BAB II - repository.uksw.edu€¦ · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . A. Kajian Pustaka . 1. Tinjauan...
Transcript of BAB II - repository.uksw.edu€¦ · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . A. Kajian Pustaka . 1. Tinjauan...
-
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Perjanjian
Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan,yang berasal dari
bahasa Belanda yakni overeenkomst.1 Perjanjian adalah suatu peristiwa yang
terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu.2
Menurut Subekti perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji
melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Dari ketentuan mengenai perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata serta
syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat diambil
pengertian bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan
ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dimana perjanjian tersebut
dilakukan dengan sepakat tanpa ada suatu paksaan baik itu dari salah satu pihak
yang mengadakan perjanjian maupun dari pihak yang tidak terlibat dalam
perjanjian tersebut. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang
diartikan dengan perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
Teori baru tersebut menurut Salim H.S., tidak hanya melihat perjanjian
semata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau
1 Leli Joko Suryono, 2014, Pokok-Pokok Perjanjian Indonesia, Yogyakarta, LP3M UMY, hlm 43
2 Wawan Muhwan Hariri, 2011,Hukum Perikatan, Bandung, CV Pustaka Setia, hlm 119
-
11
yang mendahuluinya.3 Beberapa pakar hukum perdata mengemukakan
pandangannya terkait definisi hukum perjanjian, sebagai berikut:4
Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak,
dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk
melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak
yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.
M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa perjanjian mengandung
suatu pengertian yang memberikan suatu hak pada suatu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.
Subekti, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih
saling berjanji untuk melakukan sesuatu.
Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum, yang berisi dua (een twezijdige overeenkomst) yang
didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Adapun yang dimaksud dengan suatu perbuatan hukum yang berisi dua atau tidak
lain adalah satu perbuatan hukum yang meliputi penawaran dari pihak yang satu
dan penerima dari pihak lain. Artinya perjanjian tidak merupakan satu perbuatan
hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang yang
bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Bedasarkan beberapa definisi perjanjian-perjanjian tersebut diatas maka dapat
3 Vandune,Wawan Muhwan Hariri, dalam Ibid hlm. 120
4 Ratna Artha Windari, 2014,Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 2
-
12
disimpulkan bahwa suatu perjanjian dapat menjadi suatu perbuatan hukum jika
ada kata sepakat kedua belah pihak.
2. Asas-asas Perjanjian
Asas merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar
belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat didalam dan dibelakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditentukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan tersebut.
Adapun asas-asas hukum yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam
pembuatan dan pelaksanaan perjanjian adalah sebagai berikut :
Asas pada saat membuat suatu perjanjian.
Asas Konsensualisme
Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (concensus)
dari pihak-pihak Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak terikat
bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup melalui konsesus belaka.5
Pada asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 butir (1) KUH Perdata yang
berarti bahwa pada asasnya perjanjian itu timbul atau sudah dianggap lahir sejak
detik tercapainya konsensus atau kesepakatan.6 Dengan kata lain perjanjian itu
sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara
para pihak, mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa
perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan maupun secara tulisan berupa akta
jika dikehendaki sebagai alat bukti. Undang-undang menetapkan pengecualian,
5 Ibid hlm 89-90.
6 Evi Ariyani, 2013, Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Ombak, hlm. 13 12R. Subekti, 2001,Hukum Perjanjian,
Jakarta PT. Intermasa, hlm. 15.
-
13
bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara
tertulis (perjanjian perdamaian atau dengan Akta Notaris).
3. Syarat sah nya Perjanjian
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka
perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Suatu hal tertentu;
Suatu sebab yang diperkenankan.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat
tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena
kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.7 Tidak dipenuhinya syarat
subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
Maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal apabila ada yang memohonkan
pembatalan. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan
perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Arti nya sejak semula dianggap
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.8
Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang
undang Hukum Perdata, yaitu:
a. Kesepakatan (Toesteming) kedua belah pihak
7 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 175-177. 8 Ibid.
-
14
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang undang
Hukum Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang
sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui
orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu
dengan9
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu
dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan
perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para
pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa dikemudian
hari.10
b. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
9 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta, Fakultas Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, hlm.7. 10
Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika hlm.33.
-
15
akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-
orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan diatur dalam Pasal 1329 KUH Perdata, “Setiap orang adalah
cakap, untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tak cakap”. Dalam Pasal Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan, bahwa
yang dimaksud dengan tidak cakap hukum untuk membuat suatu perjanjian
adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan
3) Istri. Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Buku III KUH Perdata tentang Perikatan tidak
menentukan tolak ukur kedewasaan tersebut.
Ketentuan tentang batasan umur ditemukan dalam Buku I KUH Perdata
tentang Orang. Berdasarkan Buku I KUH Perdata Pasal 330, seseorang dianggap
dewasa jika dia telah berusia 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum perjanjian Indonesia tidak
menentukan batasan umur untuk menentukan kedewasaan. Batasan umur sebagai
tolak ukur kedewasaan tersebut diatur dalam hokum perorangan atau hukum
keluarga. Kemudian belakangan, pengaturan mengenai batas kedewasaan juga
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sekalipun tidak secara tegas mengatur “umur dewasa” berdasarkan Undang-
-
16
Undang Perkawinan.11
Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
secara tidak langsung menetapkan batas umur kedewasaan ketika menetapkan
anak yang belum mencapai 18 (delapanbelas) tahun atau belum melangsungkan
perkawinan ada di bawah pengawasan orang tua mereka. Demikian pula dengan
mereka yang berada di bawah kekuasaan wali sebagaimana ditentukan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.12
Peraturan perundang-undangan di atas
mengatur substansi yang sama dan terkait dengan hukum perorangan dan
keluarga. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 lebih baru daripada KUH Perdata
dan bersifat nasional yang berlaku untuk semua golongan penduduk dan
berkebangsaan Indonesia. Sesuai dengan asas lex posteriori derogate lege priori,
maka undang-undang yang terbarulah yang harus dijadikan dasar untuk
menentukan batasan umur kedewasaan tersebut. Dengan demikian, batasan umur
kedewasaan itu semestinya adalah 18 (delapanbelas) tahun.13
Khusus berkaitan dengan perjanjian dibuat dihadapan notaris (akta notaris),
telah ada pula aturan khusus (lex spesialis), yakni Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juga menentukan batas kedewasaan tersebut
adalah 18 Tahun. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
menentukan bahwa para penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:14
1) Paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah; dan;
2) Cakap melakukan perbuatan hukum.
Dengan demikian, kecakapan untuk melakukan perjanjian yang dibuat tidak
hanya dikaitkan dengan batasan umur kedewasaan, tapi juga dikaitkan tolak ukur
11
Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Yogyakarta, FH UII Press, hlm.167. 12
Ade Marman Suherman, J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur, Jakarta, National Legal Reform Program, hlm.13., lihat juga abdu177. 13
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hlm.178. 14
Ibid.
-
17
yang lain, misalnya tidak berada di bawah pengampuan. Tidak hanya dewasa,
tetapi cakap melakukan perbuatan hukum.15
c. Adanya objek perjanjian
Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Dalam ketentuan
Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi terdiri atas:
1) Memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu; dan
3) Tidak berbuat sesuatu.
d. Adanya Causa yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak
dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu
sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum.16
KUH Perdata menentukan akibat hukum bagi kontrak
atau perjanjian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1320 KUH
Perdata. Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga
dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila
syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan.
Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk
membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada
yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Dan apabila syarat ketiga
15
Ibid, hlm.179. 16
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, hlm. 10., lihat juga buku Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika hlm.34.
-
18
dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya,
bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.17
Berikut ini penjelasan dari syarat-syarat tersebut:
SEPAKAT MEREKA YANG MENGIKATKAN DIRINYA
Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau
setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.18
Pasal 1321 KUH Perdata
menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan
atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
KECAKAPAN UNTUK MEMBUAT SUATU PERIKATAN
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, kecuali undang-undang mnenetukan bahwa ia tidak cakap.
Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita
temukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. orang-orang perempuan yang telah kawin.
Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena Pasal 31 undang-undang ini menentukan
bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak
untuk melakukan perbuatan hukum.
SUATU HAL TERTENTU
Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa:
17
Salim H.S, Op.Cit, hlm.34. 18
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 334.
http://www.jurnalhukum.com/perwalian-minderjarigheid/http://www.jurnalhukum.com/pengampuan-curatele/http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/
-
19
Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian.
Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan:
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
SUATU SEBAB YANG DIPERKENANKAN
Maksudnya ialah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Selain itu Pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang
dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
4. Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Secara Lisan
Pada dasarnya, perjanjian kerja tidak harus dilakukan secara tertulis.
Berdasarkan Pasal 50 dan juga Pasal 51 Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja. Yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara
tertulis atau lisan. Akan tetapi, terdapat pengecualian dalam hal perjanjian kerja
untuk waktu tertentu (PKWT).
Dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa PKWT harus dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang
dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
(PKWTT).
-
20
Jika seorang pengusaha membuat perjanjian kerja dalam bentuk lisan sebenarnya
tidak dilarang, namun memiliki kekurangan yang dapat merugikan pekerja karena
terdapat kemungkinan pemberi kerja atau pengusaha tidak menjalankan kewajiban
karena tidak pernah dituangkan secara tertulis. Oleh karena itu, suatu kontrak kerja
akan lebih aman dan dapat dijadikan bukti apabila dibuat secara tertulis.19
Selain itu, jika pengusaha tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan
pekerjanya maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang
bersangkutan. Hal ini dicantumkan dalam UU Ketenagakerjaan pasal 63. Dalam
pasal Pasal 54 No. 13/2003.
Biasanya dalam surat pengangkatan yang dibuat pengusaha sekurang-kurangnya
memuat keterangan:
1. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja
3. Jabatan atau jenis pekerjaan yang ditempati
4. Tempat pekerjaan
5. Besarnya upah dan cara pembayaran upah kepada pekerja
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja
7. Awal mula dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat serta ditandatangani para pihak
dalam perjanjian kerja.
Seperti yang kita telah ketahui, bahwa dalam PWKTT tidak harus memerlukan
perjanjian kerja secara tertulis akan tetapi perusahaan wajib memberikan surat
19
Husni lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 10
-
21
pengangkatan bagi karyawannya. Selain itu, sesuai dengan Pasal 52 ayat (1) dalam
UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 menegaskan beberapa perjanjian kerja
yang harus dibuat atas dasar:
1. Kesepakatan dari kedua belah pihak. Saat akan melakukan perjanjian kerja
harus terdapat kesepakatan diantara keduanya. Jika kesepakatan tersebut
hanya terjadi pada satu belah pihak saja maka perjanjian kerja tersebut
tidak sah dilanjutkan.
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Seorang
pekerja yang akan menandatangi perjanjian kerja harus memahami
terlebih dahulu hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi pekerja akan
memahami dan bekerja dengan baik dan tidak melanggar aturan yang
telah ada.
3. Adanya perjanjian yang diperjanjikan. Sebuah perjanjian dibuat karena
adanya suatu perjanjian terkait kontrak kerja, yang tujuannya agar status
pekerja tersebut jelas dan memahami betul apa yang dikerjakannya selama
bekerja.
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Di negara Indonesia, hukum belaku secara tegak. Apapun yang
dilakukan harus dilandasi dengan hukum. Maka dari itu, dalam bekerja
pun kita diatur oleh hukum yang berlaku sehingga dilarang untuk
melakukan tindakan yang melanggar aturan-aturan tersebut, karena jika
melanggar maka akan ada konsekuensi atau hukuman yang diberikan.20
20
Ibid.
-
22
5. Perjanjian Kerja Lisan berubah menjadi PKWTT
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1
angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Perjanjian kerja dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang
berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta
hak dan kewajiban majikan. Selanjutnya perihal Pengertian perjanjian kerja
ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah
perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh
ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya
suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu
hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan
perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans
100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)
adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. PKWTT dapat dibuat secara
tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari
instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka
klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan
pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU
Ketenagakerjaan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling
lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah
-
23
pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang
berlaku.
Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi
PKWTT, apabila:
- PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
- Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
- Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu
perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan
penyimpangan;
- Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak
diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak
terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
- Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja
dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka
(1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan
prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan bagi PKWTT.
Sementara itu, bila ingin membuat PKWT maka tidak dapat dibuat secara lisan. Wajib
membuatnya dalam bentuk tulisan dan secara sah langsung didaftarkan pada instansi
-
24
ketenagakerjaan yang berhubungan. Bila terlanjur menggunakan lisan maka nantinya
PKWT malah akan berubah jenis kontraknya menjadi PKWTT
Perjanjian Lisan berubah menjadi PKWTT di karenakan tidak adanya
perjanjian di awal maka klausul yang berlaku akan berdasarkan pada peraturan
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga antara kedua belah pihak sudah dianggap
setuju dengan segala peraturan yang tercantum pada UU Ketenagakerjaan.
Sementara itu, bila perusahaan sudah memutuskan akan membuat PKWTT dalam
bentuk lisan, maka perusahaan wajib membuat sebuah surat pengangkatan kerja pada
karyawannya. Surat tersebut berisi:
Nama serta alamat karyawan
Tanggal kapan karyawan akan bekerja
Jenis pekerjaan yang akan dilakukan karyawan
Besar upah yang akan diterima karyawan
Di samping itu PKWTT juga bisa melakukan masa percobaan pada karyawan selama
3 bulan. Saat masa percobaan berlangsung, perusahaan juga wajib memberikan upah
karyawan namun tidak boleh lebih rendah dari UMR yang berlaku.21
6. Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan:
Berdasarkan Pasal 56 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).
21
LinovHR, “PKWT & PKWTT”, diakses dari https://www.linovhr.com/apa-itu-pkwt-dan-pkwtt/ pada tanggal 15 Juli 2019 Pukul 18.38.
https://www.linovhr.com/apa-itu-pkwt-dan-pkwtt/
-
25
A. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu
tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu
didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis
(Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak
dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Masa percobaan adalah masa
atau waktu untuk menilai kinerja, kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama
masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat
mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Ketentuan yang tidak membolehkan
adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena perjanjian
kerja berlangsung relatif singkat. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah
dibawah upah minimum yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“kepmenakertrans 100/2004”),
pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu
tertentu atau untuk pekerjaan tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat
sementara selanjutnya disebut Kepmen 100/2004. Pengertian tersebut sependapat
dengan pendapat Prof. Payaman Simanjuntak bahwa PKWT adalah perjanjian kerja
-
26
antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang
diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka waktunya
paling lama 2 tahun,dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama
dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian
tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali denan
jankga waktu (perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk 1 1/2
tahun, maka dapat diperpanjang 1/2 tahun.
Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat diperpanjang 1 tahun
sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT adalah perjanjian bersayarat, yakni
(antara lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa
Indonesia, dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat
dengan bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat
(2) UUK).
Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak)
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3
(tiga) tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman; dan Pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
-
27
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
B. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”),
pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap.
PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib
mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat
secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha
dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU
Ketenagakerjaan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3
(tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan
upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku. Menurut
Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila
PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak adanya hubungan kerja;
-
28
Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain,
maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT
tersebut;
Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan
hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3)
dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.
Menurut Pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang kurangnya harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaa
d. tempat pekerjaan
e. besarnya upah dan cara pembayarannya
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
-
29
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.22
B. Hasil Penelitian berisi tentang Pelaksanaan perjanjian kerja secara lisan antara
Pihak pengurus dan pemain
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Pengertian Perjanjian Kerja - Perjanjian kerja menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban
kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-
ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh
serta hak dan kewajiban majikan.
Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan
bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian
mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang
harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan;
demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman sebelumnya
diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Bagi
perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan,
dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian
22
https://febriyantoliu.blogspot.com/2015/11/perjanjian-kerja-pkwt-dan-pkwtt.html
-
30
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika
perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh
pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun
biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua
belah pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa
perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang dijanjkan;
Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus
setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki
pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang
ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak
pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat
perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan
memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat
-
31
perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras. Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per adalah hal tertentu. Pekerjaan yang
diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang
akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat
syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan
bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau
kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut
sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,
sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan
harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat
obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat
hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan
secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak
cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan
demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh
hakim.
Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja:
1. Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian),
pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin pengusaha
-
32
dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
pasal 1603a yang berbunyi:
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat
menyuruh orang ketiga menggantikannya”.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan
ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka
perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
2. Adanya unsur perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja
yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai
dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya,
misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut
merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau
klien.
3. Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat
dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk
memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan
merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan
pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan
di hotel.
4. Waktu Tertentu
-
33
Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere tijd sebagai unsur yang
harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja
tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan
lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat
ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu
tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada
peraturan perundang-undangan atau kebiasaan. Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat
untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu
tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau
selesainya pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya
disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya
adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat
untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status
pekerjanya adalah pekerja tetap.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57
Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan
dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh
mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
-
34
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Perjanjian menurut bentuk nya ada 2 (dua) macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis
dan perjanjian tertulis. Yang termasuk perjanjian lisan adalah:
1) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak
saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
2) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan
barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian
penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai.
Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu:
1) Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir
yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
serta bersifat massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen.
2) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu.
Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata),
perjanjian hibah dengan akta notaris.
Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka
wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
-
35
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
suatu pokok persoalan tertentu
suatu sebab yang tidak terlarang
Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
kesepakatan kedua belah pihak
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
adanya pekerjaan yang diperjanjikan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.23
2. Kasus Posisi antara Pemain dengan Tim Futsal Kab. Semarang
Tim Futsal Kabupaten Semarang yang sedang mempersiapkan untuk
mengikuti Kualifikasi Pekan Olahraga Provinsi (Pra-PORPROV) cabor Futsal yang
23
Mutiara, “Landasan teori”, diakses dari http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-perjanjian-kerja-definisi.html, Pada tanggal 1 Juni 2019 pukul 16.45.
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-perjanjian-kerja-definisi.htmlhttp://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-perjanjian-kerja-definisi.html
-
36
diselenggarakan di kota Jepara pada bulan Oktober 2017, dengan kategori Futsal
Putra yang akan diikuti 32 Kota/Kabupaten dan akan dilakukan kualifikasi Untuk
Lolos ke jenjang berikutnya yaitu PORPROV 2018 Surakarta.
Proses pembentukan tim ini sudah dimulai sejak bulan Februari 2017 dengan
penunjukan pelatih beserta Staff lainnya dan pemilihan pemain dengan cara
melakukan Seleksi Terbuka dan bertahap, sekitar 128 pemain (Maksimal Kelahiran
1997) mengikuti seleksi yang digelar di Ambarawa pada Awal Maret dengan format
bertahap dan seleksi berjalan selama 2 minggu dan hanya pada hari sabtu-minggu
(4hari).
Pada Minggu pertama pihak Coaching Staff mengerucutkan pemain menjadi
50 pemain dengan langsung mengumumkan setelah seleksi minggu pertama dimulai
dan selanjutnya untuk yang masih bertahan dipersiapkan untuk proses seleksi
selanjutnya, pada seleksi minggu terakhir berhasil dikerucutkan kembali menjadi
hanya 25 pemain dan selanjutnya para pemain ini masih harus mengikuti TC
(Training Camp) jangka panjang pada bulan Maret sampai nanti kualifikasi pada
bulan Oktober 2017. Setelah Pengurus Tim mendapatkan seluruh pemain yang sesuai
dengan kriteria dan sesuai kebutuhan tim, pada pertemuan pertama selepas seleksi dan
sudah terhitung masuk TC para pengurus ini hanya mengucapkan selamat atas
terpilihnya para pemain lalu hanya mengikat para pemain dengan perjanjian lisan
dengan aturan-aturan yang sudah mereka buat sendiri, seperti halnya pemain dilarang
mengikuti tarkam (turnamen tidak resmi) mengikuti tim lain tanpa izin dari
pengurus/coaching staff bila ketahuan ada sanksi berat, lalu para pengurus juga belum
bisa memberikan kepastian tentang bagaimana hak-hak apa saja yang di dapatkan
para pemain pada saat menjalankan TC jangka panjang tersebut, pada saat itu para
pemain hanya ditawarkan menginap di lapangan Tempat Latihan karena latihan
-
37
diadakan pagi hari pukul 06.00-07.00 dan dilanjut sore hari pukul 15.00-18.00. (bila
ada ujicoba pada malam hari menyesuaikan jadwal).
Dengan kondisi seadanya dan juga konsumsi para pemain ini ditanggung
masing-masing dan dari pihak Tim hanya menyediakan air mineral. Seiring
berjalannya waktu, para pemain yang berjumlah 25 pemain ini mulai merasakan
ketidaknyamanan terkait masalah dilapangan dan diluar lapangan. Tentu saja ini
memicu beberapa masalah yang terjadi, mulai dari pemain yang punya rutinitas
sekolah, kerja, kuliah sangat mengeluhkan jadwal latihan yang intens seminggu 5 hari
latihan (kamis libur) dan setiap minggu diadakan ujicoba melawan klub lokal ataupun
luar Kab. Semarang. Para pengurus sebenarnya mengetahui kendala yang dialami para
pemain yang mengeluh karna semua biaya untuk makan, bensin kendaraan
ditanggung masing-masing membuat para pemain memberanikan diri menjelaskan
apa yang mereka alami selama TC berlangsung. Para Coaching Staff pun memahami
kondisi para pemain yang kesulitan membagi waktu untuk kesibukan masing-masing,
hingga pada akhirnya satu persatu pemain mengundurkan diri dan tersisa 18 pemain
yang masih bertahan. Masih minimnya pengetahuan tentang hak para pemain
membuat mereka mengabaikan apa yang seharusnya mereka dapatkan dari Tim yang
mereka bela. Terkadang pihak pengurus pun juga mengabaikan apa yang menjadi
kewajibannya terhadap para pemain.
Tentunya para pemain ini tidaklah mendapat tunjangan yang sangat layak
dikarenakan perjanjian yang ada hanya perjanjian lisan yang mengakibatkan pada
akhir Pertemuan atau setelah Kualifikasi Pra Porprov berakhir hanya membahas
pembagian Jersey kepada pemain dan sisa uang yang digunakan. Sisa dari uang
tersebut di bagi kepada 18 pemain + 3 Official termasuk 2 Pelatih, para pemain
-
38
mengaku sudah pasrah terhadap kebijakan para Pengurus dengan beralasan sudah
malas untuk menagih hak-hak mereka sebagai pemain.
Dengan demikian, jelas para pengurus tidak memenuhi Hak-hak para pemain
sedangkan para pemain sudah memenuhi Kewajiban mereka sebagai pemain dengan
mengikuti segala peraturan yang sudah dibuat para pengurus. Pada awal pertemuan
para pemain dengan pengurus sudah di jelaskan tentang apa saja yang harus ditaati
para pemain, bila pemain melakukan wanprestasi seperti tidak datang latihan,
mengikuti turnamen non resmi tanpa persetujuan dari pengurus maka sanksi nya
adalah pencoretan. Sedangkan menurut penulis pengurus juga melakukan wanprestasi
terkait tak terpenuhinya hak-hak para pemain sesuai dari bentuk-bentuk wanprestasi
pada akhir pembubaran tim Futsal Kab. Semarang. Menurut Muhammad (1982),
wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang harus ditetapkan dalam perikatan,
baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
Undang-undang.
Para pemain tim Futsal Kab. Semarang yang mengeluhkan tidak memperoleh
hak-hak mereka sebagai pemain tidak bisa berbuat banyak untuk meminta hak mereka
karena para pengurus ini hanya menjanjikan bonus apabila tim Kab. Semarang
berhasil lolos kualifikasi dan mendapat medali emas ketika ajang Porprov 2018.
Sehingga selama persiapan berlangsung para pemain sama sekali tidak mendapatkan
apa yang seharusnya mereka dapatkan.
3. Aspek Hukum pada Perjanjian Kerja Secara Lisan antara Pemain
dengan Pengurus Tim Futsal Kab. Semarang
Pengertian dari aspek Hukum
-
39
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap
pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Hukum memiliki beberapa unsur, yaitu :
a. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa
b. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis
c. Mengatur kehidupan masyarakat
d. Mempunyai sanksi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan saudara Ilham Putra selaku Kapten dari
Tim Futsal Kab. Semarang, dijelaskan bahwa perjanjian kerja antara pihak klub
dengan pemain merupakan perjanjian yang dilakukan secara lisan. Perjanjian kerja
tersebut berlandaskan asas kepercayaan dan kesepakatan dari para pihak. Ilham putra
yang menjadi jembatan antara para pemain dengan pengurus menyebutkan bahwa
para pemain jika mengeluh terhadap pihak manajemen selalu melalui dia dan
mendengarkan segala keresahan pemain terkait tak terpenuhinya hak mereka selama
TC berlangsung, lalu untuk menanggapi respon para rekan-rekan setimnya saudara
Ilham Putra selalu memberitahu kepada pihak pengurus terkait beberapa kendala yang
dialami para rekan setimnya. Tetapi, sekali lagi para manajemen masih belum bisa
memberi kepastian bagaimana kelanjutannya24
.
Selanjutnya alasan pihak manajemen melakukan perjanjian kerja secara lisan
dengan para pemain karena dinilai lebih praktis dan lebih mudah serta antara kedua
belah pihak
Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk yaitu
tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang undangan
tertulis atau hukum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara dalam kehidupan
24
Ilham Putra Hertanto, Kapten Klub Futsal Kab. Semarang, pada tanggal 23 Juli 2019 pukul 16.00 WIB
-
40
masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut hukum kebiasaan atau
hukum adat.25
Perlunya perjanjian kerja ini diadakan antara para pengurus dengan pemain
secara tertulis agar hak dan kewajiban para pihak secara tegas diatur dan tidak
menimbulkan perbedaan tafsir para pihak serta memenuhi ketentuan dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata disebutkan beberapa syarat sahnya
suatu perjanjian, yakni :
1) Sepakat, yang dimaksud dengan sepakat disini adalah bahwa kedua
subyek hukum yang mengadakan perjanjian itu harus setuju, mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendakki oleh pihak yang
lain.
2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian, subyek hukum (orang) yang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
3) Mengenai suatu hal tertentu, sesuatu yang diperjanjikan.
4) Suatu sebab yang halal, berarti isi perjanjian. Jadi yang dimaksud
dengan sebab causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu
sendiri.
Para pemain dan pengurus sudah jelas sangat memenuhi kriteria syarat sahnya
perjanjian dari Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata,
prestasi terdiri atas:
1) Memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu; dan
25
Since, “Aspek Hukum”, diakses melalui http://sukses-since.blogspot.com/2011/04/pengertian-dari-aspek-hukum.html, pada tanggal 1 juni 2019 pukul 18.21.
http://sukses-since.blogspot.com/2011/04/pengertian-dari-aspek-hukum.htmlhttp://sukses-since.blogspot.com/2011/04/pengertian-dari-aspek-hukum.html
-
41
3) Tidak berbuat sesuatu.
Sejauh ini para pemain masih mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan para
pengurus tetapi paara pemain ini sama sekali belum mendapatkan hak mereka setelah
menjalankan program latihan.
Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu
tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu
didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis
(Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak
dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”),
pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap. PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib
mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat
secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha
dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU
Ketenagakerjaan.
-
42
C.. Analisis Perjanjian Kerja secara Lisan antara Pemain dengan pengurus
Tim Futsal Kab. Semarang
Pada dasarnya, perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis, kecuali diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan, misalnya: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
dibuat secara tertulis, sesuai dengan Pasal 57 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana diatur pada Pasal tersebut, Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu yang tidak dibuat secara tertulis akan memiliki akibat hukum yaitu
berubahnya status Perjanjian menjadi Perjanjian Waktu Tidak Tertentu, dan
Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan
tidak menghilangkan, baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Namun,
untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama sebaiknya dibuat secara tertulis.
Hal ini juga dimaksudkan, agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali
mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.
Seperti diketahui bahwa dari ketentuan mengenai perjanjian menurut Pasal
1313 KUH Perdata serta syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH
Perdata dapat diambil pengertian bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang
menimbulkan ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dimana perjanjian
tersebut dilakukan dengan sepakat tanpa ada suatu paksaan baik itu dari salah satu
pihak yang mengadakan perjanjian maupun dari pihak yang tidak terlibat dalam
perjanjian tersebut.
Berdasarkan fakta yang ada, seharusnya setiap cabor yang sedang melakukan
persiapan selalu ada dana yang sudah di sediakan oleh KONI untuk masing-masing
cabor yang akan dipertandingkan, penulis beranggapan bahwa memang para pengurus
tidak melakukan transparansi terhadap anggaran yang sudah diberikan kepada
pemain.
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/node/10/uu-no-13-tahun-2003-ketenagakerjaanhttp://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/node/10/uu-no-13-tahun-2003-ketenagakerjaan
-
43
Menurut penulis, seharusnya pengurus membuat perjanjian secara tertulis
dengan membuat kontrak dengan pemain yang berisi beberapa aturan, hak dan
kewajiban pemain sesuai Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu
didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Dengan demikian jangka waktu kontrak pemain dengan manager tim
berlangsung hingga pemusatan latihan selesai atau pada saat kualifikasi sudah usai,
sebagai contoh pada saat berlangsung nya pemusatan latihan dari bulan maret-
oktober, pengurus sudah memberikan aturan lisan bahwa pemain dilarang mengikuti
tim lain saat melakukan pemusatan latihan dan dilarang mengikuti tarkam (turnamen
tidak resmi) tanpa persetujuan coaching staff dan Maanager tim, apabila ada pemain
yang ketahuan maka sanksi nya adalah pencoretan tanpa ada toleransi dan pemain
tersebut digantikan oleh pemain lain. Tetapi disini pemain tersebut tidak bisa
menerima sanksi yang diberikan dengan alasan tidak adanya perjanjian tertulis antara
kedua belah pihak sehingga pemain tersebut menganggap aturan tersebut dibuat dan
disahkan secara sepihak. Maka dari itu pentingnya perjanjian kerja dibuat secara
tertulis sesuai Undang-undang ketenagakerjaan agar para pihak yang melakukan
perjanjian bisa patuh dan taat serta dapat memenuhi kewajiban dan hak dari masing-
masing pihak yang bersangkutan.
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1
angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian
kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
-
44
Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti
beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh
dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji
tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda
“dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu
(majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang
lain (buruh).
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka
perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan
kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada
umumnya, sebagai berikut
Syarat sah yang subyekif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian.
Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah
bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah
satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak
dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak
yang sah.
1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak
dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang
apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa
kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai
berikut.
a) Paksaan (dwang, duress)
-
45
b) Penipuan (bedrog, fraud)
c) Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat
tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau
penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan
kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak
tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang
adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia
tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat
kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-
Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini
menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-
masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian.
Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah
kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak
tersebut telah batal.
3. Obyek / Perihal tertentu
-
46
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah
berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal
ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok
suatu perjanjian”
Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah
itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud /
alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang
oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum
(Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang
palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan
pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. unsur-unsur
dari hubungan kerja :
1) Unsur adanya pekerjaan
2) Unsur adanya upah
3) Unsur adanya perintah
-
47
4) Unsur waktu tertentu26
Mengenai adanya suatu hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja, seperti
yang Sudah penulis jelaskan pada kasus diatas, maka hal tersebut bertentangan
dengan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang
mana disyaratkan dalam pasal tersebut bahwa:
“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh”
Kemudian Pasal 51 UUK menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja dapat dibuat
baik secara “TERTULIS” ataupun “LISAN”, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
sah apabila Perjanjian Kerja tersebut terjadi secara lisan? Perjanjian Kerja Para
Pemain adalah “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1)
UUK, yaitu:
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, di dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bahasa
Indonesia dan huruf latin berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu
(PKWTT) sejak adanya hubungan kerja”
26
Handi Zulkarnain, “4 Syarat Sahnya Perjanjian” http://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html pada tanggal 24 Juli 2019 Pukul 12.12.
http://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.htmlhttp://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html
-
48
Dengan kata lain, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa ketika Perjanjian
Kerja tersebut secara lisan (tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin),
maka Perjanjian Kerja tersebut merupakan PKWTT.
Dengan demikian, Para Pemain berhak untuk menuntut hak-hak dengan status
hubungan kerja PKWTT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Berikut penulis paparkan mengenai hak-hak seorang pekerja dengan
status PKWTT, yaitu :
1) Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
perjanjian (tidak di bawah Upah Minimum Provinsi/UMP), upah lembur,
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
2) Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di
perusahaan;
3) Berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;
4) Berhak atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian, dan
penghargaan;
5) Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja
Kemudian, apabila ditelaah lebih dalam, tentunya harus ditentukan apakah
jenis Perjanjian Kerja antara Pemain dengan pihak Klub apakah Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”),
karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut mempunyai spesifikasi hak dan
kewajiban yang berbeda. Untuk menjawabnya, dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1)
dan (2) UUK, yang mensyaratkan untuk pembuatan secara tertulis terhadap PKWT,
apabila ternyata PKWT tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka secara otomatis
Perjanjian Kerja tersebut menjadi PKWTT, sehingga untuk pelaksanaan perjanjian
kerja antara pemain dengan manager tim Klub Futsal Kab. Semarang alami dapat
diasumsikan bahwa Perjanjian Kerja antara pemain dengan pihak Klub dilakukan
-
49
secara lisan dan hanya berlandaskan kepercayaan dari para pihak sehingga tidak ada
bukti tentang perjanjian tersebut yang mengakibatkan para pemain tidak mengetahui
tentang hak-hak yang mereka dapatkan setelah memenuhi kewajiban sebagai pemain
yang sudah dipilih dan menjalani TC beberapa bulan sebelum Kualifikasi Pra-Porprov
Jepara.
Struktur Kepengurusan Tim Futsal Kab. Semarang
KONI
↓
AFK
↓
Manager Tim
↓
Pemain & Staff Pelatih
Manager :Sonny Suteja (KETUA AFK)
Head Coach :Yonathan A.M
Ass. Coach :Yoshua A.M
GK Coach :Doni
Kitman :Steven Waranggono
Messur :Indar
Player : Viky Dwi, Ilham Putra, Anjas Wicaksana, Kuntara, M Rizky, Annas
Arif, Baitur Ridwan, Agung rizki, Charis Dwi, Axel, Christo, Danang adi, Julyan
Dinda, Fiki Rifan.