BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 … II.pdf · Berdasarkan pengertian di atas dapat...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 … II.pdf · Berdasarkan pengertian di atas dapat...
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan teori
2.1.1 Teori Persepsi
Untuk memahami persepsi terhadap perilaku penggelapan pajak, terlebih
dahulu akan diterangkan beberapa konsep mengenai persepsi menurut ahli. Menurut
Robbins (2003) yang dimaksud dengan persepsi adalah:
“Persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera
kemudian dianalisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi,
sehingga individu tersebut memperoleh makna.”
Secara sempit persepsi adalah suatu tangkapan rangsang dari luar oleh panca
indera. Sedangkan persepsi secara luas adalah sebagai suatu pengertian, pemahaman,
penafsiran terhadap suatu objek tertentu. Pareek (2001) mengemukakan bahwa
persepsi mencakup dua proses kerja yang saling terkait, yaitu:
1) Menerima kesan melalui penglihatan, sentuhan dan melalui indera
lainnya.
2) Penafsiran atau penetapan arti atas kesan-kesan inderawi tersebut. Arti
ditetapkan melalui kesan-kesan inderawi dengan struktur pengertian
(keyakinan relevan yang muncul dari pengalaman masa lalu) seseorang
dan struktur evaluative (nilai-nilai yang dipegang seseorang).
14
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa persepsi mengandung
unsur-unsur sebagai berikut.
1) Adanya kesan inderawi.
2) Penafsiran dan penetapan arti atas kesan-kesan inderawi.
3) Timbulnya kesadaran atas suatu objek tertentu.
4) Pengaruh pengalaman dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Dengan demikian persepsi adalah proses untuk memahami dan kemudian
menafsirkan suatu objek tertentu, dimana penafsiran itu dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang ada dalam individu tersebut. Persepsi individu banyak dipengaruhi oleh
berbagai faktor termasuk di dalamnya lingkungan sosial, di mana individu yang
bersangkutan melakukan interaksi sosial (Plano, 2005). Lingkungan sosial akan
membentuk kepribadian, cara pandang seseorang terhadap suatu objek dan cara
berpikir. Persepsi individu akan membentuk persepsi masyarakat, mengingat bahwa
masyarakat merupakan kumpulan individu yang saling mengadakan interaksi sosial.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas tampak adanya pengaruh persepsi
dalam membentuk perilaku individu sebagai warga Negara dalam rangka memenuhi
kewajiban membayar pajak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini persepsi individu terhadap perilaku penggelapan pajak adalah proses
individu dalam menerima, mengorganisasikan serta mengartikan praktek penggelapan
pajak yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut.
Semakin banyak informasi yang diterima, maka akan semakin luas wawasan individu
15
tentang etika penggelapan pajak, dimana hal ini akan mendorong individu berperilaku
positif terhadap proses pelaksanaan perpajakan.
2.1.2 Theory of Planned Behavior (TPB)
Ajzen (1991) mengungkapkan bahwa Theory of Planned Behavior merupakan
pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang bertujuan
memperlihatkan hubungan dari perilaku-perilaku yang dimunculkan oleh individu
untuk menanggapi sesuatu. Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) terdapat
variabel kontrol keperilakuan yang tidak terdapat pada TRA. Variabel kontrol
keperilakuan mengartikan bahwa tidak semua tindakan yang diambil oleh individu
berada di bawah kendali individu tersebut.
Theory of Planned Behavior membagi tiga macam alasan yang dapat
mempengaruhi tindakan yang diambil oleh individu, yaitu:
1) Behavioral beliefs, yaitu kepercayaan-kepercayaan mengenai
kemungkinan akan terjadinya suatu perilaku. Dengan kata lain, behavioral
beliefs merupakan keyakinan dari individu akan hasil (outcome) dari suatu
perilaku dan evaluasi. Pada TRA hal ini disebut dengan sikap (attitude)
terhadap perilaku.
2) Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif yang muncul
akibat pengaruh orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan
tersebut. Dalam TRA, hal ini disebut dengan norma-norma subjektif sikap
(subjective norms) terhadap perilaku.
16
3) Control beliefs, yaitu keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung
atau menghambat perilaku yang ditampilkan dan persepsinya tentang
seberapa kuat hal-hal tersebut mendukung atau menghambat perilakunya
tersebut. Hal yang mungkin menghambat saat perilaku ditampilkan dapat
berasal dari diri pribadi maupun dari eksternal, faktor lingkungan. Dalam
TRA variabel ini belum ada, maka ditambahkan pada Theory of Planned
Behavior, disebut dengan perceived behavioral control.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan sikap individu untuk berperilaku yang
baik ketika menjalankan ketentuan perpajakan, secara langsung memudahkan wajib
pajak dalam melakukan kegiatan perpajakan dan kesempatan melakukan tindakan
yang melanggar hukum, dalam hal ini tindakan penggelapan pajak menjadi rendah.
2.1.3 Etika
Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan dengan
moral yang merupakan istilah dalam bahasan latin, yaitu “mos” yang dalam bentuk
melakukan perbuatan baik dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Menurut Maryani dan Ludigdo (2001), etika merupakan seperangkat aturan,
norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan
maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan
masyarakat atau profesi.
17
Menurut Velasques (2005) etika mempunyai beragam makna yang berbeda,
salah satu maknanya adalah prinsip tingkah laku yang mengatur individu atau
kelompok. Seperti penggunaan istilah etika personal, yaitu mengacu pada aturan-
aturan dalam lingkup dimana orang per orang menjalani kehidupan pribadinya. Selain
itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu pada seperangkat aturan yang
mengatur tindakan profesional akuntan. Untuk makna yang kedua, etika adalah kajian
moralitas. Hal ini berarti etika berkaitan dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika
tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan (baik aktivitas
penelahaan maupun hasil-hasil penelaah itu sendiri), sedangkan moralitas merupakan
pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah,
atau baik dan jahat. Setelah mengaitkan dengan moralitas, Velasques
mengembangkan pengertian etika sebagai ilmu yang mendalami standar moral
perorangan dan standar moral masyarakat.
Merujuk pada uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa etika pajak
adalah tindakan untuk mematuhi peraturan perpajakan atau undang-undang
perpajakan yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini wajib pajak harus rutin dalam
membayar pajak karena dengan membayar pajak maka pembangunan akan terlaksana
dengan baik (Izzah dan Hamzah, 2009). Suminarsasi (2011) menjelaskan etika pajak
merupakan peraturan dimana orang atau kelompok orang yang menjalani kehidupan
dalam lingkup perpajakan, bagaimana mereka melaksanakan kewajiban
perpajakannya, apakah sudah benar, salah, baik atau buruk.
18
Dalam memandang perilaku penggelapan pajak (tax evasion), Murni (2013)
mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman wajib pajak dapat menimbulkan
kepatuhan ataupun ketidakpatuhan dalam melaksanakan ketentuan perpajakan.
Dengan demikian tindakan penggelapan pajak akan dipersepsikan sebagai tindakan
yang tidak etis dan wajib pajak cenderung menghindari perilaku tersebut. McGee
dalam Suminarsasi (2011) menemukan bahwa beberapa negara mengkategorikan
penggelapan pajak tidak pernah etis, kadang-kadang dipandang etis tergantung pada
fakta-fakta dan keadaan atau dipandang selalu etis.
2.1.4 Penggelapan Pajak (Tax evasion)
Mardiasmo (2011) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion):
“Adalah usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban
pajak dengan cara melanggar undang-undang. Dikarenakan melanggar undang-
undang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal.
Para wajib pajak sama sekali mengabaikan ketentuan formal perpajakan yang
menjadi kewajibannya, memalsukan dokumen, atau mengisi data dengan tidak
lengkap dan tidak benar”.
Menurut Setiawan (2008) tax evasion yaitu:
“cara menghindari pajak dengan cara-cara yang bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bila diketemukan dalam
pemeriksaan pajak, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana
sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
19
Rahayu (2010) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion) sebagai usaha
untuk membayar pajak yang terhutang sekecil mungkin dan cenderung melakukan
penyeludupan pajak, yang tentunya melanggar peraturan perundang-undangan
perpajakan. Kondisi ini merupakan tindakan peminimalan pajak atau tindakan yang
dianggap ilegal yang dilakukan oleh wajib pajak. Beberapa contoh kasus penggelapan
pajak, yaitu:
1) Tidak dapat memenuhi pengisian Surat Pemberitahuan tepat waktu.
2) Tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat waktu.
3) Tidak dapat memenuhi pelaporan dan pengurangannya secara lengkap dan
benar.
4) Tidak dapat memenuhi kewajiban memelihara pembukuan.
5) Tidak dapat memenuhi kewajiban menyetorkan pajak penghasilan para
karyawan yang diptong dan pajak-pajak terutang.
6) Tidak dapat memenuhi kewajiban membayar taksiran pajak terutang.
7) Melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan
intimidasi lainnya.
2.1.5 Keadilan Pajak
Menurut Adam Smith dalam Zain (2003), prinsip yang paling utama dalam
rangka pemungutan pajak adalah keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan
suatu pernyataan bahwa setiap warga negara hendaklah berpatisipasi dalam
pembiayaan pemerintah, sedapat mungkin secara proporsional sesuai dengan
20
kemampuan masing-masing, yaitu dengan cara membandingkan penghasilan yang
diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmati dari Negara. Hal ini sejalan
dengan teori keadilan Rawls (1971) yang mengatakan bahwa pemungutan pajak harus
bersifat final, adil dan merata.
Mardiasmo (2011), mengutarakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni
mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil
dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata,
serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada wajib pajak untuk
mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding
kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
Keadilan pajak oleh Siahaan (2010), dibagi ke dalam tiga pendekatan aliran
pemikiran, yaitu:
1) Prinsip manfaat (benefit principle)
Seperti teori yang diperkenalkan oleh Adam Smith serta beberapa ahli
perpajakan lain tentang keadilan, mereka mengatakan bahwa keadilan harus
didasarkan pada prinsip manfaat. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu sistem
pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak
sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah. Jasa
pemerintah ini meliputi berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip ini maka
sistem pajak yang benar-benar adil akan sangat berbeda tergantung pada
21
struktur pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu prinsip manfaat tidak hanya
menyangkut kebijakan pajak saja, tetapi juga kebijakan pengeluaran
pemerintah yang dibiayai oleh pajak.
2) Prinsip Kemampuan Membayar (ability to pay principle)
Pendekatan yang kedua yaitu prinsip kemampuan membayar. Dalam
pendekatan ini, masalah pajak hanya dilihat dari sisi pajak itu sendiri terlepas
dari sisi pengeluaran publik (pengeluaran pemerintah untuk membiayai
pengeluaran bagi kepentingan publik). Menurut prinsip ini, perekonomian
memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak tertentu, dan setiap wajib pajak
diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Prinsip ini secara
luas digunakan sebagai pedoman pembebanan pajak. Pendekatan prinsip
kemampuan membayar dipandang jauh lebih baik dalam mengatasi masalah
retribusi pendapatan dalam masyarakat, tetapi mengabaikan masalah yang
berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik.
3) Keadilan Horizontal dan Keadilan Vertikal
Mengacu pada pengertian prinsip kemampuan membayar, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat dua kelompok besar keadilan pajak, yaitu:
a) Keadilan Horizontal
Keadilan horizontal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai
kemampuan sama harus membayar pajak dalam jumlah yang sama.
Dengan demikian prinsip ini hanya menerapkan prinsip dasar keadilan
berdasarkan undang-undang. Misalnya untuk pajak penghasilan, untuk
22
orang yang berpenghasilan sama harus membayar jumlah pajak yang
sama.
b) Keadilan Vertikal
Prinsip keadilan vertikal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai
kemampuan lebih besar harus membayar pajak lebih besar. Dalam hal ini
Nampak bahwa prinsip keadilan vertikal juga memberikan perlakuan yang
sama seperti halnya pada prinsip keadilan horizontal, tetapi beranggapan
bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan berbeda, harus
membayar pajak dengan jumlah yang berbeda pula.
Masalah yang sangat mendasar yang selalu dijumpai dalam pemungutan pajak
adalah bagaimanakah cara mewujudkan keadilan pajak, hal ini tidak mudah dijawab
karena keadilan memiliki perspektif yang sangat luas, dimana keadilan antara
masing-masing individu berbeda-beda. Walaupun demikian, Negara dalam
menerapkan pajak sebagai sumber penerimaan harus berusaha untuk mencapai
kondisi dimana masyarakat secara makro dapat merasakan keadilan dalam penerapan
undang-undang pajak. Siahaan dalam Rahman (2013) menjelaskan setidaknya ada
tiga aspek keadilan yang perlu diperhatikan dalam penerapan pajak, yaitu:
1) Keadilan Dalam Penyusunan Undang-Undang Pajak
Keadilan dalam penyusunan undang-undang merupakan salah satu penentu
dalam mewujudkan keadilan perpajakan, karena dengan melihat proses dan
hasil akhir pembuatan undang-undang pajak yang kemudian diberlakukan,
masyarakat akan dapat melihat apakah pemerintah juga mengakomodasi
23
kepentingan WP dalam penetapan peraturan perpajakan, seperti ketentuan
tentang siapa yang menjadi subjek pajak, apa yang menjadi objek pajak,
bagaimana cara pembayaran pajak dan sebagainya.
2) Keadilan Dalam Penerapan Ketentuan Perpajakan
Keadilan dalam penerapan ketentuan perpajakan merupakan hal yang harus
diperhatikan benar oleh Negara/pemerintah sebagai pihak yang diberi
kewenangan oleh hukum pajak untuk menarik/memungut pajak dari
masyarakat. Pada dasarnya salah satu bentuk keadilan di dalam penerapan
hukum pajak adalah terjadinya keseimbangan antara pelaksanaan kewajiban
perpajakan dan hak perpajakan dari WP. Karena itu dalam asas pemungutan
pajak yang baik, fiskus harus konsisten dalam menerapkan ketentuan yang
telah diatur dalam undang-undang pajak dengan juga memperhatikan
kepentingan WP.
3) Keadilan Dalam Penggunaan Uang Pajak
Keadilan dalam penggunaan uang pajak merupakan aspek ketiga yang
menjadi tolak ukur penerapan keadilan perpajakan, berkaitan dengan harapan
sampai dimana manfaat dari pemungutan pajak tersebut dipergunakan untuk
kepentingan masyarakat banyak. Manfaat pajak untuk pelayanan umum dan
kesejahteraan umum harus benar-benar mendapatkan perhatian dan dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang menjadi pembayar pajak.
24
2.1.6 Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan adalah suatu metode bagaimana mengelola utang pajak
yang terutang oleh wajib pajak agar dapat mengalir ke kas negara. Menurut Waluyo
(2010) terdapat tiga sistem pemungutan pajak, yaitu:
1) Official assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kekuasaan
kepada pemerintah atau aparat pajak untuk menentukan besar kecilnya
pajak yang terutang. Terdapat ciri-ciri official assessment system adalah
sebagai berikut:
a) Kekuasaan untuk menentukan besar kecilnya pajak terutang berada
pada aparat pajak.
b) Wajib pajak bersifat pasif.
c) Utang pajak terjadi setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
2) Self assessment system
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan kekuasasan,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3) With holding system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan
kekuasaan kepada pihak ketiga (biasanya menggunakan jasa konsultan)
25
untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak.
Menurut McGee (2009) sistem perpajakan dan tarif pajak berkaitan dengan
terjadinya korupsi dalam bentuk apapun. Jadi gambaran umum mengenai sistem
pajak adalah tentang tinggi rendahnya tarif pajak dan pertanggungjawaban iuran
pajak. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah iuran pajak tersebut digunakan
untuk pengeluaran umum negara, atau justru oleh pemerintah maupun oleh petugas
pajak. Jika dihubungkan dengan teori Motivasi (Hilgard dan Atkinson, 1979) maka
wajib pajak akan membuat motivasi penilaiannya sendiri terhadap sistem perpajakan
yang berlaku. Jika mereka merasa sistem perpajakan yang berlaku buruk maka akan
berbanding lurus dengan tingkat penggelapan pajak.
Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak diperlukan asas-asas pemungutan
pajak dalam pemilihan alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keselarasan
pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu
pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana
dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An inquiri the Nature and Cause of the
Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak harusnya berdasarkan pada
asas-asas berikut:
1) Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak yang
dikenakan kepada orang pribadi harus sebanding dengan kemampuan
membayar pajak wajib pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat
26
yang akan diterima. Adil yang dimaksud adalah bahwa setiap wajib pajak
yang menyetorkan uangnya untuk pengeluaran pemerintah setara dengan
kepentingannya dan manfaat yang didapat.
2) Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu,
wajib pajak harus mengetahui dengan jelas dan pasti berapakah besarnya
pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
3) Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
situasi dimana wajib pajak tidak merasa terbebani, melainkan sebagai
tanggung jawab.
4) Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak
bagi wajib pajak diharapkan dapat seminimal mungkin, demikian pula
beban yang ditanggung wajib pajak.
2.1.7 Diskriminasi
Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
27
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik,
yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Menurut Danandjaja (2003), diskriminasi adalah perlakuan yang tidak
seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan,
agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Pengertian kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda. Bahwa di sana ada
membedakan tindakan berdasarkan atribut-atribut tertentu. Definisi tersebut juga
menyiratkan bahwa diskriminasi bukanlah monopoli kaum dominan dan mayoritas
terhadap kaum subordinat dan minoritas. Diskriminasi dapat dilakukan oleh siapa
saja kepada siapapun juga.
Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya
beberapa faktor, antara lain:
a. Adanya persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan.
b. Adanya tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok
yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
c. Ketidak berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan
membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
28
Merunjuk pada uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa diskriminasi pajak
adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok,
berdasarkan sesuatu yang biasanya bersifat kategorikal seperti agama,
kesukubangsaan atau keanggotaan kelas-kelas sosial yang terkait dengan perpajakan
(Suminarsasi, 2011).
2.1.8 Pemeriksaan Pajak
Pengertian pemeriksaan pajak menurut Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Pemeriksaan pajak dilaksanakan dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Persentase kemungkinan suatu pemeriksaan pajak
yang dilakukan sesuai undang-undang perpajakan dapat mendeteksi kecurangan yang
dilakukan wajib pajak sehingga berpengaruh pada tax evasion (Theo, 2014).
Menurut Pardiat (2008) Pemeriksaan Pajak yang dilakukan pemeriksan pajak
Direktorat Jenderal Pajak bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
29
perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tujuan pemeriksaan pajak menurut Erly Suandy (2011) adalah sebagai berikut.
a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka
memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak.
Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal:
1) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk
yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi.
3) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu
yang ditetapkan.
4) Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
5) Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat Pemberitahuan
tidak dipenuhi.
b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan yang dilakukan
dalam rangka:
1) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
3) Pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
4) Wajib Pajak mengajukan keberatan.
30
5) Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan
netto.
6) Pencocokkan data dan/atau alat keterangan.
7) Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
8) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
9) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk
tujuan lain.
31
2.2 Penelitian Sebelumnya
Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang persepsi wajib pajak
mengenai etika atas penggelapan pajak seperti pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya
Penelitian
(Tahun)
Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Persamaan Perbedaan Hasil
Penelitian
McGee,
Simon
S.Mho., and
Annie
(2008)
A
Comparative
Study on
Perceived,
Ethics of Tax
Evasion:
Hongkong
Vs the
United States
1. Variabel
Independe
n: Ethics,
Tax
Hongkong
and the US
Cultural
difference.
2. Variabel
Dependen:
Tax
Evasion
1. Variabel
Independen
Ethics.
2. Variabel
Dependen
Tax
Evasion
1. Ruang
lingkup
penelitian
ini
dilakukan
di
Hongkong
dan US.
2. Teknik
pengumpul
an data
melalui
survei.
Hasil dari
penelitian ini
menunjukkan
penggelapan
pajak adalah
etis atau tidak
etis
tergantung
dari beberapa
keadaan
dimana
pemerintah
yang korupsi,
perfoma
pemerintah
yang buruk,
adanya
ketidakadilan.
32
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Penelitian
(Tahun)
Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Persamaan Perbedaan Hasil
Penelitian
Nickerson,
Inge (2009)
Presenting
The
Dimension
ality of An
Ethics
Scale
Pertaining
to Tax
Evasion
1. Variabel
Independen:
Fairness, Tax
System, and
Discrimination
2. Variabel
Dependen: Tax
Evasion.
1. Variabel
Independen Tax
System and
Discrimination
2. Variabel
Dependen: Tax
Evasion
Ruang
lingkup
penelitian ini
dilakukan di
enam
Negara,
yaitu:
Argentina,G
uatemala,
Poland,
Romania,
United
Kingdom
dan USA
Hasil
penelitian ini
menunjukkan
tingkat
penilaian di
masing-
masing Negara
berbeda-beda.
UK memiliki
nilai rata-rata
terendah
sebesar 4,15
yang
mengindikasik
an rendahnya
perlawanan
terhadap
tindak
penggelapan
pajak, USA
memiliki skor
rata-rata
tertinggi
sebesar 5,62
yang
mengindikasik
an tingginya
keengganan
terhadap
penggelapan
pajak.
33
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Penelitian
(Tahun)
Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
Ayu dan
Hastuti
(2009)
Persepsi Wajib
Pajak :
Dampak
Pertentangan
Diametral Pada
Tax Evasion
Wajib Pajak
Dalam Aspek
Kemungkinan
terdeteksi
Kecurangan,
Keadilan,
Ketepatan
Pengalokasian,
Teknologi
Sistem
Perpajakan dan
Kecenderunga
n Personal
(Studi Wajib
Pajak Orang
Pribadi)
1. Variabel
Independen:
Kecurangan,
Keadilan,
Ketepatan
Pengalokasian,
Teknologi
Sistem
Perpajakan dan
Kecenderungan
Personal.
2. Variabel
Dependen:
Penggelapan
Pajak (Tax
Evasion)
1. Variabel
Independen
yaitu
keadilan dan
kemungkina
n terdeteksi
kecurangan.
2. Variabel
dependen
penggelapan
pajak (Tax
Evasion)
3. Data
dianalisis
dengan
Analisis
dengan
Analisis
Regresi
Linear
Berganda.
Ruang
lingkup
penelitian ini
dilakukan
pada Wajib
Pajak di KPP
se-Jogjakarta
Hasil dari
penelitian ini
ditemukan bahwa
kemungkinan
terdeteksi
kecurangan
terhadap tax
evasion
mempunyai
koefisien negatif
(0,501) yang
signifikan, hasil
pengujian juga
menunjukkan
bahwa pengaruh
ketepatan
pengalokasian
hasil pajak
berpengaruh
secara negatif dan
signifikan.
Sedangkan
persepsi terhadap
keadilan,
penggunaan
teknologi dan
kecenderungan
tax evasion
seseorang tidak
berpengaruh
signifikan pada
tax evasion.
34
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Penelitian
(Tahun)
Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
Rahman
(2010)
pengaruh
probabilitas
pemeriksaan
pajak dan
konflik
Wajib Pajak
terhadap
keputusan
tax evasion.
1. Probabilitas
pemeriksaan
pajak (X1)
2. Konflik
Wajib Pajak
(X2)
3. Keputusan
tax evasion
(Y)
1. Proses
pengambilan
sampel
dengan
metode
convenience
sampling.
2. Menggunakan
skala likert
untuk
pengukuran
variabel.
Variabel
independen
dalam
penelitian ini
adalah
keadilan,
sistem
perpajakan,
diskriminasi
dan
kemungkinan
terdeteksi
kecurangan.
Hasil dari
penelitian ini
mengindikasikan
bahwa variabel
probabilitas
pemeriksaan
pajak dan konflik
wajib pajak
berpengaruh
signifikan
terhadap
keputusan tax
evasion
Suminarsasi
dan
Supriyadi
(2011)
Pengaruh
Keadilan,
Sistem
Perpajakan
dan
Diskriminasi
Terhadap
Persepsi
Wajib Pajak
Mengenai
Etika
Penggelapan
Pajak.
1. Keadilan
(X1)
2. Sistem
Perpajakan
(X2)
3. Diskriminasi
(X3)
4. Etika
Penggelapan
Pajak (Y)
1. Variabel
independen yang
sama yaitu
Sistem
Perpajakan,
Keadilan, dan
Diskrimasi.
2. Proses
pengambilan
sampel dengan
metode
convenience
sampling.
3.Menggunakan
skala likert
untuk
pengukuran
variabel.
1. Ruang
lingkup
pengambilan
sampel
dalam
penelitian ini
pada KPP di
Jakarta
2.Variabel
independen
tambahan
dalam
penelitian ini
yaitu
kemungkinan
terdeteksi
kecurangan.
Penggelapan
pajak dipandang
sebagai suatu hal
yang etis dan juga
tidak etis, hasil
dari penelitian ini
hanya mendukung
dua dimensi saja,
yaitu sistem
perpajakan dan
diskriminasi
sehingga variabel
keadilan belum
bisa dibuktikan.
35
2.3 Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini yang dimaksud persepsi sendiri adalah sudut pandang
Wajb Pajak dalam memandang tindakan penggelapan pajak sebagai perilaku yang
etis atau tidak etis untuk dilakukan. Variabel perilaku penggelapan pajak yang
dipersepsikan dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh variabel keadilan pajak,
sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksi kecurangan. Adapun
model kerangka pemikiran yang dimaksud sebagaimana Gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
-(H1)
-(H2)
+(H3)
-(H4)
Keadilan Pajak
(X1)
Sistem Perpajakan
(X2)
Diskriminasi
(X3)
Kemungkinan
Terdeteksi
Kecurangan
(X4)
Persepsi WP mengenai
Etika Atas Penggelapan
Pajak
(Y)
36
2.4 Keterkaitan Antar Variabel dan Hipotesis
1) Pengaruh Keadilan Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika
Atas Penggelapan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011) dalam Suminarsasi dan Supriadi (2011)
mengutarakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-
undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan
memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam
pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
Mengacu pada teori persepsi, timbulnya persepsi oleh individu dipengaruhi
oleh stimulus-stimulus, salah satunya penafsiran terhadap suatu objek, dalam hal ini
penafsiran mengenai seberapa besar tingkat keadilan pajak. Menurut Rahman (2013)
semakin tinggi keadilan yang dilakukan pemerintah, maka masyarakat akan semakin
percaya terhadap kinerja pemerintah. Hal ini akan mendorong kemauan masyarakat
untuk membayar pajak dan mempercayai pemerintah dalam mengelola dana yang
bersumber dari pajak. Seegate (2012) menjelaskan bahwa manfaat yang banyak
dirasakan masyarakat atas fasilitas negara yang tersedia akan meningkatkan
kepercayaan terhadap pemerintah dalam mengelola dana yang bersumber dari pajak.
Hal ini terbukti dengan kemauan masyarakat untuk terus membayar pajak dan terlihat
dari penerimaan pajak Negara yang terus meningkat tiap tahunnya. Dengan tingkat
37
keadilan yang tinggi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, sehingga akan timbul rasa percaya dan aman ketika masyarakat
membayarkan uang pajak. Sehingga wajib pajak akan mempunyai persepsi bahwa
penggelapan pajak yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat secara luas
merupakan tindakan yang tidak etis untuk dilakukan. Oleh karena itu, hipotesis
pertama dalam penelitian ini dirumuskan:
H1 : Keadilan pajak berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak mengenai
etika atas penggelapan pajak.
2) Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai
Etika Atas Penggelapan Pajak
Sistem perpajakan yang sudah ada dan diterapkan selama ini menjadi acuan
oleh WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan teori persepsi
diperoleh hubungan bahwa semakin baik sistem perpajakan yang berlaku akan
menimbulkan persepsi dalam diri wajib pajak bahwa tindakan penggelapan pajak
tidak etis untuk dilakukan. Apabila sistem yang ada dirasa cukup baik dan sesuai
dalam penerapannya, maka WP akan memberikan respon yang baik serta taat pada
sistem yang ada dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, tetapi jika hal sebaliknya
yang terjadi yaitu WP merasa sistem pajak yang ada belum cukup baik
mengakomodir segala kepentingannya, maka wajib pajak akan menghindar dari
kewajiban perpajakannya (Nickerson et al., 2009).
38
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sistem perpajakan
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persepsi mengenai etika atas
penggelapan pajak. Oleh karena itu hipotesis kedua dapat dirumuskan:
H2 : Sistem perpajakan berpengaruh negatif terhadap Persepsi Wajib Pajak
mengenai etika atas penggelapan pajak.
3) Pengaruh Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika
Atas Penggelapan Pajak
Menurut Danandjaja (2003) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang
terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikal atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama,
atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Pemerintah dikatakan melakukan diskriminasi
apabila kebijakan yang diterapkan hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan di
sisi lain ada pihak-pihak yang dirugikan. Adanya diskriminasi akan mendorong sikap
masyarakat untuk tidak setuju dengan kebijakan yang berlaku (Nickerson et al.,
2009).
Beberapa peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia dinilai sebagai bentuk
diskriminasi pemerintah, salah satunya adalah zakat yang diperbolehkan sebagai
pengurang pajak karena ini hanya diberlakukan untuk masyarakat yang beragama
Islam saja (Suminarsasi, 2011). Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 dimana pajak final dikenakan sebesar 1% terhadap penghasilan bruto
juga dinilai sebagai bentuk diskriminasi karena banyak merugikan pengusaha kecil
menengah yang belum mapan dalam usahanya (Sanusi, 2014).
39
Hal ini sesuai dengan bahasan dari Theory of Planned Behavior terkait niat
berperilaku (behavior intention) dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Semakin banyak peraturan perpajakan yang dianggap sebagai bentuk
diskriminasi yang merugikan, maka masyarakat akan cenderung untuk tidak patuh
terhadap aturan. Ketidakpatuhan ini dapat berakibat pada masyarakat yang enggan
membayar pajak (Ariyati, 2013). Sehingga wajib pajak akan mempunyai persepsi
bahwa penggelapan pajak merupakan tindakan yang etis untuk dilakukan.
Dalam penelitian yang dilakukan Suminarsasi (2011) membuktikan jika
diskriminasi berpengaruh positif terhadap persepsi mengenai etika penggelapan
pajak. Semakin banyak bentuk diskriminasi dalam suatu Negara, maka wajib pajak
memiliki persepsi bahwa penggelapan pajak etis dilakukan. Oleh karena itu hipotesis
ketiga dapat dirumuskan:
H3 : Diskriminasi berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai
etika atas penggelapan pajak.
4) Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Terhadap Persepsi
Wajib Pajak Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak
Mekanisme pemeriksaan yang baik merupakan tindakan pengawasan atas
pelaksanaan sistem Self Assessment, agar dapat menumbuhkan kepatuhan Wajib
Pajak sehingga dapat membentuk suatu sistem yang khas dalam rangka mewujudkan
efektivitas dan efisiensi pemeriksaan (Suandy, 2011).
40
Penelitian yang dilakukan Ayu dan Hastuti (2009) tentang tax evasion pada
Wajib Pajak Orang Pribadi menemukan bahwa persepsi terhadap kemungkinan
terdekteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap tax evasion. Presentase
kemungkinan suatu pemeriksaan pajak dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan
dapat mendeteksi kecurangan yang dilakukan wajib pajak sehingga berpengaruh pada
Tax Evasion.
Hal ini mengacu pada teori persepsi, dimana timbulnya persepsi oleh individu
dipengaruhi oleh stimulus-stimulus, salah satunya adalah penafsiran terhadap suatu
objek, dalam hal ini penafsiran mengenai seberapa besar kemungkinan terdeteksi
kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah. Semakin tinggi kemungkinan terdeteksi
kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah, maka masyarakat akan semakin enggan
melakukan tindakan penggelapan pajak (Ayu, 2009). Sehingga masyarakat akan
mempunyai persepsi bahwa penggelapan pajak merupakan tindakan yang tidak etis
untuk dilakukan. Oleh karena itu, hipotesis keempat dapat dirumuskan:
H4 : Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap
persepsi Wajib Pajak mengenai etika atas penggelapan pajak.