BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Struktur Normal Tiroid 2.1.1 ... II. TESIS.pdf · Kelenjar tiroid normal...

39
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Struktur Normal Tiroid 2.1.1 Anatomi Makroskopis Tiroid Kelenjar tiroid normal berbentuk seperti sayap kupu-kupu dengan dua lobus lateral dihubungkan oleh isthmus. Lebar lobus lateralis dua sampai dua setengah cm, panjang limasampai enam cm, dan tebal dua cm. Lobus yang satu bisa lebih besar dibandingkan lobus yang lain. Lobuspiramidalis, yang merupakansisa duktus tiroglosusditemukan pada 40% kelenjar tiroid. Ini terlihat sebagai tonjolan pendek dari jaringan tiroid yang memanjang dari isthmus sampai permukaan tulang rawan tiroid (Kondo et al., 2006; Carcangiu, 2007; Merino, 2008; Rosai, 2010). Kelenjar tiroid terletak di tengah leher dan terikat dengan bagian depan trakea oleh jaringan ikat longgar. Kedua lobus lateralis mengelilingi bagian ventral danlateral laring serta trakea sampai bagian bawah tulang rawan tiroid dan menutupi cincin trakea ke dua, tiga, dan empat. Berat normal tiroid 15 sampai 25 gram (Kondo et al., 2006; Carcangiu, 2007). Variasi berat tiroid dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, status fungsional kelanjar tiroid, serta asupan iodine. Volume kelenjar tiroid meningkat pada wanita saat menstruasi. Kapsel jaringan ikat tipis menutupi kelenjar tiroid. Septa jaringan ikat fibrus berhubungan dengan kapsel ini dan menembus parenkim tiroid, membagi tiroid menjadi lobulus (disebut thyromeres) (Carcangiu, 2007).

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Struktur Normal Tiroid 2.1.1 ... II. TESIS.pdf · Kelenjar tiroid normal...

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Struktur Normal Tiroid

2.1.1 Anatomi Makroskopis Tiroid

Kelenjar tiroid normal berbentuk seperti sayap kupu-kupu dengan dua lobus

lateral dihubungkan oleh isthmus. Lebar lobus lateralis dua sampai dua setengah

cm, panjang limasampai enam cm, dan tebal dua cm. Lobus yang satu bisa lebih

besar dibandingkan lobus yang lain. Lobuspiramidalis, yang merupakansisa

duktus tiroglosusditemukan pada 40% kelenjar tiroid. Ini terlihat sebagai tonjolan

pendek dari jaringan tiroid yang memanjang dari isthmus sampai permukaan

tulang rawan tiroid (Kondo et al., 2006; Carcangiu, 2007; Merino, 2008; Rosai,

2010).

Kelenjar tiroid terletak di tengah leher dan terikat dengan bagian depan trakea

oleh jaringan ikat longgar. Kedua lobus lateralis mengelilingi bagian ventral

danlateral laring serta trakea sampai bagian bawah tulang rawan tiroid dan

menutupi cincin trakea ke dua, tiga, dan empat. Berat normal tiroid 15 sampai 25

gram (Kondo et al., 2006; Carcangiu, 2007). Variasi berat tiroid dipengaruhi oleh

umur, jenis kelamin, berat badan, status fungsional kelanjar tiroid, serta asupan

iodine. Volume kelenjar tiroid meningkat pada wanita saat menstruasi. Kapsel

jaringan ikat tipis menutupi kelenjar tiroid. Septa jaringan ikat fibrus berhubungan

dengan kapsel ini dan menembus parenkim tiroid, membagi tiroid menjadi lobulus

(disebut thyromeres) (Carcangiu, 2007).

10

Warna normal tiroid merah kecoklatan. Pada orang tua kelenjar tampak

kehitaman, karena penumpukan pigmen menyerupai melanosit pada sel folikel.

Fenomena ini disebut melanosis thyroid atau black thyroid. Hal ini juga

ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan minocycline (Carcangiu,

2007; Baloch and LiVolsi, 2010; Rosai, 2010).

Aliran darah tiroid berasal dari arteri tiroid superior, arteri tiroid inferior, dan

arteri tiroid ima. Jaringan limfatik menembus kelenjar tiroid, mengelilingi folikel

dan menghubungkan kedua lobus melalui isthmus. Aliran limfe dari lobus

superior dan isthmusmenuju kelenjar getah bening jugularis interna, dan bagian

inferior menuju kelenjar getah bening pretracheal, paratracheal, serta

prelaryngeal. Lokasi tumor primer berhubungan dengan lokasi awal metastasis

kelenjar getah bening. Derajat anastomosis kelenjar betah bening dapat

memberikan petunjuk lokasi tumor primer (Carcangiu, 2007).

2.1.2 Anatomi MikroskopisTiroid

Folikel adalah unit dasar kelenjar tiroid. Bentuknya bulat sampai oval, ditutupi

selapis epitel yang terletak pada membran basalis. Lumen folikel berisi koloid,

yaitu bahan jernih yang sebagian besar terdiri dari protein, termasuk thyroglobulin

(TGB) yang dikeluarkan oleh sel folikular (Gambar 2.1 A) (Carcangiu, 2007;

Baloch and LiVolsi, 2010).

Folikel dipisahkan dengan folikel lainnya oleh jaringan ikat longgar tipis.

Rerata ukuran diameter folikel adalah 200 µm (Kondo et al., 2006; Carcangiu,

2007). Ukuran folikel bervariasi tergantung status fungsi kelenjar dan umur.

11

Bentuk folikel yang memanjang merupakan gambaran hiperplasia atau neoplasia

sebagai akibat adanya penekanan pada struktur folikel (Gambar 2.1 B)

(Carcangiu, 2007).

Gambar 2.1

Mikroskopiskelenjar tiroid.A. Bentuk folikel bulat sampai oval. B. Folikel

tampak memanjang akibat kompresi (Carcangiu, 2007)

Sel epitel kelenjar yang melapisi folikel adalah sel folikular atau thyrocytes.

Selain itu, ada pula komponen sel lain yang disebut sebagai sel C atau

parafolikular. Sel folikular atau thyrocytes mempunyai ukuran dan bentuk yang

bervariasi sesuai dengan status fungsional kelenjar. Ada tiga tipe sel, yaitu pipih

(endotelioid), kubus, dan kolumnar (silindris). Sel pipih tidak aktif. Sel kubus

merupakan sel yang paling banyak, dan fungsi utamanya untuk sekresi koloid. Sel

kolumnar berfungsi menyerap TGB, menyimpanhormon aktif, dan mengeluarkan

hormon tersebut ke pembuluh darah (Carcangiu, 2007).

Pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan sel folikel tersusun selapis

melingkari koloid dengan ketebalan sekitar 35 sampai 40 µm dan terletak di

membran basalis, terpisah dengan stroma interstitial. Tampak mikrovili pada

permukaan sel dengan jumlah dan panjang yang meningkat pada sel yang aktif.

Jumlah retikulum endoplasma bervariasi, ukuran mitokondria, dan lisosom

12

biasanya kecil. Apabila jumlah mitokondria meningkat akan tampak butir-butir

dengan sitoplasma lebih eosinofilik (hurthle cell) (Carcangiu, 2007; Rosai, 2010).

2.1.3 Fisiologi Tiroid

Fungsi utama kelenjar tiroid adalah menghasilkan hormon tiroid. Hormon tiroid

yang paling penting adalah triiodothyroxine (T3) dan thyroxine (T4). Hormon ini

mengatur metabolisme, peningkatan sistesis protein di setiap jaringan tubuh,

meningkatkan penggunaan oksigen, meningkatkan produksi panas tubuh, cardiac

output, dan denyut jantung.. Hormon tiroid juga penting untuk perkembangan

tubuh dan pematangan sistem saraf pusat serta saraf perifer. Pengaruh hormon

tiroid terhadap pertumbuhan melalui kerja langsung pada sel untuk meningkatkan

kecepatan pertumbuhan, mengatur hormon yang lain, atau dengan memicu

pengeluaran growth hormone (Merino et al., 2008; Maitra, 2010).

Biosintesis hormon tiroid dimulai dari asupanion iodine yang terdapat pada

air atau makanan, kemudian diserap dan dibawa ke cairan ekstraseluler, dan

akhirnya ke dalam tiroid dimana konsentrasi iodine dalam sel 30 kali lebih tinggi

dibandingkan konsentrasi di darah tepi. Pengambilan iodide secara aktif melewati

membran basalis difasilitasi oleh human sodium iodide symporter. Sistem transpor

ini berpasangan dengan aliran natrium. Iodide di dalam tiroid kemudian dioksidasi

menjadi iodine. Iodine selanjutnya diubah menjadi thyrosine. Hasil akhirnya

adalah monoiodotyrosine (MIT) apabila satu molekul thyrosine yang terikat, dan

diiodotyrosine (DIT) apabila dua molekul thyrosine yang terikat. Sisa

iodothyrosine kemudian mengendap dan membentuk hormon tiroid aktif T3 dan

13

T4. Hormon T3 terbentuk dari penggabungan satu molekul DIT dan satu molekul

MIT, sedangkan hormon T4 dibentuk dari penggabungan dua molekul DIT

(Carcangiu, 2007; Merino et al., 2008; Maitra, 2010).

Hormon tiroid disimpan di dalam TGB termasuk sisa endapan serta T3 dan

T4. Pada penelitian tentang variasi rantai molekul TGB ditemukan perbedaan

antara kelenjar tiroid normal dan kondisi patologis seperti pada neoplasma.

Thyroglobulin dikumpulkan di tengah folikel tiroid dan merupakan isi utama

koloid. Pada pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron tampak adanya

perubahan morfologi kelenjar tiroid pada saat fase produksi hormon dan sekresi

hormon. Sintesis TGB dimulai di retikulum endoplasma, dan berlanjut di aparatus

golgi dimana karbohidrat kehilangan rantai gulanya, selanjutnya dikumpulkan di

mikrovesikel dan isinya kemudian dikeluarkan ke lumen folikel (Carcangiu,

2007).

Penyerapan TGB terjadi di pseudopodia sitoplasma. Thyroglobulin kemudian

masuk ke dalam lisosom. Isi dari TGB akan dicerna oleh enzim-enzim lisosom.

Hasil pemecahannya meliputi hormon T3 dan T4, kemudian mengalir ke dalam

darah yang diangkut terutama oleh protein spesifik, thyroxine binding globulin

(TBG). Thyroxine binding globulin mengangkut sekitar 70% hormon tiroid, serta

20% diangkut oleh transthyretin (prealbumin) dan albumin. Hanya sebagian kecil

hormon tiroid di dalam darah terlepas bebas dan aktif, yaitu 0,05% T3 dan

0,015% T4. Jumlah hormon T4 di sirkulasi lebih banyak dibandingkan hormon

T3, tetapi hormon T3 empat kali lebih aktif dibandingkan hormon T4, sehingga

peranan kedua hormon ini seimbang (Carcangiu, 2007; Merino et al., 2008).

14

Sintesis dan pengeluaran hormon tiroid diatur oleh kadar hormon Thyroid

StimulatingHormone (TSH) di dalam darah. Thyroid StimulatingHormone

dihasilkan oleh kelenjar pituitary anterior. Hormon ini berikatan dengan reseptor

spesifik pada membran sel folikular, dan mengaktifkan adenyl cycklase pathway

yang mengatur T3 dan T4. Stimulasi kelenjar tiroid oleh TSH akan meningkatkan

sekresi hormon tiroid dan aliran darah ke kelenjar tiroid. Kondisi ini akan

menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia sel folikular yang diikuti dengan

penurunan cadangan koloid. Pada tingkat fungsional sel, hal ini ditandai dengan

peningkatan konsentrasi iodide dan protein pengikat, peningkatan sintesis, dan

sekresi hormon (Merino et al., 2008; Maitra, 2010; Viglietto, 2011).

Pengeluaran hormon TSH dari kelenjar pituitary anterior diatur oleh Thyroid

ReleasingHormone (TRH)di hipotalamus. Pengeluaran TSH dan TRH diatur oleh

kadar T3 dan T4 yang bebas di dalam darah melalui mekanisme umpan balik

negatif ke pituitary dan hipotalamus. Kadar T3 dan T4 yang rendah akan memacu

pengeluaran TSH dan TRH, begitu juga sebaliknya kadar T3 dan T4 yang tinggi

akan menghambat pengeluaran TSH dan TRH. Di perifer, T3 dan T4 berikatan

dengan reseptor hormon tiroid (TR), dan membentuk kompleks hormon-reseptor

yang akan menuju inti dan merangsang transkripsi, sehingga disebut thyroid

response elements (TREs) (Gambar 2.2) (Carcangiu, 2007; Maitra, 2010;

Viglietto, 2011).

15

Gambar 2.2

Homeostasis hormon tiroid yang diatur oleh poros

hipotalamus-pituitary-tiroid (Maitra, 2010)

2.2 Nodul Tiroid yang Berasal dari Diferensiasi Sel Folikular

2.2.1 Nodul Tiroid Nonneoplastik

Nodul tiroid nonneoplastik dengan diferensiasi sel folikular yang tersering adalah

hiperplasia nodular, yang dapat merupakan suatu endemic goiter atau sporadic

(nodular) goiter. Endemic goiter disebabkan oleh kurangnya asupan iodine,

sehingga terjadi defisiensi produksi hormon tiroid. Hal ini mengakibatkan sekresi

TSH meningkat, yang pada fase awal menyebabkan tiroid menjadi hiperaktif

dengan epitel folikular yang tinggi dan koloid yang sedikit (disebut

parenchymatous goiter), dan selanjutnya sel epitel folikel menjadi atrofi dengan

16

jumlah koloid yang masif, dengan atau tanpa membentuk struktur nodularity

(disebut diffuse atau nodular colloid goiter) (Rosai, 2010).

Penyebab sporadic (nodular) goiter diantaranya adalah kurangnya asupan

iodine, gangguan sintesis hormon tiroid, meningkatnya iodide clearance oleh

ginjal, adanya thyroid-stimulating immunoglobulins, dan meningkatnya produksi

insulin-like growth factor (Rosai, 2010). Gejala klinis sporadic goiter tampak

pada 2% hingga 4% dari populasi. Kira-kira 10% lesi tiroid ini ditemukan saat

otopsi, yang umumnya multipel (Baloch and LiVolsi, 2006; 2010). Status

hormonal pasien umumnya euthyroid (Rosai, 2010).

Secara makroskopis hiperplasia nodular ini menunjukkan pembesaran

kelenjar ringan sampai masif, dengan berat berkisar antara 50 gram hingga

mencapai lebih dari 800 gram, kapsel jaringan tampak utuh, dan permukaan luar

jaringan tampak tidak rata. Pada irisan, tampak nodul yang terpisah dari jaringan

tiroid normal di sekitarnya, dapat dikelilingi oleh kapsel yang utuh atau parsial

(Baloch and LiVolsi, 2010). Nodul terutama tersusun dari jaringan tiroid

berwarna coklat, jaringan ikat fibrus, dan sering ditemukan kalsifikasi,

perdarahan, dan degenerasi kistik (Gambar 2.3 A) (Baloch and LiVolsi, 2010;

Maitra, 2010; Rosai, 2010).

Secara mikroskopis tampak nodul tersusun dari folikel dalam berbagai bentuk

dan ukuran. Folikel dapat melebar dilapisi oleh epitel pipih yang atrofi. Sebagian

area tampak lebih hiperseluler dan hiperplastik, dan dapat pula didominasi oleh

sel-sel hurthle (Gambar 2.3 B). Beberapa folikel yang berdilatasi dapat

menunjukkan folikel-folikel kecil yang aktif, dan disebut sebagai sanderson’s

17

polsters (Gambar 2.3 C). Dapat pula ditemukan struktur papiler menonjol ke

dalam lumen folikel yang berdegenerasi kistik, yang gambarannya dapat

dikelirukan dengan karsinoma papiler (Gambar 2.3 D) (Rosai, 2010).

Gambar 2.3

Hiperplasia nodular. A. Makroskopis hiperplasia nodular.

B. Mikroskopis tampak hiperplasia nodular tidak diliputi oleh kapsel.

C. Gambaran sanderson’s polsters. D. Hiperplasia nodular dengan pola

papiler, menonjol ke bagian tengah folikel yang berdilatasi kistik.

Inti sel tampak terletak di basal (Rosai, 2010)

Folikel yang ruptur dapat menimbulkan reaksi granulomatosa, dan ditemukan

sel histiosit serta foreign body-type giant cell. Sering pula ditemukan area

perdarahan, trabekulasi jaringan ikat fibrus, dan fokus kalsifikasi. Kadangkala

A B

C D

18

dapat ditemukan osseus metaplasia dan penebalan pembuluh darah dengan

kalsifikasi pada tunika media. Sebukan sel radang kronik dapat ditemukan pada

stroma, yang mengindikasikan adanya tiroiditis kronis. Pada kasus-kasus adanya

riwayat paparan bahan radioaktif dapat ditemukan inti sel folikel yang atipik

(Merino et al., 2008; Maitra, 2010; Rosai, 2010).

Hiperplasianodular dengan gambaran mikrofolikular dan makrofolikular

khusus, dan adenoma dengan kapsel yang tidak utuh dapat menimbulkan kesulitan

dalam diagnosis (Rosai, 2010). Pada beberapa kasus dapat ditemukan nodul

tunggal folikular, yang secara histologis setidaknyatampakidentik dengan nodul

multipel yang terlihat pada hiperplasia nodular, sehingga dapat muncul

pertanyaan,“apakah nodul ini merupakan nodul regeneratif atau nodul proliferatif,

namun bukan neoplasma, atau sebaliknya, apakah nodul ini merupakan adenoma

folikular jinak?”. Beberapaahli patologi lebih suka istilah yang kurang definitif,

yakni "adenomatous atau adenomatoid follicular nodule" terhadap lesi seperti ini,

untuk menghindari masalah histogenesis (Baloch and LiVolsi, 2010).

Hiperplasia nodular terjadi karena sel epitel folikel secara intrinsik

berkembang lebih pesat. Perkembangan awal bersifat poliklonal, yang melibatkan

satu folikel atau mungkin sekelompok folikel yang mengakibatkan iskemia fokal,

nekrosis, dan proses peradangan. Proses yang sama selanjutnya mempengaruhi

kelompok folikel lainnya. Selama berlangsungnya proses tersebut terjadi

fenomena sekunder berupa perdarahan, fibrosis, dan kalsifikasi. Sementara itu,

rangsangan hormonal pada kelenjar tetap berlangsung. Distorsi terhadap pasokan

19

pembuluh darah dan adanya folikel melebar yang mengandung bahan koloid

mengganggu distribusi iodide dan thyrotropine. Beberapa bagian dari kelenjar

terpapar kelebihan thyrotropine, sehingga mengalami hiperplasia fokal,

sedangkan area lainnya mengalami defisiensi thyrotropine, sehingga mengalami

zona atrofi (Baloch and LiVolsi, 2010).

2.2.2 Nodul Neoplastik Jinak Tiroid

Adenoma folikular atau solitary adenomatous atau adenomatoid nodule

merupakan tumor jinak berkapsel, bersifat monoklonal, terdiri dari proliferasi

folikel tiroid yang umumnya tampak seragam pada seluruh area nodul (Ghossein,

2009; Baloch and LiVolsi, 2010; Rosai, 2010).Adenoma bersifat soliter, berbatas

tegas dengan jaringan sekitarnya (Gambar 2.4 A). Apabila pada satu lobus atau

kelenjar tiroid tampak beberapa nodul, maka lebih tepat didiagnosis sebagai

multinodular goiter dengan perubahan adenomatosa (adenomatous hyperplasia)

(Merino et al., 2008). Secara histologis, gambaran Meissner digunakan untuk

membedakan adenoma dengan adenomatous nodule yang merupakan hiperplasia

nodular, meliputi adanya kapsel, keseragaman pola pada adenoma, dan adanya

penekanan kelenjar sekitarnya oleh adenoma dan kapselnya (Baloch and LiVolsi,

2010).

Adenoma dapat menunjukkan berbagai pola, baik tunggal maupun kombinasi,

antara lain normofolikular (simple), makrofolikular (koloid), mikrofolikular (fetal)

(Gambar 2.4 B), dan trabekular atau solid (embrional). Mitosis jarang dijumpai

atau bahkan tidak ditemukan. Kadang, dinding pembuluh darah pada kapsel

20

adenoma mengalami penebalan fokal yang nyata, dan disebut sebagai muscular

cushions. Gambaran ini juga dapat ditemukan pada bagian tepi dari hiperplasia

nodular. Adenoma juga dapat menunjukkan struktur papiler atau pseudopapiler,

yang dapat dikelirukan dengan gambaran karsinoma papiler. Beberapa peneliti

menyebut lesi ini sebagai adenoma papiler, yang kemudian diganti menjadi

adenoma folikular dengan arsitektur papiler (Rosai, 2010).

Gambar 2.4

Adenoma folikular. A Makroskopis tampak nodul berbatas tegas dengan

jaringan di sekitarnya B. Mikroskopis nodul tersusun atas proliferasi folikel

tiroid yang tampak seragam (Baloch and LiVolsi, 2010)

Pada adenoma ditemukan pula berbagai gambaran, seperti perdarahan,

edema, dan fibrosis, yang terutama terjadi pada bagian tengah tumor (Maitra,

2010; Rosai, 2010).Area yang mengalami tusukan saat pemeriksaan FNAB dapat

menunjukkan gambaran nekrosis, peningkatan aktivitas mitosis, serta atipia

seluler di sepanjang area tusukan jarum. Dapat pula ditemukan kalsifikasi dan

beberapa komponen yang jarang, antara lain lemak, tulang rawan, atau signet ring

cells. Kadang pada adenoma dijumpai pula sel-sel besar yang secara sitologis

A B

21

tampak atipik dengan inti hiperkromatik, dan sel besar berinti banyak (Baloch and

LiVolsi, 2010; Rosai, 2010).

Selain itu ada pula kelompok adenoma folikular atipik yang diperkenalkan

oleh Hazard dan Kenyon,terdiri dari lesi noninvasif dengan peningkatan

selularitas, adanya gambaran atipia inti dan atau aktivitas mitosis, dan sering

ditemukan nekrosis tumor dan infark. Secara klinis adenoma folikular atipik ini

berperilaku jinak (Baloch and Livolsi, 2010).

2.2.3 Nodul Neoplastik Ganas Tiroid

Berdasarkan penelitian yang didukung oleh World Health Organization (WHO)

pada tahun 2010, ditemukan sekitar 44.670 kasus baru dan 1.690 kematian

disebabkan oleh kanker tiroid setiap tahunnya.Insiden karsinomatiroid di Amerika

Serikat sekitar 1% dari semua jenis kanker, dan mengakibatkan kematian sebesar

0,2% (LiVolsi, 2011).

Di Indonesia, berdasarkan data registrasi kanker berbasis patologi pada tahun

2010, disebutkan bahwa kanker tiroid menduduki peringkat ke lima kanker

tersering, dan juga merupakan kanker ke empat terbanyak yang terjadi pada

perempuan, setelah kanker payudara, leher rahim, dan ovarium (Anonim, 2010).

Kanker tiroid tercatat menduduki lima besar kanker tersering di Denpasar dari

tahun 2007 hingga 2010. Pada tahun 2007 ditemukan sebanyak 127 kasus kanker

tiroid (Anonim, 2007), yang naik menjadi 155 kasus pada tahun 2008 (Anonim,

2008). Tahun 2009 terjadi penurunan jumlah kejadian menjadi 84 kasus, namun

naik menduduki peringkat ke tiga kanker terbanyak (Anonim, 2009). Jumlah

22

kasus kanker tiroid kembali bertambah tahun 2010 menjadi 118 kasus, yang

merupakan 10,58% dari semua jenis kanker yang terjadi di Denpasar (Anonim,

2010).

Secara epidemiologi,karsinoma tiroid terjadi pada usia dewasa muda dan

pertengahan, serta jarang ditemukan pada anak-anak (DeLellis and Williams,

2004; LiVolsi, 2011). Sebagian besar karsinoma tiroid (kecuali karsinoma

medullary) berasal dari diferensiasi sel folikular tiroid. Lebih dari 85% kasus

keganasan organ tiroid tersebut merupakan karsinoma papiler, yang tidak jarang

menimbulkan kesulitan diagnosis (Maitra, 2010; Rosai, 2010; LiVolsi, 2011).

Sebagian besar pasien didiagnosis pada usia dekade ke tiga sampai lima, dan

kejadian pada jenis kelamin perempuan dua hingga empat kali lebih tinggi

dibandingkan dengan laki-laki (Kondo et al., 2006; LiVolsi, 2011). Berikut akan

dibahas secara lebih rinci mengenai karsinoma papiler tiroid.

2.2.3.1 Karsinoma papiler tiroid

Karsinoma papiler tiroid merupakan tumor epitelial ganas yang menunjukkan

diferensiasi sel folikular dan ditandai dengan gambaran inti yang khas (LiVolsi et

al., 2004). Epidemiologi dari karsinoma papiler tiroid ini menimbulkan

ketertarikan banyak pihak. Studi dari berbagai belahan dunia yang telah

membandingkan insiden karsinoma papiler tiroid pada populasi yang tinggal di

daerah pegunungan dengan populasi yang tinggal di dekat laut menyimpulkan

bahwa konsentrasi konsumsi yodium berpengaruh terhadap kejadian penyakit ini,

23

dan pada beberapa kasus mempengaruhi morfologi karsinoma papiler (Kondo et

al., 2006; LiVolsi, 2011).

Pada akhir abad 20, seiring dengan meningkatnya penggunaan terapi radiasi,

diantaranya pada pasien-pasien dengan tumor jinak bagian kepala dan leher,

seperti hemangioma, limfangioma, pembesaran kelenjar gondok, pembesaran

tonsil, dan adenoid, dalam perjalanan terapinya didapatkan karsinoma papiler

tiroid sebagai „tumor primer kedua‟. Ditemukan fakta bahwa radiasi pada daerah

leher merusak folikel tiroid dan menyebabkan hipotiroid relatif. Akibat hipotiroid

relatif adalah terjadinya peningkatan sekresi TSH. Diperkirakan peningkatan TSH

pada epitel folikel tiroid yang „rusak‟ (gangguan pada DNA yang berakibat pada

mutasi dan translokasi), akan mengakibatkan transformasi neoplastik pada sel

tiroid (juga harus dipertimbangkan pula individu yang memiliki cacat genetik,

dimana hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya neoplasma multipel).

Pada akhirnya, peristiwa ledakan dan kebakaran pada pembangkit listrik tenaga

nuklir di Chernobyl, Uni Soviet pada bulan April 1986, disusul dengan „epidemi‟

karsinoma tiroid yang terutama terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun,

dan beberapa didapatkan pada janin dalam kandungan (LiVolsi, 2011).

Gambaran makroskopis karsinoma papiler tiroid cukup bervariasi. Lesi dapat

muncul dimana saja pada kelenjar tiroid. Secara umum karsinoma papiler

memiliki rerata ukuran dua hingga tiga cm. Lesi dapat berukuran besar atau

berukuran kurang dari satu cm. Lesi berbatas tegas, dan umumnya tampak

berwarna putih (Gambar 2.5 A). Biasanya ditemukan pula kalsifikasi. Pada

sklerosis yang luas, lesi akan tampak menyerupai bekas luka. Selain itu, dapat

24

ditemukan pula bentukan kista dan area-area nekrosis (Baloch and LiVolsi, 2010;

Rosai, 2010; LiVolsi, 2011).

Secara mikroskopis karsinoma papiler tiroid mempunyai gambaran yang

khas. Tumor dapat didominasi bentukan papiler (Gambar 2.5 B), atau dapat pula

menunjukkan pola folikular (Gambar 2.5 C). Dapat ditemukan fibrovascular core

(kadang hanya jaringan ikat fibrus) yang dilapisi satu atau beberapa lapis sel

berbentuk kuboid atau kolumnar, dengan inti yang jernih (ground glass),

berbentuk oval, tampak membesar, terletak saling tumpang tindih,membran inti

tidak beraturan, adanya inklusi sitoplasma intranuklear, serta nuclear

grooves(Chan, 2004; Elsheikh et al., 2008; Fischer and Asa, 2008).

Ground glass nuclei dideskripsikan sebagai inti yang jernih, ground glass,

kosong, atau orphan annie eyes. Inti tampak lebih besar dan lebih oval bila

dibandingkan dengan inti sel folikel normal dan mengandung kromatin yang

hipodens (Gambar 2.5 C) (LiVolsi, 2011).

Inklusi sitoplasma intranuklear yang lebih sering ditemukan pada bahan

aspirasi, menunjukkan gambaran sitoplasma yang masuk ke inti dan harus terlihat

batas yang jelas. Kriteria yang harus dipenuhi, yaitu selnya harus sel epitel folikel

dengan diameter paling sedikit seperempat diameter inti, warna serupa dengan

sitoplasma, serta tepi inklusi sitoplasma dalam inti harus jelas, bulat, dan reguler.

Sementara itu, nuclear grooves merupakan invaginasi membran inti yang paralel

dengan aksis elongasi inti (Rosai, 2010).

Beberapa penelitian berusaha mengungkap penyebab gambaran khas inti di

atas. Dilaporkan bahwa sel-sel folikel tiroid yang terpapar dengan onkogen RET

25

gambaran morfologinya menyerupai karsinoma papiler, namun penelitian ini tidak

dijelaskan lebih lanjut. Penelitian terkini melaporkan bahwa pengecatan

imunohistokimia dengan protein emerin menunjukkan perbedaan pola yang jelas

antara inti karsinoma papiler dengan inti pada sel tiroid normal atau pada tumor

jinak, namun tidak dapat menjelaskan perubahan morfologi yang terjadi pada inti

tersebut (LiVolsi, 2011).

Gambar 2.5

Karsinoma papiler tiroid. A. Makroskopis tampak tumor berbatas tegas,

menyerupai adenoma folikular. B. Mikroskopis karsinoma papiler tiroid

varian klasik. C. Mikroskopis karsinoma papiler tiroid varian folikular. Inti sel

epitel folikel tampak jernih, membesar, tersusun saling tumpang tindih, dan

membran inti tidak beraturan. D. Karsinoma papiler tiroid varian folikular

yang berkapsel. Daerah invasi transkapsular (inset) menunjukkan gambaran

inti yang khas (Baloch and LiVolsi, 2010)

B

D

26

Gambaran mikroskopis lain yang dapat ditemukan adalah psammoma bodies,

dan respon desmoplastik di daerah invasif (Al-Brahim and Asa, 2006; Rosai,

2010; LiVolsi, 2011).Psammoma bodymerupakan gambaran papila yang „mati‟,

berdiferensiasi dari kalsifikasi distrofi oleh karena proses lamelasi. True

psammoma body dibentuk oleh fokus infark di ujung papila yang menyerap

kalsium. Teori lain menyebutkan bahwa mekanisme akumulasi kalsium

intraseluler oleh sel tumor akan berujung pada lamelasi. Psammoma bodybiasanya

terlihat pada inti papila, stroma tumor, atau pada kelenjar getah bening.

Didapatkannya psammoma bodypada kelenjar getah bening servikal merupakan

bukti dari karsinoma papiler tiroid. Pada tumor jinak tiroid jarang ditemukan

psammoma body (kurang dari 1%) (LiVolsi, 2011).

Beberapa laporan menemukan adanya variabilitas di antara para ahli patologi

dalam menentukan kriteria minimal untuk mendiagnosis karsinoma pepiler tiroid

(Chan, 2004; Elsheikh et al., 2008). Beberapa peneliti merekomendasikan

beberapa kriteria dasar dan mengusulkan penggunaan kombinasi gambaran

histologis mayor dan minor. Kriteria tambahan lainnya mencakup adanya

gambaran folikel memanjang atau berbentuk tidak teratur, pewarnaan koloid

gelap, dan yang jarang dapat ditemukan pula histiosit berinti banyak dalam lumen

folikel (Chan, 2004; Fischer and Asa, 2008). Mitosis merupakan hal yang jarang

ditemukan pada karsinoma papiler (LiVolsi, 2011).

Karsinoma papiler yang menampilkan arsitektur folikular disebut sebagai

karsinoma papiler varian folikular (Gambar 2.5 C). Menurut LiVolsi (2011),

27

varian folikular harus menunjukkan pola folikular secara keseluruhan. Keganasan

ini menunjukkan gambaran yang kontroversial. Tipe ini sulit ditentukan, karena

awalnya lesi ini telah diklasifikasikan sebagai karsinoma folikular atau adenoma

folikular (atau adenoma folikular atipik). Diagnosis varian ini lebih mudah bila

ditemukan gambaran inti yang khas serta pola pertumbuhan yang tidak berbatas

tegas dan infiltratif, akan tetapi tidak jarang tipe ini berbatas tegas, dan bahkan

berkapsel.

Ada dua tipe dari varian folikular, antara lain diffuse follicular variant dan

encapsulated follicular variant. Pada diffuse follicular variant, kelenjar secara

difus digantikan oleh jaringan tumor, dan sering ditemukan metastasis ke kelenjar

getah bening serta organ jauh, sehingga prognosisnya lebih buruk. Sementara itu,

pada encapsulated follicular variant, jaringan tumor tampak dikelilingi oleh

kapsel yang utuh, dengan distribusi umumnya multifocal, sehingga secara

morfologi sering dikelirukan dengan adenomatoid nodule atau adenoma folikular

(Gambar 2.5 D) (Baloch and LiVolsi, 2010).

Pada beberapa kasus kita dapat menemukan kesulitan dalam menegakkan

diagnosis suatu lesi folikular ganas tiroid. Sebagai contoh, dapat ditemukan

adanya lesi folikular dengan invasi kapsel yang tidak jelas (questionable) atau

hanya minimal tidak melintasi seluruh ketebalan kapsel, apabila tidak disertai

dengan perubahan karakteristik inti karsinoma papiler, maka disebut sebagai

follicular tumor of uncertain malignant potential (Rosai, 2010).

Pada kasus dengan perubahan inti yang minimal, invasi kapsel atau pembuluh

darah tidak ada atau tidak jelas, maka tumor didiagnosis sebagai well-

28

differentiated tumor of uncertain malignant potential. Apabila ditemukan invasi

kapsel atau pembuluh darah yang jelas, maka digunakan istilah well-differentiated

carcinoma, not otherwise specified (Gambar 2.6)(Rosai, 2010).

Gambar 2.6

Nomenklatur tumor folikular ganas tiroid (Rosai, 2010)

2.2.3.2 Patologi molekular karsinoma papiler tiroid

Jalur kaskade RAS-BRAF-MAPK merupakan jalur genetik pada karsinoma

papiler. Pengaktifan jalur ini bisa melalui salah satu dari dua mekanisme utama.

Mekanisme pertama melalui tata ulang gen RET atau neurotrophic tyrosine kinase

receptor 1 (NTRK1) yang menyandi reseptor tirosine kinase transmembrane

(Chien and Koeffler, 2012).Mekanisme keduamelalui aktivasi point mutation

padaV-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B1 (BRAF), yang merupakan

produk komponen signaling intermediate dari jalur mitogen activated protein

Gambaran inti karsinoma

papiler tiroid

Jelas Minimal atau fokal

Karsinoma papiler

tiroid

Invasi kapsel atau

pembuluh darah jelas

Invasi kapsel atau

pembuluh darah tidak ada

atau tidak jelas

(questionable)

Well-differentiated

carcinoma, not

otherwise specified

Well-differentiated

tumor of uncertain

malignant potential

Dengan

atau tanpa

invasi

kapsel atau

pembuluh

darah

29

kinase (MEK/MAPK), yang selanjutnya mengaktivasi extracellular signal

regulated kinase (ERK), sehingga terjadi proliferasi sel (Gambar 2.7). Jalur sinyal

ini terutama terjadi pada tumor sporadis (Fuhrer, 2006; Electron, 2007; Chien and

Koeffler, 2012).

Gambar 2.7

Jalur patogenesis karsinoma papiler tiroid(Chien and Koeffler, 2012)

Tata ulang (rearrangement) gen RET/PTC disebutkan sebagai alterasi genetik

spesifik pertama pada keganasan ini (Baloch and LiVolsi, 2010; Maitra, 2010;

Rosai, 2010; Chien and Koeffler, 2012).Gen RET merupakan protoonkogen yang

mengkode reseptor tirosin kinase dari glial cell-derived nervous growth factor dan

30

secara endogen terekspresi pada sel neuroendokrin. Terjadi ekspresi yang salah

dari potongan gen RET pada karsinoma papiler melalui fusi promotor pada regio

N-terminal dari gen terkait (disebut PTC-1,2 dan seterusnya), dan regio C-

terminal fungsional dari gen RET (mengandung tirosin kinase). Hasilnya adalah

aktivasi RAS-RAF-MAPK signaling (Santoro et al., 2006; Chien and Koeffler,

2012).

Saat ini teridentifikasi lebih dari delapan protein chimera RET/PTC pada

karsinoma tiroid, dimana RET/PTC-1 (inv(10)(q11.2;q21) dan RET/PTC-3

(inv(10)(q11.2;q10) terhitung kira-kira 80% dan merupakan fusi gen yang

tersering (Chien and Koeffler, 2012). Keduanya melibatkan inversi pada lengan

panjang kromosom 10, menghasilkan perpaduan antara RET dengan gen histone

proteinnucleosome (histone H4) pada RET/PTC-1 atau RET dengan nuclear

receptor coactivator 4 (NCOA4) pada RET/PTC-3 (Santoro et al., 2006; Chien

and Koeffler, 2012).

Tata ulang gen RET/PTC spesifik untuk karsinoma papiler dan prevalennya

ditemukan lebih tinggi (30% sampai 65%) pada keganasan yang disebabkan oleh

radiasi (chernobyl-tumor), dan lebih jarang (5% sampai 15%) pada kanker yang

sporadis. Penjelasan yang menarik mengenai terjadinya fusi RET/PTC secara

spesifik pada sel epitel tiroid disampaikan oleh Nikifora dalam penelitiannya.

Dengan menggunakan teknik fluorescent in situ hybridization, mereka mampu

menunjukkan bahwa potongan gen RET dan PTC yang berlokasi pada kromosom

10, mendekat pada sekitar 35% sel epitel tiroid normal selama interfase, meskipun

kedua gen berjarak mencapai 30 megafase (Chien and Koeffler, 2012).

31

Tata ulang gen lainnya pada karsinoma papiler adalah inversi kromosom 7q

menghasilkan fusi antara BRAF dan A-kinase anchor protein 9 (AKAP 9) gene.

Fusi protein ini meningkatkan aktivitas kinase. Sepertiga sampai setengah dari

kasus karsinoma papiler ditemukan gain-of-function mutation pada gen BRAF

(Fuhrer, 2006; Chien and Koeffler, 2012). Data lain menyebutkan 18% sampai

87% dari karsinoma papiler. Gen BRAF berlokasi pada kromosom 7q32, dan

terjadi transversi thymine ke adenine yang menyebabkan perubahan valine

menjadi glutamate pada kodon 600 (BRAFv600E

) (Fuhrer, 2006; Electron,

2007).Mutasi pada BRAFV600E

dapat menyebabkan aktivasi RAF kinase, dan

secara invitro dapat menyebabkan transformasi sel dengan efikasi yang lebih

tinggi daripada wild-type BRAF. Mutasi BRAFV600E

dilaporkan sebagai defek

molekular yang sering terjadi pada karsinoma papiler yang sporadis (berkisar

antara 36% sampai 69%), sementara tata ulang gen AKAP9/BRAF (inv(7)(q21-

22q34)) terjadi pada radiation-induced karsinoma tiroid (Fuhrer, 2006; Kondo et

al., 2006; Electron, 2007; Chien and Koeffler, 2012).Mutasi BRAF berkaitan

dengan tumor yang lebih agresif, sehingga memiliki prognosis yang buruk

(LiVolsi, 2011).

Beberapa penelitian menunjukkan model multistep karsinogenesis neoplasma

tiroid. Gambar 2.8 A menunjukkan faktor risiko, seperti paparan radiasi

menyebabkan ketidakstabilan genomik melalui mekanisme langsung maupun

tidak langsung, melibatkan jalur sinyal MAPK. Aktivasi onkogen MAPK

meningkatkan ketidakstabilan genomik lebih lanjut yang mengarah ke perubahan

genetik, selanjutnya melibatkan jalur sinyal lain, seperti regulator siklus sel dan

32

berbagai molekul adesi. Interaksi antara ketidakstabilan genomik dan perubahan

genetik merangsang perkembangan well differentiated menjadi undifferentiated

karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006; Viglietto et al., 2011).

Gambar 2.8

Multistep karsinogenesis pada neoplasma tiroid (Kondo et al., 2006)

Berdasarkan pengamatan klinis, histologis, dan molekular, ditemukan tiga

jalur berbeda proliferasi neoplastik dari sel folikel tiroid, antara lain hiperfungsi

adenoma folikular tiroid (tumor yang hampir selalu jinak, tanpa kecenderungan

B

A

33

progresif), karsinoma folikular, dan karsinoma papiler tiroid. Cacat genetik yang

menyebabkan aktivasi RET atau BRAF merupakan kejadian awal yang sering

dikaitkan dengan paparan radiasi. Ekspresi yang rendah dari inhibitor cyclin-

dependent kinase p27KIP1

dan ekspresi yang tinggi dari cyclin D1 merupakan

prediktor yang kuat adanya metastasis kelenjar getah bening pada karsinoma

papiler tiroid. Sebagian besar poorly differentiated dan undifferentiated

carcinoma berasal dari well differentiated carcinoma tiroid melalui peristiwa

genetik tambahan, termasuk β-catenin (yang dikode oleh CTNNB1) dan inaktivasi

P53, namun dapat pula terjadi secara de novo (Gambar 2.8 B). Interaksi antara

faktor risiko, ketidakstabilan genomik, dan perubahan genetik ke depannya dapat

dijadikan fokus studi tentang kanker tiroid (Kondo et al., 2006; Viglietto et al.,

2011).

Secara ringkas melalui tabel berikut diuraikan berbagai gangguan molekular

yang terjadi pada adenoma folikular dan karsinoma papiler pada organ tiroid.

Tabel 2.1.

Patologi genetik pada tumor folikular tiroid (Rosai, 2010)

Adenoma

Folikular

Karsinoma Papiler

Varian Klasik

Karsinoma Papiler

Varian Folikular

RAS (20%-40%) BRAF (30%-70%) RAS (25%-45%)

PAX8/PPARγ (5%-20%) RET/PTC (20%-40%) RET/PTC (5%-10%)

TSH-R & GNAS 1 RAS (0-10%) BRAF (5%-10%)

Chromosomal unstable TRK (0-10%) PAX8/PPARγ (0-30%)

Chromosomal unstable Chromosomal unstable

34

2.3 Galectin-3

2.3.1 Struktur Galectin-3

Galectin merupakan family protein yang menampilkan unit N-acetyllactosamine

beragam, mengikat β-galactoside pada glikoprotein dan glikolipid permukaaan

sel. Struktur kristal dari sebagian besar galectin menunjukkan bahwa protein ini

setidaknya terdiri dari satu domain yang mengandung 130 asam amino, dan

disebut sebagai carbohydrate-recognition domain (CRD) yang masing-masing

bertanggungjawab terhadap carbohydrate-binding properties (Gambar 2.9 A).

Secara umum galectin merupakan soluble protein yang mempunyai gambaran

khas pada molekul sitoplasma sel. Akan tetapi, lokasinya tidak terbatas pada

sitoplasma saja, galectin juga dapat ditemukan pada inti, permukaan sel, dan

bahkan pada ruang ekstraseluler. Pada beberapa kasus, regulasinya berkaitan

dengan kontrol langsung diferensiasi selular dan diaktivasi dengan bekerja

sebagai tombol “on-and-off” yang mengontrol aktivitas transkripsional spesifik.

Pada kasus lainnya, galectin mampu meregulasi berbagai mekanisme, antara lain

kelangsungan hidup, proliferasi, dan transformasi sel (Laderach et al., 2010).

Saat ini teridentifikasi 15 jenis galectin pada berbagai sel dan jaringan

(Inohara et al., 2008; Laderach et al., 2010). Berdasarkan strukturnya, galectin

dibedakan menjadi tiga kelompok (Chiu et al., 2010), yaitu:

1. “Prototype” subfamily, meliputi galectin-1, -2, -5, -7, -10, -11, -13, -14, dan -

15. Subfamily ini hanya mengandung satu CRD, dan mampu membentuk

struktur dimer yang berperan pada interaksi nonkovalen.

35

2. “Tandem-repeat” subfamily, mengandung dua CRD, dan terdiri dari galectin-

4, -6, -8, -9, dan 12.

3. “Chimera-type” subfamily, yaitu galectin-3 yang menunjukkan domain N-

terminal yang berdekatan dengan CRDnya.

Gambar 2.9

Struktur protein galectin-3. A. Galectin-3 tersusun atas domain N-terminal

yang mengandung 100 sampai 150 asam amino dan domain C-terminal yang

mengandung 135 asam amino. B. Galectin-3 membentuk struktur pentamer,

sehingga mampu berperan pada interaksi antar sel dan sel dengan matriks

ekstraselular, receptor clustering, dan transduksi sinyal, serta pembentukan

glycoprotein-galectin lattices (Argueso and Panjwani, 2012)

Human galectin-3 adalah protein yang dikode oleh gen tunggal, LGALS3,

yang berlokasi pada kromosom 14. LGALS3 terdiri dari enam ekson dan lima

intron. Ekson IV sampai VI mengkode domain C-terminal yang mengandung

CRD, sehingga bertanggungjawab terhadap pengikatan lectin dengan karbohidrat

36

spesifiknya. Ekson III dan 18bp dari ekson II mengkode domain N-terminal yang

kaya akan proline, tyrosine, dan residu glisine, serta memungkinkan pembentukan

struktur pentamer, sehingga membrane plasma galectin lattice microdomains

mampu mengadakan reaksi silang dengan glikoprotein permukaan sel, dan terlibat

dalam sinyal selular dan stabilisasi reseptor (Gambar 2.9 B) (Krzeslak, 2004;

Argueso and Panjwani, 2012).

Galectin-3 mempunyai berat molekul 31-kDa dan merupakan satu-satunya

anggota family galectin yang mempunyai struktur pentamer yang unik (Herrmann,

2004; Collet, 2005; Scognamiglio et al., 2006). Pada pembelahan proteolitik dari

domain N-terminal, fungsi ekstraselular galectin-3 hilang, mungkin karena

ketidakmampuannya membentuk struktur pentamer. Selanjutnya, fosforilasi

galectin-3 dapat terjadi pada domain N-terminal pada residu serin-6 dan serin-12.

Galectin-3 teridentifikasi pada inti, sitoplasma, dan ruang ekstraselular. Protein ini

berperan dalam regulasi apoptosis, motilitas sel, dan perkembangan sel T, serta

mempengaruhi progesivitas kanker tiroid (Chiu et al., 2010).

2.3.2 Peran Galectin-3 pada Biologi dan Kanker

2.3.2.1 Regulasi apoptosis

Upregulasi galectin-3 dan translokasinya ke dalam inti menunjukkan fungsinya

pada pertumbuhan sel normal. Pada karsinoma papiler tiroid, galectin-3

ditemukan secara signifikan mengalami ekspresi yang tinggi pada area inti. Pada

inti, galectin-3 berperan sebagai up-regulator aktivitas transkripsional dari

thyroid-specific transcription factor-1, dan berkontribusi terhadap tingginya

37

tingkat proliferasi sel tersebut. Lebih lanjut ditemukan pula penurunan ekspresi

galectin-3 melalui siRNA silencing dapat menginduksi apoptosis pada keganasan

papiler tiroid (Fischer and Asa, 2008; Chiu et al., 2010).

Sebuah domain fungsional pada area COOH-terminal menunjukkan bahwa

galectin-3 terbukti homolog dengan domain BH1 bcl-2 gene family yang

mengandung apoptosis-inducing NWGR (Asp-Trp-Gly-Arg) amino acid motif.

Kemampuan antiapoptosis ini bertanggungjawab terhadap inhibisi pelepasan

cytochrome-c dari mitokondria. Penemuan terbaru menyatakan bahwa galectin-3

juga berperan pada jalur apoptosis p53/HIPK2. Gen p53 merupakan faktor

transkripsi spesifik yang mampu menekan ekspresi galectin-3, dan p53-induced

apoptosis tergantung pada efek regulasi dari galectin-3. Penelitian menunjukkan

adanya korelasi positif antara mutasi p53 dengan ekspresi galectin-3 pada

karsinoma tiroid. Ekspresi yang sesuai antara p53 dengan galectin-3 ditemukan

pada 52% poorly differentiated dan 71% undifferentiated karsinoma tiroid, dan

ekspresi protein galectin-3 ditemukan relatif lebih tinggi pada kanker tiroid yang

mengekspresikan mutasi p53. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa protein lain

yang terlibat dalam regulasi apoptosis, seperti CD95 dan nuclin juga berinteraksi

dengan sitoplasma galectin-3 (Chiu et al., 2010; Laderach et al., 2010).

38

2.3.2.2 Transformasi selular dan metastasis

Ekspresi tinggi protein galectin-3 yang disebabkan oleh transfeksi stabil sel-sel

folikel tiroid dapat mengakibatkan perubahan fenotip sel, termasuk pertumbuhan

yang tidak tergantung usia, peningkatan proliferasi sel, dan hilangnya kontak

inhibisi bila dibandingkan dengan sel yang tidak mengalami transfeksi (Chiu et

al., 2010).

Enzim golgi β1,6 N-acetylglucosaminyltransferase V (Mgat-V) mengalami

peningkatan pada berbagai tipe kanker. Ekspresinya merangsang produksi poly N-

acetyllactosamine antennae pada N-glycans, yang merupakan ligan dengan

afinitas tinggi terhadap galectin-3. Peningkatan Mgat-V produced N-glycans

berkaitan dengan transformasi keganasan dan juga berkorelasi dengan

progresivitas penyakit (Chiu et al., 2010).

Berbagai glikoprotein, seperti epidermal growth factor receptor (EGFR) dan

transforming growth factor receptor β (TGFR β) mempunyai beberapa N-glycan

binding site. Jumlah rantai N-glycan berbeda pada setiap glikoprotein,

menentukan afinitas reseptor terhadap lattice galectin, sehingga berpengaruh

terhadap proliferasi dan diferensiasi selular. Galectin lattice terbukti bersaing

dengan caveolin-1 (cav-1) pada mikrodomain permukaan sel dengan menghambat

difusi EGFR dan membatasi down-regulasinya melalui endositosis, sehingga

meningkatkan kemampuan sinyal EGFR dan mendorong kelangsungan hidup

serta pertumbuhan sel. Selain itu, polimerisasi fibronektin dan migrasi sel tumor

diatur oleh derajat pengikatan galectin-3. Ekspresi lattice galectin bersamaan

dengan adanya cav-1 yang terfosforilasi memainkan peranan dalam migrasi sel

39

tumor dengan menstabilkan focal adhesion kinase dan menyebabkan peningkatan

focal adhesion turnover. Ekspresi Mgat-V dan galectin-3 serta perekrutan reseptor

galectin lattice domain menstimulasi local receptor-mediated signaling event

yang mengakibatkan proliferasi dan migrasi sel tumor (Chiu et al., 2010).

Penurunan ekspresi galectin-3 dapat menekan sinyal selular, menginduksi

apoptosis, dan penekanan transformasi selular pada berbagai tipe kanker. Dengan

demikian dapat dinyatakan bahwa galectin-3 merupakan regulator proliferasi sel

normal, dan ekspresi yang tinggi ditemukan pada transformasi keganasan dan

metastasis (Krzeslak, 2004; Chiu et al., 2010).

2.3.2.3 Distribusi selular galectin-3

Galectin-3 mempunyai sifat biologis yang kompleks, dan kontribusi relatifnya

pada fraksi sitoplasma dan inti pada tumorigenesis dan metastasis belum

sepenuhnya diketahui. Galectin-3 dapat diidentifikasi dalam inti dan diangkut ke

bagian perinuklear. Pada sel fibroblast 3T3 tikus, galectin-3 yang terfosforilasi

ditemukan pada inti dan sitoplasma, sedangkan bentuk yang tidak terfosforilasi

secara khusus ditemukan pada inti. Proliferasi sel berkaitan dengan peningkatan

fraksi yang terfosforilasi (Chiu et al., 2010).

2.3.3 Metodologi Pemeriksaan Galectin-3

Berbagai metodologi digunakan untuk mengevaluasi gambaran ekspresi

imunohistokimia galectin-3 pada spesimen jaringan tiroid, yang meliputi variasi

protokol penggunaan biotin dan antigen retrieval, karakteristik antibodi, antibodi

dilution, lokasi marker, dan kriteria ekspresi positif (Chiu et al., 2010).

40

2.3.3.1 Biotin endogen

Tirosit mempunyai kemampuan yang unik pada studi imunohistokimia. Afinitas

yang tinggi ikatan avidin (dan juga streptavidin) terhadap biotin merupakan hal

penting pada pemeriksaan imunohistokimia menggunakan kompleks avidin-biotin

peroksidase (atau kompleks sistem streptavidin-biotin-peroksidase). Biotin-

labeled marker antigen diidentifikasi menggunakan avidin-containing probe.

Akan tetapi, tirosit mempunyai kadar biotin endogen tinggi yang dapat

menyebabkan hasil positif palsu terhadap ekspresi marker antigen. Karena itu,

penelitian yang menggunakan avidin-based detection system tanpa blokade

terhadap biotin harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Selain itu, reaktivitas

biotin endogen dari suatu spesimen yang telah difiksasi dengan formalin dan

dilakukan paraffin embeding dapat ditingkatkan dengan prosedur antigen retrieval

yang diinduksi oleh panas, terutama pada tekanan yang lebih rendah dari

pemanasan microwave. Suatu studi menemukan pewarnaan biotin yang positif

pada delapan dari 12 tumor tiroid setelah penggunaan antigen retrieval, bahkan

tanpa aplikasi marker antibodi. Penggunaan biotin-free detection systems atau

avidin-biotin treatment blockade, sangat penting untuk deteksi akurat marker

galectin-3 pada spesimen jaringan tiroid (Chiu et al., 2010).

2.3.3.2 Heterogenitas antibodi galectin-3

Suatu penelitian juga dapat dipengaruhi oleh variasi reaktivitas dari berbagai tipe

dan konsentrasi antibodi galectin-3. Setiap antibodi mungkin mengenali isotype

atau komponen yang berbeda dari galectin-3. Namun, belum diketahui

sepenuhnya adanya suatu antibodi tunggal yang memiliki sensitivitas atau

41

spesifisitas superior untuk mendeteksi kanker tiroid. Karakteristik kinerja masing-

masing antibodi juga dipengaruhi oleh metode lainnya, diantaranya tingkat

pengenceran antibodi, proses pengambilan antigen, dan penanganan biotin (Chiu

et al., 2010).

2.3.3.3 Kriteria skoring

Interpretasi positif ekspresi galectin-3 perlu mendapatkan perhatian khusus,

karena distribusi selular pulasan galectin-3 kompleks dan bervariasi. Beberapa

penelitian menyatakan perlunya interpretasi pulasan pada inti, selain evaluasi

reaktivitas sitoplasma dalam menentukan kriteria positif. Sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, peran galectin-3 di sitoplasma terlibat lebih menonjol

pada tumorigenesis dan metastasis. Telah dilakukan berbagai penelitian

menggunakan spesimen jaringan tiroid yang telah di-paraffin embeding, untuk

mengevaluasi ekspresi galectin-3 yang terpulas pada inti dibandingkan dengan

sitoplasma dikaitkan dengan kemampuannya dalam mendiagnosis kanker tiroid.

Beberapa penelitian melaporkan pada karsinoma papiler tiroid, ekspresi galectin-3

yang terpulas pada sitoplasma lebih tinggi dibandingkan yang terpulas pada inti.

Disebutkan pula bahwa galectin-3 tidak terpulas, baik di sitoplasma maupun inti

pada jaringan tiroid normal (Fischer and Asa, 2008).

2.3.4 Ekspresi Protein Galectin-3 pada Kanker Tiroid

2.3.4.1 Ekspresi galectin-3 pada spesimen jaringan tiroid

Sebagian besar penelitian melaporkan galectin-3 terpulas positif pada 90% sampai

100% kasus karsinoma papiler tiroid (Gambar 2.10 A). Disebutkan pula bahwa

42

ekspresi galectin-3 cenderung lebih rendah pada karsinoma papiler varian

folikular (rata-rata 75% kasus), bila dibandingkan varian klasik (berkisar antara

82% sampai 100%, dengan rata-rata 91%). Cvejic, et al (2005) dalam studinya

juga melaporkan bahwa ekspresi galectin-3 teridentifikasi pada 81% kasus

papillary microcarcinoma. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan ekspresi

galectin-3 juga ditemukan pada kejadian awal perkembangan karsinoma papiler,

sehingga mungkin terlibat dalam karsinogenesis. Galectin-3 juga dilaporkan

terdeteksi pada 60% sampai 85% kasus follicular-patterned lesions of uncertain

malignant potential (Hermann et al., 2004; Oestreicher et al., 2004; Fischer and

Asa, 2008; Inohara et al., 2008).

Gambar 2.10

Ekspresi pulasan IHK galectin-3. A. Terpulas difus dan kuat pada karsinoma

papiler. B. Terpulas fokal pada adenoma folikular.

C. Tidak terpulas pada hiperplasia nodular (Saleh et al., 2010)

Sebaliknya, imunoreaktivitas galectin-3 hanya ditemukan pada sejumlah kecil

kasus tumor tiroid jinak dan tidak terpulas pada spesimen jaringan tiroid normal.

Sebagian besar studi melaporkan galectin-3 terpulas pada 0 hingga 30% kasus

adenoma, dengan pengecualian sebuah studi yang dilaporkan Mehrotra, et al

(2004). Tingginya tingkat ekspresi galectin-3 pada kasus adenoma folikular yang

A B C

43

dilaporkan pada penelitian tersebut (sebesar 72%) mungkin disebabkan oleh

penggunaan sistem deteksi avidin-biotin peroxidase complex langsung tanpa

blokade biotin (Fischer and Asa, 2008; Chiu et al., 2010).

Tabel 2.2.

Berbagai penelitian mengenai deteksi imunohistokimia galectin-3

pada spesimen tiroid (Fischer and Asa, 2008)

Fernan

dez

dkk

Hermann

dkk

Kovacs

dkk

Weber

dkk

Prasad

dkk

Oestrei

cher-

Kedem

dkk

Cve-

jic

dkk

Barto-

lazzi

dkk

Saggio

rato

dkk

N 0 (0) ….. ….. …. 0 (0) ….. ….. 0/75

(0)

……

TLK …….. …… 7/7

(100)

….. ….. ….. ….. 2/4

(50)

……

HN 0 (0) 0 (0) …… ….. 16/29

(55)

….. ….. 0/50

(0)

…..

AF 0 (0) 3/8 (37) 4/19

(21)

4/13

(31)

2/21

(9)

7/15

(47)

…. 5/132

(4)

3/50

(6)

KP 18/18

(100)

22/34

(64)

19/20

(95)

22/24

(92)

63/67

(94)

15/18

(83)

169/2

02(84

)

195/20

1 (97)

39/39

(100)

KF 4/8

(50)

2/3 (67) 7/10

(70)

4/9

(44)

4/6

(67)

7/11

(64)

…… 54/57

(95)

16/19

(84)

PDC 2/3

(67)

…… ….. ….. ……. …… ….. 13/20

(90)

…….

KA 5/5

(100)

….. ….. …… 4/4

(100)

….. ….. 18/20

(90)

…….

Keterangan :

Nilai adalah nomor/total (persen). N : Normal, TLK : tiroiditis limfositik kronis,

HN : hiperplasia nodular, AF : adenoma folikular, KP : karsinoma papiler,KF :

karsinoma folikular,PDC : poorly differentiated carcinoma, KA:karsinoma

anaplastik. Tanda titik-titik menunjukkan tidak dilakukan penilaian variabel

penelitian pada studi tersebut.

44

Saleh, et al (2010), dalam penelitiannya melaporkan bahwa proporsi pulasan

positif galectin-3 pada keseluruhan lesi jinak, baik lesi nonneoplastik maupun

neoplastik adalah 27,5%. Penelitian yang sama menyebutkan galectin-3 terpulas

positif pada 41,3% kasus adenoma folikular (Gambar 2.10 B) dan 15,3% kasus

hiperplasia nodular (Gambar 2.10 C). Sedangkan, proporsi ekspresi positif

galectin-3 pada karsinoma papiler mencapai 90% (Gambar 2.10 A). Sensitivitas,

spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif galectin-3 dalam

membedakan lesi tiroid jinak dan ganas, masing-masing adalah 85,2%, 72,4%,

63,0%, dan 89,9% (Saleh et al., 2010).

Beberapa literatur menyebutkan galectin-3 terekspresi pada 0 sampai 100%

kasus tiroiditis. Secara khusus, kaitan antara tiroiditis hashimoto dengan

karsinoma papiler tiroid diteliti pada studi berikutnya. Prasad, et al (2004) dalam

penelitiannya menyebutkan adanya perubahan inti yang khas untuk karsinoma

papiler juga dilaporkan pada tiroiditis hashimoto. Hasil penelitian tersebut

menyebutkan bahwa galectin-3 terpulas positif pada 87% kasus tiroiditis

hashimoto, termasuk dua kasus yang selanjutnya direview dan direklasifikasi

sebagai karsinoma papiler tiroid. Dengan demikian, ekspresi galectin-3

memungkinkan untuk identifikasi awal perubahan ganas pada kasus tiroiditis

hashimoto (Prasad et al., 2004; Chiu et al., 2010).

Galectin-3 juga disebutkan terekspresi positif pada kanker tiroid tipe lainnya.

Pada karsinoma folikular, baik dengan invasi minimal maupun luas, galectin-3

terekspresi pada 44% sampai 95% kasus (rata-rata 65%) (Ito et al., 2005). Protein

ini juga terekspresi pada sebagian besar kasus karsinoma tiroid poorly

45

differentiated dan undifferentiated (karsinoma anaplastik). Pada kasus karsinoma

anaplastik, galectin-3 terekspresi pada sebagian besar kasus (mencapai 100%).

Karsinoma medullary yang sporadis menunjukkan ekspresi galectin-3 berkisar

antara 45% sampai 80%. Galectin-3 terekspresi rendah pada hiperplasia nodular

dan sel epitel folikel tiroid normal (Fischer and Asa, 2008; Chiu et al., 2010).

2.3.4.2 Interpretasi pulasan galectin-3

Ekspresi galectin-3 dipertimbangkan positif ketika warna coklat terpulas pada

sitoplasma dan inti. Dua parameter yang dievaluasi adalah persentase sel yang

tercat positif dengan galectin-3 dan reaksi intensitasnya. Persentase sel-sel yang

tercat positif digrading sebagai berikut: grade (0): negatif, tidak ada sel yang

tercat; grade (1): sel yang positif >0-<5%; grade (2): sel yang positif 5%-25%;

grade (3): sel yang positif >25%-75%; grade (4): sel yang positif >75%. Reaksi

intensitasnya diskor sebagai berikut: (0): negatif; (1): lemah; (2): sedang; (3): kuat

(deMatos et al., 2005).

2.3.4.3 Korelasi klinikopatologi ekspresi galectin-3

Beberapa studi telah meneliti korelasi klinikopatologi antara ekspresi galectin-3

dengan kanker tiroid. Diantara kasus-kasus tersebut, korelasi ditentukan oleh kuat

atau lemahnya intensitas pulasan atau proporsi sel yang terpulas positif protein ini.

Yang menarik dikemukakan oleh Ito, et al (2005), yang menyatakan bahwa

ekspresi galectin-3 secara signifikan meningkat sesuai dengan tingkat invasi

pembuluh darah atau invasi kapsel pada tumor folikular. Beberapa penelitian juga

melaporkan adanya korelasi yang kuat antara ekspresi galectin-3 dengan

metastasis kelenjar getah bening pada karsinoma papiler, karsinoma folikular,

46

karsinoma anaplastik, dan karsinoma medularry. Dengan demikian, kedepannya

perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi ekspresi galectin-3

dengan indikator prognostik, seperti invasi kapsel, ukuran tumor, status kelenjar

getah bening, atau stadium penyakit (Cvejic et el., 2005; Chiu et al., 2010).

47