BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
-
Upload
truongminh -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada setiap diri manusia di dunia ini sudah pasti melekat hak-hak dasar
yang turut lahir bersama dengan kelahiran manusia itu secara alamiah. Hak-hak
dasar yang melekat pada setiap individu tersebut selayaknya perlu mendapatkan
tempat tersendiri dalam masyarakat untuk dihormati dan dihargai. Hak dasar
tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk menganut agama atau kepercayaan
tertentu, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan lain sebagainya.
Hak untuk bebas mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, juga
termasuk dalam hak dasar manusia. Dalam kehidupan negara yang demokratis,
hak atas kebebasan berpendapat ini sudah barang tentu diakui dan dilindungi
pemenuhannya oleh negara. Ruang lingkup hak atas kebebasan berpendapat
sangat luas, sebab dapat dilakukan melalui media apapun, dimanapun, dan dalam
waktu yang tanpa batas.
Dalam penulisan hukum ini, hak atas kebebasan berpendapat yang akan
dibahas, diberikan batasan yaitu hanya yang dituliskan menjadi buku. Segala ide
dan gagasan manusia yang mampu dituangkan seseorang dalam buku tentu
membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Selain dilihat dari proses
pembuatannya, buku merupakan kumpulan pendapat dan opini seseorang yang
tidak mudah hilang begitu saja dari benak pembacanya. Buku juga dapat
menunjukkan pemikiran lintas generasi. Tidak akan ada orang di dunia ini yang
2
menjadi terpelajar jika tidak ada kemauan para penulis untuk membukukan
tulisannya. Tanpa ada manusia yang mencurahkan tulisannya dalam buku, maka
Voltaire, Tolstoy atau pun Kelsen tidak akan dikenal oleh generasi manusia abad
20 ini. Buah pemikiran mereka hanya didengar oleh diri mereka sendiri ataupun
generasi di masa mereka hidup. Jadi, tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa
buku memiliki peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa.
Pada tahun 1948, negara-negara di dunia berkumpul dan membuat
kesepakatan dalam rangka penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Antonio Cassese
menyebutkan dalam buku ‘Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah’, bahwa
pasca hadirnya DUHAM sebagai salah satu instrumen hukum HAM internasional,
semua negara di dunia jadi memiliki sebuah ‘kode internasional’ yang bersifat
universal, untuk menentukan bagaimana akan bertindak dan menilai yang lain1.
Pada titik itu, negara-negara di dunia sepakat untuk sama-sama melindungi dan
menghormati pemenuhan hak-hak dasar warga negaranya. Kemauan bersama
negara di dunia ini, sebenarnya didasarkan pada keinginan untuk memelihara
perdamaian dunia. Substansi yang terkandung dalam DUHAM juga menjadi salah
satu rujukan penting bagi negara untuk mengaturnya dalam konstitusi negara
mereka.
HAM dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat kuat. Demokrasi
memberikan pengakuan lahirnya keikutsertaan publik secara luas dalam
pemerintahan. Dalam perkembangan awal demokrasi, desakan ke arah hadirnya
1 Antonio Cassese, 2005, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. xx.
3
peran serta publik mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan.2 Indonesia
merupakan salah satu negara yang menjunjung demokrasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang turut
serta mengakui DUHAM sebagai instrumen hukum HAM. Pemerintah telah
melakukan usaha untuk meningkatkan komitmennya terhadap perlindungan HAM
dunia, termasuk memasukkan pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak dasar
manusia ke dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 (UUD 1945). Hak-hak dasar
yang dijaminkan UUD 1945 tersebut diantaranya adalah hak berkumpul, agama,
politik dan mengemukakan pendapat, termasuk di bidang sosial, ekonomi dan
pendidikan.3 Usaha melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dan memasukkan
bab tersendiri tentang HAM, merupakan upaya yang dapat dipandang sebagai
usaha menegakkan demokrasi Indonesia.
Namun, usaha memasukkan pasal tentang perlindungan HAM warga
negara dalam konstitusi Indonesia belum cukup untuk melindungi hak dan
kebebasan warga negara. Salah satu alasannya adalah karena masih
berlangsungnya praktik-praktik pelarangan buku di Indonesia. Praktik pelarangan
buku boleh dilaksanakan melalui Undang-Undang No. 4/Pnps/1963 tentang
Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang Melanggar Ketertiban Umum.
Selain itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI
memberi legitimasi bagi institusi Kejaksaan di Indonesia untuk turut serta dalam
2 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Politik, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 45. 3 Jawahir Thontowi, 2002, Hukum Internasional di Indonesia Dinamika dan Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Madyan Press, Yogyakarta, hlm. 25.
4
usaha ‘mengamankan peredaran buku’4. Berdasarkan Penjelasan Pasal 27 ayat (3)
huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, tugas dan wewenang kejaksaan untuk
mengamankan peredaran buku bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang belaku. Yang dimaksud dengan "turut
menyelenggarakan" adalah mencakup kegiatan-kegiatan membantu, turut serta,
dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa
memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
Pada masa-masa praktik pelarangan buku begitu gencar, ternyata
berpengaruh pada peredaran buku di Indonesia. Pada periode 1945-1966, di
Indonesia terhitung sekitar 1.000 judul buku diterbitkan penerbit-penerbit
partikelir setiap tahunnya. Menginjak periode berikutnya, yakni 1966-1981, angka
itu beranjak menjadi 2.000 judul buku per tahun. Namun, di sela-sela periode itu,
terutama menjelang akhir '60-an hingga awal '70-an, industri penerbitan nasional
sempat mengalami guncangan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
mengurusi bidang pendidikan (UNESCO) melaporkan, pada 1973 Indonesia
mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, tidak satu pun judul buku
diterbitkan oleh para penerbit nasional.(Koran Jakarta, 11 Maret 2009)
Upaya kontrol pemerintah terhadap konten buku dilakukan melalui
institusi yang terus digilir pada lembaga negara yang ada. Pergiliran penunjukan
lembaga yang ‘mengamankan peredaran buku’ ini berlangsung seiring dengan
pergantian rezim pemerintahan. Alasan yang digunakan sebagai dasar pelarangan
4 UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI Pasal 27 (3)
5
buku masih sama, yaitu ‘mengganggu ketertiban umum’. Dalam Undang-Undang
No. 4/Pnps/1963 dijelaskan mengenai alasan ‘ketertiban umum’ tersebut, yaitu:
Pengertian ‘mengganggu ketertiban umum’ haruslah dihubungkan dengan dasar tata tertib kehidupan dari Rakyat dan Negara pada suatu saat. Merusak kepercayaan Rakyat terhadap Revolusi, Sosialisme dan Pemimpin Nasional, adalah contoh terkemuka akan tetapi tidak satu-satunya dari pengertian mengganggu ketertiban umum. Tulisan-tulisan dan gambar yang merugikan dan memajukan pencabulan adalah contoh jenis lain dari pengertian tersebut.5
Konsep ‘ketertiban umum’ dalam penjelasan undang-undang di atas sangat
dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanan negara saat itu.
Sepanjang sejarah pelarangan buku, tercatat nama sastrawan dalam negeri,
Pramoedya Ananta Toer, sebagai salah satu penulis dengan buku yang terbanyak
dilarang terbit oleh pemerintah Indonesia. Berikut ini judul buku karya Pramoedya
yang dilarang terbit, dimiliki dan dibaca:
1. Subuh, Jakarta: Balai Pustaka, 1950 (Instruksi Menteri PD&K)
2. Pertjikan Revolusi, Jakarta: Balai Pustaka, 1951 (SK No. 1381/1965)
3. Keluarga Gerilya, Jakarta: Gapura
4. Mereka yang Dilumpuhkan, Jakarta
5. Ditepi Kali Bekasi, Jakarta: Gapura
6. Bukan Pasar Malam, Jakarta: Balai Pustaka, 1951
7. Tjeritera dari Blora, Jakarta: Nusantara, 1954
8. Gulat di Jakarta, Jakarta: Grafika, 1957
9. Tjeritera Tjalon Arang, Jakarta: Balai Pustaka, 1957
10. Sekali Peristiwa di Banten Selatan, Jakarta: Djawatan Penempatan Tenaga Kerja, PUT
11. Panggil Aku Kartini Sadja, Djilid I, Jakarta: Nusantara, 1962
12. Panggil Aku Kartini Sadja, Djilid II, Jakarta: Nusantara, 1962
13. Hoa Kiau di Indonesia, Jakarta: Nusantara, 1962
5 Fauzan, 2003, Mengubur Peradaban Politik Pelarangan Buku di Indonesia, LKiS, Yogyakarta, hlm. 124.
6
14. Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1980 (SK No. Kep-052/JA/5/1981)
15. Anak Semua Bangsa, Jakarta: Hasta Mitra, 1981
16. Jejak Langkah, Jakarta: Hasta Mitra, 1985 (SK No. Kep-036/JA/5/1986)
17. Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985
18. Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra, 1988 (SK No. Kep-061/JA/1988)
19. Gadis Pantai, Jakarta: Hasta Mitra, 1988
20. Hikayat Siti Mariah, (penyunting Pramoedya Ananta Toer) Jakarta: Hasta Mitra, 1988 (SK No. Kep-081/JA/8/1988)
21. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Lentera, 1995
22. Memoar Oei Tjoe Tat (penyunting Pramoedya Ananta Toer dan Stanley), Jakarta: Hasta Mitra
(sumber: Jaringan Kerja Budaya, ELSAM)
Dari sederet judul buku tersebut, dapat diambil contoh salah satu judul,
‘Bumi Manusia’, buku pertama dalam rangkaian buku ‘Tetralogi Pulau Buru’
yang ditulis Pramoedya selama mendekam selama menjadi tahanan di Pulau Buru.
Sebuah Buletin Teritorial Edisi November 1980, terbitan Departemen Pertahanan
dan Keamanan (Dephankam) RI, mengulas ‘bahaya’ buku berjudul ‘Bumi
Manusia’ tersebut, yaitu6:
1) Pramoedya Ananta Toer masih belum menunjukkan kemauannya untuk melepaskan ideologi komunisnya, bahkan berusaha menonjolkan diri sebagai tokoh karya tulisnya;
2) Terdapat kelompok penyanjung buku ‘Bumi Manusia’ secara berlebih-lebihan dengan tujuan komersial agar masyarakat mau membeli buku tersebut dengan harga tinggi tanpa memikirkan ekses gangguan keamanan dan ketertiban yang ditimbulkan.
Selain Pramoedya, sebenarnya masih banyak lagi nama-nama lain yang
tercatat masuk ke dalam daftar korban pelarangan buku. Bahkan buku-buku yang
diterbitkan untuk kepentingan pendidikan, bilamana tidak sesuai dengan ‘buku
6 Ibid, hlm. 151.
7
putih’ pemerintah, buku-buku tersebut dianggap tidak layak diedarkan dan ditarik
dari masyarakat.
Indonesia sebagai negara yang merdeka dan telah berani menyusun
konsitusi sendiri untuk kehidupan warga negara yang lebih baik, terbukti kurang
mampu mengakomodasi keinginan warga negaranya untuk bebas mengutarakan
buah pikiran melalui penerbitan buku. Sepanjang undang-undang pelarangan buku
masih ada, perlindungan hak atas kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam
konstitusi hanya sekadar idealita yang diletakkan sebagai ‘hitam di atas putih’,
yang tidak sinkron dengan implementasinya. Maka tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa eksistensi undang-undang pelarangan buku telah menegasikan ketentuan
mengenai perlindungan hak atas kebebasan berpendapat melalui tulisan yang
dijaminkan Undang-Undang Dasar RI 1945.
Di tahun 1999, pemerintah berhasil menerbitkan Undang-undang No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setelah setahun sebelumnya muncul
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 yang mengatur tentang HAM. Dengan
terbitnya produk hukum ini membawa sedikit angin segar akan adanya harapan
penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia bisa mengalami perbaikan.
Namun, asa itu meredup kembali ketika melihat Undang-undang pelarangan buku
masih berlaku dan praktik pelarangan buku terus berlanjut.
Pada tahun 2002, Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan atau
pengkajian terhadap buku Aku Bangga Menjadi anak PKI karya Ribka Tjiptaning
(2002). Tim yang di pimpin JAM Intel Basrief Arief itu memberikan rekomendasi
dari jaksa agung M.A. Rachman, yang meminta supaya buku tersebut dinyatakan
8
dilarang dan disita dan ditarik dari peredaran karena buku tersebut dinilai
berpotensi menyebarkan kembali paham dan ajaran komunisme di Tanah air.
Di tahun berikutnya, Kejaksaan Negeri Jayapura melakukan pelarangan
buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay.
Buku ini memaparkan peristiwa sebelum, saat kejadian, dan setelah kematian
Ketua Presidium Dewan Papua itu, yang dibunuh pada 10 November 2001 oleh
Kopassus, unit pasukan elit khusus Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sementara Undang-Undang Pelarangan Buku belum juga dicabut, pada
tahun 2004, terbit undang-undang terbaru tentang Kejaksaan RI. Dalam Pasal 30
(3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, menyebutkan
bahwa kewenangan Kejaksaan dalam bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum,
ialah turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan.
Kata ‘pengawasan’ dalam undang-undang ini tidak banyak mengubah
kewenangan Kejaksaan dalam melarang buku. Dalam Undang-undang Kejaksaan
terdahulu, kewenangan itu disebut sebagai ‘mengamankan’.
Seiring dengan bangkitnya pemahaman dunia akan konstruksi hukum hak
asasi manusia, Indonesia meratifikasi The International Convenant on Civil and
Political Rights atau ICCPR. Ratifikasi tersebut dilakukan melalui Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak
Sipil dan Politik. Sejak saat itu, Indonesia telah menundukkan diri dalam
ketentuan yang ada di dalam ICCPR. Hak atas kebebasan berpendapat adalah
salah satu hak yang diakui dan diatur secara internasional dalam ICCPR.
9
Pasca ratifikasi ICCPR, Indonesia tetap bergeming. Undang-undang
pelarangan buku masih belum dicabut. Berbagai instrumen HAM dibentuk untuk
memberi rasa aman dan melindungi HAM masyarakat di Indonesia, namun
pelarangan buku masih dianggap lumrah untuk dilakukan. Hal ini menunjukkan
bahwa Indonesia belum begitu membuka mata dan menyetujui untuk memerangi
segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
ICCPR memang memperbolehkan negara pihak untuk mengurangi
pemenuhan hak yang termasuk pada kelompok derogable rights. Hak yang
termasuk dalam kategori ini yaitu: hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
hak atas kebebasan berserikat dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau
berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi
dan segala macam gagasan baik lisan maupun tulisan.
Pembatasan terhadap hak tersebut hanya boleh dilakukan sepanjang tidak
melebihi dari yang ditetapkan oleh konvensi. Konvensi memperbolehkan
pembatasan atau pengurangan pemenuhan hak kategori derogable rights dengan
alasan untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan
atau moralitas umum; dan untuk menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Selama ini alasan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk melakukan
pelarangan buku pun, terdengar nyaris ‘sejenis’ dengan alasan yang dibolehkan
ICCPR untuk mengurangi pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat, yaitu
ketertiban umum.
Dengan amandemen UUD 1945, munculnya Undang-Undang
perlindungan HAM, hingga ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional,
10
belum mampu menghapuskan praktik pelarangan buku di Indonesia. Bahkan
praktik pelarangan buku tidak memberikan upaya bagi korban untuk membela
diri.
Tahun 2006, Kejaksaan melakukan pelarangan terhadap Buku Atlas yang
memuat bendera Bintang Kejora (Bendera Organisasi Papua Merdeka) dan
mengkaji buku karya Maksud Simanungkalit berjudul Kutemukan Kebenaran
Sejati dalam Al-Qur’an. Pada tahun 2007, kejaksaan melarang peredaran buku
berjudul Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua
Barat karya Sendius Wonda, penerbit Galang Press. Selain melarang buku
Wonda, Kejaksaan juga mengambil tindakan untuk menyita buku-buku tersebut
bahkan yang sudah terlanjur beredar di toko-toko buku. Selain itu, Kejaksaan juga
mengeluarkan 13 surat keputusan yang melarang buku matapelajaran sejarah
untuk SLTP/A karena dianggap memutarbalikkan sejarah dengan tidak
mencantumkan akronim PKI di belakang “G 30 S” dan tidak mencantumkan
sejarah pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
Pada akhir tahun 2009, Kejaksaan RI mengeluarkan lima buah surat
keputusan yang melarang peredaran buku di Indonesia. Lima buah judul buku
yang resmi dilarang oleh Kejaksaan RI adalah:
1) Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto,
karangan John Roosa;
2) Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan
cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, karangan
Socratez Sofyan Yoman;
11
3) Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian
Rakjat 1950-1965, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.
Dahlan;
4) Enam Jalan Menuju Tuhan, karangan Darmawan;
5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, karangan Drs. H. Syahrudin
Ahmad
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek
Darmanto, buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum dan
substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan.7
Bersamaan pengumuman penerbitan surat keputusan dan daftar judul buku
yang dilarang terbit, Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan RI
melalui siaran pers menjelaskan mengenai alasan yang dijadikan tolak ukur
pelarangan buku, yaitu ‘mengganggu ketertiban umum’.
Mengganggu Ketertiban Umum contohnya antara lain adalah barang cetakan yang berisikan tulisan-tulisan atau gambar-gambar/lukisan-lukisan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, GBHN atau sekarang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), mengandung dan menyebarkan ajaran/paham Komunis/Marxisme-Leninisme yang dilarang berdasarkan TAP MPRS XXV/MPRS 1966, merusak kesatuan dan persatuan masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan RI, merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan, merugikan dan merusak pelaksanaan Program Pembangunan Nasional yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai.8
7 Dewi Indriastuti, ‘Buku-buku ini Dilarang’, artikel harian Kompas 26 Desember 2009, http://www1.kompas.com/lipsus052009/antasariread/2009/12/26/08031264/buku-buku.ini.dilarang, diakses pada 30 Mei 2012 pukul 10.40 WIB. 8 Siaran Pers Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Republik Indonesia disiarkan tanggal 23 Desember 2009, http://www.kejaksaan.go.id/siaranpers.php?id=244
12
Mengingat pengertian ‘ketertiban umum’ yang begitu luas, pihak
Kejaksaan tidak menjelaskan mengenai alasan ‘ketertiban umum’ yang mana yang
dilanggar buku-buku itu.
Praktik yang terus bergulir ini tentu meresahkan warga masyarakat.
Namun, diam bukan lah opsi yang dipilih. Berbagai kampanye, orasi, diskusi,
pameran, penelitian tentang praktik pelarangan buku, dilakukan oleh masyarakat
yang berasal dari kalangan mahasiswa, aktivis, akademisi, LSM. Dengan satu
tujuan, untuk membuka mata pemerintah bahwa praktik pelarangan buku tidak
sesuai dengan konstitusi maupun produk hukum HAM yang telah diterbitkan.
Usaha yang dilakukan masyarakat tersebut menunjukkan bahwa
kegundahan sosial sudah semakin memuncak. Hingga akhirnya masalah praktik
pelarangan buku ini memasuki ranah hukum. Mahkamah Konstitusi menguji
kembali beberapa Undang-Undang No. 4/Pnps/1963 serta beberapa Pasal dalam
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang digunakan sebagai dasar hukum
pelarangan buku di Indonesia. Permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi
ini diajukan oleh beberapa orang perwakilan penulis, perwakilan
aktivis/mahasiswa maupun dari lembaga swadaya masyarakat.
Pada Oktober 2010, permohonan yang diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi membuahkan hasil. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-
13-20/PUU-VIII/2010, Undang-Undang No. 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan
terhadap Barang Cetakan yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum dinyatakan
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 sehingga tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, Mahkamah Konstitusi tidak turut
13
mencabut kewenangan Kejaksaan RI dalam ‘pengawasan peredaran buku’
sebagaimana diatur dalam UU No. 16 tahun 2004.
Lima tahun pasca ratifikasi ICCPR, Undang-undang tentang Pelarangan
Buku baru dicabut. Selama rentang waktu itu, praktik pelarangan buku masih
berlangsung tanpa melalui proses pengadilan (due process of law). Hingga saat
ini, Kejaksaan masih memiliki kewenangan untuk ‘mengawasi’ peredaran buku.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memilih judul penelitian:
PENGARUH RATIFIKASI INTERNATIONAL CONVENTION ON CIVIL
AND POLITICAL RIGHTS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ATAS
KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA DALAM PRAKTIK
PELARANGAN BUKU.
B. Rumusan Masalah
Melalui pemahaman latar belakang masalah dan uraian-uraian fakta yang
telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk
pertanyaan berikut:
1. Apakah praktik pelarangan buku berdasarkan Undang-Undang No.
4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang
Mengganggu Ketertiban Umum melanggar hak asasi manusia?
2. Bagaimana pengaruh ratifikasi The International Convenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) terhadap perlindungan hak atas
kebebasan berpendapat di Indonesia dalam praktik pelarangan buku?
14
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian tersebut, penulis melakukan
penelitian hukum ini dengan tujuan obyektif:
1. Mengetahui apakah Undang-undang No. 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban
Umum melanggar ketentuan hukum hak asasi manusia.
2. Mengetahui sejauh mana pengaruh ratifikasi Konvenan Hak Sipil dan
Politik yang dilakukan pemerintah terhadap perlindungan hak atas
kebebasan berpendapat dalam praktik pelarangan buku di Indonesia.
Selain hal-hal tersebut di atas, penulisan hukum ini secara
subyektif dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat agar penulis
dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian
Dalam mengetahui keaslian penelitian, penulis melakukan penelusuran
pada berbagai bentuk referensi dan hasil penelitian dari media, baik cetak maupun
elektronik. Penelusuran yang telah penulis lakukan bertujuan agar penulis mampu
meletakkan ide dan gagasan yang orisinil dalam penelitian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan. Penulis sampaikan penelitian dari peneliti terdahulu yang
sekiranya memiliki persamaan dengan tema pokok yang menjadi variabel di
dalam penulisan hukum ini. Pada penelitian yang ada, telah membantu penulis
melahirkan hipotesis-hipotesis awal dari penelitian yang sedang penulis lakukan.
15
Dengan demikian, penulis berharap penelitian ini mampu menambah dan
melengkapi penelitian yang telah ada.
Selama melakukan studi pustaka di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, terdapat penelitian hukum yang dituangkan dalam
penulisan berbentuk skripsi, yang dilakukan oleh Osta Segara tahun 2012 dalam
dengan judul Kajian Hukum terhadap Hubungan Ketentuan Hak Kebebasan
Berpendapat Jurnalistik dengan Konstitusi dan Kerahasiaan Negara dalam
Kasus Pembocoran “US Diplomatic Cablegate” oleh Wikileaks membahas
mengenai topik hukum hak asasi manusia Internasional yang dihubungkan dengan
ketentuan hak kebebasan berpendapat jurnalistik dengan konstitusi dan
kerahasisaan negara. Penelitian hukum tersebut menganalisis kasus pembocoran
kawat diplomatik Amerika yang dilakukan oleh Wikileaks. Persamaan penelitian
hukum tersebut dengan penelitian hukum yang penulis lakukan adalah pada
pembahasan hak kebebasan berpendapat. Namun, dipandang dari sudut yang lebih
spesifik, penelitian yang telah dilakukan tersebut, menelaah dan mengkaji tentang
hak kebebasan berpendapat dalam jurnalistik. Tak heran, dalam penelitian ini
ditemukan pembahasan mengenai kode etik jurnalistik. Hal-hal ini jelas berbeda
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Penelitian hukum yang akan penulis lakukan berjudul Pengaruh
Ratifikasi International Convention on Civil and Political Rights terhadap
Perlindungan Hak atas Kebebasan Berpendapat di Indonesia dalam Praktek
Pelarangan Buku 1963-2010. Setelah melalui studi pustaka di lingkungan
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian
16
hukum berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun jurnal ilmiah, yang mengangkat
judul maupun variabel-variabel yang sama secara keseluruhan dengan penulisan
hukum ini. Selain itu, penulis juga tidak menemukan adanya penelitian hukum
berkaitan dengan praktek pelarangan buku yang penulis angkat dalam penelitian
ini. Kalaupun ditemukan kemiripan variabel pada penelitian sebelumnya, penulis
menilai bahwa persamaan yang ditemukan tersebut tidak signifikan dan materi
pembahasan dan pendekatan kasus yang digunakan sebagai pisau analisis pun
jauh berbeda.
Dalam penelitian hukum yang akan dilakukan ini, penulis berusaha
menjelaskan garis besar usaha pemerintah dalam mendukung promosi hukum
HAM internasional. Setelah itu, akan dijelaskan tentang bagaimana praktik
pelarangan buku yang telah melanggar hak atas kebebasan berpendapat. Lalu
penulis mengidentifikasi ketentuan hukum internasional yaitu The International
Convenant on Civil and Political Rights serta ketentuan hukum nasional tentang
hak atas kebebasan berpendapat. Hasil yang diharapkan dari penelitian hukum ini
adalah penulis dapat menjelaskan pengaruh ratifikasi Konvensi Hak Sipol
terhadap hak atas kebebasan berpendapat di Indonesia terutama dalam praktek
pelarangan buku yang terjadi yang telah mengorbankan banyak ide dan gagasan
warga negara. Dengan demikian, penelitian ini dianggap dapat memenuhi kaedah
keaslian penelitian.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, penulisan hukum ini diharapkan dapat
bermanfaat baik untuk kepentingan akademis dan kepentingan praktis.
17
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
untuk pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan
pengembangan ilmu hukum pada khususnya. Penulis berharap, hasil
penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi para akademisi maupun
peneliti dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Memberikan gambaran kepada Pemerintah Indonesia mengenai sejauh
mana pengaruh ratifikasi suatu konvensi, dalam hal ini Konvenan Hak
Sipil dan Politik, dalam melindungi hak atas kebebasan berpendapat,
termasuk di dalamnya hak untuk mencari dan memperoleh informasi
oleh warga negara. Sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia dalam pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat
melalui tulisan berupa buku, agar terbentuk kehidupan masyarakat
demokratis yang ideal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah, bahwa dibutuhkan upaya
sinkronisasi peraturan perundang-undangan antara peraturan
perundang-undangan nasional yang telah ada dan akan dibentuk,
dengan peraturan yang diadopsi dari ketentuan internasional.
F. Landasan Teori
Hukum internasional merupakan keseluruhan hukum yang terdiri dari
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara merasa
18
dirinya terikat untuk menaati dan karenanya, benar ditaati secara umum dalam
hubungan-hubungan mereka satu sama lain.9
Hukum internasional pada dasarnya memiliki cakupan yang luas, meliputi
hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Mochtar
Kusumaatmadja menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah hukum
internasional adalah hukum internasional publik, yang tentunya tidak bersifat
perdata. Hukum internasional publik adalah seluruh kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan
internasional) yang bukan bersifat perdata.
Antara hukum internasional dengan hukum nasional memiliki hubungan
erat karena kedua sistem hukum tersebut saling berkaitan dan bersinggungan.
Secara teori, terdapat dua pandangan tentang hukum internasional. Pertama,
pandangan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada
kemauan negara. Kedua, pandangan obyektivis, yang menganggap ada dan
berlakunya hukum internasional, terlepas dari kemauan negara. Kedua pandangan
ini pun membawa akibat yang berbeda. Dari sudut pandang voluntarisme,
mengakibatkan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
terpisah dan hanya sebagai dua perangkat hukum yang hidup berdampingan. Di
lain pihak, dari pandangan obyektivis menganggap bahwa hukum nasional dan
hukum internasional merupakan kesatuan perangkat hukum.10
9 J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh Jilid I,Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 3. 10 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 56.
19
Berangkat dari teori tersebut di atas, maka permasalahan yang harus
dijawab selanjutnya adalah mengenai kedudukan hirarki antara hukum
internasional dan hukum nasional. Dengan mengetahui kedudukan hirarki antara
hukum internasional dan hukum nasional, maka dapat terjawab hukum yang mana
yang tunduk terhadap hukum yang lainnya.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, perlu diurai tentang teori
dualisme dan monisme. Berdasarkan teori dualisme, teori yang dianut oleh Triepel
dan Anzilotti, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem
atau perangkat hukum yang terpisah satu dari lainnya. Akibatnya, kaidah-kaidah
dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada
perangkat hukum yang lain11. Maka, menurut teori dualisme, hukum nasional dan
hukum internasional adalah dua perangkat hukum yang berlainan yang tidak
bergantung antara satu dengan lainnya. Selain itu, teori dualisme juga
mengakibatkan perlu adanya transformasi bagi ketentuan hukum internasional
untuk menjadi hukum nasional, sebelum berlaku dalam lingkungan hukum
nasional. Kekurangan dari teori dualisme adalah meskipun terjadi pemisahan
mutlak antara hukum internasional dan hukum nasional secara teoritis, namun
tidak berlaku demikian dalam tataran praktis. Sebab ada kalanya negara
melakukan praktik dimana hukum nasional tunduk atau sesuai dengan ketentuan
hukum nasional.
Berdasarkan teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional
adalah dua bagian dalam satu kesatuan hukum yang mengatur kehidupan manusia.
11 Ibid, hlm. 58.
20
Akibatnya, di antara dua perangkat hukum ini dimungkinkan terdapat hubungan
hierarki. Dalam teori monisme, terbagi menjadi dua pandangan yang berpendapat
berbeda tentang hubungan hierarki kedua perangkat hukum ini. Menurut
pandangan monisme dengan primat hukum nasional, muncul anggapan bahwa
hukum nasional merupakan perangkat hukum utama dalam hubungan antara
hukum nasional dengan hukum internasional. Hukum internasional kemudian
dianggap sebagai lanjutan dari hukum nasional belaka.12 Kelemahan dari
monisme dengan primat hukum nasional adalah menganggap bahwa perjanjian
internasional merupakan satu-satunya sumber hukum internasional. Selain itu,
kelemahan lainnya adalah bahwa keterikatan negara pada hukum internasional
digantungkan pada hukum nasional. Jadi dapat dikatakan bahwa menurut primat
hukum nasional, hukum internasional berlaku atas kemauan negara semata. Hal
ini tentu menjadi tidak berbeda dengan kesimpulan dari teori dualisme.
Selain itu, terdapat paham monisme dengan primat hukum internasional.
Menurut paham ini, dalam hubungan hukum nasional dan hukum internasional,
yang utama adalah hukum internasional. Jadi hukum nasional tunduk pada hukum
internasional dan kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian
wewenang dari hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab
Vienna seperti Kelsen, dan didukung pula oleh aliran yang berpengaruh di
Perancis, seperti Duguit, Scelle dan Bourquin.13 Meskipun paham ini dinilai logis
dan lebih dapat diterima, namun tetap saja memiliki kelemahan. Menurut
12 Aliran ini pernah kuat di Jerman dan disebut dengan mazhab Bonn. Buka Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, hlm. 61. 13 Ibid, hlm. 62.
21
pandangan ini hukum nasional bergantung kepada hukum internasional, maka
muncul anggapan bahwa hukum internasional lahir lebih dahulu dari hukum
nasional. Dalil ini tentu tidak dapat dibenarkan begitu saja. Menurut kenyataan
sejarah, hukum nasional ada sebelum adanya hukum internasional. Ini lah salah
satu kelemahan dari paham monisme dengan primat hukum internasional.
Pada kesimpulannya, setelah mengurai teori monisme dan dualisme serta
paham-paham yang berkembang dalam hubungannya dengan masalah hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional, kedua teori ini tidak mampu
memberi jawaban yang memuaskan. Kesimpulan bahwa hukum nasional tunduk
pada hukum internasional mau tidak mau harus kita terima kalau kita mengakui
adanya hukum internasional.14
1. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Hukum internasional mengenal dua macam sumber hukum yaitu sumber
hukum formal dan sumber hukum material. Menurut Mochtar Kusumaatmaja,
sumber hukum dalam arti materiil yaitu dasar kekuatan mengikat hukum
internasional. Sedangkan sumber hukum dalam arti formil yaitu ketentuan-
ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaedah dalam satu persoalan
konkret.15 Menurut Prof. Burhan Tsani, sumber hukum internasional adalah
14 Ibid, hlm. 64. 15 Mochtar Kusumaatmaja, 1981, Pengantar Hukum Internasional Buku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung, hlm. 106.
22
tempat dapat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk
memecahkan persoalan yang timbul dalam hubungan antar negara.16
Dalam menemukan sumber hukum internasional untuk menerapkan
ataupun menjawab permasalahan hukum internasional yang muncul, biasanya
para ahli hukum akan mengacu Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional:
(a) Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-
negara yang bersengketa;
(b) Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang
telah diterima sebagai hukum;
(c) Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
(d) Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagi sumber tambahan bagi menetapkan kaidah
hukum.
Adapun Pasal 38 (1) dari Statuta Mahkamah Internasional tersebut, tidak
lebih hanya sebagai ‘titik awal’ bagi penyebutan ‘sumber-sumber’ hukum
internasional.17 Jadi maksud maupun tujuan awal dari dibuatnya Pasal tersebut
sama sekali bukan semata-mata untuk mengatur tentang sumber hukum
internasional.
Urutan penyebutan sumber-sumber hukum dalam Pasal 38 ayat 1 di atas
pun, tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing-masing sumber
16 Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 8. 17 Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, hlm. 51.
23
hukum, sebab mengenai hal ini tidak diatur dalam Pasal 38. Sumber hukum formil
tersebut dibagi atas dua golongan yaitu: sumber hukum utama atau primer dan
sumber hukum tambahan atau subsider.18 Sumber hukum utama atau primer
terdiri dari perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan prinsip hukum
umum yang diakui oleh bangsa beradab. Sedangkan sumber hukum tambahan atau
subsider yaitu keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling
terkemuka dari berbagai negara.
Statuta Mahkamah Internasional tidak menyebutkan sumber hukum mana
yang terpenting untuk digunakan. Mochtar Kusumaatmaja menyebutkan bahwa
hubungan antara sumber-sumber hukum sangat erat dan saling mengisi satu sama
lain, sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan mana sumber hukum yang
terpenting di antara sumber hukum lainnya.19
Perjanjian internasional, salah satu sumber hukum yang diakui dalam
hukum internasional, dikenal sebagai traktat (treaty). Menurut Mochtar
Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dengan tujuan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum tertentu.20 Perjanjian internasional harus diadakan oleh subyek-
subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.21 Di
lain pihak, Sugeng Istanto memberikan pengertian lain mengenai perjanjian
internasional (treaty) yaitu sarana utama yang dipunyai negara untuk memulai dan
18 Mochtar Kusumaatmaja, op.cit., hlm. 108. 19 Ibid, hlm. 109. 20 Ibid. 21 Ibid, hlm. 110.
24
mengembangkakn hubungan internasional.22 Dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan nasional Indonesia, ditemukan dua peraturan perundang-
undangan yang memberikan definisi mengenai perjanjian internasional:
Pasal 1 (3) Undang-undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri:
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara , organisasi, atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Pasal 1 Poin 1 Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional:
“Perjanjian internasional adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lainnya.”
Hukum traktat pada awalnya hanyalah merupakan kaidah hukum
kebiasaan internasional. Pada 1969, dilakukan penyusunan kembali pada sebagian
besar kaidah-kaidah hukum tersebut secara sistematis ke dalam bentuk Vienna
Convention on the Law of the Treaties. Konvensi Wina 1969 tentang hukum
perjanjian ini tidak hanya sekadar menyatakan atau merumuskan kembali atau
mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional dalam bidang perjanjian,
melainkan juga pengembangan secara progresif hukum internasional tentang
perjanjian.23 Seorang ahli hukum internasional, Starke, berpendapat lain yaitu
bahwa upaya kodifikasi hukum traktat ke dalam Konvensi Wina 1969 adalah
22 Sugeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 63. 23 Syahmin A.K., 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, CV Armico, Bandung, hlm. 2.
25
dengan maksud dan tujuan khusus untuk dijadikan sebagai suatu kitab hukum
traktat24. Sangkalan Starke dapat diterima, mengingat ternyata masih
dimungkinkan ada beberapa hal yang belum diatur dalam Konvensi Wina dan
konvensi tersebut masih mengakui sahnya penggunaan hukum kebiasaan
internasional untuk menjawab permasalahan yang tidak ditemukan pengaturannya
dalam konvensi. Hal tersebut tercantum dalam konsideran Konvensi Wina tahun
1969, pada bagian terakhir, yang berbunyi:
“Affirming that the rule of Customary International Law will contintue to govern questions not regulated by the provision of the present convention.”
Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969, perjanjian
internasional merupakan suatu persetujuan internasional yang ditandatangani antar
negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat
dalam bentuk satu instrumen tunggal atau dalam dua instrumen yang saling
berhubungan atau lebih dan apapun yang menjadi penandaan khusus. Konvensi
Wina 1986 memberi batasan perjanjian internasional, yaitu yang dilakukan antar
negara-negara, antar organisasi internasional, ataupun antara negara dengan
organisasi internasional.
Dalam hukum perjanjian internasional dikenal banyak istilah yang
digunakan untuk menyebutkan perjanjian internasional atau traktat.25 Istilah yang
dimaksud seperti treaty, pact, convention, statute, charter, Declaration, Protocol,
24 Buka J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh Jilid 2, Sinar Grafika, Jakarta, pada Bab 16 mengenai ‘hukum dan praktek mengenai traktat’ 25 Istilah “traktat” (treaty) dapat dianggap sebagai nama umum (nomen generalissimum) dalam hukum internasional. Buka J.G. Starke Buku 2, hlm. 583.
26
Arrangement, Agreement, Accord, Modus Vivendi, Covenant, dan lain
sebagainya.26
Selain itu, terdapat pula istilah soft law (hukum lunak) dan hard law
(hukum keras). Instrumen hukum keras (hard law), dibuat dan ditujukan untuk
mendapatkan kepatuhan secara paksa terhadap negara pesertanya. Sedangkan
hukum lunak (soft law) adalah instrumen hukum yang mengandung norma-norma
yang diharapkan suatu saat nanti dapat menjadi bimbingan bagi aktor-aktor
internasional, tanpa memiliki kekuatan hukum memaksa. Dalam gilirannya,
hukum lunak pun dapat menjadi keras, keadaan ini tercermin pada kedudukan
yang dimiliki oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang saat ini kekuatan
hukum memaksanya sudah lebih dari sekadar ‘deklarasi’.27
2. Ratifikasi
Ratifikasi merupakan perbuatan suatu negara menurut ketentuan hukum
nasionalnya untuk menetapkan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional yang sudah ditandatangani perutusannya. Ratifikasi memiliki makna
secara internal dan eksternal. Secara internal, ratifikasi menimbulkan konsekuensi
bagi negara peratifikasi yaitu suatu perjanjian internasional menjadi bagian hukum
nasional negara tersebut dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi
tersebut berlaku di selurih wilayah negara peratifikasi. Dari segi eksternal,
26 Mochtar Kusumaatmaja, op.cit., hlm. 111. 27 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, op.cit., hlm. 71.
27
ratifikasi bermakna sebagai sikap suatu negara untuk menundukkan diri pada isi,
tujuan dan falsafah perjanjian internasional dengan itikad baik.28
Ratifikasi berasal dari kata ratificare (bahasa latin), yang mengandung arti
persetujuan (approval) atau pengesahan (confirmation). Ratificare dalam bahasa
latin memiliki dua arti, yaitu:
a. Ratum habare dan ratum ducere, ratifikasi bermakna sebagai
persetujuan formal terhadap perjanjian. Tanda tangan wakil yang
berkuasa penuh, telah menyebabkan negara yang diwakilinya, terikat
pada perjanjian yang bersangkutan.
b. Ratum facare dan ratum alicul esse, ratifikasi bermakna sebagai
persetujuan peningkatan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang
berlaku mengikat bagi negara peserta. 29
Pasal 2 (1.a) Konvensi Wina menentukan:
“ratification means each case the international act so named whereby a state establishes on the international plan its consent to be bound by treaty”
Pelaksanaan ratifikasi tergantung pada hukum nasional negara yang
bersangkutan. Dasar pembenaran adanya ratifikasi ialah bahwa negara berhak
untuk meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima
kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan
28 Sumber: diktat matakuliah Hukum Perjanjian Internasional, tidak diterbitkan. 29 Syahmin A.K., 1997, Hukum Internasional Publik Dalam Kerangka Studi Analitis, Binacipta, Bandung, hlm. 452.
28
bahwa negara tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya
dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.30
Setelah melakukan ratifikasi, maka negara harus menunjukkan komitmen
terhadap upaya hukum tersebut dengan menghormati dan melaksanakan
kewajiban yang diatur dalam sebuah perjanjian internasional. Kekuatan
mengikatnya suatu perjanjian internasional berdasarkan pacta sunt servanda.
3. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada diri
setiap manusia. The United Nations Centre for Human Rights memberi definisi
HAM sebagai hak-hak yang diwariskan secara alamiah dan tanpa hak-hak tersebut
kita tidak dapat hidup sebagai manusia.31
Menurut peraturan perundang-undangan nasional, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menyebutkan definisi hak asasi manusia adalah:
“Seperangkat hak yang melekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dalam skala hukum internasional, instrumen hukum yang menjadi dasar
hukum HAM internasional adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
30 Sugeng Istanto, op.cit., hlm. 68. 31 “…human rights as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings..”. Buka Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, 2007, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.54.
29
(DUHAM)32. DUHAM dibentuk pada tahun 1948 sebagai sebuah instrumen
HAM pertama yang dipandang mengandung substansi yang komprehensif. Jauh
sebelum digagasnya DUHAM, hak asasi manusia yang berkembang di dunia
dipengaruhi oleh teori-teori hukum alam serta berbagai aliran ideologi yang
tumbuh di antara bangsa-bangsa.
4. Tinjauan Umum ICCPR
The International Convenant of Civil and Political Rights (ICCPR)
merupakan salah satu instrumen hukum hak asasi manusia internasional. ICCPR
dibentuk pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada 23 Maret 1976. Berbeda
dengan DUHAM, ICCPR dibuat dengan substansi yang lebih spesifik dan telah
memiliki kekuatan mengikat karena berbentuk konvenan. Sedangkan DUHAM
hanya mengandung substansi perlindungan HAM secara umum dan kurang
memiliki kekuatan mengikat (legally binding) sebagai sebuah perjanjian
internasional karena berbentuk deklarasi.
Hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR dapat dibagi
menjadi dua klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-
derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat
sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah:
a) Hak atas hidup (rights to life);
b) Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);
32 Hal ini tercantum secara eksplisit dalam Pembukaan DUHAM.
30
c) Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery);
d) Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian atau
utang;
e) Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut
f) Hak sebagai subjek hukum
g) Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan agama.
Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable rights, yakni hak-
hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara Pihak.
Hak dan kebebasan yang termasuk ke dalam jenis ini adalah:33
a) Hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
b) Hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi
anggota serikat buruh;
c) Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi,
termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi
dan segala macam gagasan.
Negara Pihak ICCPR memiliki tanggung jawab untuk memberikan
perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di
dalam konvensi.34 Selain itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan
tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang
terdapat dalam ICCPR.
Di sisi lain, ICCPR memberi keleluasaan negara untuk menyimpangi hak-
hak yang diatur di dalamnya. Namun penyimpangan tersebut dilakukan semata
33 Ifdhal kasim, Seri khusus advokat, Elsam. 34 Pasal 2 (1) ICCPR
31
demi: menghormati hak atau reputasi orang lain serta melindungi keamanan
nasional ataupun ketertiban umum, atau kesehatan dan moral.
5. Hak atas Kebebasan Berpendapat
Hak atas kebebasan berpendapat merupakan hak yang diatur dalam
konstutusi Negara Republik Indonesia dan tercantum pula dalam Pasal 19
DUHAM dan ICCPR. Pasal 28 UUD 1945 menjamin bahwa kemerdekaan untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dalam Pasal 28E juga
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Masih berkaitan dengan hak atas kebebasan
berpendapat, yaitu jaminan atas hak memperoleh informasi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 28F UUD 1945.
Pasal 19 DUHAM berbunyi:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.
Sementara dalam Pasal 19 ICCPR, berbunyi:
(1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini
termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
Demikian pentingnya kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat, hingga
berbagai instrumen hukum HAM pun berusaha untuk menjamin perlindungan
32
atasnya. Meskipun dalam konteks ketentuan jaminan kebebasan mengeluarkan
pendapat yang diatur dalam ICCPR masih dimungkinkan untuk dibatasi.
G. Metode Penelitian
Metode merupakan prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai
suatu tujuan tertentu.35 Penelitian hukum sebagai sebuah kegiatan ilmiah,
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya.36 Menurut Soerjono Soekanto, metode penelitian merupakan
pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisis, dan
memahami lingkungan yang dihadapinya.37 Berikut adalah pemaparan mengenai
cara dan langkah yang penulis gunakan dalam rangka menemukan jawaban
permasalahan dari penelitian ini, lalu menyusun dan menuliskannya secara logis
dan sistematis dilengkapi dengan analisis kritis-yuridis dalam sebuah penulisan
hukum.
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif. Pada
penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu
penelitian digolongkan sebagai data sekunder.38 Meskipun data dasar yang
digunakan dalam penelitian ini berupa bahan pustaka atau data sekunder, namun
35 Jujun S. Suriasumantri, 2000, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 330. 36Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 43. 37Ibid, hlm. 6. 38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 24.
33
hal ini tidak mempengaruhi dan mereduksi niat penulis untuk menghasilkan karya
penelitian hukum yang ilmiah dan orisinil, bukan sekadar adopsi dan plagiasi
semata.
2. Data Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan data sekunder berupa:
a) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang menjadi sumber
utama dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.39 Untuk
memudahkan penggunaannya, maka bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori.
Pertama, instrumen hukum internasional yang tertulis berupa
declaration, convention, maupun sejenisnya yang mengatur tentang
hukum hak asasi manusia internasional, diantaranya: Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM), The International
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), United Nations
Human Right Committee General Comment No. 34.
Kedua, sejumlah regulasi nasional Indonesia yang berlaku menurut
hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, yaitu UUD RI 1945, Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Hak Sipil
39 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 52.
34
dan Politik, Undang-Undang No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan
terhadap Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban.
Ketiga, ketentuan hukum lainnya yang dianggap terkait, meliputi:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
b) Bahan hukum sekunder
Yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.40 Bahan
hukum sekunder dipahami juga sebagai data yang diperoleh bukan dari
institusi atau lembaga resmi negara, dapat berupa hasil penelitian,
publikasi hukum, buku-buku ilmiah hukum, jurnal hukum, majalah dan
lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu bahan
hukum sekunder juga diperoleh melalui media massa maupun melalui
pencarian pada situs-situs yang disediakan di internet.
c) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,41
termasuk di dalamnya kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Dalam
penelitian hukum ini akan menggunakan bahan hukum tersier berupa:
1) Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary Ninth Edition,
St. Paul: Thomson Reuters.
2) Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, 2000, Kamus Inggris-
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
40 Ibid. 41 Ibid.
35
3) Tim Redaksi Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
4) Tim Redaksi Tatanusa, 2008, Kamus Istilah Menurut Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia 1945-2007 Edisi
Baru, Jakarta: PT Tatanusa.
3. Cara Pengumpulan Data
Jika dilihat dari sumber data yang digunakan selama melakukan penelitian,
jenis penelitian ini termasuk pula dalam penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan atau studi pustaka dalam penelitian hukum dilakukan dengan
menelusuri buku-buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ilmu
hukum dan sasaran penelitian yang hendak diteliti.42 Dalam melakukan penelitian
hukum ini, data yang diperlukan dikumpulkan dengan cara studi pustaka
(literature research) melalui kegiatan menelaah laporan hasil penelitian dan
dokumen lainnya. Studi pustaka dilakukan di beberapa tempat, diantaranya:
a) Perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
b) Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
c) Perpustakaan UPT II, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Penelitian kepustakaan ini tidak cukup hanya dilakukan pada satu tempat
atau satu perpustakaan semata disebabkan masing-masing perpustakaan memiliki
keterbatasan daya dukung dalam menyediakan bahan pustaka atau data sekunder
42 Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm. 57.
36
yang diperlukan penulis. Selain itu, pegumpulan data juga dilakukan dengan cara
wawancara dengan narasumber yang memiliki keilmuan maupun kepakaran di
bidang yang berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan hukum ini.
4. Metode Analisis
Dalam penelitian hukum ini digunakan metode analisis kualitatif. Metode
kualitatif adalah suatu cara analisis yang mengambil dan mengolah data yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Data tersebut diperoleh melalui
studi kepustakaan lalu dipelajari untuk merumuskan jawaban dari permasalahan
pada penelitian hukum ini. Selain itu, dalam menganalisis data juga dibantu
dengan metode interpretasi. Beberapa jenis interpretasi yang digunakan dalam
penelitian diantaranya:
a) Interpretasi gramatikal yaitu menafsirkan makna istilah-istilah,
kata, maupun suatu terminologi yang digunakan dalam prinsip
maupun ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan
juga ketentuan hukum internasional, dengan cara menguraikannya
dalam bahasa yang secara umum digunakan sehari-hari.
b) Interpretasi sistematis yaitu menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum
atau undang-undangan lain atau dengan keseluruhan sistem
hukum.43 Dalam penulisan hukum ini, interpretasi sistematis
digunakan untuk menghubungkan antara Konvenan Hak Sipil dan
43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 58.
37
Politik (ICCPR) dengan ketentuan hukum internasional lainnya
yang berkaitan satu sama lain.
c) Interpretasi historis yaitu menafsirkan makna melalui sejarah
terbentuknya suatu peraturan. Pendekatan historis juga dilakukan
untuk menjelaskan kronologis peristiwa masa lampau yang
melatarbelakangi berbagai instrumen hukum hak asasi manusia
internasional, serta regulasi yang diterbitkan pemerintah dalam
mendukung penegakan hukum hak asasi manusia. Interpretasi
historis digunakan untuk memberikan pandangan-pandangan
mengenai maksud dan tujuan dari pembentukan Konvenan Hak
Sipil dan Politik serta latar belakang terbitnya UU No.
4/PNPS/1963.