BAB II LANDASAN TEORI - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/H0911051_bab2.pdf ·...

download BAB II LANDASAN TEORI - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/H0911051_bab2.pdf · ini laporan bioprospeksi alga coklat dari jenis lain dari wilayah ini masih terbatas

If you can't read please download the document

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/H0911051_bab2.pdf ·...

  • 6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Rumput Laut

    Rumput laut atau seaweed merupakan salah satu tumbuhan laut yang

    tergolong dalam rumput laut benthik yang banyak hidup melekat di dasar

    perairan. Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan

    tergolong dalam divisi Thallophyta. Secara garis besar, klasifikasi rumput

    laut terbagi menjadi 3 kelas utama, yaitu rumput laut hijau (Chlorophyta),

    rumput laut merah (Rhodophyta), dan rumput laut cokelat (Phaeophyta)

    sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1.

    Tabel 2.1. Karakteristik dari Rumput Laut pada Masing-Masing Kelas

    Jenis Rumput laut Zat Penyusun dinding sel HabitatHijau (Chlorophyta) Selulosa Air asin, air

    tawarMerah (Rhodophyta) CaCO3 (kalsium karbonat),

    selulosa, dan produk fotosintetik berupa karaginan, agar, fulcellaran, dan porpiran

    Laut, sedikit di air tawar

    Cokelat (Phaeophyta) Asam alginate Laut

    Sumber: Kimball, 1992; dan Simpson, 2006.

    Rumput laut merupakan salah satu kelompok tumbuhan laut yang

    mempunyai sifat tidak bisa dibedakan antara bagian akar, batang, dan daun.

    Seluruh bagian tumbuhan disebut thallus, sehingga rumput laut tergolong

    tumbuhan tingkat rendah (Susanto dan Mucktianty, 2002 dalam Suparmi

    dan Sahri 2009). Bentuk thallus rumput laut bermacam-macam, ada yang

    bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut, dan lain

    sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler)

    atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus

    dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang

  • 7

    thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), dan

    ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga

    beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi

    atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak bagaikan tulang rawan

    (cartilagenous), berserabut (spongeous), dan sebagainya dengan berbagai

    keanekaragaman warna (Suparmi dan Sahri., 2009).

    Bagianbagian rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu

    bagian dasar dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat

    dan thallus yaitu bentuk-bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai

    percabangan. Tidak semua rumput laut bisa diketahui memiliki holdfast atau

    tidak. Rumput laut memperoleh atau menyerap makanannya melalui sel-sel

    yang terdapat pada thallus-nya. Nutrisi terbawa oleh arus air yang menerpa

    rumput laut akan diserap sehingga rumput laut bisa tumbuh dan berkembang

    biak. Perkembangbiakan rumput laut melalui dua cara yaitu generatif dan

    vegetatif. Pertumbuhan dan percabangan thallus rumput laut antara jenis

    yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Bentuk thallus rumput laut

    juga bervariasi, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti

    kantong, lembaran dan juga ada yang berbentuk seperti helai rambut

    (Juneidi, 2004).

    2. Rumput Laut di Indonesia

    Rumput laut atau lebih dikenal dengan sebutan seaweed merupakan

    salah satu sumber daya hayati yang sangat melimpah di perairan Indonesia

    yaitu sekitar 8,6% dari total biota di laut (Dahuri, 1998). Luas wilayah yang

    menjadi habitat rumput laut di Indonesia mencapai 1,2 juta hektar atau

    terbesar di dunia (Wawa, 2005). Di Indonesia jumlah jenis rumput laut

    mencapai 629 jenis. Rumput laut yang telah dimanfaatkan misalnya sebagai

    bahan obat tradisional mencapai 58 jenis. Jumlah ini terbagi atas kelas

    Chlorophyceae 18 jenis, Phaeophyceae 10 jenis, dan Rhodophyceae 30 jenis

    (Zaneveld, 1955; Soegiarto et al., 1978; Atmadja et al, 1992 dalam

  • 8

    PERHIPBA, 1996). Potensi rumput laut perlu terus digali, mengingat

    tingginya keanekaragaman rumput laut di perairan Indonesia

    (Suparmi dan Sahri., 2009).

    Van Bosse (melalui ekspedisi Laut Siboga pada tahun 1899-1900)

    melaporkan bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 555 jenis dari 8.642

    spesies rumput laut yang terdapat di dunia. Dengan kata lain, perairan

    Indonesia sebagai wilayah tropis memiliki sumber daya plasma nutfah

    rumput laut sebesar 6,42% dari total biodiversitas rumput laut dunia

    (Santosa, 2003; dan Surono, 2004). Rumput laut dari kelas alga merah

    (Rhodophyceae) menempati urutan terbanyak dari jumlah jenis yang

    tumbuh di perairan laut Indonesia yaitu sekitar 452 jenis, setelah itu alga

    hijau (Chlorophyceae) sekitar 196 jenis, dan alga cokelat (Phaeophyceae)

    sekitar 134 (Winarno, 1996).

    Luas wilayah daratan Indonesia sepanjang 1,9 juta km2 sedangkan

    luas wilayah lautannya sepanjang 5,9 juta km2. Data tersebut menunjukkan

    bahwa luas perairan laut Indonesia tiga kali lebih besar jika dibandingkan

    dengan luas daratan Indonesia (Aprilianto dkk., 2014). Panjang pantai

    Indonesia mencapai 95.181 km dengan luas wilayah laut 5,9 juta km2

    mendominasi luas total territorial Indonesia sebesar 7,7 juta km2.Wilayah

    sebaran jenis rumput laut ekonomis yang penting di Indonesia, tersebar

    diseluruh kepulauan. Rumput laut yang tumbuh alami (wild stock) terdapat

    di hampir seluruh perairan dangkal Laut Indonesia yang mempunyai

    terumbu karang. Produksi rumput laut nasional tahun 2010 mencapai 3,082

    juta ton, diatas target yang ditetapkan Kementrian Kelautan dan Perikanan

    sebesar 2,574 juta ton. Rumput laut telah menjadi komoditas unggulan dan

    menjadi penyumbang utama produksi perikanan budidaya di Indonesia

    (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2009).

    Berdasarkan UNCLOS (1982) dalam Kementrian Kelautan dan

    Perikanan (2011) luas territorial lautan Indonesia yaitu 284.210,90 Km2,

    luas Zona Ekonomi Eksklusif 2.981.211 Km2, dan Luas Laut 12 Mil

  • 9

    279.322 Km2. Panjang garis pantai Indonesia menurut Baksortanal (2006)

    dalam Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011) adalah 104.000 Km.

    Komoditas rumput laut menjadi salah satu hasil laut yang diunggulkan dan

    dikembangkan secara luas, tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia

    (mencapai 384.733 ha) dengan target produksi pada tahun 2014 sebesar 8.8

    juta ton (Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, 2013). Produksi

    rumput laut pada tahun 2010-2014 ditunjukkan tabel berikut :

    Tabel 2.2 Produksi Rumput Laut Indonesia Tahun 2010-2014Tahun Target (ton) Capaian (ton) Persentase (%)2010 2.672.800 3.915.017 146,482011 3.504.200 5.170.201 147,542012 5.100.000 6.514.854 127,742013 6.500.000 9.298.473,87 125,872014 8.777.600 10.234.357,17 116,60

    Sumber: Laporan Kinerja KKP 2014

    Jenis rumput laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia adalah

    Gracilaria, Gelidium, Eucheuma, Hypnea, Sargasum dan Tubinaria. Dari

    beragam jenis rumput laut tersebut, yang dibudidayakan, dikembangkan dan

    diperdagangkan secara luas di Indonesia hanya jenis karaginofit (di

    atarannya Eucheuma spinosium, Eucheuma edule, Eucheuma serra,

    Eucheuma cottonii, dan Eucheuma spp), agarofit (Gracilaria spp, Gelidium

    spp dan Gelidiella spp), serta alginofit (Sargassum spp, Laminaria spp,

    Ascophyllum spp dan Macrocystis spp), yang merupakan bahan baku

    berbagai industri karena merupakan sumber karaginan (tepung rumput laut),

    agar-agar dan alginat (Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, 2011).

    3. Pemanfaatan Rumput Laut

    Menurut Handayani (2006), terdapat beberapa jenis alga yang dapat

    dimanfaatkan sebagai bahan baku beberapa industri makanan, tekstil,

    keramik, kosmetik, pupuk, dan fotografi. Hardani (1999) juga melaporkan

    alga dapat dimanfaatkan dalam industri pangan dan bahan-bahan kimia,

  • 10

    misalnya: Gelidium sp dan Gracillaria sp, spesies penghasil agar yang

    digunakan dalam pengalengan ikan dan daging untuk mencegah kerusakan;

    pembuatan es krim, minuman, susu, kue, manisan, bahan-bahan kosmetik,

    industri cat, dan insektisida; serta mencegah kanker dan agen anti penuaan.

    Alga mengandung banyak vitamin dan minerai serta dietary fiber, sehingga

    dapat mencegah kegemukan (obesitas) (Wulandari, 2010).

    Menurut Yunial (1999) dalam Suparmi dan Sahri (2009)

    pemanfaatan rumput laut secara ekonomis sudah dilakukan oleh beberapa

    negara. Cina dan Jepang sudah dimulai sejak tahun 1670 sebagai bahan

    obat-obatan, makanan tambahan, kosmetika, pakan ternak, dan pupuk

    organik. Rumput laut telah dimanfaatkan sebagai makanan sehari-hari bagi

    penduduk Jepang, Cina dan Korea. Di Indonesia, sebagian besar rumput

    laut hanya dibiarkan sebagai sampah lautan, mengapung, hanyut terbawa

    arus, ataupun terdampar di pinggir pantai. Kandungan rumput laut yang

    telah dimanfaatkan dalam industri, bidang kesehatan, dan sumber

    biopigmen. diantaranya agar, pikokoloid dan karagenan. Kandungan nutrisi

    dalam rumput laut yang menjadi dasar pemanfaatan rumput laut di bidang

    kesehatan diantaranya polisakarida dan serat, mineral, protein, lipid dan

    asam lemak, vitamin serta polifenol. Pigmen rumput laut yang biasa

    digunakan dalam berbagai bidang diantaranya klorofil, karotenoid, dan

    fikobilin (Suparmi dan Sahri, 2009).

    Pada Negara Filipina, Trono dan Ganzon Fortes (1988) mendaftar

    sejumlah 352 jenis rumput laut yang termasuk ke dalam 43 marga yang

    bernilai ekonomis. Sebanyak 48 jenis dari 26 marga di antaranya dinyatakan

    berkhasiat sebagai obat dengan 20 marga diantaranya terdapat di perairan

    Indonesia. Beberapa marga yang disebutkan digunakan sebagai obat anti

    kesuburan, anti tumor, penyakit jantung dan menurunkan darah tinggi yaitu

    marga Acanthophora, Hypnea, Dictyopteris, Sargassum, Stylophora, dan

    Ulva (Atmadja, 1996).

  • 11

    Masyarakat Indonesia terutama penduduk di daerah pulau-pulau atau

    kepulauan pada umumnya sudah memanfaatkan rumput laut di dalam

    kehidupannya sehari-hari. Beberapa contohnya adalah dijadikan sebagai

    lalab, sayur, makanan, bahan baku kue-kue dan beberapa diantaranya obat-

    obatan. Namun pemanfaatan tersebut dilakukan sebagai sesuatu hal yang

    bersifat tambahan kebutuhan saja. Pemanfaatan lainnya yaitu dijadikan

    agar-agar oleh pabrik atau usaha industri rumah yang ada di Indonesia. Di

    Jepang, pemanfaatan rumput laut dilakukan secara optimal dengan

    memanfaatkannya sebagai bahan makanan atau keperluan industri, sehingga

    kebutuhan impor rumput laut terus meningkat. Di beberapa negara rumput

    laut digunakan pada beberapa keperluan misalnya: untuk makanan ternak

    (sapi, babi, dan lain-lain), pemupukan (tomat, kentang, ubi, ubi kayu, dan

    lain-lain), industri yodium dan lain-lain (Soegiarto et al., 1978).

    Beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang bernilai ekonomis

    seperti Eucheuma sp dan Hypnea sp yang juga disebut carrageenophyte

    menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut

    karagenan. Glacillaria sp dan Gelidium sp yang juga disebut agaerophyte

    menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar.

    Sementara Sargassum sp yang disebut alginophyte menghasilkan metabolit

    sekunder yang disebut alginat. Di perairan Indonesia terdapat 28 spesies

    yang berasal dari 6 genus. Pemanfaatan rumput laut dapat digunakan dalam

    industri pangan, industri farmasi, kosmetik, bioteknologi serta industri non

    pangan. Pada industri farmasi dan pangan senyawa metabolit rumput laut

    digunakan sebagai suspending agent, thickener, emulsifier, stabilizer, film

    former, coating agent dan lain sebagainya. Pada industri kosmetik

    penggunaan agar, karagenan dan alginat biasanya digunakan untuk produk

    sabun krim, sabun cair, shampo, pasta gigi, pewarna bibir dan produk-

    produk pewarnaan kulit seperti hand body lotion dan pencuci mulut serta

    hair lotion. Penggunaan agar, karagenan dan alginat dalam industri non

  • 12

    pangan diantaranya industri makanan ternak, keramik, cat, tekstil, kertas dan

    pembuatan film fotografi (Sudariastuty, 2011).

    Gambar 2.1 Diagram Klasifikasi Rumput Laut Komersial dan ProdukOlahannya (Sumber : Sudariastuty, 2011)

    4. Persebaran Rumput Laut di BinuangeunBinuangeun berada di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam,

    Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara Geografis Binuangeun terletak

    pada 0605018 LS dan 10505258 BT. Perairan Binuangeun terletak di

    sebelah selatan Provinsi Banten yang berhubungan langsung dengan

    Samudera Hindia. Secara fisiografis Kecamatan Wanasalam mempunyai

    bentang lahan dengan kemiringan 0-15% dengan ketinggian tempat 98%

    kurang dari 100 mdpl. Binuangun terletak pada wilayah beriklim tropis

    dengan curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 2000-3000 mm/tahun

    dengan jumlah hari hujan 122-130 hari per tahun. Pada bulan Desember-

    Februari Binuangeun memiliki curah hujan yang tinggi dan sering terjadi

    Sargassum

    G Gigas

    Phaeophyta Rhodophyta

    Phaeophyceae

    Furcales

    Sargassaceae

    Turbinaria

    Alginat

    Rhodophyceae

    Gigertinales

    Solriaceae

    Eucheuma

    E Cotonii E Spinosum

    Hypnea

    Hypnea

    Gracilariceae

    Gracilaria

    G Verucossa

    Gelidiales

    Gelidiaceae

    Gelidium

    Gelidium Sp

    KaragenanAgar

  • 13

    angin kencang sehingga dapat memicu timbulnya gelombang yang besar,

    sementara pada bulan Mei-September angin relatif tenang sehingga tidak

    menimbulkan gelombang besar (Nababan, 2008).Pantai Binuangeun memiliki karakteristik suhu minimum sebesar

    29,810C dan suhu maksimum sebesar 30,230C. Sementara pada faktor

    salinitas, Pantai Binuangen memiliki nilai salinitas pada kisaran 31.62-

    33.63%. Hal ini disebabkan oleh letak Pantai Binuangeun yang

    berhubungan langsung dengan Samudra Hindia. Kondisi ini memungkinkan

    suhu dan salinitas didaerah pantai berpotensi terjadi pertukaran massa air

    dengan Samudera Hindia (Azis, 2007).Kusumawati dan Murdinah (2012) melaporkan Pantai Binuangeun

    memiliki persebaran alga coklat yang tinggi. Salah satu lokasi rumput laut

    coklat yang melimpah di wilayah Indonesia adalah pantai Binuangeun,

    Kabupaten Lebak, Banten, diperkirakan melimpah di sepanjang garis pantai

    tersebut (Nursid dkk., 2013). Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

    Lebak (2012) melaporkan produksi rumput laut Kabupaten Lebak pada

    tahun 2012 mencapai 4.900 kg. Beberapa laporan mengenai penelitian

    bioprospeksi rumput laut coklat yang berasal dari Binuangeun misalnya oleh

    Nursid, et al. (2007) dan Fajarningsih, et al. (2008) yang mengkaji potensi

    alga coklat Turbinaria decurrens sebagai bahan anti kanker. Namun sejauh

    ini laporan bioprospeksi alga coklat dari jenis lain dari wilayah ini masih

    terbatas (Nursid et al., 2013).

    5. Senyawa Bioaktif Alga HijauMenggunakan metode Folin Ciocalteu kadar fenol Ulva rigida

    diteliti dan dinyatakan dalam mg gallic acid 100g-1 FW. Pada penelitian ini,

    alga hijau Ulva rigida ditemukan memiliki kadar total fenol 73 mg gallic

    acid 100-1 FW. Pembandingan dengan beberapa sampel Codium fragile,

    Dictyopteris divaricata, Scytosiphon lomentaria, Gracilaria gracilis, dan

    Ceramium kondoi dihasilkan bahwa kadar total fenol Ulva rigida relatif

    lebih tinggi dari rumput laut tersebut. Komponen fenolik telah banyak

    mendapatkan apresiasi karena peran pentingnya sebagai molekul

  • 14

    antioksidan dan agen chemo-preventive. Celikler et al juga melaporkan

    Ulva rigida memiliki aktivitas antigenotoksik yang kuat pada limfosit

    manusia secara in vitro dan efek anti hiperglikemik secara in vivo

    (Yildiz et al., 2012).Berdasarkan penelitian terkini, secara jelas telah dibuktikan bahwa

    ekstrak Enteromorpha compressa mampu meningkatkan fungsi imun

    melalui regulasi plasma sel dalam sekresi antibodi IgE terhadap alergen

    makanan. Senyawa tertentu pada Enteromorpha compressa bertanggung

    jawab atas efek potensial anti alergi terhadap alergen berbeda pada berbagai

    haplotype tikus tanpa pengaruh latar belakang genetik. Hasil

    memperlihatkan bahwa ekstrak Enteromorpha compressa pada konsentrasi

    seperti 0.25 mg dan 0.1 mg per tikus, mampu memperlihatkan penekanan

    yang signifikan (P

  • 15

    dan Enteromorpha linza berturut-turut menghasilkan nilai IC50 sebesar 70

    g/mL, dan 80 g/mL. Hal ini mengindikasikan keduanya merupakan

    sumber antioksidan alami yang baik (Narasimhan et al., 2013).Evaluasi terhadap ekstrak metanolik Enteromorpha intestinalis untuk

    aktivitas antiproliferative (penghambatan perkembangbiakan) pada sel

    kanker serviks HeLa. Polisakarida yang diekstraksi dengan alkali (DAEB)

    dari Enteromorpha intestinalis diketahui cocok untuk menghambat

    pembentukan Sarcoma 180 tumor dan memiliki beberapa aktivitas

    antitumor yang diperantarai oleh peningkatan imun pada sistem imun

    sebagai ganti sitotoksisitas secara langsung. Dengan nilai IC50 yang lebih

    kecil dibandingkan dengan Rizoclonium riparium (yang diujikan), ekstrak

    Enteromorpha intestinalis diketahui lebih bersifat antiproliferative

    (Paul dan Kundu, 2013).Pengujian aktivitas antibakteri pada dua spesies alga Enteromorpha

    flexuosa dan Gracilaria cortica diteliti. Hasil memperlihatkan bahwa kedua

    ekstrak tersebut aktif terhadap kedua patogen yang digunakan yaiktu

    Klebsiella pneumonia dan Eschericia coli. Aktivitas maksimum dilaporkan

    terdapat pada Enteromorpha flexuosa dengan zona penghambatan terhadap

    Klebsiella pneumonia sebesar 2.5 mm, dan Eschericia coli sebesar 3.7 mm.

    Hasil ini menunjukkan Enteromorpha flexuosa merupakan sumber senyawa

    anti bakteri yang potensial dalam bidang medis (Rebecca et al., 2013).Enteromorpha intestinalis diketahui memiliki aktivitas anti mikroba

    secara in vitro. Hasil penelitian memperlihatkan ekstrak metanolik

    Enteromorpha intestinalis mampu menghasilkan aktivitas anti mikroba yang

    baik terhadap bakteri yang diujikan dengan memproduksi zona

    penghambatan dari 8.0- 19.0 mm. Uji time kill mengindikasikan bahwa

    ekstrak metanolik Enteromorpha intestinalis mampu secara sempurna

    menghambat pertumbuhan MRSA dan juga menunjukkan aktivitas

    antibakteri yang berlangsung lama. Berdasarkan hal tersebut dapat

    disimpulkan bahwa ekstrak metanolik Enteromorpha intestinalis berpotensi

  • 16

    untuk dikembangkan sebagai agen antibakteri dalam bidang farmaseutikal

    (Ibrahim dan Lim, 2015).

    6. Lektin

    Tema riset lektin diperkenalkan pada tahun 1954 oleh William C.

    Boyd, dari Universitas Boston, lektin tanaman tersebut atau

    phytohemagglutinins, ditunjukkan pada tahun 1940-an yang menjadi

    spesifik terhadap tipe darah. Lektin pada hewan pertama kali ditemukan

    dalam hati kelinci di tahun 1974. Sementara aktivitas lektin pada hewan

    pertama kali dideteksi pada ular di tahun 1902. Grup pertama lektin

    spesifik-A ditemukan pada kerang di tahun 1960 yang kemudian diikuti oleh

    penemuan grup anti-A lektin pada siput (Kilpatrick, 2002).

    Lektin adalah protein pengikat karbohidrat atau glikoprotein non-

    imun, dan berperan terhadap pelacak molekul pada sel-sel atau interaksi

    antar matrik-sel. Beberapa lektin berfungsi sebagai penanda pada glycomics

    dan pada bidang kesehatan karena mampu membedakan struktur

    karbohidrat dan mengungkapkan beragam aktivitas biologi melalui

    keterikatannya dengan karbohidrat. Interaksi lektin-karbohidart juga

    ditemukan dapat memainkan peranan penting dalam mengenal antara

    mikroorganisme dengan sel fagositis (seperti granulosit dan makrofag)

    memimpin dalam uptakedan membunuh organisme. Fenomena ini

    dinamakan dengan lectinophagocytosis, merupakan contoh awal innate

    immunity. Tidak seperti antibodi, lektin menunjukkan keanekaragaman

    struktur molekuler dan spesifitas pengikatan karbohidrat, tergantung pada

    organisme sumbernya (Hung et al., 2012).

    Hemaglutinin atau lektin adalah protein pengikat karbohidrat origin

    non-immune, mengaglutinasi sel atau mempresipitasi glikokonjugat

    (Goldstein et al., 1980). Brooks, et al (2002), Sharon dan Halina (2003),

    Varki, et al (1999) dalam Praseptiangga (2013) melaporkan tiap molekul

    lektin pada umumnya memiliki 2 atau lebih sisi carbohydrate-binding, tidak

    hanya berinteraksi dengan gula di permukaan sel (contoh: eritrosit), lektin

  • 17

    juga berinteraksi membentuk ikatan silang dengan molekul-molekul

    polisakarida atau glikoprotein dan menginduksi terjadinya presipitasi,

    disebut fenomena aglutinasi. Lektin tidak memiliki aktivitas katalitik seperti

    enzim. Lektin berbeda dengan antibodi dan bukan produk dari respon imun.

    Lektin berguna sebagai alat yang mudah digunakan untuk menunjukan

    perbedaan struktur karbohidrat serta memiliki berbagai macam aktivitas

    biologis terkait dengan pengikatan dan interaksinya dengan karbohidrat,

    sehingga terdapat ketertarikan yang besar dalam upaya untuk menemukan

    dan mengisolasi lektin baru dari perspektif penggunaan lektin, khususnya

    dalam bidang glikomiks dan medis (Praseptiangga, 2013).

    Gambar 2.2 menunjukan interaksi permukaan sel lektin-karbohidrat.

    Lektin membawa berbagai jenis sel yang berbeda seperti virus pada sel lain

    melalui karbohidrat pada permukaan. Pada beberapa kasus, lektin pada

    permukaan sel mengikat terutama glikoprotein (misal asialoglikoprotein),

    dikasus lain karbohidrat pada permukaan sel glikoprotein atau glikolipid

    pada sisi pengikatan digunakan untuk mengikat molekul biologi aktif lektin

    (contoh karbohidat-bakteri spesifik dan toksin tanaman atau galektin).

    Berdasarkan original diagram dari BioCarbAB (Lund, Sweden)

    (Sharon dan Lis, 2004).

  • 18

    Gambar 2.2 Interaksi Permukaan Sel Lektin-Karbohidratmenurut Sharon dan Lis (2004)

    Lektin sebagai senyawa bioaktif dapat untuk deteksi immunologi,

    biologi sel, penelitian tentang kanker (Hori et al., 1981) dan menghambat

    pertumbuhan sel leukimia (Queiroz et al., 2009). Keistimewaan lektin yang

    merupakan protein berikatan dengan karbohidrat spesifik juga dapat

    digunakan sebagai deteksi beberapa aktivitas biologi seperti aglutinasi sel,

    presipitasi polisakarida, aktivitas mitogenik, aktivitas anti tumor, dan

    toksisitas (Sharon & Lis, 1972; Lis & Sharon, 1973; Nicolson, 1976; Gold &

    Balding, 1975 dalam Hori et al., 1981).

    7. Lektin Alga

    Lektin pada alga laut telah diteliti dalam berbagai penelitian dengan

    alga yang diperoleh dari Puerto Rico (Boyd et al., 1966), Inggris (Blunden

    et al.,1975, 1978; Rogers et al., 1980), Jepang (Hori et al., 1981, 1988),

    Spanyol (Fabregas et al., 1985, 1992), USA (Chiles dan Bird, 1989; Bird et

    al., 1993), dan Brazil (Ainouz dan Sampaio, 1991; Ainouz et al., 1992;

    Freitaz et al., 1997), lebih dari 200 spesies alga telah dilaporkan

    mengandung hemaglutinin. Jepang (Hori et al.,1981), China (Wang et al.,

    2004), Vietnam (Hung et al., 2007), Pakistan (Alam dan Usmanghani 1994),

    dan India (Kumar dan Barros 2010) tercatat merupakan negara Asia pelaku

    riset terkait lektin alga (Hung et al., 2012).

    20 spesies alga laut Brazil (16 alga merah dan 4 alga hijau) dianalisis

    aktivitas hemaglutinasi menggunakan darah manusia golongan A, B, O dam

    AB yang diperlakukan dengan enzim, kemudian ditambahkan darah ayam,

    kelinci, domba, kambing dan sapi. Ekstrak salin dari 10 alga mengaglutinasi

    eritrosit kelinci, 7 mengaglutinasi eritrosit ayam, 6 mengaglutinasi darah

    sapi, dan 4 mengaglutinasi eritrosit domba. Darah kambing tidak

    teraglutinasi dengan semua ekstrak alga yang diuji. Aglutinasi non spesifik

    sel darah merah manusia dijumpai pada ekstrak 2 alga merah (Gracilaria

  • 19

    ferox dan Hypnea musciformis) dan 1 alga hijau (Caulerpa cupressoides)

    (Ainouz dan Sampaio, 1991).

    44 spesies ekstrak alga Vietnam terdiri dari 15 alga hijau, 18 alga

    merah, dan 11 alga coklat dengan berbagai eritrosit hewan dan eritrosit

    manusia tanpa perlakuan enzim dan dengan perlakuan enzim. Aktivitas

    hemaglutinasi paling kuat pada ekstrak dari dua Klorofita (Anadyomene

    plicata dan Avrainvillea erecta) dan empat Rhodofita (Gracilaria

    eucheumatoides, Gracilaria salicornia, Kappaphycus alvarezii, dan

    Kappaphycus striatum) dengan eritrosit kelinci perlakuan enzim dan eritrosit

    domba. Pada uji penghambatan aktivitas hemaglutinasi dengan berbagai

    monosakarida dan glikoprotein, tidak ada satupun hemaglutinin yang

    memiliki afinitas dengan monosakarida, kecuali Codium arabicum dan

    Gracilaria euchematoides dimana aktivitasnya dihambat N-acetyl-D-

    galactosamine dan N-acetyl-D-glucosamine (Hung et. al., 2009).Dua belas macam lektin diisolasi dari empat spesies alga, Boodles

    coacta (Alga hijau), Hypnea japonica (Alga hijau), Carpopeltis flabelata

    (Alga merah) dan Solieria robusta (Alga merah) untuk kemudian dicatat

    karakteristik kimia dan biologinya. Lektin alga mampu mengaglutinasi

    dengan kuat eritrosit kelinci yang diberikan perlakuan enzim tripsin dan

    aktivitasnya biasanya dihambat glikoprotein yang berhubungan dengan N-

    glikan. Rata-rata lektin alga tidak memiliki afinitas dengan monosakarida.

    Karakter inilah yang membuatnya sulit untuk diisolasi menggunakan

    kromatografi afinitas dengan gula sederhana seperti pada ligan dan eluan.

    Sementara itu aktivitas hemaglutinasi pada alga tidak terpengaruh dengan

    pemanasan pada suhu 100oC selama 30 menit. Berhubungan dengan

    kemampuan aglutinasi sel oleh lektin, secara umum dapat dijelaskan bahwa

    lektin memiliki satu sisi pengikatan setiap satu atau dua unit, dan karena

    hubungan sub unit ini, memiliki minimal dua sisi pengikatan yang dapat

    mengaglutinasi sel (Hori et al., 1990).Eksperimen biokimia berdasarkan uji aglutinasi mengungkapkan

    adanya aktivitas hemaglutinasi pada banyak ekstrak alga terhadap eritrosit

  • 20

    dari beberapa spesies binatang. Pada banyak studi, aktivitas hemaglutinasi

    ini diartikan sebagai keberadaan protein atau glikoprotein yang memiliki

    spesifisitas untuk secara selektif mengikat struktur karbohidrat pada sel

    darah merah. Protein tersebut banyak ditemukan pada berbagai jenis

    organisme, juga dilaporkan ada pada beberapa jenis alga (Boyd et al., 1966).

    Banyak lektin rumput laut memiliki massa molekul yang lebih

    rendah dibandingkan lektin dari tanaman lain pada umumnya, memiliki

    bentuk monomerik, termostabil, dan aktivitas hemaglutinasi yang tidak

    dipengaruhi oleh kehadiran kation divalen. Lektin tidak memiliki afinitas

    terhadap gula sederhana melainkan terhadap gula yang lebih kompleks

    seperti oligosakarida, terlebih glikoprotein, seperti yang ditemukan pada

    hewan (Hori et al., 1990; Rogers dan Hori, 1993). Studi karakterisasi

    menunjukkan bahwa banyak lektin alga, terutama dari alga merah, memiliki

    karakter umum yaitu ukuran molekul yang kecil, bentuk monomerik, tidak

    memiliki afinitas terhadap monosakarida, memiliki stabilitas suhu dan

    divalent cation-independent yang mengindikasikan bahwa alga adalah

    sumber lektin yang baik (Hung et al., 2009).

    Banyak lektin alga dilaporkan memiliki aktivitas anti-tumor terhadap

    sela kanker manusia (Karasaki et al, 2001; Timoshenko et al, 2001; Wang et

    al, 2000). Kemampuan active targeting terhadap tumor secara spesifik

    sering diteliti dengan mengimobilisasi ligan spesifik tumor (antibodi,

    peptida, atau sakarida) kedalam sistem drug-carrier (Forssen dan Wills,

    1998; Peer et al, 2007; Trochilin, 2005). Selain itu lektin turunan dari alga

    laut juga kaya akan komponen antiviral. Aktivitas antiviral bergantung pada

    kemampuan mengikat oligosakarida yang mengandung manosa yang ada

    pada permukaan virus yang ditutupi oleh glikoprotein. Interaksi spesifik

    lektin alga dengan glikan target pada permukaan virus akan menekan

    inveksi virus (Balzarini, 2007).

    Studi terkini menunjukkan bahwa rumput laut lektin juga terlibat

    dalam aktivitas in-vitro atau in-vivo imunomodulatori, anti tumor, dan anti

  • 21

    kanker (Kawakubo et al., 1997; Sugahara et al., 2001; Neves et al., 2001;

    dan Pinto et al., 2009). Lektin dari alga meah Griffithsia sp. adalah inhibitor

    multiplikasi HIV paling potensial (Mori et al., 2005) atau lektin ESA-2 dari

    alga merah Eucheuma serra yang memiliki spesifitas tinggi terhadap high

    mannose N-glycans dan menunjukkan aktivitas anti-HIV (Hori et al., 2007).

    Lektin dari berbagai alga seperti CV-N dari Nostoc ellipsosporum (Boyd et

    al., 1997), SVN dari Scytonemavarium (Bokesch et al., 2003), MVL dari

    Microcystis viridis (Bewley et al., 2004), dan OAA dari Oscillatoria

    agardhii (Sato et al., 2007), memiliki potensi lebih besar sebagai anti-HIV

    dibandingkan dengan lektin pengikat manosa dan lektin pada tanaman darat.

    Hal ini menunjukkan bahwa alga dapat menjadi sumber dominan lektin

    yang bermanfaat dalam aplikasi biokimia dan biomedikal

    (Hung et al., 2012).

    8. Pengujian Aktivitas HemaglutinasiLektin spesifik golongan darah manusia berperan penting pada siklus

    pendugaan awal struktur dasar spesifisitas antigen dengan sistem darah

    ABO. Tahun 1950, Walter J.T. Morgan dan Winifred M. Watkins dari Institut

    Lister, London menemukan aglutinasi sel darah merah tipe A terhadap lektin

    lima bean yang menghambat dengan baik ikatan -N-acetyl-D-

    galactosamine dan eritrosit O oleh lektin dari L. tetragonolobus dihambat

    dengan baik ikatan -L-fucose. Mereka menyimpulkan bahwa -N-acetyl-D-

    galactosamine dan -L-fucose menentukan golongan darah A dan O masing-

    masing secara spesifik. Kesimpulan ini kemudian diperkuat dengan

    penelitian selanjutnya (Sharon dan Lis, 2004). Pada eritrosit manusia,

    aglutinasi eritrosit golongan darah A, B, dan O terjadi karena pengikatan

    yang kuat oleh lektin secara berturut-turut pada gugus N-acetyl-D-

  • 22

    galactosamine, D-galactose, dan L-fucose pada permukaannya

    (Khan et al., 2002).

    Bentuk sistem imun antibodi berlawanan dengan dengan antigen

    golongan darah ABO tidak ditemukan di sel darah merah manusia.

    Golongan darah A memiliki antibodi anti-B dan golongan darah B memiliki

    antibodi anti-A. golongan darah O secara umum memiliki antibodi anti A-

    dan anti-B pada serumnya. Golongan darah AB tidak memiliki antibodi anti-

    A dan anti-B pada serum. Tabel 2.3 menunjukan sistem penggolongan darah

    manusia.

    Tabel 2.3 Sistem Penggolongan Darah Manusia

    Golongan Darah Antigen pada Sel DarahMerah

    Antibodi pada serum

    A A Anti-BB B Anti-A

    AB A dan B Tidak memilikiO Tidak memiliki Anti-A dan Anti-B

    Sumber: Dean, 2005

    Antibodi ABO terdapat secara alami di dalam serum.pembuatan

    antibodi ini distimulasi ketika sistem imun bertemu dengan antigen

    golongan darah ABO pada makanan atau mikroorganisme. Hal ini terjadi

    pada usia dini karena gula yang identik dengan golongan darah ABO

    ditemukan di seluruh alam. Alel A mengkode Glycosyltransferase yang

    menghasilkan antigen A dan memiliki gula imunodiminan N-Acetyl

    galactosamine. Alel B mengkode Glycosyl transferase menghasilkan antigen

    B dan memiliki gula imunodominan D-Galaktosa (Dean, 2005).

    Rogers, et al (1980) dan Hori, et al (1988) melaporkan bahwa

    aktivitas hemaglutinasi lebih terdeteksi ketika eritrosit diberikan perlakuan

    enzim (enzyme treated). Ainouz, et al (1991) menunjukkan bahwa eritrosit

    kelinci lebih sensitif terhadap lektin makroalga dibandingkan dengan

    eritrosit manusia, terutama ketika sel diberikan perlakuan enzim. Efek dasar

    yang dihasilkan oleh eritrosit dengan perlakuan enzim proteolitik adalah

    pembebasan sialoglikoprotein dari permukaan sel, sehingga menurunkan

  • 23

    muatan negatif permukaan pada sel dan memfasilitasi aglutinasi yang

    dilakukan oleh lektin (Rogers dan Hori, 1993).

    Efek kation divalen, pH, dan suhu terhadap aktivitas hemaglutinasi

    pada hemaglutinin dari beberapa spesies alga Vietnam diteliti (Amansia

    rhodantha, Avrainvillea obscura, Boodlea composita, Dictyosphaeria

    versluysii, Dictyosphaeria cavernosa, Halimeda discoidea, Gelidiopsis

    scoparia, dan Valonia fastigiata). Mayoritas aktivitas hemaglutinasi

    agglutinin alga tersebut tidak berubah setelah dialisis dengan 50mM EDTA

    dan dengan penambahan 10mM CaCl2 atau MgCl2, kecuali lektin

    Gelidiopsis scoparia yang aktivitasnya mengalami sedikit penurunan setelah

    di dialisis dengan EDTA. Penambahan CaCl2 atau MgCl2 pada konsentrasi

    10mM mengembalikan hampir semua aktivitas hemaglutinasi seperti

    semula. Aktivitas hemaglutinasi Dictyosphaeria versluysii dan Halimeda

    discoidea tidak berubah setelah pemanasan pada 1000C selama 30 menit.

    Lektin Amansia rhodantha, Avrainvillea obscura, Dictyosphaeria

    cavernosa, dan Valonia fastigiata juga bersifat termostabil karena

    aktivitasnya tidak berubah dalam pemanasan pada 80-900C selama 30 menit.

    Namun aktivitas hemaglutinin tersebut hilang seluruhnya pada pemanasan

    1000C selama 30 menit. Disisi lain, hemaglutinin Gelidiopsis scoparia

    bersifat labil terhadap panas karena aktivitasnya menurun secara signifikan

    dengan suhu inkubasi mencapai 500C. Hemaglutinin alga lainnya cukup

    stabil pada rentang suhu yang relatif luas. Mayoritas hemaglutinin alga yang

    diuji mampu mempertahankan aktivitasnya pada range pH yang luas

    diantara 5 dan 9 dengan sedikit penurunan aktivitas pada media yang lebih

    asam dan basa. Pengecualian terjadi pada Boodlea composita,

    Dictyosphaeria versluysii dan Valonia fastigiata yang tidak berubah pada

    rentang pH 3-9 (Hung et al., 2012).

    15 Spesies alga Vietnam diuji spesifisitas masing-masing

    hemaglutininnya menggunakan presipitat ammonium sulfat dari masing-

    masing ekstrak, dengan pengujian hemaglutinasi inhibisi meggunakan

  • 24

    berbagai jenis monosakarida dan glikoprotein. Hasil penelitian

    menunjukkan aktivitas hemaglutinasi spesies alga tersebut tidak dihambat

    oleh berbagai monosakarida yang diujikan, kecuali ekstrak Codium

    arabicum dan Gracilaria eucheumatoides. Di sisi lain aktivitas

    hemaglutinasi mampu dihambat oleh glikoprotein terikat high mannose N-

    glycan, Complex N-glycan, atau O-glycan. Karakteristik hemaglutinasi

    inhibisi dengan berbagai jenis glikoprotein berbeda tergantung spesies

    hemaglutininnya. Tanpa mengabaikan hemaglutinin Boodlea struveoides,

    Kappaphycus alvarezii, dan Eucheuma denticulatum, yeast mannan terikat

    high mannose N-glycan adalah inhibitor terkuat, dan porcine stomach

    thyroglobulin terikat high mannose dan complex N-glycan juga merupakan

    inhibitor yang baik. Hasil ini mengindikasikan bahwa spesies alga ini

    masing-masing mengandung paling sedikit, lektin spesifik untuk high

    mannose N-glycan (Hung et al., 2009).

    9. Pemurnian LektinPemurnian protein adalah salah satu cara untuk memisahkan protein

    dari protein jenis lain dan kontaminannya. Secara umum, pemurnian protein

    dibagai menjadi tiga tahap, yaitu ekstraksi, pemekatan, dan fraksinasi. Salah

    satu tujuan pemurnian protein adalah untuk mengidentifikasi fungsi dan

    struktur protein. Komponen protein yang murni dari protein lain dan

    senyawa kontaminan dapat digunakan untuk keperluan medis, farmasi, dan

    penelitian biokimia karena spesifisitasnya yang tinggi (Lehninger, 1993).Tahap awal dari proses pemurnian adalah mengisolasi protein dari

    sumber yang memproduksinya baik sel tanaman, hewan, maupun

    mikroorganisme. Protein ekstraseluler yang disekresikan ke dalam medium

    diperoleh melalui pemisahan sel dari media fermentasi dengan teknik filtrasi

    dan sentrifugasi. Protein target berada dalam medium bebas sel yang

    biasanya dalam bentuk yang sangat encer. Sedangkan untuk protein

    intraseluler, sel dipanen dan diresuspensi dalam larutan buffer atau air

  • 25

    kemudian dipecahkan agar dapat dipisahkan proteinnya saja

    (Ellyasheva dan Rachman, 2005). Protein target biasanya berada dalam bentuk terlarut sehingga perlu

    dilakukan proses pemekatan. Metode pemekatan yang umum dilakukan di

    laboratorium adalah: (1) pemekatan dengan pengendapan/presipitasi

    menggunakan garam ammonium sulfat atau pelarut; (2) pemekatan

    menggunakan ultrafiltrasi. Pengendapan menggunakan ammonium sulfat

    adalah salah satu cara yang paling sering digunakan dan populer karena

    kelarutannya yang tinggi, murah, tidak menyebabkan denaturasi protein dan

    memiliki efek stabilitas pada protein. Penambahan ammonium sulfat dapat

    meningkatkan kelarutan protein (salting-in) dan penambahan garam

    selanjutnya akan mendestabilisasi protein sehingga protein akan mengendap

    (salting-out). Pemekatan dengan pengendapan garam biasanya tidak

    memberikan peningkatan kemurnian yang tinggi, namun memberikan

    rendemen (yield) tinggi. Pelarut yang biasa digunakan dalam pemekatan

    protein adalah etanol, isopropanol, aseton, dan dietil eter. Larutan protein

    dapat juga dipekatkan dengan menggunakan ultrafiltrasi. Pemekatan protein

    menggunakan ultrafiltrasi dengan ukuran pori membrane 1-20 nm cukup

    untuk menahan protein berbobot molekul rendah (Nurachman, 2006).Kromatografi merupakan metode yang kuat untuk deteksi dan

    purifikasi substansi biologi. Prinsip dari pemisahan menggunakan

    kromatografi adalah pengelompokan atau pembagian molekul yang terpisah

    diantara dua fase yang bercampur yang disebut fase gerak dan fase stasioner.

    Metode kromatografi diklasifikasikan berdasarkan kriteria yang berbeda

    termasuk bentuk fisik fase stasioner, sifat fase gerak dan atau fase stasioner,

    mekanisme pemisahan atau sifat sistem kromatografi. Sebagai contoh,

    kromatografi kertas disebut demikian berdasarkan material yang digunakan

    pada fase stasioner; kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kolom

    dinamakan berdasarkan bentuk fisik pada fase stasioner. Kromatografi gas-

    cair memiliki fase gerak gas dan fase stasioner cair. Berdasarkan mekanisme

    pemisahan kromatografi diklasifikasikan sebagai kromatografi pengisapan,

  • 26

    kromatografi pemisahan, kromatografi size-exclusion, kromatografi penukar

    ion dan afinitas, serta kromatografi interaksi hidrofobik (Sattayasai, 2012).a. Hydrophobic Interaction Cromatography (HIC)

    Terdapat beberapa tahapan proses selama HIC yaitu

    equilibration, sample application, elution 1, elution 2, elution 3, dan

    wash. Pada tahap equilibration HIC medium diekuilibrasi menggunakan

    start buffer dengan kadar garam berkonsentrasi tinggi. Pada tahap

    sample application, start buffer menyebabkan protein hidrofobik

    berikatan dengan ligan hidrofobik pada medium, sehingga menjadi

    terkonsentrasi pada kolom. Pada tahap ini, protein yang tidak cukup

    hidrofobik akan terelusi selama atau hanya setelah injeksi sampel. Pada

    tahap elution 1, akan terjadi pengurangan kadar garam (menggunakan

    linear gradient) yang menyebabkan protein hidrofobik terelusi dengan

    protein yang memiliki hidrofobisitas paling kecil akan terelusi pertama.

    Pada tahap elution 2, pengurangan garam yang masih berlanjut akan

    terus mengelusi protein sehingga hanya yang paling hidrofobik saja yang

    tertinggal (semakin rapat terikat). Pada elution 3, ketika medium sudah

    bebas dari garam, protein yang paling hidrofobik juga akan terlepas

    bersamaan dengan protein yang memiliki hidrofobisitas sejenis. Pada

    tahap wash, kondisi bebas garam akan menghilangkan semua ikatan

    hidrofobik protein sebelum memasuki tahap re-equilibration

    (GE Healthcare, 2006). Hydrophobic Interaction Cromatography (HIC) merupakan

    metode kromatografi yang memisahkan protein berdasarkan

    hidrofobisitas, sama seperti reverse-phase liquid chromatography

    (RPLC). Fase stasioner pada kromatografi ini merupaka ligan hidrofobik

    yang terhubung dengan matriks. Namun, tingkat hidrofobisitas dan

    jumlah ligan pada kromatografi ini lebih sedikit dari RPLC. HIC cocok

    untuk purifikasi protein dengan kondisi penggunaan kondisi elusi protein

    yang diserap tidak terlalu ekstrim. Ligan hidrofobik pada HIC utamanya

    merupakan kelompok alkil (etil hingga oktil) atau fenil atau kelompok

  • 27

    poliamida; matriksnya berikatan silang dengan agarosa atau silica. Untuk

    prosedur umum HIC, sample dimasukkan kedalam kolom yang telah

    diekuilibrasi dengan fase gerak yang secara keseluruhan mengandung

    kadar garam tinggi. Protein yang diserap selanjutnya dielusi dengan

    pelarut yang mengurangi konsentrasi garam menjadi semakin rendah.

    HIC sangat cocok untuk pemisahan protein setelah metode presipitasi

    dengan garam/kromatografi penukar ion sejak protein telah larut dalam

    larutan garam konsentrasi tinggi. HIC mampu membuka kemungkinan

    baru untuk pemurnian sejumlah biomolekul seperti protein reseptor dan

    protein membrane (Walker, 2005).HIC adalah step kolom pertama yang logis untuk protein yang

    sebelumnya telah mengalami perlakuan presipitasi dengan ammonium

    sulfat. Sampel awal dapat disimpan secara aman pada suhu rendah untuk

    waktu yang lama dalam ammonium sulfat jenuh. Ketika akan

    dilanjutkan ke proses purifikasi, sampel perlu dithawing, disesuaikan

    dengan konsentrasi ammonium sulfat yang sesuai, dan dimasukkan

    kedalam kolom HIC yang telah diekuilibrasi menggunakan ammonium

    sulfat dengan konsentrasi yang sama. Adapun pengonsentrasian ini

    dimaksudkan untuk meningkatkan ikatan ligan dengan protein target.

    HIC memberikan pemisahan yang signifikan dengan menjaga protein

    pada medium yang stabil. Jika ammonium sulfat harus dijaga pada

    konsentrasi yang tinggi, maka dapat digunakan medium hidrofobik yang

    lemah (butil agarosa, atau metil agarosa). Dengan menggunakan medium

    HIC yang lemah akan menjamin konsentrasi ammonium sulfat dapat

    dijaga tetap tinggi, baik untuk pengikatan, maupun elusi, sehingga garam

    penstabil selalu ada. Jika stabilitas pada tahap awal bukan merupakan

    fokus utama, maka medium dengan pengikatan yang kuat seperti fenil

    agarose dapat digunakan. Jika, seperti kebanyakan kasus pada fenil

    agarosa, maka dibutuhkan elusi menggunakan air buffer (atau alkohol

    konsentrasi rendah dalam larutan buffer) (Ward, 2009).

  • 28

    Media HIC terdiri dari ligan yang mengandung kelompok alkil

    atau aril yang berpasangan dengan matriks inert yang berbentuk partikel

    bulat. Matriks tersebut berpori yang dimaksudkan untuk memberikan

    luas permukaan internal yang tinggi, dimana ligan memainkan peran

    penting dalam hidrofobisitas akhir medium. Ketika ligan secara

    signifikan berkontribusi terhadap derajat hidrofobisitas medium, matriks

    juga dapat mempengaruhi selektivitas akhir. Keseimbangan optimal

    diantara porositas dan ukuran partikel pada matriks akan memberikan

    area permukaan yang besar yang dapat ditutup oleh ligan yang akan

    memastikan kapasitas pengikatan yang tinggi. Porositas tinggi dengan

    struktur pori terbuka merupakan keuntungan ketika memisahkan

    biomolekul berukuran besar. Stabilitas fisik yang tinggi juga akan

    memastikan volume medium yang telah dikemas akan tetap (tidak

    berkurang) walaupun terjadi perubahan ekstrim pada konsentrasi garam

    atau pH, sehingga akan meningkatkan reproduktifitas dan mencegah dari

    kemungkinan melakukan packing kolom kembali. Selain itu, stabilitas

    fisik yang tinggi, disertai keseragaman ukuran partikel akan

    memfasilitasi flow rate yang tinggi, terutama selama tahap cleaning atau

    re-equilibration (GE Healthcare, 2006).Beberapa faktor utama yang harus dipertimbangkan ketika

    memilih media HIC dan optimalisasi proses pemisahan menggunakan

    media HIC adalah: (1) tipe ligan dan derajat substitusi, (2) tipe matriks

    dasar, (3) tipe dan konsentrasi garam, (4) pH , dan (5) temperatur. Tipe

    ligan yang diimobilisasi (alkil atau aril) menentukan terutama

    selektivitas penyerapan protein pada adsorbent HIC. Secara umum, ligan

    alkil rantai lurus (hidrokarbon) menunjukan karakter hidrofobik alami,

    dimana ligan aril menunjukkan sifat gabungan dimana baik interaksi

    hidrofobik dan aromatik mungkin terjadi. Selain itu juga dapat diketahui,

    pada derajat substitusi yang konstan, kapasitas pengikatan terhadap

    protein pada adsorbent HIC akan meningkat dengan bertambah

  • 29

    panjangnya rantai alkil. Sementara pada faktor kedua, yaitu tipe matriks

    dasar, dua tipe pendukung yang secara luas digunakan adalah

    karbohidrat hidrofilik kuat seperti cross-linked agarose, atau material

    kopolimer sintetis. Pada ligan yang sama selektivitas yang dihasilkan

    pada kopolimer tidak akan sama dengan agarose. Pada faktor ketiga,

    ketika konsentrasi garam meningkat, jumlah protein yang terikat juga

    akan meningkat hampir linear sampai pada konsentrasi garam spesifik,

    dan berlanjut meningkat pada konsentrasi yang masih tinggi. Tipe garam

    juga mempengaruhi HIC. Sodium, potassium, ammonium sulfat masing-

    masing menghasilkan presipitasi yang tinggi. Garam tersebut akan

    meningkatkan interaksi hidrofobik secara efektif dan memberikan

    pengaruh kestabilan pada struktur protein. Sementara pengaruh pH

    secara umum adalah ketika pH meningkat akan melemahkan interaksi

    hidrofobik, yang diduga sebagai hasil dari peningkatan titrasi kelompok

    bermuatan, sehingga meningkatkan hidrofilisitas protein. Sementara

    penuruan pH akan menghasilkan peningkatan interaksi hidrofobik.

    Berdasarkan hal tersebut protein yang tidak terikat dengan ligan HIC

    pada pH netral, akan mengikat pada pH asam. Efek terakhir, yaitu

    temperatur telah dibuktikan oleh teori yang dikembangkan oleh Hjerten.,

    yang melaporkan bahwa interaksi hidrofobik zat terlarut dalam air akan

    meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Bukti eksperimental

    telah dilaporkan oleh Hjerten dan Jennisen yang melaporkan bahwa gaya

    van der waals yang menggerakkan interaksi hidrofobik juga akan

    meningkat seiring dengan peningkatan yang terjadi pada temperatur

    (Amersham Pharmacia Biotech, 1993). b. Reverse Phase Chromatography (RPC)

    Secara teori, HIC dan Reverse-Phase Chromatography (RPC)

    sangat berhubungan dengan teknik kromatografi cair. Namun secara

    praktik keduanya berbeda. Adsorben RPC lebih banyak disubstitusi

    dengan ligan hidrofobik dibandingkan dengan adsorben HIC. Derajat

    substitusi adsorben RPC biasanya beberapa ratus mol/ml gel C4-C18

  • 30

    ligan alkil. Sebagai konsekuensi, pengikatan protein pada adsorben RPC

    biasanya lebih kuat, yang dibutuhkan penggunaan pelarut non-polar

    untuk elusinya. RPC telah menemukan aplikasi yang luas dalam

    pemisahan analitis terutama pada peptida dan protein dengan berat

    molekul rendah yang stabil pada pelarut cair organik

    (Amersham Pharmacia Biotech, 1993).RPC telah menjadi teknik pemisahan dan analisis protein

    beresolusi tinggi yang sangat penting. Teknk ini ideal digunakan untuk

    aplikasi seperti pemetaan peptida, atau pengecekan kemurnian, dan

    seringnya digunakan untuk final polishing oligonukleotida dan peptida.

    RPC memisahkan molekul berdasarkan perbedaan hidrofobisitasnya.

    Secara teori RPC dan HIC sangat berhubungan erat karena keduanya

    menggunakan prinsip berdasarkan interaksi diantara patch hidrofobik

    pada permukaan biomolekul dan permukaan hidrofobik medium

    kromatografi. Namun secara praktik kedua teknik ini sangat berbeda.

    Permukaan medium RPC biasanya lebih hidrofobik dari medium HIC.

    Hal ini menyebabkan interaksi yan lebih kuat dimana agar elusi berjalan

    sukses, harus berbalik menggunakan pelarut organik non polar seperti

    asetonitril atau metanol. RPC menawarkan fleksibilitas yang baik dalam

    kondisi pemisahan. Separasi dengan resolusi sangat tinggi dapat dicapai

    dengan memisahkan komponen yang memiliki perbedaan hidrofobisitas

    yang sangat sedikit. RPC juga dapat digunakan untuk memisahakan

    molekul yang memiliki perbedaan hidrofobisitas signifikan

    (GE Healthcare, 2006).

    10. Penentuan Berat Molekul LektinSebagai akibat tingginya kebutuhan polimer, maka telah

    dilakukan penelitian dan pengembangan secara berkelanjutan pada

    polimer. Salah satu penelitian pada polimer adalah menentukan berat

    molekul polimer (Mn). Dengan mengetahui berat mtolekul polimer (Mn),

    akan dapat diketahui karakteristik polimer tersebut. Hal tersebut akan

  • 31

    memudahkan dalam penyesuaian penggunaan polimer dengan tepat

    (Billmeyer dalam Nugraheni dkk., 2015).Berat molekul merupakan variabel yang istimewa karena

    berhubungan langsung dengan sifat kimia polimer. Umumnya polimer

    dengan berat molekul tinggi mempunyai sifat yang lebih kuat. Banyak

    sekali bahan polimer yang tergantung pada massa molekulnya

    (Cowd dalam Habibah dkk., 2013).

    a. SDS-PAGEElektroforesis adalah suatu proses migrasi molekul bermuatan di

    dalam suatu media yang bermuatan listrik, dimana kecepatan migrasinya

    tergantung pada muatan, ukuran, dan bentuk setiap molekul yang

    terlibat. Pada pemisahan protein metode yang paling umum digunakan

    adalah dengan cara elektroforesis menggunakan discontinuous

    polyacrylamide gel sebagai medium penyangga dan sodium dodecyl

    sulfate (SDS) untuk mendenaturasi protein. Metode ini disebut sebagai

    Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-

    PAGE) atau dapat disebut juga metode Laemmli (Wibowo, 2011).Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis

    (SDS-PAGE) adalah teknik satu dimensi berresolusi tinggi, yang cocok

    untuk pemisahan analitis terhadap penyusun polipeptida pada campuran

    protein kompleks. Denaturasi protein dengan SDS dan agen pereduksi,

    menghasilkan polipeptida yang terikat dengan SDS pada rasio berat yang

    konstan sehingga mobilitas elektroforesis merupakan fungsi penentuan

    berat molekul. Namun teknik ini memiliki kelemahan, yaitu hanya

    mampu mengeksploitasi satu parameter fisikokimia, yang

    memungkinkan masing-masing pita protein memiliki lebih dari satu

    komponen polipeptida yang akan menghalangi identifikasi

    (Marshall, 1964).

  • 32

    Faktor kunci pada sistem elektroforesis gel adalah gel itu sendiri.

    Gel menentukan laju migrasi protein dan penahanan protein ditempat

    ketika mencapai akhir proses hingga dapat dilakukan staining untuk

    peneraan. Gel poliakrilamid merupakan medium dasar yang paling

    cocok untuk elektroforesis protein. Gel tersebut memberikan range

    ukuran pori yang cocok untuk penyaringan protein. Keunggulan lainnya

    adalah reaksi polimerisasi akan mudah terjadi dan mampu diproduksi

    kembali, ukuran pori dapat ditentukan dengan kondisi polimerisasi dan

    dapat dengan mudah diubah dengan mengubah konsentrasi monomer,

    gel bersifat hidrofilik dan bermuatan netral ketika dibuat, serta

    transparan terhadap cahaya pada panjang gelombang 250 nm dan tidak

    mengikat pewarna protein. Gel dapat berperan sebagai penyaring

    molekular untuk molekul protein. Gel terdiri atas jaringan tiga dimensi

    material solid dan pori. Selama elektroforesis pada gel, material

    polimerik berperan sebagai barrier terhadap gerakan protein,

    menekannya untuk bergerak diantara pori yang telah diisi oleh buffer

    pada gel. Pada pembentukan gel akrilamid, sistem kimia yang sering

    digunakan untuk membentuk radikal bebas yang dibutuhkan untuk

    polimerisasi terdiri atas ammonium persulfate (APS), dan N,N,N,N-

    tetramethylethylenediamine (TEMED). TEMED berfungsi untuk

    mempercepat dekomposisi molekul persulfat menjadi radikal bebas

    sulfat yang selanjutnya akan menginisiasi polimerisasi. Basa bebas

    TEMED dibutuhkan untuk reaksi ini, sehingga polimerisasi sangat

    efisien pada pH basa. Laju polimerisasi bergantung pada (1) konsentrasi

    jaringan monomer dan inisiator, (2) temperatur, dan (3) kemurnian

    reagen. Reagen yang digunakan harus standar elektroforesis dan air yang

    digunakan harus benar-benar air deionisasi atau akuades. Untuk hasil

    dengan kualitas tertinggi, oksigen terlarut harus dihilangkan dari

    campuran monomer dengan menghilangkan gasnya, karena oksigen akan

    menurunkan laju polimerisasi (Garfin, 2003).

  • 33

    Pada prosesnya, untuk mendapatkan hasil pemisahan protein

    yang optimal, stacking gel dituangkan tepat diatas separating gel.

    Stacking gel memiliki konsentrasi akrilamid yang lebih rendah (ukuran

    pori yang lebih besar), pH yang lebih rendah, dan perbedaan kadar ion

    yang berbeda dengan separating gel. Hal ini memungkinkan pita protein

    menjadi lebih rapat (protein terkonsentrasi) sebelum memasuki proses

    pemisahan pada separating gel (Thermo Scientific, 2010). 2-mercaptoethanol akan mengurangi ikatan intra dan

    intermolekul disulfida pada protein untuk memungkinkan pemisahan

    yang tepat bukan berdasarkan bentuk tetapi ukuran. Sementara detergen

    SDS berfungsi untuk mengikat secara berkala semua muatan positif pada

    protein, sehingga memberikan setiap protein muatan negatif secara

    keseluruhan (protein akan terpisah berdasarkan ukuran bukan muatan).

    SDS juga akan mendenaturasi protein dan subunitnya sehingga

    pemisahan dilakukan berdasarkan pada ukuran bukan bentuk. SDS

    memiliki kemampuan pengikatan protein sebesar 1.3 g/g protein.

    Bromophenol blue berperan sebagai indikator warna, dan indikator

    migrasi yang dapat diamati melalui pergerakan pewarna yang berjalan

    didepan protein. Bromophenol blue juga berfungsi untuk memudahkan

    sampel agar terlihat saat proses pemasukan kedalam sumuran gel

    bersamaan dengan marker. Sementara gliserol pada laemmli buffer akan

    meningkatkan densitas sampel sehingga sampel akan terjatuh didasar

    sumuran, yang akan meminimalisir kehilangan sampel protein pada

    buffer dan dinding sumuran sampel (Laemmli, 1970).Oleh karena resolusinya yang tinggi, hanya sistem discontinuous

    yang digunakan. Poin sederhana yang harus diingat untuk sistem anionik

    yang digunakan untuk SDS-PAGE adalah bahwa untuk setiap sistem

    yang digunakan, mobilitas ion sangat bergantung pada nilai pH. Semakin

    tinggi pH, semakin cepat pergerakan garis batas, dan dengan demikian

    akan semakin banyak sistem mampu memisahkan protein dengan massa

    molekul rendah dengan mengorbankan ruang pemisahan untuk protein

  • 34

    dengan massa molekul tinggi. Sebaliknya, semakin rendah pH, akan

    semakin banyak ruang bagi pemisahan protein dengan massa molekul

    tinggi, dengan protein bermassa molekul rendah bermigrasi dengan garis

    batas ion (Rabiiloud, 2010).SDS-PAGE normalnya digunakan untuk menghitung kemurnian

    dan massa molekul protein. Metode serbaguna ini dapat diproduksi

    kembali dan low-cost. Secara prinsip Sodium Dodecyl Sulfate (SDS)

    pada sistem akan mengikat kebanyak protein dalam jumlah kurang lebih

    sebanding dengan massa molekul protein sehingga masing-masing

    protein memiliki rasio muatan dengan berat yang identik, dan bermigrasi

    sesuai dengan massa molekulnya. Penggunaan SDS-PAGE secara luas

    merupakan protokol Laemmli yang terdiri dari sistem buffer

    discontinuous. Pada sistem buffer ini, terdapat dua bagian gel

    poliakrilamid, yaitu stacking gel dan separating gel. Terdapat beberapa

    perbedaan diantara keduanya, yaitu komposisi, konsentrasi, dan pH

    diantara buffer elektroda, yaitu buffer stacking dan separating.

    Kegunaan sistem buffer ini adalah efek penumpukan yang terjadi pada

    stacking gel. Efek ini akan meningkatkan konsentrasi protein pada

    sampel yang akan membantu pemisahan protein pada separating gel.

    Protein yang dipisahkan dengan gel poliakrilamid dapat dilihat dengan

    berbagai jenis pewarnaan. Pewarnaan menggunakan pewarna, khususnya

    Coomassie Brilliant Blue R250 merupakan yang paling umum

    digunakan karena mudah, low-cost, serta efektif. Pewarnaan dengan

    beberapa pewarna lainnya dan silver staining juga tersedia untuk tujuan

    yang lebih spesifik. SDS-PAGE dapat digunakan untuk menghitung

    massa molekul protein dengan menggunakan kurva standar diantara

    mobilitas relative dan nilai log massa molekul protein standar

    (Hames, 1998).b. Ultrafiltrasi

    Membran ultrafiltrasi merupakan jenis dari teknologi membran

    yang memiliki spesifikasi ukuran membran 0.001-0.1 m. Secara umum,

  • 35

    ultrafiltrasi diaplikasikan dalam proses pemisahan unsur-unsur

    partikulat, makromolekul (fraksionasi), koloid, dan polimer organik

    maupun anorganik dari larutannya dengan memanfaatkan beda tekanan

    dalam proses kerjanya. Aplikasi proses ultrafiltrasi di industri

    diantaranya adalah untuk proses sterilisasi obat-obatan dan produksi

    minuman, klarifikasi ekstrak jus, pemrosesan air ultra murni pada

    industri semi konduktor, metal recovery, dan sebagainya. Pada proses

    pemurnian harus diperhatikan kondisi operasi yang optimal agar

    membran dapat memurnikan suatu cairan secara optimal yang

    ditunjukkan oleh parameter berupa fluks, permeabilitas dan faktor

    rejeksi dari membran (Laboratorium Operasi Teknik Kimia ITB, 2010).Berdasarkan pada karakter membran yang digunakan, dikenal

    berbagai proses filtrasi. Mekanisme pemisahannya adalah mekanisme

    pengayakan (sieving mechanism) dimana partikel atau molekul yang

    lebih kecil dari ukuran pori media penyaring akan lolos melewati

    membran sedangkan yang lebih besar dari ukuran pori akan tertahan di

    sisi umpan. Membran ultrafiltrasi biasanya digunakan untuk

    memisahkan molekul dengan rentang ukuran 1000-100.000 Dalton (1-

    100 mm) seperti protein, lemak, dan koloid. Karakteristik membran

    ultrafiltrasi biasanya dinyatakan dengan nilai Molecular Weight Cut Off

    (MWCO yaitu bilangan yang menyatakan berat molekul terbesar dari

    partikel yang mampu lolos pada membran). Penentuan MWCO ini

    dilakukan dengan melewatkan beberapa solut dengan berbagai berat

    molekul, misalnya poli etilen glikol, pada suatu membran dan kemudian

    diukur berat molekul dari solut yang mempunyai nilai rejection sekitar

    90%. Nilai MWCO ini bergantung pada jenis molekul yang digunakan,

    distribusi berat molekul, adsorpsi membran dan efek polarisasi

    konsentrasi (Wahyuni, 1994).

    Seperti dialisis, ultrafiltrasi menggunakan membran semi

    permeabel dengan ukuran pori yang cukup besar yang memungkinkan

  • 36

    pergerakan molekul kecil dan cukup kecil untuk mencegah lolosnya

    protein. Namun tidak seperti dialisis, dimana molekul kecil bergerak

    melalui membran dengan difusi yang didorong oleh gradien

    konsentrasinya, serta air yang cenderung bergerak ke dalam didorong

    oleh tekanan osmotiknya, pada ultrafiltrasi molekul kecil bergerak dalam

    larutan air karena kekuatan pendorong eksternal. Beberapa perangkat

    ultrafiltrasi menggunakan tekanan tinggi (~500 kPa). Beberapa lainnya

    menggunakan sentrifugasi dimana gaya sentrifugal akan memacu

    pergerakan air dan padatan kecil melalui membran. Walaupun

    ultrafiltrasi sedikit kurang efisien untuk menghilangkan zat terlarut,

    ultrafiltrasi merupakan proses yang cepat dan hasilnya dalam bentuk

    konsentrasi sampel protein (Brandt, 2014).

    Metode pemisahan dengan membran ultrafiltrasi memiliki

    kelebihan yaitu pengaruhnya lebih kecil terhadap denaturasi protein

    dibandingkan presipitasi dengan polietilen glikol ataupun salting out.

    Penggunaan membran ultrafiltrasi akan sangat menghemat, walaupun

    tidak semua protein dapat dipisahkan dengan membran ultrafiltrasi yang

    memiliki ukuran membran tertentu. Prinsip pemisahan dengan proses

    ultrafiltrasi adalah memisahkan komponen berdasarkan berat molekul.

    Meskipun retensi molekul merupakan fungsi dan ukuran molekul,

    namun terbukti berat molekul dapat digunakan sebagai pengubah yang

    lebih praktis, khususnya pada molekul dengan berat molekul tinggi

    (Bollag dan Edelstein, 1991).

  • 37

    B. Kerangka Berpikir

    Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Penelitian Lektin Makroalga hijauEnteromorpha clathrata dari Pesisir Pantai Binuangeun, Banten

    Indonesiamemiliki

    perairan tropiskaya akan

    biodiversitasalga

    Tidak sepertipolisakarida,Protein darirumput lautbelum dikajisecara luas

    Alga hijaumelimpah

    namunpemanfaatan

    kurangoptimal

    Lektin algamemiliki

    keunggulantermostabil, stabilrentang pH luas,

    berat molekulrendah, mengikat

    molekul lebihkompleks darimonosakarida

    sepertioligosakarida dan

    glikoprotein

    Pesisir PantaiBinuangeun,

    Bantenmemiliki

    keragamanbiodiversitas

    alga hijaumelimpah

    Belum adapenelitianpurifikasi

    lektinEnteromorpha

    clathrata diIndonesia

    Perlu dikajipurifikasi

    parsial dankarakterisasi

    awal senyawabioaktif lektin

    dari pesisirPantai

    Binuangeun,Banten

    Lektin adalahprotein pengikatkarbohidrat yang

    dapat dimanfaatkansebagai penandakarbohidrat dan

    memilikibioaktivitas yang

    berpotensi sebagaiobat

    Alga hijaukaya akansenyawabioaktif