BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

33
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Multiple Trauma Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus, multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung (Trentz O L, 2000).. 2.2 Epidemiologi Trauma merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan salah satu penyebab utama dari kematian terutama pada usia remaja dan usia dewasa muda. Pada tahun 1998, diperkirakan 5,8 juta orang meninggal dunia oleh karena trauma. Di Amerika Serikat, diperkirakan 12.400 orang meninggal dunia setiap bulannya oleh karena trauma. Disebutkan bahwa rerata umur pasien trauma adalah antara umur 29-

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Multiple Trauma

Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem

organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus,

multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan

yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang

kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang

letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma

secara langsung (Trentz O L, 2000)..

2.2 Epidemiologi

Trauma merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan salah

satu penyebab utama dari kematian terutama pada usia remaja dan usia dewasa muda.

Pada tahun 1998, diperkirakan 5,8 juta orang meninggal dunia oleh karena trauma. Di

Amerika Serikat, diperkirakan 12.400 orang meninggal dunia setiap bulannya oleh

karena trauma. Disebutkan bahwa rerata umur pasien trauma adalah antara umur 29-

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

7

34 tahun dan disebutkan pula bahwa pria lebih banyak yang mengalami trauma (60-

80% dari kasus yang terjadi) daripada wanita (Barkin et al., 1998).

Insiden terjadinya trauma meningkat secara signifikan di negara miskin dan

negara berkembang. Fenomena ini disebabkan oleh karena meningkatnya mobilisasi

di negara – negara tersebut, yang kemudian tergantung pada kendaraan transportasi

untuk melakukan kegiatan ekonomi. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di

negara-negara tersebut sering tidak disertai dengan peningkatan kuantitas serta

kualitas infrastruktur penunjang, misalnya ketersediaan jalan, regulasi transportasi

yang baik, fasilitas keamanan suatu kendaraan, serta sistem edukasi mengenai tata

cara berlalu lintas yang baik dan benar. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan

tingginya angka kejadian trauma di negara-negara miskin dan berkembang (Barkin et

al., 1998).

Multiple trauma mempunyai konseskuensi yang serius terhadap pasien dan

apabila pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup serius

dan akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di rumah, tempat

pekerjaan, dan masyarakat.

2.3 Mekanisme Trauma

Pengetahuan mengenai mekanisme trauma akan dapat membantu dokter bedah

dalam memperkirakan masalah dan cedera khusus yang dapat terjadi pada pasien

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

8

multiple trauma sehingga diagnsosis dan tindakan dapat dilakukan dengan lebih

efektif (Barkin et al., 1998). Tabel 1 menunjukkan beberapa mekanisme trauma

dengan cedera yang memungkinkan pada mekanisme trauma tersebut.

Tabel 2.1. Mekanisme Trauma dan Cedera yang Diantisipasi (Barkin et al., 1998).

Mekanisme Cedera yang Diantisipasi

Kecelakaan mobil

Benturan pada jendela mobil Cedera kepala, fraktur tulang wajah,

fraktur tulang tengkorak, fraktur tulang

leher

Benturan pada kemudi mobil Cedera deselerasi pada thorak, termasuk

kontusio otot jantung, rupture aorta,

kontusi paru, fraktur tulang sternum, flail

chest dan hemopneumothorax

Cedera abdomen bagian atas termasuk

liver dan lien, rupture diafragma, serta

cedera pancreaticoduodenal

Benturan pada dashboard Dislokasi hip, fraktur hip, fraktur femur,

fraktur acetabulum

Sabuk pengaman yang tidak sesuai Fraktur tulang midlumbar, cedera organ

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

9

berongga

Tahanan oleh 3 point seatbelt Fraktur costa, clavicula, sternum; kontusio

paru

Terjepitnya bagian bawah tubuh oleh

kendaraan

Crush injury, fraktur pelvis, fraktur

ekstremitas bawah, compartment

syndrome

Tabrakan dari belakang Cedera hiperekstensi dari tulang cervical,

termasuk fraktur dan central cord

syndrome

Jatuh

Jatuh dalam posisi supine Secara umum berpotensi untuk

menyebabkan axial dan appendicular

skeletal injury

Trombosis arteri renal akibat dari robekan

pada lapisan tunika intima

Jatuh dalam posisi prone Cedera deselerasi pada thorak dan

abdomen

Jatuh dengan kepala di bawah Cedera kepala dan cedera cervical

Jatuh dalam keadaan berdiri Fraktur calcaneus, fraktur thoracolumbar,

fraktur pelvis, fraktur pada ekstremitas

bawah

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

10

Kecelakaan pada pejalan kaki

Kecepatan rendah, dewasa Fraktur tibial plateau, cedera ligamen lutut

Kecepatan rendah anak-anak Cedera kepala, thorak, dan abdomen

Kecepatan tinggi Cedera multiorgan yang mengancam jiwa

Trauma tajam

Periorbital Penetrasi intracranial

Leher bagian anterior Hematom retrofaring yang berpotensi

menyumbat airway

Cedera esophagus

Thorak Cedera jantung dan pembuluh darah besar

Pantat Cedera rectum dan peritoneum

Senapan Cedera pada area di sekitar luka masuk

Lain-lain

Strangulasi Cedera laring, fraktur hyoid, cedera arteri

carotid

Cedera pada area lokal epigastric atau

abdomen kuadran kanan atas (misalnya

bicycle handlebar)

Hematom dudodenal

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

11

2.4 Patofisiologi Trauma

Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada tubuh

penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut menyebabkan timbulnya

respon inflamasi yang merupakan respon adaptif tubuh untuk mengeliminasi jaringan

yang rusak serta untuk mengeliminasi jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006)

Respon inflamasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1.

Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling

berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin (tumor

necrosis faktor-α), interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins, nitric

oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

(complement, histamine, bradykin). Ketika mediator-mediator tersebut berkumpul di

jaringan yang rusak maka mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen sel-

sel sistem imun innate dan adaptive untuk menghancurkan mikroorganisme yang

menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di jaringan yang terluka. Bila

derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka

respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal menjadi sistemik yang kemudian

disebut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome atau SIRS (Craig S R et.,

2005).

SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang tinggi

sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan meningkatkan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

12

kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik akan

menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai dengan muscle wasting,

kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein. Keadaan hipermetabolik ini akan

disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi

tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang

tinggi akan menyebabkan terjadinya burn out (Gerard M D, 2006).

Gambar 2.1. Respon Inflamasi Pasca Trauma (Gerard M D, 2006)

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

13

SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme sel dan

microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat maka akan

menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi berupa disfungsi

beberapa organ tubuh, yaitu :

1. Disfungsi otak : delirium

2. Disfungsi paru-paru : hipoksia

3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema

4. Disfungsi ginjal : oligouria

5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus

6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia

7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia (Gerard M D, 2006)

Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap sistem

imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan multiple

organ dysfunction syndrome (MODS). MODS kemudian akan menyebabkan

terjadinya multiple organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian

(Gerard M D, 2006).

Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan

terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh

karena pada respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

14

alveolar-capillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke rongga

alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS (Gerard M D, 2006).

2.5 Aspek Molekular pada Trauma

Pasca trauma, dalam tubuh pasien akan terjadi perubahan yang dinamis pada

respon hemodinamik, metabolik, dan imun yang dipengaruhi oleh mediator endogen

atau yang disebut dengan sitokin. Proses inflamasi tersebut merupakan bagian dari

respon fisiologis tubuh terhadap suatu trauma. Respon tubuh tersebut akan

menimbulkan SIRS yang kemudian akan diikuti dengan compensatory anti-

inflammatory response syndrome (CARS). Pada proses inflamasi, terjadi

keseimbangan antara efek positif dari inflamasi dengan potensi dari proses tersebut

untuk menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Bila proses inflamasi tersebut

berlebihan maka pasien akan memasuki malignant systemic inflammation (moderate

atau severe SIRS) yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya ARDS dan MODS

(Gerard M D, 2006).

Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya MODS, antara lain

adalah sebagai berikut :

1. Macrophage theory: adanya peningkatan produksi sitokin dan mediator

lain oleh activated macrophage.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

15

2. Microcirculatory theory: adanya syok hipovolemik yang berkepanjangan

dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen ke jaringan dan fenomena

reperfusi yang kemudian dapat menyebabkan MODS.

3. One and two hit theories: cedera awal yang berat dan syok dikatakan

sebagai first hit, yang akan menyebabkan terjadinya SIRS yang cukup

berat yang kemudian mengaktivasi sistem imun innate, termasuk

makrofag, leukosit, natural killer cell, serta migrasi sel inflamasi yang

diperkuat oleh interleukin-8 (IL-8) dan komponen komplemen (C5a dan

C3a). Ketika stimulus menjadi berkurang dan pasien seharusnya

mengalami resolusi, adanya secondary insult atau second hit akan

menyebabkan reaktivasi SIRS yang kemudian akan menimbulkan late

MODS. Secondary insult yang dimaksud misalnya adalah pembedahan

dan sepsis (Craig S R et al., 2005). Bagan one and two hit theory dapat

dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. One and Two Hit Theory (Craig S R et al., 2005)

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

16

Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit)

Terjadinya respon inflamasi pasca trauma merupakan bagian dari reaksi

fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh

faktor eksternal (derajat trauma) serta faktor internal (predisposisi genetik seseorang)

(Craig S R et al., 2005).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator inflamasi

terjadi segera setelah terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang berperan

penting dalam proses inflamasi pasca trauma, jenis sitokin tersebut dapat dilihat pada

tabel 2. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat suatu trauma dengan

kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi peningkatan kadar IL-6 dan

IL-8 dalam plasma pasien dengan injury severity score ≥25 (Craig S R et al., 2005).

Tabel 2.2 Sitokin yang Berperan dalam Inflamasi Pasca Trauma (Craig S R et al.,

2005)

Pengukuran sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan klinis.

Awalnya dikatakan bahwa kadar sitokin primary inflammatory, yaitu tumor necrosis

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

17

faktor α (TNF-α) dan Interleukin 12 (IL-12), mempunyai korelasi dengan derajat

perdarahan awal serta keadaan nonsurvival setelah mengalami ARDS dan MODS.

Kemudian terdapat beberapa penelitian yang bertentangan dengan hal tersebut,

dikatakan bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (Giannouids P

V et al., 2004).

Selain terjadi imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien pasca

trauma juga terjadi imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan

interferon berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi

yang kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh

pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan kandungan

enzim lisosom (Giannouids P V et al., 2004).

Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan MODS. Diantara

trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan meningkatnya

risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur femur berkaitan

dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup signifikan (Rockwood,

2006).

Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit)

Seorang pasien multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat kemudian

akibat dari second hit, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang termasuk

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

18

second hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi pembedahan. Dengan

adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep damage control surgery

yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap unstable patient yang berisiko

tinggi untuk mengalami komplikasi pascatrauma (Craig S R et al., 2005).

Second hit merupakan additive terhadap first hit dan bila kombinasi kedua hal

tersebut cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada tubuh

pasien serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MODS dan ARDS (Craig S R

et al., 2005).

2.6 Hubungan Sitokin IL-6 dengan Trauma

IL-6 merupakan suatu glycoprotein dengan berat molekul 22-29 kD dan

diproduksi oleh beberapa jenis sel, antara lain sel T, sel B dan sel endotel. Produksi

IL-6 diinduksi oleh virus, LPS, IL-1 dan TNF. IL 6 kemudian menginduksi

proliferasi limfosit B untuk meningkatkan sintesis immunoglobulin serta

menginduksi proliferasi limfosit T. IL-6 juga meningkatkan diferensiasi sel T dan

aktivitas sel NK (Natural Killer). IL-6 merupakan salah satu marker prognosis terbaik

untuk mengetahui outcome pasien dengan SIRS, sepsis, atau MODS (Giannouids P V

et al., 2004).

Beberapa penelitian mengkonfirmasi peningkatan segera dari kadar IL-6 pasca

trauma, dimana pasien dengan derajat trauma yang terberat mempunyai kadar IL-6

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

19

tertinggi. Disebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan awal kadar sitokin

IL-6, nilai Injury Severity Score yang tinggi serta late adverse outcome. Pada

penelitian Gebhard F et al tahun 2000 yang memaparkan perubahan kadar sitokin IL-

6 pasca trauma. Pada penelitian tersebut didapatkan suatu korelasi antara kadar

sitokin Il-6 pada 6 jam pertama pasca trauma dengan derajat suatu trauma. Pasien

dengan cedera terparah memiliki kadar sitokin IL-6 tertinggi. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa kadar sitokin IL-6 dapat digunakan untuk mengevaluasi

dampak suatu trauma terhadap tubuh pasien (Gebhard F et al., 2000).

Pada penelitian Giannoudis et al tahun 2008 didapatkan bahwa kadar sitokin IL-6

dapat memprediksi terjadinya komplikasi pada pasien multiple trauma, salah satunya

adalah terjadinya komplikasi MODS, pada cut off point 300 pg/mL dengan akurasi

78%, sensitivitas 72% dan spesifisitas 78% (Giannoudis et al, 2008). Pada penelitian

Stensballe et al tahun 2009 didapatkan bahwa pada hari pertama pasien yang

mempunyai kadar sitokin IL-6 lebih dari 300 pg/mL akan mengalami kematian dalam

30 hari (Stensballe et al., 2009).

2.7 Trauma Scoring System

Pengukuran mengenai derajat keparahan suatu trauma sudah dimulai pada tahun

1969. Diawali dengan pengukuran dengan Abbreviated Injury Scale (AIS) untuk

menilai derajat keparahan suatu trauma. AIS merupakan dasar dari penghitungan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

20

Injury Severity Score yang kemudian banyak diaplikasikan untuk menilai derajat

keparahan suatu trauma. Usaha untuk menyimpulkan derajat keparahan suatu trauma

pada pasien multiple trauma merupakan hal yang sulit sehingga terdapat beberapa

scoring system alternatif yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan

(Chawda M N et al., 2004).

Metode yang akurat untuk menilai derajat trauma secara kuantitatif mempunyai

beberapa manfaat yang potensial, salah satunya adalah untuk memprediksi outcome

dari suatu trauma atau prognosis dari pasien trauma. Selain hal tersebut skor trauma

juga dapat menjadi bahan pertimbangan dari klinisi untuk menentukan terapi yang

akan dilakukan pada pasien trauma dan skor trauma berperan penting di dalam

penelitian mengenai trauma (Chawda M N et al., 2004).

Terdapat beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis besar dapat

diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan komponen-komponen yang

digunakan, yaitu skor anatomis, skor fisiologis, dan skor kombinasi (Chawda M N et

al., 2004).

Untuk skor fisiologis, Revised Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling

sering digunakan. RTS terdiri dari tiga komponen yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),

systolic blood pressure (SBP), dan respiratory rate (RR). RTS mempunyai dua bentuk

tergantung dari penggunaannya. Ketika digunakan di triase lapangan, RTS ditentukan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

21

dengan menambahkan nilai dari masing-masing indikator, sehingga RTS mempunyai

rentang 0-12. (Chawda M N et al., 2004). RTS dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Tabel RTS (Chawda M N et al., 2004).

Coded Value GCS SBP (mmHg) RR (breaths/min)

0 3 0 0

1 4-5 <50 <5

2 6-8 50-75 5-9

3 9-12 76-90 >30

4 13-15 >90 10-30

Untuk bentuk kedua, yaitu coded RTS (RTSc) digunakan untuk memprediksi

outcome pasien trauma. Perhitungan RTSc adalah sebagai berikut dengan SBPc, RRc,

dan GCSc merupakan coded value dari masing-masing variabel.

RTSc = 0.9368 GCSc + 0.7326 SBPc + 0.2908 RRc

Perhitungan dari RTSc adalah rumit yang menyebakan keterbatasan dari

penggunaan skor tersebut di lapangan. Kelebihan dari RTSc adalah menekankan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

22

dampak cedera kepala yang signifikan terhadap outcome dari pasien trauma.

Kelemahan dari RTSc adalah ketidakmampuan untuk menilai secara akurat pasien

trauma yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik, serta pasien trauma

yang sedang dalam pengaruh obat-obatan dan alkohol (Chawda M N et al., 2004).

Untuk skor anatomis, terdapat beberapa scoring system, antara lain Abbreviated

Injury Score (AIS), Injury Severity Score (ISS), New Injury Severity Score (NISS)

(Chawda M N et al., 2004).

Abbreviated Injury Scale (AIS)

AIS bertujuan untuk mendeskripsikan suatu cedera dan tidak didesain untuk

memprediksi outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Pada AIS suatu cedera

diranking pada skala 1-6 seperti pada tabel 2.4. Setiap cedera pada tubuh pasien

diberi AIS grade (Chawda M N et al., 2004).

Tabel 2.4 AIS score (Chawda M N et al., 2004)

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

23

Injury Severity Score (ISS)

ISS merupakan suatu anatomical scoring system yang dapat memberikan skor

pada pasien dengan multiple trauma. Setiap cedera diberi AIS score dan dialokasikan

ke salah satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala, wajah, thorak, abdomen,

ekstremitas (termasuk pelvis), serta struktur eksternal). Hanya AIS score yang

tertinggi di masing-masing regio tubuh yang digunakan. Kemudian dari AIS score

tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah dikuadratkan dan dijumlahkan

sehingga menghasilkan ISS. Dengan kata lain ISS adalah jumlah kuadrat dari AIS

score tertinggi pada tiga regio tubuh yang mengalami cedera terparah (Chawda M N

et al., 2004).

ISS mempunyai rentang antara 1-75. Seseorang dikatakan mengalami multiple

trauma bila ISS lebih dari atau sama dengan 16. Contoh penghitungan ISS dapat

dilihat pada tabel 2.5 (Chawda M N et al., 2004).

ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang diperhitungkan

hanya berjumlah tiga, yang masig-masing berasal dari tiga regio tubuh yang memiliki

cedera terparah, sehingga akan terjadi underscoring bila pada pasien tersebut terdapat

lebih dari satu cedera yang signifikan pada satu regio tubuh dan atau lebih dari tiga

regio tubuh. ISS hanya memperhitungkan satu cedera per regio tubuh sehingga tidak

mampu untuk mengevaluasi cedera multipel yang terjadi pada regio tubuh yang sama

sehingga derajat keparahan suatu trauma sering salah diperkirakan. Selain itu ISS

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

24

hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis.

ISS juga memerlukan perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai

secara akurat dari AIS score (Chawda M N et al., 2004).

Tabel 2.5 Contoh Penghitungan ISS (Chawda M N et al., 2004)

New Injury Severity Score (NISS)

Untuk mengatasi keterbatasan pada ISS maka diciptakanlah New Injury Severity

Score (NISS) oleh Osler et al. NISS merupakan jumlah kuadrat dari nilai AIS score

dari tiga cedera terparah pada pasien tanpa mempertimbangkan regio tubuh lokasi

cedera tersebut (Chawda M N et al., 2004).

Disebutkan bahwa NISS lebih akurat dalam memprediksi mortalitas trauma

dibandingkan dengan ISS, terutama pada trauma tajam. Disebutkan juga bahwa NISS

lebih baik daripada ISS untuk memprediksi terjadinya MOF pasca trauma (Chawda M

N et al., 2004).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

25

Sebuah contoh akan lebih dapat menjelaskan perbedaan antara ISS dan NISS.

Misalnya seseorang mengalami kecelakaan sepeda motor dan mengalami cedera

steering-wheel compression pada regio abdomen. Pada saat operasi laparotomi,

awalnya ditemukan small-bowel perforation (AIS score 3, ISS 9, NISS 9), kemudian

ditemukan juga adanya moderate liver laceration (AIS score 3, ISS 9, NISS 18).

Kemudian ditemukan moderate pancreatic laceration dengan duct involvement (AIS

score 3, ISS 9, NISS 27) serta ditemukan adanya bladder perforation (AIS score 4,

ISS 16, NISS 34). Pada ekstremitas bawah pasien tersebut didapatkan bimalleolar

fibular fracture (AIS score 2, ISS meningkat menjadi 20, tetapi NISS tetap 34). Hal

tersebut menunjukkan bahwa NISS lebih konsisten dengan naluri dokter bedah trauma

daripada ISS, dimana bila jumlah cedera bertambah maka seseorang lebih berisiko

mengalami kematian, bahkan bila cedera-cedera tersebut hanya terakumulasi pada

satu regio tubuh. Selain itu adanya cedera yang tidak terlalu parah di regio tubuh yang

lain (dalam kasus ini adalah fibular fracture) tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap risiko untuk mengalami kematian (Chawda M N et al., 2004).

NISS dikatakan lebih superior daripada ISS pada kasus trauma tajam, sedangkan

belum terdapat penelitian mengenai perbandingan antara NISS dengan ISS dalam

memprediksi outcome pada pasien yang mengalami trauma tumpul (Chawda M N et

al., 2004).

NISS mempunyai beberapa keterbatasan. Pada NISS, begitu juga dengan ISS,

hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis,

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

26

untuk memprediksi outcome pada pasien. NISS juga memerlukan memerlukan

perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS

score (Chawda M N et al., 2004).

Skor Kombinasi

Salah satu contoh skor kombinasi adalah Trauma Injury Severity Score (TRISS),

yang mengkombinasikan faktor anatomi (ISS) dan fisiologis (RTS) untuk mengukur

derajat keparahan suatu trauma serta memasukkan faktor usia untuk memprediksi

prognosis pasien trauma (Chawda M N et al., 2004).

Untuk memprediksi prognosis pasien trauma, formula TRISS adalah sebagai

berikut :

Ps : Probabilitas hidup

b : b0 + b1(RTS) + b2(ISS) + b3(Age Index)

Koefisien b0-b3 terdapat pada tabel 2.6

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

27

Tabel 2.6 Koefisien TRISS (Chawda M N et al., 2004)

Age Index adalah 0 bila pasien berumur kurang dari 54 tahun atau 1 bila pasien

berumur 55 tahun atau lebih (Chawda M N et al., 2004).

TRISS mempunyai beberapa kelemahan, antara lain akurasi yang moderat untuk

memprediksi prognosis pasien trauma dan tidak mempertimbangkan faktor komorbid

seperti penyakit jantung, penyakit paru, serta penyakit lainnya (Chawda M N et al.,

2004).

2.7.1 Mechanism, Glasgow Coma Scale, Age, and Arterial Pressure (MGAP) Score

MGAP score diciptakan oleh Sarorius et al pada tahun 2010 dan merupakan

improvisasi dari skor-skor trauma yang sudah ada sebelumnya. Skor tersebut dapat

memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien trauma (Hasler R M et al., 2012).

Sistem MGAP score dapat dilihat pada tabel 2.7

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

28

Tabel 2.7 MGAP score (Hasler R M et al., 2012)

MGAP score

(3-29 poin)

Umur < 60 tahun 5

Tekanan darah sistolik >120 mmHg 5

Tekanan darah sistolik 60-120 mmHg 3

Tekanan darah sistolik <60 mmHg 0

Skor GCS (3-15) Skor GCS

Mekanisme trauma tusuk 4

Dari skor tersebut kemudian pasien trauma dikategorikan menjadi tiga

berdasarkan risiko mortalitas, yaitu:

Kategori low (mortalitas <5%) : Skor 23-29

Kategori medium (mortalitas 5-50%) : Skor 18-22

Kategori high (mortalitas >50%) : Skor 3-17

MGAP score mempunyai keterbatasan yaitu skor yang lebih tinggi pada trauma

tusuk dibandingkan dengan trauma tumpul, meskipun trauma tusuk tidak selalu lebih

parah daripada trauma tumpul dan trauma tusuk secara epidemiologi terjadi pada 10%

pasien trauma (Hasler R M et al., 2012).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

29

2.7.2 Glasgow Coma Scale, Age, and Arterial Pressure (GAP) Score

Untuk mengatasi keterbatasan pada MGAP score maka Yutaka et al pada tahun

2011 menciptakan GAP score. GAP score tidak memasukkan mekanisme trauma

sebagai bagian skor. Skor tersebut juga dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada

pasien trauma (Hasler R M et al., 2012). Sistem GAP score dapat dilihat pada tabel

2.8

Tabel 2.8 GAP score (Hasler R M et al., 2012)

GAP score

(3-24 poin)

Umur ≥ 60 tahun 0

Umur < 60 tahun 3

Tekanan darah sistolik >120 mmHg 6

Tekanan darah sistolik 60-120 mmHg 4

Tekanan darah sistolik <60 mmHg 0

Skor GCS (3-15) Skor GCS

GAP score mempunyai kelebihan dibandingkan sistem trauma score yang lain

karena lebih sederhana serta dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien

trauma (Hasler R M et al., 2012).

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

30

2.8 Klasifikasi Kondisi Pasien Multiple Trauma

Setelah dilakukan assessment dan intervensi awal maka kondisi pasien sebaiknya

diklasifikasikan diantara empat kategori dengan tujuan untuk memandu langkah

perawatan berikutnya. Keempat kategori tersebut adalah stable, borderline, unstable,

dan in extremis. Kategori ini berdasarkan atas derajat keparahan trauma, adanya

cedera spesifik, dan keadaan hemodinamik. Sebelum pasien dimasukkan dalam salah

satu kategori, terlebih dahulu harus dicapai end points of resuscitation. Yang

termasuk end points of resuscitation adalah hemodinamik yang stabil, saturasi

oksigen yang stabil, kadar laktat di bawah 2 mmol/L, tidak ada gangguan koagulasi,

temperatur yang normal, urine output di atas 1 mL/kg/jam, dan tidak diperlukannya

dukungan inotropic (Trentz O L, 2000).

Pasien dikatakan stable bila pasien tidak memiliki cedera yang mengancam jiwa

dengan segera, berespon terhadap terapi awal, dan memiliki hemodinamik stabil

tanpa dukungan inotropik. Pada pasien juga tidak terdapat gangguan fisiologis,

seperti koagulopati, respiratory distress, atau ongoing occult hypoperfusion yang

bermanifestasi sebagai gangguan keseimbangan asam basa, serta pada pasien tidak

terdapat hipotermia. Pasien dalam kondisi stable memiliki physiologic reserve untuk

mampu bertahan menghadapi tindakan pembedahan yang panjang (Rockwood, 2006).

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

31

Pasien dikatakan borderline bila pasien telah distabilkan dan berespon terhadap

resusitasi awal tetapi memiliki beberapa manifestasi klinis atau cedera sebagai

berikut:

ISS <40

Hipotermia dengan temperatur <35° C

Mean pulmonary arterial pressure awal >24 mm Hg atau peningkatan >6 mm

Hg pada pulmonary artery pressure selama dilakukannya intramedullary

nailing atau tindakan operasi lainnya

Multiple injuries (ISS >20) yang disertai dengan trauma thorak (AIS >2)

Multiple injuries yang disertai dengan cedera abdomen dan pelvis yang parah

serta mengalami syok hipovolemik pada awal datangnya pasien tersebut

(systolic BP <90 mm Hg)

Adanya kontusio paru pada pemeriksaan radiologis

Pasien dengan fraktur femur bilateral

Pasien dengan cedera kepala sedang atau berat (AIS >3)

Faktor-faktor di atas berkaitan dengan outcome yang buruk dan berisiko

menyebabkan kondisi pasien memburuk. Pada pasien tersebut harus tetap dilakukan

pengawasan dan dapat pula digunakan invasive monitoring (Rockwood, 2006).

Pasien dikatakan unstable bila kondisi hemodinamik pasien masih unstable

walaupun telah dilakukan resusitasi awal. Pada pasien tersebut berisiko tinggi untuk

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

32

mengalami perburukan secara cepat, yang kemudian diikuti dengan multiple organ

failure dan kematian. Pada kategori ini maka penatalaksanaan menggunakan damage

control approach, dimana pendekatan tersebut menekankan rapid life saving surgery

hanya bila diperlukan secara absolut serta diikuti dengan mentransfer pasien ke

Intensive Care Unit / ICU untuk stabilisasi dan monitoring lebih lanjut. Disarankan

untuk dilakukan temporay stabilization dari fraktur dengan menggunakan external

fixation dan juga dilakukan hemorrhage control. Tindakan pembedahan yang

kompleks sebaiknya ditunda hingga tercapainya kondisi pasien yang stabil serta

respon inflamasi telah berkurang. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak

second hit dari suatu tindakan pembedahan (Rockwood, 2006).

Pasien yang termasuk kategori in extremis adalah pasien yang akan meninggal

akibat cedera yang terlalu parah dan sering didapatkan adanya ongoing uncontrolled

blood loss. Pasien tersebut tetap severely unstable walaupun telah dilakukan usaha

resusitasi yang agresif. Pada pasien tersebut juga ditemukan triad of death, yaitu

hipotermia, asidosis, dan koagulopati. Sebaiknya tetap dilakukan damage control

approach yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa kemudian setelah tindakan

tersebut pasien ditransfer ke ICU untuk invasive monitoring dan advanced

hematological, pulmonary, dan cardiocvascular support. Cedera orthopaedi dapat

distabilkan dengan cepat dengan menggunakan external fixation. Tindakan

pembedahan yang bersifat rekonstruktif sebaiknya ditunda dan dapat dikerjakan bila

nyawa pasien terselamatkan (Rockwood, 2006).

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

33

2.9 Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma

Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk

membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan

perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai

dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacement sesuai

dengan protokol Advanced Trauma and Life Support / ATLS. Bila dengan cara

konservatif tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan

immediate life-saving surgery (Solomon, 2001; Rockwood, 2006).

Untuk penanganan awal digunakan konsep damage control, yaitu kontrol

terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta penutupan luka atau

rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU,

yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila kondisi pasien

memungkinkan (Trentz O L, 2000). Untuk algoritma penanganan pasien multiple

trauma dapat dilihat pada gambar 2.3

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

34

Gambar 2.3. Initial Assesment dan Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma

(Trentz O L, 2000)

Prioritas dan Timing Pembedahan pada Pasien Multiple Trauma

Pada pasien multiple trauma, keputusan untuk memilih cedera yang akan

ditangani terlebih dahulu dapat menjadi sulit, terutama bila cedera tersebut berbahaya

dan dapat menyebabkam gangguan hemodinamik. Ketika cedera yang berbeda

memerlukan tindakan spesialisasi yang berbeda maka dapat menimbulkan perbedaan

pendapat mengenai prioritas tindakan yang akan dilakukan. Penelitian mengenai

epidemiologi mortalitas pada pasien trauma serta pengalaman klinis yang dimiliki

Primary Survey Basic imaging Resusitasi

Evaluasi

respon? + -

?

Secondary Survey Scoring

Damage control

Life-saving

surgery

ICU

Delayed primary

surgery

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

35

dapat memilah cedera tertentu yang sangat fatal dan harus menjadi prioritas untuk

ditangani dibandingkan cedera lainnya. Terkadang pada cedera tertentu dapat

dilakukan tindakan pembedahan dini tanpa dilakukannya prosedur diagnostik yang

bertujuan untuk menyelamatkan nyawa. Cedera-cedera yang dimaksud adalah

penetrating thoracic injury yang mengakibatkan cardiac tamponade, open arterial

injury, dan trauma pelvis. Adanya perdarahan yang terus-menerus disertai syok yang

resisten terhadap resusitasi pada area thorak, abdomen, atau pelvis merupakan

indikasi untuk dilakukannya tindakan pembedahan (Pape et al, 2002; Rockwood,

2006).

Timing untuk melakukan pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien

serta respon pasien terhadap resusitasi awal (Trentz O L, 2000). Timing untuk

pembedahan dapat dilihat pada tabel 2.9.

2.10 Rehabilitasi

Rehabilitasi pada pasien multiple trauma harus dimulai sedini mungkin. Pada

pasien multiple trauma dengan cedera kepala, rehabilitasi bertujuan untuk

memfasilitasi stimulasi terhadap fungsi kognitif dari pasien. Sebelum dilakukan

rehabilitasi sebaiknya dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tersebut sudah tidak

dalam pengaruh dari obat sedatif (Rockwood, 2006).

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

36

Tabel 2.9. Timing untuk Pembedahan (Trentz O L, 2000).

Status Fisiologis Intervensi Pembedahan Timing

Respon terhadap

resusitasi awal

(-) Life-saving surgery

Hari I (?) Damage control

(+) Delayed primary surgery

Hyper-inflammation “Second look”, only Hari II-III

“Window of opportunity” Scheduled definitive

surgery

Hari V-X

Immunosuppression No surgery

Recovery Secondary reconstructive

surgery

Minggu III

Pada rehabilitasi pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera pada sistem

muskuloskeletal maka rehabilitasi bertujuan untuk melatih mobilisasi dari ekstremitas

yang mengalami cedera. Saat perawatan di bangsal, rehabilitasi dilakukan dengan

latihan aktif oleh pasien tersebut serta diawasi oleh trained physiotherapist. Sering

terjadi ketakutan pada pasien saat melakukan mobilisasi, hal tersebut memerlukan

penjelasan yang baik dari dokter bedah maupun physiotherapist mengenai tujuan dari

mobilisasi tersebut yaitu untuk mempertahankan mobilitas sendi serta untuk

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

37

mencegah terjadinya osteoporosis yang disebabkan oleh imobilisasi (Rockwood,

2006).

2.11 Outcome

Outcome pada pasien multiple trauma dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain lain derajat trauma, lokasi cedera, umur pasien, adanya kondisi penyerta pada

pasien, serta penatalaksanaan pada pasien tersebut (Rockwood, 2006).

Kematian karena trauma terjadi pada salah satu dari tiga periode waktu

(Trimodal Death Distribution). Puncak pertama dari kematian adalah kematian yang

terjadi beberapa detik atau menit setelah kejadian yang biasanya disebabkan oleh

laserasi otak, cedera batang otak, cedera spinal cord level tinggi, serta cedera jantung

dan aorta. Kematian puncak kedua terjadi beberapa menit sampai beberapa jam

setelah trauma yang disebabkan oleh perdarahan subdural dan epidural,

hemopneumothoraks, rupture limpa, laserasi hati, cedera pelvis, serta cedera lainnya

dengan perdarahan yang masif. Kematian puncak ketiga terjadi beberapa hari atau

minggu setelah trauma yang disebabkan oleh sepsis dan MOF (ATLS 2004).

Pada pasien multiple trauma tanpa cedera kepala dan dilakukan perawatan di

rumah sakit yang memadai, mortalitasnya adalah kurang lebih 10%, sedangkan pada

pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera kepala mortalitasnya adalah

kurang lebih 30%. Trauma thorak, cedera solid abdominal organ serta fraktur lebih

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/11245/3/676167c9551c594cb4dabbc7cfb480ef.pdf · oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway

38

dari satu long bone disebutkan juga meningkatkan risiko kematian pada pasien

multiple trauma. Pada pasien trauma, MOF dapat terjadi pada 5% pasien. Mortalitas

pada pasien dengan MOF adalah antara 20% - 100% (Chawda MN et al, 2005;

Hietbrink F et al., 2006).

Mortalitas pada pasien berumur tua lebih tinggi daripada pasien berumur muda.

Tingkat mortalitas pada pasien berumur tua adalah 42,3%. Adanya penurunan fungsi

fisiologik, berkurangnya physiologic reserve, serta adanya kondisi penyerta

merupakan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap lebih tingginya mortalitas

pada pasien berumur tua dibandingkan dengan pasien berumur muda (Rockwood,

2006).

Selain masalah gangguan fisik, pada pasien yang mengalami trauma juga dapat

mengalami gangguan psikis pasca trauma, yaitu post traumatic stress disorder

(PTSD) serta depresi. Pada penelitian oleh Suliman et al disebutkan bahwa keluhan

dan gejala PTSD dan depresi pada pasien multiple trauma lebih berat daripada pasien

yang mengalami single trauma (Suliman S et al., 2009).