BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan...1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Menjadi tua adalah proses...

56
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dialami oleh semua manusia. Penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat tua tidak sebaik baru dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan dengan peningkatan usia, orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004). Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini tentunya banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ilmu yang sedang berkembang pesat saat ini adalah Ilmu Anti Aging Medicine (AAM). Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003). 2.1.1 Definisi Penuaan Definisi aging menurut American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) adalah perubahan fisik yang berhubungan dengan aging disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003).

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan...1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Menjadi tua adalah proses...

  • 1

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Penuaan

    Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dialami oleh semua

    manusia. Penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang

    membuat tua tidak sebaik baru dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan

    dengan peningkatan usia, orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat

    (Gavrilov, 2004).

    Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini

    tentunya banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ilmu yang sedang

    berkembang pesat saat ini adalah Ilmu Anti Aging Medicine (AAM). Penuaan

    secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia

    kronologik. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan

    berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup,

    sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan

    masing-masing individu (Fowler, 2003).

    2.1.1 Definisi Penuaan

    Definisi aging menurut American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M)

    adalah perubahan fisik yang berhubungan dengan aging disebabkan oleh disfungsi

    fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang

    tepat (Klatz, 2003).

  • 2

    Penuaan adalah suatu kumpulan gejala dari perubahan yang terus menerus,

    menyeluruh dan menetap. Proses penuaan terjadi pada molekul (DNA, protein,

    lemak), pada sel dan organ. Frekuensi penyakit yang meningkat pada usia tua

    seperti arthritis, osteoporosis, penyakit jantung, kanker, Alzheimer's Disease

    sering dikaitkan dengan terjadinya proses penuaan. Padahal pada kenyataannya

    tidak semua benar bahwa penyakit yang terjadi pada usia tua adalah merupakan

    proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2007). Webster's New World Dictionary

    mendefinisikan penuaan sebagai proses menjadi tua atau menunjukkan tanda-

    tanda menjadi tua. Oleh karena itu kemudian dikenal dua macam usia, yaitu usia

    kronologis dan usia fisiologis atau biologis. Usia kronologis ialah usia sebenarnya

    sesuai dengan tahun kelahiran, sedang usia fisiologis atau biologis ialah usia

    sesuai dengan fungsi organ tubuh. Maka usia kronologis tidak selalu sama dengan

    usia fisiologis (Pangkahila, 2007).

    2.1.2 Penyebab Proses Penuaan

    Banyak faktor yang dapat menyebabkan orang menjadi tua melalui proses

    penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada

    kematian. Pada dasarnya berbagai faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor

    internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon

    yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang

    menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet

    tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan. Karena

    berbagai faktor itulah terjadi proses penuaan, sehingga orang menjadi tua, sakit,

    dan akhirnya meninggal. Namun, kalau faktor penyebab itu dapat dihindari,

  • 3

    proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan

    kualitas hidup dapat dipertahankan. Dengan kata lain usia harapan hidup dapat

    menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan melihat

    berbagai faktor di atas, kita dapat menentukan faktor mana yang dapat dihindari

    atau diatasi agar proses penuaan dapat dicegah atau diperlambat (Pangkahila,

    2007).

    2.1.3 Teori Proses Penuaan

    Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses

    penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

    kelompok, yaitu teori wear and tear meliputi kerusakan DNA, glikosilasi, dan

    radikal bebas serta teori program meliputi terbatasnya replikasi sel, proses imun,

    dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2007).

    Ada empat teori pokok dari penuaan (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu:

    1. Teori Wear and Tear

    Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena sering digunakan dan

    disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,

    kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan

    lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin,

    karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan

    ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

    2. Teori Neuroendokrin

    Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

    Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,

  • 4

    sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan

    hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan

    bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang

    akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

    3. Teori Kontrol Genetik

    Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita

    dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik

    dan mental terentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa

    cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita dapat hidup.

    4. Teori Radikal Bebas

    Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi

    akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal

    bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak

    berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena

    kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi

    suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada

    molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik

    oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan

    fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak

    oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000).

    Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas

    semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga

    merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian.

  • 5

    Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang

    menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan

    menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, di

    mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan

    yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).

    2.1.4 Faktor yang Mempercepat Penuaan

    Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh

    tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses

    penuaan. Pada umumnya manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa kita

    menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Orang hanya menganggap menjadi

    tua memang harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul

    harus dialami. Bahkan, ada yang berpendapat usia setiap orang sudah ditentukan

    oleh Tuhan, sampai usia tertentu, yang tidak sama pada setiap orang. Namun

    ternyata ada beberapa faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo,

    2003), yaitu :

    1. Faktor lingkungan

    a. Pencemaran lingkungan berupa bahan polutan dan bahan kimia yang

    merupakan hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan

    mempercepat proses penuaan.

    b. Pencemaran lingkungan berupa suara bising. Dari beberapa penelitian

    yang ada, ternyata suara bising mampu meningkatkan kadar hormon

    prolaktin dan dapat menyebabkan apoptosis pada berbagai jaringan tubuh.

  • 6

    c. Pemakaian obat-obatan dan jamu yang tidak terkontrol pemakaiannya

    dapat menurunkan hormon tubuh baik secara langsung maupun tidak

    langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback

    mechanism).

    d. Sinar matahari secara langsung dapat mempercepat penuaan kulit dengan

    hilangnya elastisitas dan kerusakan pada kolagen kulit.

    2. Faktor diet atau makanan

    Dipengaruhi oleh jenis nutrisi, jumlahnya serta kualitas dari makanan tersebut

    hendaknya yang tidak menggunakan bahan pengawet, pewarna, dan perasa dari

    bahan kimia yang terlarang. Zat beracun yang terkandung dalam makanan

    tersebut, tentunya dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai organ tubuh,

    yang paling utama adalah kerusakan pada organ hati.

    3. Faktor genetik

    Genetik seseorang ditentukan oleh genetik dari orang tuanya. Ternyata, faktor

    genetik dapat berubah jika terpapar oleh infeksi virus, radiasi serta racun yang

    terdapat pada makanan, minuman dan kulit yang dapat diserap oleh tubuh.

    4. Faktor psikis

    Stres juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

    proses apoptosis pada berbagai organ atau jaringan tubuh.

    5. Faktor organik

    Yang merupakan faktor organik adalah rendahnya kebugaran/fitness, pola

    makan yang tidak sehat, penurunan Growth Hormone (GH) dan IGF-1,

    penurunan hormon testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah

  • 7

    memasuki usia 30 tahun yang dapat menyebabkan gangguan pada ritme harian

    (circadian clock) yang kemudian akan berpengaruh juga pada kulit dan rambut

    yang ditandai dengan berkurangnya pigmentasi serta terjadinya gangguan pola

    tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan pada emosi dan

    stres. Serta terjadi perubahan pada FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan

    LH (Luteinizing Hormone).

    Selain faktor tesebut di atas juga ada faktor pelatihan fisik berlebih

    (Overtraining) sebagai faktor yang mempercepat proses penuaan. Aktivitas fisik

    berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat.

    Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas,

    yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut

    disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami

    proses penuaan (Cooper,2001).

    2.1.5 Upaya Menghambat Penuaan

    Proses penuaan bukan datang dengan sendirinya tanpa sebab. Proses

    penuaan dapat dicegah dan dihambat jika kita dapat mengatasi faktor

    penyebabnya. Pada dasarnya upaya menghambat proses penuaan dapat dilakukan

    sebagai berikut :

    1. Menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan gaya hidup sehat, yaitu meliputi:

    a. Berolahraga sesuai kaidah ilmiah.

    Berolahraga seuai kaidah ilmiah yakni mengatur frequency, intensity, time

    dan type (FITT) latihan sesuai pedoman sebagai berikut (Pangkahila,

    2013):

  • 8

    Frekuensi latihan minimal 3 - 4 kali perminggu atau tidak lebih dari

    300 menit perminggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari 2 hari.

    Intensitas latihan harus cukup tinggi sehingga menaikkan denyut

    jantung sekitar 72%-87% dari denyut nadi maksimal dan tidak boleh

    melebihi denyut nadi maksimal (220-umur).

    Lama latihan inti minimal sekitar 30 menit sampai 60 menit dan setiap

    latihan terdiri dari tiga fase, yaitu fase peregangan dan pemanasan,

    fase latihan dan fase pendinginan. Lamanya latihan : 1) Fase

    peregangan dan pemanasan 15 menit ; 2) Fase Latihan 35 menit; 3)

    Fase pendinginan 10 menit.

    Tipe latihan sesuai dengan kondisi tubuh masing-masing individu.

    b. Makanan yang sehat dan cukup.

    c. Rendah kalori, banyak sayur dan buah-buahan, cukup protein.

    d. Hindari dan atasi stres.

    e. Hindari bahan yang bersifat racun.

    f. Seperti merokok dan alkohol yang berlebihan, pestisida, bahan pengawet

    yang tidak sehat.

    g. Adanya keseimbangan antara kesibukan dan relaksasi.

    2. Kehidupan berkeluarga harus bahagia, termasuk dalam kehidupan seksual,

    hindari perilaku seksual yang tidak sehat.

    3. Lakukanlah pekerjaan sebagai suatu kesenangan.

    4. Hiduplah dalam lingkungan sosial yang sesuai dengan hati nurani.

    5. Upayakan selalu berpikir positif dan optimis.

  • 9

    6. Jangan merasa sehat normal hanya karena tidak merasakan keluhan yang serius.

    7. Jangan merasa sudah tua dan tidak berdaya

    8. Jangan gunakan obat atau ramuan yang tidak punya dasar ilmiah yang jelas

    dan tanpa petunjuk tenaga ahli.

    9. Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala yang diperlukan dan sesuai

    dengan kondisi masing-masing.

    10. Gunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli, untuk

    mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun dengan

    bertambahnya usia.

    Upaya pertama sampai kedelapan sebenarnya upaya yang dapat dilakukan

    oleh setiap orang tanpa adanya intervensi pengobatan dari luar. Tetapi pada

    kenyataannya untuk melaksanakan upaya tersebut tidaklah mudah, bahkan

    sebagian justru sulit dan nyaris hampir tidak dapat dilakukan. Upaya kesembilan

    dan kesepuluh merupakan upaya intervensi yang memerlukan perlakuan atau

    pengobatan yang disarankan atau diberikan oleh tenaga ahli (Pangkahila, 2007).

    2.1.6 Tanda Penuaan

    Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang menurunkan

    kemampuan sel untuk memperbaiki diri. Terjadi dua fenomena, yaitu penurunan

    fisiologik (kehilangan fungsi tubuh dan sistem organnya) dan peningkatan

    penyakit (Fowler, 2003). Menurut Pangkahila (2007), aging adalah suatu penyakit

    dengan karakteristik yang terbagi menjadi tiga fase yaitu :

  • 10

    1. Fase subklinik (usia 25-35 tahun)

    Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, GH, dan estrogen.

    Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai

    mempengaruhi tubuh, seperti diet yang buruk, stres, polusi, paparan berlebihan

    radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar.

    Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging

    atau penyakit. Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda

    dan normal. Tetapi terkadang pada wanita usia muda sudah mulai tampak tanda

    gejala dari aging. Misalnya pengguna kontrasepsi hormonal.

    2. Fase transisi (usia 35-45 tahun)

    Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan masa

    otot yang mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi

    lemak tubuh yang meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin,

    meningkatnya resiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada

    tahap ini mulai muncul gejala klinis, seperti penurunan ketajaman penglihatan,

    pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit

    menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Tergantung dari

    gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat sehingga individu mulai

    merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang

    menjadi penyebab dari banyak penyakit aging, termasuk kanker, arthritis,

    kehilangan daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes.

  • 11

    3. Fase Klinik (usia 45 tahun keatas)

    Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA

    (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan hormon

    tiroid. Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan

    mineral sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot

    sekitar 1 kg setiap tiga tahun, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Di

    antara usia 40 tahun dan 70 tahun, seorang pria kemungkinan dapat kehilangan

    20 pon ototnya, yang mengakibatkan ketidak mampuan untuk membakar 800-

    1.000 kalori perhari. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat, akibat sistem

    organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama

    untuk menikmati ”tahun emas” dan seringkali adanya ketidakmampuan untuk

    melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Prevalensi

    penyakit kronis akan meningkat secara dramatik sebagai akibat peningkatan

    usia.

    2.1.7 Penuaan dan Osteoporosis

    Para ahli gerontologi lebih sering menggunakan istilah senescence dalam

    proses penuaan dibandingkan dengan aging, karena aging memiliki makna tentang

    waktu yang diperlukan untuk terjadinya entropy biologik (deterioration). Penuaan

    yang merupakan sindrom perubahan yang bersifat mengganggu, progresif,

    universal dan irreversible termasuk perubahan pada tingkat molekul. Penyakit

    akibat penuaan yang bertambah dengan meningkatnya umur sering dibedakan

    dengan penuaan itu sendiri. Namun proses penuaan berbeda dengan penyakit

    penuaan. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada tingkat

  • 12

    seluler maupun molekur yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya

    penyakit akibat usia lanjut (Nasution, 2015).

    Inflamm-aging kurang lebih secara parsial dapat menjadi mekanisme dasar

    untuk menurunnya perkembangan bone loss dan kerusakan penuaan lainnya.

    (Hirose et al., 2003). Penyakit yang meningkatkan sifat inflamasi seperti

    atherosclerosis, Alzheimer's disease dan asma (Bruunsgaard and Pedersen, 2003).

    Banyak sitokin, termasuk IL-6, TNF-α, IL-1, dikeluarkan selama proses penuaan

    dan berperan langsung dalam patogenesis penyakit tersebut (Bruunsgaard, 2002).

    Semua sitokin tersebut bertindak sebagai stimulator aktivitas osteoklas. Penemuan

    ini menyimpulkan sebuah hubungan penyebab yang potensial antara inflamasi

    sistemik dan prevalensi osteoporosis yang berhubungan dengan penuaan. Lalu,

    peningkatan sinyal katabolik yang dikendalikan oleh inflamasi tidak diketahui

    oleh kemampuan diagnosa klinis penyakit inflamasi (Ginaldi et al., 2005), bisa

    saja untuk menginduksi apoptosis osteoblast (Ruobenoff, 2003), sebagaimana

    apopotosis pada sel otot, ini menjelaskan hubungan penuaan, osteoporosis dan

    sarkopenia (Nasution, 2015).

    Osteoporosis, seperti kerusakan yang berhubungan dengan usia lainnya,

    mempunyai komponen genetik yang kuat dan tingkat densitas bone loss pada

    masa proses penuaan. Hal ini menjelaskan kemungkinan dan yang membedakan

    aktivitas sitokin masing-masing individu. Dukungan hipotesis ini telah

    ditunjukkan dengan polimorfisme IL-6 yang dapat menekan resiko osteoporosis

    pada wanita postmenopausal (Chen et al., 2002) Sejalan dengan itu, IL-1β dan

    reseptor antagonis IL-1 yaitu gen polimorfisme IL-1Ra berhubungan dengan

  • 13

    reduksi mineral tulang dan predisposisi wanita untuk osteoporosis pada tulang

    lumbar (Liu et al., 2005).

    Disamping itu, juga penurunan hormon seks bergerak bersama kontribusi

    penuaan untuk patogenesis dari senile osteoporosis selama mekanisme mediasi

    imunologis. Diperkirakan bahwa efek estrogen pada tulang tidak hanya

    melakukan aksi sendiri secara langsung, tapi juga menghambat ekspresi gen IL-6.

    Kejadian ini mempunyai persamaan hubungan antara androgen dengan ekspresi

    gen IL-6 yang juga terjadi (Pfeilschifter et al., 2002). Penurunan fungsi ovarium

    berhubungan dengan penurunan produksi OPG dan peningkatan spontan dalam

    proinflamasi dan sitokin pro-osteoclastic seperti IL-6, TNF-α,dan IL-1 (De

    Martinis et al., 2005).

    2.2 Pelatihan Fisik Berlebih

    Pelatihan fisik berlebih atau Overtraining dapat didefinisikan sebagai

    peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan

    kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik

    dari olahraga (Urhausen dan Kindermann, 2002).

    Para pakar mendefinisikan overtraining sebagai suatu perubahan

    karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan

    rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining saat

    ini (Brooks dan Carter, 2013).

  • 14

    Gambar 2.1 Definisi Overtraining

    (https://overtrainingsyndrome.wordpress.com/)

    Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang

    terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan kompetisi dan

    pemulihan (Brooks dan Carter, 2013; Alves et al., 2006). Hasil penelitian lain

    menyebutkan bahwa 29% dari para atlet mengalami overtraining sepanjang karir

    mereka (Matos et al., 2011). Diperkirakan bahwa 60% dari semua atlet lari elite

    pria dan wanita yang terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif

    mengalami overtraining syndrome (Kreher dan Schwartz, 2012). Peneliti

    membuktikan bahwa resiko mengalami overtraining lebih besar pada olahraga

    individual dibandingkan olahraga kelompok (Matos et al., 2011).

    Tanda-tanda latihan berlebih adalah sebagai berikut (Pinel, 2009) :

    Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah

    tersinggung, dan depresi.

  • 15

    Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat, dan

    tidak toleran terhadap pelatihan.

    Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri otot

    yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya nafsu

    makan.

    Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari

    kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi fungsi

    untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan

    kadar testosteron dan menurunkan gairah seksual (Pangkahila, 2011a).

    Pemeriksaan secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal

    bebas (Pangkahila, 2011b).

    Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik berlebih dapat

    mengakibatkan stres oksidatif. Salah satu penelitian pada testis tikus yang

    direnangkan dengan intensitas tinggi dan durasi lama menunjukkan tingginya

    kadar MDA dan conjugated dienes (CD) bersamaan dengan menurunnya

    antioksidan enzimatik seperti glutathione (GSH), superoksid dismutase (SOD),

    katalase, gluthation-s-tranferase (GST) dan peroksidase (Manna et al., 2006).

    2.2.1 Patofisiologi pelatihan fisik berlebih

    Terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan patofisiologi overtraining

    yang kemudian menyebabkan overtraining syndrome (OTS). Hipotesis ini antara

    lain hipotesis glikogen, central fatigue hypothesis, hipotesis glutamine, hipotesis

    stres oksidatif, hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis hipotalamus dan hipotesis

    sitokin. Hipotesis glikogen menerangkan bahwa penurunan kadar glikogen pada

  • 16

    overtraining menyebabkan kelelahan dan penurunan performa atlet (Kreher dan

    Schwartz, 2012). Central fatigue hypothesis menerangkan bahwa peningkatan

    uptake triptofan pada otak akan merangsang peningkatan neurotransmitter

    serotonin (5-HT) dan merubah mood pada atlet yang overtraining (Budgett et al.,

    2010). Pada hipotesis glutamine, atlet yang mengalami overtraining akan

    mengalami penurunan kadar glutamine sehingga mengalami disfungsi sistem

    imun dan meningkatkan peluang penyakit infeksi (Hiscock and Pedersen, 2002).

    Pada overtraining akan terjadi peningkatan radikal bebas yang merupakan faktor

    perusak sel otot dan menyebabkan kelelahan, merupakan penjelasan hipotesis

    stres oksidatif (Tanskanen et al., 2010). Hipotesis sistem saraf otonom

    menerangkan bahwa overtraining dapat menimbulkan beberapa OTSs didomiasi

    oleh peran saraf parasimpatis (Halson dan Jeukendrup, 2004). Hipotesis

    hipotalamus menekankan pada disregulasi kontrol sekresi hormon-hormon pada

    hipotalamus dan menyebabkan gangguan endokrinologi (Angeli et al., 2004).

    Hipotesis sitokin menekankan pada peran respon peradangan dan sekresi sitokin

    proinflamasi pada sebagian besar OTSs (Smith, 2000).

    2.2.2 Diagnosis dan biomarker pelatihan fisik berlebih

    Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah

    dijadikan standar tes skrining yang komprehensif untuk calon atlet meliputi fungsi

    ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap darah,

    C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone (Petibois

    et al., 2002). Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam berbagai populasi

    atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu atau sensitifitas

  • 17

    yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron (Urhausen dan Kindermann,

    2002). Biomarker stres oksidatif juga telah ditemukan berkorelasi dengan status

    beban latihan (Margonis et al., 2007).

    Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun

    memiliki banyak variabel pengganggu seperti siklus menstruasi, status gizi

    (Meeusen et al., 2006). Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal

    dan atlet dengan overtraining (Kreher dan Schwartz, 2012). Rasio testosteron

    terhadap kortisol juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai marker

    overtraining, dimana rasio ini akan menurun dengan bertambahnya intensitas

    overtraining (Halson dan Jeukendrup, 2004). Sebuah studi prospektif menemukan

    peningkatan yang signifikan secara klinis pada rasio kadar kortisol urin semalam :

    kortisol selama periode beban latihan yang tinggi pada atlet (Gouarne et al.,

    2005).

    2.2.3 Pelatihan Fisik Berlebih dan Stres Oksidatif

    Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 -

    200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan

    radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot.

    Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih

    mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001).

    Proses peroksidasi lipid terdiri atas tiga fase yaitu inisiasi, propagasi, dan

    terminasi (Gambar 2.2). Proses inisiasi adalah proses ketika atom hidrogen

    dikeluarkan dari molekul lipid. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan atom

    hidrogen membentuk radikal hidroksil (.OH), alkoxyl (RO), peroksil (ROO)

  • 18

    mungkin juga H2O. Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas

    asam lemak tak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup

    methylen (-CH2) dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron,

    sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di

    dalam asam lemak melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan

    dengan ikatan ganda, sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom

    hidrogen (Catala, 2006).

    Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh

    menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2)

    membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari

    asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH)

    serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi

    berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Liu et al., 2013).

    Gambar 2.2 Proses Peroksidasi Lipid (Liu et al., 2013)

    Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan

    pada aliran cairan dan permeabilitas, mengubah transport ion serta menghambat

  • 19

    reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel.

    Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid.

    Peroksidasi lipid mengubah psikokemikal lapisan membran lipid menyebabkan

    disfungsi sel yang signifikan. Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid

    seperti MDA, 4-hydroxy-2-noneal (HNE), 4-hydroxy-2-hexenal (4-HHE)

    (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012).

    Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi secara

    bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh

    sehingga secara sederhana prinsip pengukuran peroksidasi lipid adalah memeriksa

    hilangnya lemak. Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes)

    seperti MDA dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan kerusakan pada protein

    dan DNA (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012).

    Selain itu, pada aktivitas fisik berlebih terjadi peningkatan metabolisme

    tubuh, peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot

    yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh

    mitokondria, yang akan menjadi ROS. Umumnya 2-5 % dari oksigen yang

    dipakai dalam proses metabolisme akan menjadi ion superoksid, sehingga saat

    aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas (Sauza et al, 2005).

    Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan stres oksidatif karena terjadi

    peningkatan konsumsi O2 oleh aktivitas otot skeletal. Meskipun O2 sangat

    dibutuhkan ternyata juga bersifat toksik yang dapat memicu peningkatan ROS.

    Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan

    keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini menyebabkan

  • 20

    Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan

    Radikal Bebas (Miyata et al., 2011).

    Gambar 2.3 Iskemia dan Reperfusion Injury (Levy, 2014)

    Aktivitas fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan

    isoprostan dalam urine, protein carbonil (73%), catalase (96%), glutation

    peroxidase serta glutathione teroksidasi (25%). Dapat disimpulkan aktivitas fisik

    berlebih merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis et al.,

    2007).

    Pelatihan fisik yang berlebih diakibatkan oleh 1) tipe pelatihan yang tidak

    sesuai dengan kondisi tubuh; 2) intensitas pelatihan yang terlalu tinggi (lebih dari

    87% dari denyut nadi maksimal); 3) durasi pelatihan yang terlalu panjang (lebih

    dari 60 menit pada setiap latihan); 4) frekuensi pelatihan yang terlalu sering (lebih

    dari 4 kali perminggu) (Hatfield, 2001).

    Pelatihan fisik yang berlebih juga menyebabkan terjadinya penumpukan

    asam laktat dalam otot sehingga dapat menyebabkan stres fisik. Untuk itu

  • 21

    diperlukan masa pemulihan yaitu waktu yang dibutuhkan tubuh untuk kembali

    kekeadaan semula dari keadaan aktivitas pelatihan (Hatfield, 2001).

    Pada latihan fisik berat berupa lari 8 km terjadi ketidakseimbangan antara

    prooksidan dan oksidan intraseluler yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit

    sehingga tejadi peningkatan plasma aspartat transaminase (AST/SGOT) empat

    kali lipat (Droge, 2002). Latihan fisik berat akut meningkatkan kadar

    malondialdehyde (MDA) yang sangat bermakna pada hati, darah, dan otot yang

    merupakan pertanda oxidative stres (Karanth dan Jeevaratnam, 2005).

    2.2.4 Pelatihan Fisik Berlebih dan Osteoporosis

    Pelatihan fisik merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif

    (Margonis et al., 2007). Stres oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal

    bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya. Beberapa

    penelitian melaporkan adanya efek stres oksidatif terhadap diferensiasi dan fungsi

    osteoklas serta pengaruhnya terhadap peningkatan kehilangan massa tulang (Bai

    et al., 2004). Stres oksidatif dapat menghambat pertumbuhan tulang dengan cara

    menghambat diferensiasi osteoblas melalui extracellular signal-regulated kinase

    (ERK) dan ERK-dependent nuclear factor-kB signaling pathway (Bai et al., 2004;

    Shen et al., 2010) (Gambar 2.4).

    https://id.wikipedia.org/wiki/Radikal_bebashttps://id.wikipedia.org/wiki/Radikal_bebas

  • 22

    Gambar 2.4 Stres Oksidatif Mengaktifkan Jalur NF-kB (Almeida, 2010)

    Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan molekul yang sangat reaktif,

    mengandung molekul oksigen dan radikal bebas, termasuk hidroksil (OH) dan

    radikal superoksida (O2), hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet, dan

    peroksida lemak. ROS dapat mengakibatkan stres oksidatif karena sifat radikal

    bebasnya menyebabkan kerusakan beberapa biomolekul, seperti DNA, protein,

    dan lipid (Bai et al.,2004).

    ROS yang dihasilkan oleh mitokondria khususnya radikal hidroksil (OH∙),

    selanjutnya produksi ROS akan mengaktivasi jalur regulasi proses inflamasi

    melalui mekanisme aktivasi ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi

    produksi Nuclear Factor kB (NF-kB) dan NF-kB akan merangsang produksi

    sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-6. TNF-α dan IL-6 akan meningkatkan

  • 23

    osteoklastogenesis, menghambat apoptosis osteoklas dan menghambat aktivasi

    osteoblas (Vali et al., 2007).

    A G I N G

    Gambar 2.5 Peran ROS dalam Osteoporosis (Almeida, 2010 modified)

    Penuaan tulang dikaitkan dengan meningkatnya stres oksidatif, oksidasi

    lipid, dan kepekaan terhadap glukokortikoid (Gambar 2.5). Peningkatan ROS

    menginduksi apoptosis osteoblas dan osteosit melalui aktivasi p66Shc

    dan juga

    merangsang aktivitas transkripsi FoxO. Aktivasi FoxO dapat menurunkan kadar

    β-catenin yang merupakan faktor transkripsi T-Cell Factor (TCF) dan berperan

    pada proses osteoblastogenesis, sehingga aktivasi FoxO menghambat

    osteoblastogenesis. Oksidasi lipid melalui 4-HNE berkontribusi terhadap

    pembentukan ROS. Ekspresi lipoxygenase Alox15 kemudian meningkat sebagai

    respon peningkatan kadar ROS dan meningkatkan laju oksidasi lipid. Lipid

  • 24

    teroksidasi yang dihasilkan kemudian mengaktifkan PPARγ, yang juga

    menurunkan kadar β-catenin. Aktivasi PPAR juga menyebabkan peningkatan

    adipositas sumsum tulang. Peningkatan sensitivitas glukokortikoid

    osteoblas/osteosit seiring bertambahnya usia menyebabkan penurunan

    angiogenesis tulang, volume pembuluh darah, serta menurunkan kekuatan tulang.

    Glukokortikoid juga meningkatkan kadar ROS dalam tulang (Almedia, 2010).

    2.3 Tulang

    2.3.1 Struktur tulang

    Struktur tulang terdiri dari atas sel, serat dan substansi dasar, namun

    komponen ekstraselnya mengapur menjadi substansi keras yang cocok untuk

    fungsi menyokong dan pelindung kerangka. Secara makroskopik, tulang

    dibedakan menjadi dua bentuk tulang yaitu tulang kompak (substansia kompakta)

    dan tulang spons (substansia spongiosa). Tulang kompak tampak sebagai massa

    utuh padat dengan ruang-ruang kecil yang hanya tampak dengan menggunakan

    mikroskop. Kedua bentuk tulang saling berhubungan tanpa batas jelas (Clarke,

    2008; Roza dan Damron, 2014).

    Substansi interstisial tulang terdiri atas dua komponen utama yaitu matriks

    organik sebanyak 35% dan garam-garam anorganik sejumlah 65%. Matriks

    organik terdiri atas 90 % serat-serat kolagen yang terbenam dalam substansi dasar

    kaya proteoglikan, terutama kolagen tipe I. Bahan anorganik tulang terdiri atas

    endapan sejenis kalsium fosfat submikroskopik. Pada tulang yang aktif

    bertumbuh, terdapat empat jenis sel yaitu sel osteoprogenitor, osteoblas, osteosit

  • 25

    dan osteoklas. Sel osteoprogenitor paling aktif selama pertumbuhan tulang dan

    akan diaktifkan kembali semasa kehidupan dewasa saat pemulihan fraktur tulang

    dan bentuk cedera lainnya. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang

    berkembang dan dewasa. Sel utama tulang dewasa adalah osteosit, yang terdapat

    dalam lacuna di dalam matriks yang mengapur. Osteoklas adalah sel yang

    memiliki peran dalam resorpsi tulang dalam proses remodeling tulang. Osteoklas

    menempati lekukan yang disebut lakuna Howship yang terjadi akibat kerja erosif

    osteoklas pada tulang dibawahnya (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

    Sel osteoblas dan osteoklas berperan dalam pengaturan metabolisme

    tulang dan keduanya terlibat dalam perkembangan osteoporosis.

    Ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi tulang adalah kunci

    dari patofisiologi dari penyakit tulang pada orang dewasa termasuk osteoporosis

    (Shen et al., 2010).

    2.3.2 Proses pembentukan tulang

    Kerangka manusia dewasa memiliki total 213 tulang yang memiliki

    berbagai fungsi, selain memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan tempat

    melekatnya otot-otot, melindungi struktur organ vital dan membantu

    pemeliharaan homeostasis mineral dan keseimbangan asam-basa, berfungsi

    sebagai reservoir faktor pertumbuhan dan sitokin serta menyediakan lingkungan

    untuk hematopoesis dalam sumsum tulang. Setiap tulang selalu mengalami

    remodeling selama hidup untuk membantu beradaptasi dengan perubahan

    kekuatan biomekanik, serta perombakan tulang yang tua dan mengalami

    kerusakan mikro dan menggantinya dengan yang baru (Stranding, 2004).

  • 26

    Tulang memiliki beberapa fungsi penting sebagai tempat penyimpanan

    kalsium dan fosfor. Fungsi tersebut sangat penting untuk regulasi kalsium dan

    fosfor dalam darah yang dipengaruhi oleh asupan mineral dalam usus dan sekresi

    mineral dalam urin. Mekanisme homeostasis tulang diatur oleh hormon paratiroid

    (PTH), Calcitonin (CT) dan vitamin D (Lerner, 2006).

    Gambar 2.6 Skema Remodeling Tulang (Subagyo, 2013)

    Remodeling tulang adalah proses dimana tulang diperbarui untuk menjaga

    kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Perombakan melibatkan penghapusan

    terus menerus tulang yang sudah tua, penggantian ini memiliki sintesis matriks

    protein yang baru, dan mineralisasi matriks selanjutnya untuk membentuk tulang

    baru. Proses remodeling tulang meresorbsi tulang yang lama dan membentuk

    tulang baru untuk mencegah akumulasi tulang dengan kerusakan mikro.

    Perombakan dimulai sebelum kelahiran dan berlanjut sampai kematian. Unit

  • 27

    remodeling tulang terdiri dari osteoklas dan osteoblas yang secara berurutan

    melaksanakan resorpsi tulang tua dan pembentukan tulang baru. Siklus

    remodeling terdiri dari empat fase berurutan yaitu aktivasi, resorpsi, pembalikan

    dan pembentukan (Gambar 2.4). Tempat perombakan dapat berkembang secara

    acak tetapi juga ditargetkan ke daerah-daerah yang memerlukan perbaikan tulang

    (Clarke, 2008).

    Jaringan tulang tidaklah statik, tulang yang sehat memerlukan proses

    remodeling dan modeling secara kontinyu untuk mempertahankan fungsi

    penunjang dan sebagai regulator homeostasis mineral (Lerner, 2006).

    2.3.3 Osteoblas

    Osteoblas adalah sel pembentuk tulang dari tulang yang berkembang dan

    dewasa. Selama deposisi aktif dari matriks baru, mereka tersusun sebagai lapis

    epiteloid sel-sel kuboid atau kolumnar pada permukaan tulang. Inti osteoblas

    biasanya terletak pada ujung sel paling jauh dari permukaan tulang.

    Sitoplasmanya sangat basofilik dan sebuah kompleks Golgi tampak mencolok

    sebagai daerah lebih pucat antara inti dan dasar sel (Gambar 2.7). Pada

    mikrograph elektrik, osteoblas memiliki struktur yang diharapkan dari sel yang

    aktif menghasilkan protein. Retikulum endoplasmanya yang luas ditaburi ribosom

    dan banyak ribosom bebas terdapat dalam sitoplasma. Meskipun osteoblas

    terpolarisasi terhadap tulang dibawahnya, pembebasan produknya agaknya tidak

    terbatas pada kutub basal karena ada sel diantaranya yang berangsur-angsur

    diselubungi oleh sekretnya sendiri dan ditransformasi menjadi osteosit, terkurung

    dalam matriks tulang yang baru dibentuk. Selain mensekresi berbagai unsur

  • 28

    matriks seperti kolagen tipe I, proteoglikan, osteokalsin, osteonektin, dan

    osteopoetin, osteoblas juga menghasilkan faktor penumbuh yang memiliki efek

    autokrin dan parakrin penting pada pertumbuhan tulang. Mereka juga memiliki

    reseptor permukaan terhadap berbagai hormon, vitamin, dan sitokin yang

    mempengaruhi aktivitasnya (Kuehnel, 2003; Clarke, 2008; Roza dan Damron,

    2014).

    Gambar 2.7 Gambaran Histologis Osteoblas, Osteoklas dan Osteosit

    (http://www.siumed.edu/~dking2/ssb/remodel.htm)

    2.3.4 Osteoklas

    Seumur hidup tulang tetap mengalami remodeling intern dan pembaruan

    yang mencakup menghilangkan matriks tulang pada banyak tempat, diikuti

    penggantiannya berupa deposisi tulang baru. Dalam proses ini, agen resorpsi

    tulang adalah osteoklas, sel-sel besar sampai berdiameter 150 μm dan

    mengandung sampai 50 inti sel. Sel-sel ini menempati lekukan yang disebut

    http://www.siumed.edu/~dking2/ssb/remodel.htm

  • 29

    lakuna Howship, terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya

    (Gambar 2.5) (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

    Osteoklas adalah sel multinukleus yang berperan dalam proses resorpsi

    tulang (Shen et al., 2010). Osteoklas merupakan satu-satunya sel yang dikenal

    mampu meresorbsi tulang. Osteoklas yang teraktivasi berasal dari sel-sel

    prekursor mononuklear dari monosit–makrofag. Sel prekursor monosit-makrofag

    mononuklear telah diidentifikasi dalam berbagai jaringan, tetapi sel prekursor

    monosit-makrofag mononuklear pada sumsum tulang diperkirakan memiliki

    osteoklas paling banyak (Clarke, 2008).

    Osteoklas menunjukkan polaritas nyata, dengan intinya mengumpul dekat

    permukaan bebasnya yang licin, sedangkan permukaan dekat tulang menunjukkan

    garis-garis radial yang dulu ditafsirkan sebagai brush border. Tetapi mikrograf

    elektron menunjukkan bahwa mereka tidak begitu teratur dan terdiri atas lipatan-

    lipatan dalam dari membran yang membatasi sejumlah besar cabang mirip daun,

    dipisahkan oleh celah-celah sempit. Berbeda dengan brush border, yang

    merupakan kekhususan permukaan stabil, pada osteoklas sangat aktif dan terus

    mengubah konfigurasinya. Studi sinematografik merekam penjuluran dan

    penarikan kembali cabang-cabang bordernya dan perubahan bentuknya. Istilah

    deskriptif ruffled border kini banyak dipakai untuk membedakan kekhususan pada

    dasar osteoklas ini dari brush border pada permukaan lumen epitel absorptif

    (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

    Receptor activator of NF-kB ligand (RANKL) dan Macrofag Colony

    Stimulating Factor (M-CSF) merupakan dua sitokin yang berperan dalam

  • 30

    pembentukan osteoklas. Kedua sitokin tersebut diproduksi oleh sel stromal pada

    sumsum tulang dan dalam membran osteoblas, serta osteoklastogenesis

    memerlukan keberadaan sel stromal dan osteoblas pada sumsum tulang. RANKL

    merupakan bagian dari keluarga TNF dan merupakan faktor penting dalam

    pembentukan osteoklas. M-CSF diperlukan untuk proliferasi, pertahanan dan

    diferensiasi dari prekursor osteoklas, untuk pertahanan osteoklas dan keperluan

    penataan sitoskeletal pada saat resorbsi tulang. Osteoprotegrin (OPG) merupakan

    protein yang mampu mengikat RANKL dengan afinitas yang tinggi untuk

    menghambat aksi dari reseptor RANK (Clarke, 2008).

    2.3.5 Densitas tulang

    Densitas tulang dipengaruhi oleh koordinasi aktivitas osteoblas dan

    osteoklas. Proses remodeling tulang ini tidak hanya untuk mempertahankan massa

    tulang, tetapi berfungsi juga untuk memperbaiki kerusakan mikro pada tulang,

    untuk mencegah terlalu banyak tulang yang tua dan untuk fungsi homeostasis

    mineral. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh berbagai macam hormon

    dan sitokin. Yang terpenting adalah hormon seks untuk menjaga massa tulang

    tetap seimbang dan jika kekurangan salah satu hormon seks baik estrogen maupun

    testosteron dapat menurunkan massa tulang dan meningkatkan resiko osteoporosis

    (Lerner, 2006).

    Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat material tulang

    tersebut. Pada tulang kortikal kekuatan tulangnya sangat tergantung pada

    kepadatan dan porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang semakin keras

    karena mineralisasi sekunder semakin baik, tetapi juga tulang semakin getas, tidak

  • 31

    mudah menerima beban (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

    Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga tergantung pada kepadatan

    tulang dan porositasnya. Penurunan densitas tulang trabekular sekitar 25%, sesuai

    dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penurunan kekuatan tulang sekitar

    44%. Sifat mekanikal tulang trabekular ditentukan oleh mikroarsitekturnya, yaitu

    susunan trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah, ketebalan, jarak dan

    interkoherensi antara satu trabekulasi dengan trabekula lainnya. Dengan

    bertambahnya umur, jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun, jarak antar

    trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh dan interkoneksi juga makin

    buruk karena banyaknya trabekula yang putus (Clarke, 2008; Roza dan Damron,

    2014).

    2.4 Osteoporosis

    Menurut National Osteoporosis Foundation (2014), osteoporosis adalah

    penyakit tulang dengan karakteristik massa tulang yang rendah, terjadi kerusakan

    mikro-arsitektur jaringan tulang yang mempengaruhi kekuatan tulang dan

    meningkatkan risiko keropos tulang.

    Osteoporosis adalah suatu keadaan yang menyebabkan tulang kehilangan

    massa tulang, mengubah mikroarsitektur jaringan tulang sampai melewati ambang

    batas sehingga tulang menjadi rapuh dan akibatnya tulang akan mudah patah.

    Osteoporosis ditandai dengan adanya massa tulang yang rendah yang memicu

    kerapuhan tulang dan meningkatkan kejadian fraktur tulang (Shen et al., 2010).

  • 32

    Definisi osteoporosis yang sering digunakan adalah definisi dari WHO

    dimana osteoporosis adalah suatu penyakit yang memiliki sifat berkurangnya

    massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang, dengan akibat

    meningkatnya kerapuhan tulang dan risiko terjadinya fraktur tulang. Karakteristik

    osteoporosis ditandai dengan adanya penurunan kekuatan tulang. Kekuatan tulang

    ini adalah hasil integrasi antara mineralisasi, arsitektur tulang, bone turn over dan

    akumulasi kerusakan tulang. Osteoporosis identik dengan kehilangan massa

    tulang, yaitu kelainan tulang yang merujuk pada kelainan kekuatan tulang.

    Apabila kekuatan tulang ini menurun maka merupakan faktor predisposisi

    terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014).

    Massa tulang pada manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dengan

    kontribusi dari nutrisi, keadaan endokrin, aktivitas fisik dan kondisi kesehatan saat

    masa pertumbuhan. Proses pembentukan tulang yang memelihara kesehatan

    tulang dapat dikategorikan sebagai program pencegahan, secara kontinyu

    mengganti tulang yang lama dan menggantikannya dengan tulang yang baru.

    Kehilangan massa tulang terjadi saat keseimbangan proses pembentukan tulang

    terganggu sehingga resorpsi tulang lebih banyak dari pembentukan tulang baru.

    Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi pada orang lanjut usia dan pada wanita

    yang mengalami menopause. Kehilangan massa tulang dapat mengubah mikro-

    arsitek jaringan tulang dan meningkatkan resiko fraktur tulang (National

    Osteoporosis Foundation, 2014).

  • 33

    2.4.1 Penyebab Osteoporosis

    Usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor penentu utama dari massa

    tulang dan resiko patah tulang. Osteoporosis dapat terjadi pada semua usia, namun

    hal ini lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia. Selama masa anak-anak dan

    dewasa muda, pembentukan tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan

    kerusakan tulang. Titik puncak massa tulang (peak bone mass) tercapai pada

    sekitar usia 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi jauh

    lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan tulang. Penurunan massa tulang

    yang cepat akan menyebabkan kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya

    pada tulang trabekular (National Osteoporosis Foundation, 2014).

    Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa

    puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa

    puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan

    faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses menua,

    menopause, faktor lain yaitu obat obatan, aktivitas fisik yang kurang serta gaya

    hidup tidak sehat. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya

    penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan

    faktor resiko terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014).

    2.4.2 Jenis-jenis osteoporosis

    Osteoporosis dibagi dalam 2 bentuk, yaitu primer dan sekunder.

    Osteoporosis primer apabila penyebabnya berhubungan dengan usia (senile

    osteoporosis) atau penyebabnya tidak diketahui sama sekali (idiophatic

  • 34

    osteoporosis). Osteoporosis sekunder dikaitkan dengan kebiasaan gaya hidup,

    obat-obatan atau penyakit tertentu (Permana, 2009).

    Osteoporosis postmenopausal, terjadi karena kekurangan hormon estrogen,

    yang membantu mengatur transportasi kalsium ke dalam tulang pada wanita.

    Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa

    mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Namun tidak semua wanita

    memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita

    kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita

    kulit hitam. Osteoporosis senilis, kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan

    kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara

    kecepatan resorpsi tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti

    bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi

    pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita

    seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal (Mulyaningsih,

    2008).

    Osteoporosis sekunder, dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis,

    yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini

    bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,

    paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-

    kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Konsumsi alkohol yang berlebihan

    dan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Mulyaningsih, 2008).

  • 35

    2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Osteoporosis

    1) Usia

    Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu

    juga dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun,

    jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang. Tetapi setelah usia

    30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada

    yang dibuat (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013)

    Tulang mempunyai 3 permukaan, atau bisa disebut juga dengan envelope,

    dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang

    yang menghadap lubang sumsum tulang disebut dengan endosteal envelope,

    permukaan luarnya disebut periosteal envelope, dan diantara keduanya terdapat

    intracortical envelope. Ketika masa kanak-kanak, tulang baru terbentuk pada

    periosteal envelope. Anak- anak tumbuh karena jumlah yang terbentuk dalam

    periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang

    kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena

    meningkatnya produksi hormon seks. Seiring dengan meningkatnya usia,

    pertumbuhan tulang akan semakin berkurang (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et

    al., 2013).

    Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65

    tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki

    hubungan dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara

    osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga dengan fraktur osteoporotik

    akan meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur pergelangan tangan

  • 36

    meningkat secara bermakna setelah umur 50, fraktur vertebra meningkat setelah

    umur 60, dan fraktur panggul sekitar umur 70 (Fatmah, 2008).

    2) Jenis Kelamin

    Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

    osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk

    terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita

    dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya

    osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme,

    konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan (Migliaccio et

    al., 2009). Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1

    (Jakobsen et al., 2013)

    3) Ras

    Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi,

    sedangkan ras kulit putih terutama Eropa Utara, memiliki massa tulang terendah.

    Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya.

    Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara

    anak Afrika-Amerika dan anak kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya

    memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot memiliki

    kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin

    tinggi sehingga tulang semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita

    Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada wanita berkulit

    putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras

    tersebut (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).

  • 37

    Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa wanita yang berasal

    dari negara-negara Eropa Utara, Jepang, dan Cina lebih mudah terkena

    osteoporosis daripada yang berasal dari Afrika, Spanyol, atau Mediterania (Burke-

    Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).

    4) Riwayat Keluarga

    Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian

    terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian

    pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan

    dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa

    tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih

    rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam

    menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang (Burke-Doe et al., 2008;

    Migliaccio et al., 2009; Jakobsen et al., 2013)

    5) Aktivitas Fisik

    Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan

    menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang.

    Kurang aktivitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat

    mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktivitas fisik yang cukup dapat

    menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet

    memiliki massa tulang yang lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi

    osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan

    harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah

  • 38

    daripada yang memiliki aktivitas fisik tingkat sedang dan rendah (Burke-Doe et

    al., 2008; Jakobsen et al., 2013).

    6) Penggunan kortikosteroid

    Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,

    terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka

    panjang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis sekunder dan fraktur

    osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila

    dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan (Jehle, 2003).

    Kortikosteroid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan

    peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal, sehingga akan terjadi hipokalsemia

    (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).

    Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium,

    kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin,

    sehingga produksi estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan

    kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan menghambat kerja osteoblas, sehingga

    penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya peningkatan kerja

    osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang

    progresif (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).

    7) Merokok

    Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen,

    sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah

    daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan

    mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat

  • 39

    badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira

    5 tahun lebih awal ), daripada non-perokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang

    merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis dibandingkan

    wanita yang tidak merokok (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).

    8) Riwayat Fraktur

    Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat

    fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis (Tebé et al., 2011).

    2.4.4 Peran Radikal Bebas terhadap Penuaan dan Osteoporosis

    Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan

    antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh

    karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal

    bebas (Saxena dan Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus

    di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target

    utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta

    unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal diatas yang paling rentan adalah

    asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam

    lemak tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh

    (Pasupathi, 2009).

    Ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas

    akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan inilah

    perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi dan

    menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis senyawa

    yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak tak jenuh

  • 40

    yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan protein

    (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007).

    Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan

    menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat

    digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet

    melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging)

    dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi

    atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007).

    Inflamm-aging kurang lebih secara parsial dapat menjadi mekanisme dasar

    untuk menurunnya perkembangan bone loss dan kerusakan penuaan lainnya.

    (Hirose et al., 2003). Semua sitokin yang diturunkan selama proses penuaan

    bertindak sebagai stimulator aktivitas osteoklas. Peningkatan sinyal katabolik

    yang dikendalikan oleh inflamasi tidak diketahui oleh kemampuan diagnosa klinis

    penyakit inflamasi (Ginaldi et al., 2005), bisa saja untuk menginduksi osteoblast

    apoptosis (Ruobenoff, 2003), sebagaimana apopotosis pada sel otot, ini

    menjelaskan hubungan penuaan, osteoporosis dan sarkopenia (Nasution, 2015).

    2.5 Anggur (Vitis vinifera)

    2.5.1. Karakteristik Tanaman Anggur

    Pohon anggur merupakan semak yang tumbuh memanjat dan memiliki

    keistimewaan ranting-rantingnya yang mampu mengeluarkan buah yang lebat dan

    lezat (Wongsodipuro, 2010). Karena keistimewaan ini, anggur dibudidayakan

    sebagai tanaman penghasil buah (Nurcahyo, 2010). Di Indonesia terdapat dua

  • 41

    jenis spesies anggur yang umum dibudidayakan dan bisa dikonsumsi, yakni Vitis

    vinifera dan Vitis labrusca. Kedua jenis anggur ini memiliki karakter yang

    berbeda dengan kebutuhan tempat hidup yang berbeda pula (Wiryanta, 2008)

    Buah anggur berbentuk bulat. Buah yang matang kulitnya berwarna ungu

    kehitaman dan mengandung tepung atau lilin yang tebal. Daging buahnya

    berwarna putih dengan rasa manis. Setiap buah berisi 2-3 biji yang ukurannya

    cukup besar, berbentuk lonjong, dan berwarna coklat muda. Setiap 100 buah

    mempunyai bobot 535 g. Umur panennya antara 105-110 hari setelah pangkas.

    Karakteristik tanaman anggur lainnya antara lain batang yang berbentuk tegak,

    silindris, berkayu dan coklat kehijauan. Daunnya tunggal, lonjong, berseling, tepi

    bergigi, berambut, panjang 10-16 cm, lebar 5-8 cm, bertangkai panjang dengan

    panjang 10 cm dan berwarna hijau (Nurcahyo, 2010).

    Klasifikasi ilmiah dari anggur adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2013) :

    Kerajaan : Plantae

    Divisi : Magnoliophyta

    Kelas : Magnoliopsida

    Ordo : Vitales

    Famili : Vitaceae

    Genus : Vitis

    Species : V. vinifera

    Nama Binomial : Vitis vinifera

  • 42

    2.5.2. Kandungan Kimia Buah Anggur

    Buah anggur memiliki banyak sekali kandungan nutrisi seperti vitamin,

    mineral, karbohidrat, protein serta phytochemical. Senyawa Phytochemical pada

    buah anggur yang memiliki nilai manfaat paling tinggi adalah polifenol karena

    aktivitas biologisnya. Pada dasarnya, polifenol dalam anggur dapat dibagi menjadi

    2 kelas, yakni flavonoid dan non flavonoid. Non flavonoid terdiri dari asam fenol

    dan resveratrol (Ivanova et al., 2010).

    2.5.2.1 Flavonoid

    Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol dengan aktivitas

    antioksidan yang tinggi. Flavonoid sebagai antioksidan dapat menghambat reaksi

    peroksidasi lipid dan merupakan senyawa pereduksi yang baik. Flavonoid

    bertindak sebagai penangkal yang baik untuk radikal hidroksil dan superoksida

    sehingga membran lipid terlindungi (Tapas et al., 2008).

    Flavonoid umumnya memiliki struktur yang terdiri dari dua cincin

    aromatik (A dan B) yang terikat dengan tiga karbon dan biasanya dalam bentuk

    heterosiklik teroksigenasi. Variasi struktur flavonoid ini terjadi karena

    hidroksilasi, metilasi, isoprenilasi, dimerisasi dan glikosilasi (Tapas et al., 2008).

    Flavonoid pada anggur terbagi menjadi beberapa subkelas, yaitu flavonol

    (quercetin, kaempferol, myricetin), flavanol (proanthocyanidin, flavan-3-

    ols,catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin 3-O-gallate,)flavon

    (rutin), anthocyanidin (cyanidin, malvidin), flavanon (hesperitin), dan isoflavon

    (Shi et al., 2003; Ivanova et al., 2010).

  • 43

    Gambar 2.8 Struktur Kimia Flavonoid (Navarrete et al., 2011)

    Flavonoid merupakan suatu antoksidan golongan phenol yang banyak

    ditemukan di sayuran, buah-buahan, kulit pohon, akar, bunga, teh dan wine. Ada

    empat golongan utama flavonoid yaitu Flavon, Flavanones, Catechins,

    Anthocyanin. Flavonoid dapat membantu memberikan perlindungan terhadap

    beberapa penyakit bersama dengan vitamin, antioksidan dan enzim, untuk

    pertahanan antioksidan total dalam tubuh (Nijveldt et al., 2001).

    Sebuah penelitian oleh Dr Van Acker di Belanda menunjukan bahwa

    flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai pemecah rantai anti-oksidan

    didalam membran hati. Konstribusi flavonoid untuk sistem pertahanan

    antioksidan sangat besar mengingat total asupan harian flavonoid dapat berkisar

    50-800 mg, konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata asupan harian

    diet antioksidan lain seperti vitamin C (70 mg), vitamin E (7-10 mg) atau

    karotenoid (2-3 mg). Asupan Flavonoid tergantung pada asupan buah–buahan,

    sayuran dan minuman tertentu seperti red wine, teh, bir. Efek penting flavonoid

  • 44

    adalah sebagai pemusnah oksigen yang membawa radikal bebas. Salah satu

    kelompok flavonoid adalah antosianin. Antosianin banyak ditemukan di buah

    beri, anggur, dan buah lainnya yang berwarna merah keunguan (Nijveldt et al.,

    2001).

    Kandungan terpenting yang dimiliki oleh hampir setiap kelompok flavonoid

    adalah kapasitas mereka sebagai antioksidan untuk membantu tubuh melawan

    oksigen reaktif. Flavonoid memiliki kemampuan menambah efek dari susunan

    pemusnah endogen tersebut. Flavonoid bisa mengganggu sistem produksi radikal

    bebas atau bisa juga dengan meningkatkan fungsi antioksidan endogen

    (Hybertson et al., 2011).

    Flavonoid bisa mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas

    dengan beberapa cara. Salah satunya adalah memakan radikal bebas secara

    langsung. Flavonoid dioksidasi oleh radikal, menghasilkan radikal yang lebih

    stabil dan kurang reaktif. Flavonoid menstabilkan senyawa oksigen reaktif dengan

    bereaksi dengan susunan reaktif dari radikal tersebut (Hybertson et al., 2011).

    Beberapa flavonoid tertentu dapat mengurangi aktivasi komplemen, sehingga

    menurunkan adesi sel inflamasi ke endothelium, menyebabkan berkurangnya

    respon inflamasi. Hal penting lain dari flavonoid adalah mengurangi pelepasan

    dari peroksidase, yang menghambat produksi reactive oxygen species oleh

    neutrofil dengan mempengaruhi aktivasi α1-antitripsin. Efek lain yang juga

    menarik dari flavonoid adalah menghambat metabolisme arachidonic acid. Hal

    tersebut memberikan efek antiinflamasi dan antitrombotik pada flavonoid.

  • 45

    Pelepasan arachidonic acid merupakan awal penting untuk terjadinya respon

    inflamasi secara umum (Nijveidt et al., 2001).

    Proanthocyanidin yang terutama terdapat pada ekstrak biji anggur telah

    diketahui memiliki kadar antioksidan tinggi dan melindungi tubuh terhadap

    penuaan dini, penyakit dan kehilangan kekuatan fisik. Proanthocyanidin ternyata

    memiliki kekuatan antioksidan lebih tinggi daripada vitamin E dan vitamin C

    (Shi et al., 2003). Selain aktivitas antioksidan, proanthocyanidin juga telah

    diketahui memiliki aktivitas anti-kanker, anti-alergi, kardioprotektif, dan anti-

    inflamasi (Bagchi et al., 2000).

    Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar

    proanthocyanidin berkisar antara 48,7 – 73,3 mg/ 100 gram anggur merah, dan

    3426,5 –3638,1 mg/100 gram biji anggur. Proanthocyanidin merupakan oligomer

    atau polimer dari flavan-3-ol yang terhubung melalui ikatan tipe-B tunggal, atau

    ikatan tipe-A rangkap ganda. Proanthocyanidin yang hanya mengandung

    epicatechin disebut dengan procyanidin, yang mengandung epiafzelechin disebut

    propelargonidin, sedangkan yang mengandung epigallocatechin disebut dengan

    prodelphinidin. Di alam, propelargonidin dan prodelphinidin lebih jarang

    ditemukan dibandingkan procyanidin (Gu et al., 2004).

    2.5.2.2 Fenol

    Senyawa fenol adalah metabolit sekunder tumbuhan yang berasal dari suatu

    jalur biosintesa dengan prekursor dari jalur sikimat dan/atau asetat-malonat.

    Fungsi metabolit ini adalah untuk melindungi tumbuhan dari serangan stres

    biologis dan lingkungan. Oleh karena itu, senyawa ini disintesa untuk merespon

  • 46

    serangan patogen seperti jamur atau bakteri. Fenol dapat berfungsi sebagai

    antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada

    oksidasi lipid (Tapas et al., 2008). Senyawa fenol yang banyak terkandung di

    dalam anggur adalah hydroxybenzoate (gallic acid) dan hydroxycinnamate.Gallic

    acid (3,4,5-Trihydroxybenzoicacid) telah diteliti memiliki aktivitas antioksidan,

    anti-mutagenik, anti-kanker dan anti-obesitas (Ivanova et al., 2010).

    2.5.2.3 Resveratrol

    Resveratrol (3,5,4’-trihydroxystilbene) adalah senyawa polifenol (stilbene)

    yang ditemukan terutama pada kulit anggur (Burns et al., 2002). Banyak

    penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa resveratrol memiliki efek

    kardioprotektif (Bertelli dan Das, 2009), antioksidan (Cai et al., 2003), anti-

    inflamasi (Martin et al., 2004), anti-kanker (Kim et al., 2003), anti-obesitas, anti-

    penuaan, dan vasoprotektif (Baur et al., 2006; Lagouge et al., 2006). Penelitian

    yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar resveratrol berkisar antara 0,24 –

    1,25 mg/ 160 g anggur merah, dan 1,14 – 8,69 mg/L jus anggur (Burns et al.,

    2002).

    Resveratrol ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada pohon anggur dalam

    tanaman, akar, biji dan tangkai bunga. Kandungan tertinggi terdapat pada kulit

    buah anggur. Kandungan resveratrol dalam kulit anggur yang segar berkisar 50-

    100 mikrogram per gram dan pada red wine berkisar 0,6 - 0,8 mikrogram per

    milliliter (Howes, 2006).

  • 47

    2.5.3. Manfaat Buah Anggur

    Telah diketahui secara luas bahwa buah anggur mengandung berbagai macam

    zat gizi dan antioksidan yang berguna bagi kesehatan. Berbagai kandungan

    vitamin, mineral, dan antioksidan dalam anggur memiliki banyak sekali khasiat

    (Wiryanta, 2008).

    Anggur memiliki kandungan vitamin A, B1, B2, B6 dan C. Selain itu, buah

    anggur juga memiliki kandungan flavonoid. Semakin hitam warna anggur maka

    semakin banyak kandungan atau konsentrasi flavonoid di dalamnya. Karena itu

    anggur Bali yang memiliki warna ungu kehitaman mengandung flavonoid yang

    tinggi (Ahira, 2010).

    Banyak dilakukan penelitian yang membuktikan bahwa kandungan polifenol

    dalam buah anggur memiliki manfaat sebagai antioksidan (Nile et al., 2013),

    menghambat proliferasi sel karsinoma, menstimulasi innate immunity (Kim et al.,

    2011), mencegah penuaan kulit (Richard dan Baxter, 2008), neuroprotektif (Lobo,

    2010),menurunkan kadar lipid pada obesitas (Park et al., 2008), bakteristatik dan

    bakterisidal (Baydar et al., 2006), meningkatkan fungsi hati pada Non-alcoholic

    fatty liver disease (Khoshbaten, 2010), memperbaiki profil GFR pada gagal ginjal

    kronis (Saldanha et al., 2013), mencegah pembentukan biofilm oleh bakteri

    patogen pada gigi (Furiga et al., 2013), serta menurunkan kolesterol

    (Thiruchenduran et al., 2011).

    2.5.4. Anggur sebagai Antioksidan untuk Osteoporosis

    Sebuah studi epidemiologi mengindikasi hubungan antara asupan

    antioksidan dan kesehatan tulang (Rao et al., 2012). Dalam pengertian kimia,

  • 48

    senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (elektron donor). Namun

    dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas, yaitu merupakan senyawa–

    senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan (radikal bebas), termasuk

    enzim dan protein pengikat logam (Pangkahila, 2007)

    Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 kelompok (Winarsi,

    2007) yaitu :

    1. Antioksidan enzymatis / antioksidan primer / antioksidan endogenus / chain-

    breaking-antioxidant misalnya : enzim superoksida dismutase (SOD),

    katalase, dan glutation peroksidase.

    2. Antioksidan non – enzimatis dibagi 2 kelompok lagi yaitu

    a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, qinon,

    dan bilirubin.

    b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat

    logam, protein pengikat heme.

    Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi

    aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat

    oleh kerja antioksidan dalam tubuh.

    Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan

    dapat dibagi menjadi 2 golongan ( Kaur dan Kapoor, 2001) yaitu:

    1. Antioksidan pencegah (preventive antioksidan)

    Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal

    hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal

    hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan

  • 49

    O2•, agar reaksi Fenton (Fe ++

    (Cu+) ) + H2O2 Fe

    +++ ( Cu

    ++ ) + OH

    - +

    •OH tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe2+

    atau Cu+ bebas .

    Diperlukan peran beberapa protein penting, yaitu :

    a. Untuk Fe : transferin atau feritin

    b. Untuk Cu : seruplasmin atau albumin

    Penimbunan O2•- dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) yaitu

    dengan mengkatalisa reaksi dismutasi O2• -

    :

    2O2• -

    + 2H -------- H2O2 + O2

    Penimbunan H2O2 dicegah melalui aktivitas dua enzim yaitu :

    a. Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutase H2O2

    2H2O2 ---------- 2 H2O2 + O 2

    b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut:

    R + H2O2 -------- RO + H2O

    2. Antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidan)

    Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitamin E, caroten, flavonoid,

    quinon bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk

    mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya vitamin C, glutation dan sistein

    bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol.

    Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3

    tahapan reaksi (Winarsi, 2007) yaitu:

    1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas.

    Misal:

    Fe ++

    + H2O2 -----. Fe +++

    + OH - + • OH

  • 50

    2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.

    Anggur bekerja pada tahap ini karena flavonoid pada anggur bekerja sebagai

    pemutus rantai reaksi pemanjangan

    3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau

    penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah.

    Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron

    transfer). Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang

    setiap tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Oleh karena oksigen

    hanya dapat menerima satu elektron pada setiap tahap maka terjadi dua hal yaitu :

    1. Kurangnya reaktif oksigen

    2. Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O2 • ( ion peroksida),

    H2O2 ( hydrogen peroksida ) , • OOH ( radikal peroksil)

    Reaksi–reaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa-

    senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat

    dapat sebagai berikut :

    O2 + e- -------- O2 - • ( ion peroksida)

    O2 + e- + H+ ------ • OOH (radikal peroksil)

    O2 + 2e- + 2 H + ------- H2O2 (hydrogen peroksida)

    O2 + 3 e- + 3H + -------- • OH + H2O (radikal hidroksil)

    O2 + 4 e- + 4H+ -------- 2 H2O

    Dari reaksi–reaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil,

    hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang

    kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.

  • 51

    Tabel 2.1

    Spesies Oksigen Reaktif dan Antioksidannya (Kaur and Kapoor,2001)

    Spesies reaktif Antioksidan

    O2 Oksigen singlet Vitamin A, ß karoten, vitamin E

    O2 - • Radikal bebas

    superoksida

    Superoksida Dismutase, ß-karoten,

    Vitamin E, Flavonoid

    OH • Radikal bebas hidroksil Flavonoid, Albumin.

    ROO• Radikal bebas peroksil Vitamin E, Vitamin C, Flavonoid

    H2O2 Hidrogen Peroksida Katalase, Glutation Peroksidase,

    Flavonoid

    LOOH Lipid peroksida Glutation peroksidase, Flavonoid.

    Kandungan flavonoid pada anggur dapat meredam radikal bebas dalam

    tubuh melalui dua cara, yaitu meredam radikal bebas secara langsung dan

    mengaktivasi sintesis antioksidan endogen melalui jalur Nuclear factor-E2-

    related factor 2 (Nrf2). Nrf2 merupakan faktor transkripsi yang terlibat dalam

    ekspresi antioksidan endogen dan banyak protein lain yang terlibat dalam regulasi

    pembelahan sel dan apoptosis. Pada keadaan fisiologis, Nrf2 terikat pada Kelch-

    like ECH-associated protein 1 (Keap1). Namun jika terdapat rangsangan stres

    oksidatif atau radikal bebas, maka ikatan ini akan terlepas. Lepasnya ikatan ini

    mengaktifkan kerja Nrf2 yang merupakan faktor transkripsi untuk antioksidan

    endogen enzimatik seperti SOD, GSH, dan katalase (Hybertson et al., 2011; Surh,

    2013).

    Flavonoid yang banyak ditemukan dalam buah anggur seperti Quercetin,

    Epigallocatechin gallate (EGCG) dan curcumin bertindak sebagai antioksidan

  • 52

    eksogen yang didapat dari luar tubuh. Sebagai antioksidan, flavonoid ini dapat

    bekerja secara langsung meredam radikal bebas, dan bisa juga membantu aktivasi

    Nrf2 dengan cara memfosforilasi molekul Nrf2 sehingga Nrf2 menginduksi

    sistem transkripsi protein enzimatik antioksidan endogen seperti SOD, GSH, dan

    katalase (Hybertson et al., 2011; Surh, 2013; TRACD, 2014).

    Gambar 2.9 Flavonoid dan Aktivasi Sintesis Antioksidan Endogen melalui

    Jalur Nrf2 (TRACD, 2014)

    Fenol pada buah anggur dapat berfungsi sebagai antioksidan primer

    karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et

    al., 2008).

    Resveratrol menurunkan sekresi TNF-α, sehingga IL-6 menurun (Baile et

    al., 2011). Penurunan sekresi TNF-α dan IL-6 menurunkan osteoklastogenesis,

    meningkatkan apoptosis osteoklas dan meningkatkan aktivasi osteoblas (Vali et

    al., 2007).

  • 53

    2.6. Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)

    Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang

    dipelihara. Tikus merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan dalam

    berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara,

    cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia,

    karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan

    Kirkwood, 2010).

    Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008):

    Kingdom : Animalia

    Filum : Chordata

    Kelas : Mamalia

    Ordo : Rodentia

    Family : Muridae

    Genus : Rattus

    Spesies : Rattus norvegicus

  • 54

    Gambar 2.10 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

    (Kalsum et al., 2015)

    2.6.1. Penggunaan Tikus

    Percobaan ini menggunakan tikus Wistar (Rattus norvegicus) karena tikus

    jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus

    jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat

    hidup hingga usia 4 tahun.Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor

    pendek (Kusumawati, 2004).

  • 55

    Tabel 2.2

    Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)

    No. Kondisi Biologi Jumlah

    1. Berat badan: -jantan 300-400 g

    -betina 250-300 g

    2. Lama hidup 2,5- 3 tahun

    3. Temperatur tubuh 37,50 C

    4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB

    -makanan 5g/100g BB

    5. Pubertas 50-60 hari

    6. Lama kehamilan 21-23 hari

    7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg

    -diastolik 58-145 mmHg

    8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit

    -respirasi 66-114/menit

    9. Tidal Volume 0,6-1,25mm

    Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada

    mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang

    berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu

    tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat

    tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-

  • 56

    rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Russel et al.,

    2008).

    2.6.2. Pemberian makanan dan minuman

    Bahan dasar makanan untuk tikus dapat berupa misalnya protein 20-25%,

    lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg,

    vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4

    mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10

    μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg. Pemberian minum tikus ad

    libitum (Ngatidjan, 2006).

    2.6.3. Pemantauan keselamatan tikus

    Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu

    kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang

    lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu,

    mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur

    menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan

    pertukaran udara di dalam kandang harus baik. Setiap hari kandang dibersihkan

    dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus,

    memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas

    ataupun mencret (Ngatidjan, 2006).