasan berpendapat dalam jurnalistik. Tak heran, dalam penelitian ini

ditemukan pembahasan mengenai kode etik jurnalistik. Hal-hal ini jelas berbeda

dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.

Penelitian hukum yang akan penulis lakukan berjudul Pengaruh

Ratifikasi International Convention on Civil and Political Rights terhadap

Perlindungan Hak atas Kebebasan Berpendapat di Indonesia dalam Praktek

Pelarangan Buku 1963-2010. Setelah melalui studi pustaka di lingkungan

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

16

hukum berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun jurnal ilmiah, yang mengangkat

judul maupun variabel-variabel yang sama secara keseluruhan dengan penulisan

hukum ini. Selain itu, penulis juga tidak menemukan adanya penelitian hukum

berkaitan dengan praktek pelarangan buku yang penulis angkat dalam penelitian

ini. Kalaupun ditemukan kemiripan variabel pada penelitian sebelumnya, penulis

menilai bahwa persamaan yang ditemukan tersebut tidak signifikan dan materi

pembahasan dan pendekatan kasus yang digunakan sebagai pisau analisis pun

jauh berbeda.

Dalam penelitian hukum yang akan dilakukan ini, penulis berusaha

menjelaskan garis besar usaha pemerintah dalam mendukung promosi hukum

HAM internasional. Setelah itu, akan dijelaskan tentang bagaimana praktik

pelarangan buku yang telah melanggar hak atas kebebasan berpendapat. Lalu

penulis mengidentifikasi ketentuan hukum internasional yaitu The International

Convenant on Civil and Political Rights serta ketentuan hukum nasional tentang

hak atas kebebasan berpendapat. Hasil yang diharapkan dari penelitian hukum ini

adalah penulis dapat menjelaskan pengaruh ratifikasi Konvensi Hak Sipol

terhadap hak atas kebebasan berpendapat di Indonesia terutama dalam praktek

pelarangan buku yang terjadi yang telah mengorbankan banyak ide dan gagasan

warga negara. Dengan demikian, penelitian ini dianggap dapat memenuhi kaedah

keaslian penelitian.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, penulisan hukum ini diharapkan dapat

bermanfaat baik untuk kepentingan akademis dan kepentingan praktis.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

17

1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

untuk pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan

pengembangan ilmu hukum pada khususnya. Penulis berharap, hasil

penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi para akademisi maupun

peneliti dalam melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Memberikan gambaran kepada Pemerintah Indonesia mengenai sejauh

mana pengaruh ratifikasi suatu konvensi, dalam hal ini Konvenan Hak

Sipil dan Politik, dalam melindungi hak atas kebebasan berpendapat,

termasuk di dalamnya hak untuk mencari dan memperoleh informasi

oleh warga negara. Sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran

hak asasi manusia dalam pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat

melalui tulisan berupa buku, agar terbentuk kehidupan masyarakat

demokratis yang ideal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah, bahwa dibutuhkan upaya

sinkronisasi peraturan perundang-undangan antara peraturan

perundang-undangan nasional yang telah ada dan akan dibentuk,

dengan peraturan yang diadopsi dari ketentuan internasional.

F. Landasan Teori

Hukum internasional merupakan keseluruhan hukum yang terdiri dari

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara merasa

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

18

dirinya terikat untuk menaati dan karenanya, benar ditaati secara umum dalam

hubungan-hubungan mereka satu sama lain.9

Hukum internasional pada dasarnya memiliki cakupan yang luas, meliputi

hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Mochtar

Kusumaatmadja menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah hukum

internasional adalah hukum internasional publik, yang tentunya tidak bersifat

perdata. Hukum internasional publik adalah seluruh kaidah dan asas hukum yang

mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan

internasional) yang bukan bersifat perdata.

Antara hukum internasional dengan hukum nasional memiliki hubungan

erat karena kedua sistem hukum tersebut saling berkaitan dan bersinggungan.

Secara teori, terdapat dua pandangan tentang hukum internasional. Pertama,

pandangan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada

kemauan negara. Kedua, pandangan obyektivis, yang menganggap ada dan

berlakunya hukum internasional, terlepas dari kemauan negara. Kedua pandangan

ini pun membawa akibat yang berbeda. Dari sudut pandang voluntarisme,

mengakibatkan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional

terpisah dan hanya sebagai dua perangkat hukum yang hidup berdampingan. Di

lain pihak, dari pandangan obyektivis menganggap bahwa hukum nasional dan

hukum internasional merupakan kesatuan perangkat hukum.10

9 J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh Jilid I,Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 3. 10 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 56.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

19

Berangkat dari teori tersebut di atas, maka permasalahan yang harus

dijawab selanjutnya adalah mengenai kedudukan hirarki antara hukum

internasional dan hukum nasional. Dengan mengetahui kedudukan hirarki antara

hukum internasional dan hukum nasional, maka dapat terjawab hukum yang mana

yang tunduk terhadap hukum yang lainnya.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, perlu diurai tentang teori

dualisme dan monisme. Berdasarkan teori dualisme, teori yang dianut oleh Triepel

dan Anzilotti, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem

atau perangkat hukum yang terpisah satu dari lainnya. Akibatnya, kaidah-kaidah

dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada

perangkat hukum yang lain11. Maka, menurut teori dualisme, hukum nasional dan

hukum internasional adalah dua perangkat hukum yang berlainan yang tidak

bergantung antara satu dengan lainnya. Selain itu, teori dualisme juga

mengakibatkan perlu adanya transformasi bagi ketentuan hukum internasional

untuk menjadi hukum nasional, sebelum berlaku dalam lingkungan hukum

nasional. Kekurangan dari teori dualisme adalah meskipun terjadi pemisahan

mutlak antara hukum internasional dan hukum nasional secara teoritis, namun

tidak berlaku demikian dalam tataran praktis. Sebab ada kalanya negara

melakukan praktik dimana hukum nasional tunduk atau sesuai dengan ketentuan

hukum nasional.

Berdasarkan teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional

adalah dua bagian dalam satu kesatuan hukum yang mengatur kehidupan manusia.

11 Ibid, hlm. 58.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

20

Akibatnya, di antara dua perangkat hukum ini dimungkinkan terdapat hubungan

hierarki. Dalam teori monisme, terbagi menjadi dua pandangan yang berpendapat

berbeda tentang hubungan hierarki kedua perangkat hukum ini. Menurut

pandangan monisme dengan primat hukum nasional, muncul anggapan bahwa

hukum nasional merupakan perangkat hukum utama dalam hubungan antara

hukum nasional dengan hukum internasional. Hukum internasional kemudian

dianggap sebagai lanjutan dari hukum nasional belaka.12 Kelemahan dari

monisme dengan primat hukum nasional adalah menganggap bahwa perjanjian

internasional merupakan satu-satunya sumber hukum internasional. Selain itu,

kelemahan lainnya adalah bahwa keterikatan negara pada hukum internasional

digantungkan pada hukum nasional. Jadi dapat dikatakan bahwa menurut primat

hukum nasional, hukum internasional berlaku atas kemauan negara semata. Hal

ini tentu menjadi tidak berbeda dengan kesimpulan dari teori dualisme.

Selain itu, terdapat paham monisme dengan primat hukum internasional.

Menurut paham ini, dalam hubungan hukum nasional dan hukum internasional,

yang utama adalah hukum internasional. Jadi hukum nasional tunduk pada hukum

internasional dan kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian

wewenang dari hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab

Vienna seperti Kelsen, dan didukung pula oleh aliran yang berpengaruh di

Perancis, seperti Duguit, Scelle dan Bourquin.13 Meskipun paham ini dinilai logis

dan lebih dapat diterima, namun tetap saja memiliki kelemahan. Menurut

12 Aliran ini pernah kuat di Jerman dan disebut dengan mazhab Bonn. Buka Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, hlm. 61. 13 Ibid, hlm. 62.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

21

pandangan ini hukum nasional bergantung kepada hukum internasional, maka

muncul anggapan bahwa hukum internasional lahir lebih dahulu dari hukum

nasional. Dalil ini tentu tidak dapat dibenarkan begitu saja. Menurut kenyataan

sejarah, hukum nasional ada sebelum adanya hukum internasional. Ini lah salah

satu kelemahan dari paham monisme dengan primat hukum internasional.

Pada kesimpulannya, setelah mengurai teori monisme dan dualisme serta

paham-paham yang berkembang dalam hubungannya dengan masalah hubungan

antara hukum nasional dan hukum internasional, kedua teori ini tidak mampu

memberi jawaban yang memuaskan. Kesimpulan bahwa hukum nasional tunduk

pada hukum internasional mau tidak mau harus kita terima kalau kita mengakui

adanya hukum internasional.14

1. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional

Hukum internasional mengenal dua macam sumber hukum yaitu sumber

hukum formal dan sumber hukum material. Menurut Mochtar Kusumaatmaja,

sumber hukum dalam arti materiil yaitu dasar kekuatan mengikat hukum

internasional. Sedangkan sumber hukum dalam arti formil yaitu ketentuan-

ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaedah dalam satu persoalan

konkret.15 Menurut Prof. Burhan Tsani, sumber hukum internasional adalah

14 Ibid, hlm. 64. 15 Mochtar Kusumaatmaja, 1981, Pengantar Hukum Internasional Buku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung, hlm. 106.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

22

tempat dapat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk

memecahkan persoalan yang timbul dalam hubungan antar negara.16

Dalam menemukan sumber hukum internasional untuk menerapkan

ataupun menjawab permasalahan hukum internasional yang muncul, biasanya

para ahli hukum akan mengacu Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional:

(a) Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang

mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-

negara yang bersengketa;

(b) Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang

telah diterima sebagai hukum;

(c) Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

(d) Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka

dari berbagai negara sebagi sumber tambahan bagi menetapkan kaidah

hukum.

Adapun Pasal 38 (1) dari Statuta Mahkamah Internasional tersebut, tidak

lebih hanya sebagai ‘titik awal’ bagi penyebutan ‘sumber-sumber’ hukum

internasional.17 Jadi maksud maupun tujuan awal dari dibuatnya Pasal tersebut

sama sekali bukan semata-mata untuk mengatur tentang sumber hukum

internasional.

Urutan penyebutan sumber-sumber hukum dalam Pasal 38 ayat 1 di atas

pun, tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing-masing sumber

16 Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 8. 17 Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, hlm. 51.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

23

hukum, sebab mengenai hal ini tidak diatur dalam Pasal 38. Sumber hukum formil

tersebut dibagi atas dua golongan yaitu: sumber hukum utama atau primer dan

sumber hukum tambahan atau subsider.18 Sumber hukum utama atau primer

terdiri dari perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan prinsip hukum

umum yang diakui oleh bangsa beradab. Sedangkan sumber hukum tambahan atau

subsider yaitu keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling

terkemuka dari berbagai negara.

Statuta Mahkamah Internasional tidak menyebutkan sumber hukum mana

yang terpenting untuk digunakan. Mochtar Kusumaatmaja menyebutkan bahwa

hubungan antara sumber-sumber hukum sangat erat dan saling mengisi satu sama

lain, sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan mana sumber hukum yang

terpenting di antara sumber hukum lainnya.19

Perjanjian internasional, salah satu sumber hukum yang diakui dalam

hukum internasional, dikenal sebagai traktat (treaty). Menurut Mochtar

Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara

anggota masyarakat bangsa-bangsa dengan tujuan untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum tertentu.20 Perjanjian internasional harus diadakan oleh subyek-

subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.21 Di

lain pihak, Sugeng Istanto memberikan pengertian lain mengenai perjanjian

internasional (treaty) yaitu sarana utama yang dipunyai negara untuk memulai dan

18 Mochtar Kusumaatmaja, op.cit., hlm. 108. 19 Ibid, hlm. 109. 20 Ibid. 21 Ibid, hlm. 110.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

24

mengembangkakn hubungan internasional.22 Dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan nasional Indonesia, ditemukan dua peraturan perundang-

undangan yang memberikan definisi mengenai perjanjian internasional:

Pasal 1 (3) Undang-undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri:

Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara , organisasi, atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

Pasal 1 Poin 1 Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional:

“Perjanjian internasional adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lainnya.”

Hukum traktat pada awalnya hanyalah merupakan kaidah hukum

kebiasaan internasional. Pada 1969, dilakukan penyusunan kembali pada sebagian

besar kaidah-kaidah hukum tersebut secara sistematis ke dalam bentuk Vienna

Convention on the Law of the Treaties. Konvensi Wina 1969 tentang hukum

perjanjian ini tidak hanya sekadar menyatakan atau merumuskan kembali atau

mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional dalam bidang perjanjian,

melainkan juga pengembangan secara progresif hukum internasional tentang

perjanjian.23 Seorang ahli hukum internasional, Starke, berpendapat lain yaitu

bahwa upaya kodifikasi hukum traktat ke dalam Konvensi Wina 1969 adalah

22 Sugeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 63. 23 Syahmin A.K., 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, CV Armico, Bandung, hlm. 2.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

25

dengan maksud dan tujuan khusus untuk dijadikan sebagai suatu kitab hukum

traktat24. Sangkalan Starke dapat diterima, mengingat ternyata masih

dimungkinkan ada beberapa hal yang belum diatur dalam Konvensi Wina dan

konvensi tersebut masih mengakui sahnya penggunaan hukum kebiasaan

internasional untuk menjawab permasalahan yang tidak ditemukan pengaturannya

dalam konvensi. Hal tersebut tercantum dalam konsideran Konvensi Wina tahun

1969, pada bagian terakhir, yang berbunyi:

“Affirming that the rule of Customary International Law will contintue to govern questions not regulated by the provision of the present convention.”

Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969, perjanjian

internasional merupakan suatu persetujuan internasional yang ditandatangani antar

negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat

dalam bentuk satu instrumen tunggal atau dalam dua instrumen yang saling

berhubungan atau lebih dan apapun yang menjadi penandaan khusus. Konvensi

Wina 1986 memberi batasan perjanjian internasional, yaitu yang dilakukan antar

negara-negara, antar organisasi internasional, ataupun antara negara dengan

organisasi internasional.

Dalam hukum perjanjian internasional dikenal banyak istilah yang

digunakan untuk menyebutkan perjanjian internasional atau traktat.25 Istilah yang

dimaksud seperti treaty, pact, convention, statute, charter, Declaration, Protocol,

24 Buka J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh Jilid 2, Sinar Grafika, Jakarta, pada Bab 16 mengenai ‘hukum dan praktek mengenai traktat’ 25 Istilah “traktat” (treaty) dapat dianggap sebagai nama umum (nomen generalissimum) dalam hukum internasional. Buka J.G. Starke Buku 2, hlm. 583.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

26

Arrangement, Agreement, Accord, Modus Vivendi, Covenant, dan lain

sebagainya.26

Selain itu, terdapat pula istilah soft law (hukum lunak) dan hard law

(hukum keras). Instrumen hukum keras (hard law), dibuat dan ditujukan untuk

mendapatkan kepatuhan secara paksa terhadap negara pesertanya. Sedangkan

hukum lunak (soft law) adalah instrumen hukum yang mengandung norma-norma

yang diharapkan suatu saat nanti dapat menjadi bimbingan bagi aktor-aktor

internasional, tanpa memiliki kekuatan hukum memaksa. Dalam gilirannya,

hukum lunak pun dapat menjadi keras, keadaan ini tercermin pada kedudukan

yang dimiliki oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang saat ini kekuatan

hukum memaksanya sudah lebih dari sekadar ‘deklarasi’.27

2. Ratifikasi

Ratifikasi merupakan perbuatan suatu negara menurut ketentuan hukum

nasionalnya untuk menetapkan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian

internasional yang sudah ditandatangani perutusannya. Ratifikasi memiliki makna

secara internal dan eksternal. Secara internal, ratifikasi menimbulkan konsekuensi

bagi negara peratifikasi yaitu suatu perjanjian internasional menjadi bagian hukum

nasional negara tersebut dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi

tersebut berlaku di selurih wilayah negara peratifikasi. Dari segi eksternal,

26 Mochtar Kusumaatmaja, op.cit., hlm. 111. 27 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, op.cit., hlm. 71.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

27

ratifikasi bermakna sebagai sikap suatu negara untuk menundukkan diri pada isi,

tujuan dan falsafah perjanjian internasional dengan itikad baik.28

Ratifikasi berasal dari kata ratificare (bahasa latin), yang mengandung arti

persetujuan (approval) atau pengesahan (confirmation). Ratificare dalam bahasa

latin memiliki dua arti, yaitu:

a. Ratum habare dan ratum ducere, ratifikasi bermakna sebagai

persetujuan formal terhadap perjanjian. Tanda tangan wakil yang

berkuasa penuh, telah menyebabkan negara yang diwakilinya, terikat

pada perjanjian yang bersangkutan.

b. Ratum facare dan ratum alicul esse, ratifikasi bermakna sebagai

persetujuan peningkatan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang

berlaku mengikat bagi negara peserta. 29

Pasal 2 (1.a) Konvensi Wina menentukan:

“ratification means each case the international act so named whereby a state establishes on the international plan its consent to be bound by treaty”

Pelaksanaan ratifikasi tergantung pada hukum nasional negara yang

bersangkutan. Dasar pembenaran adanya ratifikasi ialah bahwa negara berhak

untuk meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima

kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan

28 Sumber: diktat matakuliah Hukum Perjanjian Internasional, tidak diterbitkan. 29 Syahmin A.K., 1997, Hukum Internasional Publik Dalam Kerangka Studi Analitis, Binacipta, Bandung, hlm. 452.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

28

bahwa negara tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya

dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.30

Setelah melakukan ratifikasi, maka negara harus menunjukkan komitmen

terhadap upaya hukum tersebut dengan menghormati dan melaksanakan

kewajiban yang diatur dalam sebuah perjanjian internasional. Kekuatan

mengikatnya suatu perjanjian internasional berdasarkan pacta sunt servanda.

3. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada diri

setiap manusia. The United Nations Centre for Human Rights memberi definisi

HAM sebagai hak-hak yang diwariskan secara alamiah dan tanpa hak-hak tersebut

kita tidak dapat hidup sebagai manusia.31

Menurut peraturan perundang-undangan nasional, sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

menyebutkan definisi hak asasi manusia adalah:

“Seperangkat hak yang melekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Dalam skala hukum internasional, instrumen hukum yang menjadi dasar

hukum HAM internasional adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

30 Sugeng Istanto, op.cit., hlm. 68. 31 “…human rights as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings..”. Buka Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, 2007, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.54.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

29

(DUHAM)32. DUHAM dibentuk pada tahun 1948 sebagai sebuah instrumen

HAM pertama yang dipandang mengandung substansi yang komprehensif. Jauh

sebelum digagasnya DUHAM, hak asasi manusia yang berkembang di dunia

dipengaruhi oleh teori-teori hukum alam serta berbagai aliran ideologi yang

tumbuh di antara bangsa-bangsa.

4. Tinjauan Umum ICCPR

The International Convenant of Civil and Political Rights (ICCPR)

merupakan salah satu instrumen hukum hak asasi manusia internasional. ICCPR

dibentuk pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada 23 Maret 1976. Berbeda

dengan DUHAM, ICCPR dibuat dengan substansi yang lebih spesifik dan telah

memiliki kekuatan mengikat karena berbentuk konvenan. Sedangkan DUHAM

hanya mengandung substansi perlindungan HAM secara umum dan kurang

memiliki kekuatan mengikat (legally binding) sebagai sebuah perjanjian

internasional karena berbentuk deklarasi.

Hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR dapat dibagi

menjadi dua klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-

derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi

pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat

sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah:

a) Hak atas hidup (rights to life);

b) Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);

32 Hal ini tercantum secara eksplisit dalam Pembukaan DUHAM.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

30

c) Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery);

d) Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian atau

utang;

e) Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut

f) Hak sebagai subjek hukum

g) Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan agama.

Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable rights, yakni hak-

hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara Pihak.

Hak dan kebebasan yang termasuk ke dalam jenis ini adalah:33

a) Hak atas kebebasan berkumpul secara damai;

b) Hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi

anggota serikat buruh;

c) Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi,

termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi

dan segala macam gagasan.

Negara Pihak ICCPR memiliki tanggung jawab untuk memberikan

perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di

dalam konvensi.34 Selain itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan

tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang

terdapat dalam ICCPR.

Di sisi lain, ICCPR memberi keleluasaan negara untuk menyimpangi hak-

hak yang diatur di dalamnya. Namun penyimpangan tersebut dilakukan semata

33 Ifdhal kasim, Seri khusus advokat, Elsam. 34 Pasal 2 (1) ICCPR

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

31

demi: menghormati hak atau reputasi orang lain serta melindungi keamanan

nasional ataupun ketertiban umum, atau kesehatan dan moral.

5. Hak atas Kebebasan Berpendapat

Hak atas kebebasan berpendapat merupakan hak yang diatur dalam

konstutusi Negara Republik Indonesia dan tercantum pula dalam Pasal 19

DUHAM dan ICCPR. Pasal 28 UUD 1945 menjamin bahwa kemerdekaan untuk

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dalam Pasal 28E juga

menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,

dan mengeluarkan pendapat. Masih berkaitan dengan hak atas kebebasan

berpendapat, yaitu jaminan atas hak memperoleh informasi, sebagaimana diatur

dalam Pasal 28F UUD 1945.

Pasal 19 DUHAM berbunyi:

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.

Sementara dalam Pasal 19 ICCPR, berbunyi:

(1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini

termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

Demikian pentingnya kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat, hingga

berbagai instrumen hukum HAM pun berusaha untuk menjamin perlindungan

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

32

atasnya. Meskipun dalam konteks ketentuan jaminan kebebasan mengeluarkan

pendapat yang diatur dalam ICCPR masih dimungkinkan untuk dibatasi.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai

suatu tujuan tertentu.35 Penelitian hukum sebagai sebuah kegiatan ilmiah,

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya.36 Menurut Soerjono Soekanto, metode penelitian merupakan

pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisis, dan

memahami lingkungan yang dihadapinya.37 Berikut adalah pemaparan mengenai

cara dan langkah yang penulis gunakan dalam rangka menemukan jawaban

permasalahan dari penelitian ini, lalu menyusun dan menuliskannya secara logis

dan sistematis dilengkapi dengan analisis kritis-yuridis dalam sebuah penulisan

hukum.

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif. Pada

penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu

penelitian digolongkan sebagai data sekunder.38 Meskipun data dasar yang

digunakan dalam penelitian ini berupa bahan pustaka atau data sekunder, namun

35 Jujun S. Suriasumantri, 2000, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 330. 36Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 43. 37Ibid, hlm. 6. 38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 24.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

33

hal ini tidak mempengaruhi dan mereduksi niat penulis untuk menghasilkan karya

penelitian hukum yang ilmiah dan orisinil, bukan sekadar adopsi dan plagiasi

semata.

2. Data Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan data sekunder berupa:

a) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang menjadi sumber

utama dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.39 Untuk

memudahkan penggunaannya, maka bahan hukum primer yang

digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori.

Pertama, instrumen hukum internasional yang tertulis berupa

declaration, convention, maupun sejenisnya yang mengatur tentang

hukum hak asasi manusia internasional, diantaranya: Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM), The International

Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), United Nations

Human Right Committee General Comment No. 34.

Kedua, sejumlah regulasi nasional Indonesia yang berlaku menurut

hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, yaitu UUD RI 1945, Undang-

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-

Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Hak Sipil

39 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 52.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

34

dan Politik, Undang-Undang No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan

terhadap Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban.

Ketiga, ketentuan hukum lainnya yang dianggap terkait, meliputi:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.

b) Bahan hukum sekunder

Yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum

yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.40 Bahan

hukum sekunder dipahami juga sebagai data yang diperoleh bukan dari

institusi atau lembaga resmi negara, dapat berupa hasil penelitian,

publikasi hukum, buku-buku ilmiah hukum, jurnal hukum, majalah dan

lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu bahan

hukum sekunder juga diperoleh melalui media massa maupun melalui

pencarian pada situs-situs yang disediakan di internet.

c) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,41

termasuk di dalamnya kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Dalam

penelitian hukum ini akan menggunakan bahan hukum tersier berupa:

1) Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary Ninth Edition,

St. Paul: Thomson Reuters.

2) Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, 2000, Kamus Inggris-

Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

40 Ibid. 41 Ibid.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

35

3) Tim Redaksi Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia,

Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

4) Tim Redaksi Tatanusa, 2008, Kamus Istilah Menurut Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia 1945-2007 Edisi

Baru, Jakarta: PT Tatanusa.

3. Cara Pengumpulan Data

Jika dilihat dari sumber data yang digunakan selama melakukan penelitian,

jenis penelitian ini termasuk pula dalam penelitian kepustakaan. Penelitian

kepustakaan atau studi pustaka dalam penelitian hukum dilakukan dengan

menelusuri buku-buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ilmu

hukum dan sasaran penelitian yang hendak diteliti.42 Dalam melakukan penelitian

hukum ini, data yang diperlukan dikumpulkan dengan cara studi pustaka

(literature research) melalui kegiatan menelaah laporan hasil penelitian dan

dokumen lainnya. Studi pustaka dilakukan di beberapa tempat, diantaranya:

a) Perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta

b) Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta

c) Perpustakaan UPT II, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Penelitian kepustakaan ini tidak cukup hanya dilakukan pada satu tempat

atau satu perpustakaan semata disebabkan masing-masing perpustakaan memiliki

keterbatasan daya dukung dalam menyediakan bahan pustaka atau data sekunder

42 Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm. 57.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

36

yang diperlukan penulis. Selain itu, pegumpulan data juga dilakukan dengan cara

wawancara dengan narasumber yang memiliki keilmuan maupun kepakaran di

bidang yang berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan hukum ini.

4. Metode Analisis

Dalam penelitian hukum ini digunakan metode analisis kualitatif. Metode

kualitatif adalah suatu cara analisis yang mengambil dan mengolah data yang

berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Data tersebut diperoleh melalui

studi kepustakaan lalu dipelajari untuk merumuskan jawaban dari permasalahan

pada penelitian hukum ini. Selain itu, dalam menganalisis data juga dibantu

dengan metode interpretasi. Beberapa jenis interpretasi yang digunakan dalam

penelitian diantaranya:

a) Interpretasi gramatikal yaitu menafsirkan makna istilah-istilah,

kata, maupun suatu terminologi yang digunakan dalam prinsip

maupun ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan

juga ketentuan hukum internasional, dengan cara menguraikannya

dalam bahasa yang secara umum digunakan sehari-hari.

b) Interpretasi sistematis yaitu menafsirkan peraturan perundang-

undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum

atau undang-undangan lain atau dengan keseluruhan sistem

hukum.43 Dalam penulisan hukum ini, interpretasi sistematis

digunakan untuk menghubungkan antara Konvenan Hak Sipil dan

43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 58.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62928/potongan/S1-2013...Selain dilihat dari proses pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini

37

Politik (ICCPR) dengan ketentuan hukum internasional lainnya

yang berkaitan satu sama lain.

c) Interpretasi historis yaitu menafsirkan makna melalui sejarah

terbentuknya suatu peraturan. Pendekatan historis juga dilakukan

untuk menjelaskan kronologis peristiwa masa lampau yang

melatarbelakangi berbagai instrumen hukum hak asasi manusia

internasional, serta regulasi yang diterbitkan pemerintah dalam

mendukung penegakan hukum hak asasi manusia. Interpretasi

historis digunakan untuk memberikan pandangan-pandangan

mengenai maksud dan tujuan dari pembentukan Konvenan Hak

Sipil dan Politik serta latar belakang terbitnya UU No.

4/PNPS/1963.