BAB I PENDAHULUAN -...

19
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tersedianya data spasial, tidak lepas dari keberadaan ilmu Geodesi dan Geomatika. Ilmu Geodesi dan Geomatika memiliki kompetensi dalam penyediaan data spasial dua dimensi maupun tiga dimensi. Data spasial yang mampu disediakan, tidak sebatas data terkait topografi saja. Bidang ilmu Geodesi dan Geomatika mampu menyediakan data spasial nontopografi. Berbagai macam teknologi disediakan bidang ilmu Geodesi dan Geomatika untuk keperluan akuisisi data spasial. Teknologi dalam bidang ilmu Geodesi dan Geomatika yang dapat digunakan untuk melakukan akuisisi data tiga dimensi nontopografi salah satunya adalah fotogrametri jarak dekat. Fotogrametri jarak dekat adalah sebuah teknik akuisisi data spasial di permukaan bumi menggunakan metode fotogrametri dengan jarak kamera ke objek menurut Seker dan Duran (2011) adalah 10 meter sampai dengan 100 meter. Biaya akuisisi data yang murah dan pemrosesan data yang mudah, membuat fotogrametri jarak dekat menjadi alternatif pilihan dalam pekerjaan akuisisi data tiga dimensi suatu objek diatas permukaan bumi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Janitra (2014) ditemukan bahwa fotogrametri jarak dekat efektif digunakan untuk melakukan akuisisi data tiga dimensi suatu objek, terlebih untuk objek yang kecil. Keefektifan tersebut dinilai dari terbentuknya model tiga dimensi objek yang teliti dan memiliki dimensi mendekati objek nyata. Namun demikian pada penelitian ini dikatakan bahwa untuk mendapatkan model tiga dimensi objek yang teliti, satu sisi objek harus terekam dalam satu foto. Hasil penelitian Janitra (2014), tentu akan sulit jika diaplikasikan untuk objek dengan ukuran besar, contohnya bangunan besar. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan bangunan besar adalah bangunan yang memiliki dimensi panjang lebih dari 10 meter dan lebar lebih dari 10 meter. Apabila dipaksakan satu sisi bangunan terekam dalam satu foto, maka foto sisi tersebut harus diambil dari jarak yang cukup jauh. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Wihasti (2012) ketelitian koordinat yang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tersedianya data spasial, tidak lepas dari keberadaan ilmu Geodesi dan

Geomatika. Ilmu Geodesi dan Geomatika memiliki kompetensi dalam penyediaan data

spasial dua dimensi maupun tiga dimensi. Data spasial yang mampu disediakan, tidak

sebatas data terkait topografi saja. Bidang ilmu Geodesi dan Geomatika mampu

menyediakan data spasial nontopografi. Berbagai macam teknologi disediakan

bidang ilmu Geodesi dan Geomatika untuk keperluan akuisisi data spasial.

Teknologi dalam bidang ilmu Geodesi dan Geomatika yang dapat digunakan

untuk melakukan akuisisi data tiga dimensi nontopografi salah satunya adalah

fotogrametri jarak dekat. Fotogrametri jarak dekat adalah sebuah teknik akuisisi data

spasial di permukaan bumi menggunakan metode fotogrametri dengan jarak kamera

ke objek menurut Seker dan Duran (2011) adalah 10 meter sampai dengan 100 meter.

Biaya akuisisi data yang murah dan pemrosesan data yang mudah, membuat

fotogrametri jarak dekat menjadi alternatif pilihan dalam pekerjaan akuisisi data tiga

dimensi suatu objek diatas permukaan bumi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Janitra (2014) ditemukan bahwa

fotogrametri jarak dekat efektif digunakan untuk melakukan akuisisi data tiga dimensi

suatu objek, terlebih untuk objek yang kecil. Keefektifan tersebut dinilai dari

terbentuknya model tiga dimensi objek yang teliti dan memiliki dimensi mendekati

objek nyata. Namun demikian pada penelitian ini dikatakan bahwa untuk mendapatkan

model tiga dimensi objek yang teliti, satu sisi objek harus terekam dalam satu foto.

Hasil penelitian Janitra (2014), tentu akan sulit jika diaplikasikan untuk objek

dengan ukuran besar, contohnya bangunan besar. Dalam penelitian ini, yang dimaksud

dengan bangunan besar adalah bangunan yang memiliki dimensi panjang lebih dari 10

meter dan lebar lebih dari 10 meter. Apabila dipaksakan satu sisi bangunan terekam

dalam satu foto, maka foto sisi tersebut harus diambil dari jarak yang cukup jauh.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Wihasti (2012) ketelitian koordinat yang

2

dihasilkan oleh model dari foto berbanding terbalik dengan jarak kamera ke objek.

Semakin dekat suatu objek dengan kamera, maka koordinat yang dihasilkan akan

semakin teliti. Sebaliknya, semakin jauh jarak kamera ke objek maka ketelitian

koordinat yang dihasilkan akan menurun. Selain itu, pengambilan foto dari jarak yang

jauh, juga akan menurunkan ketelitian model yang dihasilkan dari segi kelengkapan

model yang ditandai dengan hilangnya detildetil yang terdapat pada bangunan nyata,

seperti lekuk–lekuk pada bagian bangunan.

Apabila bangunan yang besar difoto dari jarak dekat, maka akan dihasilkan

beberapa foto pada setiap sisinya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk

meneliti hasil data spasial yang diperoleh melalui model yang dihasilkan. Penelitian

hasil data spasial yang dilakukan meliputi dua aspek, yaitu akurasi ukuran dimensi

model dan kelengkapan model tiga dimensi objek yang dihasilkan. Akurasi ukuran

dimensi model yang diteliti terletak pada beberapa bagian di setiap sisi model. Akurasi

kelengkapan model yang akan diteliti terletak pada seluruh bagian model yang

dihasilkan.

Dalam penelian ini, dilakukan pembuatan model menggunakan dua metode,

yaitu interaktif dan otomatis. Perhitungan ketelitian ukuran dimensi model yang

dihasilkan dari metode interaktif, dilakukan dengan membandingkan hasil ukuran

dimensi yang dihasilkan dengan ukuran hasil pengukuran alat total station

reflectorless. Perhitungan ketelitian ukuran dimensi model yang dihasilkan dari

metode otomatis, dilakukan dengan membandingkan hasil ukuran dimensi model

tersebut dengan ukuran dimensi model hasil metode interaktif. Penelitian kelengkapan

model yang dihasilkan dari metode interaktif maupun otomatis, dilakukan dengan

membandingkan model tiga dimensi objek yang dihasilkan dengan objek yang

sebenarnya.

I.2. Identifikasi Masalah

Penelitian yang dilakukan oleh Janitra (2014) menghasilkan penemuan bahwa

model tiga dimensi objek yang teliti akan didapatkan apabila satu sisi objek terekam

dalam satu foto. Hasil penelitian tersebut mudah diterapkan pada objek yang berukuran

3

kecil, seperti bangunan kecil. Namun demikian hasil penelitian tersebut akan sulit

diterapkan pada objek yang berukuran besar, seperti bangunan besar.

Pada bangunan besar, tentu diperlukan beberapa foto pada setiap sisinya. Hal ini

dilakukan untuk mempertahankan ketelitian model dari segi kelengkapan objek yang

dimiliki, seperti lekuklekuk bangunan. Semakin kecil jarak dari objek ke kamera,

maka angka ground sample distance yang dihasilkan juga makin rapat. Selain itu, jarak

pengambilan foto yang dekat digunakan untuk menghasilkan koordinat model yang

teliti, seperti pada penelitian yang telah dilakukan Wihasti (2012).

Adanya beberapa foto yang diperlukan untuk memodelkan satu sisi objek, perlu

dianalisis bagaimana hasil ketelitiannya. Analisis perlu dilakukan pada ukuran dimensi

model untuk setiap sisinya. Selain itu, analisis juga diperlukan untuk mengamati

kelengkapan model tiga dimensi yang dihasilkan dari foto. Hasil analisis nantinya

digunakan untuk mengetahui kualitas data spasial model tiga dimensi objek yang

dihasilkan.

Kondisi lain yang perlu diteliti adalah hasil pembuatan model menggunakan dua

metode yang berbeda, yaitu interaktif dan otomatis. Selama ini, metode interaktif

diketahui memiliki ketelitian yang bagus, karena memungkinkan operator untuk

melakukan kontrol pekerjaan selama pembuatan model. Namun demikian metode

interaktif memerlukan waktu pemrosesan data yang cukup lama. Metode otomatis

diketahui sebagai metode yang memiliki kelebihan dalam segi waktu. Waktu yang

diperlukan untuk melakukan pemrosesan data cukup singkat. Namun demikian

ketelitian model yang dihasilkan dari metode otomatis ini masih kurang dapat diyakini

kualitasnya, karena operator tidak dapat melakukan kontrol pekerjaan selama

pembuatan model.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah ketelitian ukuran dimensi model yang dihasilkan dari metode

interaktif?

2. Bagaimanakah ketelitian ukuran dimensi model yang dihasilkan dari metode

otomatis?

4

3. Apakah model tiga dimensi yang dihasilkan dari metode interaktif memiliki

kelengkapan detil seperti objek asli di lapangan?

4. Apakah model tiga dimensi yang dihasilkan dari metode otomatis memiliki

kelengkapan detil seperti objek asli di lapangan?

I.4. Cakupan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menerapkan metode fotogrametri jarak dekat

untuk akuisisi data tiga dimensi suatu objek. Objek yang digunakan merupakan objek

besar yang dalam hal ini adalah bangunan besar. Bangunan besar yang digunakan

sebagai objek penelitian adalah gedung Grha Sabha Pramana (GSP) Universitas

Gadjah Mada. Objek penelitian dibatasi hanya bagian timur dan utara dari bangunan

saja.

Penelitian dilakukan pada tahun 2015. Data utama penelitian berupa foto objek

yang didapat dari pemotretan pada objek. Hasil pemotretan pada objek digunakan

sebagai bahan pembuatan model tiga dimensi objek yang dapat dimanfaatkan untuk

akuisisi data tiga dimensi. Batasanbatasan yang didefinisikan pada penelitian yaitu :

1. pemotretan dilakukan menggunakan kamera small format, yaitu kamera

digital single lens reflex,

2. digunakan panjang fokus yang sama pada setiap pemotretan,

3. jarak antar stasiun pemotretan (base) tidak ditentukan berdasarkan

perbandingan dengan height/distance, base ditentukan berdasarkan kondisi

sekitar objek pemotretan, dengan kondisi base tersebut, maka jarak antar

stasiun pemotretan tidak sama,

4. data ukuran objek di lapangan diambil menggunakan alat total station

reflectorless, dengan koordinat yang dihasilkan adalah koordinat lokal,

5. tidak dilakukan pengukuran posisi kamera saat pemotretan, sehingga

koordinat yang dihasilkan oleh model adalah koordinat lokal model,

6. nilai parameter kalibrasi kamera yang digunakan pada setiap foto untuk

pembuatan model secara interaktif maupun otomatis diasumsikan sama,

yaitu diwakili oleh nilai parameter kalibrasi kamera yang diperoleh dari

PhotoModeler Scanner,

5

7. kedua perangkat lunak yang digunakan untuk membuat model, dianggap

memiliki bundle adjustment yang sama,

8. kelengkapan detil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dinding,

jendela, lekuk−lekuk di dinding, tangga dan ornamen−ornamen yang

dimiliki oleh gedung GSP,

9. bagian yang diukur ketelitian dimensinya adalah panjang dan lebar jendela

secara mendatar yang tampak di permukaan (parameter x dan y), bukan

bagian jendela yang menjorok ke dalam (parameter z).

Sebelum digunakan untuk melakukan pemotretan, kamera dikalibrasi. Pencarian

parameter kalibrasi dilakukan dengan pengolahan foto hasil pemotretan target

kalibrasi dari cetakan calibration grid pada perangkat lunak PhotoModeler Scanner.

Pemrosesan foto menjadi model tiga dimensi secara interaktif dilakukan dengan

perangkat lunak PhotoModeler Scanner versi 2013.0.0.911, untuk perangkat 64 bit.

Pemrosesan foto menjadi model tiga dimensi secara otomatis dilakukan dengan

menggunakan perangkat lunak AgiSoft Photoscan Professional versi 1.1.4 build

2021, untuk perangkat 64 bit. Model yang dihasilkan dari metode interaktif,

dibandingkan ukuran dimensi dan kelengkapan detilnya dengan kondisi sebenarnya di

lapangan. Model yang dihasilkan dari metode otomatis, dibandingkan ukuran

dimensinya dengan ukuran dimensi model hasil metode interaktif, sedangkan

kelengkapan detilnya dibandingkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Hasil

analisis digunakan untuk mengetahui kualitas data spasial model tiga dimensi objek

yang dihasilkan.

I.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dan dengan memperhatikan

cakupan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. membuat model tiga dimensi gedung GSP dengan fotogrametri jarak dekat,

menggunakan metode pemrosesan interaktif dan otomatis,

2. menghitung ketelitian ukuran dimensi dan mengetahui kelengkapan model

tiga dimensi gedung GSP hasil metode interaktif,

6

3. menghitung ketelitian ukuran dimensi dan mengetahui kelengkapan model

tiga dimensi gedung GSP hasil metode otomatis,

4. melakukan evaluasi kualitas data spasial model tiga dimensi gedung GSP

yang dihasilkan dari metode pemrosesan interaktif dan otomatis.

I.6. Manfaat Penelitian

Penerapan fotogrametri jarak dekat untuk memodelkan bangunan yang besar

diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam ilmu fotogrametri jarak dekat. Selain

itu, hasil analisis ketelitian model yang dibentuk dari metode pemrosesan interaktif

maupun otomatis, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa pertimbangan

kepada instansi maupun individu yang ingin menggunakan metode pemrosesan

tersebut.

I.7. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menerapkan metode fotogrametri jarak dekat pada objek yang

besar, yaitu gedung GSP. Beberapa penelitian yang pernah ada sebelumnya, meneliti

penerapan fotogrametri jarak dekat untuk berbagai macam objek. Penelitian terkait

faktorfaktor yang mempengaruhi ketelitian fotogrametri jarak dekat dan kombinasi

fotogrametri jarak dekat dengan metode lain juga pernah dilakukan.

Alsadik (2014) melakukan penelitian terkait fotogrametri jarak dekat untuk

pembuatan model tiga dimensi situs cagar budaya. Hasil penelitian ini adalah beberapa

macam konfigurasi kamera untuk pembuatan model tiga dimensi suatu bangunan cagar

budaya. Konfigurasi kamera tersebut disesuaikan dengan ketelitian yang diharapkan,

bentuk bangunan yang akan dimodelkan, dan metode pemrosesan yang akan

digunakan.

Aristia (2014) melakukan penelitian tentang pemodelan tiga dimensi kawasan

cagar budaya menggunakan fotogrametri jarak dekat kombinasi data foto terestris dan

foto udara kawasan Candi Sambisari. Hasil penelitian ini adalah data foto terestris dan

foto udara dapat digabungkan menjadi satu kesatuan model tiga dimensi Candi

Sambisari. Namun demikian pada tahap pemrosesan data menggunakan metode

7

otomatis, beberapa point cloud tidak berhasil dibuat akibat kurang baiknya orientasi

kamera, gangguan eksternal dan perubahan cuaca saat pengambilan data.

Janitra (2014) melakukan penelitian tentang fotogrametri jarak dekat untuk

pembuatan model tiga dimensi Candi Gebang. Hasil penelitian ini adalah fotogrametri

jarak dekat efektif untuk melakukan akuisisi data tiga dimensi suatu objek kecil,

karena dimensi model mendekati dimensi objek nyata. Untuk mendapatkan model tiga

dimensi objek yang teliti, satu sisi objek harus terekam dalam satu foto.

Barnes (2012) melakukan penelitian fotogrametri jarak dekat yang

dikombinasikan dengan laser scanning untuk pembuatan dense point cloud Candi

Cangkuang. Hasil penelitian ini adalah baik dalam metode fotogrametri jarak dekat

maupun laser scanning sebaiknya memperhatikan agar semua bagian objek tercakup

seluruhnya dalam satu kali pengambilan data.

Wihasti (2013) melakukan penelitian pengaruh jarak pemotretan terhadap

ketelitian koordinat titik cek pada teknik fotogrametri jarak dekat. Hasil dari penelitian

ini adalah tingkat ketelitian koordinat titik yang dihasilkan berbanding terbalik dengan

besarnya jarak pemotretan. Semakin dekat jarak pemotretan, maka koordinat yang

dihasilkan semakin teliti.

Murtiyoso (2011) melakukan penelitian fotogrametri jarak dekat untuk

membantu rekonstruksi objek arkeologi Candi Perwara. Hasil dari penelitian ini adalah

tingkat akurasi model yang dihasilkan mencapai level milimeter dan memiliki

kedetailan yang tinggi, yang ditandai dengan kenampakan relief yang rumit.

Penggunaan kamera nonmetrik pada pemotretan tetap mampu menghasilkan

ketelitian dimensi model yang tinggi asalkan kamera tersebut dikalibrasi.

Wahab (2009) melakukan penelitian analisis geometri data objek tiga dimensi

menggunakan fotogrametri jarak dekat, terrestrial laser scanner dan electronic total

station. Hasil dari penelitian ini adalah akurasi fotogrametri jarak dekat dipengaruhi

oleh kalibrasi kamera. Hasil fotogrametri jarak dekat akan lebih baik apabila dilakukan

kalibrasi menggunakan metode field calibration karena kondisi kamera nonmetrik

yang tidak stabil.

Widianto (1987) melakukan penelitian fotogrametri jarak dekat untuk

penggambaran kembali bentuk geometri permukaan badan pesawat terbang. Hasil dari

8

penelitian ini adalah Fotogrametri jarak dekat mampu menghasilkan informasi detil

teknik berupa gambar profil permukaan badan pesawat terbang dan gambar garisgaris

isometrisnya.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Fotogrametri Jarak Dekat

Fotogrametri dapat diartikan sebagai seni, ilmu, dan teknologi untuk

memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu objek fisik dan keadaan di

sekitarnya melalui proses perekaman, pengukuran, dan interpretasi citra fotografis atau

rekaman pola radiasi elektromagnetik (Wolf dan Dewitt 2000). Fotogrametri jarak

dekat adalah fotogrametri yang diterapkan pada objek di permukaan bumi, dengan

jarak objek tersebut ke kamera kurang dari 300 meter (Mathew 2008).

Pada prinsipnya metode fotogrametri dilakukan dengan melakukan

pengambilan gambar di sekitar/sekeliling objek yang akan dipotret dengan posisi

kamera yang konvergen (Atkinson 1996). Faktorfaktor yang mempengaruhi

ketelitian fotogrametri jarak dekat menurut Harintaka (2012) adalah :

a. B/H ratio,

b. besar area overlap yang dihasilkan oleh foto,

c. jumlah titik kontrol

d. jumlah titik yang diukur di foto

e. GSD piksel

f. internal orientation parameter dan exterior orientation parameter.

Pembuatan model tiga dimensi menggunakan data fotogrametri jarak dekat,

terbagi dalam tiga tahap, yaitu orientasi dalam, orientasi relatif dan orientasi absolut.

Menurut Mathew (2008) orientasi dalam merupakan suatu proses yang memerlukan

nilai kalibrasi kamera, karena dalam proses ini akan terjadi koreksi pada kesalahan

akibat distorsi kamera dan kesalahan lain pada kamera. Orientasi relatif adalah suatu

proses menentukan elemen orientasi luar pada kamera. Dalam orientasi relatif, suatu

foto akan dihubungkan dengan foto lain, sehingga akan tersusun posisi foto yang

kondisinya sama seperti saat pemotretan. Setelah foto memiliki kondisi yang sama

9

seperti saat pemotretan, maka foto yang saling bertampalan dapat dibuat model tiga

dimensinya. Orientasi absolut adalah suatu proses untuk mengubah koordinat model

tiga dimensi yang dihasilkan yang semula masih dalam koordinat relatif menjadi

koordinat tanah. Mathew (2008) mengatakan bahwa akan terdapat transformasi

konform tiga dimensi saat melakukan pengubahan koordinat dalam proses ini.

I.8.2. Kamera Digital

Penggunaan kamera digital erat kaitannya dalam perkembangan era digital dan

keekonomisannya untuk aplikasi fotogrametri jarak dekat. Kamera digital memiliki

komponen utama yang terdiri atas lensa, sensor, dan media penyimpanan. Kamera

ini memiliki karakteristik desain yang berbeda dengan kamera analog. Perbedaan

utamanya ialah pada media film seluloid yang diganti oleh sensor optik elektrik

seperti Charge–Couple Device (CCD) atau Complementary Metal Oxide

Semiconductor (CMOS). CCD dan CMOS berfungsi mengubah photon yang jatuh

mengenai permukaan sensor menjadi elektron yang selanjutnya elektron ini

diakumulasikan ke dalam kapasitor dan diubah menjadi bentuk sinyal elektronik. Pada

awalnya, CCD memiliki keunggulan dibandingkan dengan CMOS. Saat itu, CCD

memiliki sensor yang lebih peka terhadap cahaya sehingga pada kondisi redup tanpa

bantuan flash masih bisa menangkap objek dengan baik. Namun demikian, kini

kamera digital yang dijual di pasaran lebih banyak menggunakan sensor CMOS.

CMOS telah memiliki banyak perkembangan. CMOS menurut Axis (2010) adalah

sensor yang menggunakan teknologi khusus dengan kualitas dan kepekaan cahaya

yang lebih tinggi dibandingkan dengan sensor CCD. Bentuk CCD dan CMOS dapat

dilihat pada Gambar I.1.

Gambar I.1. Bentuk CCD (kiri) dan CMOS (kanan) (Sumber : Axis, 2010).

10

Kamera digital juga dilengkapi dengan Liquid Crystal Display (LCD), yaitu

layar monitor mini yang digunakan untuk melihat secara langsung hasil pemotretan

yang dilakukan. Adanya LCD ini dapat membantu pengguna untuk memilih dan

mengatur menu secara interaktif, serta apabila hasil pemotretan kualitasnya kurang

baik, maka dapat langsung dihapus, kemudian dilakukan pemotretan ulang. Terdapat

sebuah istilah yang dikenal dengan nama ppi (pixel per inch) pada kamera digital. Ppi

menunjukkan jumlah piksel per inci linear dalam sebuah foto. Resolusi foto tidak dapat

dipisahkan dengan ppi. Semakin besar ppi maka jumlah piksel per satuan incinya

semakin banyak, sehingga objek pada foto akan semakin jelas atau resolusi fotonya

baik (Ikawati 2012).

I.8.3. Geometri Foto

Geometri foto erat kaitannya dengan sistem proyeksi pada foto. ASPRS (1989)

menjelaskan bahwa proyeksi sentral pada foto berbeda dengan proyeksi ortografi.

Proyeksi ortografi menunjukkan skala yang konstan di sepanjang garis proyeksinya,

sedangkan proyeksi sentral menunjukkan skala yang berbeda pada setiap titik yang

diproyeksikan. Skala suatu titik yang mendekati pusat proyeksi pada proyeksi sentral

akan lebih besar daripada skala suatu titik yang jauh dari pusat proyeksi. Variasi skala

pada foto menyebabkan kurang telitinya pengukuran pada satu foto. Semakin besar

variasi jarak objek ke lensa kamera, semakin besar pula variasi skala yang disajikan.

Hal tersebut menyebabkan kemungkinan terjadinya relief displacement atau

pergeseran relief. Besarnya pergeseran relief bergantung pada jarak titik pada foto ke

pusat proyeksi. Semakin jauh dari pusat proyeksi, semakain besar kemungkinan

terjadinya pergeseran relief (Wihasti 2012).

I.8.4. Geometri Kamera

Setiap kamera memiliki model geometri proyeksi. Menurut Axis (2010), model

geometri proyeksi kamera dapat diperlihatkan menggunakan hubungan antara bidang

gambar, pusat kamera dan panjang fokus kamera. Gambar model geometri proyeksi

kamera, dapat dilihat pada Gambar I.2.

11

Gambar I.2. Geometri proyeksi kamera tiga dimensi (kiri) dan dua dimensi (kanan)

(Sumber : Axis, 2010).

Gambar I.2 kiri menunjukkan geometri proyeksi kamera dalam tiga dimensi,

sedangkan Gambar I.2 kanan menunjukkan geometri proyeksi kamera dalam dua

dimensi. Gambar I.2 kiri, menunjukkan lokasi suatu titik X yang ada pada ruang tiga

dimensi (X,Y,Z) dan lokasi titik tersebut pada bidang gambar. Pada Gambar I.2 kanan,

dapat diamati bahwa panjang fokus kamera (f) merupakan jarak antara pusat kamera

(C) dengan bidang gambar (P).

Untuk membentuk foto yang memiliki tampalan, maka diperlukan suatu

geometri kamera yang epipolar. Geometri epipolar menurut Axis (2010) adalah suatu

kondisi dimana dua sistem kamera, didefinisikan terletak pada suatu baseline yang

sama. Kondisi geometri epipolar dapat dilihat pada Gambar I.3.

Gambar I.3. Geometri epipolar dua buah kamera (Sumber : Axis, 2010)

Melalui Gambar I.3, maka dapat didefinisikan bahwa pada geometri epipolar,

foto yang dihasilkan dari kedua posisi kamera harus memiliki korespondensi. Selain

itu, setiap bidang gambar harus dapat mendefinisikan garis epipolar yang

menghubungkan kedua bidang gambar tersebut. Pada Gambar I.3, garis epipolar yang

dibentuk dari kedua bidang gambar adalah baseline CC’.

12

I.8.5. Kalibrasi Kamera

Meskipun telah didesain dengan sangat cermat, komponen kamera tidak dapat

dibuat secara sempurna. Salah satu kondisi yang membuat kamera tidak sempurna

adalah lensa yang digunakan pada kamera tersebut. Tidak sempurnanya lensa,

membuat foto yang nantinya dihasilkan memiliki distorsi. Adanya distorsi pada foto,

tidak akan mempengaruhi kualitas ketajaman citra yang dihasilkan (Hanifa 2007).

Namun demikian distorsi foto akan menimbulkan kesalahan informasi akibat

pergeseran lokasi titik yang ada pada foto dari kondisi sebenarnya di lapangan. Dengan

adanya kondisi tersebut, maka perlu dilakukan pengkalibrasian kamera untuk dapat

menentukan besarnya penyimpangan yang terjadi. Parameter yang dicari dalam proses

kalibrasi kamera adalah panjang fokus, principal point (x , y), dan distorsi lensa.

Distorsi lensa dibagi menjadi dua yaitu distorsi parsial dan distorsi tangensial. Distorsi

parsial yaitu distorsi kearah vertikal dan horizontal, yang diistilahkan dengan K1, K2

dan K3, sedangkan distorsi tangensial adalah distorsi kearah diagonal, yang

diistilahkan sebagai P1 dan P2.

Salah satu metode kalibrasi kamera adalah field calibration. Menurut Clarke dan

Fryer (1998) field calibration adalah suatu metode kalibrasi kamera yang dilakukan

dengan menggunakan objek yang telah disurvei dan diyakini mampu menghasilkan

nilai kalibrasi kamera yang teliti. Salah satu objek yang dapat digunakan untuk

melakukan field calibration adalah pola yang terdapat pada bidang planar dua dimensi.

Penerapan teknik kalibrasi menggunakan pola yang terdapat pada bidang planar

dilakukan dengan melakukan pemotretan pola tersebut dari berbagai posisi (Elgamal,

2012).

I.8.6. Konfigurasi Kamera

Terdapat dua buah konfigurasi kamera yang cukup dikenal dalam fotogrametri

jarak dekat. Konfigurasi kamera tersebut adalah konvergen dan planar. Didapatkan

sebuah penemuan bahwa konfigurasi kamera secara konvergen bagus bila diterapkan

pada pembuatan model dari foto secara interaktif. Kondisi ini disebabkan oleh karena

konfigurasi kamera konvergen mampu menghasilkan konfigurasi perbandingan base

13

dan height/distance yang baik pula. Konfigurasi kamera secara konvergen, dapat

dilihat pada Gambar I.4.

Gambar I.4. Konfigurasi kamera konvergen.

Ditemukan juga beberapa fenomena bahwa konfigurasi planar lebih cocok

digunakan untuk pekerjaan pembuatan model tiga dimensi dari foto secara otomatis.

Adanya konfigurasi kamera yang planar, membuat foto yang dihasilkan dari setiap

pemotretan memiliki kemiripan orientasi. Adanya kemiripan orientasi antar foto,

membuat proses matching foto secara otomatis akan berhasil. Keberhasilan tersebut

disebabkan oleh keberhasilan proses matching antar feature pada setiap area yang

bertampalan. Konfigurasi kamera planar, dapat dilihat pada Gambar I.5.

Gambar I.5. Konfigurasi kamera planar.

I.8.7. Pembentukan Model Tiga Dimensi Pada PhotoModeler Scanner

I.8.7.1. PhotoModeler Scanner.

Menurut Eos (2014) PhotoModeler Scanner merupakan suatu perangkat lunak

yang menyediakan berbagai peralatan untuk membuat model tiga dimensi dengan

kulaitas baik dari data fotografi. Proses yang dilakukan pada PhotoModeler Scanner

objek = posisi kamera

objek

= posisi kamera

14

untuk membuat model tiga dimensi suatu objek dari foto adalah photo−based 3D

scanning.

PhotoModeler Scanner, dapat digunakan untuk melakukan pengukuran dan

pemodelan berbagai macam objek, termasuk objek arsitektur, konservasi dan cagar

budaya. PhotoModeler Scanner mampu melakukan dokumentasi dan pengukuran

model yang dihasilkan. Selain itu, perangkat lunak ini mampu membuat model tiga

dimensi untuk divisualisasikan maupun untuk diteliti. Perangkat lunak ini juga dapat

membuat kenampakan elevasi dan memberikan tekstur pada model yang dibuat.

Dalam PhotoModeler Scanner, proses orientasi dalam diistilahkan sebagai idealize

project, orientasi relatif diistilahkan sebagai referencing sedangkan orientasi absolut

diistilahkan sebagai external geometry.

I.8.7.2. Pembentukan model tiga dimensi pada PhotoModeler Scanner.

Pembentukan model tiga dimensi menggunakan perangkat lunak PhotoModeler

Scanner dilakukan dengan menerapkan beberapa tahap. Tahapan yang dilakukan

adalah orientasi dalam, orientasi relatif antar foto dan proses pembuatan model. Ketiga

tahapan tersebut dilakukan secara berurutan.

Orientasi dalam dilakukan untuk melakukan koreksi distorsi pada foto yang akan

digunakan pada pembuatan model. Orientasi dalam melibatkan nilai parameter

kalibrasi kamera, yang memberikan informasi tentang nilai parameter internal kamera.

Setelah foto yang akan digunakan selesai dikoreksi, dilakukan orientasi relatif antar

foto. Orientasi relatif dilakukan dengan memberikan tanda pada objek yang sama

dalam foto yang akan diorientasikan dengan foto lain. Proses penandaan dilakukan

untuk memudahkan proses referencing. Setelah diberi tanda, objek yang sama dalam

beberapa foto tersebut kemudian direferensikan satu dengan yang lain. Proses referensi

adalah proses untuk menghubungkan titik yang sama pada sepasang foto atau lebih.

Menurut Wihasti (2012) Penandaan titik pada PhotoModeler Scanner dapat

dilakukan secara otomatis yaitu dengan automatic target marking.

Tahapan selanjutnya adalah pembuatan model tiga dimensi. Pada tahapan

pembuatan model, PhotoModeler Scanner melalui dua tahap yaitu audit dan

adjustment. Audit digunakan untuk memeriksa kualitas dari keseluruhan foto agar

terbentuk model 3D yang baik. Pada tahap adjustment, PhotoModeler Scanner akan

15

menjalankan sejumlah algoritma untuk menghasilkan model 3D dan meminimalisasi

kesalahan agar terbentuk model 3D yang teliti.

I.8.8. Pembentukan Model Tiga Dimensi Pada Agisoft PhotoScan Professional

I.8.8.1. Agisoft PhotoScan Professional.

Menurut Agisoft (2014), Agisoft PhotoScan Professional adalah suatu

perangkat lunak yang menggunakan metode pemrosesan fotogrametri secara otomatis.

Agisoft PhotoScan Professional mampu menghasilkan tekstur poligonal model

secara otomatis dengan hanya menggunakan data foto. Agisoft PhotoScan

Professional mampu melakukan pemrosesan dengan data yang jumlahnya sangat

banyak tanpa memerlukan bantuan perangkat transmisi lain. Perangkat lunak ini

mudah dioperasikan oleh berbagai macam kalangan operator. Perangkat ini didesain

menggunakan linear project−based workflow. Sayangnya, kontrol pekerjaan hanya

dapat dilihat setelah pemrosesan selesai dilakukan, dalam bentuk report. Dalam

Agisoft PhotoScan Professional, proses orientasi dalam diistilahkan sebagai optimize

camera, orientasi relatif diistilahkan sebagai align photos, sedangkan orientasi absolut

diistilahkan sebagai setting coordinate system.

I.8.8.2. Pembentukan model tiga dimensi pada Agisoft PhotoScan Professional.

Pembentukan model tiga dimensi menggunakan perangkat lunak Agisoft

PhotoScan Professional dilakukan dengan menerapkan beberapa tahap. Tahapan

yang dilakukan adalah orientasi relatif antar foto dan proses pembuatan model. Kedua

tahapan tersebut dilakukan secara berurutan.

Orientasi relatif dilakukan dengan melakukan align untuk setiap foto yang

digunakan dalam pemrosesan. Proses tersebut dilakukan secara otomatis. Apabila foto

yang akan digunakan berhasilkan di−align satu dengaan yang lainnya, maka foto

tersebut dapat dikatakan telah tereferensi satu dengan yang lain. Proses selanjutnya

adalah pembuatan dense point cloud. Proses ini juga dilakukan secara otomatis oleh

perangkat lunak. Proses ini akan menghasilkan tampilan model sementara yang

berhasil dibentuk. Selanjutnya, untuk menyempurnakan model dilakukan editing pada

dense point cloud bila perlu, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan mesh. Mesh

16

menurut Agisoft (2013) adalah model tiga dimensi poligonal. Setelah proses ini

selesai, dapat dilakukan editing pada mesh yang dihasilkan. Apabila perlu, dapat

dilanjutkan dengan pembuatan kenampakan tekstur pada model. Setelah seluruh

tahapan selesai dilaksanakan, maka report pekerjaan dapat dimunculkan.

I.8.9. Root Mean Square Error (RMSE)

RMSE atau yang dikenal dengan RMS residual menurut ESRI (2006) adalah

nilai perbedaan antara nilai sesungguhnya dengan nilai hasil ukuran. RMS residual

didapatkan dari proses pembagian antara nilai akar kuadrat total selisih ukuran kuadrat

dengan jumlah ukuran yang digunakan. Rumus menghitung RMS residual disajikan

pada rumus I.1.

𝑅𝑀𝑆𝐸 = √∑(𝑋1−𝑋)2

𝑛 ………………………………………………………………I.1

Keterangan :

RMSE = Root Mean Square Error

X = nilai sebenarnya

X1 = nilai hasil ukuran

n = banyak ukuran yang digunakan

I.8.10. Ketelitian Ukuran Dimensi Model Hasil Metode Interaktif

Ukuran dimensi hasil pengukuran total station reflectorless merupakan ukuran

yang diasumsikan sebagai ukuran dimensi objek asli di lapangan. Pada tahapan

akuisisi data, total station reflectorless hanya menghasilkan data koordinat tiga

dimensi setiap titik yang diukur saja. Ukuran dimensi hasil pengukuran harus dihitung

menggunakan konsep pembentukan garis oleh dua buah titik dalam ruang tiga dimensi.

Konsep tersebut disajikan pada rumus I.2.

𝑙 = √(𝑋2 − 𝑋1)2 + (𝑌2 − 𝑌1)2 + (𝑍2 − 𝑍1)2 ……………………………………I.2

Keterangan :

l = panjang garis yang dibentuk oleh titik 1 dan 2

17

X1, Y1, Z1 = koordinat tiga dimensi titik 1

X2, Y2, Z2 = koordinat tiga dimensi titik 2

Selisih ukuran dimensi hasil pengukuran total station reflectorless yang

diasumsikan sebagai ukuran dimensi objek sebenarnya dengan ukuran dimensi model

hasil pemrosesan dengan metode interaktif, dapat dihitung menggunakan rumus I.3

dan I.4.

∆𝑝= 𝑃𝑠 − 𝑃𝑚 ………………………………………………………………………I.3

∆𝑙= 𝐿𝑠 − 𝐿𝑚 ………………………………………………………………………I.4

Keterangan :

∆p = selisih ukuran panjang objek sebenarnya dengan panjang model

Ps = panjang detil pada objek sebenarnya

Pm = panjang detil pada model

∆l = selisih ukuran lebar objek sebenarnya dengan panjang model

Ls = lebar detil pada objek sebenarnya

Lm = lebar detil pada model

Nilai RMSE dapat diperoleh dari proses pembagian antara nilai akar kuadrat

total selisih ukuran kuadrat dengan jumlah ukuran yang digunakan, seperti pada rumus

I.5.

𝑅𝑀𝑆𝐸 = √∑(∆𝑝 𝑑𝑎𝑛∆𝑙)2

𝑛……………………………………………………………...I.5

Keterangan :

RMSE = Root Mean Square Error

∆p = selisih ukuran panjang objek sebenarnya dengan panjang model

∆l = selisih ukuran lebar objek sebenarnya dengan panjang model

n = banyak ukuran yang digunakan

18

I.8.11. Ketelitian Ukuran Dimensi Model Hasil Metode Otomatis

Ukuran dimensi hasil pemodelan menggunakan metode interaktif merupakan

ukuran yang diasumsikan sebagai ukuran dimensi objek asli di lapangan. Selisih

ukuran dimensi model hasil pemrosesan interaktif yang diasumsikan sebagai ukuran

dimensi objek sebenarnya dengan ukuran dimensi model hasil pemrosesan dengan

metode otomatis dapat dihitung dengan menggunakan rumus I.6 dan I.7.

∆𝑝= 𝑃𝑚𝑖 − 𝑃𝑚𝑜 ……………………………………………………………………I.6

∆𝑙= 𝐿𝑚𝑖 − 𝐿𝑚𝑜 ..……………………………………..……………………………I.7

Keterangan :

∆p = selisih ukuran model hasil proses interaktif dengan panjang model hasil

proses otomatis

Pmi = panjang detil pada model hasil proses interaktif

Pmo = panjang detil pada model hasil proses otomatis

∆l = selisih ukuran lebar objek sebenarnya dengan panjang model

Lmi = lebar detil pada model hasil proses interaktif

Lmo = lebar detil pada model hasil proses otomatis

Nilai RMSE dapat diperoleh dari proses pembagian antara nilai akar kuadrat

total selisih ukuran kuadrat dengan jumlah ukuran yang digunakan, seperti pada rumus

I.5.

I.8.12. Ground Sample Distance (GSD)

GSD adalah nilai ukuran terkecil yang mampu terekam dalam satu piksel

(Harintaka 2012). Hitungan untuk memperoleh nilai GSD, dapat dilihat dari rumus I.8.

𝐺𝑆𝐷 = 𝑆𝑃𝑆 × 𝐷

𝑓 ..……………………………………..……………………………………I.8

Keterangan :

SPS = sensor pixel size

D = jarak objek ke kamera

19

f = panjang fokus yang digunakan saat pemotretan

Foto yang dihasilkan dari pemotretan memiliki ukuran medium yang memiliki dimensi

kolom × baris adalah 3456 × 2304 pixel. Kamera yang digunakan untuk pemotretan

adalah kamera DSLR Nikon D3100, yang memiliki sensor gambar CMOS dengan

ukuran panjang × lebar adalah 23.1 × 15.4 milimeter, menurut Nikon (2010). Adanya

ukuran dimensi foto dan ukuran sensor, maka nilai SPS dari foto dapat ditentukan

dengan rumus I.9.

𝑆𝑃𝑆 =𝑃𝐶𝑀𝑂𝑆

𝐾 ……………........……………………………………..……………………I.9

Berdasarkan rumus I.9, maka diperoleh nilai SPS kamera NIKON D3100 yang

digunakan adalah 0.0067 milimeter.

I.9. Hipotesis

Secara keseluruhan, model tiga dimensi hasil penerapan fotogrametri jarak dekat

dengan pemrosesan metode interaktif memiliki kualitas data spasial yang lebih baik

dibandingkan dengan pemrosesan metode otomatis.