BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

40
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam studi hak asasi manusia (HAM), negara diletakkan pada posisi sebagai pengemban (duty bearer) tanggung jawab dan kewajiban pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM. Dalam konteks demokrasi, isu minoritas dapat diletakkan dalam dua persoalan utama; pertama, relasi mayoritas- minoritas yang berkecenderungan meletakkan mayoritas sebagai tiran 1 ; kedua, relasi minoritas dengan negara dimana sistem di dalamnya cenderung mengeksklusi kelompok minoritas 2 , baik secara disengaja maupun tidak. Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi masalah yang kedua, yaitu bagaimana Jemaah Syiah, sebagai minoritas yang rentan terhadap eksklusi, mengambil pilihan-pilihan politik untuk memperjuangkan representasi mereka dalam sistem demokrasi di Indonesia. Representasi merupakan salah satu isu utama dalam studi politik dan demokrasi. Telah banyak penelitian dan analisis mengenai representasi di dalam demokrasi. Penelitian terdahulu telah banyak dilakukan oleh para ahli untuk menjawab isu-isu keterwakilan (representativeness) mulai dari representasi melalui individu anggota legislatif, oleh partai politik, serta oleh pemerintahan. 1 Beberapa pemikir besar memberikan sinyalemen sekaligus kritik (beberapa mengkhawatirkan) bahwa demokrasi kemudian menjadi arena bagi tirani mayoritas. Plato dalam Politea dan Republic menyebut “tyrannical majoritarianism” sebagai salah satu masalah radikal demokrasi. Demikian juga Tocqueville, dia menyebut tirani minoritas terjadi di dalam demokrasi jika majority rule tidak bersanding dengan minority rights. John Adams, Hegel, Hannah Arendt, dan beberapa pemikir lain menyebut tirani mayoritas sebagai masalah pokok demokrasi. Lihat Barker, Tragedy and Citizenship: Conflict, Reconciliation, and Democracy from Haemon to Hegel (New York: State University of New York Press, 2009), hlm. 50. Juga Boni Hargens, “Tirani Popularitas”, KOMPAS, 1 Agustus 2013. Selengkapnya baca juga Boesche, Theories of Tyranny: From Plato to Arendt (Pennsylvania, The Pennsylvania State University Press, 1996). 2 Seperti pandangan Tocqueville, negara demokratis yang tidak bisa menjembatani hak-hak individual (individual rights) seluruh warga negara dalam majority rule akan melanggar hak- hak minoritas. Tocqueville, Democracy in America (Chicago: University of Chicago Press, 2000), ch. XV, book 1.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam studi hak asasi manusia (HAM), negara diletakkan pada posisi

sebagai pengemban (duty bearer) tanggung jawab dan kewajiban pemenuhan,

perlindungan, dan pemajuan HAM. Dalam konteks demokrasi, isu minoritas

dapat diletakkan dalam dua persoalan utama; pertama, relasi mayoritas-

minoritas yang berkecenderungan meletakkan mayoritas sebagai tiran1;

kedua, relasi minoritas dengan negara dimana sistem di dalamnya cenderung

mengeksklusi kelompok minoritas2, baik secara disengaja maupun tidak.

Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi masalah yang kedua, yaitu

bagaimana Jemaah Syiah, sebagai minoritas yang rentan terhadap eksklusi,

mengambil pilihan-pilihan politik untuk memperjuangkan representasi

mereka dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Representasi merupakan salah satu isu utama dalam studi politik dan

demokrasi. Telah banyak penelitian dan analisis mengenai representasi di

dalam demokrasi. Penelitian terdahulu telah banyak dilakukan oleh para ahli

untuk menjawab isu-isu keterwakilan (representativeness) mulai dari

representasi melalui individu anggota legislatif, oleh partai politik, serta oleh

pemerintahan.

1 Beberapa pemikir besar memberikan sinyalemen sekaligus kritik (beberapa mengkhawatirkan)

bahwa demokrasi kemudian menjadi arena bagi tirani mayoritas. Plato dalam Politea dan

Republic menyebut “tyrannical majoritarianism” sebagai salah satu masalah radikal demokrasi.

Demikian juga Tocqueville, dia menyebut tirani minoritas terjadi di dalam demokrasi jika

majority rule tidak bersanding dengan minority rights. John Adams, Hegel, Hannah Arendt,

dan beberapa pemikir lain menyebut tirani mayoritas sebagai masalah pokok demokrasi. Lihat

Barker, Tragedy and Citizenship: Conflict, Reconciliation, and Democracy from Haemon to

Hegel (New York: State University of New York Press, 2009), hlm. 50. Juga Boni Hargens,

“Tirani Popularitas”, KOMPAS, 1 Agustus 2013. Selengkapnya baca juga Boesche, Theories of

Tyranny: From Plato to Arendt (Pennsylvania, The Pennsylvania State University Press,

1996). 2 Seperti pandangan Tocqueville, negara demokratis yang tidak bisa menjembatani hak-hak

individual (individual rights) seluruh warga negara dalam majority rule akan melanggar hak-

hak minoritas. Tocqueville, Democracy in America (Chicago: University of Chicago Press,

2000), ch. XV, book 1.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

2

Atas isu epistemik representasi, terdapat tiga penjelasan yang coba

diajukan oleh beberapa ahli melalui beberapa fokus studi yang berbeda. Pada

fase pertama, studi awal representasi Michigan yang mengaitkan antara

konstituen dan perwakilan/representatifnya. Studi ini kelanjutan dari

perdebatan lama atas model perwakilan wali-delegasi dalam sistem Pemilu

Single Majority Member. Penelitian ini membandingkan pendapat konstituen

dengan para legislator terpilih dari distrik-distrik, dan menghasilkan hasil

empiris campuran, terutama dalam kasus-kasus partai-partai di Eropa.3

Pada fase kedua studi tentang representasi, penelitian-penelitian yang ada

menggeser fokus lebih pada hubungan antara pemilik suara dengan partai-

partai yang mereka pilih, bukan dengan anggota legislatif secara individual.

Penelitian tersebut menggambarkan teori the ruling party yang bertanggung

jawab sepenuhnya dalam representasi politik.4 Model pemerintahan partai ini

tampaknya lebih relevan untuk sistem parlementer dengan partai-partai

politik yang kuat.5 Di negara-negara dengan sistem parlementer ini, partai

merupakan aktor politik utama, bukan kandidat. Dalam model pemerintahan

partai ini dibangun kesepakatan antara pemilih dan partai yang dipilih

mereka. Calon-calon dipilih oleh elit partai, bukan melalui pilihan terbuka.

Dengan demikian para calon itu merupakan wakil partai. Model pemerintahan

dengan tanggung partai ini mengasumsikan bahwa para anggota sebuah partai

yang menjadi delegasi di parlemen bertindak secara serempak.6 Suara partai

di dalam parlemen maujud sebagai satu blok, meskipun barangkali dalam

3 Miller, W., dan Stokes, D. 1963. “Constituency influence in Congress”. American Political

Science Review 57: 45-56. Lihat juga McAllister, I. 1991. “Party elites, voters and political

attitudes: Testing three explanations for mass-elite differences”. Canadian Journal of Political

Science 24: 237-268. 4 Beberapa di antaranya dilakukan oleh Rose (1974), antara lain melalui publikasinya yang

berjudul Problems of Party Government. London: Macmillan. Juga Castles, F., and

Wildenmann, R. (Eds.), “Visions and Realities of Party Government”, (Berlin: Walter de

Gruyter and Co., 1986) 5 Thomassen (1976), Dalton (1985), Holmberg (1989), Esaiasson dan Holmberg (1996); Matthews

dan Valen (1999). Lihat Russell J. Dalton, David M. Farrell dan Ian McAllister, “The

Dynamics of Political Representation” (Amsterdam: Pallas Publications-Amsterdam University

Press, Amsterdam, 2011), hlm. 21-38 6 Bowler, S., Farrell, D., and Katz R., Party Discipline and Parliamentary Government,

(Columbus, OH: Ohio State University Press, 1999).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

3

proses internal partai tersebut sebelumnya terjadi perdebatan sengit sebelum

akhirnya pilihan partai diputuskan. Partai melakukan kontrol terhadap

pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan melalui kontrol partai di

lembaga legislatif tingkat nasional.

Singkatnya, partai menyediakan pilihan kepada pemilik kontrol langsung

atas tindakan para legislator dan urusan-urusan pemerintahan, dan tidak

menyediakan representasi berbasis pilihan-pilihan konstituen. Analog dengan

itu, Sartori (1968) menegaskan sebuah highlight bahwa representasi warga

negara oleh dan melalui partai dalam demokrasi Barat merupakan sesuatu

yang tidak bisa dihindari.7

Pada fase ketiga, studi tentang representasi tidak lagi berfokus pada

representasi berbasis konstituensi dan representasi melalui partai politik,

namun juga di dalam pemerintahan. Singkatnya, representasi tidak hanya soal

bagaimana legislator mewakili konstituennya dan bagaimana partai politik

merepresentasi pemilihnya. Akan tetapi, fokus penelitan-penelitian mengenai

representasi kemudian diperluas, yaitu berangkat dari pertanyaan dasar

bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan warga yang

memilih dan memberikan mandat kepada mereka.8

Salah satu penelitian tentang representasi pada fase ini dilakukan oleh

Przeworski, et.al. (1999). Di antara yang disoal oleh Przeworski adalah

pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah pemilih mendapati pemerintahan

yang menurut mereka sebangun dengan pilihan-pilihan kebijakan yang

mereka inginkan? Apakah representasi berfungsi melalui pertimbangan-

pertimbangan prospektif atau menilai dengan pertimbangan-pertimbangan

7 Sartori, G. 1968. “Representational systems”. International Encyclopedia of the Social Sciences

13: 470-475. 8 Powell ( 2000; juga Huber dan Powell 1994) adalah peneliti pertama yang membandingkan

posisi Kiri - Kanan pemilih (dari survei opini publik) dengan posisi Kiri - Kanan partai-partai

koalisi (dari survei ahli) di negara-negara demokrasi Barat. Dia menemukan tingkat kesesuaian

yang bervariasi antara “posisi” pemilih dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Sejak itu

beberapa penelitian telah menggunakan data-data kuantitatif untuk membandingkan kesesuaian

antara warga dengan pemerintah, seperti Klingemann et al (1994). McDonald dan Budge

(2005). Lihat Russell J. Dalton, David M. Farrell dan Ian McAllister. Op.cit, hlm. 21-38

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

4

retrospektif dan kemudian meminta pertanggungjawaban mereka pada saat

pemilu?9

Perkembangan studi representasi lebih banyak memberikan tekanan

fokus pada pihak yang mewakili (representatives) dan tidak pada yang

diwakili. Tekanannya, apakah pihak-pihak yang mewakili, entah namanya

legislator, partai politik, atau pemerintah, mengambil pilihan-pilihan

kebijakan yang kongruen dengan kehendak dan kepentingan rakyatnya. Kata

kunci pokok sebagai momen sentral dari representasi politik tersebut adalah

pemilihan umum.10 Pemilihan umum merupakan starting point untuk

mengukur representasi politik tersebut, baik pada aspek yang mewakili

maupun yang diwakili.11 Perkembangan studi politik mengenai representasi

tersebut memberikan ruang bagi studi mengenai ekspresi pilihan-pilihan

warga negara dalam representasi politik sebagai proses yang terus

berlangsung (ongoing process), dan bukan even tunggal yang sekali selesai.

Dalam konteks Indonesia, salah satu persoalan paling serius yang dicatat

oleh studi Demos dalam rangka melihat bagaimana demokrasi dan demokrasi

bekerja adalah masalah representasi politik.12 Representasi politik yang

dinilai paling parah kualitasnya adalah representasi melalui partai politik, dan

pada ujungnya juga berimplikasi pada rendahnya kualitas pemilu dari kaca

mata representasi popular. Partai politik peserta pemilu memang tumbuh dan

bekerja, namun parpol tidak merepresentasikan kepentingan-kepentingan

konstituen dan isu-isu vital masyarakat. Pemilu memang dilaksanakan secara

9 Przeworski, A., Stokes, S., and Manin, B. (Eds.), Democracy, Accountability, and

Representation, (New York: Cambridge University Press, 1999). 10 Hal ini tentu saja disandarkan pada realitas faktual dan teoretik bahwa pemilu merupakan aspek

esensial demokrasi, yang menjadi saluran untuk, paling tidak, regularitas pemilihan pemimpin

oleh warga negara serta hak pilih untuk seluruh warga negara (universal sufferage). 11 Dalam konteks ini, beberapa pemikir menyebut representasi politik demikian sebagai

responsiveness atau policy congruence, lihat antara lain Powell (2000). Titik tekannya pada

apakah pilihan-pilihan kebijakan yang diinginkan oleh warga negara tergambar dalam

kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, atau lebih lanjut, apakah ada kesebangunan

kebijakan antara warga negara dengan pemerintah negara. Aspek ini dipandang sebagai

indikator utama untuk menilai kualitas sebuah demokrasi. Lihat Diamond and Morlino (2005). 12 Di samping masalah representasi, juga mengemuka: masalah jaminan kebebasan dan hak-hak

dasar khususnya ekonomi, sosial dan budaya, masalah oligarki demokrasi, masalah agen

perubahan yang mengambang, masalah lokalisasi politik yang tidak menyatukan, dan masalah

fragmentasi agen-agen gerakan demokrasi.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

5

regular dan menghasilkan keterpilihan wakil-wakil yang duduk di lembaga

legislatif, khususnya. Namun, kenyataannya wakil-wakil tersebut sangat

minim dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingan publik dan lebih

dominan didorong oleh kepentingan-kepentingan personal dan elitis. Situasi

representasi politik demikian dicatat sebagai defisit demokrasi Indonesia yang

paling serius.13

Salah satu isu utama representasi politik di Indonesia adalah representasi

kelompok-kelompok minoritas, dimana mereka tidak saja tereksklusi dari

politik Indonesia yang lebih banyak bekerja dalam logika mayoritarianisme,

namun bahkan menjadi objek dari tindakan-tindakan intoleransi dan

diskriminasi, seperti minoritas Syi’ah di Sampang yang menjadi korban

penyerangan, pembakaran tempat tinggal dan rumah ibadah, dan penyerbuan

yang berakibat pada hilangnya nyawa.

Dengan spektrum paradigmatik yang similar dengan studi-studi tentang

representasi tersebut, peneliti melihat bahwa persoalan diskriminasi,

persekusi, intoleransi, dan pelanggaran atas hak-hak dasar kelompok

minoritas agama/keyakinan, khususnya Jemaah Syi’ah Sampang, dapat dilihat

dari perspektif representasi politik untuk memastikan terjaminnya hak-hak

asasi manusia dan hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Dalam konteks studi ini, representasi politik tidak hanya merujuk pada

bagaimana lembaga-lembaga politik bekerja dan berfungsi mewakili

kepentingan-kepentingan kelompok minoritas, namun lebih dari itu mengacu

pada bagaimana kelompok minoritas menggiatkan civic engagement, baik

secara individual maupun secara kolektif, dalam saluran-saluran politik yang

ada, khususnya partai politik, untuk memperjuangkan representasi politik

untuk menjamin hak-hak dan memenuhi kepentingan-kepentingan mereka.

Untuk itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai

bagaimana Jemaah Syiah di Indonesia memperjuangkan politik inklusi

demokratis bekerja untuk menjamin representasi politik mereka, dan pada

gilirannya menjamin pemenuhan hak-hak dasar dan kepentingan-kepentingan

13 Lihat Otto Adi Yulianto, “Representasi Semu”, dalam AE Priyono, et.al. Op.cit, hal 69-102.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

6

kelompok minoritas Jemaah Syi’ah pasca Kasus Sampang. Pada akhirnya

studi ini akan melihat bagaimana politik inklusi demokratis dioptimalkan oleh

Jema’ah Syi’ah dalam melindungi dan memenuhi hak-hak dasar dan

kepentingan-kepentingan minoritas mereka pasca Kasus Sampang.

Penelitian mengenai Syi’ah dengan menggunakan kacamata representasi

politik merupakan sesuatu yang baru dan penting untuk dilakukan, paling

tidak karena dua alasan. Pertama, studi-studi ilmiah yang ada tentang Syi’ah

selama ini lebih banyak mengambil perspektif yang makro tentang Syi’ah

baik teologis maupun kultural serta perjuangan Syi’ah di berbagai bidang.

Kedua, Syi’ah merupakan bagian integral dari Indonesia yang ber-Bhinneka

Tunggal Ika. Dengan demikian, memahami Syi’ah dengan lebih baik dari

kacamata politik akan membuka ruang bagi hidup setiap manusia, makhluk

politik (zoon politicon), secara peaceful co-existence.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah penelitian (research

question) dapat dinyatakan dalam pertanyaan: Bagaimana pilihan-pilihan

Jemaah syi’ah Sampang dalam memperjuangkan representasi politik mereka

dalam politik inklusi demokratis?

C. Tujuan Penelitian

Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1)

mengungkap sikap-sikap politik Jemaah Syi’ah dalam memperjuangkan

mekanisme dan sistem yang merepresentasikan aspirasi dan kepentingan-

kepentingan mereka, dan 2) menganalisis tindakan-tindakan mereka dalam

memperjuangkan aspirasi-aspirasi, hak-hak dasar dan kepentingan-

kepentingan Jemaah Syi’ah pasca Kasus Sampang, di dalam kerangka

demokrasi. Dengan dua tujuan partikular tersebut, penelitian ini secara umum

akan menganalisis perjuangan Jemaah Syi’ah sebagai kelompok minoritas

sekaligus tidak diuntungkan (minority and disadvantaged groups), terutama

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

7

pasca Kasus Sampang, untuk mewujudkan representasi politik mereka dalam

perspektif politik inklusi demokratis.

D. Kajian Teori

Untuk mengerangkai pengumpulan dan analisis data penelitian ini

sekaligus untuk menyajikan temuan-temuan baru (findings) penelitian ini,

maka peneliti akan mengulas dua kajian teoretik utama, yaitu minoritas dan

demokrasi, serta representasi dalam politik inklusi demokratis.

1. Minoritas dan Demokrasi

Secara literal, istilah minoritas sebenarnya belum terlalu jelas. Sebab

label minoritas ini dikonstruk secara akademik dan historikal14, sehingga

dimensinya sangat kompleks. Namun demikian, klaritas konseptual dapat kita

telusuri melalui beberapa pandangan, antara lain Louis Wirth (1941), Marvin

C Harris (1959), Francesco Capotorti (1991), dan Jules Deschênes (2008).

Wirth menyatakan bahwa konsep minoritas digunakan untuk menyebut

mereka yang mendapatkan perlakuan yang berbeda atau diri mereka sendiri

dipisahkan dari sebuah masyarakat, hanya karena mereka memiliki perbedaan

fisik, social, dan kultural. Beberapa kelompok itu tidak saja posisi obektifnya

tidak diuntungkan (disadvantageous objective position), bahkan cenderung

berkembang konsepsi bahwa mereka itu inferior, alien (tercerabut dari

masyarakatnya), dan kelompok teraniaya (persecuted groups), yang pada

akhirnya berdampak secara signifikan terhadap peran-peran mereka dalam

urusan publik dan bangsa.15

Selanjutnya, Harris menyatakan bahwa minoritas adalah subkelompok

dari masyarakat yang lebih besar dan anggota dari subkelompok tersebut

14 Preece, Jennifer Jackson. 2005. “Understanding the Problem of Minorities”, dalam Minority

Rights (Cambridge: Polity), hlm. 3 15 Situasi ini selain menunjukkan bahwa ada aspek dalam diri minoritas yang harus dilindungi,

juga menggambarkan bahwa masyarakat kita secara faktual belum sepenuhnya terintegrasi

dalam satu kesatuan bangsa yang utuh. Lihat Louis Wirth, “Morale and Minority Groups”,

American Journal of Sociology, Vol. 47, No. 3 (November 1941), diterbitkan oleh The

University of Chicago Press, hlm. 415-433

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

8

menjadi subjek ketidakberdayaan (diasabilities) dalam berbagai bentuk

prasangka, diskriminasi, segregasi, atau persekusi yang dilakukan oleh

subkelompok lainnya yang biasanya disebut mayoritas.16

Menurut Capotorti, minoritas adalah:

… a group, numerically inferior to the rest of the population of a

State, in a non-dominant position, whose members-being nationals of

the State- possess ethnic, religious or linguistic characteristics

differing from those of the rest of the population and show, if only

implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their

culture, traditions, religion or language.17

Sedangkan Deschênes menyatakan, minoritas merupakan:

… a group of citizens of a State, constituting a numerical minority and

in a non-dominant position in that State, endowed with ethnic,

religious or linguistic characteristics which differ from those of the

majority of the population, having a sense of solidarity with one

another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive

and whose aim is to achieve equality with the majority in fact and in

law”.18

Terhadap beberapa definisi tersebut dapat diajukan beberapa catatan.

Pertama, basis pengkategorian minoritas, di antaranya, bersifat numerik—

terkait jumlah. Menurut peneliti, identifikasi minoritas berdasarkan jumlah

mengandung bias tersendiri. Mendekati minoritas dari kalkulasi numerikal

cenderung tidak dapat merangkum berbagai fakta diskriminasi terhadap

minoritas. Satu contoh unik yang dapat diajukan adalah kasus Afrika Selatan.

Rezim apartheid Afrika Selatan sebelum ditumbangkan oleh Nelson Mandela

melakukan diskriminasi rasial atas warga Afsel yang secara numerikal sangat

besar. Kedua, secara politis, minoritas memiliki status yang khas. Dalam

lingkup sebuah negara, mereka menempati posisi yang tidak dominan.

16 Harris, Marvin, “Race, Class, and Minority”, Social Forces, Vol. 37, No. 3 (Mar., 1959), yang

diterbitkan oleh Oxford University Press, hlm. 248-254 17 “Study on the Rights of Persons belonging to Ethnic, Religious and Linguistic Minorities.” UN

Document E/CN.4/Sub.2/384/Add.1-7 (1977). Diakses melalui http://www.minority-

rights.org/docs/mn_defs.htm, pada tanggal 3 November 2008. 18 Proposal Concerning a Definition of the Term 'Minority'. UN Document E/CN.4/Sub.2/1985/31

(1985). Diakses melalui http://www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm, pada tanggal 3

November 2008.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

9

Ketiga, minoritas memiliki karakter distingtif. Mereka memiliki ciri etnik,

religi, dan linguistik yang berbeda dengan mayoritas penduduk di sebuah

negara. Keempat, terdapat rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka untuk

bertahan dengan budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.

Pemikir yang lain, Jackson Preece, melihat persoalan minoritas dari

perspektif politik. Sebab, menurutnya, persoalan-persoalan minoritas hadir

dalam upaya untuk membedakan mereka yang memiliki komunitas politik

tertentu dan siapa yang tidak memiliki komunitas politik tersebut.19

Preece, berpijak pada pandangan Hannah Arendt (1972), menyatakan

bahwa kehidupan politik menyisakan asumsi bahwa kita dapat memproduksi

kesetaraan melalui pengaturan, sebab manusia dapat bertindak di dalam,

mengubah, dan membangun sebuah dunia bersama. Tata politik (political

order) merupakan buatan manusia. Ia lebih sebagai akibat tindakan manusia

daripada bagian dari dunia fisik dan alamiah. Apa yang dinyatakan Arendt

kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Thomas Hobbes

(1988). Tanpa rekayasa (politik) manusia, tidak ada tempat untuk industri,

tidak ada seni, tidak ada huruf, dan tidak ada masyarakat. Di sisi yang buruk,

tidak ada ketakutan yang terus-menerus, tidak ada bahaya kematian dengan

kekerasan, tidak ada pengungkungan, kemiskinan, kekejian, dan kekejaman.

Minoritas, menurut Preece, adalah identitas yang lebih tepat dibaca dari

konstruksi politis. Minoritas merujuk pada kelompok yang dikeluarkan secara

politis (political outsiders) dari tatanan politik yang dominan. Identitas

minoritas memiliki sejarah latar politis yang panjang. Katolik abad

pertengahan melabeli orang-orang yang memiliki kepercayaan tapi tidak

berhubungan dengan Gereja Katolik sebagai minoritas. Di negara-negara

dinasti, label minoritas disematkan kepada mereka yang tidak mentaati paham

keagamaan yang dipercayai oleh pangeran yang berdaulat. Dalam kekaisaran

Eropa, minoritas adalah mereka yang tidak memiliki ciri nyata peradaban

Eropa.

19 Preece, Jennifer Jackson, 2005, “Understanding the Problem of Minorities”, dalam Minority

Rights, (Cambridge: Polity), hlm. 6

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

10

Identifikasi minoritas dari perspektif dominasi politik, menurut peneliti,

memiliki basis argumentasi yang kuat dengan kekayaan fakta di lapangan.

Meskipun perspektif numerikal kadang menjadi subkarakter minoritas, akan

tetapi yang dominan mendistingsi sebenarnya adalah konstruksi dan

kategorisasi politis. Fakta politik kontemporer menunjukkan bahwa

diskriminasi terhadap mereka yang dilabeli minoritas seringkali dilakukan

oleh kelompok yang dominan secara politis dan memiliki kekuasaan untuk

menyatakan bahwa di luar mereka merupakan kelompok yang lemah, yang

harus disantuni secara positif, atau secara negatif harus diwaspadai sebagai

kelompok yang merusak ketertiban politik.

Jadi minoritas yang dimaksudkan dalam penelitian ini tidak dibangun

dari perspektif numerik—paling tidak bukan pertimbangan mayor.

Keminoran yang dibahas didasarkan pada pertimbangan utama bahwa dalam

suatu situasi dan keadaan politis tertentu dimana minoritas dijadikan sebagai

objek alienasi, diskriminasi, segregasi, inferiorisasi, dan bahkan persekusi.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana hak-hak mereka? Pada masa yang

lalu pengaturan khusus mengenai minoritas dan keadaan-keadaan yang

memungkinkan mereka bertahan digambarkan sebagai “jaminan” dan bukan

“hak”.20 Hal itu tampak dalam perlakuan yang terjadi pada abad ke-17 sampai

19-an. Pada masa Liga Bangsa-Bangsa, misalnya, ada pengaturan bernama

League of Nation Systems of Minority Guarantees, yang diadopsi sebagai

upaya ntuk memelihara Perkampungan 1919 di Eropa Tengah dan Eropa

Timur.

Perbedaan semantik ini jelas memiliki makna yang signifikan dan

menjelaskan bagaimana pengaturan kepada mereka dilakukan. Kata

“jaminan” menunjukkan bahwa arrangement merupakan kewajiban yang

secara sukarela atau karena budi baik yang diberikan oleh negara-negara

besar terhadap negara-negara baru atau negara-negara kecil.

Setelah diskursus HAM menguat pasca Perang Dunia II, perlindungan

terhadap eksistensi minoritas diekspresikan dalam bentuk hak dan bukan

20 Ibid, hlm. 13

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

11

jaminan. Apa perbedaan keduanya memang tidak benar-benar secara jelas

ditegaskan dalam pemahaman kontemporer. Vincent (1986), sebagaimana

dikutip Preece, memberikan penjelasan bahwa kata hak menunjukkan

perilaku yang seseorang dapat menuntutnya, baik secara legal maupun moral,

yang mensyaratkan keadaan-keadaan normatif yang dilekatkan kepada

privilege, atau kekebalan, atau otoritas untuk bertindak dengan cara-cara

tertentu. Vincent selanjutnya menjabarkan bahwa hak terdiri dari lima

element; subjek hak, objek hak, penggunaan hak, pemangku kewajiban

korelatif, dan justifikasi hak.

Dalam Konvensi Hak Minoritas 1992, pengaturan atas eksistensi dan

survivalitas minoritas digambarkan dalam dua sisi sekaligus; hak internal

minoritas dan jaminan eksternal dari negara. Hak-hak minoritas dinyatakan

secara gamblang pada Pasal 2 dan Pasal 3. Dalam Pasal 2 ayat 1, misalnya,

dinyatakan mengenai hak untuk menikmati kebudayaan, meyakini dan

melaksanakan agama, dan menggunakan bahasa mereka sendiri, baik di ruang

publik maupun privat, secara bebas tanpa gangguan dan diskriminasi dalam

bentuk apapun.

Jaminan perlindungan sebagai obligasi negara dinyatakan dalam jumlah

pasal yang lebih banyak, antara lain Pada pasal 1, pasal 4, pasal 5, pasal 6,

dan pasal 7. Dalam Pasal 1 ayat 1, misalnya, dinyatakan bahwa negara wajib

melindungi identitas nasional atau etnik, budaya, agama, dan bahasa

minoritas yang terdapat dalam wilayahnya dan mengembangkan keadaan-

keadaan yang memungkinkan pemajuan identitas tersebut.

Hak-hak minoritas (minority rights) merupakan wacana komplementer

dalam narasi besar Hak Asasi Manusia (HAM) kontemporer. Secara formal

masyarakat dunia baru memberikan penekanan afirmatif atas hak-hak

minoritas pada akhir abad ke-20, dengan diadopsinya Declaration on Rights

of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic

Minorities, oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1992.

Secara akademik, hak-hak minoritas sebenarnya sudah lama

dibicarakan, terutama sejak secara sangat umum pasal 27 International

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

12

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa: “Di

Negara-negara di mana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama

atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok

minoritas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama

anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri,

untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk

menggunakan bahasa mereka sendiri”.

Sebagai turunan dari Pasal 27 ICCPR,21 Deklarasi Minoritas 1992 di

atas mengakomodasi rumusan-rusumusan hak minoritas yang lebih detil22,

yaitu:

1) Perlindungan, oleh Negara mengenai keberadaan mereka dan

identitas suku bangsa, atau etnik, budaya, agama, dan bahasa,23

2) Hak untuk menikmati budaya mereka, untuk mengimani dan

melaksanakan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan

bahasa mereka dalam urusan pribadi dan di masyarakat,24

3) Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, agama, sosial,

ekonomi, dan umum,25

4) Hak untuk ikut serta dalam mengambil keputusan yang

mempengaruhi mereka pada tingkat nasional dan daerah,26

5) Hak untuk membentuk dan mempertahankan perserikatan mereka

sendiri,27

6) Hak untuk membentuk dan mempertahankan hubungan damai

dengan anggota masyarakat lain dalam kelompok mereka dan

21 Hal itu dinyatakan secara eksplisit pada bagian Preamble Deklarasi PBB tentang Minoritas 22 Di sisi yang berbeda, hak-hak tersebut berimplikasi pada kewajiban dan tanggungjawab negara.

Dalam kerangka itu negara juga dituntut untuk mengambil langkah-langkah positif dalam

rangka melindungi minoritas, tidak saja di bidang sipil dan politik sebagaimana yang

dikehendaki ICCPR, akan tetapi juga untuk mendukung dan memelihara minoritas secara

kultural. Lihat Steven Wheatly, Democracy, Minorities and International Law (Cambridge:

Cambridge University Press, 2005), hlm. 7 23 Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Minoritas 24 Pasal 2 (1) Deklarasi PBB tentang Minoritas 25 Pasal 2 (2) Deklarasi PBB tentang Minoritas 26 Pasal 2 (3) Deklarasi PBB tentang Minoritas 27 Pasal 2 (4) Deklarasi PBB tentang Minoritas

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

13

dengan orang dari kelompok minoritas lain, baik di dalam negara

mereka sendiri atau di luar batas-batas negara,28

7) Kebebasan untuk melaksanakan hak-hak mereka, secara individu

dan juga di dalam masyarakat dengan anggota lain dari kelompok

mereka tanpa adanya diskriminasi.29

Kemudian bagaimana hak-hak minoritas itu dijamin oleh negara

demokrasi? Demokrasi model apa yang lebih memungkinkan pemenuhan

hak-hak minoritas tersebut?

Demokrasi secara konseptual merupakan sistem yang memungkinkan

jaminan eksistensial bagi minoritas, di samping mekanisme untuk

pengambilan keputusan bersama melalui otoritas negara berdasarkan aspirasi

mayoritas. Demokrasi menyediakan ruang bahkan mekanisme perlindungan

hak-hak dasar bagi seluruh warga melalui saluran-saluran demokratis. Maka,

dalam sistem demokratis tersebut hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga

negara, dari kelompok minoritas sekalipun, mendapatkan jaminan

perlindungan dalam konstitusi negara.

Ideal tersebut berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah. David T

Canon (2005) menyatakan bahwa tantangan pokok demokrasi perwakilan

(representative democracy) adalah bagaimana menyediakan ruang suara bagi

kepentingan minoritas dalam sistem yang didominasi oleh suara mayoritas.

Karenanya, legitimasi dan stabilitas sebuah demokrasi terutama ditentukan

oleh kemampuannya untuk mengatasi kerumitan persoalan relasi mayoritas

dengan minoritas dalam penyediaan ruang politik yang setara bagi

keduanya.30

Secara faktual seringkali terjadi anomali dalam ranah politik dimana

demokrasi dijadikan alat untuk mendiskriminasi atau mempersekusi

minoritas. Instrumentasi prosedur-prosedur demokrasi untuk mendiskriminasi

28 Pasal 2 (5) Deklarasi PBB tentang Minoritas 29 Pasal 3 Deklarasi PBB tentang Minoritas 30 David T Canon, “The representation of Minority Interest in The U.S. Congress”, dalam

Christina Wolbrecht dan Rodney E Hero, The Politics of Democratic Inclusion (Philadelphia:

Temple University Press, 2005), hlm. 281

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

14

minoritas terjadi dalam berbagai wajah. Untuk memperluas spektrum ilustrasi

dapat kita cermati referendum demokratis yang diselenggarakan di swiss

dalam rangka menolak rencana minoritas muslim disana untuk membangun

menara masjid kelima. Kepentingan minoritas yang relatif sederhana,

membangun menara masjid—sementara masjidnya sudah ada, terbentur

dengan mekanisme dan prosedur demokratis yang digunakan oleh mayoritas.

Referendum sebagai instrumen demokrasi untuk menegaskan aspirasi dan

kehendak mayoritas dijadikan sebagai kendaraan (means) untuk menegasikan

akomodasi dan toleransi atas kepentingan minoritas.31 Berkaca dari

pengalaman kasus “menara kelima” di Swiss, demokrasi yang diidealkan

sebagai the only of game in town,32 justru dijadikan sebagai the game of

majority untuk mendiskriminasikan minoritas di negara itu.

Tidak saja begitu, demokrasi di banyak negara bahkan seringkali

dijadikan sebagai tool of revenge atas minoritas. Momentum pasca otoriter

seringkali diinstrumentasi sebagai pintu masuk bagi mayoritas untuk

mengambil tindakan menumpahkan kemarahan mayoritas kepada minoritas,

terutama kelompok-kelompok yang dalam pemerintahan otoriter sebelumnya

mendapat keuntungan-keuntungan.33

31 Di Swiss terdapat sekitar 400.000 orang warga muslim, atau kira-kira 4% dari jumlah total

penduduk. Sebagai tempat ibadah bagi mereka, terdapat sekitar 150 masjid di seluruh Swiss.

Hanya 4 masjid yang memiliki menara. Muncul inisiatif untuk membangun menara ke-5.

Aktivis partai politik sayap kanan menolak pembangunan menara kelima itu dan menilai hal itu

sebagai “simbol politik fundamentalis dan simbol islamisas. Mereka lalu menjadi inisiator

untuk mengajukan referendum demokratis untuk menjajaki aspirasi mereka, apakah sebagian

besar rakyat menerima atau menolak rencana pembangunan menara kelima tersebut..

Referendum akhirnya dimenangkan oleh kubu yang menolak pembangunan dengan total suara

57,5%. Sementara masyarakat yang mendukung “hanya” 42,5%. Dengan demikian dilaranglah

pembangunan menara kelima tersebut. Robertus Robet, “Demokrasi versus Toleransi”, dalam

Bonar Tigor Maipospos dan Ismail Hasani (eds.), Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi

(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2009), hlm. 2-3 32 Demokrasi diidealkan sebagai bentuk pemerintahan terbaik. Sejak era Aristoteles demokrasi

diidentifikasi sebagai sistem politik yang mengandung kebaikan paling sedikit dibandingkan

sistem lain yang banyak keburukannya. Dalam pandangan Linz, disebut sebagai “the only

game in town” (satu-satunya aturan main yang berlaku”. Juan J Linz, “Defining and Crafting

Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation”, dalam R William Liddle, Crafting

Indonesian Democracy (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 27 33 Diinspirasi oleh Amy Chua (2010), I Wibowo memberikan aneka contoh cukup komprehensif

mengenai bagaimana demokrasi pasca otoriter dijadikan momentum bagi mayoritas untuk

menekan bahkan meminggirkan minoritas yang sebelumnya mendapat keuntungan. Dalam

kasus-kasus yang dielaborasi oleh I Wibowo adalah mereka yang mendapatkan keuntungan-

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

15

Dalam konteks Indonesia, tampilan relasi mayoritas minoritas di alam

demokrasi lebih mengerikan. Kelompok-kelompok minoritas seringkali

mendapatkan tindakan diskriminasi, persekusi, dan marjinalisasi dari anasir

mayoritas dengan menggunakan instrumen-instrumen non demokratis, seperti

kekerasan, intimidasi, serta berbagai tindakan langsung seperti sweeping dan

lain sebagainya. Penggunaan instrumen-instrumen non demokratis tersebut

berdampak pada hilangnya berbagai hak dasar minoritas, sebagai individu

maupun sebagai kesatuan kelompok, seperti hak atas properti, kebebasan

berserikat, kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinan,

bahkan hak-hak yang sangat fundamental seperti hak hidup serta hak atas

kebebasan dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang tidak

manusiawi dan merendahkan.

Korban terbesar dalam terjadinya berbagai tindakan kekerasan,

intoleransi, dan diskriminasi lainnya terhadap minoritas adalah kelompok

minoritas agama/keyakinan. SETARA Institute mencatat sepanjang tahun

2012 telah terjadi peningkatan intoleransi dan diskriminasi kebebasan

beragama/berkeyakinan, sejumlah 264 peristiwa dan 371 tindakan

pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak

konstitusional yang dinaungi dan dijamin oleh konstitusi negara. Angka

tersebut menunjukkan peningkatan situasi minor secara signifikan dalam

kebebasan beragama/berkeyakinan dibandingkan tahun lalu, dimana masing-

masing “hanya” berjumlah 244 peristiwa dan 299 tindakan.34

keuntungan ekonomi, yang dalam pandangan Chua disebut “market-dominant minorities”.

“Balas dendam” tersebut terjadi di Zimbabwe begitu Mugabe terpilih secara demokratis

melalui Pemilu pada tahun 1980. Juga di Venezuela setelah Hugo Chaves terpilih sebagai

presiden melalui pemilu demokratis pada 1998. Lihat I Wibowo, Negara dan Bandit

Demokrasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). Juga Amy Chua, World on Fire: How

Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability, (New York:

Anchor Books, 2010). Untuk kasus Indonesia, kasus pembakaran dan perkosaan atas minoritas

China dalam huru-hara politik di awal reformasi Indonesia sampai tingkatan tertentu dapat

dikatagorikan sebagai contoh serupa, hanya dengan saluran di luar demokrasi. 34 Dalam enam tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah peristiwa dan tindakan pelanggaran atas

kebebasan beragama/berkeyakinan secara signifikan sejak tahun 2007. Lihat Halili, dkk.,

Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Situasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Tahun 2012

(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2013), hlm. 31 dan hlm. 53. Data yang tidak jauh berbeda

juga dirilis oleh The Wahid Institute, yang secara umum menggambarkan tingginya tampilan

diskriminasi dan pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan akhir-akhir ini.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

16

Salah satu kelompok minoritas yang hingga kini masih terus berada

dalam situasi anomali negara demokratis adalah Jemaah Syi’’ah Kabupaten

Sampang. Mereka menjadi korban teror, intimidasi, penyerangan,

perampasan, serta pembakaran tempat tinggal, harta benda, dan tempat

ibadah, bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Jemaah Syi’ah

Sampang kini terusir dari tanah kelahiran mereka dan tercerabut dari akar

natural dan sosio-kultur mereka.35

Padahal jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kerangka

demokrasi konstitusional Indonesia sangatlah cukup bahkan lebih dari

memadai. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 (UUD 1945)

terdapat beberapa ketentuan yang memberikan jaminan atas hak warga negara

untuk beragama dan berkeyakinan. Setidaknya terdapat dua Pasal dalam

UUD 1945 yang dapat diidentifikasi sebagai pasal yang memberikan jaminan

secara langsung atas kebebasan beragama bagi setiap orang, baik warga

negara maupun bukan. Jaminan tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 28 E

dan Pasal 28 I.36

Tersedianya jaminan dan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan

berkeyakinan menunjukkan rekognisi bahwa hak beragama atau pemelukan

suatu agama oleh seseorang merupakan hak asasi manusia yang sifatnya

sangat esensial.37

35 Ibid, hlm. 75-97. 36 Pasal 28 E ayat (1) berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan

dan tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Ayat (2)

berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan

sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Sedangkan Pasal 28 I ayat (1) berbunyi: hak untuk hidup,

hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak

untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk

tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun.” 37 Bahkan ada yang menyebut hak beragama merupakan hak asasi yang paling esensial

dibandingkan hak-hak asasi lainnya. Lihat Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan

Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,

1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama (Edisi

Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm.

286.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

17

Dengan kedudukan yang demikian signifikan, maka hak beragama—

sejalan dengan norma universal hak asasi manusia—ditempatkan sebagai non

derogable rights sebagaimana dinyatakan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Sebagai hak yang terkategori non derogable rights, maka hak

beragama/berkeyakinan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau

tidak dapat dicabut oleh siapapun.38

Selain memberikan jaminan dan kedudukan hak beragama/ berkeyakinan

sebagai non derogable rights, UUD 1945 juga mengatur mengenai jaminan

negara terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan, yang ditegaskan dalam

Pasal 29 UUD 1945 ayat (2) yang menyatakan: “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Mandat jaminan konstitusional yang diturunkan dari filosofi dasar negara

demokratis diperkuat dengan berbagai instrumen hukum derivatnya dalam

bentuk undang-undang. Beberapa Undang-Undang yang dapat diidentifikasi

dalam kerangka utamanya adalah Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 12 tentang Ratifikasi Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Dengan demikian jaminan

konstitusional in book bagi kelompok minoritas agama/keyakinan sangatlah

kuat. Namun in action, jaminan konstitusi demokratis tersebut tidak

menyelamatkan kelompok minoritas agama/keyakinan dari berbagai

tindakan-tindakan non demokratis atas kebebasan dan hak dasar yang dijamin

oleh kerangka dasar demokrasi negara. Jadi jika dipantulkan dengan cermin

faktual, maka demokrasi, sampai di tingkatan ini, tidak terlalu bermakna bagi

mereka.39

38 Ibid, hlm. 293. 39 Meminjam perspektif Demos yang melihat demokrasi di era pasca otoritarianisme Orde Baru—

dengan berbagai problemnya, mulai dari representasi semu hingga pembajakan politik oleh

elit—tidak cukup bermakna sehingga diperlukan langkah-langkah konkrit untuk membuat dan

memastikan demokrasi menjadi lebih bermakna. Lihat AE Priyono, dkk, Making Democracy

Meaningful: Problems and Options in Indonesia atau dalam versi Indonesia berjudul

Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan di Indonesia

(Jakarta: Demos, 2004)

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

18

Bagaimana alternatif untuk membuat agar demokrasi bekerja lebih baik

dalam mengakomodasi kepentingan minoritas? Secara teoretis beberapa opsi

telah ditawarkan oleh berbagai ahli, pengamat, dan peneliti, berbasis pada

beberapa riset relevan dengan berbagai perspektif.

Menurut Lawrence Surendra, gejala formalisasi demokrasi—dimana

prosedur-prosedur demokrasi tampak bekerja secara normal namun hanya di

tataran formal, misalnya regulasi dan pemilihan umum secara reguler—

merupakan salah satu masalah pokok demokratisasi di beberapa negara post-

otoritarian, khususnya di Asia. Untuk merespons masalah tersebut diperlukan

langkah substansialisasi demokrasi. Inti (substance) dari demokrasi dan

demokrasi substantif sejatinya berkaitan dengan pertanyaan seberapa inklusif

demokrasi tersebut. Sehubungan dengan hal itu, untuk membuat demokrasi

yang lebih inklusif, maka harus diupayakan agar representasi politik yang

berlangsung di negara demokrasi dikembangkan agar lebih mengarah kepada

politik inklusi.40 Tesis Surendra membayangkan bahwa semakin luas dan

substantif tingkat dan coverage representasi di sebuah sistem demokratis

maka akan semakin terakomodasi kepentingan-kepentingan seluruh

kelompok di dalam sistem, khususnya kelompok-kelompok minoritas. Jika

hal itu terjadi maka bekerjanya demokrasi akan semakin substantif bagi

publik dan warga negara.

Berkaitan dengan perspektif tersebut, melalui studi cukup komprehensif

dari pengalaman Amerika Serikat, Rodney E. Hero dan Christina Wolbrecht

melihat bahwa politik inklusi demokratis merupakan sesuatu yang sentral

untuk memahami sekaligus mengukur kualitas sebuah demokrasi.41

Penggunaan standar-standar politik kesetaraan dan kedaulatan rakyat

(popular sovereignty) akan berdampak pada meluas dan mendalamnya

representasi warga yang diperintah. Pro kontra terkait dengan penggunaan

40 Lawrence Surendra, “Democratizing Democracy-Beyond Representative Politics to The Politics

of Inclusion”, dalam Hee Yeon Cho, Lawrence Surendra, and Eunhong park (eds.), States of

Democracy: Oligarchic Democracy and Asian Democratization (Mumbai: Earthworm Books,

2008), hlm. 23-40. 41 Dalam hal ini tentu yang dimaksud oleh Studi Hero dan Wolbrecht adalah kualitas demokrasi

Amerika Serikat. Lihat Wolbrecht dan Hero. Op.cit, hlm. 1

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

19

standar-standar politik kesetaraan dan kedaulatan popular, khususnya

mengenai sampai di tingkatan mana standar itu digunakan, selalu berkembang

berkaitan dengan kelompok-kelompok yang secara tradisional tidak

diuntungkan (disadvantaged groups), seperti perempuan, minoritas etnik dan

ras, serta para imigran.

Dalam rangka itu, seperti diurai secara analitik dengan basis empirik

yang memadai oleh Wolbrecht dan Hero, perluasan dan pendalaman

representasi (dalam definisi yang lebih luas) dilakukan dalam demokrasi

Amerika, paling tidak di tiga lapisan. Pertama, diversitas dalam dan antar

kelompok. Misalnya, bagaimana memahami relasi dan struktur etnik dan ras

di AS, bagaimana membangkitkan kesadaran kelompok-kelompok

masyarakat, dan kemudian membawa kesadaran tersebut dari luar ke dalam

kelompok atau dari dalam ke luar kelompok. Kedua, mediasi lembaga-

lembaga demokrasi, misalnya, bagaimana menjadikan gerakan social sebagai

mekanisme politik inklusi, bagaimana menjadikan partai politik dan lembaga-

lembaga demokrasi mewadahi minoritas dan sebagainya. Ketiga, pengaturan

lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Misalnya, bagaimana

mengekstensifikasi representasi di Kongres, pemanfaatan Pengadilan Federal

untuk memperjuangkan demokrasi inklusif, hingga penataan kepresidenan.

Beberapa hal itu memungkinkan perbaikan kualitas inklusi demokratis di AS.

Salah satu ilustrasi sederhana dari bekerjanya politik inklusi demokratis

tersebut adalah terpilihnya seorang Afro-Amerika, Barack Obama, sebagai

presiden, yang dalam dinamika politik AS di masa yang lalu tampaknya

dipandang sebagai sesuatu yang hampir mustahil.

Berkaca dari pengalaman berbagai negara Eropa khususnya di sekitar

semenanjung Balkan seperti Romania, Kroasia, Bulgaria, Macedonia,

Kosovo, Montenegro, dan Albania, Florian Bieber (2008) mencatat bahwa

salah satu mekanisme demokratik yang dapat digunakan untuk

mengakomodasi kepentingan-kepentingan minoritas adalah dengan

memperluas partisipasi politik minoritas. Partisipasi politik minoritas

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

20

merupakan alternatif demokratis untuk mengakomodasi dan memenuhi hak-

hak minoritas.42

Demokrasi dalam konteks pemenuhan hak-hak minoritas dapat

didudukkan dalam spektrum pembahasan demokrasi dan keadilan. Demokrasi

merupakan bentuk politik terbaik untuk mewujudkan keadilan.43 Demokrasi

memungkinkan dikendalikannya para penyelenggara negara dari

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang secara faktual merupakan

godaan yang sulit dielakkan. Dalam iklim politik demokratis, individu-

individu dan gerakan sosial dapat secara terus menerus menuntut pemerintah

untuk mewujudkan keadilan, mencegah warga negara dari menderita

ketidakadilan, menolak rencana program yang akan memproduksi

ketidakadilan, dan memerangi ketidakadilan. Mereka juga dapat berharap

publik dan pemerintah demokratis untuk memperbaiki dan memberikan ganti

rugi atas ketidakadilan yang terjadi.44

Young menyebut model demokrasi yang lebih functioning untuk meng-

cover dan mewujudkan keadilan adalah model demokrasi deliberatif—

pendalaman dari model demokrasi yang hanya berfokus pada prosedur dan

mekanisme, yaitu apa yang dia sebut sebagai model demokrasi aggregatif.45

Secara substansial, demokrasi deliberatif mengoperasionalkan demokrasi di

wilayah yang lebih dalam dari demokrasi aggregatif. Banyak pemikir dan

para teoris yang mengusulkan demokrasi model ini, yang dinilai sebagai

42 Meskipun secara umum hak-hak minoritas tersebut secara umum belum didefinisikan secara

jelas, sementara standar internasional juga kabur (vague) dan cenderung mengelak (evasive),

paling tidak dengan ketersedian saluran partisipasi akan melindungi minoritas dari berbagai

tindakan diskriminasi. Lihat Florian Bieber, “Introduction: Minority Participation and Political

parties”, dalam Bieber, et.al., Political parties and Minority Participation (Skopje: Friedrich

Ebert Stiftung, 2008), hlm. 1-30. 43 Iris Marion Young, Inclusion and Democracy, Oxford University Press, Oxford, 2002, hlm. 17 44 Tugas utama bentuk politik demokratis adalah memajukan keadilan. Bahkan Ian Saphiro

menyebut demokrasi sebagai “subordinated good”, dan ordinatnya adalah keadilan. Lihat

Saphiro, Democratic Justice, New Heaven, Yale University Press, 1999, atau Philips van

Parijs, “Justice and Democracy: Are They Incompatible?”, Journal of Political Philosophy, 4/2

(June 1996), 17-101. 45 Iris Marion Young. Op.cit. 19-25

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

21

demokrasi yang “dalam” (deep democracy), sekaligus sebagai kritik atas

demokrasi aggregatif.46

Model aggregatif menginterpretasikan demokrasi sebagai proses

aggregasi pilihan-pilihan warga negara dalam menentukan pejabat dan

kebijakan-kebijakan publik. Dalam hal itu, tujuan dari penentuan kebijakan

demokratis adalah untuk menentukan apa yang paling mengaitkan antara

pemimpin, aturan, dan kebijakan dengan pilihan-pilihan yang telah dibuat

oleh warga negara. Demokrasi dalam model ini membayangkan bahwa setiap

orang dalam sebuah masyarakat politik memiliki pilihan-pilihan yang berbeda

tentang apa yang mereka inginkan untuk dilakukan pemerintah. Mereka juga

tahu bahwa orang lain dalam komunitas politik yang sama memiliki pilihan-

pilihan yang berbeda yang bisa jadi tidak match dengan pilihan mereka. Nah,

demokrasi dalam situasi demikian merupakan proses kompetitif dimana partai

politik dan para kandidat berusaha untuk menawarkan platforms mereka dan

memuaskan sebanyak-banyaknya orang. Warga negara dengan pilihan yang

serupa berusaha untuk mengorganisasi kelompok kepentingan untuk

mempengaruhi perilaku partai politik dan politisi pembuat kebijakan yang

telah mereka pilih. Pada akhirnya, Pemilu dan proses pembuatan legislasi

menggambarkan agregasi yang terkuat dalam populasi.47

Model aggregatif dalam pandangan Young memiliki beberapa

kelemahan. Pertama, model aggregatif menempatkan pilihan-pilihan individu

46 Beberapa ilmuwan yang disebut Young sebagai penganjur demokrasi deliberatif antara lain: 1)

Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy”, dalam Alan Hamlin dan Philip

Pettit (eds.), The Good polity (Blackwell, London, 1989), 2) Spragens, Reason and

Democracy, 3) Barber, Strong Democracy, 4) Cass R. Sunstein, The Partial Constitution

(Cambridge, Massachusset: Harvard University Press, 1993), 5) Frank Michelman, “Traces of

Self-Government”, Harvard Law Review, 100 (1986), 4-77, 6) Jane Mansbridge, “A

Deliberative Theory of Interest Representation”, dalam Mark P Patracca (ed.), The Politics of

Interest: Interest Group Transformed (Boulder, Colorado: Westview Press, 1992), 7) Dryzek,

Discoursive Democracy, 8) James Bohman, Public Deliberation (Cambridge, Massachusset:

MIT Press, 1996), 9) James Fishkin, The Voice of The People, 10) Jurgen Habbermas, Between

Facts and Norms (Cambridge, Massachusset: MIT Press, 1996), 11) Amy Gutmann dan

Dennis Thompson, Democracy and Disagreement (Cambridge, Massachusset: Harvard

University Press, 1996) 47 Young. Ibid. 19-20.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

22

sebagai sebagai sesuatu yang given. Tidak penting apa pertimbangan di balik

pilihan tersebut.

Kedua, model ini merupakan mekanisme untuk mengidentifikasi dan

mengagregasi kepentingan warga negara untuk melihat mana pilihan yang

berasal dari jumlah terbanyak atau dengan intensitas terkuat. Karenanya para

individu itu tidak perlu meninggalkan pilihan individual kepentingan mereka

dan berinteraksi dengan pilihan-pilihan lain yang berbeda. Maka demokrasi

aggregatif dengan demikian menghilangkan potensi interaksi diantara warga

negara yang sudah barang tentu berbeda, dan meniadakan argumentasi dan

motivasi mengapa sebuh keputusan diambil.

Ketiga, model ini juga mendorong terwujudnya rasionalitas yang sangat

tipis dan individualistik. Para politisi barangkali mengungkapkan alasan atau

argumen dalam engagement politik mereka, tapi keputusan yang keluar

sesungguhnya tidak butuh rasionalitas dan bisa saja sama sekali tidak pernah

sampai pada proses rasionalisasi.

Keempat, model aggregatif bersifat skeptis tentang kemungkinan

objektivitas normatif dan evaluatif. Model aggregatif hanya memberikan

ruang kepada perorangan untuk bertahan pada pilihan subjektifnya, bukan

dengan reasons kenapa pilihan itu dianggap baik. Meskipun terhadap hasil

kebijakan disediakan cara untuk mengkritisi, tapi dengan tidak adanya

kesempatan untuk mengevalusi rasio normatif dalam prosesnya, maka patut

dipersoalkan legitimasi moral dari substansi sebuah kebijakan politik.

Sebaliknya, Young mencatat beberapa kelebihan model deliberative

sehingga hal itu dipandang lebih feasible untuk mewujudkan keadilan melalui

politik demokrasi. Dalam model delliberatif, demokrasi merupakan bentuk

dari akal budi praktis (practical reason). Para partisipan dalam proses-proses

demokratik mendapat ruang untuk menawarkan tawaran-tawaran program

bagaimana mengambil cara terbaik untuk mengatasi sebuah persoalan

tertentu, mereka juga menyampaikan argumentasi untuk mempersuasi yang

lain agar menerima tawaran mereka. Proses demokrasi utama dalam

demokrasi deliberative adalah mendiskusikan masalah, konflik, kepentingan,

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

23

atau klaim tentang kebutuhan tertentu. Berbagai kelompok dan liyan menguji

tawaran-tawaran program dan argumentasinya. Keputusan akhir diambil

bukan karena sebuah pilihan didukung oleh sebagian besar orang secara

numerik, tapi ditentukan oleh apakah sebuah tawaran program disertai dengan

reasoning terbaik.

Model deliberatif48, dengan demikian, mengandung berbagai nilai

utama, yang berbeda secara fundamental dengan model agregatif. Beberapa

ideal normatif dalam relasi para pihak yang berdeliberasi (deliberating

parties) adalah: inklusi, kesetaraan poltik, reasonableness, dan publicity.

2. Representasi dalam Politik Inklusi Demokratis

Seperti dinyatakan di bagian latar belakang penelitian ini, kualitas

demokrasi ditentukan antara lain oleh derajat inklusivitasnya. Semakin

inklusif sebuah politik demokratis, semakin baik kualitas demokrasi

tersebut.49

Inklusi bukanlah konsep yang asing dalam politik, terutama politik

identitas. Basis argumentasi sederhananya pada mulanya sederhana, yaitu

moralitas tentang solidaritas universal dan tanggunggjawab sesama

(responsibility of each for all).50 Habermas menegaskan bahwa respek yang

setara terhadap setiap orang tidak terbatas pada mereka yang seragam dengan

kita (who are like us), tetapi diperluas kepada orang lain yang tetap dalam

“kelainannya” (otherness). Dalam kerangka itu, solidaritas atas orang lain

sebagai bagian dari kita merujuk pada kelenturan “kita” dalam sebuah

komunitas, yang menolak semua determinasi substantif dan memperluas

batas-batas berpori lebih jauh lagi. Artinya, meskipun batas komunitas itu

48 Jika dikontekstualisasi ke Indonesia, menurut peneliti, ideal demokrasi deliberatif

sessungguhnya sebangun dengan demokrasi yang ingin diletakkan sebagai model demokrasi

Indonesia, yaitu Demokrasi Permusyawaratan (juga perwakilan), sebagaimana tertuang dalam

Sila ke-4 Pancasila, dasar negara Republik Indonesia. 49 Secara teoretis, kualitas tertinggi demokrasi dikonseptualisasi sebagai demokrasi substantif atau

demokrasi maksimalis, tahap yang dipandang lebih tinggi dari sekedar demokrasi minimalis,

demokrasi elektoral, atau demokrasi prosedural. 50 Seperti yang sering dibela dan diperjuangkan oleh Jurgen Habermas. Lihat antara lain The

Inclusion of the Other, ed. Ciaran Cronin dan Pablo De Greiff (Cambridge, Massachusetts: The

MIT Press, 1998), hlm. xxxi-xxxvii

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

24

ada, orang-orang yang berbeda dari kalangan yang lebih luas dimungkinkan

untuk masuk. “Komunitas moral” tersebut menegakkan dirinya semata-mata

melalui jalan menghapuskan diskriminasi dan tindakan membahayakan

lainnya dan dengan memperluas relasi berdasarkan rekognisi mutual yang

meliputi orang-orang yang terpinggirkan. Komunitas tersebut tidak dibangun

sebagai sebuah kolektif untuk memaksakan homogenitas anggotanya sebagai

upaya untuk menegaskan kekhasan komunitas tersebut. Jadi, inklusi dalam

konteks ini cenderung bermakna bahwa batas-batas sebuah komunitas bersifat

terbuka untuk semua, juga untuk liyan (the other) dan khususnya kepada

orang-orang yang “asing” bagi yang lain dan ingin bertahan dengan

“keasingan”-nya.

Sebab berkaitan dengan relasi mayoritas-minoritas, inklusi juga

merupakan salah satu isu penting dalam spektrum studi demokrasi,

sebagaimana juga studi dan teori keadilan.

Salah satu masalah serius yang terjadi di tengah-tengah masyarakat

demokratis, dalam pandangan Habermas, adalah dimana sebuah kelompok

yang dominan secara politis, yaitu kultur mayoritas, memaksakan jalan

hidupnya kepada minoritas yang kemudian berdampak kepada pengabaian

kesetaraan hak yang efektif kepada warga negara lain dari latar belakang

kultural yang berbeda.51 Masalah tersebut berkaitan dengan isu politik yang

melahirkan self understanding secara etis dan sekaligus juga identitas rakyat

pada umumnya. Dalam konteks ini, minoritas tidak bisa semata-mata sebagai

subjek yang dikalahkan dalam pemilu oleh mayoritas. Pemerintahan

mayoritas pada akhirnya bekerja dalam keterbatasan komposisi kewargaan

yang dibayangkan akan menghasilkan sesuatu yang tampaknya dinilai

sebagai prosedur yang netral. Padahal sesungguhnya prinsip mayoritas sendiri

tergantung pada asumsi mereka sebelumnya mengenai kesatuan komunitas—

atau unit politik, dalam bahasa Robert Dahl. Dengan demikian mayoritas

akan kesulitan untuk berbuat adil, apalagi kepada minoritas. Perilaku adil

51 Ibid. 143-146

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

25

bagi kesatuan masyarakat secara keseluruhan sejatinya terletak di atas prinsip

mayoritas tersebut.

Dalam kacamata Habermas, secara umum diskriminasi terhadap

minoritas dapat dieliminasi melalui proses inklusi yang memiliki sensitivitas

yang memadai terhadap latar belakang kultural individu dan kelompok yang

secara spesifik memiliki perbedaan-perbedaan.52 Demokrasi idealnya bisa

men-setup proses inklusi tersebut. Persoalan minoritas sebagai mana kita tahu

merupakan proplem endemik di masyarakat pluralistik, dan cenderung

menjadi lebih akut di masyarakat multikultural.53 Namun pada perkembangan

selanjutnya negara-negara demokrasi konstitusional menyediakan berbagai

rute untuk mewujudkan sebuah impian yang tidak mudah, yaitu inklusi yang

sensitif perbedaan, seperti delegasi kekuasaan di negara federal, desentralisasi

atau transfer fungsional kompetensi negara, jaminan otonomi kultural, hak-

hak kelompok masyarakat dengan kekhasan tertentu, kebijakan-kebijakan

kompensatori, dan mekanisme-mekanisme lain untuk memastikan

perlindungan yang efektif bagi kelompok minoritas.54

Prinsip moral-filosofis inklusi kemudian di-breakdown lebih lanjut oleh

para pemikir ke dalam pengaturan politik demokrasi. Young, sebagaimana

dijelaskan di bagian sebelumnya, merekomendasikan model demokrasi

deliberatif sebagai demokrasi yang kompatibel dengan impian perwujudan

ide keadilan untuk semua melalui politik inklusi. Inklusi merupakan ideal

normatif tertinggi dalam demokrasi.

Dalam cara pandang demokratisasi, berbasis pada pengalaman negara-

negara Asia, Surendra menyebutkan bahwa politik inklusi merupakan

tantangan terbesar demokratisasi. Politik inklusi merupakan upaya untuk

52 Ibid. 53 Masyarakat pluralistik merujuk pada masyarakat dengan keragaman dan perbedaan-perbedaan di

lapisan-lapisan besarnya, seperti ras dan agama. Sedangkan masyarakat multikultural merujuk

pada keberagaman di level yang lebih minor, seperti pola sosialisasi, busana, atau bahkan

mindset atau hal-hal yang tercakup dalam subcultural diversity, perspectival diversity, dan

communal diversity. Lihat, antara lain, Lihat Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:

Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachusset: Harvard University Press,

2000), juga Hairus Salim dan Suhadi, Membangun Pluralisme dari Bawah (Jogjakarta: LKIS,

2007), hlm. 103-106. 54 Habermas, Op.cit.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

26

memastikan bahwa demokrasi betul-betul maujud sebagai format sistem

untuk mengatasi persoalan sehari-hari. Politik inklusi memungkinkan

penghormatan atas bahasa dan diskursus seputar hak-hak dasar dan

tanggungjawab dan seterusnya. Namun, demokratisasi yang berlangsung

belakangan (di Asia secara umum) menunjukkan gejala demokrasi sebagai

eksklusi, bagaimana mengeksklusi, dan kelompok-kelompok mana yang akan

dieksklusi.55 Dengan cara pandang tersebut, maka politik inklusi demokratis

merupakan agenda penting dalam demokratisasi.

Pertanyaannya, apa itu politik inklusi demokratis? Meminjam

Wolbrecht dan Hero, inklusi demokratis merupakan inkorporasi, pengaruh,

dan representasi berbagai kelompok sosial yang tidak diuntungkan ke dalam

institusi-institusi demokrasi.56 Dengan demikian, politik inklusi demokratis

berkaitan dengan penyediaan saluran (channel) dan ruang (space) untuk

melakukan inkorporasi, memberikan ruang mempengaruhi, dan mewadahi

representasi kelompok minoritas melalui institusi-instisusi politik demokratis.

Untuk mewujudkan politik inklusi demokratis, beberapa variasi bentuk

ditawarkan. Beberapa benchmarks diajukan oleh Schmidt et al (2002) untuk

mengakomodasi inklusi dalam lembaga-lembaga politik demokratis: 1) akses

pernuh untuk partisipasi, 2) representasi dalam institusi-institusi dan proses-

proses pembuatan kebijakan penting, 3) pengaruh atau kekuasaan dalam

kebijakan-kebijakan pemerintahan, 4) adopsi kebijakan-kebijakan publik

yang menampung kepentingan dan concern kelompok-kelompok tidak

diuntungkan, 5) paritas sosial ekonomi.57 Benchmarks inklusi yang

disampaikan oleh Schmidt dkk. mengidealkan inkorporasi dalam derajat yang

sangat luas atau penuh.

Dalam kerangka penelitian ini elemen inklusi politik demokratis

disederhanakan oleh peneliti menjadi dua benchmark umum, yaitu partisipasi

politik dan representasi politik. Jika disandingkan dengan benchmarks

Schmidt dkk, elemen partisipasi dapat meliputi benchmark 1 dan 3,

55 Surendra, Op.cit, hlm. 31 56 Wolbrecht dan Hero, Op.cit, Hlm. 4 57 Ronald Schmidt Sr, et.al (2002) sebagaimana dikutip Hero dan Wolbrecht, Op.cit, hlm. 4

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

27

sedangkan elemen representasi politik meliputi benchmark 2 dan 4. Penelitian

ini pada operasionalisasinya mengacu kepada satu elemen inklusi politik

demokratis.

Bagaimana memahami dan mengevaluasi benchmark partisipasi

politik? Urgensi partisipasi politik minoritas dapat dipahami dan dijelaskan

dari dua perspektif: 1) perspektif hak-hak minoritas dan 2) argumen stabilitas

demokrasi.58 Dalam perspektif hak-hak minoritas, asummsi dasarnya adalah

bahwa hak-hak minoritas tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali minoritas itu

sendiri ambil bagian dalam proses-proses pengambilan kebijakan politik yang

mengatur mengenai perlindungan hak-hak minoritas. Sedangkan jika dilihat

dari sudut pandang stabilitas demokrasi, tanpa tindakan protektif tertentu

dalam melalui prosedur, mekanisme, dan institusi demokratis tertentu, hampir

dapat dipastikan bahwa minoritas akan selalu berhadapan dengan resiko

tereksklusi dari sistem. Di samping itu, ketiadaan partisipasi minoritas dalam

sistem akan semakin mengukuhkan ketidakadilan demokrasi prosedural.

Dengan demikian, demokrasi akan menjadi domain eksklusif mayoritas yang

pelan-pelan akan kehilangan legitimasinya. Inefektivitas pemerintahan sangat

mungkin terjadi dalam situasi ini. Hal tersebut pasti akan berdampak pada

stabilitas demokrasi itu sendiri.

Partisipasi itu sendiri dapat dipahami dalam spektrum pemahaman yang

luas. Berangkat dari pengalaman Eropa, partisipasi politik dapat dipahami

dalam tiga level partisipasi. Pertama, dalam proses konsultatif. Dalam proses

konsultatif tersebut, kelompok minoritas menyuarakan pendapatnya tentang

hukum atau peraturan tertentu, di sisi lain lembaga pemerintah harus

mengkomunikasikan kebijakan terkait kepada minoritas. Di tahap ini tidak

ada jaminan bahwa suara minoritas akan didengarkan. Kedua, pembuatan

kebijakan bersama. Di level ini, minoritas terlibat sebagai bagian dari

lembaga eksekutif, parlemen, atau lembaga-lembaga negara lainnya. Tingkat

partisipasi demikian memungkinkan suara mereka untuk lebih didengarkan

atau dipertimbangkan. Namun demikian praktek mengajarkan bahwa mereka

58 Bieber, Op.cit, hlm. 6

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

28

sering diabaikan dalam co-decision making, karena representasi mereka yang

terbatas. Ketiga, pembuatan kebijakan penuh. Dalam tahap ini, Negara

menyediakan lembaga minoritas khusus atau perwakilan dalam pemerintahan

yang memberikan jaminan partisipasi mereka membuat keputusan dapat

dilakukan secara penuh dan otonom.59

Sedangkan representasi, secara teoretik, dapat dieksplorasi sekaligus

diuji secara empiris dengan dua model pokok: 1) representasi deskriptif, dan

2) representasi substantif.60 Representasi deskriptif61 merupakan sebuah

bentuk representasi yang titik tekannya pada diri politisi yang dipilih untuk

mewakili. Apakah orang yang dipercaya menduduki jabatan politik tertentu

“tampak seperti” konsituennya. Jadi representasi disini dibayangkan melalui

tampilan eksistensial, formal, bahkan numerikal. Dalam konteks Indonesia

misalnya, apakah warga Muhammadiyah sudah terwakili dengan keberadaan

political appointee dari Muhammadiyah dalam kabinet atau kementerian?

Atau apakah warga Nahdlatul Ulama’ (NU) sudah terwakili dengan adanya

legislator berlatarbelakang NU? Atau apakah penduduk dari Indonesia Bagian

Timur sudah terwakili dengan keberadaan pejabat dari Indonesia Timur

dalam jabatan-jabatan politik tertentu? Atau dalam konteks penelitian ini,

apakah warga Syi’ah sudah terepresentasi dengan keberadaan politisi dengan

latar belakang Syi’ah dalam jabatan politik tertentu?

Meskipun tampak sederhana, representasi model ini merupakan sesuatu

yang positif dalam demokrasi. Hal itu terutama jika terdapat komunikasi

antara yang diwakili (constituents) dengan yang mewakili (representatives)

dihalangi oleh kendala ketidakpercayaan, atau ketika kepentingan-

59 Ibid, hlm. 8-9 60 Canon, Op.cit, hlm. 282-285 61 Representasi deskriptif kerap juga dipanggil sebagai representasi simbolik, atau representasi

deskriptif-simbolik. Lihat Robert C Smith, “Recent Elections and Black Politics: The

Maturation or Death of Black Politics?”, PS: Political Science and Politics, 23:160-62. Juga

disebut sebagai representasi kehadiran (representation of presence). Lihat Anne Phillips,

Politics of Presence (New York: Clarendon Press/Oxford University Press, 1995). Atau disebut

juga representasi cermin (mirror representation). Lihat Hanna Pitkin, The Concept of

Representation, (Berkeley: University of California Press, 1971), hlm. 90

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

29

kepentingan penting dari kelompok deskriptif belum atau tidak terkristal, atau

ketika kelompok-kelompok konstituen tidak diuntungkan atau memencar.62

Sementara representasi substantif merujuk pada perwakilan yang lebih

dalam, tidak saja semata secara formal atau numeriko-eksistensial.

Representasi model ini bergeser dari sekedar keterwakilan tampilan kepada

keterwakilan kepentingan-kepentingan konstituen. Dalam model ini, tidak

terlalu penting kehadiran representatif yang “tampak seperti” konstituen yang

diwakili. Dalam konteks Indonesia, representasi substantif akan terjadi jika

kebijakan-kebijakan pembangunan di Papua ditujukan untuk dan berdasarkan

pada kepentingan orang-orang Papua, meskipun pengambil kebijakan politik

tersebut bukan orang Papua. Atau dalam konteks penelitian ini, representasi

substantif dipandang maujud jika kepentingan-kepentingan warga Syi’ah di

lembaga legislatif dijadikan dasar dan tujuan meskipun tidak ada satupun di

antara legislator disana yang berlatar mashab Syi’ah.

Representasi dalam model ini lebih didasarkan pada ide63 dan

tindakan64. Elemen pokok terwujudnya representasi ini adalah responsivitas

perilaku dari para representatif. Namun juga dipengaruhi oleh tuntutan,

pengawasan, dan penilaian konstituen atas perilaku representatifnya.

Secara lebih spesifik, Young mendiskusikan representasi khusus untuk

kelompok-kelompok yang termarginalkan, seperti perempuan, kaum miskin,

minoritas, dan sebagainya. Dengan asumsi dasar bahwa ketidakadilan dan

ketidaksetaraan politik hanya bisa diatasi dengan perluasan inklusi (inclusion

of) dan pengaruh (influence for) dan semakin pluralis representasi semakin

substantif demokrasi itu dalam mewujudkan keadilan, Young

merekomendasikan satu langkah penting yaitu melalui ketersediaan lembaga-

lembaga assosiasional, di samping juga institusi-institusi politik untuk

merepresentasi kelompok-kelompok yang dimarjinalkan tersebut, termasuk

minoritas. Melalui rekayasa institusi politik kita harus memastikan bahwa

62 William T Bianco, Trust: Representatives and Constituents (Ann Arbor: University of Michigan

Press, 1994) 63 Phillips, Op.cit 64 Hanna Pitkin (1967), dikutip oleh Canon, Op.cit, Hlm. 284

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

30

representasi kelompok yang sebelumnya terpinggirkan menjadi semakin baik.

Selain itu, representasi kelompok juga dapat dilakukan melalui gerakan

sosial, berbagai macam komisi dan dewan, lembaga-lembaga swasta,

sebagaimana juga lembaga-lembaga pemerintahan.65

Perluasan ruang dan saluran lembaga politik dan assosiasional akan

semakin memperluas representasi kelompok-kelompok yang selama ini

termarjinalisasi. Perbaikan representasi secara politis dan assosiasional akan

memugkinkan representasi minoritas pada tiga bagian penting, yaitu

kepentingan (interest), pendapat (opinion), dan cara pandang (perspective)

minoritas.66 Ketiga aspek tersebut menyiratkan, tidak saja kepentingan

kelompok sebagai satu kesatuan, akan tetapi juga orang per orang dalam

kelompok minoritas tersebut. Dengan demikian Young dengan sangat intensif

mengajukan teori representasi yang berbasis pada rekayasa dan

institusionalisasi politik dan assosiasional.

Young membaca bahwa inekualitas (ketidaksetaraan) ekonomi dan

sosial telah nyata-nyata memproduksi ketidaksetaraan politik dan secara

relatif juga menghasilkan eksklusi dari diskusi-diskusi politik yang

menentukan, terutama nasib semua orang, terutama kelompok minoritas yang

terpinggirkan itu. Ketidaksetaraan ekonomi dan sosial telah menciptakan

sistem dan fakta objektif bahwa kelas miskin dan pekerja tidak terepresentasi

kepentingan dan perspektifnya, jika dibandingkan dengan kelas menengah

atau kelas kaya misalnya. Sehingga hal itu harus mendapatkan koreksi

melalui pelibatan kelompok tersebut dalam desain besar kelembagaan

demokrasi inklusif pada level politis dan assosiasional yang memungkinkan

mereka untuk mempengaruhi diskusi-diskusi dan proses-proses politik yang

menentukan kepentingan dan perspektif dan, pada akhirnya, nasib mereka.

Hal itu tentu saja sangat ditentukan oleh komitmen demokratis bersama,

artinya komitmen bahwa saluran-saluran demokrasi yang tersedia adalah

untuk menghimpun semua elemen dalam demokrasi, tidak hanya kelas atas

65 Young, Op.cit. Hal 141-145 66 Ibid. 140

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

31

akan tetapi juga kelas bawah, tidak cuma mereka yang secara jumlah sangat

besar, namun juga kelompok minoritas. Dalam pengalaman Indonesia, kita

pernah memiliki fase dimana komitmen demokrasi demikian sangat rendah.

Demokrasi hanya dipahami sebagai mekanisme politik elektoral-prosedural

untuk mengamankan kepentingan-kepentingan kelas-kelas atas dalam

berbagai aspek demokrasi serta kelompok-kelompok mayoritas dalam sebuah

inkorporasi politik yang menguntungkan mereka di satu sisi, akan tetapi

mengeksklusi, bahkan sampai derajat tertentu merepresi, kelas bawah,

minoritas, dan terpinggirkan. Kata kunci untuk mengatasi situasi tersebut

adalah komitmen demokratik, yang hal itu kemudian dituntut oleh rakyat

sepanjang Reformasi 1998, sehingga memungkinkan perbaikan level inklusi

dalam demokrasi kita.

Rekayasa sosial dan ekonomi untuk mengatasi inekualitas barangkali

bisa dilakukan, akan tetapi hal itu akan membutuhkan waktu yang sangat

lama, apalagi dalam situasi dimana hambatan-hambatan ekonomi—seperti

lemahnya kondisi makro ekonomi, melemahnya pertumbuhan, melebarnya

kesenjangan, dan lebih-lebih, rendahnya kemandirian ekonomi—masih

terjadi. Rekayasa sosial juga merupakan cara intervensi untuk mengatasi

inekualitas dengan prasyarat-prasyarat yang relatif compleks dan multiaspek.

Belum lagi kalau menghitung seberapa besar tingkat mempengaruhi dari

rekayasa tersebut. Rekayasa institusional politik dan assosiasional lebih

memberikan pengaruh (influencing) dan “hanya” tergantung pada seberapa

besar komitmen demokrasi, sebagaimana ditekankan Young di muka.

Artinya, seberapa demokrasi akan dibuka untuk representasi politik sebanyak-

banyak orang akan menentukan seberapa besar inekualitas bisa dikurangi.

Dalam bahasa Florian Bieber, representasi politik secara substantif

dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ia merupakan bagian dari hak dasar

minoritas—baik sebagai perorangan maupun kelompok, sedangkan di sisi lain

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

32

itu merupakan a broader tool to advance democratic governance in the

country.67

Pertanyaannya kemudian bagaimana minoritas direpresentasi dalam

demokrasi yang inklusif dengan basis institusi politis dan ssosiasional

tersebut? Berbasis pengalaman Eropa, representasi politik bagi minoritas

menurut Bieber dilakukan dalam empat bentuk.68 Pertama, asosiasi minoritas

diberikan ruang agar memiliki peran formal dalam merepresentasi

kepentingan-kepentingan minotitas. Dengan komitmen yang kuat pada

demokrasi, sistem politik memberikan ruang kepada minoritas untuk ikut

menentukan kebijakan yang berkenaan dengan kepentingan dan perspektif

mereka sendiri. Dengan demikian, memberikan ruang kepada asosiasi

minoritas tidak saja menutup ruang eksklusi kepada minoritas, akan tetapi

lebih dari itu memberikan saluran politik melalui asosiasi-asosiasi tersebut

untuk bisa menentukan, atau paling tidak mempengaruhi, kebijakan yang

berkaitan dengan dirinya.

Berkaitan dengan perspektif HAM, yang juga menjadi titik tekan

penelitian ini, membuka ruang-ruang formal bagi asiosiasi minoritas,

sesungguhnya berkaitan dengan salah satu hak dasar setiap orang, termasuk

minoritas, yaitu hak universal untuk menentukan nasib sendiri self

determination. Dalam konteks relasi antara politik dan hak asasi manusia,

politik pada akhirnya tidak hanya berpihak pada (stand for) hak asasi

manusia, akan tetapi secara lebih formal mempengaruhi (influence for)

pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Jika mengacu pada teori representasi Pitkin, tampak bahwa format

representasi politik melalui asosiasi minoritas sesungguhnya memberikan

ruang bagi representasi substantif. Minoritas tetap diberikan ruang untuk

memberikan dukungan dan atau aspirasi untuk terakomodasinya kepentingan,

opini, dan perspektif minoritas, meskipun para pengambil kebijakan dalam

suprastruktur politik formal tidak berasal dari kelompok minoritas.

67 Bieber, Op.cit, hlm. 8 68 Bieber, Op.cit, hlm. 11

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

33

Dalam konteks keterbukaan politik di Indonesia pasca 1998, ruang-

ruang untuk pembentukan dan beroperasinya institusi-institusi assosiasional

ini tersedia cukup lebar. Sehingga dapat kita cermati kemudian bagaimana

Syi’ah di Indonesia melakukan utilisasi atas ruang dan saluran assosional

yang disediakan oleh mekanisme demokrasi tersebut.

Kedua, minoritas direpresentasi melalui sebuah institusi khusus yang

dibentuk untuk mewakili kepentingan-kepentingan mereka. Institusi-institusi

ini di negara-negara Balkan diwujudkan dalam bentuk dewan minoritas

(minority council), dewan minoritas dan otonomi kultural (cultural autonomy

and minority council), dan sebagainya. Repsentasi deskriptif atau representasi

cermin Pitkinian sangat terbuka melalui format repsentasi melalui saluran ini.

Dalam pengalaman Eropa Timur, masalah utama yang dihadapi oleh

institusi-institusi minoritas ini adalah soal bagaimana pemilihan anggota-

anggota dewan tersebut. Dua bentuk pemilihan sama-sama memiliki

masalahnya sendiri. Jika pemilihan dewan ini dilakukan secara langsung akan

banyak masalah yang muncul, misalnya siapa saja minoritas yang berhak

memilih, siapa yang menentukan siapa yang berhak memilih, dan jika dua

pertanyaan tersebut tak terjawab oleh prosedur formal yang memadai, maka

terbuka peluang bagi terjadinya diskriminasi. Sebaliknya jika pemilihan

tersebut dilakukan dengan cara pemilihan tidak langsung atau dengan

penunjukan maka hal itu dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok

tertentu untuk mendiskriminasi yang lain, baik dalam relasi mayoritas-

minoritas maupun minoritas-minoritas.

Menurut pandangan peneliti, saluran dan ruang yang kedua ini sulit

untuk direplikasi dalam konteks kebhinnekaan dan komplikasi politik

Indonesia. Selain itu, secara konstitusional belum tersedia fundamen/fondasi

untuk diadopsinya saluran atau ruang bagi pembentukan dewan minoritas.

Untuk itu, dalam konteks penelitian ini, salah satu saluran representasi dalam

pengalaman Eropa ini tidak digunakan oleh peneliti untuk membaca pilihan-

pilihan representasi politik Jema’ah Syi’ah di Indonesia.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

34

Ketiga, kepentingan minoritas diartikulasi oleh parpol atau lembaga

negara yang tidak secara khusus merepresentasikan minoritas, namun untuk

konstituensi yang lebih luas, yang tercakup di dalamnya kelompok minoritas.

Jika meminjam perspektif Pitkin, maka saluran ini sesungguhnya membuka

peluang besar bagi terwujudnya representasi substantif dan deskriptif

sekaligus. Dalam teori politik modern, partai politik merupakan arena politik

resmi seluruh warga negara untuk aggregasi dan artikulasi kepentingan

mereka dalam arena negara demokrasi. Sebagaimana doktrin Macridisian,

tidak ada demokrasi modern tanpa partai politik.

Dalam teori, partai politik sebagai sebuah format inklusif dalam

demokrasi harus menghindari penekanan yang berlebihan terhadap

perbedaan-perbedaan primordial dan fisik, seperti agama dan etnisitas.

Namun demikian, dalam kenyataannya partai politik hampir selalu

mempersoalkan numerik, sehingga keberpihakan kepada yang besar secara

numerik merupakan fenomena objektif, dan dalam sudut pandang yang lain

dapat dikatakan bahwa selalu ada potensi bagi yang kecil secara numerikal

untuk diabaikan.

Dalam perspektif inklusi, partai politik merupakan ruang dan saluran

politik yang sangat memadai bagi minoritas di Indonesia untuk menyalurkan

aspirasi dan mempengaruhi kebijakan politik, terutama yang berkaitan dengan

kepentingan, opini, dan perspektif mereka. Partai politik juga dapat

dipandang dalam kacamata minoritas sebagai arena untuk mengkontestasi

kepentingan dan aspirasi dalam kompetisi demokratik.

Untuk konteks Indonesia, partai politik merupakan saluran yang sangat

potensial bagi minoritas jika dilihat dari wataknya yang catch-all dan nyaris

tanpa pembeda secara ideologis antara satu partai politik dengan partai politik

yang lain. Hampir seluruh partai politik, termasuk partai agama dengan basis

kanan Islam yang dalam teori politik aliran kerapkali dibedakan dengan partai

nasionalis, memilih untuk berkumpul di “tengah” sebagai partai moderat dan

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

35

terbuka.69 Hal ini memberikan peluang bagi Syi’ah di Indonesia untuk

menjadikan afiliasi dengan partai-partai politik sebagai saluran representasi

politik.

Keempat, minoritas direpresentasi secara khusus oleh sistem politik

dalam sebuah partai tertentu untuk golongan minoritas. Dalam perspektif

Pitkin, saluran yang keempat ini akan menginstitusionalisasi representasi

cermin atau representasi deskriptif.

Dalam pengalaman negara-negara Balkan, partai-partai politik yang

secara khusus dibentuk untuk menjadi wadah politik minoritas merupakan hal

fenomenal politik disana. Konfigurasi sistem kepartaian yang membuka ruang

bagi etnik minoritas di negara-negara Balkan sebagian besar sebagai

konsekuensi dari ketidakmauan mayoritas untuk secara serius melakukan

inkorporasi atas urusan-urusan minoritas. Mengingat segregasi etnik yang

sangat tajam, parpol lebih takut untuk kehilangan sentiment mayoritas

dibandingkan dengan ideal mengakomodasi minoritas. Konsekuensi logisnya,

minoritas akan selalu potensial teralienasi dari concern mayoritas dalam

parpol, maka taka da pilihan lain selain mendirikan partai politik yang berdiri

sendiri.

Di Indonesia, dalam sistem kepartaian Indonesia modern atau pasca

kemerdekaan, tidak pernah muncul partai politik yang secara ideologis

muncul sebagai konsekuensi dari relasi mayoritas-minoritas yang

mmeminggirkan minoritas. Partai-partai kecil yang tumbuh menjamur

terutama pada Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004 merupakan

implikasi dari liberalisasi politik yang sedang berlangsung sesuai dengan

konteks temporal masing-masing Pemilu. Partai-partai agama yang pernah

muncul di Indonesia lebih tampak sebagai ekspresi politik keagamaan (atau

sampai derajat tertentu dapat kita sebut politik aliran), bukan sebagai ekspresi

dari keinginan untuk melepaskan diri dari alienasi minoritas oleh mayoritas

dalam dinamika internal partai politik.

69 Beberapa pakar dan pengamat politik bahkan menandai situasi partai politik yang demikian

sebagai matinya ideologi partai politik.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

36

Namun demikian basis konstitusional dan demokrasi yang established

di Indonesia hingga kini memungkinkan ruang pendirian partai politik atas

dasar apapun. UU Parpol memberikan peluang bagi sekumpulan warga

negara, atas dasar apapun, untuk mendirikan partai politik.

Bagi Syi’ah sendiri, eksperimentasi pendirian parpol bahkan negara,

seperti negara, merupakan hal yang tidak asing. Syi’ah dalam aneka sistem

kepartaian di Timur Tengah memberikan referensi tentang berdirinya partai

politik, meskipun dengan basis argumentasi yang khas Timur Tengah, dalam

konteks itu, relasi Syi’ah dan Sunni di Iran, Irak, Suriah, Kuwait dan

sebagainya, serta relasi Islam dengan zionisme seperti Hizbullah di Lebanon.

Dengan perspektif teoretik tersebut, pilihan-pilihan representasi politik

Jemaah Syi’ah dapat dijelaskan dengan beberapa kerangka: Pertama, pilihan

Jemaah Syi’ah untuk memperjuangkan representasi dalam politik inklusi

demokratis dilakukan melalui asosiasi-asosiasi masyarakat sipil. Kedua,

representasi Jemaah Syi’ah diperjuangkan secara lebih formal melalui afiliasi

dengan partai-partai politik kontestan Pemilihan Umum. Ketiga, representasi

politik Jemaah Syi’ah diperjuangkan melalui asosiasi-asosiasi sipil

demokratis yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Keempat,

representasi politik Jemaah Syi’ah melalui pembentukan partai politik

ideologis.

Dengan kerangka teoretik yang ditawarkan oleh Young dan Bieber

tentang representasi berbasis institusi politik dan assosiasional tersebut, dapat

diajukan beberapa pertanyaan kunci sekaligus indikator-indikator untuk

dijawab secara faktual melalui penelitian ini:

Pertama, berkaitan dengan sikap Syi’ah terhadap representasi politik

Jema’ah Syi’ah dalam demokrasi politik di Indonesia;

1. Apa dan bagaimana Syi’ah memandang politik?

2. Apa dan bagaimana sikap Syi’ah mengenai negara?

3. Bagaimana sikap mereka mengenai representasi politik

dalam negara Indonesia?

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

37

Kedua, berhubungan dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan

untuk memperjuangkan representasi politik mereka dalam kerangka

inklusi politik demokratis;

1. Bagaimana Syi’ah memanfaatkan saluran-saluran institusi

politik untuk merepresentasi kepentingan (interest),

pendapat (opinion), dan cara pandang (perspective) Jema’ah

Syi’ah di Indonesia?

2. Bagaimana mereka mengoptimalkan ruang dan saluran

institusi assosiasional untuk representasi politik tersebut

dalam kerangkan demokrasi yang lebih inklusif?

3. Apa dan bagaimana peluang, kendala, dan persoalan

mendasar yang mereka hadapi dalam kerangka representasi

politik tersebut?

E. Metode Penelitian

1. Jenis, Pendekatan, dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif.70 Pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan naturalistik, 71

Penelitian ini akan mengkombinasikan dua metode, yaitu field-study

dan desk-study. Secara operasional metode field-study digunakan untuk

pengumpulan data primer melalui wawancara dan observasi/pengamatan.

Sedangkan metode desk-study secara teknis digunakan untuk melakukan

pengumpulan data sekunder dan analisis data penelitian.

70 Penelitian kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan secara intensif dan

terperinci terhadap suatu organisme, lembaga, atau gejala tertentu melalui suatu pengamatan

atau analisis untuk menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang, gejala atau perilaku yang diamati. Lihat Moleong, 1998, Metodologi

Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 3 71 Dengan pendekatan ini, peneliti bersifat aktif dalam melakukan interaksi dengan subjek

penelitian dalam situasi apa adanya tanpa adanya rekayasa, sehingga data diperoleh dari

fenomenanya yang bersifat asli dan natural. Lihat Indah Sulistyo Arty, 2006, “Prinsip Dasar,

Perumusan Masalah, dan Pengumpulan Data Penelitian Naturalistik”, Makalah, disampaikan

dalam Pelatihan Metodologi Penelitian bagi CPNS-Dosen UNY tahun 2006, pada tanggal 26-

27 Desember 2006, hlm. 1

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

38

Dalam relasi konseptual-faktual penelitian ini, metode field-study lebih

banyak digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua

mengenai bagaimana tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk

memperjuangkan representasi politik mereka dalam kerangka inklusi politik

demokratis. Meskipun demikian, dalam beberapa isu digunakan untuk

mengkonfirmasi data untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama.

Sedangkan metode desk-study lebih ditekankan penggunaannya untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang pertama tentang bagaimana sikap

Syi’ah terhadap representasi politik Jema’ah Syi’ah dalam demokrasi politik

di Indonesi. Walaupun begitu, dalam beberapa isu spesifik metode ini juga

digunakan untuk mengkonfirmasi beberapa data yang dibutuhkan untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang kedua.

2. Sumber Data dan Subjek Penelitian

Sumber data penelitian ini berupa person dan paper.72 Penentuan

subjek penelitian berupa person dilakukan dengan teknik purposif. Dengan

teknik ini, ditetapkan kriteria-kriteria informan sesuai dengan tujuan

penelitian, sebagai berikut:

a. Warga Jemaah Syi’ah atau di luar Syi’ah,

b. Terlibat dalam kegiatan-kegiatan Jemaah Syi’ah sebagai baik

secara individual maupun institusional,

c. Memiliki informasi mengenai perjuangan politik Jemaah Syi’ah

untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.

Sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut, maka informan yang digunakan

dalam penelitian ini, antara lain:

a. Tajul Muluk, Pemimpin Pondok Pesantren Syi’ah “Misbahul Huda”

b. Ahmad Hidayat, Sekjen Ahlulbayt Indonesia (ABI)

72 Yang dimaksud dengan sumber data disini adalah subjek dari mana data diperoleh. Suharsimi

Arikunto mengklasifikasi sumber data menjadi tiga jenis ; a. person, yaitu sumber data

(informan) berupa orang. b. place, yaitu sumber data berupa tempat, dan c. paper, yaitu sumber

data berupa simbol. Lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek

(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 107

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

39

c. Syafinuddin Al-Mandari, Wakil Sekjen Ahlulbayt Indonesia (ABI)

d. Husnul Yaqin, Ketua DPD Ahlul Bayt Indonesia (ABI) Sumatera

Selatan

e. Ghufron Buchori, Mantan Ketua Umum Ikatan Jemaah Ahlul Bait

Indonesia (IJABI)

f. Alexander Lagobar, Pengurus IJABI Makassar

g. Safwan, Pimpinan Rausyan Fikr Institute Yogyakarta

h. RS, intelektual Syi’ah, kandidat doktor dari Tilburg University

Belanda

Pengumpulan data dari mereka dilakukan dengan teknik wawancara

mendalam (indepth interview) yang dilaksanakan dengan berpedoman pada

panduan wawancara (interview guide). Panduan tersebut tidak sepenuhnya

mengikat proses wawancara secara kaku, sebaliknya wawancara dapat

berkembang sesuai dengan situasi masyarakat dan khususnya informan atau

subjek penelitian. Meski demikian, peneliti tetap berupaya untuk

menggunakan strategi teknis secara jeli agar hasil wawancara dapat

memeberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sesuai tujuan penelitian.

Sedangkan sumber data berupa paper dimanfaatkan untuk data

collecting dengan dua teknik dua teknik: 1) studi kepustakaan; yaitu dengan

memanfaatkan buku-buku pokok yang memuat data-data penting mengenai

Jemaah Syi’ah sesuai dengan tujudan penelitian. 2) Studi dokumen, yaitu

pengkajian atas berbagai dokumen resmi baik yang bersifat internal maupun

eksternal; bersifat internal dalam artian pengkajian langsung atas dokumen,

sedangkan yang bersifat eksternal berupa sumber-sumber yang mendukung

pengkajian atas dokumen. Dokumen internal yang menjadi sumber data

penelitian ini antara lain data demografi Kabupaten Sampang, data anggota

atau pengikut Jemaah Syi’ah Sampang, dan sebagainya.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81498/potongan/S2-2015... · Plato dalam Politea dan ... bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan

40

3. Pengujian Keabsahan Data

Pengujian keabsahan data menggunakan triangulasi.73 Teknik

triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu teknik

pengecekan dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan

suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Triangulasi sumber

dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh

dari person dengan paper (hasil wawancara mendalam dengan studi pustaka

dan dokumentasi) atau paper dengan paper, atau person dengan person

lainnya.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

induktif.74 Langkah-langkah analisis yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis data kualitatif, meliputi reduksi data, display data, kesimpulan

dan verifikasi.75

73 Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang

lain di luar data, untuk melakukan pengecekan atau pembandingan terhadap data itu. Lihat

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002),

hlm. 178 74 Analisis data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisir data ke dalam

suatu pola, kategori, dan satuan uraian data. Lihat Moleong, Metodologi Penelitian Bidang

Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hal 205 75 1) Reduksi data adalah proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, dan penyaringan data

yang diperoleh dari studi literatur dan dokumen yang relevan dengan masalah yang diteliti. 2)

Display data yang dilakukan berupa penyajian secara deskriptif atau naratif data yang telah

direduksi dalam bentuk laporan yang sistematis. 3) Pengambilan kesimpulan dan

verifikasi.Pengambilan kesimpulan dan verifikasi adalah penarikan kesimpulan dengan

berangkat dari rumusan masalah atau tujuan penelitian kemudian senantiasa diperiksa

kebenarannya untuk menjamin keabsahannya. Lihat Sayekti Pujosuwarno, Penulisan Usulan

dan Laporan Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Lemlit IKIP Yogyakarta, 1992), hlm. 19