faktor sanitasi yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit diare
BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
-
Upload
nguyenkhanh -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak
ditularkan dari orang ke orang. Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab
utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta
kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua
pertiganya disebabkan oleh penyakit tidak menular. Di negara-negara dengan
tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada
orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan
di negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian (Kemenkes, 2012).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan tingginya prevalensi penyakit
tidak menular di Indonesia, yaitu: asma (4,5%), penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) (3,7%), kanker (1,4%), diabetes melitus (2,1%), hipertiroid (0,4%),
hipertensi (25,8%), jantung koroner (1,5%), gagal jantung (0,3%), stroke (12,1%),
gagal ginjal kronis (0,2%), batu ginjal (0,6%), dan penyakit sendi/rematik
(24,7%). Hipertensi menjadi penyakit tidak menular dengan prevalensi terbesar di
Indonesia pada tahun 2013.
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah seseorang. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung
bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ
lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Seseorang dikatakan
2
terkena hipertensi jika rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
yang diukur saat duduk, dari dua atau lebih kunjungan klinis pada tempat yang
berbeda.
Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang
ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan
salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit
jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak menunjukkan gejala,
sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan
fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja
pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.
Data yang diambil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran
pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8%. Berdasarkan Profil Kesehatan Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2012, hipertensi menempati posisi ketiga dari
distribusi 10 besar penyakit berbasis Survailans Terpadu Penyakit (STP)
Puskesmas di DIY Januari sampai dengan Desember 2012 dengan prevalensi
sebesar 29,564%. Sepuluh besar penyakit yang didiagnosa pada pasien di Rumah
Sakit adalah: infeksi saluran nafas atas, demam, diare, dispepsia, hipertensi,
dermatosis, cedera, penyakit pulpa, faringitis, dan gangguan mental, sedangkan di
Puskesmas sesuai laporan sistem survailans terpadu adalah: influensa, diare,
hipertensi, DM, pneumonia, tiphus, diare berdarah, tersangka TB paru, campak
dan TB BTA positif (Dinkes DIY, 2013). Dari beberapa data di atas, dapat
3
disimpulkan bahwa hipertensi memerlukan perhatian dan penanganan agar dapat
dikendalikan.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Bantul 2014, hipertensi
menempati posisi kedua dari distribusi 10 besar penyakit di puskesmas se-
Kabupaten Bantul pada tahun 2013. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, Puskesmas adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Indonesia memasuki era Jaminan
Kesehatan Nasional, sehingga pasien yang akan berobat harus ke pelayanan
kesehatan tingkat pertama, yaitu dokter keluarga atau Puskesmas sebelum dirujuk
ke unit pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Puskesmas Banguntapan I merupakan salah satu puskesmas yang terdapat di
Kabupaten Bantul. Puskesmas Banguntapan I dipilih menjadi tempat penelitian
karena berdasar data SP2TP Puskesmas Banguntapan I 2014 dalam Profil
Kesehatan Puskesmas Banguntapan I tahun 2014 menunjukkan bahwa hipertensi
menempati posisi kedua dari distribusi 10 penyakit terbanyak pada tahun 2014.
Selain itu Puskesmas Banguntapan memiliki wilayah kerja paling luas diantara
puskesmas se-Kecamatan Banguntapan dengan jumlah kunjungan selama tahun
2014 sebanyak 61.402 kunjungan. Faktor lain adalah lokasi yang relatif dekat dan
akses yang mudah untuk menuju ke Puskesmas Banguntapan I sehingga dipilih
menjadi lokasi penelitian.
4
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah karakteristik pasien hipertensi yang menggunakan terapi
dengan obat antihipertensi di Puskesmas Banguntapan I periode Januari-
Desember 2014?
2. Bagaimanakah pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di
Puskesmas Banguntapan I periode Januari-Desember 2014?
3. Bagaimanakah kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas
Banguntapan I periode Januari-Desember 2014 berdasarkan standard terapi
JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun 2007?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik pasien hipertensi yang menggunakan terapi dengan
obat antihipertensi di Puskesmas Banguntapan I periode Januari-Desember
2014.
2. Mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di
Puskesmas Banguntapan I periode Januari-Desember 2014.
3. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas
Banguntapan I periode Januari-Desember 2014 berdasarkan standar terapi
JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Tahun 2007.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi bagi tenaga kesehatan mengenai penggunaan obat
antihipertensi yang tepat dan efektif guna meningkatkan kualitas terapi pada
pasien hipertensi.
2. Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan obat antihipertensi di
puskesmas.
3. Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan pengobatan di
puskesmas.
4. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman peneliti.
E. Tinjauan Pustaka
1. Profil Puskesmas Banguntapan I
a. Keadaan Geografis
Puskesmas Banguntapan I mempunyai wilayah kerja di sebagian dari
Kecamatan Banguntapan dengan luas wilayah 11,365 km². Kondisi geografi
berupa dataran rendah yang mudah dijangkau dengan semua kendaraan baik
mobil ataupun motor sampai ke semua dusun, dengan ketinggian 100 m dari
permukaan air lautdan suhu maksimum/minimum 31º C / 23º C.
Batas wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan I sebagai berikut (Dinkes
Kabupaten Bantul, 2014) :
1) Utara : berbatasan dengan Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman,
2) Timur : berbatasan dengan Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul,
6
3) Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul,
4) Barat : berbatasan dengan Kotamadya Yogyakarta.
Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan I
b. Visi dan Misi
1) Visi Puskesmas Banguntapan I (Dinkes Kabupaten Bantul, 2014) :
Terwujudnya Wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan I tanpa masalah
kesehatan.
2) Misi Puskesmas Banguntapan I (Dinkes Kabupaten Bantul, 2014) :
a) Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan,
b) Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat,
7
c) Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau,
d) Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat serta lingkungannya.
2. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah seseorang. Seseorang dikatakan terkena
hipertensi jika rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg yang
diukur saat duduk, dari dua atau lebih kunjungan klinis pada tempat yang
berbeda.
b. Etiologi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan hipertensi
sekunder berdasarkan penyebabnya. Pada sebagian pasien, hingga 95%,
penyebab hipertensi tidak diketahui, dan disebut hipertensi esensial, atau
hipertensi primer. Pada hipertensi sekunder, terdapat beberapa kondisi yang
telah diidentifikasi dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi-kondisi tersebut
adalah penyakit ginjal kronis, coarctation of the aorta, sleep apnea,
Cushing’s syndrome dan glucocorticoid excess states lainnya,
pheochromocytoma, aldosteronisme primer dan mineralocorticoid excess
8
states lainnya, hipertensi renovaskular, penyakit tiroid atau paratiroid, dan
penggunaan obat (Burkhardt, dkk., 2008).
Bukti epidemiologi menunjukkan faktor genetik, stres psikologis, dan
faktor lingkungan dan makanan (peningkatan garam dan penurunan kalium
atau asupan kalsium) sebagai kontribusi terhadap perkembangan hipertensi
(Benowitz, 2011).
c. Patofisiologi
Pada sistem kardiovaskuler, terdapat beberapa organ yang berpengaruh
terhadap homeostasis tekanan darah, yaitu jantung, pembuluh darah, dan
ginjal (Stringer, 2001). Tekanan darah (BP) paling utama dipengaruhi oleh
cardiac output (CO) dan tahanan vaskular periver (peripheral vascular
resistance / PVR). Sedangkan cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume
(SV), yaitu jumlah darah yang dipompakan setiap kali darah dipompakan
oleh jantung dan heart rate (HR) yang merupakan jumlah pemompaan oleh
jantung setiap menit. Curah jantung merupakan faktor penentu penting dari
tekanan darah. Faktor-faktor yang meningkatkan curah jantung secara teori
dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer.
Peningkatan curah jantung dan tekanan darah berikutnya mungkin timbul dari
faktor-faktor yang meningkatkan preload (volume cairan) atau kontraktilitas
(Burkhardt, dkk., 2008).
Secara fisiologis, baik individu normal maupun dengan hipertensi,
tekanan darah dipertahankan oleh pengaturan saat-demi-saat curah jantung
dan resistensi pembuluh darah perifer, yang diberikan di tiga lokasi anatomi,
9
yaitu arteriol, venula postcapillary (pembuluh kapasitansi), dan jantung.
Empat lokasi anatomi pada ginjal memberikan kontribusi untuk pemeliharaan
tekanan darah dengan mengatur volume cairan intravaskular (Benowitz,
2011).
d. Faktor risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi peningkatan tekanan
darah, antara lain:
1) Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi
hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%,
dengan kematian sekitar di atas 65 tahun (Depkes,2006).
2) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan)
juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi
primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-
faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang
menderita hipertensi. Faktor gnetik juga berkaitan dengan metabolisme
pengaturan garam dan renin (Depkes,2006).
3) Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang
dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
10
artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan
kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis
pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut
jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes,2006).
4) Diabetes mellitus
Hipertensi berhubungan erat dengan diabetes melitus, yaitu dengan
hormon insulin. Pasien diabetes melitus mengalami gangguan terhadap
transport glukosa ke jaringan, sehingga level serum glukosa meningkat
dan menstimulasi pankreas untuk mensekresikan insulin dalam jumlah
besar (Susanti,2014).
5) Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa
marah,dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut
lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika
stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian
sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang
muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Depkes, 2006).
Respon stres berkembang karena sangat penting untuk kelangsungan
hidup. Ini melibatkan aktivasi saraf dan aktivasi hormonal, yang paling
menonjol dari sistem saraf simpatik. Stres akut, seperti terjadi selama
11
ketakutan atau kecemasan, dapat menyebabkan peningkatan yang cepat
dan besar pada tekanan darah dan denyut jantung, tetapi biasanya bersifat
sementara (Pickering, 2008).
6) Obesitas
Obesitas secara luas diakui sebagai faktor risiko untuk
pengembangan hipertensi. Lemak abdominal (visceral fat) dikaitkan
dengan peningkatan tekanan darah (BP). Peningkatan distribusi lemak
visceral dikaitkan dengan resistensi insulin, yang dapat berkontribusi
untuk hipertensi.
Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas
bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan
sekitar 20 -33% memiliki berat badan lebih (Depkes, 2006).
7) Hiperlipidemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan
kadar kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting
dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peningkatan tahanan
perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat (Depkes,
2006).
12
e. Tanda dan gejala klinik
Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada
masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya.
Gejala-gejala itu adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, pusing (vertigo),
jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging
(tinnitus), dan mimisan (Kemenkes, 2014). Gejala klasik dari hipertensi dapat
mempertimbangkan adanya rasa sakit kepala, epistaksis (perdarahan hidung),
dan pening kepala (Maholtra dkk., 2003).
Pasien dengan hipertensi primer biasanya asimptomatik. Pasien dengan
hipertensi sekunder mungkin mengeluhkan gejala sugestif dari gangguan
yang mendasarinya. Pasien dengan pheochromocytoma mungkin memiliki
riwayat sakit kepala paroksismal, berkeringat, takikardia, palpitasi, dan
hipotensi ortostatik. Dalam aldosteronisme primer, gejala hipokalemia kram
otot dan kelemahan dapat muncul. Penderita hipertensi sekunder untuk
Cushing’s Syndrom mungkin mengeluhkan berat badan, poliuria, edema,
ketidakteraturan menstruasi, jerawat berulang, atau kelemahan otot (Dipiro
dkk., 2009).
f. Diagnosis
Diagnosis hipertensi didasarkan pada pengukuran tekanan darah yang
berulang. Diagnosis berfungsi terutama sebagai prediksi konsekuensi bagi
pasien, tetapi jarang mencakup pernyataan tentang penyebab hipertensi
(Benowitz, 2011).
13
Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah seseorang duduk atau
berbaring 5 menit, kaki menapak pada lantai dan posisi lengan sejajar dengan
jantung. Apabila pertama kali diukur tinggi (140/90mmHg) maka pengukuran
diulang 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi
(Depkes, 2008).
g. Derajat
Penyakit hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori.
JNC7 mengklasifikasikan hipertensi pada pasien dewasa >18tahun
berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang
diukur saat duduk, dari dua atau lebih kunjungan klinis pada tempat yang
berbeda.
Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 pada pasien dewasa >18tahun
Klasifikasi
Tekanan Darah
Tekanan darah sistolik
(mmHg)
Tekanan darah diastolik
(mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100
Berdasarkan JNC 7, prehipertensi bukan kategori penyakit. Sebaliknya,
prehipertensi adalah sebutan yang dipilih untuk mengidentifikasikan
individu yang dalam risiko tinggi terkena hipertensi, sehingga baik pasien
dan dokter disiagakan untuk risiko ini dan didorong untuk ikut campur
tangan dan mencegah atau menunda perkembangan penyakit. Untuk pasien
dengan prehipertensi yang juga memiliki diabetes atau penyakit ginjal, nilai
tekanan darah ≥130/80 mmHg dianggap berada di atas target tekanan darah.
Sehingga harus dipertimbangkan terapi obat yang tepat jika percobaan
14
modifikasi gaya hidup gagal untuk mengurangi tekanan darah menjadi
≤130/80 mmHg.
3. Pengobatan Hipertensi
Manajemen hipertensi dengan terapi nonfarmakologis dan farmakologis telah
terbukti berguna dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berkaitan
dengan risiko serangan jantung, gagal jantung, stroke, dan penyakit ginjal. Tujuan
dari manajemen tekanan darah adalah untuk mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular dan target kerusakan organ (Burkhardt, dkk., 2008).
Adapun terapi yang dapat dilakukan pada pasien hipertensi dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
a. Terapi non farmakologi
Langkah awal tatalaksana hipertensi sesuai Pedoman Pengobatan Dasar
di Puskesmas 2011 adalah memperbaiki gaya hidup pasien dengan cara
berikut:
1) Menurunkan berat badan sampai batas ideal.
2) Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau
kadar kolesterol darah tinggi.
3) Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium
atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan
kalsium, magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi
alkohol.
4) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat.
15
5) Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya
selama tekanan darahnya terkendali.
6) Berhenti merokok.
Sedangkan modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi
menurut JNC 7 dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi
Modifikasi Rekomendasi Penurunan
tekanan darah
Penurunan berat
badan
Menjaga berat badan normal
(BMI 18.4-24.9 kg/m²) 5-20 mmHg/10kg
Diet makan
menurut DASH
Mengkonsumsi banyak buah,
sayur, dan produk susu rendah
lemak dengan mengurangi jumlah
makanan yang mengandung lemak
jenuh dan total lemak.
4-18 mmHg
Diet rendah
garam
Mengurangi asupan garam menjadi
kurang dari 100 mmol per hari (2.4
g natrium atau 6 g NaCl)
2-8 mmHg
Aktivitas fisik
Rutin melakukan aktifitas fisik
seperti jalan cepat (minimal 30
menit per hari, setiap hari)
4-9 mmHg
Membatasi
konsumsi alcohol
Membatasi konsumsi menjadi
tidak lebih dari 2 kali porsi minum
per hari (misalnya 24 oz beer, 10
oz wine, atau 3 oz 80-proof
whiskey) untuk laki-laki dan tidak
lebih dari 1 kali per hari untuk
perempuan dan yang memiliki
berat badan kurang
2-4 mmHg
(Chobanian dkk., 2004)
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
*untuk mengurangi semua risiko kardiovaskular, berhenti merokok.
b. Terapi Farmakologi
Tatalaksana terapi secara farmakologis merupakan terapi menggunakan
agen antihipertensi. Obat antihipertensi bertindak pada satu atau lebih dari
tempat aksi yang berbeda dan menghasilkan efek mereka dengan
mengganggu mekanisme normal regulasi tekanan darah.
16
Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal , masa kerja yang
panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat
ditarnbahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi. Pemilihan
obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan penyakit dan
respon penderita terhadap obat anti hipertensi (Depkes, 2006).
Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi adalah sebagai berikut
(Depkes, 2006) :
a) Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab
hipertensi.
b) Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi
timbulnya komplikasi.
c) Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
anti hipertensi.
d) Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
pengobatan seumur hidup.
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk
pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, β-blocker, ACE-inhibitor,
Angiotensin Receptor Blocker, dan Calsium Channel Blocker. Selain itu dikenal
juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua,yaitu: Alfa 1 Blocker, Agonis
Alfa 2 Adrenergik, dan vasodilator langsung. Jenis-jenis antihipertensi adalah
sebagai berikut:
17
1) Diuretik
Diuretik merupakan obat yang dapat meningkatkan laju
pengeluaran urin. Diuretik bekerja pada organ ginjal, yaitu tubulus,
dengan meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida, sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Diuretik efektif menurunkan tekanan darah 10-15mmHg pada
kebanyakan pasien. Pengobatan dengan diuretik adekuat untuk hipertensi
ringan sampai sedang. Sedangkan untuk hipertensi lebih parah, diuretik
digunakan dalam kombinasi dengan obat sympathoplegic dan vasodilator
untuk mengontrol kecenderungan retensi natrium yang disebabkan oleh
agen ini (Benowitz, 2011).
Terdepat beberapa kelas pada diuretik, yaitu tiazid (contohnya
hidroklortiazid), loop diuretic (contohnya furosemid), diuretik hemat
kalium (contohnya spironolakton).
2) Βeta Blocker
Obat golongan beta blocker bekerja dengan mengurangi denyut
jantung dan curah jantung, yang menurunkan tekanan darah dan
membuat jantung berdenyut lebih lambat dan dengan kekuatan yang
lebih berkurang (AHA, 2012). Contoh obat golongan ini adalah
propranolol dan atenolol.
Semua agen β-adrenoreseptor-blocking berguna untuk menurunkan
tekanan darah pada hipertensi ringan sampai sedang. Dalam hipertensi
18
berat, beta blocker sangat berguna dalam mencegah refleks takikardia
yang sering dihasilkan dari pengobatan dengan vasodilator langsung.
Beta blocker telah terbukti mengurangi angka kematian setelah infark
miokard dan beberapa juga mengurangi angka kematian pada pasien
dengan gagal jantung (Benowitz,2011).
3) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor menghambat converting
enzyme peptidil dipeptidase yang menghidrolisis angiotensin I menjadi
angiotensin II dan menginaktivasi bradikinin, vasodilator kuat, yang
bekerja dengan merangsang pelepasan oksida nitrat dan prostasiklin
(Benowitz, 2011). Contoh obat golongan ini adalah kaptopril dan
lisinopril.
4) Calsium Channel Blocker (CCB)
Selain efek antingina dan antiaritmia, calcium channel blocker juga
mengurangi resistensi perifer dan tekanan darah. Mekanisme aksi pada
hipertensi adalah penghambatan masuknya kalsium ke dalam sel otot
polos arteri (Benowitz, 2011). Kalsium yang masuk ke dalam sel otot
polos dapat menyebabkan kontraksi. Jika otot polos yang berkontraksi
adalah otot polos pada pembuluh darah, maka tahanan vaskular perifer
akan meningkat dan teknan darah akan naik.
Calcium channel blocker menyebabkan relaksasi jantung dan otot
polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke
19
dalam sel. Relaksasi otot polos vaskuler menyebabkan vasodilatasi dan
berhubungan dengan reduksi tekanan darah (Sukandar, dkk., 2013).
Contoh obat golongan ini adalah nifedipin, diltiazem, verapamil, dan
amlodipine.
5) Angiotensin Reseptor Blocker
Obat ini bekerja dengan mengeblok reseptor angiotensin, sehingga
ketika angiotensin tidak dapat menduduki reseptornya, efek akan
berubah. Ketika angiotensin menduduki reseptornya akan muncul efek
vasokonstriksi. Dengan demikian, penghambatan terhadap reseptor
tersebut akan menghambat vasokonstriksi dan menghasilkan vasodilatasi.
Contoh obat golongan ini adalah candesartan dan irbesartan.
6) Alfa 1 Blocker
Alfa 1 blocker mengurangi tekanan arteri dengan melebarkan kedua
resistensi dan pembuluh kapasitansi. Umumnya, alfa 1 blocker dianggap
sebagai agen lini kedua yang akan ditambahkan ke sebagian besar agen
lain ketika hipertensi tidak terkontrol secara memadai. Penggunaan alfa 1
blocker sering dibatasi karena keluhan sinkop, pusing, atau jantung
berdebar setelah dosis pertama dan hipotensi ortostatik dengan
penggunaan kronis (Burkhardt, 2008). Contoh obat golongan ini adalah
prasozin, terasozin, dan doxasozin.
7) Agonis Alfa 2 Adrenergik
Obat golongan ini bekerja dengan menstimulasi reseptor alfa 2
adrenergik yang terdapat pada system syaraf pusat. Stimulasi alfa 2
20
adrenergik pusat tersebut diperkirakan mengurangi aliran simpatis dan
meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga mengurangi denyut
jantung, curah jantung, dan resistensi perifer total. Kadang-kadang
digunakan untuk kasus-kasus hipertensi resisten (Burkhardt, dkk., 2008).
Contoh obat golongan ini adalah klonidin.
4. Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014 adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas mempunyai
tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan
sehat.
Dalam rangka pemenuhan Pelayanan Kesehatan yang didasarkan pada
kebutuhan dan kondisi masyarakat, Puskesmas dapat dikategorikan berdasarkan
karakteristik wilayah kerja dan kemampuan penyelenggaraan.
Berdasarkan kemampuan penyelenggaraan, Puskesmas dikategorikan menjadi
(Permenkes, 2014) :
a. Puskesmas non rawat inap, yaitu Puskesmas yang tidak
menyelenggarakan pelayanan rawat inap, kecuali pertolongan persalinan
normal.
21
b. Puskesmas rawat inap, yaitu Puskesmas yang diberi tambahan sumber
daya untuk menyelenggarakan pelayanan rawat inap, sesuai pertimbangan
kebutuhan pelayanan kesehatan.
5. Rekam Medis
Rekam medis menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis harus dibuat
secara tertulis, lengkap, dan jelas atau secara elektronik. Isi rekam medis untuk
pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat
(Permenkes, 2008) :
a. Identitas pasien,
b. Tanggal dan waktu,
c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit,
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik,
e. Diagnosis,
f. Rencana penatalaksanaan,
g. Pengobatan dan/atau tindakan,
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien,
i. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik, dan
j. Persetujuan tindakan bila diperlukan.
22
Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan, dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh
dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola, dan pimpinan
sarana pelayanan kesehatan. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal
(Permenkes, 2008) :
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien,
b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum atas perintah pengadilan,
c. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri,
d. Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-
undangan, dan
e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang
tidak menyebutkan identitas pasien.
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik
pasien (meliputi jenis kelamin, umur, tingkat tekanan darah, dan penyakit
penyerta), pola penggunaan obat antihipertensi (nama obat dan penggunaan
tunggal atau kombinasi), dan kesesuaian penggunaan obat antihipertensi dengan
standard JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011 pada pasien
hipertensi di Puskesmas Banguntapan I Kabupaten Bantul periode Januari-
Desember 2014.