BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uph.edurepository.uph.edu/949/5/Chapter 2.pdfwarna kulit akar,...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uph.edurepository.uph.edu/949/5/Chapter 2.pdfwarna kulit akar,...
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam.)
Ubi (Ipomoea batatas) merupakan jenis tanaman dikotil yang termasuk ke
dalam famili Convolvulaceae yang memiliki kira-kira 50 genus dan lebih dari
1000 spesies tetapi hanya I. batatas yang memiliki nilai ekonomi sebagai sumber
bahan pangan. Keragaman kultivar yang terjadi pada ubi dibedakan berdasarkan
warna kulit akar, warna daging, ukuran dan bentuk akar dan daun, kedalaman
akar, waktu kematangan, dan ketahanan terhadap penyakit (Woolfe, 2003).
Ubi dibedakan menjadi enam jenis berdasarkan warna kulit akar yaitu putih,
krem, cokelat, kuning, merah, dan ungu (Woolfe, 2003). Ubi dibedakan menjadi
empat macam berdasarkan warna dagingnya yaitu ubi berdaging putih dan kuning
yang paling sering dikonsumsi serta ubi yang berwarna jingga yang mengandung
pigmen karotenoid dan ubi yang berwarna ungu yang mengandung pigmen
antosianin (Mano et al., 2007).
Ubi merupakan salah satu tanaman pangan yang digunakan untuk
diversifikasi menu guna mempertahankan swasembada beras. Ubi dapat tumbuh
pada berbagai jenis tanah, tahan kekeringan, dan dapat ditanam sepanjang tahun.
Umumnya tanaman ubi ditanam pada lahan tegalan, kebun, pekarangan, dan lahan
sawah tadah hujan. Ubi digunakan sebagai sumber makanan berserat tinggi,
pakan, dan industri. Ubi memiliki umur simpan yang cukup lama (Limbongan dan
Soplanit, 2007).
2
Ubi menempati peringkat ke-7 dari total panen di dunia yang dapat dilihat
pada Tabel 2.1. Ubi juga memiliki potensi sebagai bahan mentah yang dapat
dimanfaatkan di dunia industri (Woolfe, 2003).
Tabel 2.1 Peringkat hasil panen di dunia
Hasil panen Produksi
(juta ton)
Berat kering
(juta ton)
Komposisi Edible
Energi
(kalori) Protein (%)
Gandum 530 463 5526 53,5
Beras 478 421 4785 21,4
Jagung 456 393 5760 35,8
Kentang 317 64 804 5,4
Barley 175 155 1754 10,1
Singkong 131 53 461 0,5
Ubi 119 35 452 1,6
Kacang kedelai 91 82 1515 31,2
Sorghum 73 65 946 7,6
Pisang 62 21 222 0,5
Tomat 60 4 46 0,6
Sumber: Woolfe (2003)
Ubi digunakan sebagai sumber pangan alternatif karena bahan pangan ini
mengandung banyak kandungan nutrisi yang menguntungkan bagi tubuh. Umbi
ubi merupakan sumber energi, vitamin C, niacin, riboflavin, thiamin, mineral, dan
komponen fitokimia seperti fenolik, karoten, dan antosianin. Beberapa varietas
ubi merupakan sumber yang baik untuk pro-vitamin A, fosfor, kalsium, dan
potasium (Zuraida, 2003).
Ubi ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam.) merupakan ubi yang memiliki
kandungan antosianin dan senyawa flavonoid paling tinggi dibandingkan jenis ubi
atau umbi-umbian lain (Fan et al., 2007). Kandungan nutrisi yang terdapat pada
umbi ubi ungu per 100 gram adalah protein 1,8 gram, lemak 0,7 gram, karbohidrat
27,9 gram, mineral 1,1 gram, kalsium 49 mg, vitamin A 2310 µg, dan vitamin C
20 mg. Kadar air umbi ubi ungu adalah 59,88% - 77,47% (Mashaw, 2009).
Gambar umbi ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 2.1.
3
Gambar 2.1 Umbi ubi ungu
Sumber : Limbongan dan Soplanit (2007)
2.2 Komponen Aktif Umbi dari Ubi Ungu
Komponen aktif umbi ubi ungu sebagian besar diperankan oleh komponen
fitokimia yang ada di dalam umbi ubi ungu. Komponen fitokimia merupakan
komponen yang secara natural muncul di dalam tanaman dan tidak mengandung
nilai gizi. Komponen-komponen fitokimia biasanya berkonjugasi bersama vitamin
dan nutrisi lain di dalam makanan untuk mencegah berbagai penyakit (McKinley,
2007).
2.2.1 Antosianin
Antosianin merupakan pigmen larut air yang berkontribusi memberikan
warna merah, biru, dan ungu pada buah, sayur, bunga, dan jaringan tanaman lain.
Pigmen ini biasanya muncul dalam bentuk glikosida dari bentuk aglikonnya yaitu
antosianidin dengan gugus gula di posisi 3 cincin C atau posisi 5,7 di cincin A
(D’Archivio et al., 2007).
Antosianin biasanya terdapat pada bagian akar, daun, bunga, dan buah pada
tumbuhan tingkat tinggi. Antosianin biasanya diolah sebagai pewarna sintentik
karena memiliki warna yang menarik dan fungsi fisiologikal (Fan et al., 2007).
Antosianin merupakan pigmen warna alami yang aman dengan aktivitas
antioksidan sebesar 89,06% (Mashaw, 2009).
4
Fan et al. (2007) menyatakan bahwa umbi ubi ungu mengandung antosianin
dalam jumlah yang banyak dibandingkan umbi ubi putih, kuning, dan jingga.
Stabilitas antosianin dari umbi ubi ungu ini sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti struktur dan konsentrasi pigmen, pH, dan suhu ekstraksi. Antosianin
yang diekstrak dari umbi ubi ungu merupakan bentuk mono atau diasil sianidin
dan peonidin. Berbagai metode ektraksi sudah dilakukan untuk mendapatkan
kandungan antosianin yang optimal. Salah satu metode yang digunakan adalah
menggunakan pelarut yang tepat seperti metanol, etanol, aseton, dan air (Fan et
al., 2007).
2.2.2 Fenolik
Umbi ubi ungu mengandung komponen fenolik yang dapat berperan sebagai
antioksidan untuk menjaga tubuh manusia dari serangan penyakit kronis.
Komponen fenolik akan menangkap radikal bebas atau oksigen reaktif yang
terbentuk di dalam tubuh manusia. Jus yang diekstrak dari umbi ubi ungu sudah
diteliti memiliki efek amelioratif atau menyembuhkan dengan melawan karbon
tetraklorida yang menyebabkan kerusakan hati tikus (Padda, 2006).
Fenolik merupakan komponen yang memiliki cincin aromatik dengan satu
atau lebih grup hidroksil (−OH) dan derivatif fungsional. Komponen fenolik
merupakan metabolit sekunder tanaman yang melibatkan beberapa jalur
metabolisme. Komponen ini menghasilkan asam amino aromatik seperti
fenilalanin dan tirosin melalui phenylpropanoid pathway. Dua jenis komponen
fenolik yang paling sering ditemui adalah flavonoid dan phenolic acids. Phenolic
5
acid yang terkandung di umbi ubi ungu adalah chlorogenic acid, isochlorogenic
acid, dan caffeic acid (Padda, 2006).
Senyawa fenolik umumnya mudah larut di dalam air karena muncul dalam
bentuk glikosida yang berikatan dengan gula. Senyawa fenolik biasanya
ditemukan di dalam vakuola sel tumbuhan (Indraswari, 2008). Fenolik sudah
terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri terutama bakteri Gram positif.
Senyawa fenolik dapat berperan sebagai antimikroba karena senyawa ini dapat
merusak membran lipid mikroba sehingga dapat menyebabkan kebocoran isi sel
(Vigil, 2005).
2.2.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan kelompok fenol yang paling besar
ditemukan di alam. Senyawa flavonoid terdistribusi sebagai zat warna merah,
ungu, biru, dan kuning yang ditemukan di dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon dimana dua
cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) (Lenny, 2006).
Flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavon, flavonon, isoflavon, flavanol,
flavanon, antosianin, dan kalkon (Setyawan dan Darusman, 2008). Senyawa
flavonoid dapat mendenaturasi sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat
diperbaiki lagi (Aulia, 2008).
2.2.4 Tanin
Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat mengikat dan
mengendapkan protein dan komponen organik lain seperti asam amino dan
6
alkaloid. Tanin berperan memberikan rasa pahit dan sepat pada tumbuhan. Tanin
dapat digunakan sebagai zat antimikroba karena tanin dapat menganggu sintesis
protein bakteri. Tanin dapat digunakan sebagai antiradang, antidiare, obat infeksi
dan luka bakar (Arianto et al., 2008).
2.2.5 Saponin
Saponin merupakan glikosida yang memiliki kemampuan membentuk buih.
Saponin diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu saponin steroid dan saponin
triterpenoid. Saponin steroid tersusun dari inti steroid dengan molekul
karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yaitu
saraponin. Saponin triterpenoid tersusun dari inti triterpenoid dengan molekul
karbohidrat dan jika dihidrolisis akan menghasilkan aglikon yang disebut
sapogenin. Saponin dapat bekerja sebagai antimikroba dengan merusak membran
sitoplasma dan merusak sel (Aulia, 2008).
2.3 Proses Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu
campuran berdasarkan sifat kelarutan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga
terpisah antara komponen yang larut dan tidak larut. Faktor yang mempengaruhi
proses ekstraksi adalah waktu ekstraksi, jumlah pelarut yang digunakan, suhu
pelarut, dan jenis pelarut. Prinsip ekstraksi adalah pelarut yang digunakan untuk
melarutkan komponen yang diinginkan akan menembus bagian jaringan sel dan
melarutkan zat aktif yang terdapat pada sampel, kemudian akan terjadi
peningkatan konsentrasi dan pelarut akan berdifusi keluar sel sampai terjadi
7
keseimbangan. Pemilihan pelarut merupakan titik kritis dalam proses ekstraksi.
Pelarut yang baik harus dapat melarutkan solut dengan baik, tidak mudah
menguap saat ekstraksi, mudah dipisahkan dari campuran, dan murah. Metode
ekstraksi yang dapat dibagi menjadi beberapa macam cara yaitu maserasi,
soxhletasi, perkolasi, refluks, dan distilasi (Distantina, 2009).
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang dilakukan dengan cara
melarutkan sampel berupa bubuk di dalam pelarut organik sehingga komponen
kimia di dalam sampel akan ikut larut di dalam pelarut organik. Metode ekstraksi
biasanya untuk mengekstrak komponen kimia di dalam tanaman berdasarkan
polaritasnya (Dinda, 2008).
Menurut Indraswari (2008), selama proses maserasi pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zar aktif dan
melarutkan zat aktif. Sampel yang akan diekstraksi dan pelarut ditempatkan pada
bejana yang bermulut lebar. Bejana kemudian ditutup rapat kemudian dikocok
berulang-ulang yang bertujuan agar pelarut masuk ke seluruh permukaan sampel.
Rendaman sampel dan pelarut harus dilindungi dari cahaya langsung untuk
menghindari terjadinya reaksi yang dikatalisis oleh cahaya atau perubahan warna.
Waktu yang dibutuhkan untuk maserasi biasanya adalah lima hari dimana setelah
kurun waktu tersebut keseimbangan antara bagian dalam sel dan luar sel bahan
yang diekstraksi sudah tercapai. Pengocokan di dalam proses maserasi bertujuan
untuk mempercepat terjadinya keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi di
dalam pelarut. Keadaan diam selama maserasi akan menyebabkan turunnya
perpindahan bahan aktif.
8
Kelebihan maserasi dibandingkan metode ekstraksi lain adalah murah,
mudah, peralatan yang digunakan sederhana, yield yang dihasilkan banyak, dan
dapat menggunakan suhu rendah sehingga dapat menjaga kestabilan komponen
yang tidak tahan suhu tinggi. Kelemahan metode ini adalah pelarut yang
digunakan harus dalam jumlah yang banyak, membutuhkan perlakuan lebih lanjut
untuk memisahkan sampel padat dengan ekstrak dan pelarut harus diuapkan
terlebih dulu untuk mendapatkan ekstrak yang pekat (Dinda, 2008).
2.4 Mekanisme Penghambatan Antimikroba
Antimikroba adalah komponen yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (Meyer et al., 2002). Pada bahan pangan, antimikroba berfungsi
untuk memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas bahan pangan
selama penyimpanan dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak
(Davidson dan Branen, 2005).
Antimikroba bekerja dengan merusak dinding sel, menghambat terjadinya
sintesis protein, menghambat sintesis asam nukleat, menghambat metabolisme
mikroorganisme, dan mengganggu struktur membran sel (Tenover, 2006).
Menurut Mutholib (2009), adanya antimikroba dapat menyebabkan tekanan
osmotik di dalam sel menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan osmotik
yang ada di luar sel sehingga sel bakteri akan mengalami proses lisis yaitu
keluarnya cairan dari dalam sel sehingga sel mengalami kerusakan.
Antimikroba juga dapat menghambat sintesis protein yang dilakukan oleh
mRNA dan tRNA yang terjadi di ribosom sehingga dapat membunuh bakteri.
Antimikroba juga berfungsi menghambat sintesis asam nukleat yang berdampak
9
pada penghambatan pertumbuhan mikroorganisme. Penghambatan pembentukan
DNA dan RNA juga berakibat kerusakan sel pada bakteri karena DNA dan RNA
memiliki peranan penting di dalam kehidupan sel bakteri. Kerja antimikroba juga
dapat merusak fungsi membran sel yang ditandai dengan keluarnya protein, asam
nukleat, dan inti sel sehingga bakteri tidak dapat tumbuh atau bahkan mati
(Mutholib, 2009).
2.5 Mikroba Patogen Pangan
2.5.1 Bacillus cereus
B.cereus adalah bakteri basil Gram positif anaerobik atau anaerobik
fakultatif yang dapat menghasilkan spora merupakan. B. cereus muncul secara
natural di berbagai bahan pangan dan dapat menyebabkan penyakit bagi manusia.
Bakteri ini dapat menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan kerusakan bahan
pangan. Spora yang dihasilkan resistan terhadap pemanasan dan pengeringan
sehingga dapat bertahan pada saat pemasakan dan penyimpanan (NZFSA, 2010).
Bakteri ini biasanya ditemukan di produk pangan seperti cream, puding,
daging, spices, kentang kering, susu, saus spagheti, beras atau nasi, dan produk
pangan lain yang berasal dari tanaman. Kontaminasi pangan oleh bakteri ini
biasanya terjadi sebelum pemasakan. B.cereus dapat menyebabkan dua jenis
sindrom intoksikasi yaitu emetic dan diarrhoeal (NZFSA, 2010).
Sel vegetatif B.cereus akan tumbuh pada suhu 4 – 50°C dengan suhu
optimal 30 – 40°C. Produksi toksin terjadi pada suhu 20 – 25°C. Kisaran pH yang
cocok untuk pertumbuhan sel B.cereus adalah 4,5 – 9,5 dengan pH optimal 6 – 7.
B.cereus juga membutuhkan kondisi dimana aw pada larutan NaCl 0,93 – 0,95 dan
10
pada larutan gliserol adalah 0,93. Waktu inkubasi yang dibutuhkan B.cereus
adalah 6 – 24 jam pada suhu 37°C dengan total sel sekitar 105 – 10
7 cfu/mL
(NZFSA, 2010).
2.5.2 Listeria monocytogenes
L.monocytogenes merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang yang
tidak menghasilkan spora. Bakteri ini memiliki ukuran diameter ± 0,5 µm dan
panjang 0,5 – 2,0 µm. Sifat L.monocytogenes adalah anaerobik fakultatif,
katalase-positif, oksidase-negatif, dan bergerak pada suhu 20 - 25°C
menggunakan flagela (Lunden, 2004).
L.monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas yaitu -1,5
sampai 45°C dan pH 4,3 – 9,6. Pertumbuhan bakteri ini akan sangat lambat pada
suhu -1,5°C dengan fase lag selama 174 jam. Nilai aw minimal untuk
pertumbuhan L.monocytogenes adalah 0,90 (Lunden, 2004).
Bakteri ini dapat ditemukan di bahan pangan yang bersumber dari hewan
seperti susu mentah, daging, dan ikan serta produk pangan jadi seperti keju, es
krim, dan daging olahan. Bakteri ini juga kadang-kadang ditemukan di buah dan
sayur-sayuran. Proses pasteurisasi dan pemasakan bahan pangan dapat membunuh
bakteri ini (Lunden, 2004).
2.5.3 Escherichia coli
E.coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik
fakultatif, dan memiliki flagella peritrikat. E.coli merupakan bakteri yang
biasanya hidup di usus manusia dan hewan. E.coli yang hidup di usus merupakan
11
jenis E.coli yang tidak berbahaya. Jenis E.coli yang paling berbahaya bagi
manusia adalah E.coli O157:H7 karena bakteri ini menghasilkan racun yang
sangat berbahaya (Nelson, 2008).
Keracunan makanan yang disebabkan oleh E.coli O157:H7 biasanya
disebabkan oleh konsumsi air atau makanan yang terkontaminasi. Konsumsi
sayuran yang tidak dicuci terlebih dulu, konsumsi daging yang tidak matang, dan
minum susu yang tidak dipasteurisasi dapat menjadi sumber infeksi (Nelson,
2008).
E.coli yang bersifat patogen ada beberapa macam yaitu Dierrheagenic
E.coli (DEC), Verocytotoxic E.coli (VTEC), Enteropathogenic E.coli (EPEC),
Enterotoxinogenic E.coli (ETEC), Enteroinvasive E.coli (EIEC),
Enteroaggregative E.coli (EAggEC), dan Diffusely adherent E.coli (DAEC)
(Bolton et al., 2009). Menurut Forsythe (2002), periode inkubasi untuk E.coli
adalah 16 – 72 jam pada suhu ± 37°C dan menimbulkan penyakit selama 2 – 7
hari. Minimal aw untuk pertumbuhan E.coli adalah 0,935 dengan kisaran pH 4 – 9
dan temperatur antara 7 – 49,4oC.
2.5.4 Pseudomonas aeruginosa
P.aeruginosa merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang dan
berukuran sekitar 0,6 x 2 µm. Bakteri ini memiliki flagela untuk bergerak.
P.aeruginosa tumbuh pada kondisi aerobik. Bakteri ini merupakan salah satu
contoh bakteri yang sering menyebabkan kebusukan pada makanan (Mayasari,
2006).
12
P.aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37 - 42°C. Periode inkubasi
bakteri ini adalah 22 jam pada suhu 37°C. Sifat bakteri ini proteolitik, lipolitik,
dan pektinolitik. Bakteri ini menghasilkan lendir dalam pertumbuhannya dan
bersifat oksidase positif. Bakteri ini juga tidak tahan terhadap pemanasan dan
keadaan yang kering. P.aeruginosa juga dapat menghasilkan pigmen yang
dihasilkan dari asam amino aromatik seperti tirosin dan fenilalanin (Mayasari,
2006).
2.5.5 Aspergillus niger
A.niger merupakan kapang yang termasuk ke dalam kelompok
Ascomycetes. Kapang ini berfilamen dan dapat menyebabkan infeksi pada
manusia. A.niger dikenal dalam kemampuannya untuk menghasilkan asam sitrat
yang dapat digunakan dalam proses fermentasi (Baker, 2006). A.niger tumbuh
optimal pada suhu 25 – 30°C. Waktu inkubasi yang dibutuhkan kapang ini adalah
48 jam (Hasan, 2007).
2.5.6 Penicillium sp
Kapang ini banyak tersebar di alam dan memiliki perannya yang penting
dalam mikrobiologi pangan. Penicillium yang merugikan dapat menimbulkan
kerusakan pada bahan sayuran, buah-buahan, dan serelia. Ciri-ciri spesifik pada
Penicillium adalah hifa septat dan miselium yang bercabang serta biasanya
berwarna, konidiofora septat muncul di atas permukaan dan berasal dari hifa di
bawah permukaan baik yang bercabang maupun yang tidak bercabang, kepala
yang membawa spora berbentuk sapu dengan sterigmata yang muncul dalam
13
kelompok, konidia membentuk rantai karena munculnya satu per satu dari bagian
sterigmata, konidia waktu masih muda berwarna hijau kemudian berubah menjadi
kebiru-biruan atau kecoklatan. Penicillium sp tumbuh optimal pada suhu 25 -
30°C dengan waktu inkubasi 48 jam (Waluyo, 2007).