BAB II - repository.uksw.edu€¦ · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . A. Kajian Pustaka . 1. Tinjauan...

40
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Tentang Perjanjian Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan,yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. 1 Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. 2 Menurut Subekti perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari ketentuan mengenai perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata serta syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat diambil pengertian bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dimana perjanjian tersebut dilakukan dengan sepakat tanpa ada suatu paksaan baik itu dari salah satu pihak yang mengadakan perjanjian maupun dari pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut menurut Salim H.S., tidak hanya melihat perjanjian semata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau 1 Leli Joko Suryono, 2014, Pokok-Pokok Perjanjian Indonesia, Yogyakarta, LP3M UMY, hlm 43 2 Wawan Muhwan Hariri, 2011,Hukum Perikatan, Bandung, CV Pustaka Setia, hlm 119

Transcript of BAB II - repository.uksw.edu€¦ · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . A. Kajian Pustaka . 1. Tinjauan...

  • 10

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kajian Pustaka

    1. Tinjauan Tentang Perjanjian

    Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan,yang berasal dari

    bahasa Belanda yakni overeenkomst.1 Perjanjian adalah suatu peristiwa yang

    terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu.2

    Menurut Subekti perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji

    melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

    Dari ketentuan mengenai perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata serta

    syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat diambil

    pengertian bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan

    ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dimana perjanjian tersebut

    dilakukan dengan sepakat tanpa ada suatu paksaan baik itu dari salah satu pihak

    yang mengadakan perjanjian maupun dari pihak yang tidak terlibat dalam

    perjanjian tersebut. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang

    diartikan dengan perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

    lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

    Teori baru tersebut menurut Salim H.S., tidak hanya melihat perjanjian

    semata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau

    1 Leli Joko Suryono, 2014, Pokok-Pokok Perjanjian Indonesia, Yogyakarta, LP3M UMY, hlm 43

    2 Wawan Muhwan Hariri, 2011,Hukum Perikatan, Bandung, CV Pustaka Setia, hlm 119

  • 11

    yang mendahuluinya.3 Beberapa pakar hukum perdata mengemukakan

    pandangannya terkait definisi hukum perjanjian, sebagai berikut:4

    Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu

    perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak,

    dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk

    melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak

    yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.

    M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa perjanjian mengandung

    suatu pengertian yang memberikan suatu hak pada suatu pihak untuk

    memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

    menunaikan prestasi.

    Subekti, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

    seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih

    saling berjanji untuk melakukan sesuatu.

    Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu

    perbuatan hukum, yang berisi dua (een twezijdige overeenkomst) yang

    didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

    Adapun yang dimaksud dengan suatu perbuatan hukum yang berisi dua atau tidak

    lain adalah satu perbuatan hukum yang meliputi penawaran dari pihak yang satu

    dan penerima dari pihak lain. Artinya perjanjian tidak merupakan satu perbuatan

    hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang yang

    bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

    Bedasarkan beberapa definisi perjanjian-perjanjian tersebut diatas maka dapat

    3 Vandune,Wawan Muhwan Hariri, dalam Ibid hlm. 120

    4 Ratna Artha Windari, 2014,Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 2

  • 12

    disimpulkan bahwa suatu perjanjian dapat menjadi suatu perbuatan hukum jika

    ada kata sepakat kedua belah pihak.

    2. Asas-asas Perjanjian

    Asas merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar

    belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat didalam dan dibelakang

    setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan

    putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditentukan dengan

    mencari sifat-sifat umum dalam peraturan tersebut.

    Adapun asas-asas hukum yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam

    pembuatan dan pelaksanaan perjanjian adalah sebagai berikut :

    Asas pada saat membuat suatu perjanjian.

    Asas Konsensualisme

    Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (concensus)

    dari pihak-pihak Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak terikat

    bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup melalui konsesus belaka.5

    Pada asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 butir (1) KUH Perdata yang

    berarti bahwa pada asasnya perjanjian itu timbul atau sudah dianggap lahir sejak

    detik tercapainya konsensus atau kesepakatan.6 Dengan kata lain perjanjian itu

    sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara

    para pihak, mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa

    perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan maupun secara tulisan berupa akta

    jika dikehendaki sebagai alat bukti. Undang-undang menetapkan pengecualian,

    5 Ibid hlm 89-90.

    6 Evi Ariyani, 2013, Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Ombak, hlm. 13 12R. Subekti, 2001,Hukum Perjanjian,

    Jakarta PT. Intermasa, hlm. 15.

  • 13

    bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara

    tertulis (perjanjian perdamaian atau dengan Akta Notaris).

    3. Syarat sah nya Perjanjian

    Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka

    perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Pasal 1320 KUH Perdata

    menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    Suatu hal tertentu;

    Suatu sebab yang diperkenankan.

    Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat

    tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum.

    Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena

    kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.7 Tidak dipenuhinya syarat

    subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan.

    Maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal apabila ada yang memohonkan

    pembatalan. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan

    perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Arti nya sejak semula dianggap

    tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.8

    Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang

    undang Hukum Perdata, yaitu:

    a. Kesepakatan (Toesteming) kedua belah pihak

    7 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 175-177. 8 Ibid.

  • 14

    Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang undang

    Hukum Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian

    pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang

    sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui

    orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu

    dengan9

    1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

    2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

    3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

    Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan

    dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak

    lawannya;

    4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

    5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

    Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu

    dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan

    perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para

    pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa dikemudian

    hari.10

    b. Kecakapan bertindak

    Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

    perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan

    9 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta, Fakultas Pascasarjana

    Universitas Gadjah Mada, hlm.7. 10

    Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika hlm.33.

  • 15

    akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-

    orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,

    sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Kecakapan untuk membuat

    suatu perikatan diatur dalam Pasal 1329 KUH Perdata, “Setiap orang adalah

    cakap, untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak

    dinyatakan tak cakap”. Dalam Pasal Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan, bahwa

    yang dimaksud dengan tidak cakap hukum untuk membuat suatu perjanjian

    adalah:

    1) Orang-orang yang belum dewasa;

    2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan

    3) Istri. Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan

    hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang undang Nomor 1 Tahun

    1974 tentang Perkawinan. Buku III KUH Perdata tentang Perikatan tidak

    menentukan tolak ukur kedewasaan tersebut.

    Ketentuan tentang batasan umur ditemukan dalam Buku I KUH Perdata

    tentang Orang. Berdasarkan Buku I KUH Perdata Pasal 330, seseorang dianggap

    dewasa jika dia telah berusia 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum perjanjian Indonesia tidak

    menentukan batasan umur untuk menentukan kedewasaan. Batasan umur sebagai

    tolak ukur kedewasaan tersebut diatur dalam hokum perorangan atau hukum

    keluarga. Kemudian belakangan, pengaturan mengenai batas kedewasaan juga

    ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Sekalipun tidak secara tegas mengatur “umur dewasa” berdasarkan Undang-

  • 16

    Undang Perkawinan.11

    Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    secara tidak langsung menetapkan batas umur kedewasaan ketika menetapkan

    anak yang belum mencapai 18 (delapanbelas) tahun atau belum melangsungkan

    perkawinan ada di bawah pengawasan orang tua mereka. Demikian pula dengan

    mereka yang berada di bawah kekuasaan wali sebagaimana ditentukan Pasal 50

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.12

    Peraturan perundang-undangan di atas

    mengatur substansi yang sama dan terkait dengan hukum perorangan dan

    keluarga. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 lebih baru daripada KUH Perdata

    dan bersifat nasional yang berlaku untuk semua golongan penduduk dan

    berkebangsaan Indonesia. Sesuai dengan asas lex posteriori derogate lege priori,

    maka undang-undang yang terbarulah yang harus dijadikan dasar untuk

    menentukan batasan umur kedewasaan tersebut. Dengan demikian, batasan umur

    kedewasaan itu semestinya adalah 18 (delapanbelas) tahun.13

    Khusus berkaitan dengan perjanjian dibuat dihadapan notaris (akta notaris),

    telah ada pula aturan khusus (lex spesialis), yakni Undang-Undang Nomor 30

    Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juga menentukan batas kedewasaan tersebut

    adalah 18 Tahun. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

    menentukan bahwa para penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:14

    1) Paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah; dan;

    2) Cakap melakukan perbuatan hukum.

    Dengan demikian, kecakapan untuk melakukan perjanjian yang dibuat tidak

    hanya dikaitkan dengan batasan umur kedewasaan, tapi juga dikaitkan tolak ukur

    11

    Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Yogyakarta, FH UII Press, hlm.167. 12

    Ade Marman Suherman, J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur, Jakarta, National Legal Reform Program, hlm.13., lihat juga abdu177. 13

    Ridwan Khairandy, Op.Cit, hlm.178. 14

    Ibid.

  • 17

    yang lain, misalnya tidak berada di bawah pengampuan. Tidak hanya dewasa,

    tetapi cakap melakukan perbuatan hukum.15

    c. Adanya objek perjanjian

    Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang

    menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Dalam ketentuan

    Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi terdiri atas:

    1) Memberikan sesuatu;

    2) Berbuat sesuatu; dan

    3) Tidak berbuat sesuatu.

    d. Adanya Causa yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)

    Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak

    dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu

    sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,

    dan ketertiban umum.16

    KUH Perdata menentukan akibat hukum bagi kontrak

    atau perjanjian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1320 KUH

    Perdata. Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena

    menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga

    dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila

    syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan.

    Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk

    membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada

    yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Dan apabila syarat ketiga

    15

    Ibid, hlm.179. 16

    M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, hlm. 10., lihat juga buku Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika hlm.34.

  • 18

    dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya,

    bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.17

    Berikut ini penjelasan dari syarat-syarat tersebut:

    SEPAKAT MEREKA YANG MENGIKATKAN DIRINYA

    Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau

    setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.18

    Pasal 1321 KUH Perdata

    menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan

    atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

    KECAKAPAN UNTUK MEMBUAT SUATU PERIKATAN

    Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk

    membuat perikatan, kecuali undang-undang mnenetukan bahwa ia tidak cakap.

    Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita

    temukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:

    1. Orang-orang yang belum dewasa;

    2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

    3. orang-orang perempuan yang telah kawin.

    Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena Pasal 31 undang-undang ini menentukan

    bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak

    untuk melakukan perbuatan hukum.

    SUATU HAL TERTENTU

    Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata.

    Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa:

    17

    Salim H.S, Op.Cit, hlm.34. 18

    P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 334.

    http://www.jurnalhukum.com/perwalian-minderjarigheid/http://www.jurnalhukum.com/pengampuan-curatele/http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/

  • 19

    Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu

    perjanjian.

    Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan:

    Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit

    ditentukan jenisnya.

    Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu

    terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

    SUATU SEBAB YANG DIPERKENANKAN

    Maksudnya ialah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak

    bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

    Selain itu Pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang

    dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah

    tidak mempunyai kekuatan hukum.

    4. Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Secara Lisan

    Pada dasarnya, perjanjian kerja tidak harus dilakukan secara tertulis.

    Berdasarkan Pasal 50 dan juga Pasal 51 Undang-Undang No 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja

    antara pengusaha dan pekerja. Yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara

    tertulis atau lisan. Akan tetapi, terdapat pengecualian dalam hal perjanjian kerja

    untuk waktu tertentu (PKWT).

    Dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa PKWT harus dibuat secara

    tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang

    dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

    (PKWTT).

  • 20

    Jika seorang pengusaha membuat perjanjian kerja dalam bentuk lisan sebenarnya

    tidak dilarang, namun memiliki kekurangan yang dapat merugikan pekerja karena

    terdapat kemungkinan pemberi kerja atau pengusaha tidak menjalankan kewajiban

    karena tidak pernah dituangkan secara tertulis. Oleh karena itu, suatu kontrak kerja

    akan lebih aman dan dapat dijadikan bukti apabila dibuat secara tertulis.19

    Selain itu, jika pengusaha tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan

    pekerjanya maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang

    bersangkutan. Hal ini dicantumkan dalam UU Ketenagakerjaan pasal 63. Dalam

    pasal Pasal 54 No. 13/2003.

    Biasanya dalam surat pengangkatan yang dibuat pengusaha sekurang-kurangnya

    memuat keterangan:

    1. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha

    2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja

    3. Jabatan atau jenis pekerjaan yang ditempati

    4. Tempat pekerjaan

    5. Besarnya upah dan cara pembayaran upah kepada pekerja

    6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja

    7. Awal mula dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

    8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat serta ditandatangani para pihak

    dalam perjanjian kerja.

    Seperti yang kita telah ketahui, bahwa dalam PWKTT tidak harus memerlukan

    perjanjian kerja secara tertulis akan tetapi perusahaan wajib memberikan surat

    19

    Husni lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 10

  • 21

    pengangkatan bagi karyawannya. Selain itu, sesuai dengan Pasal 52 ayat (1) dalam

    UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 menegaskan beberapa perjanjian kerja

    yang harus dibuat atas dasar:

    1. Kesepakatan dari kedua belah pihak. Saat akan melakukan perjanjian kerja

    harus terdapat kesepakatan diantara keduanya. Jika kesepakatan tersebut

    hanya terjadi pada satu belah pihak saja maka perjanjian kerja tersebut

    tidak sah dilanjutkan.

    2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Seorang

    pekerja yang akan menandatangi perjanjian kerja harus memahami

    terlebih dahulu hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi pekerja akan

    memahami dan bekerja dengan baik dan tidak melanggar aturan yang

    telah ada.

    3. Adanya perjanjian yang diperjanjikan. Sebuah perjanjian dibuat karena

    adanya suatu perjanjian terkait kontrak kerja, yang tujuannya agar status

    pekerja tersebut jelas dan memahami betul apa yang dikerjakannya selama

    bekerja.

    4. Pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan

    ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku. Di negara Indonesia, hukum belaku secara tegak. Apapun yang

    dilakukan harus dilandasi dengan hukum. Maka dari itu, dalam bekerja

    pun kita diatur oleh hukum yang berlaku sehingga dilarang untuk

    melakukan tindakan yang melanggar aturan-aturan tersebut, karena jika

    melanggar maka akan ada konsekuensi atau hukuman yang diberikan.20

    20

    Ibid.

  • 22

    5. Perjanjian Kerja Lisan berubah menjadi PKWTT

    Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1

    angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi

    kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.

    Perjanjian kerja dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang

    berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta

    hak dan kewajiban majikan. Selanjutnya perihal Pengertian perjanjian kerja

    ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah

    perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh

    ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya

    suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu

    hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan

    perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).

    Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang

    Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans

    100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)

    adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk

    mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. PKWTT dapat dibuat secara

    tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari

    instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka

    klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan

    pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU

    Ketenagakerjaan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling

    lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah

  • 23

    pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang

    berlaku.

    Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi

    PKWTT, apabila:

    - PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin

    berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

    - Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

    dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT

    berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

    - Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan

    dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu

    perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan

    penyimpangan;

    - Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30

    (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak

    diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak

    terpenuhinya syarat PKWT tersebut;

    - Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja

    dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka

    (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan

    prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan

    perundang- undangan bagi PKWTT.

    Sementara itu, bila ingin membuat PKWT maka tidak dapat dibuat secara lisan. Wajib

    membuatnya dalam bentuk tulisan dan secara sah langsung didaftarkan pada instansi

  • 24

    ketenagakerjaan yang berhubungan. Bila terlanjur menggunakan lisan maka nantinya

    PKWT malah akan berubah jenis kontraknya menjadi PKWTT

    Perjanjian Lisan berubah menjadi PKWTT di karenakan tidak adanya

    perjanjian di awal maka klausul yang berlaku akan berdasarkan pada peraturan

    Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga antara kedua belah pihak sudah dianggap

    setuju dengan segala peraturan yang tercantum pada UU Ketenagakerjaan.

    Sementara itu, bila perusahaan sudah memutuskan akan membuat PKWTT dalam

    bentuk lisan, maka perusahaan wajib membuat sebuah surat pengangkatan kerja pada

    karyawannya. Surat tersebut berisi:

    Nama serta alamat karyawan

    Tanggal kapan karyawan akan bekerja

    Jenis pekerjaan yang akan dilakukan karyawan

    Besar upah yang akan diterima karyawan

    Di samping itu PKWTT juga bisa melakukan masa percobaan pada karyawan selama

    3 bulan. Saat masa percobaan berlangsung, perusahaan juga wajib memberikan upah

    karyawan namun tidak boleh lebih rendah dari UMR yang berlaku.21

    6. Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang

    ketenagakerjaan:

    Berdasarkan Pasal 56 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

    Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu

    Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).

    21

    LinovHR, “PKWT & PKWTT”, diakses dari https://www.linovhr.com/apa-itu-pkwt-dan-pkwtt/ pada tanggal 15 Juli 2019 Pukul 18.38.

    https://www.linovhr.com/apa-itu-pkwt-dan-pkwtt/

  • 25

    A. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

    Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

    Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu

    tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

    Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu

    didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.

    Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis

    (Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak

    dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Masa percobaan adalah masa

    atau waktu untuk menilai kinerja, kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama

    masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat

    mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Ketentuan yang tidak membolehkan

    adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena perjanjian

    kerja berlangsung relatif singkat. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah

    dibawah upah minimum yang berlaku.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“kepmenakertrans 100/2004”),

    pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara

    pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu

    tertentu atau untuk pekerjaan tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat

    sementara selanjutnya disebut Kepmen 100/2004. Pengertian tersebut sependapat

    dengan pendapat Prof. Payaman Simanjuntak bahwa PKWT adalah perjanjian kerja

  • 26

    antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang

    diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka waktunya

    paling lama 2 tahun,dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama

    dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian

    tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat

    untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali denan

    jankga waktu (perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk 1 1/2

    tahun, maka dapat diperpanjang 1/2 tahun.

    Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat diperpanjang 1 tahun

    sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT adalah perjanjian bersayarat, yakni

    (antara lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa

    Indonesia, dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat

    dengan bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat

    (2) UUK).

    Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

    Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak)

    hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

    pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :

    Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang

    diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3

    (tiga) tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman; dan Pekerjaan yang berhubungan

    dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam

    percobaan atau penjajakan.

  • 27

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu

    tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

    B. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

    Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”),

    pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja

    antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang

    bersifat tetap.

    PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib

    mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat

    secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha

    dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU

    Ketenagakerjaan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3

    (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan

    upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku. Menurut

    Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila

    PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi

    PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

    Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

    dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT

    sejak adanya hubungan kerja;

  • 28

    Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk

    baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah

    menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;

    Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga

    puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain,

    maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT

    tersebut;

    Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan

    hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3)

    dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai

    ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

    Menurut Pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis

    sekurang kurangnya harus memuat:

    a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha

    b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh

    c. jabatan atau jenis pekerjaa

    d. tempat pekerjaan

    e. besarnya upah dan cara pembayarannya

    f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

    pekerja/buruh

    g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

  • 29

    h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam

    perjanjian kerja.22

    B. Hasil Penelitian berisi tentang Pelaksanaan perjanjian kerja secara lisan antara

    Pihak pengurus dan pemain

    1. Pengertian Perjanjian Kerja

    Pengertian Perjanjian Kerja - Perjanjian kerja menurut Undang-Undang

    Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan

    pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban

    kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-

    ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh

    serta hak dan kewajiban majikan.

    Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan

    bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian

    mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan

    adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan

    berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang

    harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).

    Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun

    2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan;

    demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman sebelumnya

    diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Bagi

    perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan,

    dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian

    22

    https://febriyantoliu.blogspot.com/2015/11/perjanjian-kerja-pkwt-dan-pkwtt.html

  • 30

    yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika

    perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh

    pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun

    biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua

    belah pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus

    memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

    undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1)

    Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa

    perjanjian kerja dibuat atas dasar:

    a. Kesepakatan kedua belah pihak;

    b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

    c. Adanya pekerjaan yang dijanjkan;

    Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan

    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

    mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus

    setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki

    pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang

    ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.

    Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak

    pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat

    perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan

    memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13

    Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat

  • 31

    perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras. Adanya pekerjaan yang

    diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per adalah hal tertentu. Pekerjaan yang

    diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang

    akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

    Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan

    undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan

    merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat

    syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan

    bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau

    kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut

    sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,

    sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan

    harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat

    obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian

    tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat

    hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan

    secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak

    cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan

    demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh

    hakim.

    Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja:

    1. Adanya unsur work atau pekerjaan

    Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian),

    pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin pengusaha

  • 32

    dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    pasal 1603a yang berbunyi:

    “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat

    menyuruh orang ketiga menggantikannya”.

    Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan

    ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka

    perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

    2. Adanya unsur perintah

    Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja

    yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai

    dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya,

    misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut

    merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau

    klien.

    3. Adanya upah

    Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat

    dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk

    memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan

    merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan

    pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan

    di hotel.

    4. Waktu Tertentu

  • 33

    Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere tijd sebagai unsur yang

    harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja

    tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan

    lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat

    ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu

    tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada

    peraturan perundang-undangan atau kebiasaan. Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat

    untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu

    tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau

    selesainya pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya

    disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya

    adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat

    untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status

    pekerjanya adalah pekerja tetap.

    Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57

    Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini

    dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan

    dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh

    mensyaratkan adanya masa percobaan.

    Dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

    pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai

    dalam waktu tertentu, yaitu:

    a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

  • 34

    b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama

    dan paling lama 3 (tiga) tahun;

    c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

    d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

    tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu

    tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

    Perjanjian menurut bentuk nya ada 2 (dua) macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis

    dan perjanjian tertulis. Yang termasuk perjanjian lisan adalah:

    1) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak

    saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.

    2) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan

    barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian

    penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai.

    Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu:

    1) Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir

    yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha

    serta bersifat massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen.

    2) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu.

    Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata),

    perjanjian hibah dengan akta notaris.

    Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka

    wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :

  • 35

    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

    kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

    kecakapan untuk membuat suatu perikatan

    suatu pokok persoalan tertentu

    suatu sebab yang tidak terlarang

    Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :

    Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

    kesepakatan kedua belah pihak

    kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

    adanya pekerjaan yang diperjanjikan

    pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

    kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

    Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

    Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.

    Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

    Tertentu.23

    2. Kasus Posisi antara Pemain dengan Tim Futsal Kab. Semarang

    Tim Futsal Kabupaten Semarang yang sedang mempersiapkan untuk

    mengikuti Kualifikasi Pekan Olahraga Provinsi (Pra-PORPROV) cabor Futsal yang

    23

    Mutiara, “Landasan teori”, diakses dari http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-perjanjian-kerja-definisi.html, Pada tanggal 1 Juni 2019 pukul 16.45.

    http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-perjanjian-kerja-definisi.htmlhttp://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-perjanjian-kerja-definisi.html

  • 36

    diselenggarakan di kota Jepara pada bulan Oktober 2017, dengan kategori Futsal

    Putra yang akan diikuti 32 Kota/Kabupaten dan akan dilakukan kualifikasi Untuk

    Lolos ke jenjang berikutnya yaitu PORPROV 2018 Surakarta.

    Proses pembentukan tim ini sudah dimulai sejak bulan Februari 2017 dengan

    penunjukan pelatih beserta Staff lainnya dan pemilihan pemain dengan cara

    melakukan Seleksi Terbuka dan bertahap, sekitar 128 pemain (Maksimal Kelahiran

    1997) mengikuti seleksi yang digelar di Ambarawa pada Awal Maret dengan format

    bertahap dan seleksi berjalan selama 2 minggu dan hanya pada hari sabtu-minggu

    (4hari).

    Pada Minggu pertama pihak Coaching Staff mengerucutkan pemain menjadi

    50 pemain dengan langsung mengumumkan setelah seleksi minggu pertama dimulai

    dan selanjutnya untuk yang masih bertahan dipersiapkan untuk proses seleksi

    selanjutnya, pada seleksi minggu terakhir berhasil dikerucutkan kembali menjadi

    hanya 25 pemain dan selanjutnya para pemain ini masih harus mengikuti TC

    (Training Camp) jangka panjang pada bulan Maret sampai nanti kualifikasi pada

    bulan Oktober 2017. Setelah Pengurus Tim mendapatkan seluruh pemain yang sesuai

    dengan kriteria dan sesuai kebutuhan tim, pada pertemuan pertama selepas seleksi dan

    sudah terhitung masuk TC para pengurus ini hanya mengucapkan selamat atas

    terpilihnya para pemain lalu hanya mengikat para pemain dengan perjanjian lisan

    dengan aturan-aturan yang sudah mereka buat sendiri, seperti halnya pemain dilarang

    mengikuti tarkam (turnamen tidak resmi) mengikuti tim lain tanpa izin dari

    pengurus/coaching staff bila ketahuan ada sanksi berat, lalu para pengurus juga belum

    bisa memberikan kepastian tentang bagaimana hak-hak apa saja yang di dapatkan

    para pemain pada saat menjalankan TC jangka panjang tersebut, pada saat itu para

    pemain hanya ditawarkan menginap di lapangan Tempat Latihan karena latihan

  • 37

    diadakan pagi hari pukul 06.00-07.00 dan dilanjut sore hari pukul 15.00-18.00. (bila

    ada ujicoba pada malam hari menyesuaikan jadwal).

    Dengan kondisi seadanya dan juga konsumsi para pemain ini ditanggung

    masing-masing dan dari pihak Tim hanya menyediakan air mineral. Seiring

    berjalannya waktu, para pemain yang berjumlah 25 pemain ini mulai merasakan

    ketidaknyamanan terkait masalah dilapangan dan diluar lapangan. Tentu saja ini

    memicu beberapa masalah yang terjadi, mulai dari pemain yang punya rutinitas

    sekolah, kerja, kuliah sangat mengeluhkan jadwal latihan yang intens seminggu 5 hari

    latihan (kamis libur) dan setiap minggu diadakan ujicoba melawan klub lokal ataupun

    luar Kab. Semarang. Para pengurus sebenarnya mengetahui kendala yang dialami para

    pemain yang mengeluh karna semua biaya untuk makan, bensin kendaraan

    ditanggung masing-masing membuat para pemain memberanikan diri menjelaskan

    apa yang mereka alami selama TC berlangsung. Para Coaching Staff pun memahami

    kondisi para pemain yang kesulitan membagi waktu untuk kesibukan masing-masing,

    hingga pada akhirnya satu persatu pemain mengundurkan diri dan tersisa 18 pemain

    yang masih bertahan. Masih minimnya pengetahuan tentang hak para pemain

    membuat mereka mengabaikan apa yang seharusnya mereka dapatkan dari Tim yang

    mereka bela. Terkadang pihak pengurus pun juga mengabaikan apa yang menjadi

    kewajibannya terhadap para pemain.

    Tentunya para pemain ini tidaklah mendapat tunjangan yang sangat layak

    dikarenakan perjanjian yang ada hanya perjanjian lisan yang mengakibatkan pada

    akhir Pertemuan atau setelah Kualifikasi Pra Porprov berakhir hanya membahas

    pembagian Jersey kepada pemain dan sisa uang yang digunakan. Sisa dari uang

    tersebut di bagi kepada 18 pemain + 3 Official termasuk 2 Pelatih, para pemain

  • 38

    mengaku sudah pasrah terhadap kebijakan para Pengurus dengan beralasan sudah

    malas untuk menagih hak-hak mereka sebagai pemain.

    Dengan demikian, jelas para pengurus tidak memenuhi Hak-hak para pemain

    sedangkan para pemain sudah memenuhi Kewajiban mereka sebagai pemain dengan

    mengikuti segala peraturan yang sudah dibuat para pengurus. Pada awal pertemuan

    para pemain dengan pengurus sudah di jelaskan tentang apa saja yang harus ditaati

    para pemain, bila pemain melakukan wanprestasi seperti tidak datang latihan,

    mengikuti turnamen non resmi tanpa persetujuan dari pengurus maka sanksi nya

    adalah pencoretan. Sedangkan menurut penulis pengurus juga melakukan wanprestasi

    terkait tak terpenuhinya hak-hak para pemain sesuai dari bentuk-bentuk wanprestasi

    pada akhir pembubaran tim Futsal Kab. Semarang. Menurut Muhammad (1982),

    wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang harus ditetapkan dalam perikatan,

    baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena

    Undang-undang.

    Para pemain tim Futsal Kab. Semarang yang mengeluhkan tidak memperoleh

    hak-hak mereka sebagai pemain tidak bisa berbuat banyak untuk meminta hak mereka

    karena para pengurus ini hanya menjanjikan bonus apabila tim Kab. Semarang

    berhasil lolos kualifikasi dan mendapat medali emas ketika ajang Porprov 2018.

    Sehingga selama persiapan berlangsung para pemain sama sekali tidak mendapatkan

    apa yang seharusnya mereka dapatkan.

    3. Aspek Hukum pada Perjanjian Kerja Secara Lisan antara Pemain

    dengan Pengurus Tim Futsal Kab. Semarang

    Pengertian dari aspek Hukum

  • 39

    Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun

    tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap

    pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Hukum memiliki beberapa unsur, yaitu :

    a. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa

    b. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis

    c. Mengatur kehidupan masyarakat

    d. Mempunyai sanksi.

    Berdasarkan hasil wawancara dengan saudara Ilham Putra selaku Kapten dari

    Tim Futsal Kab. Semarang, dijelaskan bahwa perjanjian kerja antara pihak klub

    dengan pemain merupakan perjanjian yang dilakukan secara lisan. Perjanjian kerja

    tersebut berlandaskan asas kepercayaan dan kesepakatan dari para pihak. Ilham putra

    yang menjadi jembatan antara para pemain dengan pengurus menyebutkan bahwa

    para pemain jika mengeluh terhadap pihak manajemen selalu melalui dia dan

    mendengarkan segala keresahan pemain terkait tak terpenuhinya hak mereka selama

    TC berlangsung, lalu untuk menanggapi respon para rekan-rekan setimnya saudara

    Ilham Putra selalu memberitahu kepada pihak pengurus terkait beberapa kendala yang

    dialami para rekan setimnya. Tetapi, sekali lagi para manajemen masih belum bisa

    memberi kepastian bagaimana kelanjutannya24

    .

    Selanjutnya alasan pihak manajemen melakukan perjanjian kerja secara lisan

    dengan para pemain karena dinilai lebih praktis dan lebih mudah serta antara kedua

    belah pihak

    Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk yaitu

    tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang undangan

    tertulis atau hukum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara dalam kehidupan

    24

    Ilham Putra Hertanto, Kapten Klub Futsal Kab. Semarang, pada tanggal 23 Juli 2019 pukul 16.00 WIB

  • 40

    masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut hukum kebiasaan atau

    hukum adat.25

    Perlunya perjanjian kerja ini diadakan antara para pengurus dengan pemain

    secara tertulis agar hak dan kewajiban para pihak secara tegas diatur dan tidak

    menimbulkan perbedaan tafsir para pihak serta memenuhi ketentuan dari Undang-

    Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata disebutkan beberapa syarat sahnya

    suatu perjanjian, yakni :

    1) Sepakat, yang dimaksud dengan sepakat disini adalah bahwa kedua

    subyek hukum yang mengadakan perjanjian itu harus setuju, mengenai

    hal-hal yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu. Apa yang

    dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendakki oleh pihak yang

    lain.

    2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian, subyek hukum (orang) yang

    membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.

    3) Mengenai suatu hal tertentu, sesuatu yang diperjanjikan.

    4) Suatu sebab yang halal, berarti isi perjanjian. Jadi yang dimaksud

    dengan sebab causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu

    sendiri.

    Para pemain dan pengurus sudah jelas sangat memenuhi kriteria syarat sahnya

    perjanjian dari Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata,

    prestasi terdiri atas:

    1) Memberikan sesuatu;

    2) Berbuat sesuatu; dan

    25

    Since, “Aspek Hukum”, diakses melalui http://sukses-since.blogspot.com/2011/04/pengertian-dari-aspek-hukum.html, pada tanggal 1 juni 2019 pukul 18.21.

    http://sukses-since.blogspot.com/2011/04/pengertian-dari-aspek-hukum.htmlhttp://sukses-since.blogspot.com/2011/04/pengertian-dari-aspek-hukum.html

  • 41

    3) Tidak berbuat sesuatu.

    Sejauh ini para pemain masih mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan para

    pengurus tetapi paara pemain ini sama sekali belum mendapatkan hak mereka setelah

    menjalankan program latihan.

    Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

    Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu

    tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

    Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu

    didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.

    Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis

    (Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak

    dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”),

    pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja

    antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang

    bersifat tetap. PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib

    mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat

    secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha

    dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU

    Ketenagakerjaan.

  • 42

    C.. Analisis Perjanjian Kerja secara Lisan antara Pemain dengan pengurus

    Tim Futsal Kab. Semarang

    Pada dasarnya, perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis, kecuali diharuskan

    oleh peraturan perundang-undangan, misalnya: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

    dibuat secara tertulis, sesuai dengan Pasal 57 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana diatur pada Pasal tersebut, Perjanjian Kerja

    Waktu Tertentu yang tidak dibuat secara tertulis akan memiliki akibat hukum yaitu

    berubahnya status Perjanjian menjadi Perjanjian Waktu Tidak Tertentu, dan

    Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan

    tidak menghilangkan, baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Namun,

    untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama sebaiknya dibuat secara tertulis.

    Hal ini juga dimaksudkan, agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali

    mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.

    Seperti diketahui bahwa dari ketentuan mengenai perjanjian menurut Pasal

    1313 KUH Perdata serta syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH

    Perdata dapat diambil pengertian bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang

    menimbulkan ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dimana perjanjian

    tersebut dilakukan dengan sepakat tanpa ada suatu paksaan baik itu dari salah satu

    pihak yang mengadakan perjanjian maupun dari pihak yang tidak terlibat dalam

    perjanjian tersebut.

    Berdasarkan fakta yang ada, seharusnya setiap cabor yang sedang melakukan

    persiapan selalu ada dana yang sudah di sediakan oleh KONI untuk masing-masing

    cabor yang akan dipertandingkan, penulis beranggapan bahwa memang para pengurus

    tidak melakukan transparansi terhadap anggaran yang sudah diberikan kepada

    pemain.

    http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/node/10/uu-no-13-tahun-2003-ketenagakerjaanhttp://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/node/10/uu-no-13-tahun-2003-ketenagakerjaan

  • 43

    Menurut penulis, seharusnya pengurus membuat perjanjian secara tertulis

    dengan membuat kontrak dengan pemain yang berisi beberapa aturan, hak dan

    kewajiban pemain sesuai Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun

    2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu

    didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.

    Dengan demikian jangka waktu kontrak pemain dengan manager tim

    berlangsung hingga pemusatan latihan selesai atau pada saat kualifikasi sudah usai,

    sebagai contoh pada saat berlangsung nya pemusatan latihan dari bulan maret-

    oktober, pengurus sudah memberikan aturan lisan bahwa pemain dilarang mengikuti

    tim lain saat melakukan pemusatan latihan dan dilarang mengikuti tarkam (turnamen

    tidak resmi) tanpa persetujuan coaching staff dan Maanager tim, apabila ada pemain

    yang ketahuan maka sanksi nya adalah pencoretan tanpa ada toleransi dan pemain

    tersebut digantikan oleh pemain lain. Tetapi disini pemain tersebut tidak bisa

    menerima sanksi yang diberikan dengan alasan tidak adanya perjanjian tertulis antara

    kedua belah pihak sehingga pemain tersebut menganggap aturan tersebut dibuat dan

    disahkan secara sepihak. Maka dari itu pentingnya perjanjian kerja dibuat secara

    tertulis sesuai Undang-undang ketenagakerjaan agar para pihak yang melakukan

    perjanjian bisa patuh dan taat serta dapat memenuhi kewajiban dan hak dari masing-

    masing pihak yang bersangkutan.

    Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1

    angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja

    yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian

    kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan

    hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.

  • 44

    Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti

    beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh

    dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji

    tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda

    “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu

    (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang

    lain (buruh).

    Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka

    perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan

    kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada

    umumnya, sebagai berikut

    Syarat sah yang subyekif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata

    Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian.

    Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah

    bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah

    satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak

    dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak

    yang sah.

    1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)

    Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak

    dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang

    apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa

    kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai

    berikut.

    a) Paksaan (dwang, duress)

  • 45

    b) Penipuan (bedrog, fraud)

    c) Kesilapan (dwaling, mistake)

    Sebagaimana pada Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat

    tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau

    penipuan.

    2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)

    Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan

    kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak

    tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang

    adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia

    tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat

    kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu

    a) Orang-orang yang belum dewasa

    b) Mereka yang berada dibawah pengampuan

    c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-

    Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini

    menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-

    masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

    Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

    Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian.

    Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah

    kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak

    tersebut telah batal.

    3. Obyek / Perihal tertentu

  • 46

    Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah

    berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal

    ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan1333 KUH Perdata.

    Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa

    “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok

    suatu perjanjian”

    Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa

    “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling

    sedikit ditentukan jenisnya

    Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah

    itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”

    4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal

    Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud /

    alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk

    melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang

    oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum

    (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan

    bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang

    palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

    Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan

    pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. unsur-unsur

    dari hubungan kerja :

    1) Unsur adanya pekerjaan

    2) Unsur adanya upah

    3) Unsur adanya perintah

  • 47

    4) Unsur waktu tertentu26

    Mengenai adanya suatu hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja, seperti

    yang Sudah penulis jelaskan pada kasus diatas, maka hal tersebut bertentangan

    dengan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang

    mana disyaratkan dalam pasal tersebut bahwa:

    “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara

    pengusaha dan pekerja/buruh”

    Kemudian Pasal 51 UUK menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja dapat dibuat

    baik secara “TERTULIS” ataupun “LISAN”, yang menjadi pertanyaan adalah apakah

    sah apabila Perjanjian Kerja tersebut terjadi secara lisan? Perjanjian Kerja Para

    Pemain adalah “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1)

    UUK, yaitu:

    1) Kesepakatan kedua belah pihak;

    2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

    3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

    4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

    kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

    Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian

    Kerja Waktu Tertentu, di dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa:

    “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bahasa

    Indonesia dan huruf latin berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu

    (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja”

    26

    Handi Zulkarnain, “4 Syarat Sahnya Perjanjian” http://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html pada tanggal 24 Juli 2019 Pukul 12.12.

    http://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.htmlhttp://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html

  • 48

    Dengan kata lain, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa ketika Perjanjian

    Kerja tersebut secara lisan (tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin),

    maka Perjanjian Kerja tersebut merupakan PKWTT.

    Dengan demikian, Para Pemain berhak untuk menuntut hak-hak dengan status

    hubungan kerja PKWTT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

    yang berlaku. Berikut penulis paparkan mengenai hak-hak seorang pekerja dengan

    status PKWTT, yaitu :

    1) Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan

    perjanjian (tidak di bawah Upah Minimum Provinsi/UMP), upah lembur,

    Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);

    2) Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di

    perusahaan;

    3) Berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;

    4) Berhak atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian, dan

    penghargaan;

    5) Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja

    Kemudian, apabila ditelaah lebih dalam, tentunya harus ditentukan apakah

    jenis Perjanjian Kerja antara Pemain dengan pihak Klub apakah Perjanjian Kerja

    Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”),

    karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut mempunyai spesifikasi hak dan

    kewajiban yang berbeda. Untuk menjawabnya, dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1)

    dan (2) UUK, yang mensyaratkan untuk pembuatan secara tertulis terhadap PKWT,

    apabila ternyata PKWT tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka secara otomatis

    Perjanjian Kerja tersebut menjadi PKWTT, sehingga untuk pelaksanaan perjanjian

    kerja antara pemain dengan manager tim Klub Futsal Kab. Semarang alami dapat

    diasumsikan bahwa Perjanjian Kerja antara pemain dengan pihak Klub dilakukan

  • 49

    secara lisan dan hanya berlandaskan kepercayaan dari para pihak sehingga tidak ada

    bukti tentang perjanjian tersebut yang mengakibatkan para pemain tidak mengetahui

    tentang hak-hak yang mereka dapatkan setelah memenuhi kewajiban sebagai pemain

    yang sudah dipilih dan menjalani TC beberapa bulan sebelum Kualifikasi Pra-Porprov

    Jepara.

    Struktur Kepengurusan Tim Futsal Kab. Semarang

    KONI

    AFK

    Manager Tim

    Pemain & Staff Pelatih

    Manager :Sonny Suteja (KETUA AFK)

    Head Coach :Yonathan A.M

    Ass. Coach :Yoshua A.M

    GK Coach :Doni

    Kitman :Steven Waranggono

    Messur :Indar

    Player : Viky Dwi, Ilham Putra, Anjas Wicaksana, Kuntara, M Rizky, Annas

    Arif, Baitur Ridwan, Agung rizki, Charis Dwi, Axel, Christo, Danang adi, Julyan

    Dinda, Fiki Rifan.