BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/53882/2/BAB II.pdf · Tanaman sarang semut berasal dari...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/53882/2/BAB II.pdf · Tanaman sarang semut berasal dari...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia sp )
Tanaman sarang semut berasal dari pulau Papua, Sumatera dan Kalimantan juga
terdapat pada beberapa negara besar yaitu Filipina,Kamboja,Malaysia. Sarang semut
adalah tanaman empifit dengan tumbuhan lain dan umbinya bermanfaat sebagai obat
herbal yang sudah terbukti khasiatnya. Dikawasan Asia Tenggara dan Pasifik terdapat
26 spesies sarang semut genus Myrmecodia dan di Papua terdapat sarang semut
terbanyak. Habitat tanaman ini sendiri bisa dari dataran rendah hingga dataran tinggi
2.400 meter dpl.
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi ilmiah dariJtumbuhan sarang semut adalah sebagai berikut (Subroto
& Hendro , 2008):
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Lamiidae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Myrmecodia
Spesies :Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry
Nama lokal : Sarang semut
Gambar 2. 1. Sarang semut (Myrmecodia peudans)(Bambang, 2012)
8
2.1.2 Nama daerah
Di Indonesia, tanaman ini mempunyai nama yang beraneka ragam. Di Papua
tanaman sarang semut sendiri memiliki nama yang disebut nongon. Sedangkan di
Jawa dikenal dengan urek-urek polo. Dan di daerah Sumatera tanaman ini sendiri
memiliki nama kepala beruk dan rumah semut (Yati, 2016). Tumbuhan sarang
semut di Provinsi Bengkulu disebut dengan nama Simbagh utak (Ernis 2013).
Tumbuhan sarang semut dikenal dengan nama bervariasi pada berbagai daerah.
Tumbuhan ini dikenal sebagai Periok hantu, Peruntak, dan Sembuku di Malaysia;
By ki nan, Ki nam gai, dan Ki nam kin di Vietnam. Sementara di Papua dikenal
sebagai Nongon, Lokon, dan Suhendep; di Kalimantan dikenal sebagai Angkis; di
Jawa dikenal sebagai Urek-urek dan Ulek-ulek polo; di Sumatera dikenal sebagai
Kepala beruk dan Rumah semut (Soekmanto, et al., 2010). Adapun di Bengkulu
tumbuhan sarang semut dikenal dengan nama Simbagh utak. Simbagh berarti
tumbuhan yang menempel pada pohon (epifit) dan utak berarti otak. Simbagh utak
banyak ditemukan di kawasan Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu
(Ernis 2013).
2.1.3 Morfologi
Untuk mengenal tumbuhan sarang semut secara morfologi adalah sebagai
berikut:
a. Umbi
Umbi pada tanaman sarang semut umumnya berbentuk bulat sat muda,
kemudian menjadi lonjong memendek atau memanjang setelah tua. Umbinya
hamper selalu berduri. Umbinya memiliki suatu system jaringan lubang-lubang
yang berbentuk serta interkoneksi dari lubang-lubang yang tersebut sangat khas
sehingga digunakan untuk mengembangkan system klasifikasi genus ini.
b. Batang
Tumbuhan sarang semut biasanya hanya memiliki satu atau beberapa cabang.
Batangnya jarang ada yang bercabang. Bahkan, pada beberapa spesies tidak
bercabang sama sekali. Batangnya tebal dan internodalnya sangat dekat, kecuali
pada pangkal sarang semut dari beberapa spesies.
9
c. Daun
Daun sarang semut tebal seperti kulit. Pada beberapa spesies memiliki daun
yang sempit dan panjang. Stipula (penumpu) besar, persisten, terbelah dan
berlawanan dengan tangkai daun (petiol) serta membentuk “telinga” pada klipeoli.
Kadang-kadang terus berkembang menjadi sayap disekitar bagian atas klipeolus.
d. Bunga
Pembungaan dimulai sejak terbentuknya beberapa ruas (intermodal) pada tiap
buku, bungan berwarna putih. Sarang semut adalah jenis tanaman yang bisa
melakukan penyerbykan sendiri (Yati, 2016).
2.1.4 Penyebaran
Penyebaran tumbuhanJsarangJsemut banyak dijumpai diJbeberapa wilayah
Indonesia seperti Kalimantan, Sumatra, Kepulauan Solomon dan Papua dan
beberapa belahanJdunia seperti Papua,Nugini, Filipina, Kamboja, Malaysia, Cape
York.JTumbuhan sarang semut (Myrmecodia.sp) merupakanJanggota keluarga
Rubiaceae dengan 5 genus (Subroto dan Saputro, 2008). Dikalimantan sendiri
sarang semut banyak terdapat dihutan perbatasan Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah.
Secara tradisi, sarang semut digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat
pedalaman di bagian barat Wamena, Papua. Suku-suku di Bogondini dan Tolikara
lazim memanfaatkannya untuk mengatasi rematik dan asam urat. Di Kalimantan
Selatan sarang semut ini banyak terdapat di hutan perbatasan antara Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah.
2.1.5 Kandungan Fitokimia
Tabel II. 1Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Umbi dua Spesies Myrmecodia Asal
Papua (Murtiningrumet al.,2018).
Komponen Spesies saarang semut
M. tuberose M. pendens
Kadar air (%bb) 92,24 ± 0,28 a 92,98 ± 1,74 a
Kadar abu (%bk) 16,86 ± 1,95 a 16,86 ± 4,19 a
Kadar lemak (%bk) 9,04 ± 0,14 a 3,67 ± 0,77 b
10
Kadar protein (%bk) 7,35 ± 0,58 a 5,66 ± 1,27 a
Komponen Spesies saarang semut
M. tuberose M. pendens
Karbohidrat (%bk) 66,72 ± 2,34 a 73,80 ± 6,23 a
Kalsium (%bk) 0,33 ± 0,00 a 220,43 ± 40,06 b
Magnesium (%bk) 0,36 ± 0,00 a 129,58 ± 33,53 b
Fosfor (%bk) 0,31 ± 0,05 a 0,49 ± 0,12 a
Total fenol (ppm) 463 ± 41 a 3.329 ± 789 b
*Ket : huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,05)
Total fenolik adalah komponen fenolik yang merupakan metabolit sekunder
yang paling tersebar luas dalam tanaman dan terdisi dari ribuan komponen. Fenolik
dalam tanaman khususnya berperan untuk melindungi mereka dari stress radikal
bebas pada kondisi fotosintetik dan cahaya ultraviolet, dan beraksi untuk melawan
herbifora dan pathogen. Ditambahka pula bahwa komponen fenolik juga sangat
berperan dalam pembentukan warna dan rasa pada bahan pangan dan berpotensi
sebagai antioksidan (Gazzani et al., 1998; Shahidi, 2002; Ismail et al., 2004). Jenis
senyawa fenol yang terdapat dalam sarang semut adalah flavonoid, tokoferol, dan
tannin (Adijaya et al., 2006).
Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendans) mengandung senyawa-
senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tannin yang diketahui mampu
menyembuhkan berbagai macam penyakit. Flavonoid berperan sebagai antibiotik,
antivirus untuk virus HIV dan herpes (Wimpy et al.,2014).
Menurut Mardany et al., (2016) skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia
dan ekstrak etanol tumbuhan sarang semut mengandung senyawa aktif golongan
flavonoid, tanin dan saponin. Menurut penelitian Wimpy dan Suharyanto tahun
(2014) Tumbuhan Sarang semut mengandung saponin, flavonoid, dan tannin
2.1.6 Manfaat Tanaman Sarang Semut Sebagai Herbal Medicine
11
Secara tradisi, sarang semut digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat
pedalaman di bagian barat Wamena, Papua. Suku-suku di Bogondini dan Tolikara
lazim memanfaatkannya untuk mengatasi rematik dan asam urat.
Masyarakat di Provinsi Bengkulu memanfaatkan tumbuhan sarang semut
untuk mengobati beragam penyakit seperti sakit kepala, pegal, nyeri sendi, sakit
pinggang, darah tinggi, keputihan, diabetes, rematik, tumor, hepatitis, penyakit
kuning, kanker rahim, dan kanker payudara. Namun berdasarkan laporan hasil
penelitian sebelumnya, tumbuhan sarang semut juga dapat mengobati penyakit
jantung, gangguan paru-paru, ambeien, melancarkan dan meningkatkan produksi
air susu ibu, nyeri punggung, alergi (bersin-bersin), dan gairah seksual (Subroto &
Saputro 2006).
2.1.7 Mekanisme Tanaman Sarang Semut Sebagai Antibakteri
Sarang semut (Myrmecodia pendens) merupakan tumbuhan epifit yang
banyak berada di dataran tinggi Papua. Sarang semut merupakan tanaman obat yang
memiliki kandungan seperti flavonoid, tanin, tokoferol (vit.E) dan beberapa mineral
(Subroto, 2008). Senyawa tanin sendiri memiliki efek antidiare yang berkerja
sebagai pembeku protein / astrigen yaitu zat yang berikatan pada mukosa, kulit atau
jaringan yang berfungsi membekukan protein, sehingga membran mukosa menjadi
kering dan membentuk pembatas (thight junction) yang bersifat resisten terhadap
inflamasi dari mikroorganisme, selain itu tanin dapat menghambat sekresi dari
klorida melalui ikatan antara protein tannate yang berada di usus dengan tanin.
Selain senyawa tanin, senyawa flavonoid juga memiliki efek sebagai antidiare
dengan cara memblok reseptor Cl di intestinal sehingga mengurangi sekresi Cl ke
lumen usus sehingga mengurangi sekresi cairan ke lumen usus (Clinton, 2009 dan
Ahmadu, 2007). Senyawa flavonoid juga dapat menghambat proses inisiasi dari
inflamasi seperti menghambat pelepasan histamine dan mediator inflamasi yang
dapat meningkatkan peristaltik usus, selain itu flavonoid dapat menghambat
peristaltik usus yang diinduksi oleh spasmogen (Ahmadu, 2007).
12
2.2 Disentri
2.2.1 Definisi Disentri
Disentri basiler atau Shigellosis merupakan penyakit karena infeksi usus yang
diakibatkan oleh beberapa jenis basil gram negatif dari genus Shigella. Masa
inkubasi bakteri Shigellae dysenteriae ini berkisar antara 1 – 7 hari. Gejalanya
berupa demam sampai 390 – 400 C, nyeri pada perut, tenesmus serta diare beserta
lender dan darah (Tjay, 2013). Faktor – faktor yang berhubungan dengan risiko
epidemic Shigella seperti sanitasi dan kebersihan personal yang buruk, tidak
tersedianya air bersih, malnutrisi, dan peningkatan populasi penduduk (Sukandar,
2013).
Diare mungkin terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
setidaknya ada dua mekanisme, yaitu terjadi peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbs di usus. Infeksi bakteri dapat menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
bersifat invasif dapat mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses
(Amin, 2015).
Shigelosis atau disentri basiler adalah suatu reaksi peradangan akut saluran
pencernaan yang disebabkan oleh bakteri yang tergolong genus shigella. Penyakit
ini berbeda dari disentri yang disebabkan oleh amoeba dan oleh virus (Sari, 2006).
Disentri merupakan salah satu penyakit diare akut dengan kondisi kronis meliputi
diare, nyeri perut, demam, mual dan muntah. Tinja yang melewati usus besar
berjalan dengan cepat karena bakteri telah menembus usus besar (Munfaati et al.,
2015). Salah satu penyebab disentri adalah Shigella dysenteriae atau disebut
penyakit disentri basiler, yaitu suatu infeksi peradangan akut saluran pencernaan
dengan kondisi kronis yang dapat berakibat fatal pada penderita jika tidak ditangani
dengan benar (Arthasari., 2015)
Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentriae, Shigella
flexneri, Salmonella sp. dan Escherichia coli. Perbandingan persentase anggota
genus Shigella yang menjadi penyebab disentri yaitu S. flexneri 70,6 %, S. sonnei
17,6 %, S. Boydii 5,9 %, dan S. dysenteriae 5,9 %. Anggota genus Shigella yang
memiliki persentase tertinggi sebagai penyebab disentri adalah Shigella flexneri.
(Ainurrochmah et al.,2013).
13
2.2.2 Epidemiologi
Setiap tahun penyakit disentri menjadi salah satu penyebab kematian satu juta
orang di negara berkembang terutama terjadi pada anak-anak (Thompson, 2012).
Hasil survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000-2010 menyatakan bahwa insidensi diare cenderung terjadi
peningkatan. Pada tahun 2000 insidensi diare 301 /1000 penduduk, tahun 2003 naik
menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 meningkat menjadi 423/1000 penduduk
dan pada tahun 2010 terjadi penurunan menjadi 411/1000 penduduk yang (Hardi,
2013). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2009 di Indonesia diare
merupakan penyebab kematian kedua pada balita setelah penyakit ISPA (Infeksi
Saluran Pernapasan Atas).
Penularan penyakit ini umumnya disebabkan karena person-to-person
infection. Selain itu juga dapat terjadi melalui makanan atau minuman yang telah
terkontaminasi oleh bakteri Shigella sp., menggunakann air yang terkontaminasi,
dan kurangnya higienitas (Shigellosis Investigation Guidelines, 2012). Terkait
dengan higienitas, disentri basiler banyak terdapat pada Negara berkembang
dengan kebersihan lingkungan yang kurang dan penghuni padat. Disentri basiler
mudah sekali menyebar pada kondisi lingkungan yang tidak bersih (Tjokkoprawiro,
2007).Di Amerika, penyebab disentri basiler yang paling banyak dijumpai adalah
Shigella dysenteriaeyaitu sebesar 0,3% dari jumlah keseluruhan kasus disentri
basiler (CDC,2012)
2.2.3 Etiologi Disentri
Berdasarkan etiologi, penyakit disentri dapat disebabkan oleh mikroorganisme
seperti bakteri, virus dan protozoa. Mikroorganisme penyebab diare pada anak yang
paling banyak ditemukan di negara berkembang antara lain Escherichia coli
enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni, dan Cryptosporidium (Juffrie
et.al., 2010). Disentri umumnya disebabkan oleh Shigella dysentriae, Shigella
flexneri, Salmonella sp. dan Escherichia coli. Perbandingan persentase anggota
genus Shigella yang dapat menjadi penyebab disentri yaitu S. flexneri 70,6 %, S.
sonnei 17,6 %, S. Boydii 5,9 %, dan S. dysenteriae 5,9 %. Anggota genus Shigella
diatas yang memiliki persentase tertinggi sebagai penyebab disentri adalah Shigella
flexneri (Ainurrochmah et al.,2013).
14
2.2.4 Patogenesis dan Faktor Infeksi
Infeksi Shigella menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-
negara berkembang dimana tingkat sanitasi yang buruk. Penularan penyakit ini
umumnya disebabkan karena person-to-person infection. Selain itu juga dapat
terjadi melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh bakteri
Shigella sp., menggunakan air yang terkontaminasi, dan kurangnya higienitas
(Shigellosis Investigation Guidelines, 2012). Manusia adalah penerima alami untuk
terinfeksi, meskipun primata lain juga dapat terinfeksi. Shigellosis dapat menyebar
dengan cara transmisi secara facel-oral. Cara penularan lain meliputi konsumsi
makanan yang sudah terkontaminasi dengan bakteri Shigella dysentriae, air (kolam
dan/atau air mancur yang tidak terawat), dan kontak seksual. Vektor lain seperti
lalat juga dapat menyebarkan penyakit dengan cara mengangkut feses yang
terinfkesi kemudian terjadi kontak secara fisik (Sureshbabu, 2018).
Shigella dysenteriae memproduksi eksotoksin yang dapat mempengaruhi
saluran pencernaan dan susunan saraf pusat. Eksotoksin merupakan protein yang
bersifat antigenik yaitu merangsang produksi antitoksin sehingga dapat mematikan
penderita. Aktivitas yang bersifat toksik ini menyebabkan diare awal yang encer,
kemudian mengakibatkan disentri lebih lanjut dengan tinja yang disertai darah dan
nanah (Jawetz et al., 1996). Bakteri ini juga cukup tahan terhadap suasana asam
pada lambung sehingga dapat masuk ke dalam usus. Di dalam usus, bakteri
berkembang biak dan menyebar dalam lapisan sub mukosa. Bakteri ini dapat
berpenetrasi ke mukosa karena bakteri ini secara genetic memiliki “invasion
plasmids” sehingga menyebabkan kematian sel usus, ulserasi fokal, pengelupasan
sel-sel mukosa, lendir disertai darah dalam lumen usus, dan adanya akumulasi sel-
sel inflamasi pada lapisan sub mukosa.
Sedikitnya 10 Shigella dysenteriae basil dapat menyebabkan penyakit
klinis, sedangkan 100-200 basil yang diperlukan untuk Shigella sonnei atau
infeksi Shigella flexneri. Virulen Shigella dapat menahan pH rendah asam
lambung. Sebagian besar isola Shigella dapat bertahan hidup pada pH 2,5 selama 2
jam. Masa inkubasi bervariasi dari 12 jam sampai 7 hari, tapi biasanya 2-4 hari,
masa inkubasi berbanding terbalik dengan beban dari bakteri. Penyakit ini
menular selama orang yang terinfeksi mengeluarkan organisme tersebut dalam
15
feses. Pengeluaran bakteri biasanya berhenti dalam jangka waktu 4 minggu sejak
penyakit itu timbul, jarang dapat bertahan selama berbulan-bulan (Sureshbabu,
2018).
2.2.5 Pengobatan Disentri
Pada infeksi ringan umumnya dapat sembuh sendiri, penyakit akan sembuh
pada 4-7 hari. Minum lebih banyak cairan untuk menghindarkan kehabisan cairan,
jika pasien sudah pada tahap dehidrasi maka dapat diatasi dengan rehidrasi oral.
Pada pasien dengan diare berat disertai dehidrasi dan pasien yang muntah
berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral maka harus dilakukan
rehidrasi intravena. Umumnya pada anak kecil terutama bayi lebih rentan kehabisan
cairan jika diare. Untuk infeksi berat Shigella dapat diobati dengan menggunakan
antibiotika termasuk ofloksasin, norfloksasin dan siprofloksasin (Dipiro et.al.,
2008).
Pada infeksi ringan umumnya dapat sembuh sendiri, penyakit akan sembuh
dengan kisaran 4-7 hari. Untuk swamedikasi bisa meminum air lebih banyak untuk
menghindarkan kehabisan cairan atau dehidrasi, jika pasien sudah pada tahap
dehidrasi maka dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat
disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat
dilakukan rehidrasi oral maka harus dilakukan rehidrasi secara intravena.
Umumnya pada anak kecil terutama bayi lebih rentan kehabisan cairan atau
dehidrasi jika terkena diare. Untuk infeksi berat, bakteri Shigella dapat diobati
dengan antibiotika termasuk ofloksasin, norfloksasin dan siprofloksasin (Dipiro
et.al., 2008).
Faktanya, salah satu masalah utama dalam perawatan infeksi Shigella
adalah karena kondisi kesehatan masyarakatnya dengan cara mengurangi tingkat
penularan melalui pengurangan durasi pengangkutan feses (dari sekitar 4 minggu
sampai hanya 3 hari) dengan perawatan yang efektif. Pada pedoman 2005
merekomendasikan ciprofloxacin sebagai pengobatan lini pertama dan mencatat
bahwa pivmecillinam (amdinocillin pivoxil) dan Ceftriaxone adalah satu-satunya
antimikroba yang efektif untuk pengobatan galur multi-resisten Shigella pada
semua kelompok umur, namun penggunaannya dibatasi oleh biaya tinggi dan
16
formulasi (dosis empat kali sehari untuk Pivmecillinam, dan pemberian parenteral
untuk Ceftriaxone). Pivmecillinam dan ceftriaxone hanya digunakan untuk
penggunaan ketika strain lokal Shigella diketahui resisten terhadap Ciprofloxacin.
Azitromisin dimasukkan sebagai terapi lini kedua untuk pasien dewasa, antibiotik
ini (kemungkinan besar) tidak direkomendasikan untuk anak-anak, karena bukti
yang terbatas yang berhubungan dengan kemanjurannya (Berkley, 2016).
Tabel II. 2 2005 WHO Guidelines: Antimicrobials for treatment of Shigellosis
Antibiotik Jadwal pengobatan
untuk anak-anak
Keterbatasan
1st Line:
Ciprofloxacin
15 mg/kg secara oral
2 kali sehari untuk 3
hari
- Mahal
- Kemungkinan resisten
- Interaksi obat
2nd Line:
Pivmecillinam
20 mg/kg secara oral
4 kali sehari untuk 5
hari
- Biaya
- Tidak ada formula untuk
pediatric
- Dosis 4 kali sehari
- Kemungkinan resisten
OR*:
Ceftriaxone
50 – 100 mg/kg
secara injeksi
intramuscular untuk 2
sampai 5 hari
- Memerlukan administrasi
parenteral
- Menyebabkan resistensi
antimikroba
OR*: (for Adult)
Azithromycin
6 – 20 mg/kg secara
oral
1 kali sehari untuk 1
sampai 5 hari
- Biaya
- Interaksi obat
- Resisten muncul dengan cepat,
menyebar kebakteri lain
*Ceftriaxone hanya digunakan sebagai terapi alternatif untuk digunakan ketika
strain lokal Shigella diketahui resisten terhadap ciprofloxacin
Pedoman 2005 lebih lanjut mencantumkan antibiotik yang tidak digunakan dalam
pengobatan Shigellosis (Tabel 1.2).
Tabel II. 3 Antimicrobials highlighted as inappropriate for treatment of
Shigellosis in the 2005 WHO Guidelines.
Antibiotik Alasan tidak diresepkan
Ampicillin Resisten antibiotic
17
Antibiotik Alasan tidak diresepkan
Kloramfenikol Resisten antibiotic
Co-trimoxazole Resisten antibiotic
Tetracyclines Resisten antibiotic
Nalidixic acid Resisten antibiotik; in vitro cross-
resisten terhadap pengamatan
ciprofloxasin
Nitrofurans(nitrofurantoin,furazolidone) Menembus mukosa usus dengan
buruk
Oral aminoglycosides (gentamicin,
kanamycin)
Menembus mukosa usus dengan
buruk
1st dan 2nd generasi sepalosforin
(cefazolin,cephalotin,cefaclor,cefoxitin)
Menembus mukosa usus dengan
buruk
Amoxicillin Menembus mukosa usus dengan
buruk
Sedangkan menurut buku saku dari WHO 2013 tentang perawatan di rumah
sakit untuk anak-anak (edisi kedua) mencakup bagian tentang perawatan disentri
Shigella. Protokol pengobatan bersamaan dengan pedoman 2005 yang diuraikan di
atas, dengan perubahan kisaran dosis yang sedikit lebih rendah untuk ceftriaxone
(50-80mg / kg dalam pedoman 2013, dibandingkan dengan pedoman 2005 50-
100mg / kg) (Berkley, 2016).
2.3 Tinjauan Shigella dysenteriae
2.3.1 Morfologi dan Sifat
Shigella sp adalah kuman berbentuk batang dengan pengcatan Gram bersifat
Gram negatif, tumbuh baik pada suasana aerob dan fakulatif anaerob, tidak dapat
bergerak, kuman ini pantogen pada pencernaan. Termasuk dalam (family)
Enterobacteria genus Shigella (Brooks et.al., 2011)yang pada umumnyaJdapat
menyebabkan sakit perut.
18
Habitat asli Shigella terbatas pada saluran cerna manusia dan primta lain,
tampat organism ini menimbulkan disenteri basilar. Bersifat fakultatif anaerob
tetapi tumbuh paling baik secara aerob koloni berbentuk konveks,bulat,transparan
dengan tepi utuh dan mecapai diameter sekitar 2 mm dalam 24 jam (Jawetz et.al.,
2005)
Shigella sp dibagi menjadi 4 spesies yaitu Shigella dysentrial, Shigella
flexneri, Shigella boydii dan Shigella sonnei (Jawetz et.al., 2005). Shigella
merupakan kuman kecil berbentuk batang dengan pengecatan gram bersifat negatif
ramping dengan ukuran 0,5-0,7 μm × 2-3 μm, tidak mempunyai Flagel sehingga
tidak dapat bergerak dan tidak dapat berspora. Pertumbuhannya pada suhu 37°C
pada Mac Conkey, SSA, EMBA dan Endo. Terlihat koloni kecil dan transparan
yang tidak dapat meragikan laktosa kecuali pada Shigella sonnei bersifat laktosa
formenter lambat. (Brooks et.al., 2011).
Shigella sp mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak
tumpang tindih dalam sifat serologi berbagai spesies dan sebagian besar bakteri ini
mempunyai antigen O yang dimiliki oleh bakteri enteric lainnya. Antigen somatic
O dari Shigella sp adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya tergantung
pada polisakarida dan terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella sp
didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigeniknya (Jawetz et.al., 2005). Semua
spesies dari bakteri Shigella sp menyebabkan diare berdarah yang akut dengan
menyerang dan menyebabkan kehancuran dari colonic epitelum.
Gambar 2. 2. Bakteri Shigella dysenteriae (Anonim, diakses Maret 2019)
2.3.2 Patogenesis
Shigella dysenteriae adalah bakteri kelompok gram negatif dan bersifat
fakultatif anaerobik yang dapat hidup dalam usus manusia dan termasuk flora
19
normal. Bakteri ini dapat menyebabkan shigellosis pada manusia. Shigellosis
disebut juga disentri basiler. Kombinasi diare yang disebabkan oleh Shigella
dysenteriae yaitu tinja teksturnya lembek dan berdarah, diare teksturnya cair dan
kombinasi tekstur lembek berdarah dan cair (Shrotriya, 2015).
Pada awalnya Bakteri ini masuk dan berada di usus halus, menuju terminal
ileum dan kolon, melekat pada permukaan mukosa dan menembus pada lapisan
epitel kemudian berkembang biak di dalam lapisan mukosa. Berikutnya adalah
terjadinya reaksi peradangan hebat yang menyebabkanterlepasnya sel-sel dan
timbulnya tukak pada permukaan mukosa usus (WHO, 2016).
Shigella dysenteriae mampu memproduksi endotoksin dan eksotoksin.
Endotoksin berperan menimbulkan iritasi pada dinding usus, sedangkan eksotoksin
akan merangsang produksi suatu antitoksin sehingga banyak mematikan pasien
(WHO, 2016). Toksin (shigatoksin) dapat dihasilkan oleh golongan dari Shigella
sp. didalam jejunum bakteri melakukan multipikasi tanpa invasi di dalam jejunum.
Toksin ini menyebabkan kondisi awal ditandai dengan tekstur diare menjadi cair
(WHO, 2016). Selanjutnya menyerang usus besar sehingga gejalanya nampak
semakin parah.
2.3.3 Struktur Antigen
Shigela mempunyai struktur antigen yang komplek. Terdapat banyak
tumpang tindih pada sifat serologic berbagai spesies, dan sebagian besar organism
memiliki antigen O yang sama dengan hasil enteric lain. Antigen O somatic shigella
adalah lipopolisakarida. Spesifisitas serologiknya bergantung pada polisakarida.
Ada lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi shigella berdasarkan pada karakteristik
biokimiawinya dan antigennya. Spesies yang pathogen diperlihatkan pada table.
Tabel II. 4 Klasifikasi shigella berdasarkan karakteristik biokimiawinya dan
antigennya(Jawetz et.al., 2005).
Identifikasi saat ini Grup dan Tipe Manitol Ornitin Dekarboksilase
S dysenteriae A - -
S flexneri B + -
S boydii C + -
S sonnei D + +
20
2.4 Mencit
Mencit (Mus musculus) adalah salah satu anggota kelompok kerajaan hewan
animalia. Hewan ini ditandai dengan ciri sebagai berikut: jinak, takut cahaya, aktif
pada malam hari, mudah berkembangbiak, siklus hidup yang pendek, dan tergolong
poliestrus (Fransius, 2008). Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang paling
umum digunakan pada penelitian laboratorium sebagai hewan percobaan, yaitu
sekitar 40-80% (Aditya, 2006). Mencit memiliki banyak keunggulan sebagai hewan
percobaan (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), yaitu siklus hidup yang
relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan
mudah dalam penanganannya (Fransius, 2008).
Mencit termasuk dalam genus Mus, sub family murinae, family muridae,
order rodentia. Mencit yang sudah dipelihara dilaboratorium sebenarnya masih satu
family dengan mencit liar. Sedangkan mencit yang paling sering dipakai untuk
penelitian biomedis adalah Mus musculus. Berbeda dengan hewan-hewan lainnya,
mencit tidak memiliki kelenjar keringat. Pada umur empat minggu berat badannya
mencapai 18-20 gram. Jantung terdiri dari empat ruang dengan dinding atrium yang
tipis dan dinding vertikel yang lebih tebal. Hewan ini memiliki karakter lebih aktif
pada malam hari daripada siang hari. Diantara spesies-spesies hewan lainnya,
mencit yang paling banyak digunakan untuk tujuan penelitian medis (60-80%)
karena mudah dan murah berkembang biak (Kusumawati,2004).
Gambar 2. 3. Mencit (Mus musculus) (Akbar, 2010)
Menurut Priyambodo (2003) klasifikasi mencit sebagai berikut :
21
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Species : Mus musculus L.
Mus musculus liar atau Mus musculus rumah adalah hewan satu spesies
dengan Mus musculus laboratorium. Semua galur Mus musculus laboratorium
sekarang ini merupakan keturunan dari Mus musculus liar sesudah melalui
peternakan selektif (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Lama hidup mencit satu
sampai tiga tahun, dengan masa kebuntingan yang pendek (18-21 hari) dan masa
aktifitas reproduksi yang lama (2-14 bulan) sepanjang hidupnya. Mencit mecapai
dewasa pada umur 35 hari dan dikawinkan pada umur delapan minggu (jantan dan
betina). Siklus reproduksi mencit bersifat poliestrus dimana siklus estrus (berahi)
berlangsung sampai lima hari dan lamanya estrus 12-14 jam. Mencit jantan dewasa
memiliki berat 20- 40 gram sedangkan mencit betina dewasa 18-35 gram. Hewan
ini dapat hidup pada temperatur 30C (Smith & Mangkoewidjojo, 1988).
2.5 Tinjauan Simplisia
2.5.1 Cara Pembuatan Simplsia
Menurut Depkes (1985), pada umumnya pembuatan simplisia melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Pengumpulan bahan baku
Kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor, seperti :
umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, bagian tumbuhan, waktu
panen dan lingkungan tempat tumbuh.
b. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan asing
lainnya setelah dilakukan pencucian dan perajangan.
22
c. Pencucian
Dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat
pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih.
d. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia tertentu ada yang memerlukan
proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk
mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan.
e. Pengeringan
Mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan
dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan
reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
f. Sortasi kering
Tujuannya untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagianbagian
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering.
g. Pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu
2.5.2 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya
Proses awal dalam pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan
peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat
mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut: 1. Makin
halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien, namun makin halus
serbuk, maka makin rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi. 2.
Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi
dengan benda keras (logam dll). Maka akan timbul panas (kalori) yang dapat
berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat dikompensasi dengan
penggunaan nitrogen cair (Ditjen POM, 2000).
23
2.6 Tinjauan Tentang Ekstraksi
2.6.1 Pengertian Ekstrak
Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen yang terpisah (Winarno et.al., 1973). Ekstrak adalah sediaan
kental yang diprose dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper
semua pelarut dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Soesilo,1995)
Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Ditjen POM, 2000).
2.6.2 Metode Ekstraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara: (Ditjen POM, 2000) Pembagian
metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu :
2.6.2.1 Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan
kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat didesak
keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air,
etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti dilakukan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan
seterusnya. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan cara penyarian dengan
maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana yang
mudah diusahakan.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan
penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses perkolasi terdiri dari
24
tahapan pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat).
2.6.2.2 Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur tititk didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang pada umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan dan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan
pada temperatur 40-500 C.
d. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik
didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000 C.
2.7 Tinjauan Tentang Pelarut (Etanol)
Pemilihanpelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan
kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat aktif dan
semaksimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 1989). Pelarut
organik berdasarkan konstanta dielektrikum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pelarut polar dan pelarut non-polar. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya
maka pelarut semakin bersifat polar (Sudarmadji et.al., 1989).
Pelarut organik yang umum digunakan untuk memproduksi konsentrat,
ekstrak, absolut atau minyak atsiri dari bunga, daun, biji, akar, dan bagian lain dari
25
tanaman adalah setil asetat, n-heksan, petroleum eter, benzene, toluene, etanol,
isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay, 2002).
2.7.1 Etanol
Widayatnim (2015) etanol banyak digunakan sebagai pelarut, germisida,
minuman bahan anti beku, bahan bakar, dan senyawa untuk sintesis senyawa-
senyawa organik lainnya. Etanol sebagai pelarut banyak digunakan dalam industri
farmasi, kosmetika, dan resin maupun laboratorium. Pelarut ethanol merupakan
pelarut semipolar yang memiliki sifat yang dapat melarutkan seluruh senyawa aktif
yang terkandung dalam simplisia, baik senyawa aktif yang bersifat polar, semi
polar, dan non polar (Tiwari et al, 2011). Etanol sering digunakan sebagi pelarut
dalam laboratorium karena mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat
inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lainnya. Etanol memiliki titik didih
yang rendah sehingga memudahkan pemisahan minyak dari pelarutnya dalam
proses distilasi.