BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

12
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar- debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid (Amin huda, 2016). Struma didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid. Struma dapat meluas keruang retro sternal, dengan atau tanpa pembesaran substansial. Karena hubungan anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring, saraf laring, superior dan inferior, dan esophagus, pertumbuhan abnormal dapat menyebabkan berbagai sindrom komperhensif (Tampatty, 2019). 2.1.2 Etiologi Struma disebabkan oleh gangguan sintesis hormone tiroid yang menginduksi mekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga akibatnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia selfolikel tiroid dan pada akhirnya menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik, defisiensi iodin penyakit otoimun dan penyakit nodular juga dapat menyebabkan struma walaupun dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk goitrous tiroiditis hashimoto terjadi karena defek yang didapat pada hormone sintesis, yang mengarah ke peningkatan kadar TSH dan konsuekensinya efek pertumbuhan (Tampatty, 2019) Menurut Manjoer (2002) Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain: a. Defisiensi yodium b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struma

2.1.1 Definisi

Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh

penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid

dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar-

debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan

menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid (Amin huda,

2016). Struma didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid. Struma

dapat meluas keruang retro sternal, dengan atau tanpa pembesaran

substansial. Karena hubungan anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring,

saraf laring, superior dan inferior, dan esophagus, pertumbuhan abnormal

dapat menyebabkan berbagai sindrom komperhensif (Tampatty, 2019).

2.1.2 Etiologi

Struma disebabkan oleh gangguan sintesis hormone tiroid yang

menginduksi mekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga

akibatnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia selfolikel tiroid dan pada

akhirnya menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik,

defisiensi iodin penyakit otoimun dan penyakit nodular juga dapat

menyebabkan struma walaupun dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk

goitrous tiroiditis hashimoto terjadi karena defek yang didapat pada

hormone sintesis, yang mengarah ke peningkatan kadar TSH dan

konsuekensinya efek pertumbuhan (Tampatty, 2019)

Menurut Manjoer (2002) Adanya gangguan fungsional dalam

pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran

kelenjar tiroid antara lain:

a. Defisiensi yodium

b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa

hormon tiroid

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

5

c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia seperti substansi

dalam kol, lobak, kacang kedelai

d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan misalnya:

thiocarbamide, sulfonylurea dan litium

Penyebab kelainan ini bermacam-macam, pada setiap orang dapat

dijumpai masa karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama

masa pubertas, pertumbuhan, menstruasi, kehamilan, laktasi, monopouse,

infeksi atau stres lain. Pada masa-masa tersebut dapat dijumpai hiperplasi

dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas

kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan

berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia

(Amin huda, 2016).

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi dan karakteristik struma nodusa antara lain:

a. Berdasarkan secara fisiologik

1) Eutiroid

Keadaan dimana fungsi kelenjar tiroid berfungsi secara normal,

meskipun pemeriksaan kelenjar tiroid menunjukkan kelainan, gejala

yang terjadi jika seseorang sakit, mengalami kekurangan gizi atau

telah menjalani pembedahan, maka hormon tiroid T4 tidak diubah

menjadi T3. Akan tertimbun sejumlah besar hormone T3, yang

merupakan hormon tiroid dalam bentuk tidak aktif. Meskipun T4

tidak diubah menjadi T3, tetapi keenjar tiroid tetap berfungsi dan

mengendalikan metabolisme tubuh secara normal (Prof. Dr. Anies,

2016)

2) Hipotiroid

Keadaan dimana terjadi kekurangan hormon tiroid yang

dimanifestasikan oleh adanya metabolisme tubuh yang lambat

karena menurunnya konsumsi oksigen oleh jaringan dan adanya

perubahan personaliti yang jelas. Pasien dengan hipotiroid

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

6

mempunyai sedikit jumlah hormon tiroid sehingga tidak mampu

menjaga fungsi tubuh secara normal. Penyebab umumnya adalah

penyakit autoimun, operasi pengangkatan tiroid, dan terapi radiasi

(Tarwoto, 2012)

3) Hipertiroid

Suatu keadaan atau gambaran klinis akibat produksi hormon

tiroid yang berlebihan oleh kelenjar tiroid yang terlalu aktif. Karena

tiroid memproduksi hormon tiroksin dan lodium, maka lodium

radiaktif dalam dosis kecil dapat digunakan untuk mengobatinya

atau mengurangi intensitas fungsinya (Amin Huda, 2016)

b. Berdasarkan secara klinik

1) Toksik

Pembesaran pada kelenjar tiroid yang berisi nodul dengan sel-sel

autonom sehingga menyebabkan hipertiroidisme.

2) Non toksik

Pembesaran kelenjar tiroid karena adanya nodul yang tidak

disertai gejala hipertiroidisme (Tarwoto, 2012).

2.1.4 Patofisiologi

Pembentukan hormon tiroid membutuhkan unsur yodium dan stimulasi

dari TSH. Salah satu penyebab paling sering terjadi penyakit gondok karena

kekurangan yodium. Aktivitas utama dari kelenjar tiroid adalah untuk

berkonsentrasi dalam pengambilan yodium dari darah untuk membuat hormon

tiroid. Kelenjar tersebut tidak cukup membuat hormon tiroid jika tidak

memiliki cukup yodium. Oleh karena itu, dengan defisiensi yodium individu

akan menjadi hipotiroid. Kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) tubuh akan

berkompensasi terhadap pembesaran tiroid, hal ini juga merupakan proses

adaptasi terhadap defisiensi hormon tiroid. Namun demikian pembesaran dapat

terjadi sebagai respon meningkatnya sekresi pituitari yaitu TSH (Tarwoto,

2012).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

7

2.1.5 Manifestasi klinis

Menurut (Tarwoto, 2012) beberapa manifestasi dari struma sebagai berikut:

a. Adanya pembesaran kelenjar tiroid

b. Pembesaran kelenjar limfe

c. Nyeri tekan pada kelenjar tiroid

d. Kesulitan menelan

e. Kesulitan bernafas

f. Kesulitan dalam bicara

g. Gangguan bodi image

2.1.6 Komplikasi

Menurut Brunner dan Suddart (2013) beberapa komplikasi dari struma meliputi:

a. penyakit jantung hipertiroid

Gangguan pada jantung terjadi akibat dari rangsangan berlebihan

pada jantung oleh hormone tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung

meningkat dan terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika

menghebat. Pada pasien yang berumur diatas 50 tahun, akan lebih

cenderung mendapat komplikasi payah jantung.

b. Ovtalmopati graves

Ovtalmopati graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan

diplopa, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan foto fobia dapat

mengganggu kualitas hidup pasien sehingga akan aktifitas rutin pasien

terganggu.

c. Dermopati Graves

Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit dibagian

atas tibia bagian bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan

glikosaminoglikans. Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang penyakit struma meliputi:

a. Pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan dengan radioisotop untuk

mengetahui ukuran, lokasi dan fungsi tiroid, melalui hasil tangkapan

yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

8

b. Pemeriksaan ultraspnografi (USG), mengetahui keadaan nodul kelenjar

tiroid misalnya keadaan padat atau cair, adanya kista, tiroiditis.

c. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) yaitu dengan melakukan aspirasi

menggunakan jarum suntik halus nomor 22-27, sehingga rasa nyeri dapat

dikurangi dan relative lebih aman. Namun demikian kelemahan dari

pemeriksaan ini adalah menghasilkan negative atau positif palsu.

d. Pemeriksaan T3, T4, TSH, untuk mengetahui hiperfungsi atau hipofungsi

kelenjar tiroid atau hipofisis.

e. Termografi, yaitu dengan mengukur suhu kulit pada daerah tertentu,

menggunakan alat yang disebut Dynamic Tele Thermography. Hasilnya

keadaan panas apabila selisih suhu dengan daerah sekitar > 0.9 derajat, dan

dingin apabila < 0.9 derajat. Sebagian besar keganasan tiroid pada suhu

panas (Tarwoto, 2012).

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit struma dilakukan berdasarkan ukuran struma,

semakin besar ukuran struma maka akan menimbulkan banyak keluhan, terdapat

beberapa penatalaksanaan meliputi:

a. Pengobatan

Pasien dengan satu atau lebih nodul tiroid yang mengalami hipertiroid

diberikan obat anti tiroid

b. Terapi radioiodine

Merupakan terapi alternatif untuk single toxic adenoma atau toxic

multinodular goiter. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mempertahankan

fungsi dari jaringan tiroid normal. Radioiodine juga digunakan untuk

mengurangi volume nodul pada nontoksik multinodular goiter.

c. Pembedahan

Tujuan pembedahan adalah untuk mengurangi massa fungsional pada

hipertiroid, mengurangi penekanan pada esophagus dan trakhea,

mengurangi ekspansi pada tumor atau keganasan (Tarwoto, 2012).

1) Pembedahan tiroidektomi

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

9

Tiroidektomi secara umum merupakan tindakan bedah yang cukup

aman. Persiapan praoperasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi

pada angka yang sangat kecil. Kurang dari 2-3 persen. Komplikasi

terbanyak adalah cedera nervus rekuren dan hipoparatiroid permanen

meskipun hematom pasca tiroidektomi relatif jarang terjadi komplikasi ini

sangat serius dan dapat berakibat fatal. Insiden hematom pasca tiroidektomi

dilaporkan antara 0,1 sampai 1,1 persen.

Kunci untuk meningkatkan keberhasilan dari penanganan tiroid

sampai saat ini adalah pemahaman yang seksama terhadap fisiologi dan

anatomi dari kelenjar tiroid. Perkembangan besar dalam teknik dan

instrumentasi pembedahan serta kemajuan antisepsis dan teknik anestesi

juga penting. Ketika tiroidektomi aman untuk dikerjakan, komplikasi

spesifik dari tindakan ini harus dapat diketahui, termasuk mencegah

perlukaan nervus rekuren laringeus dan menghindari kecelakaan atau

pengangkatan kelenjar 2 paratiroid. Teknik pembedahan yang berkembang

saat ini berdasar pada prinsip sama, yakni melakukan diseksi kapsul cukup

luas dengan meminimalkan diseksi terhadap nervusrekuren laringeus dan

preservasi suplai darah ke kelenjar paratiroid.

Ukuran struma merupakan salah satu faktor resiko dari komplikasi

operasi tiroidektomi. Hipertiroidism dan ukuran tumor merupakan dua

faktor yang akan saling menguatkan resiko yang lebih sedikit dibandingkan

struma toksik atau karsinoma tiroid. Komplikasi tiroidektomi total pada

struma multi nodul berkisar 1%. Resiko komplikasi tidak menghalangi ahli

bedah untuk melakukan tindakan tiroidektomi total bilamana diperlukan.

Komplikasi tersering terjadi pada operasi tiroid adalah paralisis

nervus rekuren laringeus, hipoparatiroidism dan perdarahan pasca operasi.

Studi terhadap tiroidektomi total pada tumor jinak akhir-akhir ini

melaporkan kejadian paralisis nervus rekuren laringeus berkisar antara 0,3-

1,7% dan hipoparatiroidism permanen berkisar 0,7-3%. Kegagalan

identifikasi nervus rekuren laringeus meningkatkan resiko terjadi kerusakan

terhadapnya, Implantasi potongan kelenjar paratiroid kedalam otot sebagian

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

10

besar diterima sebagai langka efektif untuk menghindari hipoparatiroid

berkepanjangan.

Timbulnya paresis korda vokalis kanan pada pasien ini dapat

disebabkan oleh karena trauma terhadap nervus laringeus superior.

Tindakan operasi yang dikerjakan oleh operator yang belum berpengalaman

dan dalam proses pendidikan, memungkinkan terjadinya resiko operasi

lebih tinggi dibandingkan mereka yang sudah cukup berpengalaman dan

melakukan teknik operasi lebih baik.

Komplikasi dapat dikurangi dengan melakukan kontrol perdarahan

dan pengalaman dalam manajemen masalah trakea. Pengalaman operator

sangat penting untuk mendapatkan hasil operasi yang baik dan mengurangi

terjadinya operasi. Perdarahan terjadi karena teknik operasi atau gangguan

metabolik. Kejadian perdarahan lebih tinggi pada hipertiroidism, yang

menggambarkan adanya vaskularikasi yang lebih besar pada struma

tersebut. Komplikasi primer berhubungan dengan penyakit tiroid terdiri dari

perlukaan nervus rekuren laringeus, hipoparatiroidi dan perdarahan pasca

operasi. Komplikasi yang kurang tampak adalah badai tiroid, infeksi,

symphatic nerve injury. Perdarahan pasca operasi merupakan komplikasi

yang sering terjadi.

Dari hasil penelitian Widodo (2009) menjelaskan bahwa Perdarahan

pasca operasi yang terjadi diakibatkan oleh karena terlepasnya ligasi dari

cabang vena jugularis anterior kiri. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang

menyebutkan etiologi perdarahan pasca tiroidektomi bisa terdiri dari:

a) Terlepasnya ikatan pembuluh darah

b) Terbukanya pembuluh darah vena yang dikauter

c) Muntah

d) Manuver valsavah

e) Peningkatan tekanan darah selama fase pemulihan

Hematom biasanya terjadi pada operasi dengan ruang mati yang

cukup lebar. Jika strap muscle tertutup sangan ketat, hematom tidak

akan terjadi dibawah kulit. Meskipun bekuan darah akan terdapat

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

11

dibawah strap muscle sepanjang peritrakea rongga leher dalam.

Pada kasus penelitian terjadi komplikasi perdarahan dan hematom

pasca tiroidektomi yang cukup berat dan mengancam jiwa. Pasien

mengalami gangguan jalan napas dan didapatkan edema hipofaring,

sehingga dilakukan pemasangan endotracheal tube dan dilanjutkan

dengan trakeostomi (Widodo, 2009)

2.2 Trakeostomi

2.2.1 Definisi

Trakeostomi merupakan tindakan membuat lubang pada dinding depan

atau anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi

dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah

cincin trakea ke tiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka

trakeostomi dibagi yang pertama trakeostomi darurat dan segera dengan

persiapan sarana sangat kurang dan yang kedua trakeostomi berencana

(persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (Soepardi &

Iskandar, 2012).

Trakeostomi biasanya dilakukan pada pasien yang diintubasi dalam

jangka lama. Selain itu, trakeostomi diperlukan pada situasi yang tidak

memungkinkan dilakukannya intubasi, misalnya pada hambatan mekanis

struktur laring (stenosis supraglotis, glottis dan pada sebagian kaus, juga

stenosis subglotis) dan trakea, misalnya akibat peradangan mukosa, tumor,

iritasi, benda asing atau paralisis pita suara. Bila dibandingkan dengan intubasi,

trakeostomi akan mengurangi volume ruang mati dan mempermudah

pembersihan bronkus (penghisapan secret bronkus). Hal tersebut akan sangat

bermanfaat pada penyakit pulmonal dengan pembentukan secret yang berlebih

dan pada penanganan pasien koma (ketiadaan reflex batuk). Pada keadaan

darurat, misalnya setelah inhalasi benda asing, intubasi dan trakeostomi efektif

terkait juga terkadang tidak dapat dilakukan. Pada keadaan tersebut,

pembukaan saluran napas dapat dilakukan secara langsung melalui fungsi

trakea atau insisi ligamentum cricothyroideum atau corucum (Nagel & Gurkov,

2014).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

12

Penyulit operasif trakeostomi yang langsung timbul antara lain

perdarahan dari struktur yang mengalami cedera, misalnya pembuuh darah

tiroid atau vena jugularis anterior.Emboli udara sangat langka, dan pada

dasarnya dapat terjadi. Cedera cartilage cricoidea disertai dengan risiko

perikondritis dan stenosis. Selain itu, terjadi emfisema iatrugenik di dalam kulit

leher tetapi keadaan ini biasanya cepat memulih.

Penyulit post operatif mencakup pembentukan krusta. Karena itu,

hygiene kanula perlu dijaga secara hati-hati. Selain itu, hamper setiap pasien

mengeluh distagia (terutama pada penggunaan cuff ) dan sensasi penekanan

subglotis. Pembentukan nekrosis di dalam trakea jarang terjadi, yang biasanya

dipicu penempatan pipa yang tidak tepat atau tekanan cuff yang terlalu tinggi.

Bila dinding posterior mengalami hal tersebut, suatu fistula trakeo-esofageal

dapat terbentuk.

Pada “dekanulasi berpenyulit”, pengeluaran kanula trakea sulit

dilakukan karena adanya granulasi, pembentukan stenosis atau perikondritis.

Terutama pada anak, trakeostomi perlu dilakukan hanya bila terdapat indikasi

absolut karena anatomi struktur sekitar area tersebut sangat berisiko (adanya

timus, letak brachiocephalica yang tinggi) dan edema subglotis cepat terbentuk.

Selain itu, obstruksi saluran napas sering ditimbulkan infeksi pada usia anak-

anak dan sembuh spontan setelah 2-3 hari.

2.2.2 Indikasi Trakeostomi

Indikasi trakeostomi meliputi:

a. Mengatasi obstruksi laring

b. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seprti

daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka

seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang

tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan

paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.

c. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.

d. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

13

e. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai

fasilitas untuk bronkoskopi (Soepardi & Iskandar, 2012)

2.2.3 Perawatan Pasca Operasi

Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena secret dapat

menyumbat, sehingga akan terjadi asfiksia. Oleh karena itu secret di trakea dan

kanul harus sering diisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya

2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Pasien dapat

dirawat di ruang perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangatlah penting.

Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu lama, maka kanul luar harus

dibersihkan 2 minggu sekali.Kain kasa di bawah kanul harus diganti setiap

basah, untuk menghindari terjadinya dermatitis (Soepardi & Iskandar, 2012).

Udara pernapasan pasien yang ditrakeostomi tidak dapat lagi

dilembabkan dan dihangatkan secara memadai. Udara yang kering akan

menimbulkan pembentukan krusta. Selain itu, rangsang batuk pada banyak

pasien dengan peningkatan sekresi bronkus menjadi tertekan (terutama pada

pasien koma). Jadi, pembersihan bronkus diperlukan untuk menghindari

penyumbatan jalan napas. Selain penghisapan steril, inhalasi uap atau air garam

juga dapat diberikan untuk tujuan tersebut. Granulasi mukosa akibat iritasi pipa

terutama memerlukan perawatan lanjutan secara hati-hati terutama pada pasien

yang diintubasi dalam jangka lama atau pasien yang ditrakeostomi (Nagel &

Gurkov, 2014).

Perawatan trakeostomi menurut Novialdi (2017) meliputi:

a. Pembersihan secret atau biasa disebut trakeobronkial toilet

b. Membersihkan anak kanul

c. Mengganti balutan

d. Humidifikasi untuk menjaga kelembapan

Tujuan perawatan trakeostomi:

a. Untuk mencegah sumbatan pipa trakeostomi ( pluging)

b. Untuk mencegah infeksi

c. Meningkatkan fungsi pernafasan(ventilasi dan oksigenasi)

d. Bronkial toilet yang efektif

e. Mencegah pipa tercabut

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

14

Menurut Bove dan Morris (2010) Perawatan pasien pasca trakeostomi

sangatlah penting karena perawatan yang buruk dapat mengakibatkan

kematian. Kematian yang sering terjadi biasanya disebabkan oleh sumbatan

pada kanul karena penumpukan sekret.

2.3 Konsep Pengalaman

2.3.1 Definisi

Menurut saparwati (2012) pengalam dapat diartikan sesuatu yang pernah

dialami, dijalani, dirasakan, baik sudah lama maupun yang baru saja terjadi.

Pengalam yang dapat diartikan juga sebagai memori episodic, yaitu memori

yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu

pada waktu dan tempat tertentu yang berfungsi sebgai referensi otobiografi.

Pengalaman merupakan salah satu hasil yang diperoleh manusia dari

intraksinya dengan lingkungan. Pengalaman ini memuat beragam hal yang

dapat dipelajari, salah satunya adalah dalam mengetahui lebih jauh mengenai

pemahaman mengenai manusia itu sendiri (Darmawan, 2013).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengalaman

Menurut Saparwati (2012) setiap orang mempunyai pengalaman yang

berbeda walaupun melihat suatu obyek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh

tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, pelaku atau faktor pada pihak

yang mempunyai pengalaman, faktor obyek atau target yang dipersepsikan

dan faktor situasi dimana pengalaman itu dilakukan. Umur, tingkat

pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik,

pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup setiap individu juga ikut

menentukan pengalaman. Pengalaman setiap orang terhadap suatu obyek

dapat berbeda-beda karena pengalaman mempunyai sifat subyektif, yang

dipengaruhi oleh isi memorinya. Apapun yang memasuki indera dan

diperhatikan akan disimpan didalam memori dan akan digunakan sebagai

referensi untuk menanggapi hal yang baru.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struma 2.1.1 Definisi

15

2.3.3 Klasifikasi

Menurut Darmawan (2013) diperoleh tiga kategori, berikut yang

menunjukan keunikan masing-masing indivudu dalam mengalami tubuhnya

(experience the body), yaitu:

a. Experience of Engagement

Merupakan pengalaman yang berkaitan dengan momentum saat

tubuh mengalami kontak dengan dunia luar atau lingkungan. Dalam

pengalaman ini situasi tubuh akan terkategorisasi menjadi dua sub

pengalaman, tubuh dalam vitalitas dan tubuh dalam aktifitas. Tubuh dalam

vitalitas ini lebih kepada kontak secara non fisik dengan lingkungan

(seperti rasa sedih, rasa gembira), sementara tubuh dalam aktifitas lebih

kepada kontak secara fisikal ( seperti berlai, berjalan).

b. Experience of Corporeality

Merupakan bentuk kesadaran akan tubuh secara fisik dan hadir

sebagai obyek ataupun sebagai alat atau instrumen. Tubuh sebagai obyek

merujuk kepada batasan-batasan yang dimiliki tubuh (seperti sakit, rasa

kenyang), yang serupa dengan batasan yang dimiliki oleh obyek lain

(seperti batasan dimensi). Melalui batasan ini, akan diperoleh mengenai

ekstensi atau kesadaran akan tubuh itu sendiri. Adapun tubuh sebagai alat

adalah sebuah rujukan kepada kesadaran bahwa tubuh ini merupakan

media untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan (seperti sebuah televisi

yang tidak akan menyala sebelum tubuh ini bergerak dan menekan tombol

on/ off).

c. Experience of Interpersonal Meaning

Merupakan sebentuk pengalaman dimana tubuh dipahami dalam

konteks relasi simbolis. Dalam kategori pengalaman ini, tubuh memiliki

sub kategori sebagai tampilan/ penampilan, dan sebagai ekspresi diri,

pengalaman ini lebih membangun kesadaran manusia dalam sebuah situasi

sosial dan upaya yang dilakukan dalam menempatkan diri dalam situasi

sosial tersebut. Hal ini kemudian berhubungan pula dengan upaya manusia

untuk menjawab pertanyaan “bagaimana orang lain melihat saya “.

“bagaimana saya ingin dilihat orang lain”.