BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab...
Transcript of BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab...
13
BAB II
RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011
BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
2.1 Wewenang Presiden dalam Pembentukan Perjanjian Internasional
Presiden selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala
pemerintahan. Selaku kepala negara Presiden adalah simbol represetasi negara
dan simbol pemersatu bangsa sementaras selaku kepala pemerintahan Presiden
harus bertanggung jawab penuh atas jalannya suatu pemerintahan.15
Presiden yang
memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan merupakan salah satu ciri dari sistem presidensial. Sistem
presidensial Presiden dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu,
artinya keduanya bertanggung jawab pada rakyat. Meskipun masa jabatan
Presiden telah ditentukan oleh Konstitusi namun rakyat tidak dapat melakukan
pengawasan secara langsung maka dari itu anggota legislatif yang juga dipilih
secara langsung oleh rakyat mengemban fungsi pengawasan tersebut.16
Jadi dapat
disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem presidensial yaitu diantara lain adalah Presiden
selain kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan, Presiden dan lembaga
legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
15
Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus
Media, Bandung, 2009, h. 134. 16
Ibid. h. 133.
13
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
14
Presiden didasarkan atas kategori mekanisme pelaksanaan wewenang
Presiden yang ada maka dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
1. Wewenang yang mekanisme pelaksanaannya hanya dilakukan oleh Presiden,
dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden yang mandiri
(wewenang prerogatif Presiden).
2. Wewenang yang dapat dilaksanakan dengan persetujuan DPR, dalam studi ini
kategorikan sebagai wewenang Presiden dengan persetujuan DPR.
3. Wewenang yang dilaksanakan dengan pertimbangan dari lembaga-lembaga
negara yang lain, dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden
dengan pertimbangan lembaga negara lain.17
Bentuk dari wewenang Presiden yang mandiri adalah wewenang
menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945), wewenang
mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri (Pasal 17 ayat (1) dan (2)
UUD RI 1945), wewenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri, dan
sebagainya. Contoh wewenang Presiden yang membutuhkan persetujuan DPR
adalah wewenang menyatakan perang dan membuat perdamaian (Pasal 11 UUD
NRI 1945 dan Pasal 41 ayat (2) UU No 20/1982), wewenang membuat perjanjian
dengan negara lain dan sebagainya. Wewenang Presiden yang menarik untuk
dibahas adalah mengenai wewenang pembuatan perjanjian dengan negara lain
yang tertuang dalam Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa” Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
peramaian dan perjanjian dengan negara lain.” Dijelaskan kembali pada ayat 2
bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
17
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR dan,
Lembaga Kepresidenan Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2000,
h.194.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
15
dengan beban keuangan engara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.”
Mekanisme internal disetiap negara berbeda-beda dalam meratifikasi suatu
perjanjian internasional. Indonesia membutuhkan Persetujuan DPR untuk
melakukan mekanisme internalnya (Pasal 11 UUD NRI 1945). Hal demikian
berdasarkan pertimbangan bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan hak
dan kewajiban terhadap negara sehingga Presiden dalam membuat perjanjian
internasional memerlukan persetujuan DPR. Di setiap negara memiliki berbagai
macam mekanisme internal, hal ini terdapat pada Konvensi Wina 1969 Pasal 2
ayat 1 huruf b, yang diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia pada Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
Pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1945, “Persetujuan DPR terhadap Perjanjian
Internasional” tidak dapat disamakan dengan “Persetujuan bersama DPR-Presiden
terhadap RUU” yang terdapat di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945
Persetujuan bersama yang dimaksud dalam pembuatan undang-undang jika diteliti
dalam kamus bahasa Indonesia kata “persetujuan” itu diartikan dengan
“pernyataan setuju” sedangkan kata “setuju” berarti “sepakat”, selain itu kata
“menyetujui” dapat juga berarti “membenarkan” atau “mengiyakan”.18
Maka dari
itu makna dari “persetujuan bersama” agar di dalam membentuk undang-undang
Dewan Perwakilan Rakyat harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau
18
Maria Farida, Op. Cit., h. 134.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
16
dengan berbarengan, serentak, bersama-sama dengan Presiden mulai dari
pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus
dilaksanakan agar undang-undang dapat terbentuk.19
Konsep persetujuan DPR dan tindakan Presiden tidak sama dengan
Persetujuan bersama DPR dengan Presiden. Disini konsep persetujuan DPR hanya
terkait pengesahanya saja, DPR tidak berwenang mengubah substansi perjanjian
internasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan negara atau organisasi
internasional lain.20
Beda halnya dengan pembuatan Undang-Undang yang
normanya dapat dirubah oleh Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat melalui
kewenangan “persetujuan”. Peran DPR disini hanyalah melaksanakan fungsi
check and balancesnya bukan fungsi legislasi.
2.2 Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional
Undang-Undang merupakan instrumen penting bagi negara hukum. Sesuai
dengan asas Legalitas yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikenai hukuman jika
tidak ada hukum yang mengatur. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri negara hukum
(rechstaat) yang dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie.
Terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di negara hukum
yaitu Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam hukum
(Equality before the Law), Asas Legalitas, Pembatasan Kekuasaan, Organ-
organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan tidak memihak, Peradila
Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court),
Perlindungan Hak Asasi Manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai
19
Ibid. 20
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, bagian Disenting Oppinion.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
17
sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat), serta
Transparansi dan Kontrol Sosial.21
Kedua belas prinsip tersebut tidak dapat terlepas dari fungsi undang-
undang yang memiliki peran penting dalam mendukung adanya negara hukum.
Undang-Undang merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-
ketentuan yang ada dalam UUD NRI 1945. Didalam UUD NRI 1945 banyak
sekali ketentuan-ketentuan yang masih abstrak dan ketentuan-ketentuan tersebut
adalah hal pokok yang mendukung adanya negara hukum, misalnya pengaturan
mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur dalam bab XA UUD NRI 1945.
Ketetentuan dalam bab tersebut sangatlah abstrak sehingga membutuhkan
peraturan lebih lanjut untuk mengaturya. Contohnya pada Pasal 18 ayat (2) UUD
NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatua Republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang”. Dalam
ketentuan pasal tersebut konsep menghormati masyarakat adat belumlah konkrit
dan jelas melalui mekanisme yang seperti apa, maka dari itu dalam kalimat
selanjutnya dijelaskan bahwa ketentuan ini diatur dalam undang-undang.
Fungsi undang-undang jika dikaitkan dengan peran undang-undang
sebagai peraturan lebih lanjut adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
dalam UUD NRI 1945 yang tegas-tegas menyebutkannya, pegaturan lebih lanjut
secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945,
21
Jimly A., Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006, h.155-161.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
18
pengaturan lebih lanjut dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,
serta pengaturan di bidang materi dalam konstitusi.22
Menurut UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat (2), Undang-Undang merupakan
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan
bersama Presiden. Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU
12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
menyatakan bahwa Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPR dan persetujuan bersama Presiden. Dari definisi tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa syarat suatu peraturan dapat disebut sebagai undang-
undang dilihat dari pembentuknya adalah dibentuk oleh DPR dan mendapat
persetujuan bersama Presiden. Syarat ini menjadi karakteristik khusus dalam
membedakan undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Syarat harus dibentuk oleh DPR dan mendapat persetujuan bersama
dengan Presiden dapat mengklasifikasikan undang-undang menjadi 2 macam
yaitu pengertian undang-undang selain dalam arti formil (wet in formale zin) dan
undang-udang dalam arti materiil (wet in materiele zin).
Di Belanda apa yang disebutkan dengan „wet in formale zin’ adalah setiap
keputusan yang dibentuk oleh Regering dan Staten General atau dalam
konteks Indonesia yaitu dibuat oleh Presiden dengan persetujuan bersama
DPR, sedangkan yag disebut dengan „wet in materiele zin‟ adalah setiap
keputusan yang dibentuk baik oleh Regering atau State General maupun
keputusan-keputusan lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga lainnya
selain yang dibentuk baik oleh Regeling dan Staten General asalkan isinya
22
Maria F., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, h. 215-221.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
19
adalah peraturan lain yang mengikat umum (algemene verbidende
voorschriften).23
Dapat diambil kesimpulan bahwa undang-undang dalam arti materiil atau
wet in materiele zin merupakan peraturan perundang-undangan yang hanya
dibentuk salah satu syarat pembentukan undang-undang dan memuat aturan
umum (tidak konkrit). Contohnya adalah Undang-Undang APBN, Undang-
undang ini tidak mengikat secara umum dan tidak konkrit karena Undang-Undang
APBN hanya berisi dua tiga pasal saja, namun lampirannya sangatlah tebal.24
Rumusan undang-undangnya dapat dikatakan hanya dicantumkan menjadi
semacam pengantar saja. Demikian pula dengan undang-undang ratifikasi
perjanjian internasional, yang justru lebih penting adalah lampirannya.
Tetapi pembentuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara telah memenuhi syarat pembentuk undang-undang dalam arti formil. Lain
halnya dengan Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
menurut Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 hanya dibentuk oleh Presiden namun
materi muatan dan kedudukannya disejajarkan dengan undang-undang.
Namun hal ini juga terjadi pada undang-undang hasil ratifikasi perjanjian
internasional. Menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia menyatakan bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan
23
Ibid., h. 52. 24
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekertariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, h. 53.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
20
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang hasil
ratifikasi telah memenuhi syarat pembentukan hasil undang-undang, tetapi apakah
materi atau muatan dalam Undang-Undang hasil ratifikasi bersifat umum ataukah
konkrit?
Untuk memperjelas pembedaan wet in formale zin dengan wet in materiele
zin perlu adanya faktor lain yang membedakan yaitu berdasarkan materi muatan
suatu peraturan perundang-undangan. Undang-undang memiliki materi muatan
yang sangat khas yaitu:
1. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD NRI 1945 dan TAP MPR;
2. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI 1945;
3. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;
4. Yang mengatur hak dan kewajiban warganegara;
5. Yang mengatur pembagian kekuasaan;
6. Yang mengatur organisasi pokok Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;
7. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
8. Yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan;
9. Yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang.25
Materi muatan ini menentukan apakah suatu masalah dapat ditetapkan
dengan peraturan berbentuk undang-undang atau dengan peraturan perundang-
undangan yang lainnya yaitu Keputusan Presiden jika dalam konteks pengesahan
perjanjian internasional. Apabila telah memenuhi salah satu materi muatan yang
telah diuraikan diatas maka masalah tersebut dapat diatur dengan undang-undang.
25
Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.242, dikutip
dari A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h. 219.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
21
Menurut Fajhrul seperti yang dikutip dalam artikel online di Direktorat
Jendral Hukum dan HAM, Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian
internasional merupakan undang-undang dalam arti materiil maka dari itu tidak
dapat diuji karena bukan merupakan Undang-Undang dalam arti formil (wet in
formil zein).26
Pendapat ini didukung dengan adanya fakta bahwa dalam undang-
undang hasil ratifikasi hanya terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 1 yang menyatakan
bahwa mengesahkan suatu perjanjian internasional dan pasal 2 menyatakan kapan
berlakunya undang-undang tersebut, hal ini mencerminkan bahwa materi muatan
undang-undang hasil ratifikasi tidak memiliki norma yang dapat diterapkan secara
langsung dan meskipun dalam undang-undang tersebut melampirkan perjanjian
internasional yang disahkan, tidak mengubah bahwa norma dalam perjanjian
internasional tersebut membutuhkan pengaturan lebih lanjut baru dapat
dilaksanakan.
2.2.1 Proses Pembentukkan Undang-Undang dan Pembentukkan
Perjanjian Internasional
Dalam Dissenting Opinion oleh Hamdan Zoelfa dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang hasil ratifikasi,
menyatakan perbedaan yang mendasar antara Undang-Undang materil
dengan Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional adalah:
(a) Dalam Undang-Undang dalam arti formil, pembahasan norma
dapat dibahas dan direvisi, sedangkan Undang-Undang ratifikasi
26
Direktorat Jenderal Kementrian Hukum dan HAM, “MK tak Berwenang Menguji UU
Hasil Ratifikasi Perjanjin Internasional”,http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-
perundang-undangan/1402-mk-tak-berwenang-uji-uu-hasil-ratifikasi-perjanjian-internasional.html,
4 Agustus 2011, h.1, dikunjungi pada tanggal 3 Desember 2014.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
22
Pra-Legislasi Legislasi Pasca Legislasi
merupakan kesepakatan berbagai negara dan tidak dapat direvisi
kecuali perjanjian tersebut memberi peluang untuk itu
(b) Pemberlakuan Undang-Undang ratifikasi berbeda dengan Undang-
Undang formil pada umumnya. Undang-Undang dalam arti formil
akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat semenjak
disahkannya Undang-Undang tersebut, sedangkan Undang-Undang
hasil ratifikasi perjanjian Internasional membutuhkan metode
internal bagi negara peserta Perjanjian Internasional agar dapat
mengikat. (Pasal 5 ayat 2 Konvensi Wina tentang Perjanjian
Internasional)27
Secara jelas dalam dissenting opinion Hamdan Zoelfa
membedakan proses dalam proses pembuatan undang-undang dengan
pembuatan perjanjian internasional.
Skema 1 Tahap Pembuatan Undang-Undang
Penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya undang-
undang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap Pra-
Legislasi, tahap Legislasi, dan tahap Pasca Legislasi.28
Pada tahap Pra-
Legislasi dilalu proses: (i) Pencarian Pembentukan UU (RUU), (ii)
Persiapan Penyusunan RUU yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan
penyusunan naskah akademik (iii) teknik dan mekanisme penyusunan
RUU (iv) Penyusunan RUU.
27
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang hasil ratifikasi Piagam ASEAN, h.200. 28
Ahmad Ubbs, Mekanisme Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Makalah Tema Konsultasi Pelaksanaan Hukum Di Jajaran DepHak dan
HAM, BPHN, Cisarua Bogor, 20-22 Juni 2005, h. 14.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
23
Tahap Legislasi akan melalui proses (i) Pembahasan RUU oleh
DPR dan Pemerintah, (ii) Pengesahan, penetapan serta pengundangannya.
Sedangkan Tahap Pasca Legislasi akan melalui proses (i)
Pendokumentasioan UU (ii) Penyebarluasan UU (iii) Penyuluhan (iv)
Penerapan UU.29
Perjanjian Internasional jika ingin memiliki kekuatan mengikat
pada para negara peserta pastilah melewati berbagai tahapan/prosedur
pembuatan. Prosedur pembuatan Perjanjian Internasional diatur oleh
Konvensi Wina 1969 dan Indonesia lebih lanjut mengaturnya dalam
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Tahap-tahapan pembuatan Perjanjian Internasional dimulai dari
Penjajakan, Perundingan, Adopsi, Authentication, Consent to be Bound
dan Entry into Force.30
Skema 1 Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
29
Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya dengan Program
Legislasi Nasional. Makalah, h. 71. 30
Ulasan ini merupakan intisari perkuliahan Dosen Jany dalam Mata Kuliah Hukum
Perjanjian Internasional Semester 5 dengan topik Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian
Internasional.
Tahap I : Penjajakan
Tahap II : Perundingan
Tahap III : Adopsi
Tahap IV : Otentikasi
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
24
Sesuai skema diatas tahap awal adalah tahapan Penjajakan. Tahap
ini tidak diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986, namun diatur
dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasannya yang menyatakan
bahwa Penjajakan merupakan tahap awal kemugkinan dibuatnya suatu
Perjanjian Internasional. Penjajakan ini muncul didasarkan pada dua faktor
yaitu keinginan untuk kerja sama dan jika terjadi sengketa para pihak.
Tahapan yang kedua adalah Perundingan, dasar hukum tahapan
diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Pada tahapan ini membahas mengenai substansi
dan masalah-masalah tekhnis yang disepakati dalam Perjanjian
Internasional tersebut. Dalam hal ini setiap negara akan membawa
kepentingannya masing-masing untuk dirundingkan, maka dari itu dalam
proses perundingan ini setiap negara biasanya menentukan posisi agar
dapat meletakkan kepentingan mereka dalam Perjanjian Internasional.
Yang dibutuhkan dalam tahap perundingan Perjanjian Internasional
adalah:
1. Koordinasi dan kosultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Departemen teknis terkait (Dasar Hukum Pasal 2 dan 5(1) UU
24/2000).
2. Menetapkan Pedoman Delegasi (Dasar hukum Pasal 5 ayat 2 dan ayat
(3).
3. Penyusunan Rancangan Perjanjian (Pasal 5 ayat 4)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
25
4. Penunjukan delegasi yang disertai dengan Full Power Letter (Pasal 7
(1) (2) (4) dan (5) UU 24/2000) atau Credential Letter (Pasal 7 (3) dan
(4) UU 24/2000).31
Yang berwenang melakukan perundingan adalah orang yang
mempunyai otoritas/wewenang, jika tidak berwenang maka hasil
perundingan tersebut tidak berakibat hukum. Untuk melihat apakah orang
tersebut berwenang atau tidak dalam melakukan perundingan maka dapat
dilihat dari apakah orang tersebut memiliki Full Power Letter atau
Credential Letter untuk menunjukan sejauh mana otoritasnya dalam
pembuatan Perjanjian Internasional.32
Dalam hal ini ada pengecualian
untuk yang tidak memerlukan Full Power Letter maupun Credential Letter
yaitu Menteri Luar Negeri, Kepala Pemerintahan dan Presiden (The Big
Three) serta Duta besar yang ditugaskan di negara tempat perjanjian
internasional tersebut dibuat. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Setelah memeriksa apakah orang tersebut memiliki otoritas untuk
mewakili negaranya, maka orang tersebut dalam menjalankan tugasnya
untuk ikut dalam pembuatan Perjanjian Internasional harus sesuai dengan
Pedoman Delegasi yang telah ditentukan. Pedoman Delegasi merupakan
panduan bagi delegasi yang mewakili negara Indonesia untuk pembuatan
perjanjian Internasional,33
Pedoman ini dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan departemen teknis terkait, hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat
31
Ulasan dari Slide Perkuliahan Dosen Ibu Aktieva dalam Mata Kuliah Hukum
Perjanjian Internasional Semester V dalam topik Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional. 32
Ibid. 33
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
26
(3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Substansi pedoman delegasi adalah latar belakang
permasalahan, analisa permasalahan dari aspek politis, yuridis, dan aspek
lain yang berpengaruh pada kepentingan nasional indonesia dan
menetapkan posisi Indonesia, saran dan penyesuaian yang dapatdilakukan
untuk mencapai kesepakatan.34
Hasil dari perundingan adalah draft awal
(preliminary draft) yang memuat substansi perjanjian guna dijadikan dasar
pembahasan oleh para pihak.
Tahap selanjutnya adalah Adopsi, Adopsi di atur dalam Pasal 6
ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan
Konvensi Wina 1969 dan 1986 Article 9. Adopsi merupakan proses
merumuskan naskah suatu rancangan perjanjian internasional serta
penerimaan substansi perjanjian internasional sebagaimana dituangkan
dalam naskah Perjanjian Internasional. Tahap ini menunjukkan bahwa para
pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan
atas naskah perjanjian, meskipu kesepakatan itu belum merupakan
kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang definitif.35
Proses adopsi ini adalah menuangkan kesepakatan lisan hasil
perundingan dalam format tertulis. Dalam proses adopsi dapat
menggunakan voting atau penentuan mayoritas, cara tersebut bergantung
dari bagaimana kesepakatan para pihak atau kesepakatan para peserta
34
Ibid. 35
I Wayan P., Perjanjian Internasional: Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 106.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
27
konverensi atau sebagaimana yang ditentukan oleh Organisasi
Internasional.
Tahap yang keempat adalah Ontetikasi (Authentication) yang
diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000. Otentikasi merupakan proses penandatanganan/pemarafan
setiap hal dalam perjanjian tersebut untuk menyatakan bahwa naskah
tersebut bersifat final menurut negara yang bersangkutan. Pegontetikasian
atau pengesahan ini akan meningkatkan status dari naskah perjanjian yang
sudah melewati tahap penerimaan, menjadi naskah yang final dan
definitif.36
Tata cara otentikasi : sebagaimana disepakatai oleh para pihak,
sesuai dengan prosedur yang terdapat pada naskah perjanjian atau dapat
dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan atau paraf pada naskah
perjanjian.
Setelah keempat tahap tersebut dilakukan, maka pernyataan
Consent to be Bound berlangsung merupakan tahapan yang tidak
terpisahkan setelah pembuatan perjanjian internasional tersebut selesai.
Consent to be Bound diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2000. Consent to be Bound merupakan
pernyataan suatu negara untuk mau menundukkan diri pada ketentuan
yang telah dibuat dan sekaligus memberlakuukannya, jadi dapat berefek
entry into force. Dengan penandatangan belum tentu berefek Consent to be
Bound (Pasal 6(2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000). Banyak cara
36
Ibid., h. 107.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
28
dalam mekanisme internal suatu negara, mekanisme tersebut bergantung
pada pengaturan konstitusi negara tersebut. Macam-macam cara
mekanisme internal yang menyatakan Consent to be Bound adalah
pertukaran dokumen (exchange document), ratifikasi, akseptasi,
aksesi/persetujuan atau dengan signature of referendum.
Suatu persetujuan (consent to be bound) terhadap perjanjian
internasional dapat dinyatakan dengan cara ratifikasi, akseptasi, atau
persetujuan dapat dilihat pada Pasal 14 Kovensi Wina 1969:
1. The Consent of a State to be bound by a treaty is expressed by
ratification when:
(a) the treaty provides for such consent to be expressed by means of
ratification;
(b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed
that ratification should be required;
(c) the representative of the State has signed the treaty subject to
raitification; or
(d) the intention of the State to sign the treaty subject to ratification
appears from the full powers of its representative or waas
expressed during the negotitation.
2. The Consent of a State to be bound by treaty is expressed by
acceptance or approval under conditions similar to those which
apply ratification.
Selain berefek pengikatan diri terhadap suatu perjanjian
internasional, negara pihak tentu ingin perjanjian internasional tersebut
dapat berlaku. Langkah terakhir yang perlu dilakukan yaitu Entry into
Force (kekuatan memaksa). Dasar hukum dari Entry into Force terdapat
pada Article 24-27 Part II Section III . Entry into force menentukan kapan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
29
saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional itu sendiri. Kapan
mulai berlakunya suatu perjanjian internasional bergantung pada
kesepakatan para pihak yang mengadakan perundingan dan merumuskan
perjanjian itu sendiri.37
Terdapat berbagai cara, sebuah perjanjian
internasional entry into force menurut Anthony Aust, yaitu:38
1. Pada saat sesuai tanggal yang ditentukan dalam perjanjian. Para pihak
bebas untuk menentukan tanggal, atau bahkan untuk menerapkan
perjanjian untuk beroperasi secara retroaktif/berlaku surut. Dalam hal
perjanjian multilateral dan adanya kebutuhan ratifaksi, memasukkan
tanggal tertentu dapat melayani tujuan politik dengan mendorong
negaraatau mungkin lebih tepatnya kepada parlemen untuk memenuhi
tenggat waktu;
2. Pada saat tanda tangan oleh semua negara negosiasi dilakukan. Hal ini
umum untuk perjanjian bilateral yang tidak harus disetujui oleh
parlemen, dan kadang-kadang ditemukan dalam perjanjian antara
beberapa negara (perjanjian plurilateral) meskipun dengan materi
perjanjian yang sangat penting;
3. Pada saat ratifikasi oleh kedua (atau semua) negara yang telah bertanda
tangan. Jika perjanjian multilateral membutuhkan ratifikasi oleh semua
37
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press,
Cambridege, 2005, h. 88 . 38
Ibid., h.131-135.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
30
negara negosiasi, maka berlakunya dapat dinyatakan berada pada
waktu tertentu setelah penyimpanan instrumen terakhir ratifikasi;
4. Tergantung pada tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) dari negara-
negara yang ditentukan oleh nomor, nama atau kategori tertentu;
5. Pada saat tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) oleh jumlah minimum
dari negara negosiasi (Pasal 84 (1) Konvensi Wina 1961). Biasanya
dalam hal perjanjian multirateral, jumlah negara cukup banyak untuk
memastikan bahwa perjanjian mendapatkan penerimaan yang luas
sebelum diberlakukan;
6. Seperti pada nomor 4 dan 5 di atas, tapi jumlah minimum negara atau
organisasi juga harus memenuhi persyaratan lainnya;
7. Pada saat pertukaran instrumen ratifikasi (perjanjian bilateral);
8. Pada saat pemberitahuan oleh setiap negara penandatanganan kepada
negara lain atas selesainya persyaratan konstitusional.
9. Dalam kasus perjanjian dibentuk oleh exchange of notes, pada tanggal
note balasan/ reply note (note in response).
10. Seperti pada poin 9 di atas, tetapi pada tanggal yang lebih awal atau
lebih daripada reply note.
11. Pada tanggal yang akan disepakatai.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
31
Adanya Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008 tidak serta merta
dapat memberlakukan norma Piagam ASEAN, namun hal tersebut
begantung pada kapan pemerintah Indonesia menyerahkan instrument of
ratification. Sedangkan Indonesia juga tidak dapat serta merta masa
mengundurkan diri atau membatalkan perjanjian internasional secara
sepihak. Terdapat mekanisme tersendiri untuk kedua hal tersebut.
Pembentukan UU dan perjanjian internasional sangatlah berbeda,
meskipun sistem pengajuannya berbeda namun jika dapat disimpulkan
bahwa UU mulai dari awal pembahasan sampai pengesahan dan
pelaskanaan semuanya dibahas dan didiskusikan oleh DPR dan Presiden
secara bersama-sama, sedangkan Perjanjian Internasional proses
pembahasanannya dan proses penandatanganan hanya diwakili oleh
delegasi yang telah membawa pedoman delegasi yang di buat DPR.
Meskipun pengesahan perjanjian internasional hampir sama dengan
pembentukan UU yaitu dengan adanya peran DPR namun ada beberapa
perbedaan prosedur yang tidak berlaku dalam pengesahan perjanjian
internasional diantaranya:39
Pertama, inisiatif pengajuan RUU pengesahan suatu perjanjian
internasional hanya berasal dari pemerintah (tidak dari DPR)
karena berdasarkan teori pembagian kekuasaa, hubungan luar
negeri termasuk membuat atau memasuki perjanjian internasional
masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif. Kedua, DPR
tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan perjanjian
internasional, DPR hanya berwenang menyetujui, menerima atau
menolak pengesahan suatu perjanjian internasional. Ketiga,
pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk UU
39
Sadikin, Loc. Cit, h. 74
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
32
dimungkinkan untuk diajukan ke DPR melalui Daftar Kumulatid
Terbuka (DKT) Prolegnas. Namun demikian, akan lebih baik jika
RUU pengesahan perjanjian internasional dilakukan secara
terencana dan masuk dalam daftar prioritas, agar sejalan dengan
politik hukum yang sedang dilaksanakan pemerintahan. Keempat,
dalam praktik pengesahan perjanjian internasional baik melalui UU
maupun Keputusan Presiden, RUU pengesahan perjanjian
internasional selalu dilengkapi dengan sebuah Naskah Penjelasan
(Naskah Akademis) yang berisi pejelasan diantaranya mengenai
keuntungan dan kerugian/konsekuensi dari pengesahan perjanjian
internasional tersebut dan implikasi pengesahan terhadap sistem
hukum.
2.2.1.2 Konsep Persyaratan dan Penarikan Diri atau
Pembatalan dari Kewajiban Hukum Perjanjian
Internasional
Suatu negara diharapkan dapat menyetujui maupun
melaksanakan seluruh isi atau pasal perjanjian, sehingga perjanjian
itu mengikat secara utuh dan menyulurh terhadap setiap negara
yang telah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada
perjanjian.40
Namun setiap negara tentunya memiliki kondisi atau
keadaan tertentu daripada negara lainnya. Demi tercapainya
pemberlakuan perjanjian internasional maka diberikanlah fasilitas
berupa persyaratan atau ada beberapa yang menyebutnya sebagai
reservasi.
Pada Pasal 2 ayat (1) butir d menyatakan bahwa persyaratan
berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun,
yang dibuat oleh suatu negara ketika menandatangani, meratifikasi,
mengakseptasi , menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian
40
I Wayan P., Op. Cit, h. 149.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
33
internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau
mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu
dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan.
Pernyataan sepihak suatu negara mempunyai 2 bentuk:
1. Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau
terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari
salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut,
dan/atau;
2. Mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti
tersendiri atas sah satu atau beberapa ketentuan dari
perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang
bersangkutan.41
Namun persyaratan ini memiliki batasan atau larangan, hal
ini disebutkan pada Pasal 19 Konvensi Wina 1969 yang berjudul
“Furmulation of Reservation”, sebagai berikut:
Suatu negara dapat mengajukan persyaratan, ketika
menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau
mengaksesi suatu perjanjian internasional, kecuali:
(a) Persyaratan itu dilarang oleh perjanjian;
(b) Perjanjian itu menentukan, bahwa hanya persyaratan yang
khusus, yang tidak termasuk di dalam persyaratan yang
merupakan masalah, yag dapat diajukan; atau
(c) Dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam subparapraph
(a) dan (b) persyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan
obyek dan tujuan dari perjanjian.
Fasilitas persyaratan ini diberikan oleh perjanjian
internasional agar negara pihak (contracting states) tidak
menggunakan alasan bertentangan dengan hukum nasional agar
41
Ibid., h. 152.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
34
tidak melaksanakan kewajibannya. Pasal 27 Konvensi Wina 1969,
sangat jelas melarang negara untuk menggunakan hukum
nasionalnya sebagai alasan pembenar atas kegagalannya
melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional.
Dalam pengajuan persyaratan atau reservasi, setiap negara
tidak dapat langsung disetujui oleh negara-negara lainnya. Secara
garis besar, reaksi dari negara-negara itu dapat digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu ada yang menyetujui persyaratan
tersebut, ada yang keberatan atau menolaknya, ada yang tidak
menyatakan sikap tegas apakah menyetujui atau menolaknya.42
Pasal 56 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa
negara tidak dapat menarik diri dari perjanjian internasional jika
dalam perjanjian internasioal tersebut tidak mengatur pasal yang
memperbolehkan , kecuali disetujui oleh semua contracting states.
Namun hal ini tidak selaras dengan Pasal 18 huruf h Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang menyatakan, “Perjanjian
Internasional berakhir apabila:…… h. terdapat hal-hal yang
merugikan kepentingan nasional.” Pasal ini tentunya menimbulkan
kontroversi karena bertentangan dengan Konvensi Wina 1969 dan
membuat Indonesia memiliki peluang untuk tidak konsisten dalam
menjalankan perjanjian internasional.
42
I Wayan P., Op.Cit, h. 166.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
35
Dilihat dari proses pembuatan perjanjian internasional, suatu
negara sudah diberi berbagai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan
kembali apakah perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan
tujuan maupun manfaat yang akan diperoleh oleh negara. Maka dari itu
untuk melepaskan diri dari keterikatan suatu negara terhadap perjanjian
internasional sangatlah susah.
2.2.2 Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat
oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi
ketentuan-ketentuan yang mempunyai akibat hukum.43
Dalam
mengesahkan suatu Perjanjian Internasional, Indonesia memiliki
pengaturan tersendiri. Hal tersebut tertuang pada Pasal 11 UUD NRI 1945
NRI 1945 yang menyebutkan bahwa bentuk hukum perjanjian
internasional tidak harus berbentuk Undang-Undang, tetapi dalam
konstitusi menyebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR yang
berhak membuat Perjanjian Internasional. Praktik pembuatan perjanjian
internasional dulunya belum memiliki undang-undang yang mengatur
khusus mengenai hal itu, maka dari itu dibentuklah Surat Presiden No.
43
Prasetyo Hadi Purwandoko, Januari 2003, Implementasi Ratifikasi Perjanjian
Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000. Justisia Edisi 60
Januari Maret 2003, http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia/article/view/89, 6 Desember
2014.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
36
2826/Hk/1960 yang merupakan penafsiran Pasal 11 UUD NRI 1945 oleh
Presiden.44
Namun MPR menyatakan Surat Presiden tersebut bertentangan
dengan Tap I/MPR/1983 Pasal 4 (b) yang meyatakan bahwa MPRlah yang
berwenang untuk menafsirkan ketetepan-ketepannya (UUD NRI 1945
dianggap sebagai ketetapan)45
. Maka dari itu kemudian dibentuklah
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dalam Undang-Undang tersebut diatur kembali lebih terperinci melalui
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang menyatakan bahwa “Pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
Undang-Undang atau Keputusan Presiden.”
Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang
diperkuat dengan adanya Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa
“Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
(a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(b)Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
(c) Pengesahan perjanjian Internasional tertentu;
(d)Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau
(e) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.“
44
Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1999, h.
78. 45
Ibid., h. 80.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
37
Agar dapat membedakan bentuk pengesahan dengan UU dan
Keputusan Presiden maka diperlukan kriteria yang yang dapat
membedakan hal tersebut.
Tabel 1. Perbedaan Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional dengan
Undang-Undang atau dengan Keputusan Presiden46
KRITERIA Undang-Undang Keputusan Presiden/Peraturan
Presiden
Syarat Memenuhi kriteria
materi muatan yang
dapat disahkan dengan
undang-undang.
Dibentuk dengan Keputusan
Presiden jika dalam perjanjian
internasional disyaratkan
adanya pengesahan sebelum
berlakunya perjanjian tersebut,
tetapi memiliki materi yang
bersifat prosedural dan
memerlukan penerapan dalam
waktu singkat tanpa
mempengaruhi perundang-
undangan nasional.
Objek Ratifikasi Mayoritas adalah
perjanjian multirateral
Mayoritas adalah perjanjian
bilateral
Materi Muatan Sesuai dengan Pasal 10
Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000.
Selain materi yang diatur dalam
undang-undang. (Pasal 11
Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 dan penjelasannya).
Pembentukkannya Dengan Persetujuan
Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 11 ayat 2
UUD NRI 1945 NRI
1945)
Dibentuk oleh Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dapat
mengevaluasi.(Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000)
Dalam penjelasan pasal 11
tersebut menjelaskan bahwa
DPR dapat membatalkan
pengesahan perjanjian
internasional tersebut jika
merugikan kepentingan
nasional.
Sifat Mengikat yang membuat
perjanjian saja, untuk
Karena undang-undang
perjanjian internasional berlaku
46
Tabel Perbandingan disarikan oleh Penulis dari Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
38
mengikat masyarakat
Indonesia diperlukan
instumen lebih lanjut.
tahun 2000, maka bentuk yang
dipakai adalah keputusan
presiden.
Namun hal ini berubah seiring
dengan adanya undang-undang
nomor 10 tahun 2004 yang
merubah keputusan presiden
menjadi peraturan presiden. Hal
ini berakibat pada kekuatan
mengikat peraturan presiden
yaitu mengikat seluruh
masyarakat indonesia.
Kriteria yang membedakan suatu pengesahan perjanjian
internasional dapat dibentuk dengan undang-undang atau keputusan
presiden ada beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah syarat yang
dimuat oleh perjanjian internasional tersebut. Suatu perjanjian
internasional dapat disahkan atau di ratifikasi dengan Keputusan
Presiden jika perjajian internasional tersebut mensyaratkan adanya
pengesahan terlebih dahulu sebelum berlakunya perjanjian tersebut,
tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan
penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundang-
undangan nasional. Hal ini tertuang dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Sedangkan untuk bentuk
pengesahan berupa undang-undang maka harus memenuhi Pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yaitu:
1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
39
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik
Indonesia;
3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4. Hak Asasi Manusia dan Lingkungan hidup;
5. Pembentukan kaidah hukum baru;
6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Contoh pengesahan perjanjian internasional dengan
menggunakan undang-undang adalah UU 12/2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik), UU 38/2008 tentang
Pengesahan Piagam ASEAN dan Undang-Undang Hasil Raifikasi
Perjanjian Internasional yang lainnya. Sedagkan kriteria suatu
pengesahan perjanjian internasional dapat dibuat dalam bentuk
Keputusan Presiden tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000
tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa Pengesahan
perjanjian internasional yang menggunakan Keputusan Presiden adalah
yang memuat selain materi yang terdapat dalam kriteria materi
pengesahan dengan undang-undang. Hal tersebut diperjelas dalam
penjelasan pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bahwa pengesahan yang
diatur dalam Keputusan Presiden yaitu perjanjian induk yang
menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi, teknik, perdagangan , kebudayaan, pelayaran niaga,
penghindaran pajak berganda, kerja sama perlindungan penanaman
modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.
Beberapa contoh pengesahan perjanjian internasional dengan
Keputusan Presiden yaitu Kepres yang meratifikasi
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
40
1. ASEAN Framework Agreement ASEAN-China FTA (ACFTA)
dengan bentuk pengesahan berupa Keputusan Presiden Nomor 48
Tahun 2004 yang disahkan pada 15 Juni 2004.
2. ASEAN dengan India untuk mengadakan Free Trade Area yang
dibentuk berdasarkan Framework Agreement on Comprehension
Economic Cooperation melalui Keputusan Presiden Nomor 69
Tahun 2004.47
3. Perjanjian Kopi Internasional (International Coffee Agreement),
perjanjian internasional ini adalah perjanjian multilateral dan
disahkan oleh Indonesia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor
32 Tahun 2002.48
Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya
Pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 yang berakibat hukum pada
pengesahan dengan bentuk Keputusan Presiden tidak lagi
dipergunakan tetapi menggunakan Perpres atau Peraturan Presiden.
Contoh Peraturan Presiden yang mengesahkan Perjanjian Internasional
adalah:
1. ASEAN dengan Korea Selatan untuk mengadakan Free Trade Area
yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion
Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan
perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor
11 Tahun 2007.
2. ASEAN dengan Australia/New Zealand untuk mengadakan Free
Trade Area yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion
Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan
perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor
26 Tahun 2011.49
3. International Convention Maritime Search and Rescue, 1979 with
Annex and 1998 Amendements to International Convention on
47
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 102-103. 48
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2002, (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor
60). 49
Ibid., h. 103.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
41
Maritime Search and Rescue tentang Kovensi Internasional yang
memuat mengenai pencarian dan pertolongan di bidang maritim
yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2012.
Contoh-contoh yang telah disebutkan diatas mencerminkan
bahwa terdapat ciri-ciri baru dari pengesahan perjanjian internasional
berbentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yaitu mayoritas
perjanjian internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden
atau Peraturan Presiden merupakan perjanjian billateral. Beda halnya
dengan undang-undang yang notabene meratifikasi atau mengesahkan
perjanjian internasioal yang sifatnya multirateral.
2.3 Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam memutus Judicial Review
Undang-Undang Hasil Ratifikasi
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 NRI 1945
yang menyebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan tersebut, yaitu:
(1) Menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945;
(2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945;
(3) Memutus pembubaran partai politik; dan
(4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta kewajiban
Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD NRI 1945.50
Dalam UUD NRI 1945 NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memang
dibenarkan untuk menguji undang-undang namun hal tersebut menjelaskan secara
50
Martitah., Mahkamah Kostitusi : Dari Negative Legislature ke Positive Legislature,
Konstitusi Press: Jakarta, 2013, h. 125.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
42
detil undang-undang apa saja yang dapat diuji. Permasalahan timbul dengan
dituangkannya perjanjian internasional dalam sebuah bentuk hukum undang-
undang, bagaimana hubungannya dengan undang-undang pada umumnya yang
berisikan perjanjian internasional.
Materi muatan Undang-Undang menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 138/PUU-VII/2009 tidak hanya Undang-Undang yang menjadi wewenang
pengujian (judicial review) Mahkamah Konstitusi, tetapi juga peraturan
pemerintah pengganti undang-undang. Hal tersebut dapat dinyatakan demikian
karena materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang memiliki
norma hukum yang kekuatan megikatnya sama dengan Undang-Undang, maka
norma yang terdapat dalam Perpu tersebut dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi
jika bertentangan secara materiil dengan UUD NRI 1945.
Dalam Undang-Undang ratifikasi Perjanjian Internasional jika ada yang
dipermasalahkan tentunya adalah bagian pada lampirannya. Maka dari itu perlu
diketahui bagaimana pengujian pada suatu lampiran undang-undang. Keberadaan
undang-undang tidak mungkin lepas maupun dipisahkan dari nasakah
lampirannya.51
Jika undang-undangnya diuji maka lampirannya juga dapat diuji.
Namun hal itu berbeda degan lampiran undang-undang ratifikasi internasional.
Pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional
jika disamakan dengan undang-undang formil ada 2 yaitu secara formil atau
51
Jimly A., Hukum Pengujian Undang-Undang, Oc. Cit, h. 54.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
43
secara materiil.52
Jika pengujian dilakukan secara formil, tentu persolannya
terbatas pada cara prosedur ratifikasi itu dilakukan, apakah sudah sesuai dengan
ketentuan UUD NRI 1945 atau tidak. Pengujian secara materiil, berarti materi
perjanjian internasional yang menjadi lampiran undang-undang itulah yang
dipersoalkan. Misalnya jika terbukti lampiran perjanjian internasional tersebut
bertentangan, Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyatakan undang-undang
perjanjian internasional tersebut inkonstitusional. Bukankah perjanjian
internasional itu merupakan produk hukum internasional yang oleh Indonesia
tidak mungkin ditolak sebagian dan diterima sebagian lainnya.53
Selain itu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengenai
pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi piagam ASEAN patut
dipertanyakan, karena Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 ini bukanlah
undang-undang dalam arti formil yang dapat diuji dengan mekanisme yang
tercantum dalam UUD NRI 1945.
Kewenangan pembentukannya saja sudah berbeda, bahwa jika undang-
undang biasa dibutuhkan 2 kewenangan secara bersama yaitu Presiden dan DPR
mulai dari pembahasan menimbang, pasal per pasal hingga ketentuan peralihan.
Sedangkan untuk pembentukan undang-undang pengesahan perjanjian
internasional kewenangan DPR dan Presiden tidak dapat merubah norma yang ada
dalam perjanjian internasional melainkan hanya mengenai persetujuan akan
disahkan atau ditolak. Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa dalam undang-
52
Ibid. 53
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
44
undang pengesahan perjanjian internasional hanya terdiri dari 2 pasal dan tidak
memiliki norma secara konkrit, jika ingin diuji maka apakah berwenang
Mahkamah Konstitusi menguji norma yang dibuat oleh negara pihak dalam
perjanjian internasional tersebut.
Jika kewenangan tersebut dipaksakan tentunya tetap tidak akan mengubah
keterikatan kewajiban Indonesia dengan perjanjian internasional tersebut.
Indonesia sebelumnya telah diberi kesempatan untuk mengantisipasi adanya
pertentangan dengan perjanjian internasional diantaranya dengan adanya Pedoman
Delegasi yang dibuat DPR dan Departemen Terkait agar Indonesia dapat
mengantisipasi atau menetapkan posisi Indonesia sebelum meratifikasi perjanjian
tersebut. Selain itu juga diberi kesempatan kedua dengan adanya fasilitas
persyaratan atau reservasi namun kedua kesempatan ini tidak dipergunakan
dengan baik oleh Indonesia. Maka dari itu jika akhirnya bertentangan, untuk
keluar ataupun menarik diri dari perjanjian internasional tersebut sangatlah susah
untuk dilakukan.
2.3.1 Legal Standing Pemohon
Sebelum sesorang mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi, maka perlu diketahui bahwa apakah seseorang tersebut
memiliki Legal Standing untuk mengajukan permohonan atau tidak.
Istilah Legal Standing dalam Black‟s Law Dictionary mendefinisikan
“Standing to sue means that a party has sufficient stake in an otherwise
justiciable controvercy to obtain judicial resolusions of that
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
45
controvercy”.54
Melalui definisi tersebut dapat diartikan bahwa pihak yang
dapat mengajukan kasus adalah pihak yang memenuhi syarat untuk
memperoleh penyelesaian secara hukum di lembaga peradilan terhadap
sengketa yang diajukannya. Legal Standing dalam pengujian undang-
undang jelas memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini disampaikan
oleh Sri Soemantri bahwa Legal Standing adalah mereka yang dapat
(berhak) megajukan tuntutan atau permintaan agas suatu perundang-
undangan atau tindakan pemerintah dibatalka dengan alasan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar, atau suatu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.55
Pemohon dapat mengajukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar harus memenuhi salah satu klasifikasi yang tertera
pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi : a)
peroragan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama); atau b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup da
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang; atau c)
badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara, yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
54
Henry C., Law Dictionary with pronounciations, West Publishing: St. Paull, 1990, h.
1405. 55
Himawan E, Opcit, h. 189.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
46
Dalam Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi atau Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) belum mengatur secara teknis mekanisme
tata cara beracara atau pedoman beracara dalam hal pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, yaitu dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pegujian Undang-Undang dalam pasal 3 mengulangi
kembali pengertian pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.56
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
IX/2011 menyatakan bahwa para pemohon yang notabene adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang ekonomi,
perburuhan maupun advokasi petani dan lain-lainnya memiliki kedudukan
hukum (Legal Standing) dalam mengajukan permohonan karena telah
memenuhi syarat sebagai legal standing.
Salah satu syarat sesorang dapat mengajukan pengujian undang-
undang adalah karena hak konstitusionalnya dilanggar. Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pasal ini menegaskan bahwa hanya hak-hak yang diatur secara eksplisit
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia saja yang
termasuk “hak konstitusional”.
56
Himawan E., Negara Hukum dan Mahkamah Konstitusi : Perwujudan Negara Hukum
yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang,
Laksbang Grafika Yogyakarta, h. 212.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
47
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus
memenuhi 5 syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III2005 dan Nomor
011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang
yang diuji;
c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenagan konstitusional Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
48
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan
tidak akan terjadi lagi.57
Perkara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
memuat bahwa pemohon merasa hak kostitusionalnya dirugikan dengan
berlakunya Undang-Undang Pengesahan ASEAN CHARTER khususnya
pada Article 1 act (5) dan article 2 act (2) yang dapat menjadi landasan
pasar tunggal dengan negara lain yang menyebabkan matinya beberapa
industri nasional karena telah kalah bersaing yang mengakibatkan
banyaknya pekerja kehilangan pekerjaan.
2.3.2 Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
IX/2011 ada 3 yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili,
pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan dan dalil
pemohon dianggap tidak beralasan.58
Maka dari itu Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan pemohon seluruhnya.
Dalam ketentuan menimbang, Mahkamah Konstitusi
berkesimpulan bahwa ASEAN Charter tidak serta merta berlaku dengan
adanya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan
57
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 153. 58
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 197
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
49
Piagam ASEAN, karena dibutuhkan peraturan lebih lanjut. Hal ini
menunjukkan ciri-ciri bahwa undang-undang hasil pengesahan ratifikasi
perjanjian internasional bersifat abstrak dan maka dari itu dapat disebut
sebagai úndang-undang dalam arti materiil.
Ketentuan menimbang selanjutnya menyatakan bahwa pengesahan
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia terhadap piagam
ASEAN adalah kebijakan makro yang dapat diakhiri jika bertentangan
dengan kepentingan nasional (Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000). Hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 27 Konvensi
Wina 1969 yang menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh menarik diri
dengan alasan bertentangan dengan kepentingan nasional. Tindakan ini
tentunya tidak dibenarkan, karena hal ini menjadi bentuk inkonsistensi
Indonesia terhadap pengesahan perjanjian internasional meskipun belum
ada instrumen lebih lanjut. Serta hal ini akan berakibat lebih lanjut
terhadap kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.
Terdapat 2 pedapat berbeda (dissenting oppinion) dalam putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut yang disampaikan oleh Hakim Maria
Farida dan Hakim Hamdan Zoelfa. Dalam dissenting opinionnya, Hamdan
Zoleva mengungkapkan perbedaan antara UU pada umumnya dengan
undang-undang ratifikasi perjanjian internasional yaitu bahwa jika UU
pada umumnya dibahas mulai dari norma RUU tersebut dari pasal per
pasal. Jika uu hasil ratifikasi materi perjanjian internasionalnya dibahas
dengan negara lain. Perbedaan yang kedua adalah kekuatan mengikatnya,
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
50
jika uu pada umumnya langsung berlaku bagi setiap orang yang ada di
Indonesia, sedangkan perjanjian internasional mengikat negara yag
membuat atau negara pihak perjanjian internasional. Materi dalam
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tidak dapat diubah tanpa meminta
persetujuan negara lain. Perbedaan yang ketiga adalah mengenai
pemberlakuan, UU pada umumnya maka normanya langsung berlaku dan
mengikat bagi warga negara Indonesia semenjak diundangkan, sedangkan
perjanjian internasional membutuhkan peraturan nasional lebih lanjut yang
memuat norma untuk melaksanakannya di lingkup nasional.
Dalam dissenting opinion yang diungkapkan oleh Maria Farida
adalah mengenai pengaturan pengesahan perjanjian internasional yang
dibedakan dengan pengaturan pembuatan undang-undang pada umumnya.
Pengatura batang tubuh Undang-Undang pada umumnya (termasuk
peraturan perundang-undangan lainnya) memiliki 98 pedoman karena
substansi pada batang tubuh memiliki banyak norma. Beda halya dengan
dengan undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang hanya
memiliki 2 pedoman karena hanya terdiri dari 2 pasal saja. kekuatan
mengikat antara undang-undang dan undang-undang pengesahan
perjanjian internasional memiliki perbedaan. Jika undang-undang dapat
langsung mengikat semenjak diundangkannya undang-undang tersebut,
sedangkan untuk undang-undang pengesahan perjanjian internasional
hanya mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian internasional
tersebut berdasarkan asas pacta sunt servanda.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
51
Terdapat alasan bahwa mulai dari penyusunan undang-undang
perjanjian internasional, kekuatan dan pemberlakuannya memiliki
perbedaan yang signifikan. Maka dari itu seharusnya Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang dalam menguji undang-undang pengesahan
perjanjian internasional karena bentuk undang-undang untuk mengesahkan
perjanjian internasional hanyalah sebagai wadah namun materi nya
tidaklah sama dengan undang-undang pada umumnya.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI