BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... ·...

41
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kerajaan Mataram Islam didirikan pada 1578 setelah terjadi fragmentasi politis di Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang. Kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senapati Ingalaga (memerintah 1578-1601) itu berhasil mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (lahir 1593, memerintah 1613-1646). Ekspansi-ekspansi militer yang dilakukannya berhasil menegakkan kekuasaan Kerajaan Mataram yang memiliki wilayah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. 1 Namun, pada masa pemerintahan raja-raja yang menggantikannya Kerajaan Mataram tampak mengalami kemunduran. Ketidakmampuan untuk membayar ongkos-ongkos peperangan yang melibatkan Belanda untuk menumpas pemberontakan dan perang perebutan tahta mengakibatkan raja- raja penggantinya harus menyerahkan sebagian wilayah kerajaan 1 M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa, terjemahan Hartono Hadikusumo dan E. Setiawati Alkhatab (Yogyakarta: MataBangsa, 2002), hlm. 11-21.

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... ·...

Page 1: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kerajaan Mataram Islam didirikan pada 1578 setelah terjadi

fragmentasi politis di Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang.

Kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senapati Ingalaga

(memerintah 1578-1601) itu berhasil mencapai puncak

kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (lahir 1593,

memerintah 1613-1646). Ekspansi-ekspansi militer yang

dilakukannya berhasil menegakkan kekuasaan Kerajaan Mataram

yang memiliki wilayah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

sebagian Jawa Barat.1 Namun, pada masa pemerintahan raja-raja

yang menggantikannya Kerajaan Mataram tampak mengalami

kemunduran. Ketidakmampuan untuk membayar ongkos-ongkos

peperangan yang melibatkan Belanda untuk menumpas

pemberontakan dan perang perebutan tahta mengakibatkan raja-

raja penggantinya harus menyerahkan sebagian wilayah kerajaan

1M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi

1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa, terjemahan Hartono Hadikusumo dan E. Setiawati Alkhatab (Yogyakarta: MataBangsa,

2002), hlm. 11-21.

Page 2: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

2

melalui serangkaian kontrak dan konsesi ekonomi.2 Aneksasi-

aneksasi yang dilakukan oleh Belanda itu secara berangsur-

angsur menyempitkan wilayah kekuasaan kerajaan.

Sejak penandatanganan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755

wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram terfragmentasi menjadi dua

bagian dengan kemunculan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan

Yogyakarta yang masing-masing di bawah kekuasaan Sunan Paku

Buwana III (memerintah 1749-1788) dan Sultan Hamengku

Buwana I (memerintah 1755-1792).3 Selanjutnya pada 1757

wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta juga terfragmentasi

menjadi dua dengan kemunculan Mangkunagaran di bawah

kekuasaan Mangkunagara I (lahir 1723, memerintah 1757-1796),

dan pada 1812 hal serupa terjadi pula di Kasultanan Yogyakarta

karena adanya Pakualaman di bawah kekuasaan Paku Alam I

(memerintah 1812-1829).4 Dengan demikian, sejak Perjanjian

Giyanti 1755 sampai dengan 1812 Kerajaan Mataram telah

sempurna terbagi menjadi empat kekuasaan politik.

2Ibid., hlm. 22-26. 3M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan

Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 149.

4Ibid., hlm. 175.

Page 3: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

3

Pembagian kerajaan yang mengakibatkan fragmentasi wilayah

kekuasaan kerajaan, secara politis dan ekonomis dapat dipandang

sebagai penyusutan kekuasaan raja. Akan tetapi, secara kultural

kekuasaan raja sebagai pengayom kebudayaan Jawa tidak

mengalami penyusutan. Oleh karena itu, setelah terjadinya

penetrasi kolonial Belanda dalam bidang politik dan ekonomi

perhatian raja lebih diarahkan pada pengembangan bidang

kebudayaan.5 Akibatnya, apabila sebelum Perjanjian Giyanti 1755

hanya terdapat satu pusat kebudayaan Jawa, maka setelah

Perjanjian Giyanti 1755 secara kultural terdapat dua pusat

kebudayaan Jawa yang kemudian diikuti dengan kemunculan

subpusat-subpusat kebudayaan Jawa di Surakarta dan

Yogyakarta. Subpusat-subpusat kebudayaan itu kemudian

berkembang menjadi pusat-pusat kebudayaan Jawa yang

menjadikan kebudayaan Jawa semakin berkembang dan kaya.

Raja-raja Kasunanan Surakarta menjadi patron dalam

pengembangan kebudayaan Jawa. Sunan Paku Buwana IV (lahir

1768, memerintah 1788-1820), Sunan Paku Buwana V

(memerintah 1820-1823), dan Sunan Paku Buwana IX (lahir 1830,

memerintah 1861-1893) merupakan patron-patron yang memiliki

perhatian besar dalam pengembangan kebudayaan Jawa

5Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta

1830-1939 (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000).

Page 4: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

4

Surakarta. Puncak perkembangan kebudayaan Keraton Surakarta

terjadi pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X (lahir

1866, memerintah 1893-1939). Pada akhir abad XIX sampai

dengan akhir dasawarsa keempat abad XX Sunan Paku Buwana X

membangun kebudayaan Keraton Surakarta sehingga mencapai

perkembangan yang sangat halus, rumit, dan terinci, yang dengan

meminjam istilah gaya seni di Eropa disebut barokisasi.6

Walaupun kekuasaan raja dalam konsep politik telah mengalami

penyusutan dan kekuasaan ekonominya mengalami kemunduran,

namun tidak berarti Sunan Paku Buwana X telah kehilangan

segalanya. Ia masih menguasai simbol-simbol budaya yang dapat

memperkuat kedudukannya sebagai penguasa.7 Di mata

rakyatnya Sunan Paku Buwana X adalah raja yang memiliki

kekuasaaan yang besar, sakral magis, dan memperoleh banyak

wahyu. Dengan kata lain, sebenarnya kekuasaan raja dalam

konsep kultural tidak memudar, yang ditunjukkan dengan

6Ibid., hlm. 400. Istilah barokisasi berasal dari istilah gaya

Barok (Baroque) di Eropa, yaitu untuk memberikan nama gaya yang sangat megah, mewah, dan banyak ornamentasi. Gaya ini

berkembang di Eropa pada abad XVII setelah Zaman Renaissance berakhir. Lihat R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 93 catatan nomor 26.

7Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-

1915 (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 3.

Page 5: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

5

penyelenggaraan upacara dan pesta yang semakin hebat,8 serta

pembakuan seni pertunjukan yang mencakup seni pedhalangan

(pakem), karawitan (waton), dan tari (waton) sebagai simbol

kebesaran raja.9

Dalam folklore Jawa yang hidup di kalangan masyarakat

Jawa dewasa ini, dikatakan bahwa Sunan Paku Buwana X adalah

raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan,

kamukten, dan kewibawaan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak

tersisa sedikit pun untuk raja-raja sesudahnya. Ia adalah seorang

raja Jawa sejati yang terakhir.10 Sehubungan dengan itu, ketika

Sunan Paku Buwana X mangkat pada 1939, hal ini dianggap

sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan Surakarta

(keraton wis koncatan wahyu).11

Sementara itu, di Mangkunagaran, Mangkunagara I

melakukan restrukturisasi budaya. Ia meletakkan fondasi

8Darsiti Soeratman, passim.

9Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan Paku Buwana X:

Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press, 2006); Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, Sejarah Pedalangan (Surakarta:

Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV Cendrawasih, 2007), hlm. 226.

10Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 21.

11Cantrik Mataram, Peranan Ramalan Djojoboyo dalam Revolusi Kita (Bandung: Masa Baru, 1954, Cetakan III), hlm. 129-

133.

Page 6: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

6

pembangunan kebudayaan Jawa melalui aktivitas-aktivitas seni.12

Puncak perkembangan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran

terjadi pada masa pemerintahan Mangkunagara IV (lahir 1811,

memerintah 1853-1881). Ia adalah seorang yang berhasil

mengantarkan Mangkunagaran mencapai puncak kejayaan dan

sekaligus menjadikannya sebagai pusat kebudayaan Jawa yang

lain di Surakarta pada pertengahan hingga akhir abad XIX. Ia

memiliki perhatian yang besar dalam pengembangan kesusastraan

dan seni pertunjukan Jawa di Mangkunagaran. Pendek kata, ia

telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam

kehidupan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran.13

Pengembangan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran yang

fondasinya telah diletakkan oleh Mangkunagara I dan mengalami

perkembangan yang pesat di tangan Mangkunagara IV diteruskan

oleh Mangkunagara VII (lahir 1885, memerintah 1916-1944). Ia

banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan

kebudayaan Jawa dengan penerbitan karya-karya Mangkunagara

12Zainuddin Fananie, Pandangan Dunia KGPAA

Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur: Sebuah Restrukturisasi Budaya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994).

13Dhanang Respati Puguh, “Pemikiran K.G.P.A.A.

Mangkunagara IV tentang Ketataprajaan (1856-1871)” (Tesis Sarjana S-2 Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000), hlm. 5-6.

Page 7: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

7

IV, pendirian kelompok studi filsafat dan kebudayaan, serta

pendirian Java Instituut.14

Sejak masa kekuasaan Jepang (1942-1945) keadaan

Mangkunagaran semakin menurun menyusul situasi sama yang

telah terjadi sebelumnya di Kasunanan. Sunan Paku Buwana XI

(memerintah 1939-1944) segera menyerah kepada pembesar-

pembesar Tentara Jepang. Keluarga raja-raja di Surakarta tidak

berusaha untuk menjauhkan diri mereka dari pemerintah

balatentara Jepang. Keruntuhan ekonomi perkebunan mengakhiri

sumber penting bagi pendapatan kerajaan. Inflasi pun dengan

serius mengurangi daya beli para pegawai kerajaan. Keadaan itu

diperparah dengan kemangkatan Sunan Paku Buwana XI dan

Mangkunagara VII pada 1944. Kemangkatan kedua penguasa itu

menimbulkan perasaan disintegrasi yang semakin memuncak

karena krisis pergantian tahta di dua istana. Selanjutnya, Sunan

Paku Buwana XI digantikan oleh putranya yang berusia belasan

tahun, tidak berpengalaman, tanpa perhatian pada kegiatan

politik dan bahkan pada kegiatan apa pun kecuali kesenangan-

kesenangan pribadinya. Sunan Paku Buwana XII (lahir 1925,

14Wasino, “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja

Mangkunagaran: Studi tentang Strategi Pemerintahan Tradisional

dalam Menanggapi Perubahan Sosial (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)” (Tesis Sarjana S-2 Sejarah Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 1994), hlm. 248-257.

Page 8: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

8

memerintah 1944-2004) yang masih muda itu dengan mudah

dikuasai oleh Ibu Suri dan sekutu-sekutunya. Demikian pula di

Mangkunagaran, Mangkunagara VII juga meninggalkan pengganti

yang masih muda dan tanpa pengalaman, Mangkunagara VIII

(lahir 1920, memerintah 1944-1987), serta didominasi oleh

pegawai-pegawai istana yang lebih tua dan konservatif.15

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, keberadaan

Kasunanan dan Mangkunagaran Surakarta masih mendapatkan

pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia dengan pemberian

status Surakarta sebagai daerah swapraja; suatu kekuasaan

istimewa seperti yang juga diberikan kepada Kasultanan dan

Pakualaman di Yogyakarta. Namun demikian, dalam

perkembangan, kedua penguasa di daerah swapraja itu (Sunan

Paku Buwana XII dan Mangkunagara VIII) tidak bersimpati pada

Revolusi. Mereka tidak mengambil tindakan yang progresif, yang

mengakibatkan dua-duanya kehilangan kesetiaan dari rakyatnya.

Berbeda dari rencana semula pemerintah pusat yang akan

membentuk sebuah Daerah Istimewa di Surakarta, pada 1946

baik Kasunanan maupun Mangkunagaran dilucuti dari otonomi

15Ben Anderson, Revoloesi Pemuda: Pendudukan Jepang dan

Perlawanan di Jawa, terjemahan Pustaka Sinar Harapan

(Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 385.

Page 9: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

9

pemerintahannya, daerah swapraja dibekukan dan pada 1950

akhirnya keduanya menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah.16

Ketika Kasunanan sudah kehilangan pamor-nya setelah

kemangkatan Sunan Paku Buwana X (1939) dan Mangkunagaran

kehilangan seorang patron budaya yang giat dan kreatif setelah

kemangkatan Mangkunagara VII (1944), serta para penggantinya

tidak lagi memiliki kekuasaan politik sejak kehilangan status

daerah istimewa, bagaimana perkembangan kebudayaan Jawa

Surakarta pada periode selanjutnya?

Di tengah-tengah kondisi itu dalam kenyataannya di dunia

kebudayaan Jawa, gaya Surakarta tampil lebih dominan dalam

konteks makro keindonesiaan dibandingkan dengan Yogyakarta.

Sebagai contoh adalah seni pertunjukan tradisi Jawa Surakarta

yang mencakup karawitan, tari, dan pedhalangan tampak

berkembang lebih dinamis dan mewarnai kehidupan kebudayaan

Jawa dalam panggung Indonesia pada masa kemerdekaan.

Sehubungan dengan itu, studi ini dilakukan untuk mencari

penjelasan tentang tampilnya kebudayaan Jawa Surakarta

pascakeruntuhan kekuasaan politik Kasunanan dan

Mangkunagaran.

16Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta 1945-1953

(Surakarta: Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953),

hlm. 1-31.

Page 10: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

10

Studi ini menarik untuk dilakukan karena sepanjang

pengetahuan penulis belum ada kajian sejarah yang memfokuskan

pada topik tersebut. Studi-studi yang telah dilakukan oleh para

sarjana seni pertunjukan yaitu Kriswanto17 dan Soemaryatmi18

lebih memberikan penjelasan estetis terhadap fenomena tampilnya

seni pertunjukan (karawitan dan tari) gaya Surakarta sehingga

lebih diminati oleh masyarakat luas, dan dapat mendominasi

kehidupan seni karawitan dan tari di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam konteks yang lebih luas studi ini penting untuk

dilakukan karena dapat digunakan untuk memahami persoalan-

persoalan pengelolaan warisan budaya bangsa Indonesia,

khususnya yang berkaitan dengan kedudukan kebudayaan daerah

dalam pembangunan kebudayaan Indonesia moderen. Dalam

konteks kekinian studi ini juga akan menemukan relevansinya

ketika eksistensi kebudayaan daerah di Indonesia semakin

termajinalisasi seiring dengan perubahan sosial yang cepat sebagai

akibat dari adanya proses globalisasi. Eksistensi kebudayaan

daerah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian. Melalui studi

17Kriswanto, Dominasi Karawitan Gaya Surakarta di Daerah

Istimewa Yogyakarta (Surakarta: ISI Press, 2008).

18Soemaryatmi, “Kehadiran Tari Gaya Surakarta di Daerah

Istimewa Yogyakarta” (Tesis Sarjana Strata 2 pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora,

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998).

Page 11: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

11

ini akan dapat diketahui kebijakan kebudayaan yang harus

dilakukan untuk menyelamatkan eksistensi kebudayaan daerah di

Indonesia saat ini.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas tentang langkah-langkah strategis yang

dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Negara dalam hal

ini direpresentasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Daerah Surakarta, dan masyarakat direpresentasikan

oleh para tokoh dan anggota masyarakat yang terhimpun dalam

perkumpulan, serta masyarakat keraton (Kasunanan dan

Mangkunagaran).

Langkah-langkah strategis itu perlu dilakukan karena adanya

kebutuhan untuk mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta

yang merupakan kebudayaan daerah dalam rangka pembangunan

kebudayaan Indonesia seiring dengan terbentuknya negara bangsa

Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini akan memfokuskan

pada kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan

untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa

Surakarta. Namun demikian, tidak semua unsur kebudayaan

akan dibahas dalam disertasi ini. Perhatian akan diberikan pada

unsur kebudayaan Jawa Surakarta yang paling menonjol dan

Page 12: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

12

banyak mendapatkan perhatian dalam rangka pelestarian dan

pengembangannya, yaitu seni pertunjukan tradisi keraton.

Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini akan dipandu dengan

lima pertanyaan utama, yaitu:

1. Mengapa perlu upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta?

2. Siapa yang berperan dalam upaya-upaya pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta?

3. Bagaimana upaya-upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta dilakukan?

4. Apa hasil yang diperoleh dari upaya-upaya dalam pelestarian

dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta?

5. Bagaimana periodisasi upaya-upaya pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta?

Secara spasial, Surakarta dijadikan sebagai lokus dari studi

ini. Hal ini tidak lain karena Surakarta merupakan tempat

keberadaan Kasunanan dan Mangkunagaran yang pada masa

sebelum kemerdekaan menjadi pusat kekuasaan politik, ekonomi,

dan budaya, serta ajang pertumbuhan dan perkembangan

kebudayaan Jawa Surakarta pada masa Indonesia merdeka. Di

kota ini juga berdiri lembaga-lembaga kebudayaan yang dibentuk

oleh negara seperti Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta

(1945), Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Surakarta

Page 13: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

13

(1950), perusahaan rekaman Lokananta (1956), Akademi Seni

Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (1964), dan Pusat Kesenian

Jawa Tengah (PKJT, 1970) yang berperan dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta.

Oleh karena studi ini juga membahas tentang wacana dan

kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembangunan

kebudayaan Indonesia, maka pembahasannya akan melampaui

ruang lingkup spasial yang telah ditetapkan. Maka dari itu,

Indonesia juga menjadi ruang lingkup spasial kedua dalam studi

ini. Penetapan ruang lingkup spasial ini juga dilandasi oleh

pemikiran bahwa kiprah dari lembaga-lembaga kebudayaan di

Surakarta melampaui batas administratif kota Surakarta.

Secara temporal, penelitian ini mengambil periode 1950an

sampai dengan 1990-an. Pemilihan dasawarsa 1950an sebagai

titik awal studi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada

1950 Kasunanan dan Mangkunagaran telah benar-benar

kehilangan kekuasaan politik, karena penghapusan swapraja dan

menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah.

Seiring dengan kemerosotan posisi politis dua pusat kebudayaan

Jawa Surakarta itu, dilakukan upaya-upaya untuk

menyelamatkan eksistensi kebudayaan Jawa Surakarta yang

secara kelembagaan ditandai oleh pendirian Kokar di Surakarta

(1950), pemanfaatan RRI Surakarta untuk mengembangkan

Page 14: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

14

kebudayaan daerah [Jawa] (1950), dan pendirian perusahaan

rekaman Lokananta (1956) yang juga berperan dalam

pengembangan kebudayaan daerah dalam rangka pembangunan

kebudayaan nasional.

Sementara itu, dasawarsa 1990-an dijadikan sebagai titik

akhir studi dengan pertimbangan bahwa pada periode itu upaya-

upaya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan

Jawa Surakarta mencapai perkembangan yang signifikan. Hal ini

ditunjukkan dengan beberapa bukti sebagai berikut. Pertama,

Kokar, ASKI, dan PKJT di Surakarta telah berhasil mencetak

seniman-seniman yang andal, menyebar ke berbagai daerah, dan

berkiprah bersama masyarakat dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Selain itu, konsep-

konsep pembaharuan kehidupan seni pertunjukan tradisi keraton

yang diletakkan oleh Humardani selaku pimpinan ASKI dan PKJT

telah menuai hasilnya pada dasawarsa 1990an melalui karya-

karya civitas akademik ASKI dan seniman-seniman yang pernah

terlibat dalam kegiatan-kegiatan PKJT.

Kedua, pada dasawarsa 1990an mata acara siaran kesenian

Jawa RRI Surakarta masih mendapatkan tempat di kalangan

masyarakat Surakarta, walaupun terdapat gejala penurunan.

Setelah itu, dari tahun ke tahun mata acara siaran kesenian Jawa

mengalami penurunan minat pendengar. Selain itu, pada 1990

Page 15: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

15

Lokananta masih menghasilkan kaset rekaman kesenian Jawa,

walaupun merupakan reproduksi dan alih media dari rekaman-

rekaman kesenian Jawa yang pernah dihasilkan.

Ketiga, pada awal dasawarsa 1990-an Kasunanan dan

Mangkunagaran menunjukkan gejala yang semakin nyata

memanfaatkan warisan budaya Jawa Surakarta miliknya untuk

kepentingan pariwisata yang ditandai dengan kemunculan seni

kemasan wisata di kedua istana tersebut.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam studi ini, yaitu:

pertama, menjelaskan peranan negara dan masyarakat dalam

pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta;

kedua, mendeskripsikan kiprah lembaga-lembaga kebudayaan di

Surakarta dalam upaya-upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta; ketiga, mendeskripsikan pencapaian

lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta dalam melestarikan

dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta.

Sementara itu, ada dua manfaat yang diperoleh dari studi ini.

Pertama, secara historiografis studi ini dapat menambah

khasanah historiografi Surakarta, khususnya dalam tema sejarah

kebudayaan. Kedua, hasil studi ini dapat memberikan inspirasi

Page 16: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

16

dan dapat dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan

budaya Jawa di masa kini dan akan datang.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang sejarah Surakarta telah banyak dilakukan oleh

sejarawan. Secara tematik kajian itu dapat dikelompokkan ke

dalam beberapa kategori, yaitu sejarah sosial dan ekonomi,

sejarah sosial dan politik, dan sejarah kebudayaan. Tidak semua

studi itu akan dibahas dalam bagian ini, tetapi hanya beberapa

karya penting saja untuk mengetahui perkembangan historiografi

Surakarta.

Sejarah sosial ekonomi Surakarta telah menjadi subjek

pembahasan Vincent J. Houben dan Suhartono. Dalam disertasi

yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Keraton

dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870,19 Houben

membahas tentang reorganisasi pemerintahan Kerajaan Surakarta

dan Yogyakarta serta daerah mancanagara setelah Perang Jawa

berakhir. Reorganisasi terjadi karena Kasultanan Yogyakarta dan

Kasunanan Surakarta dianggap sebagai pihak yang dinyatakan

kalah dalam Perang Jawa, sehingga pihak tersebut harus

19Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan

Yogyakarta, 1830-1870, terjemahan E. Setiyawati Alkhatab (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002).

Page 17: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

17

merelakan sebagian wilayahnya untuk diserahkan kepada

pemerintah Hindia-Belanda sebagai ganti rugi. Perubahan-

perubahan di kedua kerajaan itu sebagai akibat dari reorganisasi

pemerintahan dan agraria menimbulkan reaksi-reaksi terhadap

pemerintah kolonial Belanda.

Suhartono melalui disertasi yang telah dibukukan berjudul

Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta,

1830-192020 membahas tentang perubahan penguasaan tanah

apanage dan peranan bekel. Oleh karena sistem apanage dianggap

menghambat modernisasi kolonial, maka sistem ini diubah oleh

pemerintah kolonial menjadi sistem pemilikan tanah individual,

sehingga perusahaan perkebunan mendapatkan ekstraksi

maksimal dari petani. Sistem apanage menciptakan peranan bekel

sebagai penebas pajak. Untuk meningkatkan efisiensi penarikan

pajak dari petani, maka pemerintah kolonial mengalihkan

fungsinya sebagai penjaga keamanan desa. Sejak saat itu, bekel

yang semula sebagai penebas dan pengumpul pajak menjadi

pemegang kekuasaan desa.

George Donald Larson, Supariadi, dan Kris Hapsari adalah

para sejarawan yang memberikan perhatian pada studi sejarah

politik Surakarta. Larson dalam disertasi yang juga telah

20Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di

Pedesaan Surakarta, 1830-1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).

Page 18: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

18

diterbitkan dalam buku berjudul Masa Menjelang Revolusi: Kraton

dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 –194221 membahas

tentang keraton dan kehidupan politik di Surakarta. Dalam studi

itu dijelaskan bahwa selama beberapa dasawarsa terakhir dari

masa pemerintahan kolonial, Belanda berusaha untuk

mengadakan perubahan dan mengekang respon politik terhadap

perubahan itu. Belanda bermaksud memperbaiki mutu kehidupan

baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan administratif. Elite

Jawa di Mangkunagaran pada dasarnya menyetujui upaya-upaya

perbaikan itu, walaupun tidak senang terhadap kecenderungan

paternalistis sebagian pegawai Jawa. Sebaliknya, elite Jawa di

Kasunanan Surakarta pada hakikatnya melawan perbaikan yang

dipaksakan oleh Belanda, karena menurut mereka usaha

perbaikan dan modernisasi harus berarti otonomi politik. Pada

tataran rakyat di kedua kerajaan itu ada pula kekesalan yang

meluas terhadap beberapa perubahan yang dipaksakan oleh

Belanda.

Supariadi dalam buku berjudul Kyai dan Priyayi di Masa

Transisi22 yang merupakan penyempurnaan dari tesisnya

21George Donald Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan

Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 –1942, terjemahan A.B. Lapian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).

22Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi (Surakarta:

Pustaka Cakra, 2001).

Page 19: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

19

membahas tentang politik Sunan Paku Buwana IV yang selalu

diarahkan untuk menjatuhkan Kasultanan Yogyakarta dan

melepaskan diri dari pengaruh Kumpeni. Oleh karena kebijakan-

kebijakan Sunan Paku Buwana IV tidak mendapatkan dukungan

dari para bangsawan dan priyayi kerajaan, maka ia mengalihkan

perhatiannya pada kyai yang sebagian menjadi penasihat dan

mewarnai kebijakan-kebijakan politiknya.

Kris Hapsari melalui tesis berjudul “Kasunanan dan

Mangkunegaran di Tengah Kekuatan Radikal Surakarta Tahun

1945-1950”23 membahas tentang upaya-upaya Kasunanan dan

Mangkunagaran untuk mendapatkan status sebagai Daerah

Istimewa Surakarta pada periode Revolusi Indonesia dari sudut

pandang Kasunanan dan Mangkunagaran. Keterlibatan dan

sumbangan Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pergerakan

nasional Indonesia selama tiga dasawarsa akhir pemerintahan

kolonial Belanda di Surakarta, telah terhapus oleh kedekatan

kedua institusi itu dengan Pemerintah Militer Jepang. Hal ini

menimbulkan kesan yang mendalam bagi rakyat Surakarta

terhadap Kasunanan dan Mangkunagaran sebagai monarkhi yang

fasis, karena mendukung program-program Pemerintah Militer

23Kris Hapsari, “Kasunanan dan Mangkunegaran di Tengah

Kekuatan Radikal Surakarta Tahun 1945-1950” (Tesis Program Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas

Diponegoro, 2011).

Page 20: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

20

Jepang yang menindas rakyat. Sikap Sunan Paku Buwana XII dan

Mangkunagara VIII yang pasif ketika penyerahan kekuasaan

Jepang kepada KNID Surakarta semakin memperkuat kesan

bahwa Kasunanan dan Mangkunagaran tidak berpihak kepada

Republik Indonesia. Keyakinan itu mendorong kemunculan

kelompok anti-Kasunanan dan anti-Mangkunagaran yang dalam

perkembangan tumbuh sebagai kelompok antiswapraja dan

bergabung dengan kelompok radikal Surakarta untuk menghapus

Kasunanan dan Mangkunagaran. Perjuangan Kasunanan dan

Mangkunagaran untuk mendapatkan status sebagai Daerah

Istimewa Surakarta selalu mendapatkan penolakan dari kelompok

radikal di Surakarta. Oleh karena tampak tidak mendapatkan

dukungan dari rakyatnya akhirnya pemerintah pusat mencabut

dukungan untuk Kasunanan dan Mangkunagaran dan

menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah.

Dalam kategori sejarah kebudayaan, Darsiti Soeratman,

Kuntowijoyo, dan Rustopo adalah nama-nama yang tidak boleh

diabaikan dalam studi sejarah Surakarta. Darsiti Soeratman

dalam disertasi yang telah diterbitkan menjadi buku berjudul

Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-193924 membahas

keraton sebagai entitas sosial. Sebagai sebuah entitas sosial,

24Darsiti Soeratman, passim.

Page 21: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

21

komunitas keraton melakukan interaksi sosial baik secara

individual maupun secara kolektif. Mereka juga melakukan

interaksi sosial dengan komunitas di luar keraton, yang semakin

banyak dilakukan sesudah raja yang berkuasa bersikap menerima

pendidikan Barat. Setelah Perang Jawa, selama lebih dari seratus

tahun (1830-1939), Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh

empat orang raja, yaitu: Sunan Paku Buwana VII (memerintah

1830-1858) sampai Sunan Paku Buwana X (memerintah 1893-

1939), mengalami penetrasi kolonial semakin mendalam dan

secara terus-menerus terpaksa harus menyerahkan sebagian

wilayah kerajaan kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu

kemudian diikuti dengan penyerahan pengadilan dan kepolisian,

serta pelepasan hak atas tanah sehubungan dengan adanya

reorganisasi agraria. Walaupun Kasunanan Surakarta mengalami

penetrasi politik, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X

peradaban keraton Surakarta mengalami perkembangan yang

sangat halus, rumit, dan terinci, yang oleh Darsiti Soeratman

dengan meminjam istilah gaya seni di Eropa disebut dengan

barokisasi.

Dalam buku berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula25

Kuntowijoyo membahas sejarah sensibilitas masyarakat Surakarta

25Kuntowijoyo, passim.

Page 22: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

22

periode 1900-1915 yang memfokuskan pada raja (Paku Buwana

X), priyayi, dan kawula. Dengan menggunakan pendekatan

psichohistory, ia mampu melihat kepribadian Sunan Paku Buwana

X yang dengan simbol-simbol pribadi dan publiknya telah berhasil

menjadi raja besar. Sementara itu, priyayi dan kawula dikaji

dengan menggunakan pendekatan sejarah mentalitas. Kesetiaan

priyayi pada raja adalah karena perkenalan mereka sejak dini

dengan kekuasaan melalui simbol-simbol bersamaan dengan

sosialisasi. Oleh karena itu, para priyayi mengembangkan budaya

afirmatif. Cara kawula memahami simbol berbeda dari priyayi.

Kekuasaan raja dengan simbol-simbolnya yang telah meluntur di

hadapan kawula dan perilaku priyayi menimbulkan hasrat untuk

melawan secara diam-diam, yang kemudian terbentuklah impian

untuk melawan dalam wujud budaya tandingan.

Sementara itu, dalam buku yang berasal dari disertasinya

dengan judul Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan

Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998,26 Rustopo membahas

tentang interaksi sosial dan kultural antara orang-orang Tionghoa

dan Jawa di Surakarta sejak akhir abad XIX sampai sepanjang

abad XX. Dalam interaksi sosial mereka sering kali terjadi

26Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan

Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998 (Yogyakarta: Ombak-

Yayasan Nabil, 2007).

Page 23: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

23

kesenjangan yang bersifat laten dan kadang-kadang menjadi

penyulut timbulnya kerusuhan; sedangkan dalam interaksi

kultural, orang-orang Tionghoa tertentu melebur ke dalam nilai-

nilai dan unsur-unsur kebudayaan Jawa. Tanpa mengabaikan

realitas sosial tersebut, buku itu memfokuskan pada proses

interaksi kultural antara orang-orang Tionghoa dengan

kebudayaan Jawa, yang pada akhirnya menjadikan mereka

sebagai orang-orang Tionghoa yang “menjadi Jawa”.

Tema tentang politik kebudayaan telah menjadi perhatian

dari para antropolog dan ahli seni pertunjukan. James T. Siegel

dan John Pemberton merupakan dua antropolog yang telah

melakukan studi tentang politik kebudayaan dengan mengambil

ruang lingkup spasial Surakarta. Dalam Solo in the New Order:

Language and Hierarchy in Indonesian City27 Siegel membahas

tentang pengorganisasian dan penataan masyarakat Jawa dengan

mengikuti hirarki bahasa Jawa Krama dan Jawa Ngoko. Dalam

pandangan Siegel, bahasa Jawa memperlihatkan karakteristik

sebagai dua bahasa, ialah bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa

Krama. Sesuai dengan karakteristik itu, ada dua proses yang

berlangsung dalam kerja bahasa, yaitu penerusan dan

27James T. Siegel, Solo in the New Order: Language and

Hierarchy in an Indonesian City (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1986).

Page 24: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

24

penerjemahan. Penerjemahan dalam hal ini merupakan persoalan

sentral bagi orang Jawa karena berkait dengan usaha menetapkan

tempat „orang lain‟ (the others) dalam diskursus kejawaan dan

dalam memantapkan hirarki sosial dan politik seseorang atau

sekelompok orang dalam struktur masyarakat Jawa. Orang Jawa

selalu merasa perlu untuk menerjemahkan bahasa Jawa Ngoko ke

dalam bahasa Jawa Krama, tetapi tidak sebaliknya. Hal itu

dilakukan dalam rangka “menjadi Jawa” menurut kriteria dalam

masyarakat atau kebudayaan Jawa. Seseorang oleh karenanya

tidak dapat membicarakan orang Jawa tanpa menetapkan posisi

hirarkis dirinya terhadap lawan bicara.

Sementara itu, John Pemberton dalam karyanya “Jawa”: On

The Subject of “Java”28 membahas tentang kondisi-kondisi

kesejarahan yang menjadi wahana bagi kemunculan wacana

kebudayaan pada masa kolonial dan pascakolonial. Dengan

menelaah manuskrip-manuskrip Jawa masa akhir abad XIX,

Pemberton membahas kondisi-kondisi pembentukan pengetahuan

di Jawa sejak awal kekuasaan kolonial Belanda. Ia menyatakan

bahwa 1830 merupakan suatu tonggak yang disebut sebagai

kesadaran kultural Jawa yang ditandai dengan tumbuhnya

religiusitas, pemikiran, sejarah sastra dan seni. Sementara itu,

28John Pemberton, “Jawa”; On The Subject of “Java”,

terjemahan Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003).

Page 25: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

25

dengan menggunakan catatan etnografis tentang pemilu,

pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, dan upacara

perkawinan ia menjelaskan tentang adanya pencitraan kultural

Orde Baru untuk menutupi kekerasan yang dilakukan oleh militer

pada 1965.

Joergen Hellman dalam disertasinya yang berjudul “Longser

Antar Pulau: Indonesian Cultural Politics and the Revitalisation of

Traditional Theatre”29 membahas tentang penggunaan seni dan

penghidupan kembali teater tradisional pada masa pemerintahan

Orde Baru. Longser Antar Pulau merupakan kelompok mahasiswa

Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang

anggotanya terdiri atas berbagai etnis. Mereka menggelar

pertunjukan longser tradisional (tanpa naskah) dengan

menggunakan bahasa Indonesia. Lakon-lakon yang mereka

tampilkan selalu mengandung muatan kritik kepada pemerintah

yang dilontarkan secara terselubung.

Julianti Parani dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia:

Suatu Politik Budaya30 membahas tentang seni pertunjukan

29Joergen Hellman, “Longser Antar Pulau: Indonesian Cultural

Politics and the Revitalisation of Traditional Theatre” (Department

of Social Anthropology, University of Goteborg, Sweden, 1999). 30Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik

Budaya (Jakarta: Penerbit Nalar-Kajian Seni Pertunjukan Institut

Kesenian-Kelola, 2011).

Page 26: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

26

sebagai politik kebudayaan. Melalui studi untuk mendapatkan

gelar doktor dalam bidang antropologi, ia menganalisis

perkembangan seni pertunjukan dalam lingkup budaya politik

yang berkembang pada zamannya. Salah satu bentuk seni

pertunjukan sebagai politik kebudayaan adalah penetapan

Serampang Duabelas sebagai “Tari Nasional”.

Kebijakan budaya Indonesia telah menjadi perhatian dari Tod

Jones dalam disertasi berjudul “Indonesian Cultural Policy, 1950-

2003: Culture, Institution, Government”.31 Ia mengkaji kebijakan

budaya di Indonesia dengan fokus pada kebijakan budaya

Pemerintah Republik Indonesia dari 1950 hingga 2003.

Pembahasan difokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan

Pemerintah Republik Indonesia dari era Soekarno sampai dengan

era Reformasi. Kebijakan budaya pada era Soekarno antara lain

diarahkan untuk membentuk sintesis baru dari budaya nasional

Indonesia. Kebijakan budaya selama era Orde Baru menolak

'politisasi' budaya sebagaimana dilakukan oleh Soekarno.

Kebijakan budaya pada era Orde Baru diarahkan untuk

mendukung pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, Orde Baru

memperkuat peran negara dalam memberikan bimbingan budaya.

31Tod Jones, “Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture,

Institution, Government”31 (Thesis is presented for Degree of Doctorate of Philosophy of Curtin University of Technology Perth,

2005).

Page 27: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

27

Kebudayaan Indonesia dikembangkan untuk melindungi nilai-nilai

budaya Indonesia. Pada era Reformasi terjadi perubahan

kebijakan budaya yang ditandai oleh adanya pemisahan bidang

kebudayaan dari bidang pendidikan. Meskipun terjadi perubahan

organisasi, namun wacana budaya era Orde Baru pada umumnya

masih terus mendominasi kebijakan budaya di Indonesia pada era

desentralisasi. Desentralisasi menciptakan kemungkinan

pluralitas kebijakan budaya di seluruh Indonesia, karena

pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola

kebijakan budaya.

Tokoh-tokoh seniman dari dalam dan luar kota Surakarta

yang telah berkiprah dalam pelestarian dan pengembangan

kesenian gaya Surakarta telah mendapatkan perhatian dari para

ahli seni pertunjukan dalam bentuk penulisan biografi dan

pengkajian seni pertunjukan. Dua studi yang perlu disebut di sini

adalah yang dilakukan oleh Rustopo dan Waridi karena secara

tematik memiliki kedekatan dan relevansi dengan studi yang

dilakukan oleh penulis. Rustopo dalam buku yang berasal dari

tesisnya untuk mendapatkan kesarjanaan strata 2 berjudul

Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni

Page 28: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

28

Tradisi Modern32 membahas tentang biografi Gendhon Humardani.

Pembahasannya difokuskan pada pandangan, gagasan, dan

kiprah Gendhon dalam mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa

yang moderen mengindonesia. Oleh karena ketokohannya dalam

pengembangan seni tradisi Jawa, maka Rustopo menyebutnya

sebagai sang gladiator.

Sementara itu, Waridi dalam buku yang merupakan bagian

dari disertasinya dengan judul Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu

Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-

1970-an (Ki Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda)33

membahas tentang gagasan dan kekaryaan tiga empu karawitan

yang menjadi pilar-pilar penyangga kehidupan karawitan Jawa

Surakarta periode 1950-1970an, yaitu Martopangrawit,

Tjokrowasito, dan Nartosabdho. Selain menghasilkan karya-karya

berupa gendhing, Martopangrawit memiliki sumbangan yang besar

dalam membangun konsep dan teori karawitan. Tjokrowasito

menjadi pelopor dalam pembaruan karawitan Jawa melalui karya-

32Rustopo, Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek

Kehidupan Seni Tradisi Modern (Yogyakarta: Yayasan Mahavhira, 2001).

33Waridi, Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-1970-an (Ki Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda) (Bandung-

Surakarta: Etnoteater Publisher, BACC Kota Bandung, Pascasarjana ISI Surakarta, 2008).

Page 29: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

29

karya gendhing-gendhing. Sementara itu, Nartosabdho merupakan

komponis yang kreatif dan produktif dalam menghasilkan dan

menggubah gendhing-gendhing Jawa. Mereka dengan caranya

masing-masing telah terbukti menjadi pilar-pilar penyangga

kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta dalam periode 1950-

1970an.

Dari tinjauan pustaka di atas tersirat beberapa hal yang

penting untuk disampaikan. Pertama, walaupun kajian sejarah

Surakarta telah banyak dilakukan oleh para sejarawan, namun

tidak satu pun telah memberikan perhatian pada tema tentang

politik kebudayaan Jawa. Kedua, tema politik kebudayaan telah

dijadikan fokus kajian oleh para antropolog dan ahli seni

pertunjukan. Ketiga, biografi tokoh-tokoh seniman telah dijadikan

sebagai subjek kajian oleh para ahli seni pertunjukan. Namun

demikian, menurut penulis, studi yang secara khusus

memfokuskan pada politik kebudayaan Jawa Surakarta dalam

periode 1950an-1990an sebagai sebuah studi sejarah belum

dilakukan. Oleh karena itu, topik disertasi ini dapat dikatakan

memiliki orisinalitas.

E. Kerangka Konseptual

Menurut Ignas Kleden, pembicaraan tentang politik kebudayaan,

maka yang dimaksud pertama-tama bukanlah sesuatu yang

Page 30: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

30

langsung berhubungan dengan perimbangan atau perebutan

kekuasaan, tetapi lebih berhubungan dengan kebijakan-kebijakan

yang diambil dalam hubungan dengan arah perkembangan

budaya dan syarat-syarat yang harus diadakan untuk mencapai

tujuan tersebut.34 Sejalan dengan pandangan itu, menurut van

Peursen, kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan kebudayaan

itu dapat dipahami sebagai strategi kebudayaan; suatu rencana

yang mampu membimbing dan mengarahkan perkembangan

kebudayaan untuk mencapai suatu kondisi di masa depan yang

lebih baik. Oleh karena kebudayaan merupakan suatu proses

belajar, maka kreativitas dan penemuan merupakan dua faktor

penting yang saling berkaitan dalam perkembangan kebudayaan.35

Sehubungan dengan hal itu, Ignas Kleden mengatakan bahwa

pendidikan merupakan sektor yang amat menentukan bagi

perkembangan kebudayaan. Setiap usaha pendidikan sekurang-

kurangnya mempunyai dua jenis kaitan dengan kebudayaan.

Pertama, melalui pendidikan -- nilai-nilai dan kepandaian-

kepandaian yang telah dikembangkan dalam suatu kebudayaan

34Ignas Kleden, “Ontologi Kebudayaan atau Politik

Kebudayaan?” http://rajasidi.multiply.com/journal/item/1423 (diunduh pada 22 Juli 2010)

35C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta:

Kanisius, terjemahan Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1988,

edisi kedua cetakan ke-21).

Page 31: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

31

dapat dipertahankan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi.

Kedua, pendidikan diharapkan dapat mendorong perkembangan

daya cipta setiap peserta didik untuk memajukan perkembangan

budaya melalui apresiasi budaya yang baik, maupun melalui

kesanggupan menciptakan inovasi-inovasi dalam kebudayaan

yang dapat memberi watak baru kepada suatu kebudayaan.36

Pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan yang dapat

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan merupakan

langkah penting untuk sebuah perkembangan kebudayaan.37

Roy Wagner dalam bukunya yang berjudul The Invention of

Culture, menjelaskan bahwa inovasi memegang peranan penting

dalam perkembangan kebudayaan. Tradisi dan inovasi memiliki

hubungan dialektik, karena tanpa inovasi tradisi tidak dapat

diteruskan. Sehubungan dengan hal itu, inovasi dapat dilakukan

dengan dua orientasi. Pertama, inovasi dapat dilakukan dengan

mengacu pada aturan atau konvensi yang berlaku pada tradisi.

Kedua, inovasi dapat dilakukan tanpa berpijak pada tradisi atau

36Ignas Kleden, “Ontologi Kebudayaan atau Politik

Kebudayaan?” http://rajasidi.multiply.com/journal/item/1423 (diunduh pada 22 Juli 2010).

37Antonio Gramsci, Sejarah dan Budaya, terjemahan Ira

Puspitorini dkk. (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hlm. 182-185.

Page 32: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

32

mengacu pada hal-hal baru yang tidak konvensional. Kedua

bentuk inovasi itu membawa implikasi perubahan kebudayaan.38

Nunggak semi merupakan salah satu konsep pengembangan

kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Secara harfiah

tunggak semi berarti tonggak yang bersemi. Dalam konteks

pengembangan kebudayaan, tunggak melambangkan kebudayaan

tradisional; dan semi melambangkan pertumbuhan dan

perkembangan kebudayaan tradisional. Dengan demikian,

nunggak semi adalah suatu konsep pengembangan kebudayaan

yang masih berpijak pada kebudayaan yang lama.39 Dengan

mengikuti pandangan Wagner, nunggak semi merupakan inovasi

yang mengacu pada tradisi, sehingga menghasilkan perubahan

yang dianggap sebagai “perbaikan” oleh para pendukung tradisi.

Sementara itu, menurut Sal Murgiyanto, inovasi yang mengacu

pada hal-hal di luar tradisi, hasilnya sering tidak senada dengan

konvensi yang berlaku. Inovasi dengan orientasi ini akan

menghasilkan perubahan yang sering kali dianggap “menyimpang”

38Roy Wagner, The Invention of Culture (Chiccago: University of

Chicago Press, 1981), hlm. 41-51 melalui Sal Murgiyanto, Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004), hlm. 3.

39Rustopo, Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro

(Yogyakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2008), hlm. 96-97.

Page 33: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

33

dari konvensi atau “merusak” tradisi,40 yang dalam lingkungan

masyarakat Jawa pendukung tradisi dimanifestasikan dalam

ungkapan “nyebal saka pakem/ waton” atau “nerak paugeran”.

Sehubungan dengan hal itu, Edi Sedyawati berpendapat,

bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan timur pada umumnya,

yang dianggap lebih mulia adalah bukan kemampuan untuk selalu

berubah, melainkan tetap melestarikan nilai-nilai luhur warisan

bangsa meskipun terdapat perubahan. Dengan demikian,

pengembangan bukan terlihat sebagai perubahan-perubahan yang

silih berganti, melainkan sebagai pendalaman, perluasan, dan

pencanggihan dari suatu yang telah ada.41 Dengan kata lain,

dalam konteks ini pengembangan kebudayaan dilakukan dengan

konstruksi dan reproduksi kebudayaan.42

Seperti telah disebutkan pada bagian permasalahan dan

ruang lingkup, studi ini hanya memfokuskan pada bidang seni

pertunjukan tradisi keraton. Pemilihan fokus pembahasan ini juga

didasari oleh pertimbangan bahwa seni merupakan unsur yang

40Murgiyanto, loc. cit.. 41Edi Sedyawati, Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1

Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007), hlm. 37.

42Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Page 34: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

34

dapat menampilkan sifat khas kebudayaan suatu masyarakat.43

Dengan demikian, unsur kebudayaan Jawa itu dipilih karena

dianggap dapat merepresentasikan kebudayaan Jawa Surakarta.

“Jawa Surakarta” merupakan suatu konsep yang digunakan

untuk memberi nama salah satu dari dua varian utama dalam

kebudayaan Jawa setelah Perjanjian Giyanti 1755, selain “Jawa

Yogyakarta”. Istilah itu digunakan untuk merujuk kepada

kebudayaan Jawa yang berkembang di Surakarta, khususnya

yang berkembang di Kasunanan dan Mangkunagaran. Dalam

bidang seni pertunjukan tradisi Jawa istilah itu juga dapat

dipertukarkan penggunaannya dengan “gaya Surakarta”.

F. Sumber Penulisan

Disertasi ini disusun dengan menggunakan metode sejarah dan

memanfaatkan berbagai macam sumber yang mencakup sumber

tertulis sezaman, sumber lisan, sumber visual, audio visual,

historiografi, dan kajian seni pertunjukan.44 Penggunaan berbagai

macam sumber itu didasari oleh dua pertimbangan. Pertama,

43Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan

Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 109.

44Tentang metode dan jenis-jenis sumber sejarah lihat Gilbert

J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, 1957), hlm. 103-123.

Page 35: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

35

tidak semua realitas masa lampau terekam dalam sumber tertulis;

dan kedua, sifat topik yang dipilih tampaknya mengharuskan

untuk menggunakan berbagai macam sumber, sehingga fakta-

fakta yang diperoleh akan menjadi lebih lengkap.

Arsip-arsip yang digunakan dalam studi ini merupakan

khazanah-khazanah sumber yang tersimpan di Reksa Pustaka dan

Reksa Wilapa Istana Mangkunagaran, Kokar, PKJT/TBS, dan

Lokananta di Surakarta, serta Arsip Nasional Republik Indonesia

di Jakarta. Sumber-sumber itu digunakan untuk merekonstruksi

aspek-aspek formal dari lembaga-lembaga kebudayaan yang

berperan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa

Surakarta.

Sumber tertulis sezaman lain yang penting adalah koran,

majalah, dan penerbitan resmi sebuah lembaga. Di dalam ketiga

jenis sumber itu dapat diperoleh rekaman peristiwa (reportase),

pandangan, pendapat, dan opini penulisnya, serta programa

tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa

Surakarta. Penelusuran sumber koran, majalah, dan penerbitan

resmi terutama dilakukan di Perpustakaan Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Perpustakaan KITLV Leiden ketika penulis

mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Sandwich-like Program

2012 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi. Sumber-sumber koran itu adalah Dharma Kanda,

Page 36: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

36

Kedaulatan Rakyat, Parikesit, Solo Pos, dan Suara Merdeka.

Sumber majalah mencakup Budaja, Djaka Lodhang, Jaya Baya,

Mahabharata Kawedar, Mekar Sari, Mimbar Indonesia, Mutiara,

Pandjangmas, Parikesit, Pedalangan, Pengemban Amanat Allah dan

Umat, dan Zenith. Sementara itu, penerbitan resmi meliputi Berita

Radio, Mingguan Radio, dan Mekas (Media Karaton Surakarta).

Sumber lisan diperoleh dengan metode sejarah lisan melalui

kegiatan wawancara dengan pelaku-pelaku dan saksi-saksi

sejarah. Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam

mengembangkan substansi penulisan sejarah.45 Dalam konteks

sumber, sejarah lisan mampu memiliki keunggulan komparatif

baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang hal yang telah

tercakup dalam sumber tertulis sekalipun.46 Beberapa informan

yang diwawancarai merupakan pelaku dan saksi sejarah dari

lembaga-lembaga kebudayaan seperti Kokar, ASKI, Lokananta,

dan RRI Surakarta.

Sumber visual yang digunakan berupa foto dan sampul

piringan hitam/ kaset. Penggunaan foto dan sampul piringan

hitam/kaset didasari oleh pertimbangan bahwa keduanya dapat

45Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2003), hlm. 29-30.

46Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi

Indonesiasentris?! (Yogyakarta, Ombak, 2006), hlm. 72.

Page 37: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

37

membantu sejarawan dalam memahami masa lampau dan

merupakan sumber-sumber tambahan untuk menyusun sejarah.47

Sementara itu, satu jenis sumber yang tidak boleh diabaikan

dalam penulisan sejarah yang mencakup periode akhir abad XX

adalah sumber audiovisual. Walaupun menurut Nordholt dan

Steijlen sumber audiovisual sangat penting untuk penulisan

sejarah kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad XXI,48

namun menurut penulis, sumber audiovisual juga penting untuk

penulisan tema-tema atau topik-topik tertentu sejarah Indonesia

pada akhir abad XX, seperti sejarah seni pertunjukan dan politik

kebudayaan Jawa Surakarta yang sedang menjadi perhatian

penulis. Ada dua film dokumenter yang digunakan dalam studi ini,

yaitu “Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi”

karya I.G.P. Wiranegara49 dan “Paku Buwana XII dan

47Jean Gelman Taylor, “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930”, dalam

Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008), hlm. 314 dan 321.

48Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen, “Don‟t Forget to

Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di

Indonesia pada Abad XXI”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

49I.G.P. Wiranegara, “Paku Buwana XII: Berjuang untuk

Sebuah Eksistensi” (Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian

Jakarta, 2004).

Page 38: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

38

Hardjonagoro” karya Rustopo.50 Kedua sumber itu sangat

bermanfaat untuk memahami kondisi dan perjuangan Keraton

Surakarta dalam menegakkan eksistensinya sebagai pusat

kebudayaan Jawa.

Historiografi tentang Surakarta dan studi-studi yang telah

dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dari berbagai bidang

yang relevan, terutama pengkajian seni pertunjukan merupakan

sumber-sumber yang melengkapi studi ini. Kajian-kajian seni

pertunjukan yang dilakukan oleh para dosen STSI/ISI Surakarta

dan ISI Yogyakarta tentang kebudayaan Jawa yang sebagian

menggunakan perspektif atau pendekatan historis sangat

membantu dalam rekonstruksi sejarah.

G. Sistematika

Disertasi ini terdiri atas enam bab yang diawali dengan BAB I

Pengantar yang berisi uraian tentang latar belakang,

permasalahan dan ruang lingkup kajian yang merupakan dasar

untuk pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Selain itu, dalam

bab ini disajikan kerangka pemikiran dan sumber-sumber yang

digunakan untuk pembahasan permasalahan.

50Rustopo, “Paku Buwana XII dan Hardjonagoro” (Studio 19

Surakarta, 2005).

Page 39: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

39

Dalam BAB II dengan judul “Warisan Sosiokultural dan

Perubahan di Surakarta Pasca-Proklamasi Kemerdekaan” dibahas

tentang masyarakat Surakarta dan kebudayaannya baik yang

berkembang di dalam maupun di luar keraton. Pembahasan dalam

bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang keruntuhan

kekuasaan tradisional yaitu Kasunanan dan Mangkunagaran yang

menjadikan dua-duanya kehilangan kekuasaan politik dan

ekonomi, sehingga hanya menjadi pusat kebudayaan Jawa saja.

Keterbatasan-keterbatasan Kasunanan dan Mangkunagaran

dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa pada awal

kemerdekaan mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan

untuk menyelamatkan warisan budaya kedua keraton tersebut.

Kebijakan dan upaya-upaya untuk melestarikan kebudayaan Jawa

itu dimanifestasikan dengan pembentukan pusat-pusat

kebudayaan di Surakarta yang meliputi Kokar, ASKI, dan PKJT di

Surakarta. Uraian pembahasan tentang latar belakang dan proses

pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan itu, serta kebijakan-

kebijakan dan kiprahnya dalam pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta disajikan dalam BAB III dengan judul

“Pembentukan Pusat-Pusat Kebudayaan Jawa di Surakarta”.

Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan

Jawa Surakarta tidak hanya dilakukan dengan pembentukan

pusat-pusat kebudayaan Jawa di Surakarta saja. Lembaga-

Page 40: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

40

lembaga kebudayaan yang telah ada pada awal kemerdekaan

seperti RRI Surakarta dan pada periode berikutnya Lokananta

juga dimanfaatkan untuk mendukung hal itu. Selain untuk

kepentingan pelestarian dan pengembangan, kedua lembaga

kebudayaan ini juga memiliki peran penting dalam

penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta, khususnya dalam

bidang seni pertunjukan. Penyebarluasan kebudayaan Jawa

Surakarta juga ditopang oleh adanya penerbitan berbahasa Jawa

dan panggung pertunjukan wayang wong Sriwedari yang mampu

memikat dan menarik perhatian masyarakat Jawa. Uraian

pembahasan tentang hal tersebut disajikan dalam BAB IV dengan

judul “Penyebarluasan Kebudayaan Jawa Surakarta”.

Kasunanan dan Mangkunagaran tentunya tidak tinggal diam

ketika keduanya kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi.

Dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa sejak awal

kemerdekaan dua lembaga itu terus berjuang untuk menegakkan

eksistensinya sebagai pusat kebudayaan. Dengan caranya masing-

masing keduanya telah melakukan upaya-upaya untuk

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa yang

tumbuh dan berkembang di kedua istana tersebut. Kiprah

Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa berkontribusi dalam penegakan

eksistensi Surakarta sebagai pusat kebudayaan. Uraian tentang

Page 41: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88615/potongan/S3-2015... · sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan ... perkembangan yang pesat di tangan

41

hal itu disajikan dalam BAB V dengan judul “Keraton dan

Penegakan Eksistensi Surakarta sebagai Pusat Kebudayaan Jawa”.

Studi ini diakhiri dengan BAB VI Simpulan yang menyajikan

jawaban permasalahan dan temuan penting dari penelitian yang

dilakukan.