Pengaruh Enkapsulasi Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit atau gangguan metabolisme
dengan ciri-ciri hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) akibat gangguan dari
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan kurangnya sekresi
insulin, aktivitas insulin, atau keduanya. Gejala yang sering muncul dari penyakit
ini adalah polidipsi (sering haus), poliuri (sering buang air kecil), polifagi (sering
lapar), pandangan kabur, dan penurunan berat badan. DM juga menambah resiko
terhadap penyakit degeneratif lainnya seperti kardiovaskular, peripheral vascular,
dan serebrovaskular (WHO, 1999).
Penyakit DM termasuk dalam noncommunicable diseases dan menjadi
salah satu penyebab utama kematian di dunia. Tercatat pada tahun 2012, DM
menyebabkan 1,5 juta kematian atau sekitar 4 % dari total kematian yang
diakibatkan oleh noncommunicable diseases (WHO, 2014). Hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan persentase kematian akibat
penyakit DM di Indonesia menempati peringkat ke-6 dengan 5,7 % (Depkes RI,
2008a). Berdasarkan tingginya angka kematian tersebut, maka diperlukan suatu
pengobatan yang tepat. Saat ini pengobatan DM lebih banyak menggunakan Oral
Anti Diabetes (OAD) antara lain golongan sulfonilurea, biguanid,
thiazolidinedione (TZD), inhibitor glukosidase atau dengan menggunakan
suntikan insulin (Widowati dkk., 1997). Cara pengobatan tersebut tergolong
2
mahal sehingga kebanyakan masyarakat berusaha mencari pengobatan alternatif
dengan obat tradisional.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah
Brazil yang terdiri dari tumbuhan tropis dan biota laut. Terdapat sekitar 30.000
jenis tumbuhan dan 7.000 diantaranya diduga memiliki khasiat sebagai obat
(Sampurno, 2007). Sambiloto (Andrographis paniculata) dan mimba
(Azadirachta indica) telah digunakan oleh masyarakat luas sebagai pengobatan
secara tradisional pada berbagai macam penyakit termasuk diabetes (Akter dkk.,
2013). Produk GD merupakan salah satu produk herbal yang berisi campuran
ekstrak herba sambiloto (Andrographidis Paniculatae Herbae Extractum) dan
ekstrak daun mimba (Azadirachtae Indicae Folii Extractum). Produk ini memiliki
manfaat dalam membantu menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, menunjukkan pemberian kombinasi
ekstrak herba sambiloto (50 %) dan ekstrak daun mimba (50 %) selama 15 hari
mampu menurunkan kadar glukosa darah pada tikus DM yang diinduksi alloxan.
Selain itu, kombinasi dari kedua ekstrak tanaman tersebut memberikan efek
hipoglikemik yang lebih tinggi dibandingkan bila tanpa kombinasi. Hal ini
membuat kombinasi ekstrak dari herba sambiloto dan daun mimba berpotensi
untuk dikembangkan sebagai agen antidiabetik (Nugroho dkk., 2014).
Sambiloto (Andrographis paniculata) memiliki senyawa utama
andrografolid yang banyak terdapat pada daun dan batang. Uji toksisitas akut
secara per oral ekstrak sambiloto menunjukkan keamanan sampai pada dosis lebih
dari 5 g/kgBB (Chandrasekaran dkk., 2009). Profil toksisitas subkronis yang
3
relatif aman juga ditunjukkan pada dosis 20, 200, dan 1000 mg/kgBB pada organ
reproduksi tikus jantan galur SD (Sprague Dawley) (Burgos, 1997). Namun
berdasarkan penelitian Kumar dkk. (2009), evaluasi potensial spermisida
sambiloto (Andrographis paniculata) menunjukkan bahwa pada konsentrasi 200
μg/ml menyebabkan kematian sperma.
Mimba (Azadirachta indica) memiliki kandungan bahan aktif terpenoid,
diterpen, dan tetraner-triterpenoid seperti azadirachtin, nimbolide, nimbidinic
acid, azadiron, dan nimbin (D’Amelio, 1999). Mimba juga memiliki kandungan
fenolik dan flavonoid yang merupakan metabolit sekunder paling penting.
Kandungan flavonoid mimba memiliki aktivitas sebagai agen hipoglikemik dan
memiliki konsentrasi paling tinggi pada daun (Chattopadhayay, 1999; Ghimeray
dkk., 2009).
Toksisitas akut ekstrak daun mimba pada hewan uji tidak menyebabkan
kematian sampai dosis 4 g/kgBB. Hewan juga tidak menunjukkan gejala yang
berhubungan dengan keracunan seperti kejang, ataksia, diare atau meningkatnya
diuresis (Akter dkk., 2013). Penelitian lain menyebutkan bahwa minyak biji
mimba yang diberikan pada mencit menyebabkan toksisitas subakut pada dosis
1600 mg/kg/hari (Deng dkk., 2013). Ekstrak abu kayu dari mimba juga
menimbulkan efek toksik pada jaringan sperma dan testis sehingga mempengaruhi
sistem reproduksi (Auta & Hassan, 2016).
Toksisitas akut kombinasi ekstrak etanolik herba sambiloto (50 %) dan
daun mimba (50 %) pernah dilakukan, pada hari ke-14 setelah pemberian senyawa
uji tidak terdapat satu ekor hewan uji yang mengalami kematian dengan nilai LD50
4
berada pada rentang dosis 5000 mg/kgBB sampai dosis tak terhingga. Hasil
pengamatan histopatologi juga menunjukkan tidak adanya efek toksik terhadap
organ lambung, pankreas, ginjal, jantung, limfa, paru-paru, hati, dan usus
(Marceila, 2014).
Penggunaan obat antidiabetes umumnya memerlukan waktu relatif lama,
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efek toksisitas
subkronis dari produk GD campuran ekstrak herba sambiloto dan daun mimba.
Selain itu, adanya profil toksisitas pada tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata) dan mimba (Azadirachta indica) sehingga perlu diketahui
ketoksikannya lebih lanjut. Parameter yang digunakan untuk menguji produk
campuran ekstrak herba sambiloto dan daun mimba ini adalah kimia darah dan
urin yang digunakan untuk mengetahui lebih jauh paparan toksikan dari berbagai
macam komponen senyawa aktif bahan uji.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji produk GD campuran ekstrak
herba sambiloto 50 mg dan ekstrak daun mimba 100 mg secara berulang
terhadap perubahan kimia darah dan urin tikus jantan Wistar selama masa
perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-118)?
2. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji produk GD campuran ekstrak
herba sambiloto 50 mg dan ekstrak daun mimba 100 mg secara berulang
terhadap asupan makanan dan minuman serta berat badan tikus jantan Wistar?
5
3. Bagaimanakah gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat
pemberian sediaan uji produk GD campuran ekstrak herba sambiloto 50 mg
dan ekstrak daun mimba 100 mg secara berulang pada tikus jantan Wistar
selama masa perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-118)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji produk GD campuran ekstrak
herba sambiloto 50 mg dan ekstrak daun mimba 100 mg secara berulang
terhadap perubahan kimia darah dan urin tikus jantan Wistar selama masa
perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-118).
2. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji produk GD campuran ekstrak
herba sambiloto 50 mg dan ekstrak daun mimba 100 mg secara berulang
terhadap asupan makanan dan minuman serta berat badan tikus jantan Wistar.
3. Mengetahui gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat
pemberian sediaan uji produk GD campuran ekstrak herba sambiloto 50 mg
dan ekstrak daun mimba 100 mg secara berulang pada tikus jantan Wistar
selama masa perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-118).
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
kefarmasian khususnya pada bidang uji praklinik dan pengetahuan tentang uji
ketoksikan subkronis.
6
2. Sebagai sarana pemberian informasi bagi perusahaan industri obat dan bagi
konsumen pengguna obat untuk mengetahui batas keamanan sediaan uji pada
penggunaannya untuk manusia.
3. Sebagai bahan informasi dan tambahan masukan untuk percobaan selanjutnya
dalam meneliti masalah toksisitas subkronis dari sampel uji.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sambiloto
Herba sambiloto merupakan seluruh bagian dari tanaman
Andrographis paniculata yang terletak di atas tanah. Tanaman ini termasuk
suku Acanthaceae dengan kandungan andrografolid tidak kurang dari 0,64 %
(Depkes RI, 2008b). Sambiloto termasuk tumbuhan tahunan dengan tinggi
mencapai 1 meter, batang berbentuk segi empat dan memiliki percabangan
yang banyak. Daun berwarna hijau dengan panjang 2-12 cm, lebar 1-3 cm, dan
daun bagian atas bentuknya seperti daun pelindung (WHO, 2002).
Kandungan kimia utama sambiloto adalah diterpen lakton yang terdiri
dari andrografolid, deoxyandrografolid, 11, 12-didehydro-14-deoxy-
andrografolid, neoandrografolid, andrographiside, deoxyandrographiside,
dan andropanoside (WHO, 2002). Andrografolid merupakan diterpenoid
utama dan metabolit sekunder dengan kadar paling tinggi (Chao & Lin, 2010;
Li dkk., 2007). Andrografolid mempunyai rasa yang sangat pahit, tidak
berwarna, dan berbentuk kristal (Siripong dkk., 1992).
Penelitian tentang sambiloto telah banyak dilakukan untuk mengetahui
berbagai macam efek farmakologinya. Hasil studi menunjukkan bahwa
7
tanaman ini memiliki aktivitas biologi seperti antimikroba, agen sitotoksik,
antiprotozoa, antiinflamasi, imunostimulan, antidiabetes, antiinfeksi,
antiangiogenik, perlindungan terhadap hati dan ginjal, serta pengatur hormon
seks dan enzim di hati (Singha dkk., 2003; Chandrasekaran dkk., 2010;
Okhuarobo dkk., 2014).
Toksisitas akut secara per oral ekstrak sambiloto dengan kandungan
andrografolid ± 30 % menunjukkan keamanan sampai pada dosis lebih dari 5
g/kgBB (Chandrasekaran dkk., 2009). Profil toksisitas subkronis yang relatif
aman juga ditunjukkan pada dosis 20, 200, dan 1000 mg/kgBB pada organ
reproduksi tikus jantan galur SD (Sprague Dawley) (Burgos, 1997). Pada
penelitian Kumar dkk. (2009) disebutkan bahwa 14-deoxyandrografolid yang
merupakan turunan andrografolid, menyebabkan efek spermisida pada
konsentrasi 200 μg/ml.
2. Mimba
Kandungan mimba dibagi menjadi dua kelas utama yaitu isoprenoid
dan kandungan lain. Isoprenoid dibagi menjadi diterpenoid dan triterpenoid
yang terdiri atas protomeliacin, limonoid, azadirone beserta turunannya,
gedunin beserta turunannya, vilasinin, serta C-secomeliacin seperti nimbin,
salanin, dan azadirachtin. Sedangkan kandungan lainnya terdiri atas protein-
protein (asam amino), karbohidrat (polisakarida), sulfur, serta polifenol seperti
flavonoid dan glikosida (Biswas dkk., 2002).
Nimbidin diekstraksi dari minyak biji mimba dan merupakan
komponen utama yang menimbulkan rasa pahit. Nimbidin selanjutnya
8
diisolasi menjadi berbagai macam komponen seperti nimbin, nimbinin,
nimbidin, nimbolide, dan nimbidic acid (Govindachari, 1992; Mitra dkk.,
1971). Daun mimba memiliki kandungan flavonoid lebih banyak
dibandingkan bagian tumbuhan mimba lainnya. Flavonoid berfungsi sebagai
antioksidan dan menjadi metabolit sekunder paling penting dari mimba
(Ghimeray dkk., 2009).
Efek farmakologi mimba telah banyak diteliti terutama pada
komponen nimbidin yang memiliki banyak aktivitas biologi seperti
antiinflamasi, antiarthritis, antipiretik, hipoglikemia, antigastritik, spermisida,
antifungi, antibakteri, dan diuretik. Aktivitas hipoglikemik dari ekstrak daun
mimba secara signifikan mengurangi kadar gula darah dan mencegah hormon
adrenalin menginduksi glukosa penyebab hiperglikemia (kadar gula darah
tinggi) (Satyanarayana dkk., 1978). Sumber lain juga menyebutkan bahwa
ekstrak daun mimba yang diberikan secara per oral pada hewan uji terinduksi
diabetes mampu mengurangi kadar glukosa darah secara signifikan (El-
Hawary & Kholief, 1990).
Toksisitas akut ekstrak daun mimba pada hewan uji tidak
menyebabkan kematian sampai dosis 4 g/kgBB. Hewan juga tidak
menunjukkan gejala yang berhubungan dengan keracunan seperti kejang,
ataksia, diare atau meningkatnya diuresis (Akter dkk., 2013). Penelitian lain
menyebutkan bahwa minyak biji mimba yang diberikan pada mencit
menyebabkan toksisitas subakut pada dosis 1600 mg/kg/hari (Deng dkk.,
2013). Ekstrak abu kayu dari mimba juga menimbulkan efek toksik pada
9
jaringan sperma dan testis sehingga mempengaruhi sistem reproduksi (Auta &
Hassan, 2016).
3. Sediaan Uji
Sediaan uji merupakan produk GD campuran ekstrak herba sambiloto
dan daun mimba yang diprediksi memiliki manfaat dalam membantu
menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, kombinasi dari ekstrak etanolik herba sambiloto (50%) dan
ekstrak daun mimba (50 %) mampu memberikan efek yang sinergis dalam
menurunkan kadar gula darah pada hewan uji yang diinduksi alloxan pada
dosis 200 mg/kgBB. Efek yang lebih optimum ditunjukkan pada dosis 800
mg/kgBB yang mana penurunan kadar gula darah mampu mencapai lebih dari
50 % (Nugroho dkk., 2014).
Sediaan uji berupa kapsul cangkang keras berwarna hijau putih
transparan ukuran 0 (nol), berbau khas, dan tidak berasa. Komposisi dalam
satu kapsul berupa ekstrak herba sambiloto 50 mg dan ekstrak daun mimba
100 mg, serta bahan pengisi berupa amilum dan micro crystalin cellulose
dengan perbandingan 1:1. Herba sambiloto banyak mengandung senyawa
andrografolid yang umumnya memiliki rasa pahit, sedangkan daun mimba
banyak terdapat kandungan flavonoid (Siripong dkk., 1992; Ghimeray dkk.,
2009). Dosis penggunaan pada manusia yang ditetapkan yaitu 3x sehari 1
kapsul. Informasi dosis terapi ini selanjutnya dijadikan acuan dalam penentuan
peringkat dosis pada evaluasi toksisitas subkronis campuran ekstrak herba
sambiloto dan daun mimba.
10
4. Toksikologi
a. Definisi toksikologi
Toksikologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mendalami
efek berbahaya serta interaksi dari senyawa-senyawa kimia terhadap suatu
organisme (Niesink dkk., 1996a). Pada awalnya toksikologi lebih dikenal
sebagai ilmu tentang racun. Menurut Hodgson (2004), racun adalah semua
senyawa yang memiliki efek berbahaya jika diberikan pada makhluk hidup
baik secara sengaja maupun tidak.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, definisi toksikologi
sebagai ilmu tentang racun dianggap kurang sesuai sebab pengalaman
menunjukkan bahwa zat yang dianggap tidak berbahaya pun, bisa
menimbulkan keracunan pada jumlah normal. Kenyataan tersebut
membuat Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa semua senyawa
adalah racun dan tidak ada satupun yang bukan racun (Donatus, 2001).
Takaran (dosis) yang sesuai dapat membedakan antara racun dengan obat
(Doull & Bruce, 1986).
Toksikologi juga didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan untuk
mempelajari efek samping xenobiotic atau senyawa eksogen yang
dibentuk sebagai dasar terapi pengobatan. Toksikologi terus berkembang
dengan memadukan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu seperti
biologi, kimia, matematika, dan fisika. Aplikasi toksikologi saat ini juga
berkembang untuk mengevaluasi keamanan serta menilai resiko senyawa-
senyawa kimia (Klaassen, 2008).
11
b. Asas umum toksikologi
Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia
terhadap organisme. Hal ini menunjukkan bahwa obyek yang dipelajari
dalam toksikologi adalah antaraksi zat kimia dengan organisme sehingga
dapat menimbulkan efek berbahaya. Timbulnya efek berbahaya diawali
ketika organisme terpejani oleh racun. Setelah terabsorpsi di tempat
pemejanan, racun atau metabolitnya terdistribusi ke reseptor sehingga
menimbulkan antaraksi. Akibatnya, akan timbul efek toksik dengan wujud
dan sifat tertentu (Donatus, 2001).
Berdasarkan peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas utama
dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut adalah kondisi
pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat
efek toksik atau pengaruh berbahaya racun. Kondisi pemejanan dan
kondisi makhluk hidup menggambarkan berbagai macam faktor yang
dapat mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa. Mekanisme aksi
mempelajari tentang penyebab timbulnya efek toksik, sedangkan wujud
dan sifat efek toksik dapat menggambarkan bagaimana respon tubuh
terhadap ketoksikan suatu senyawa dan tolak ukur kualitatifnya (Donatus,
2001).
c. Toksisitas
Toksisitas dapat dibagi menjadi 2 yaitu ketoksikan tak khas dan
ketoksikan khas. Ketoksikan tak khas digunakan untuk mengevaluasi
secara keseluruhan spektrum efek toksik suatu senyawa pada berbagai
12
jenis hewan uji. Termasuk dalam ketoksikan tak khas adalah ketoksikan
akut, subkronis, dan kronis. Ketoksikan khas berfungsi mengevaluasi
secara rinci efek khas suatu senyawa pada fungsi organ atau kelenjar
tertentu pada berbagai jenis hewan uji. Termasuk ketoksikan khas ini
adalah uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, reproduksi (uji kesuburan,
uji teratogenik, uji prenatal, dan paska natal), uji kulit dan mata, serta uji
perilaku (Loomis, 1978).
Ketoksikan tak khas:
1) Toksisitas akut merupakan ketoksikan yang dilakukan dengan
memberikan senyawa uji sebanyak sekali atau beberapa kali dalam
jangka waktu 24 jam.
2) Toksisitas pendek (subakut atau subkronik) dilakukan dengan
memberikan senyawa uji secara berulang, biasanya setiap hari atau
lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10 % dari masa
hidup hewan, yaitu tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun
untuk anjing.
3) Toksisitas jangka panjang (kronik) dilakukan dengan memberikan
senyawa uji berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau
sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18
bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus dan 7-10 tahun untuk anjing
dan monyet (Lu, 1995).
13
Ketoksikan khas:
1) Uji potensiasi merupakan uji ketoksikan untuk melihat efek suatu
senyawa apabila digunakan bersama senyawa lain. Penggunaan kedua
senyawa secara bersamaan dapat meningkatkan efek toksik dari salah
satu senyawa tersebut.
2) Uji teratogenik merupakan uji ketoksikan untuk melihat efek suatu
senyawa terhadap janin (fetus) pada hewan bunting.
3) Uji reproduksi merupakan uji ketoksikan untuk melihat efek suatu
senyawa terhadap kemampuan reproduksi hewan uji.
4) Uji mutagenik merupakan uji ketoksikan untuk melihat efek suatu
senyawa terhadap sistem kode genetik.
5) Uji karsinogenik merupakan uji ketoksikan untuk melihat apakah
suatu senyawa dapat menimbulkan tumor.
6) Uji kulit dan mata merupakan uji ketoksikan untuk melihat efek lokal
suatu senyawa apabila digunakan secara langsung pada kulit dan mata.
7) Uji perilaku merupakan uji ketoksikan untuk melihat efek suatu
senyawa apabila dilihat dari berbagai macam pola tingkah laku hewan
uji (Loomis, 1978).
5. Ketoksikan Subkronis
Ketoksikan subkronis merupakan ketoksikan tak khas untuk
mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa uji pada berbagai macam
jenis hewan uji secara berulang selama 3-4 bulan (Loomis & Hayes, 1996).
Menurut Hodgson (2010) uji subkronis digunakan untuk mengevaluasi efek
14
toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan sediaan uji secara berulang selama
28 atau 90 hari. Uji ini dapat digunakan untuk menentukan nilai no observable
effect level (NOEL) yaitu dosis tertinggi yang tidak menimbulkan efek
berbahaya. Selain itu, uji subkronis berguna dalam memberi informasi sasaran
organ serta akumulasi senyawa kimia dalam organ.
Hewan uji minimal terdiri dari satu jenis hewan dewasa sehat baik
jantan atau betina. Menurut WHO (1966) pemilihan jenis hewan uji
didasarkan pada bukti ketoksikan akut dan uji metabolik. Secara ideal, hewan
uji dipilih berdasarkan kemiripan farmakokinetik dan metabolisme yang
paling besar dengan manusia, namun informasi tentang hal tersebut masih
jarang. Biasanya hewan uji yang paling banyak digunakan yaitu tikus pada
golongan roden dan anjing untuk golongan non roden (Hodgson, 2010).
Jumlah hewan uji terdiri dari 10-20 ekor jantan dan betina dari spesies
hewan pengerat atau 4-8 ekor jantan dan betina dari spesies yang lebih besar
seperti anjing untuk setiap takaran dosis (Hodgson, 2010). Takaran dosis
merupakan peringkat dosis yang mana dalam satu kelompok perlakuan harus
mendapatkan dosis toksik yang dapat membunuh beberapa hewan uji atau
memperlihatakan gejala toksik nyata. Sedangkan kelompok lainnya
mendapatkan takaran dosis yang tidak menimbulkan efek atau gejala toksik
sama sekali. Takaran dosis diberikan setiap hari selama masa uji ketoksikan
subkronis (± 90 hari) melalui jalur pemejanan sesuai dengan penggunaan pada
manusia (Donatus, 2001).
15
Pengamatan serta pemeriksaan yang dilakukan dalam uji ketoksikan
subkronis meliputi penampilan fisik, mata, asupan makanan dan minuman,
berat badan, perilaku abnormal, kecepatan respirasi, ECG, dan EEG pada
hewan yang lebih besar, parameter kimia seperti hematologi dan kimia darah
serta pengamatan urinalisis (Hodgson, 2010). Uji subkronis memberikan
informasi tentang efek toksik mulai dari dosis rendah pada level selular yang
biasanya tidak didapatkan dari ketoksikan akut. Selain itu dapat menilai
kemungkinan efek kumulatif akibat pemejanan secara berulang, melihat organ
dan jaringan yang rusak, mengidentifikasi level dosis yang menyebabkan
perubahan fisiologi, biokimia dan morfologi, serta memprediksi lamanya efek
samping yang ditimbulkan (Ecobichon, 1997).
6. Kimia Darah
Uji kimia darah bertujuan untuk mengetahui profil kadar zat-zat kimia
dalam darah dengan maksud untuk melihat fungsi tubuh berjalan baik atau
tidak. Berbagai jenis zat dalam darah mencerminkan proses-proses
metabolisme, namun masih sedikit diantaranya yang diukur pada pemeriksaan
darah rutin. Pemeriksaan darah rutin digunakan untuk menggambarkan organ
atau proses tertentu serta akibat menyeluruh dari berbagai peristiwa
metabolisme (Widmann, 1989).
Pada eksperimen dengan menggunakan hewan uji, perbandingan
antara pengamatan klinis dan parameter fungsional bio-kimia seperti kimia
darah dapat menggambarkan perubahan morfologi dari organ-organ penting di
16
dalam tubuh. Perubahan tersebut digunakan untuk melihat ada tidaknya efek
patologi dalam tubuh (Niesink dkk., 1996b).
a. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)
SGPT dikenal juga dengan Alanine Aminotransferase (ALT)
merupakan enzim golongan aminotransferase yang berfungsi
mengkatalisis pemindahan gugus amino secara reversibel antara asam
amino dan asam alfa-keto. SGPT secara spesifik mengadakan reaksi antara
alanin dan asam alfa-ketoglutamat. Enzim ini memiliki konsentrasi
tertinggi pada sel-sel hati, dan beberapa juga terdapat pada ginjal, jantung,
dan otot (Widmann, 1989).
Kadar SGPT dalam serum menjadi petunjuk yang lebih sensitif
untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan hati, sebab hanya sedikit
kondisi organ selain hati yang berpengaruh kepada kadar SGPT dalam
serum (Widmann, 1989). Meningkatnya kadar transaminase bisa terjadi
akibat dari nekrosis sel hati atau masuknya enzim ke dalam darah tapi
bukan karena nekrosis sel melainkan perubahan permeabilitas membran.
Nekrosis sel hati dapat diakibatkan oleh hepatotoksin, gangguan spesifik
(seperti infeksi dan diabetes mellitus), tumor hati, kongesti, dan obat-
obatan (kortikosteroid, estrogen, androgen, kloramfenikol, eritromisin, dan
salisilat) (Niesink dkk., 1996b).
b. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
SGOT dikenal juga dengan Aspartic Aminotransferase (AST)
merupakan enzim mitokondria yang ditemukan di jantung, hati, otot
17
rangka, dan ginjal. Enzim ini mengkatalisis reaksi antara asam α-
ketoglutarat dan asam aspartat menjadi asam oksaloasetat dan asam
glutamat (Niesink dkk., 1996b). Menurut Widmann (1989), SGOT banyak
terdapat dalam hati dan sel miokard serta konsentrasi cukup bermakna
walaupun lebih sedikit pada otot, ginjal, otak, dan pankreas.
Kadar SGOT dalam hepatosit 3-4 kali lebih banyak dibandingkan
SGPT, namun kurang sensitif dalam pemeriksaan kerusakan hati.
Peningkatan SGOT juga tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya
indikator enzimatik pada infark miokard sebab SGOT dapat meningkat
pada kondisi lain (Widmann, 1989). Hal ini berbeda dengan pendapat
Niesink dkk. (1996b) yang menyatakan bahwa nekrosis sel hati dan infark
miokard merupakan ranah paling penting yang diindikasi oleh SGOT.
c. Glukosa
Glukosa termasuk gula sederhana dan menjadi salah satu sumber
tenaga terbesar dalam tubuh. Glukosa terdiri atas enam atom C (karbon)
yang terdapat dalam makanan sebagai sakarosa, laktosa, dan maltosa.
Senyawa ini menjadi penyusun utama dari polisakarida seperti zat pati
atau amilum. Glukosa dioksidasi menghasilkan karbondioksida, air serta
energi dalam bentuk ATP (Adenosine trifosfat). Bila glukosa tidak
langsung dirombak, ia disimpan dalam hati atau otot dalam bentuk
glikogen (Widmann, 1989).
Glukosa menjadi sumber untuk kebanyakan fungsi sel dan jaringan
serta berperan penting dalam proses homeostasis tubuh. Selain itu, glukosa
18
merupakan jalur energi yang lebih efisien jika dibandingkan dengan
sumber energi lain seperti asam lemak. Pengukuran kadar glukosa dalam
darah dapat digunakan untuk mengetahui sistem homeostasis dalam tubuh
sudah berajalan normal atau belum. Bila kadar glukosa menyimpang dari
nilai normal (terlalu tinggi atau terlalu rendah) menandakan bahwa sistem
homeostasis tubuh mengalami gangguan (Widmann, 1989).
d. Albumin
Albumin merupakan protein ekstrasel yang dapat ditemukan dalam
peredaran darah tubuh manusia dan disintesis oleh hepatosit pada organ
hati (Widmann, 1989). Albumin memiliki peran penting sebagai penentu
utama tekanan onkotik plasma darah. Selain itu, albumin juga berfungsi
sebagai cadangan asam amino sehingga dapat dijadikan sebagai indikator
status gizi. Penurunan konsumsi protein akan berhubungan langsung
dengan kadar albumin serum dan konsentrasinya yang sangat rendah dapat
dijumpai pada kasus malnutrisi akibat kelaparan atau malabsorbsi (Sacher
& McPherson, 2004).
Perubahan konsentrasi albumin dalam serum menjadi indikator
penting adanya gangguan atau penyakit seperti hipoalbuminemia dan
hiperalbuminemia (Yap dkk., 1978). Hipoalbuminemia dapat diakibatkan
oleh penurunan konsentrasi albumin dalam sirkulasi sehingga terjadi
pergeseran cairan dari intravaskular ke ekstravaskular. Mekanisme
penurunan konsentrasi albumin paling sering terjadi akibat penurunan
produksi di hati. Sedangkan hiperalbuminemia merupakan peningkatan
19
konsentrasi albumin serum akibat dehidrasi berat sehingga air plasma
keluar sirkulasi, tetapi albumin masih tertinggal karena ukuran molekulnya
besar (Sacher & McPherson, 2004).
Penyakit hati yang parah seperti sirosis akibat penggunaan alkohol,
gangguan penimbunan besi, hepatitis kronis atau reaksi obat akan
menyebabkan pembentukan protein oleh sel-sel parenkim hati menurun
drastis. Pada keadaan ini, pemeriksaan kadar albumin serum merupakan
hal utama dalam proses diagnosis. Keadaan hipoalbuminemia yang parah
pada penyakit hati sering tertutupi oleh peningkatan konsentrasi
immunoglobulin sehingga konsentrasi total protein serum mungkin hanya
turun sedang (Sacher & McPherson, 2004).
e. Kreatinin
Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin dan
disintesis terutama oleh hati. Kreatin banyak ditemukan dalam otot rangka
yang terikat secara reversibel pada fosfat membentuk fosfokreatin sebagai
penyimpan energi. Jumlah kreatinin sebanding dengan masa otot rangka
dan memiliki nilai rujukan 0,6-1,3 mg/dL untuk pria serta 0,5-1 mg/dL
untuk wanita (Widmann, 1989).
Baron (1984), berpendapat bahwa kreatinin merupakan metabolit
tak aktif yang berdifusi ke dalam plasma dan diekskresikan melalui urin.
Kreatinin plasma lebih luas digunakan untuk mengukur gagal ginjal kronik
dibandingkan urea plasma terutama bila terjadi perubahan metabolisme
urea akibat diet rendah protein. Namun klirens kreatinin akan lebih
20
bermakna jika nilainya turun dibawah 10 mL/menit. Apabila kadar
kreatinin serum kurang dari 900 μmol/L maka filtrasi glomerulus masih
dianggap normal.
Berkurangnya aliran darah dan urin tidak banyak mengubah
ekskresi kreatinin sebab perubahan singkat dalam aliran darah dan fungsi
glomerulus dapat diimbangi dengan meningkatnya sekresi kreatinin oleh
tubuli. Kreatinin dalam darah meningkat apabila terjadi gangguan pada
fungsi ginjal (Widmann, 1989). Apabila penurunan fungsi ginjal
berlangsung lambat dan bersamaan dengan menurunnya masa otot maka
konsentrasi kreatinin dalam serum mungkin stabil namun ekskresinya
selama 24 jam akan lebih rendah dari normal (Sacher & McPherson,
2004).
f. Kolesterol
Kolesterol merupakan penyusun terbesar membran plasma pada sel
eukaryotik. Kolesterol memiliki beberapa aktivitas pada membran protein
dan menjadi prekusor pembentuk hormon steroid serta asam-asam empedu
(Gimpl, 2010). Kolesterol merupakan salah satu bagian lipid yang paling
banyak terdapat dalam serum. Kolesterol dalam darah berupa
makromolekul yang membentuk kompleks dengan protein tertentu
(apoprotein) membentuk lipoprotein. Lipoprotein ini sebagai bentuk
transportasi yang dipakai untuk mengenali dan mengukur kolesterol
(Widmann, 1989).
21
Mengetahui secara tepat keberadaan dan banyaknya kolesterol
berguna untuk melihat fungsinya sebagai penyusun membran secara
normal. Selain itu, dapat diketahui pengaruhnya terhadap patogenesis
suatu penyakit akibat gangguan homeostasis kolesterol. Gangguan atau
penyakit yang sering dihubungkan oleh kelebihan kolesterol yaitu
aterosklerosis dan batu ginjal yang berkorelasi dengan proses uptake serta
disposisi di hati (Severs, 1997).
7. Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan urin (urinalisis) merupakan metode sederhana yang
dilakukan untuk melakukan diagnosa suatu penyakit dalam dunia kedokteran.
Urinalisis menjadi salah satu indikator yang berguna untuk mendeteksi
berbagai macam gangguan endokrin dan metabolisme, khususnya pada fungsi
ginjal. Ginjal yang bermasalah tidak dapat berfungsi secara normal dalam
mengatur volume dan komposisi cairan tubuh sehingga akan mempengaruhi
proses homeostasis tubuh (Kassa dkk., 2002). Pemeriksaan urin pada
penelitian ini meliputi pH, berat jenis, glukosa, bilirubin, dan protein.
Pemeriksaan pH urin digunakan untuk mengetahui pengaturan asam
basa tubuh oleh organ ginjal melalui sekresi hidrogen dalam bentuk amonium,
hidrogen fosfat dan asam-asam organik lemah, serta dengan reabsorbsi
bikarbonat. Individu yang sehat memilik nilai pH sekitar 5,0 – 6,0 pada pagi
hari. Urin yang bersifat asam bisa disebabkan oleh berbagai kondisi seperti
diabetes mellitus, kelaparan, dehidrasi, diare, diet tinggi protein, serta adanya
bakteri penghasil asam seperti Escherichia coli. Sedangkan urin alkali bisa
22
disebabkan oleh hiperventilasi, muntah, renal tubulus acidosis, serta diet
sayuran (Strasinger & Lorenzo, 2008).
Pemeriksaan berat jenis dilakukan untuk mengetahui konsentrasi urin
yang berhubungan dengan pekat tidaknya warna urin (Widmann, 1989).
Secara klinis, berat jenis urin dapat digunakan untuk melihat hilangnya
kemampuan pemekatan pada tubulus ginjal, kondisi diabetes insipidus, serta
untuk melakukan monitoring terhadap pasien yang mengalami dehidrasi
(Strasinger & Lorenzo, 2008).
Protein dalam urin menjadi indikasi hilangnya fungsi reabsorbsi pada
tubulus ginjal. Namun, urin pada tikus normal dapat mengandung beberapa
protein, sehingga perlu perbandingan antara kelompok perlakuan dengan
kelompok kontrol. Glukosa dalam filtrat glomerulus akan direabsorbsi
seluruhnya oleh tubulus sehingga adanya glukosa dalam urin tanpa
hiperglikemia menunjukkan adanya gangguan fungsi pada tubulus ginjal (Lu,
1995).
Bilirubin merupakan produk perombakan hemoglobin oleh sel-sel
retikuloendotel yang tersebar dalam tubuh. Dalam keadaan normal, bilirubin
tidak mungkin terdapat dalam urin. Adanya bilirubin dalam urin menandakan
keadaan patologis seperti kerusakan sel hati dan obstruksi saluran empedu
(Widmann, 1989). Penyebab abnormalitas parameter urin secara umum dapat
dilihat pada tabel I.
23
Tabel I. Penyebab non-patologis dan patologis abnormalitas parameter urin (Patel,
2006).
Parameter Penyebab non-patologis Penyebab patologis
Specific
gravity
Rendah: polidipsi Rendah: DI, disfungsi tubular
Tinggi: intake air rendah Tinggi: deplesi volume
pH
Rendah: diet tinggi protein Rendah: asidosis
Tinggi: diet rendah protein,
setelah makan
Tinggi: asidosis tubular, UTI
Bercak darah Menstruasi, trauma katerisasi,
olah raga
Gangguan glomerular, gangguan
tubular, UTI, batu ginjal,
hiperkalsiuria, trauma pada saluran
urin, tumor
Protein Proteinuria ortostatik, demam,
olahraga
Gangguan glomerular, gangguan
tubular, UTI
Glukosa Renal glikosuria DM, Fanconi syndrome
Keton Intake karbohidrat terbatas DM
Bilirubin Tidak ada Hepatitis, obstruksi empedu
Urobilinogen Rendah: terapi antibiotik sistemik Hepatitis, hemolisis intravascular
Nitrit Tidak ada UTI
LE Demam UTI, glomerulonefritis, inflamasi
pelvis
8. Metode Toksisitas Subkronis Guidline OECD 408
Guideline OECD merupakan petunjuk untuk menguji senyawa-
senyawa kimia yang secara berkala diperbaharui guna kepentingan ilmu
pengetahuan. OECD 408 pertama kali dibuat pada tahun 1981 dan telah
mengalami perubahan untuk memperoleh tambahan informasi secara obyektif
pada penggunaan hewan uji dalam suatu penelitian (Anonim, 1998).
Pada guideline OECD 408 dijelaskan tentang tata cara uji subkronis
dimana senyawa kimia dipejankan terhadap hewan uji secara berulang selama
90 hari. Dari penelitian ini akan diperoleh informasi efek toksik utama,
sasaran organ, dan kemungkinan akumulasi serta estimasi No Observed Effect
Level (NOEL) yang dapat digunakan untuk mengetahui batas aman dosis
suatu obat atau senyawa kimia (Anonim, 1998).
24
Hewan uji dipilih dari golongan roden seperti tikus atau mencit, dari
galur yang sama, berbadan sehat serta umur kurang dari 9 minggu. Pada jenis
kelamin betina diusahakan tidak dalam keadaan hamil. Jumlah hewan uji
terdiri atas 10 ekor per kelompok pada masing-masing jenis kelamin. Selain
itu ditambah satelit masing-masing 5 ekor pada kelompok kontrol dan dosis
tertinggi (Anonim, 1998).
Pengamatan yang dilakukan meliputi gejala klinis secara umum, berat
badan, konsumsi makanan dan minuman, hematologi, biokimia klinis,
patologi, serta histopatologi. Pengamatan gejala klinis dilakukan minimal
sekali sehari, pada waktu yang sama serta setiap kondisi klinis hewan uji harus
dicatat. Pengukuran berat badan, asupan makanan dan minuman dilakukan
minimal seminggu sekali. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah dilakukan
sebelum dan setelah perlakuan meliputi pemeriksaan hematokrit, hemoglobin,
eritrosit, leukosit, serta platelet pada hematologi, dan pemeriksaan kimia darah
yang mewakili efek senyawa khususnya pada fungsi ginjal dan hati.
Histopatologi dilakukan untuk melihat gambaran jaringan serta organ
sehingga menunjukkan efek senyawa terhadap kelompok perlakuan (Anonim,
1998).
F. Landasan Teori
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit atau gangguan metabolisme
dengan ciri-ciri hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) akibat gangguan dari
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan kurangnya sekresi
insulin, aktivitas insulin atau keduanya (WHO, 1999). Pengobatan DM biasanya
25
menggunakan Oral Anti Diabetes antara lain golongan sulfonilurea, biguanid,
thiazolidinedione (TZD), inhibitor glukosidase atau dengan menggunakan
suntikan insulin (Widowati dkk., 1997). Namun, cara pengobatan tersebut
tergolong mahal sehingga kebanyakan masyarakat berusaha mencari pengobatan
alternatif dengan obat tradisional.
Sambiloto (Andrographis paniculata) dan mimba (Azadirachta indica)
telah digunakan oleh masyarakat luas sebagai pengobatan secara tradisional pada
berbagai macam penyakit termasuk diabetes (Akter dkk., 2013). Kombinasi
ekstrak herba sambiloto (50%) dan ekstrak daun mimba (50%) telah
dikembangkan sebagai salah satu produk herbal yang diprediksi dapat membantu
menurunkan kadar glukosa darah pada penderita diabetes (Nugroho dkk., 2014).
Andrografolid merupakan senyawa khas dari sambiloto sedangkan daun mimba
banyak mengandung senyawa flavonoid (Chao & Lin, 2010; Ghimeray dkk.,
2009).
Efek toksik pada turunan andrografolid yaitu 14-deoxyandrografolid
dalam tanaman sambiloto (Andrographis paniculata), dapat menyebabkan
kematian pada sperma dengan konsentrasi 200 μg/ml (Ghimeray dkk., 2009).
Profil toksisitas akut kombinasi ekstrak herba sambiloto dan daun mimba selama
14 hari menunjukkan keamanan sampai dosis 5000 mg/kgBB pada hewan uji
(Marceila, 2014). Namun, mengingat penggunaan obat antidiabetes umumnya
relatif lama, maka diperlukan suatu evaluasi ketoksikan subkronis untuk melihat
tingkat keamanan sediaan uji campuran ekstrak herba sambiloto dan daun mimba
dalam jangka waktu yang lebih lama. Selain itu, adanya turunan andrografolid
26
yaitu 14-deoxyandrografolid yang bersifat toksik pada tanaman sambiloto,
sehingga penting dilakukan evaluasi ketoksikan lebih lanjut.
G. Hipotesis
Produk GD campuran ekstrak herba sambiloto 50 mg dan ekstrak daun
mimba 100 mg diduga tidak toksik pada dosis tertentu dalam evaluasi ketoksikan
subkronis pada tikus jantan Wistar selama 90 hari perlakuan, ditinjau dari
parameter: purata kenaikan berat badan per hari (PKBP), asupan makanan dan
minuman, kimia darah, serta pemeriksaan urin.