Bab II Tinjauan Pustaka

46
TINJAUAN PUSTAKA Sorgum Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) termasuk tanaman jenis serealia yang berasal dari Afrika. Tanaman sorgum termasuk keluarga rerumputan seperti halnya padi, jagung, gandum dan tebu. Kedudukan tanaman sorgum dalam taksonomi tumbuhan adalah : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu) Ordo : Poales Family : Gramineae Genus : Andropogon Spesies : sorghum bicolor L. Moench. Sorgum dikenal dengan beberapa nama antara lain White Durra, Brown Durra, White Kafir, Red Kafir, dan Milo. Di Sudan sorgum dikenal dengan nama Durra, di India dengan nama Bicolor dan di Afrika Timur dengan istilah Kafir (Dicko et al. 2006). Di Indonesia sorgum dikenal sekitar tahun 1925 khususnya di daerah Jawa, NTB, dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya. Beberapa varietas dikenal di Indonesia seperti Malang 26, Birdproof, Ketengu, Pretoria, Cempaka, Genja, dan Selayar. Balai Penelitian Tanaman Pangan mengembangkan varietas diantaranya UPCA-S1 dan UPCA-S2 (Mudjisihono & Suprapto 1987). Sorgum merupakan tanaman serealia yang dapat tumbuh di berbagai keadaan lingkungan sehingga sangat potensial dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya agroekologi yang luas, tahan terhadap

description

babi

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum

Tanaman Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) termasuk tanaman jenis serealia

yang berasal dari Afrika. Tanaman sorgum termasuk keluarga rerumputan seperti

halnya padi, jagung, gandum dan tebu. Kedudukan tanaman sorgum dalam

taksonomi tumbuhan adalah :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)

Ordo : Poales

Family : Gramineae

Genus : Andropogon

Spesies : sorghum bicolor L. Moench.

Sorgum dikenal dengan beberapa nama antara lain White Durra,

Brown Durra, White Kafir, Red Kafir, dan Milo. Di Sudan sorgum dikenal

dengan nama Durra, di India dengan nama Bicolor dan di Afrika Timur dengan

istilah Kafir (Dicko et al. 2006).

Di Indonesia sorgum dikenal sekitar tahun 1925 khususnya di daerah

Jawa, NTB, dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama cantel, dan

biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan

lainnya. Beberapa varietas dikenal di Indonesia seperti Malang 26, Birdproof,

Ketengu, Pretoria, Cempaka, Genja, dan Selayar. Balai Penelitian Tanaman

Pangan mengembangkan varietas diantaranya UPCA-S1 dan UPCA-S2

(Mudjisihono & Suprapto 1987).

Sorgum merupakan tanaman serealia yang dapat tumbuh di berbagai

keadaan lingkungan sehingga sangat potensial dibudidayakan dan

dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia.

Keunggulan sorgum terletak pada daya agroekologi yang luas, tahan terhadap

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka

kekeringan, produksi tinggi, lebih tahan terhadap hama dan penyakit

dibandingkan tanaman pangan lain. Selain budidaya yang mudah, sorgum

mempunyai manfaat yang sangat luas antara lain untuk pakan ternak, bahan baku

industri makanan dan minuman, bahan baku untuk media jamur merang, industri

alkohol, bahan baku etanol, dan sebagainya (Yulita & Risda, 2006).

Sifat-sifat morfologi dan fisiologis tanaman sorgum adalah bagian

tanaman diatas tanah tumbuh lambat sebelum perakarannya berkembang dengan

baik, sistem perakarannya terdiri atas akar-akar seminal pada dasar buku pertama

pangkal batang, akar-akar koronal dan akar udara (akar-akar yang tumbuh

dipermukaan tanah), batang beruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada

bagian tengah batang terdapat seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan

keras (sel-sel parenkim), daun tumbuh melekat pada buku-buku batang dan

tumbuh memanjang, yang terdiri dari kelopak daun, lidah daun dan helaian daun

(Dirjentanpan 2006).

Gambar 2 Tanaman dan biji sorgum.

Sebagai bahan pangan dunia, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah

gandum, padi, jagung dan barley. Di negara maju biji sorgum digunakan sebagai

bahan pangan, sedangkan batang dan daunnya untuk pakan ternak ruminansia.

Biji sorgum digunakan juga sebagai bahan baku industri seperti industri etanol,

bir, wine, sirup, lem, cat dan modifikasi pati. Terkait dengan energi, di beberapa

negara seperti Amerika, India dan Cina, sorgum telah digunakan sebagai bahan

baku pembuatan bahan bakar etanol (FAO 2005).

Pemanfaatan sorgum di Indonesia sebagai bahan pangan masih sangat

terbatas dan kurang populer. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya daerah yang

memanfaatkan sorgum sebagai bahan pangan. Di daerah Kenya, Uganda dan

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka

Tansania sorgum dikonsumsi dalam bentuk porridge (bubur dari campuran

sorgum, millet, maizena), ogi (produk fermentasi porridge) di Nigeria dan Ghana,

couscous (bentuk granula hasil olahan pati sorgum) di Afrika Utara, dalam bentuk

mie di Cina dan tortila di Amerika (Leder 2004).

Biji Sorgum

Biji sorgum merupakan bagian dari tanaman sorgum dengan ciri-ciri fisik

berbentuk bulat (flattened spherical) dengan berat sekitar 25 - 55 mg (Dicko et al.

2006). Biji sorgum berbentuk butiran dengan ukuran 4.0 x 2.5 x 3.5 mm3.

Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan tiga golongan yaitu biji

berukuran kecil (8 - 10 mg), sedang (12 - 24 mg) dan besar (25 - 35 mg). Biji

sorgum tertutup sekam dengan warna coklat muda, krem dan putih tergantung

varietas (Mudjisihono & Suprapto 1987).

Biji sorgum terdiri dari 3 bagian utama yaitu bagian lapisan luar, bagian

endosperma, dan bagian lembaga (Gambar 3). Hilum dan perikarp adalah bagian

lapisan luar yang tersusun atas dua atau tiga lapisan memanjang sekitar 7.3 - 9.3%

dari berat biji, ada yang mengandung pigmen. Mesokarp merupakan lapisan

tengah dan cukup tebal, berbentuk poligonal serta mengandung sedikit granula

pati. Endokarp tersusun dari sel yang menyilang dan berbentuk tabung (Waniska

et al. 1989).

Pada lapisan perikarp dan testa terdapat senyawa fenolik. Ketebalan

lapisan testa bervariasi untuk setiap varietas, biasanya paling tebal pada puncak

biji dan yang tertipis terdapat di dekat lembaga. Ketebalan testa di puncak biji

berkisar antara 100 -140 µm, dan yang paling tipis berukuran 10 - 30 µm. Lapisan

testa bersifat padat dan rapat. Lapisan aleuron terdapat di atas permukaan

endosperma biji.

Bagian endosperma merupakan 80 - 84.6 % dari berat biji. Endosperma

terdiri dari lapisan endosperma luar (peripherial endosperm), lapisan endosperma

tengah (corneus endosperm) dan lapisan endosperma dalam (floury endosperm).

Komponen utama biji sorgum adalah pati yang tersimpan dalam bentuk granula

pada bagian endosperma dengan diameter 5 -25 μm. Pada bagian endosperma dan

perikarp terdapat pula arabinosilan, β-glukan, vitamin dan mineral. Bagian

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka

lembaga merupakan 7.8 - 12.1 % dari berat biji yang terdiri dari bagian embryonic

axis dan bagian scutellum. Pada bagian lembaga mengandung asam lemak tak

jenuh seperti asam linoleat dan polisakarida non-pati (Dicko et al. 2005).

Komposisi Kimia Biji Sorgum

Sorgum termasuk golongan serealia berpotensi sebagai penghasil biji dan

diintroduksikan untuk mendukung tujuan diversifikasi sumber bahan pangan

alternatif pengganti beras.

Tabel 1 Perbandingan kandungan nutrisi 100 gram sorgum dan beras

No Nutrisi Sorgum Beras

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Kalori (kal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Kalsium (mg)

Besi (mg)

Fosfor (mg)

332

11

3,3

73

28

4,4

287

360

6,8

0,7

78,9

6

0,8

140 Sumber: Dirjentanpan 2006

Kandungan nutrisi biji sorgum memiliki kandungan gizi yang baik dan

hampir setara dengan beras (Tabel 1). Hal ini sangat memungkinkan biji sorgum

sebagai sumber karbohidrat pengganti beras.

Gambar 3 Penampang melintang biji sorgum (Dicko et al 2006)

.

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka

Biji sorgum mengandung pati sekitar 60 - 75 %. Pati terdapat pada

endosperma sebesar 83 %, lembaga 13.4 %, dan kulit biji 8.3 %. Diameter granula

pati biji sorgum lebih besar daripada biji jagung. Gelatinisasi pati antara 67 -

77oC. Pati biji sorgum beras (non-waxy sorgum) mengandung 25 % amilosa dan

75 % amilopektin, sedangkan biji sorgum ketan (waxy sorghum) sebagian besar

terdiri dari amilopektin dan sekitar 1- 2% amilosa. Campuran polisakarida seperti

pentosan sebesar 2.6 - 5.2 % dari bobot biji kering terdapat pada perikarp dan

lembaga. Lemak sebesar 1.5 - 6 % terdapat pada lembaga, perikarp dan aleuron.

Lembaga mengandung lebih dari 79 % lemak biji sorgum (Rooney et al. 1992).

Protein dalam biji sorgum dapat dibagi menjadi 2 golongan pokok, yaitu protein

dalam lembaga dan protein dalam endosperma. Protein sorgum sama seperti biji

serealia lainnya terdiri dari albumin, globulin, prolamin, dan glutein. Menurut

laporan Mudjisihono & Suprapto (1987), kandungan protein biji sorgum dengan

berbagai varietas yang ada di Indonesia berkisar antara 7 - 10%. Kandungan

protein lembaga (kira-kira 18.9% bk) lebih tinggi dibandingkan kandungan

protein dalam endosperma (12.3% bk).

Tabel 2 Komposisi makronutrisi, vitamin dan mineral sorgum*

Komposisi makronutrisi Vitamin Mineral

(g/100g bb) (mg/100g bk) (mg/100g bk)

Karbohidrat 65-80 Vitamin A 21 RE** Ca 21

Pati 60-75 Tiamin 0.35 Cl 57

Amilosa 12-22 Riboflavin 0.14 Cu 1.8

Amilopektin 45-55 Pirodoksin 2.8 I 0.029

NSP 2 -7 Biotin 0.007 Fe 5.7

Protein 7-15 Pantotenat 1 Mg 140

Lemak 1.5-6 Vitamin C <0.001 P 368

Abu 1-4

K 220

Air 8-12

Na 19

Zn 2.5 *Sumber : Dicko et al. (2006).

**RE = retinol ekuivalen

Biji sorgum mengandung non-starch polysaccharides (NSP) sekitar 2 -

7%. NSP terdapat pada perikarp dan dinding sel endosperm dengan komposisi

arabinosilan 55% dan β-glukan 40%. Arabinosilan dari sorgum mengandung asam

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka

ferulat dan asam p-kumarat. β-glukan terdiri dari selulosa (1,4-β-D-glucan),

curdlan (1,3-β-D-glucans), and lichenan (1,3,1,4-β-D-glucan). NSP yang terdapat

pada dinding sel yang mengandung lignin sekitar 20% (Verbruggen et al. 1998,

Dicko et al. 2006).

Biji sorgum dilaporkan mengandung serat total sekitar 7.6 - 9.2 %. Kadar

serat β-glukan yang terdapat dalam serealia sekitar 2 - 14 % berat kering

tergantung spesies, varietas dan kondisi lingkungan. β-glukan merupakan rantai

panjang molekul polisakarida yang tersusun dari monomer glukosa dengan

ikatan β-glikosida. β-glukan yang diekstraksi dari serealia tersusun dari ikatan

1,3 dan 1,4 glikosidik. Sebagian besar β-glukan terdapat pada dinding sel

endosperm dan subaleuron serealia. β-(1,3)(1,4)-D-glukan merupakan komponen

yang dominan pada dinding sel endosperma dan sub aleuron gandum, sorgum,

jewawut dan beberapa serealia lainnya. Komponen β-(1,3)(1,4)-D-glukan pada

dinding sel endosperma terdiri dari molekul linier dengan ikatan 1,3 sekitar 30%

dan ikatan 1,4 sekitar 70% (Laroche & Michaud 2006).

Gambar 4 Struktur β (1,3)(1,4)-D-glukan (Laroche & Michaud 2006).

Menurut laporan Tosh et al. (2004), β-glukan yang diisolasi dari serealia

mempunyai berat molekul bervariasi tergantung spesies seperti gandum umumnya

0.065 - 3 x 106 g/mol, jewawut 0.15 - 2.5 x 10

6 g/mol, sorgum sekitar 3.6 x 10

4

g/mol. β(1,3)(1,4)-D-glukan dari serealia merupakan serat pangan larut yang

berpotensi menurunkan kadar glukosa darah, menurunkan resiko terkena penyakit

degeneratif seperti obesitas, hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, kardiovaskular,

kanker, hipertensi, dan sebagai prebiotik. Produk sarapan pagi serealia yang

mengandung β-glukan dari gandum memberi pengaruh menurunkan respon

postprandial glikemik diatas 50% (Tappy et al. 1996). Beta glukan yang diisolasi

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka

dari khamir dan gandum dapat menurunkan 10% kadar kolesterol total dan 8%

LDL serta meningkatkan kadar kolesterol HDL sebesar 16% (Nicolosi et al.

1999). Peranan β-glukan sebagai prebiotik dilaporkan oleh Laroche & Michaud

(2006). Manfaat prebiotik antara lain dapat melindungi tubuh dari kanker kolon.

Mekanisme perlindungan prebiotik terhadap perkembangan kanker kolon yaitu

produksi metabolit yang bersifat protektif. Butirat merupakan produk akhir dari

fermentasi dapat menstimulasi apoptosis sel kanker kolon (Gibson & Roberfroid

1995).

Komponen fitokimia dan khasiat sorgum

Sorgum mengandung komponen fitokimia yang menguntungkan bagi

kesehatan seperti tanin, komponen fenolik, antosianin, fitosterol, dan polikosanol

(Awika & Rooney 2004). Komposisi fitokimia yang terdapat pada sorgum

dibedakan menjadi dua golongan yaitu asam fenolik dan flavonoid terlihat pada

Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi fitokimia biji sorgum*

Komponen Fenolik Jumlah (μg/g bk)

Asam hidroksibenzoat:

ρ-hidroksibenzoat

Gallat

Protokatekin

Vanilin

15 – 36

26 – 46

24 – 141

8 – 50

Asam hidroksisinamat:

ρ-kaumarat

Kafeat

Ferulat

Sinapat

100 – 200

25 – 52

300 – 500

50 – 140

Flavonoid:

Antosianin

3-deoksiantosianidin

Flavan-4-ol

Proantosianidin

0 – 2800

0 – 4000

0 – 1300

0– 68000 *Sumber dari Dicko et al. (2006)

Asam fenolik terdapat dalam bentuk bebas dan terikat pada lapisan luar

biji perikarp, testa dan aleuron. Asam fenolik terdiri dari dua golongan yaitu

hidroksibenzoat atau turunan asam benzoat dan hidroksinamat atau turunan asam

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka

sinamat. Asam fenolik yang paling banyak terdapat pada sorgum adalah jenis

hidroksinamat seperti asam ferulat dan asam p-caumarat (Dykes et al. 2005).

Secara fisiologis senyawa fenolik mempunyai beberapa aktivitas biologis,

seperti antialergi, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik dan

kardioprotektif (Aberoumand & Deokule 2008). Aktivitas antioksidan senyawa fenolik

di dalam tubuh ditentukan oleh struktur molekul, jumlah, dan posisi gugus hidroksil

pada cincin aromatis serta keberadaan elektron tidak berpasangan pada senyawa

intermediet fenolik yang terlibat delokalisasi elektron (Lugasi et al. 2003). Asam

fenolik yang terikat umumnya membentuk sulfat konjugat atau berikatan membentuk

ikatan disulfida dengan sulfat dan glukoronat seperti asam ferulat berikatan dengan

arabinosilan. Asam ferulat tersebut dapat dihidrolisis menjadi asam ferulat bebas di

dalam tubuh sehingga memiliki kapasitas antioksidan. Proses hidrolisis atau perubahan

sulfat konjugat tersebut dikatalis oleh aktivitas enzim fenolsulfotransferase (Manach et

al. 2005).

Asam hidroksibenzoat Asam hidroksisinamat

Gallat: R1 = H, R2 = R3 = R4 = OH p-kaumarat: R1 = R2 = R4 = H, R3 = OH

Gentisilat: R1 = R4 = OH, R2 = R3 = OH Caffeat : R1 = R4 = H, R2 = R3 = OH

Salisilat: R1 = OH, R2 = R3 = R4 = H Ferulat: R1= R2 = H, R4= OCH3, R3 = OH

p-(OH)-Benzoat: R1 = R2 = R4 = H, R3 = OH Sinapat : R1 = H, R2 = R4 = OCH3, R3 =OH

Protokatekin: R1 = R4 = H, R2 = R3 = OH

Syringat: R1 = H, R2 = R4 = OCH3, R3 = OH

Vanilin: R1 = R4 = H, R3 = OH; R2 = OCH3

Gambar 5 Struktur asam fenolik sorgum (Awika et al. 2004).

Flavonoid adalah kelompok terbesar dari fenolik dengan kapasitas

antioksidan yang kuat (Aberoumand & Deokule 2008). Flavonoid terdiri dari

antosianin, flavanol, flavon, flavanon dan flavonol. Flavonoid termasuk kelompok

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka

benzo-γ-piron dengan struktur umum difenilpropan (C6-C3-C6) terdiri dari 2

(dua) cincin aromatis yang dihubungkan oleh 3 (tiga) atom karbon membentuk

heterosiklik teroksigenasi (Filipiak 2001).

Flavan-3-ol Flavan 4-ol

Katekin Apiforol (leucoapigeninidin) : R = H

Luteoforol (leucoluteolinidin) : R = OH

Gambar 6 Struktur komponen flavonoid sorgum (Dicko et al. 2006).

Antosianin 3-deoksiantosianidin

Fisetinidin : R1 = R2 = OH, R3 = H Apigeninidin : R1 = H

Sianidin : R1 = OH ; R2 = H, R3 = OH Luteolinidin : R1 = OH

Pelargonidin : R1 = R2 = H, R3 = OH

Peonidin : R1 = OCH3 ; R2 = H, R3 = OH

Malvidin : R1 = R2 = OCH3, R3 = OH

Delphinidin R1 = R2 = R3 = OH

Gambar 7 Struktur antosianin dan 3-deoksiantosianidin sorgum (Awika

et al. 2004).

Sorgum mengandung tanin kondensat polimer flavan-3-ol dengan berat

molekul 500 dalton atau lebih. Biji sorgum secara genetik terdiri dari 3 tipe. Tipe I

yaitu sorgum yang tidak memiliki warna atau tanin pada bagian testa dengan

kandungan taninnya umumnya kurang dari 0.25% ekuivalen katekin. Tipe II yaitu

sorgum yang memiliki warna pada testa dengan gen B1-B2 mengandung tanin

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka

sekitar 0.5 -1.5% ekuivalen katekin. Tipe III yaitu sorgum yang memiliki warna

pada testa dan perikarp dengan gen yang dominan (S_) dan gen B1-B2

mengandung tanin 0.5% - 6% (Earp et al.1983).

Fungsi fisiologis apigeninidin sebagai penangkal radikal bebas dilaporkan

oleh Boveris (2001). Aktivitas antioksidan apigeninidin menunjukkan sifat

antikanker (Fratianni et al. 2007). Adanya korelasi aktivitas antioksidan dan

antiproliferasi sel kanker esofagus OE33 dan sel kanker kolon HT-29 oleh ekstrak

sorgum yang mengandung tanin dilaporkan oleh Awika et al. (2009). Peningkatan

aktivitas antioksidan penangkal radikal bebas DPPH dan antimikroba ekstrak

metanol dari tepung biji sorgum dilaporkan oleh Kill et al. (2009). Penelitian

sebelumnya telah menginformasikan bahwa tepung biji sorgum lokal varietas

Kawali dengan penyosohan 20 detik memberikan hasil berupa produk yang dapat

diterima oleh konsumen serta mempunyai aktivitas antioksidan dan

imunomodulator yang tinggi (Yanuar 2009). Secara in vivo tepung sorgum yang

disosoh 20 detik meningkatkan enzim-enzim antioksidan terutama enzim

superoksidadismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus jantan yang diberi 50%

tepung sorgum dan peningkatan 91% pada tikus yang diberi 100% sorgum

(Puspawati 2009, Zakaria et al 2011). Pengujian terhadap sel kanker secara in

vitro menunjukkan bahwa 3-deoksiantosianidin yang diisolasi dari sorgum dapat

menghambat proliferasi sel kanker leukemia sebesar 90% dan sel kanker

hepatoma 50% lebih tinggi dari antosianin analog (Shih et al. 2007).

Kanker

Deskripsi Kanker

Kanker berasal dari kata carcinos (Yunani), cancer (Inggris) atau kanker

(Belanda). Jaringan kanker atau neoplasma adalah suatu gangguan pertumbuhan

dengan karakteristik sel yang berlebihan, abnormal dan merupakan proliferasi

yang tidak terkontrol dari jaringan yang mengalami transformasi atau perubahan

pada satu atau lebih tempat utama dalam tubuh inang dan umumnya disertai

dengan metastasis atau penyebaran pada bagian lain tubuh inang (Priosoeryanto,

1994).

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka

Proliferasi sel yang sangat cepat menimbulkan benjolan pada organ atau

disebut tumor. Tumor tidak mempunyai fungsi fisiologis, namun sebaliknya dapat

menimbulkan gangguan dan bahkan bersifat patologis. Tumor dapat bersifat

benign (benigna) artinya tumor yang tidak berkembang menjadi kanker dan ada

juga yang bersifat malignant (maligna) yang berarti dapat menyebar, seperti

kanker paru-paru yang dapat menyebar ke jaringan atau organ disekitarnya

(Cotran et al. 1994).

Kanker berawal dari kerusakan materi genetika atau DNA

(deoxyribonucleic acid) sel. Satu saja sel mengalami kerusakan genetik, sudah

cukup untuk menghasilkan neoplasma atau tumor. Komponen genetik berperan

dalam perkembangan berbagai kanker. Mutasi genetik penyebab kanker dapat

terjadi karena faktor dalam (endogen) sekitar 5 - 10%, yaitu melalui kesalahan

replikasi pada saat sel-sel aus digantikan oleh sel baru, atau kesalahan genetika

karena diturunkan oleh orang tua. Sebagian besar kanker terjadi karena faktor luar

atau eksternal (sekitar 90 - 95%) melalui pola makan yang salah, polusi udara,

infeksi, radiasi dan bahan-bahan kimia asing yang masuk ke dalam tubuh.

Kematian yang terkait dengan kanker sekitar 30 - 35% disebabkan oleh pola

makan yang salah, 25 - 30% disebabkan oleh bahan kimia yang terdapat dalam

rokok dan sisanya adalah karena faktor lainnya seperti radiasi, stres, obesitas dan

polutan (Anand et al. 2008).

Sel normal menjadi jaringan kanker terjadi melalui beberapa rangkaian

tahapan karsinogenesis yaitu inisiasi, promosi dan progresi, yang dilanjutkan

tahap metastasis tumor (Gambar 9). Inisiasi adalah tahap pertama dalam

karsinogenesis, dimana terjadi interaksi antara senyawa karsinogen dengan sel

normal. Senyawa karsinogenik yang memasuki sel, akan berikatan dengan DNA,

sehingga DNA sel akan mengalami mutasi. Kegagalan DNA dalam memperbaiki

kerusakan DNA dan mutasi pada gen penekan tumor dan proto-onkogen, baik

karena keturunan atau tercapainya mutasi, merupakan tahap inisiasi dalam

pembentukan sel kanker.

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka

Gambar 8 Karsinogenesis kanker oleh senyawa kimia (Levi 2000)

Perubahan pada materi genetika atau mutasi gen, dapat terjadi melalui

berbagai mekanisme. Pertama disebabkan oleh kesalahan replikasi yang terjadi

pada saat sel-sel aus digantikan oleh sel-sel baru, terjadi kopi DNA baru yang

melibatkan 6x109 pasangan basa memberikan peluang kesalahan replikasi.

Penyebab kedua adalah mutasi pada alur sel germinasi yang merupakan kesalahan

genetika yang diturunkan dari gen orang tua. Kesalahan genetika ini umumnya

menghasilkan kanker pada usia dini. Namun demikian, sel termutasi yang telah

dibawa sejak lahir tidak semuanya menjadi neoplasma. Beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa sel yang termutasi secara bawaan, perubahan menjadi

neoplasia terjadi karena adanya kerusakan genetika lanjut yang disebabkan oleh

faktor eksternal. Hanya saja, individu pembawa sel yang mengandung gen yang

salah menjadi lebih beresiko dibandingkan mereka yang tidak membawa gen yang

termutasi (Collins et al. 2001, Zakaria 2001).

Pembentukan tumor

Aktivasi

metabolik

Zat kimia karsinogen Reaksi detoksifikasi

(konjugasi, dsb)

Karsinogen utama Detoksikasi selular (berikatan

dengan nukleofil yang lain, dsb) Berikatan dengan

DNA, Inisiasi

Perubahan DNA Perbaikan DNA (DNA repair)

Replikasi

Sel tumor laten

Promosi

Progresi

Tumor yang sangat ganas

Metastasis tumor

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka

Mekanisme kerusakan materi genetika sel yang ketiga disebabkan oleh

adanya virus, infeksi berkelanjutan, polusi udara, radiasi dan bahan kimia asing

yang tidak diperlukan oleh tubuh. Induksi kanker oleh zat kimia merupakan

proses yang kompleks dan bertahap sebagai interaksi antara faktor endogenus dan

faktor lingkungan (eksternal) yang menyebabkan kerusakan DNA sel inang

sehingga berdampak pada kegagalan dalam menghambat keganasan tumor (Li et

al. 2009). Tahapan selanjutnya adalah promosi, dimana terjadi pertumbuhan dan

pembelahan sel yang telah mengalami inisiasi tersebut. Metastasis adalah suatu

mekanisme multitingkatan. Hal ini dimulai dengan pelepasan sel tumor dari tumor

primer, penetrasi ke jaringan di sekitarnya, invasi ke pembuluh limfatik dan

pembuluh darah hingga akhirnya menuju suatu organ atau tempat baru dimana

tumor sekunder akan tumbuh. Karsinoma (kanker) yang bersifat invasif berkaitan

dengan proses infiltrasi pada membran basalis yang terdiri dari jaringan kolagen

dan nonkolagen. Pertumbuhan tumor yang sangat ganas dari tumor jinak disebut

progresi, yang meliputi perubahan genetik yang bersifat ireversibel. Di tahap

progresi, sifat-sifat sel tersebut secara bertahap berubah menjadi malignan dan

menjadi lebih agresif (Levi 2000).

Sejumlah 90% senyawa karsinogen adalah hasil dari reaksi detoksifikasi

xenobiotik yang mengubah senyawa yang tadinya bersifat nonkarsinogenik

(kokarsinogenik) menjadi karsinogenik. Pemicu kanker dapat beragam bentuknya,

mulai dari kebiasaan makan yang tidak seimbang, hidup dengan tingkat stress

tinggi, kebiasaan merokok, kontak dengan paparan sinar matahari berlebihan.

Senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan makanan dapat berupa zat

racun yang terdapat dalam bahan pangan itu sendiri maupun hasil kontaminasi

mikroorganisme, hasil proses pengolahan pangan, bahan tambahan makanan yang

sering digunakan dalam proses industri makanan, serta residu pestisida yang

mengkontaminasi bahan pangan. Apabila senyawa pemicu kanker yang terdapat

pada bahan pangan dikonsumsi dalam diet sehari-hari, dikhawatirkan sedikit demi

sedikit terakumulasi dalam tubuh, sehingga dosis sekecil apapun dalam waktu

cukup lama akan berbahaya bagi kesehatan (Zakaria 2001).

.

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka

Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal merupakan penyakit kanker yang menempati urutan

ketiga paling sering di diagnosa pada pria dan yang kedua pada wanita. Sekitar

1.2 juta kasus kanker baru dan 608.700 kasus kematian diperkirakan terjadi pada

tahun 2008. Angka kejadian kanker kolorektal tertinggi ditemukan di Australia,

Selandia Baru, Eropa, dan Amerika Utara, sedangkan terendah ditemukan di

Afrika (Jemal et al. 2011). Insiden kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi,

demikian juga angka kematiannya. Kanker kolorektal menduduki peringkat kedua

pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker

kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum

ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan

jumlah kasus, data malignan kolon di Rumah Sakit Darmais Jakarta sekitar 600

orang pada kurun waktu 1994 - 2006 (Kastomo 2007).

Kanker kolorektal (CRC) adalah kanker di bagian kolon dan rektum 8 - 10

inch terakhir dari usus besar. Kolon atau usus besar adalah bagian usus sesudah

usus halus, terdiri dari kolon sebelah kanan (kolon asenden), kolon sebelah

tengah atas (kolon transversum) dan kolon sebelah kiri (kolon desenden). Bagian

kolon yang berhubungan dengan usus halus disebut sekum, sedangkan bagian

kolon yang berhubungan dengan rektum disebut kolon sigmoid. Mukosa kolon

terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet. Otot bagian sebelah dalam

sirkuler dan sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat

membentuk taenia koli. Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang

sering terisi lemak yang disebut appendices epiploicae. Kolon adalah tempat

utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit. Sebanyak 90% kandungan air

diserap di kolon yaitu sekitar 1 - 2 liter per hari. Natrium diabsorpsi secara aktif

melalui Na+-K-ATPase. Kolon dapat mengabsorpsi sebanyak 400 miliekivalen

perhari. Air diserap secara pasif mengikuti natrium melalui perbedaan osmotik.

Kalium secara aktif disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara

pasif. Klorida diabsorpsi secara aktif melalui pertukaran klorida-bikarbonat.

Degradasi bakteri dari protein dan urea di kolon menghasilkan ammonia (Cohen

& Sidney 1995).

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka

Perkembangan kanker kolon merupakan sebuah proses yang bertahap,

dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma,

perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker.

Aktifasi onkogen, inaktifasi gen penekan tumor dan DCC (deleted in colorectal

cancer) memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan

peningkatan displasia dan invasif karsinoma (Suzuki et al. 2006).

Tahapan karsinogenesis kanker kolon terlihat pada Gambar 10.

Berkembangnya kanker kolon diawali dengan alterasi (perubahan) pada gen APC

(Adenopoliposis coli). Gen ini menyandi suatu protein yang berfungsi sebagai

penekan tumor untuk mengatur pembelahan sel-sel epitel usus. Mutasi ini

menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang menghasilkan keganasan dan

aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen penekan tumor DCC dan p53 (Powell

et al. 1993).

Gambar 9 Karsinogenesis kanker kolon (Powell et al. 1993).

Mutasi K-ras menyebabkan ketidakmampuannya dalam menghidrolisis

guanosin trifosfat (GTP) menjadi guanosin difosfat (GDP). Hal ini yang

menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol. Mutasi gen DCC dan p-53

terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma kolorektal. Terdapat 2 jalur utama

dalam inisasi dan progresi dari tumor yaitu jalur loss of heterozygosity (LOH) dan

jalur replication error (RER). Sekitar 80% dari karsinoma kolorektal merupakan

mutasi dari jalur LOH, sisanya merupakan mutasi jalur RER yaitu kesalahan

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka

pasangan sewaktu replikasi DNA. Jalur RER diinisiasi oleh mutasi gen mismatch

repair (MMR) seperti hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6 (Heyer et

al. 1999).

Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang rentan

terkena kanker kolorektal seperti usia diatas 50 tahun dengan riwayat keluarga

pernah menderita kanker, kelainan gen yakni familial adenomatous polyposis

(FAP) dan hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC), pernah menderita

radang usus besar berupa colitis ulceratif atau penyakit Crohn, sering

mengkonsumsi makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah

kalsium, folat dan rendah serat, merokok, dan minum alkohol (Cohen & Sidney

1995). Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi

pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC dapat menggiring kepada

kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker

kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai lebih dini 5

tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal

yang berhubungan HNPCC. Karsinogenesis yang terakselerasi HNPCC dapat

menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-

rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Sekitar 1% dari

penderita kanker kolon memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis (van Hogezand et

al. 2002).

Sejumlah 70% dari penyebab kanker kolorektal dikaitkan pola makan

yang salah. Karsinogen yang masuk ke dalam tubuh seperti pestisida, nitrosamin,

dioksin berasal dari bahan tambahan makanan atau dari proses pengolahan

pangan. Heterosiklik amin terdapat pada makanan akibat adanya proses

pengolahan yang menggunakan suhu tinggi seperti pemanggangan dan

penggorengan, maupun akibat kontaminasi atau polusi dari udara. Penggunaan

nitrat digunakan sebagai bahan pewarna merah pada produk daging. Paparan

jangka panjang zat aditif makanan seperti pengawet nitrit dan pewarna azo-

dikaitkan sebagai penginduksi karsinogenesis (Anand et al. 2008).

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka

Model Tumor Kolon Rodensia

Model rodensia pada studi kanker kolon telah dilakukan sejak 80 tahun

yang lalu. Keuntungan menggunakan hewan model rodensia diantaranya adalah

induksinya berlangsung cepat, dapat direproduksi dan menggambarkan proses

perubahan adenoma ke karsinoma seperti yang terjadi pada manusia. Kemampuan

untuk menginduksi tumor kolorektal model in vivo merupakan cara untuk

mempelajari berbagai aspek karsinogenesis atau metastasis seperti yang terlihat

dalam CRC (colorectal cancer) manusia. Model in vivo dapat digunakan untuk

studi kemopreventif untuk mengevaluasi imunologi, kimia, dan terapi. Model

hewan rodensia CRC hasil rekayasa genetika (mencit strain Min/APC) sering

dipakai sebagai hewan model reproduksi perkembangan tumor (Robertis et al.

2011).

Penggunaan karsinogen sebagai model induksi pertama kali dilakukan pada

mencit yang diberi pangan yang mengandung hidrokarbon polisiklik aromatik

(PAH), metilkolantren (MCA) yang menghasilkan tumorigenesis pada lambung

dan usus mencit setelah pemberian. Kemudian dilaporkan pemberian ytrium

radioaktif pada tikus menghasilkan tumor kolon yang cukup tinggi. Laporan lain

menyebutkan hal yang sama terjadi pada tikus putih setelah diinjeksi 4-

aminodifenil dan 3,2-dimetil-4-aminodifenil (Rosenberg et al. 2009).

Penelitian eksperimental karsinogenesis kolon pada rodensia seperti mencit

dan tikus telah banyak diteliti. Kripta abberan mula-mula ditemukan pada kolon

tikus pada penelitian eksperimental menggunakan model hewan percobaan yang

dipapari bahan karsinogen seperti azoksimetana (AOM) dan 1,2 dimetilhidrazin

(1,2 DMH). Target utama induksi karsinogen ini adalah intestinum, khususnya

kolon dan rektum. Spesies hewan coba, rute pemberian dan dosis mempengaruhi

karsinogenisitas AOM dan 1,2 DMH. Selektifitas organ target berdasarkan rute

pemberian AOM untuk menginduksi kanker kolon pada tikus dan mencit.

Sensitifitas karsinogen yang diinduksi tergantung pada strain dari hewan rodensia

tersebut. Tikus yang menjadi model untuk karsinogen DMH/AOM adalah strain

F344, Sprague Dawley, atau Wistar. Pemberian DMH/AOM berulang pada

subkutan merupakan cara yang dapat diandalkan untuk menginduksi kanker kolon

pada hewan pengerat khususnya tikus. Secara mikroskopis, terdapat gambaran

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka

hiperplasia dan kadang ditemukan fokus displasia. Kripta yang menyimpang

(ACF) merupakan bentuk awal dari suatu adenoma ditemukan 8 – 12 minggu

pasca induksi untuk studi jangka pendek atau kuantitatif jumlah tumor kolon

setelah 40 minggu pasca induksi untuk studi jangka panjang (Bird & Forrester

1981).

Karsinogen 1,2-dimetilhidrazin (DMH), azoksimetan (AOM), dan dekstran

sodium sulfat banyak dipakai untuk menghasilkan kanker kolorektal sporadik.

Strain mencit yang ditemukan sensitif terhadap karsinogenesis kolon yang

diinduksi AOM/DSS yaitu BALB/c, C3H/Hen, C57BL dan DBA/2N. Pengujian

sensitivitas AOM/DSS terhadap beberapa strain mencit dilaporkan oleh Suzuki et

al. (2006). Induksi AOM intraperitoneal dengan dosis tunggal 10mg/kg BB yang

diikuti dengan pemberian 1% DSS yang ditambahkan pada air minum selama 4

hari. Insiden adenokarsinoma kolon mencapai 100% dengan multifikasi 11,4 ± 5,9

pada mencit BALB/c, pada mencit C57BL/6N dengan multifikasi 2,5 ± 2,1

adenokarsinoma mencapai 50%, adenoma kolon insidennya dijumpai sedikit pada

mencit strain C3H/HeN (29% dengan multifikasi 0,7 ± 1,5).

Penggunaan dosis tunggal AOM 10 mg/kg berat badan yang diinjeksi

melalui intraperitoneal dan 2 % DSS yang dicampurkan bersama air minum

selama seminggu diujikan pada mencit jantan BALB/c. Setelah 20 minggu

perlakuan dijumpai neoplasma kolon (adenokarsinoma, insiden 100% dengan

multifikasi 5,60 ± 2,42) dan adenoma (insiden 38% dengan multifikasi (0,20 ±

0,40 dijumpai lesi displasia).

Azoxymetana (AOM) dan Dekstran Sodium Sulfat (DSS) sebagai model

induksi kanker.

AOM adalah suatu karsinogen genotoksik kolon yang digunakan untuk

menginvestigasi karsinogenesis pada hewan rodensia. DSS merupakan karsinogen

non genotoksik polisakarida sulfat sintetis yang menyebabkan inflamasi usus

(ulcerative colitis) pada hewan rodensia (Suzuki et al. 2006).

Dimetilhidrazin (DMH) dan azoksimetana (AOM) merupakan karsinogen

eksogen yang mengalami proses detoksifikasi di hati oleh enzim-enzim

mikrosomal. Tahap pertama merupakan aktivasi, yaitu mengkondisikan

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka

xenobiotik agar bersifat lebih mudah larut dalam sirkulasi darah sehingga mudah

diberi perlakuan pada tahap selanjutnya. Sedangkan pada tahap kedua yaitu tahap

konjugasi yang membuat xenobiotik tersebut dapat diekskresikan (Levi 2000).

Senyawa intermediet metilazoksimetanol (MAM) terbentuk pada tahap pertama

oleh enzim sitokrom P-450 CYP2E1 di hati melalui beberapa tahap N-oksidasi

dan hidroksilasi (Gambar 10).

Metilazoksimetanol (MAM) dapat dioksidasi melalui reaksi alkilasi

makromolekul oleh ADH (alcohol dehidrogenase), enzim sitosol yang terdapat

pada organ hati, ginjal dan kolon, menghasilkan metabolit reaktif ion

metildiazonium. Metabolit reaktif CH3+ yang dihasilkan bersifat elektrofilik yang

mampu berkonjugasi dengan DNA menghasilkan metilasi basa DNA pada posisi

O6 atau N

7 dari guanine (O

6-metil-deoksiguanosin dan N

7-metil-deoksiguanosin).

Mukosa kolon menjadi target AOM dan DMH karena kestabilan dari metabolit

hasil hidroksilasi MAM memiliki waktu paruh sekitar 12 jam sehingga cukup

waktu berdistribusi ke kolon (Pegg 1984, Rosenberg et al. 2009).

Gambar 10 Metabolisme Azoksimetana (Rosenberg et al. 2009).

Untuk memahami patogenesis kanker kolon yang berhubungan dengan

inflammatory bowel disease (IBD) dikembangkan model mencit dengan dua tahap

yakni inisiasi oleh AOM dan promosi oleh DSS. Penelitian yang menggunakan

mencit jantan Crj:CD-1 (ICR) diberi dosis tunggal AOM (10 mg/kg berat badan)

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka

melalui intraperitoneal, diikuti satu minggu pemberian oral 2% DSS (BM 40.000)

dalam air minum. Setelah induksi 20 minggu dijumpai neoplasma kolon

(adenokarsinoma, insiden 100% dengan multiplikasi 5.60 ± 2.42 dan adenoma,

insiden 38% dengan multiplikasi 0.20 ± 0.40) dan juga dijumpai lesi displasia.

Secara imunohistokimia, displasia dan neoplasma menunjukkan positif dengan

pewarnaan β-katenin, COX-2 dan inducible nitric oxide synthase (iNOs). Sel

radang banyak dijumpai di sekeliling atau menginfiltrasi karsinoma (Tanaka et al.

2003).

Laporan karsinogenesis yang berhubungan dengan inflamasi pada mencit

yang diberikan dosis tunggal berbagai karsinogen yaitu AOM, PhIP dan DMH

yang dilanjutkan oleh pemberian selama satu minggu 2% DSS pada air minum.

Pada studi dosis DSS sebagai promotor tumor, mencit ICR jantan diberi dosis

tunggal AOM melalui intraperitoneal (10 mg/kg BB) yang dilanjutkan dengan

pemberian DSS (BM 40000) dengan dosis bervariasi dari 0.1 sampai 2%

(berat/volume) pada air minum selama satu minggu. Pada minggu ke-14, mencit

yang menerima AOM dan 2% DSS menghasilkan insiden paling tinggi dengan

multiplikasi adenoma kolon tubular (75%) dan adenokarsinoma (100%). Tumor

kolon tidak tumbuh pada mencit yang menerima AOM + 0.25% DSS dan AOM +

0.1% DSS walaupun masih ditemukan displasia kripta (Suzuki et al. 2006)

Insiden tumor kolon pada mencit Apc Mint/+

dilaporkan berkembang pada

minggu ke-5 pada mencit jantan dan betina Apc Mint/+

yang diinduksi oleh 2% DSS

pada air minum selama 7 hari. Analisis molekular menunjukkan β-katenin

meningkat sekitar 80 - 100% pada adenokarsinoma kolon setelah diinduksi AOM.

Kira-kira separuh dari mutasi terjadi pada kodon 37 atau 41. Pada

adenokarsinoma kolon yang diinduksi AOM/DSS, mutasi gen terjadi pada kodon

32 hingga 34. Mutasi pada kodon 33 dan 34 disebabkan oleh AOM, sementara

mutasi pada kodon 32 disebabkan oleh DSS. Diperkirakan juga bahwa DSS

merangsang kehilangan gen Apc pada mencit Apc Mint/+

(Kohno et al. 2005,

Tanaka et al. 2005).

Jalur transforming growth factor (TGF)-β dilaporkan memegang peran

dalam modulasi karsinogenesis kolon manusia. Pada kolon normal, (TGF)-β

memiliki pengaruh antiproliferatif pada sel epitel. Pengaruh antiproliferatif

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka

diperantarai oleh reseptor (TGF)-β tipe I dan II yang membentuk dimer yang pada

akhirnya melakukan aktivasi transkripsi protein regulator SMAD, SMAD2, 3 dan

4. (TGF)-β juga mempengaruhi perkembangan kanker kolon melalui aktivitas

imunosupresifnya yang kuat. Gangguan pada jalur (TGF)-β sering dijumpai pada

kanker kolon manusia. Pada kanker ini karsinogenesis terjadi melalui silencing

beberapa gen yang terlibat dalam perbaikan kerusakan DNA (DNA mismatch

repair), yang menimbulkan mutasi frame-shift pada TGF-βRII. Bukti-bukti telah

banyak menjelaskan bahwa jalur tersebut mengalami gangguan pada model

rodensia yang diinduksi karsinogen dan menjadi fakor penting yang menentukan

sensitivitas berbagai strain mencit pada karsinogenesis yang diinduksi oleh AOM

dan DSS (Tarafa et al. 2000, Rosenberg et al. 2009).

Siklooksigenase-2 (COX-2) sebagai penanda Inflamasi

Sejumlah laporan menyatakan bahwa AOM dapat meningkatkan ekspresi

COX-2 dan level prostaglandin E2 (PGE2) pada adenokarsinoma. Peningkatan

ekspresi COX-2 terjadi selama proses karsinogenesis dimana bermula dari

mukosa kolon yang tampak normal setelah satu minggu pemberian AOM pada

tikus. Peningkatan ekspresi COX-2 pada mencit terdeteksi setelah 24 minggu

pemberian AOM diikuti oleh peningkatan level PGE2 (Dong et al. 2003 ; Dubois

et al.1996).

Siklooksigenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik

prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Terdapat 2 bentuk COX

yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 timbul sebagai respon dari produksi

prostaglandin dan mempunyai fungsi homeostatik. COX-1 berisi 70 kiloDalton

subunit sedangkan COX-2 berisi protein 74 kiloDalton yang mempunyai 60%

homolog dengan COX-1. COX-2 terangsang selama proses peradangan dan

neoplasma. COX-2 adalah suatu isoform enzim siklooksigenase yang mengubah

asam arakidonat menjadi prostanoid, tertampil pada beberapa tumor dan dalam

perkembangannya membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis kanker

kolorektal. Sel yang mengalami inflamasi akan membebaskan metabolisme dari

asam arakidonat atau eisosanoid termasuk prostanoid, prostaglandin dan leukotrin.

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka

atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau

mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera

(Dorland 2002). Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi

pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang

berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan

dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang

interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari

kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit

ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan

yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin,

prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi

sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin

yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall 1997; Simmons &

Moore 2000).

Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan

penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit.

Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran

darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan

memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah.

Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan

selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.

Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului

oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang

apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum

(misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada

permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel,

berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada

vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom.

Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-

granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke

dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka

yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat

pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen

dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).

Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai

penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa

cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan

kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera

mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh.

Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang

dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai

macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis

jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator

kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat

bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja

mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator

kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins

& Kumar, 1995).

Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal

sebagai mediator dari respon peradangan. Mediator yang lebih dikenal dapat

digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease

plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam

arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan

limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang

berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams 1995;

Robbins & Kumar, 1995).

Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar

histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast

atau mastosit. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam

sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang

tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus

yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma

atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka

Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin),

protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida (misal, substansi

P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins

& Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga

faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan

komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor Hageman

(disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII adalah suatu

protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga

bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas

endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight kininogen

(HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian mengalami

perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar pusat serin

aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran, 2003).

Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan

bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai

prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim

proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu prekalikrein

yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin

menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi

otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit,

tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat

bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan

dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan,

dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah

(Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan

aktivasi trombin yang kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam

sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Trombin memperkuat perlekatan leukosit pada

endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama pembelahan

fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis

leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka

Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi

sistem fibrinolitik. Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan

cara memecah fibrin kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya

fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi pembekuan dan mengakibatkan

penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan

oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang

terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu

plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell &

Cotran, 2003).

Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan

penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi

biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat

terjadi melalui ”jalur klasik” yang tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks

antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang dicetuskan oleh

polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA

teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin

dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem

komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang menyangkut C5

sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang secara biologi

aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins &

Kumar, 1995).

Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena

radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan

C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan

menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel mast untuk mengeluarkan

histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat

dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel

dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang

lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai

opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung

reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).

Page 26: Bab II Tinjauan Pustaka

Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh yang utamanya

berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk

esterifikasi sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat

dilepaskan dari fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh

stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti

C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur

utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan

lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat

memperantarai setiap langkah inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGI2

(prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari

PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil,

merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa

enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu. Misalnya, trombosit mengandung

enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2

merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain,

endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki

prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan

penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur

siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2, PGD2 menyebabkan

vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis

nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk

bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit

asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki karakteristik

yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat

5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE

(asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau

diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE

adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4

merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4,

Page 27: Bab II Tinjauan Pustaka

LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan

permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).

Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis

menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin

A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat

LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik pro- dan anti-

inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis vasokonstriksi

yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis neutrofil dan

perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).

Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung

molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh

karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis

Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam

arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).

Kultur Sel

Kultur sel merupakan teknik mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in

vitro) dimana sel dari suatu jaringan tertentu diambil dan ditumbuhkan pada

kondisi yang terkontrol dan aseptik. Sel yang digunakan sebagai kultur sel dapat

berasal dari jaringan manusia, hewan atau tumbuhan.

Limfosit adalah sel darah putih atau leukosit yang berbentuk bulat dengan

diameter 7-15 µm. Sel limfosit selain terdapat di dalam darah perifer, terdapat

juga pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe dan timus. Limfosit manusia

berjumlah sekitar 30% dari persentasi normal sel darah putih. Sel limfosit

memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi utama adalah memproduksi

antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat

oleh makrofag, merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, dapat

mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari

komponen tubuhnya sendiri (Kuby, 1992).

Kultur sel dari jaringan sel kanker diperbanyak dibawah kondisi yang

sesuai sampai sel dapat menggunakan semua substrat, menjadi sangat padat

Page 28: Bab II Tinjauan Pustaka

(terlihat dekat satu sama lain) atau mencapai konfluen. Setelah mencapai

konfluen, sel harus dipindahkan ke dalam wadah yang baru dengan medium yang

baru untuk mendukung pertumbuhannya kembali, istilah ini disebut subkultur

(passage). Cell lines adalah sel yang berasal dari kultur primer yang telah

dibiakkan secara berkala, ditumbuhkembangkan, dipelihara, dan disimpan dalam

nitrogen cair. Cell lines yang telah disubkultur umumnya mempunyai fraksi

pertumbuhan yang cukup tinggi (lebih dari 80%). Salah satu keistimewaan dari

cell lines ini adalah bersifat abadi (immortal), sel ini masih dapat hidup dalam

kondisi media seminimal mungkin. Cell line tertentu dapat mengalami

transformasi sehingga dapat berkembang secara immortal seperti sel tumor, ini

disebut continuous cell line. Continuous cell line yang diklon dan dikarakterisasi

akan menurunkan continuous cell strain (Freshney 1994).

Sel yang telah dikultur akan tumbuh dan bertambah banyak dalam kondisi

in vitro dan tidak akan memiliki fungsi in vivo-nya lagi. Sel yang berasal dari

jaringan atau organ yang diuraikan secara mekanis ataupun enzimatis menjadi

suspensi sel dibiakkan diatas permukaan yang keras seperti botol, tabung, cawan

ataupun multiwell, atau menjadi suspensi sel dalam media pertumbuhan. Untuk

pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di

dalam tubuh. Sel memerlukan media penumbuh yang dapat membuat sel tetap

bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi (Cartwright & Shah, 1994).

Jumlah dan kualitas media menentukan jumlah sel yang dapat

ditumbuhkan dalam kultur. Pemilihan media harus didasarkan pada kebutuhan

sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan studi yang menggunakan

sel tersebut. Teknik kultur sel memiliki kelebihan karena lingkungan tempat

hidup sel seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 dapat dikontrol dan

diatur sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Freshney, 1994).

Fungsi utama media pada teknik kultur sel adalah untuk mempertahankan

pH dan osmolalitas esensial untuk viabilitas sel serta penyedia nutrisi dan energi

yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel (Cartwright & Shah,

1994). Media untuk pertumbuhan sel harus mengandung asam amino, vitamin,

glukosa, garam berbagai suplemen organik seperti protein, peptide, nukleosida

dan lipid serta hormon dan faktor pertumbuhan. Media Roswell Park Memorial

Page 29: Bab II Tinjauan Pustaka

Institute (RPMI-1640) dan Dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM) adalah

media kultur sel terbaik untuk menumbuhkan sel limfosit dan alur sel kanker

manusia untuk jangka pendek.

Ada dua jenis kultur sel kanker, yaitu kultur dalam bentuk suspensi dan

kultur dalam bentuk selapis atau monolayer. Kultur sel dalam bentuk suspensi

diturunkan dari sel yang dapat bertahan hidup atau mampu berproliferasi dalam

media tanpa memerlukan support atau faktor pembantu untuk menempel. Kultur

sel dalam bentuk selapis memerlukan support untuk menempel pada permukaan

tempat kultur. Dalam perkembangbiakannya, sel akan memenuhi permukaan

tempat tumbuhnya. Sel-sel yang dibiakkan dalam bentuk monolayer ini biasanya

untuk sel-sel yang berasal dari jaringan (Freshney 1994).

Alur sel A549 diisolasi pertama kali oleh Giard et al. (1973) berasal dari

sel karsinoma paru-paru dari pria berumur 58 tahun dengan morfologi menyerupai

epitelial. Sel ini memiliki sifat dapat mengekspresikan enzim metabolik

xenobiotik. Alur sel HCT 116 merupakan sel turunan kanker kolon stadium lanjut

pada manusia (late phase adenocarcinoma). Sel HeLa merupakan sel turunan

yang tumbuh sebagai sel yang semi melekat. Sel HeLa diturunkan dari sel epitel

kanker leher rahim (serviks) manusia. Sel ini diisolasi tahun 1915 dari rahim

wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang berusia 31

tahun. Sel ini secara morfologi merupakan sel epitelial yang sudah dimasuki oleh

Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat

agresif sehingga mudah untuk dikultivasi (Rahbari et al. 2009).

Sel Raji adalah cell line lymphoblastoid yang diturunkan dari lymphoma

Burkitt. Burkitt merupakan sejenis kanker yang terdapat pada sistem limpa

khususnya pada limfosit B. Sel Raji ditemukan pada tahun 1963 yang diperoleh

dari rahang kiri anak lelaki dari Afrika yang saat itu mempunyai limfoma Burkitt.

Peristiwa ini merupakan pertama kalinya continuous human hematopoietic cell

line. Sel limfoma ini sangat diperlukan untuk penelitian haemotologi limfoma dan

leukemia. Sel Raji ini memiliki banyak reseptor untuk beberapa komponen

komplemen dan cocok digunakan untuk mendeteksi kompleks imun. Sel ini

mengekspresikan beberapa reseptor komplemen tertentu serta reseptor untuk Fc

imunoglobulin G (Epstein et al. 1966).

Page 30: Bab II Tinjauan Pustaka

MTT assay merupakan metode yang penggunaannya sudah banyak

diaplikasikan dalam berbagai bidang. Metode ini berdasarkan pada perubahan

garam tetrazolium (MTT) menjadi formazan dalam mitokondria sel hidup

(Gambar 8).

Gambar 11 Reaksi MTT (3[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-

diphenyltetrazolium bromide).

Konsentrasi dari formazan yang berwarna ungu dapat ditentukan secara

spektrofotometri visibel dan berbanding lurus dengan jumlah sel hidup. Kristal

formazan berwarna ungu yang terbentuk terlarut dengan adanya penambahan

isopropanol asam (100 μl 0,04 N HCl dalam isopropanol) atau SDS 10% dalam

HCl 0,01N. Selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 550 -

595 nm. Intensitas warna ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan jumlah

sel yang aktif melakukan metabolisme (Mosmann, 1983).

MTT Formazan

Page 31: Bab II Tinjauan Pustaka

TEPUNG SORGUM MENGHAMBAT KANKER KOLON PADA MENCIT

BALB/c YANG DIINDUKSI AZOKSIMETANA (AOM) DAN DEKSTRAN

SODIUM SULFAT (DSS)

ABSTRAK

Ekstrak sorgum yang disosoh 50% (S50) mengandung komponen

polifenol yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh tepung sorgum (S50) dalam

menghambat kanker kolon pada mencit BALB/c. Induksi AOM (10 mg/kg bobot

badan) pada intraperitoneal mencit dan pemberian DSS 1% pada air minum

mentargetkan pembentukan kanker kolon. Mencit BALB/c (n = 24) dibagi 4

kelompok masing-masing 6 ekor mencit. Kelompok A merupakan kelompok

mencit kontrol negatif dengan perlakuan ransum standar menggunakan sumber

karbohidrat maizena. Kelompok B merupakan kontrol positif dengan perlakuan

ransum standar, kelompok C merupakan kelompok mencit perlakuan dengan

sumber karbohidrat sorgum 50% dan maizena 50% dan kelompok D merupakan

kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 100%. Kelompok

B, C, dan D diinduksi AOM 10 mg/kg bobot badan dan diikuti pemberian DSS

1% selama 7 hari. Hasil menunjukkan tepung sorgum dapat menghambat

karsinogenesis pada mencit yang diinduksi AOM dan DSS. Bobot badan dan

konsumsi ransum kelompok mencit yang tidak diberi sorgum (B) lebih rendah

dari kelompok yang diberi sorgum (C dan D). Gambaran histopatologi hati, ginjal,

dan kolon memperlihatkan bahwa kelompok mencit yang diberi sorgum 100% (D)

dan 50% (C) memperlihatkan profil histopatologi dengan tingkat penghambatan

lebih tinggi dari kelompok yang tidak diberi sorgum (B). Hal ini didukung oleh

ekspresi COX-2 hasil analisis imunohistokimia dengan pewarnaan DAB. Hal ini

menunjukkan bahwa sorgum efektif untuk perlindungan terhadap kanker kolon.

Kata Kunci : AOM, DSS, mencit BALB/c, sorgum, kanker kolon

ABSTRACT

Half polished sorghum extracts have been shown to contain phenolic

compounds and to inhibit cancer cell lines in vitro. This study was conducted to

study the effect of half polished sorghum flour in inhibiting colon cancer in

BALB/c mice. Induction of AOM (10 mg/kg body weight) in mice by

intraperitoneal and administration of 1% DSS in drinking water was targetted for

colon cancer. BALB/c mice (n = 24) were divided into 4 groups of 6. Group A is

the standard negative control diet treated with cornstarch as the carbohydrate

source. Group B is the positive control treated with standard diet, C is a group

treated with source of carbohydrate from 50% sorghum and 50% cornstarch and

D is the group treated with 100% sorghum. Group B, C, and D were

intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg body weight), followed by 1%

(weight/volume) DSS in drinking water for 7 days. The result showed that

Page 32: Bab II Tinjauan Pustaka

sorghum flour can inhibit carcinogenesis on the mice which were induced by

AOM and DSS. The body weight and diet consumption of mice group B < C < D.

Mice group diet with sorghum flour as 50% and 100% source of carbohydrate (C

and D) showed higher levels on cancer inhibition based on the histopathological

profile than the group without sorghum (B). The results were supported by the

COX-2 expression that was observed by DAB immunohistochemical staining.

This shows that the higher concentration of sorghum, bioactive components and

fiber, is capable of preventing colon cancer. This indicate that sorghum is the

effective to protection against colon cancer.

Keywords: AOM, DSS, mice BALB/c, sorghum, colon cancer

PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin tinggi, seiring

dengan meningkatnya pengetahuan dan kemajuan teknologi pangan. Oleh sebab

itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obat-obatan,

karena efek psikologis yang menyehatkan dan resiko efek samping yang jauh

lebih rendah. Paradigma pangan fungsional sebagai pencegah penyakit

degeneratif didukung oleh para ilmuan dan berbagai institusi formal global. Bahan

pangan lokal yang berlimpah di Indonesia, masih banyak yang belum diolah dan

diteliti khasiat dan keamanannya, atau yang sudah diteliti belum mendapat

perhatian yang cukup, sehingga pemanfaatannya oleh masyarakat masih rendah.

Sorgum merupakan pangan fungsional karena mengandung serat dan

komponen fitokimia yang memberikan manfaat kesehatan disamping zat gizi yang

dikandungnya. Ekstrak sorgum secara in vitro terbukti menghambat proliferasi sel

kanker paru-paru A549, kanker servik Hela, sel limfoma Raji, dan kanker kolon

HCT 116.

Kanker merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh masyarakat di

seluruh dunia. Colorectal cancer (CRC) menempati urutan ketiga penyakit

kanker yang tingkat keganasan di dunia menyebabkan kematian. Pada tahun 2008

terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih

dari 50% (Jemal et al. 2010). Jumlah penderita kanker kolon pada pria sekitar 9.5

%, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9.3% dari total jumlah penderita

Page 33: Bab II Tinjauan Pustaka

kanker. Faktor keganasan CRC berkembang secara spontan sebagai komplikasi

akhir dari suatu kondisi inflamasi kronis. Penyebab kanker kolorektal berasal dari

lingkungan (30% dikaitkan dengan rokok dan polutan), 35% dikaitkan dengan

faktor makanan dengan kadar lemak tinggi dan 20% faktor risiko lain yang

berhubungan dengan beberapa bentuk inflamasi kronis atau infeksi kronis (van

Hogezand et al. 2002). Penyakit radang usus (IBD) merupakan pemicu

meningkatkan resiko kanker kolorektal. Patogenesis CRC juga dipengaruhi oleh

mutasi genetik, terutama mutasi somatik dari gen penekan tumor adenomatosis

polyposis coli (APC) yang menyebabkan sindrom familial adenomatosis coli.

Penelitian patogenesis dan karsinogenesis kanker kolon menggunakan

mencit percobaan telah lama dilakukan. Pengujian praklinis dengan mencit

percobaan sangat membantu untuk menemukan senyawa kemopreventif atau obat

kanker. Model mencit strain BALB/c mudah diinduksi azoksimetan (AOM) dan

dekstran sodium sulfat (DSS) pada perkembangan CRC. Pemilihan model mencit

yang diinduksi AOM dan DSS sebagai target kanker kolon melalui inflamasi

kronis berkaitan dengan potensi sorgum sebagai sumber serat dan kandungan

senyawa bioaktif yang terdapat sorgum. AOM banyak dipakai untuk

menghasilkan kanker kolorektal sporadik (Neufert et al. 2007). AOM adalah suatu

karsinogen genotoksik kolon yang digunakan untuk menginvestigasi

karsinogenesis pada hewan rodensia. Polisakarida Sulfat Sintetis (DSS)

merupakan karsinogen non genotoksik yang menyebabkan inflamasi (ulcerative

colitis) pada hewan rodensia (Suzuki et al. 2006). Kanker kolon berhubungan

dengan inflammatory bowel disease (IBD) termasuk ulcerative colitis dan

penyakit Crohn. Beberapa penelitian melaporkan bahwa inflamasi mukosa kronik

secara berulang menghasilkan tumorigenesis melalui berbagai mekanisme

diantaranya melalui induksi mutasi, peningkatan proliferasi sel kripta, perubahan

metabolisme sel kripta, perubahan sirkulasi enteropatik asam empedu dan

mikroflora (Itzkowtz & Yio 2004).

Target penghambatan kanker kolon dengan induksi karsinogen AOM dan

DSS dilatarbelakangi oleh potensi senyawa bioaktif dan sumber serat pangan. Hal

ini menarik untuk dikaji karena konsumsi sorgum banyak dikaitkan dengan

insiden penurunan kanker pada saluran pencernaan. Chen et al. (1993)

Page 34: Bab II Tinjauan Pustaka

menginformasikan bahwa epidemiologi kanker esophagus lebih rendah pada

daerah Saxchi (Cina) yang mengkonsumsi sorgum dibandingkan dengan daerah

yang mengkonsumsi tepung gandum dan jagung sebagai makanan pokoknya. Hal

serupa juga terjadi di daerah Afrika Selatan (Isaacson 2005).

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh tepung sorgum

sebagai pangan fungsional dalam penghambatan kanker kolon pada mencit

BALB/c yang dinduksi karsinogen AOM dan DSS.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai dengan Desember

2011. Tempat pelaksanaan penelitian bertempat di laboratorium Institut Pertanian

Bogor meliputi : (1) Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan Fateta IPB, (2) Laboratorium Pengembangan Proses dan

Produk Pangan Seafast Centre IPB, (3) Laboratorium dan Kandang Hewan

Percobaan Seafast Centre IPB, (6) Laboratorium Riset Patologi FKH IPB.

Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian adalah biji sorgum

dari varietas Kawali. Bahan untuk membuat ransum terdiri dari kasein, minyak

kedelei sebagai sumber lemak, tepung maizena (alpha corn starch) sebagai

sumber energi, CMC sebagai sumber selulosa, Vitamin mix (Fitkom) yang pada

tiap tabletnya mengandung vitamin A 1500 SI, tiamin 1 mg, riboflavin 0,5 mg,

piridoksin 0,5 mg, niasin 10 mg, vitamin B 5 mg, asam folat 0,5 mg, vitamin B12

0,5 mg, vitamin C 25 mg, vitamin B5 dan vitamin D2 150 SI. Komposisi

campuran mineral (modifikasi AIN 1993) disajikan pada lampiran 5.

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih (Mus musculus L)

strain BALB/c berumur ± 8 minggu. Mencit BALB/c berasal dari Laboratorium

Patologi Eksperimental, Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran,

Universitas Indonesia. Bahan kimia yang digunakan untuk pengolahan jaringan

adalah formalin, larutan Bouin, asam asetat glasial, paraffin, xylol, etanol 70% dan

60%, larutan PBS (phosphate buffer saline), larutan NaCl fisiologis dan neofren.

Page 35: Bab II Tinjauan Pustaka

Peralatan untuk pengolahan jaringan meliputi oven, cetakan antikarat, forsep,

lemari pendingin serta gelas objek.

Jaringan yang digunakan untuk HE adalah jaringan hati, ginjal dan kolon

mencit BALB/c. Jaringan yang digunakan untuk IHK adalan kolon bagian distal.

Bahan khusus untuk pewarnaan HE meliputi pewarna hematoksilin dan eosin.

Bahan-bahan kimia untuk pewarnaan IHK pada penelitian ini menggunakan

protokol imunohistokimia paraffin dari Cell Signaling Technology (2007) yang

dimodifikasi. Bahan khusus untuk pewarnaan IHK meliputi antibodi antiCOX-2,

antibodi sekunder antirabbit IgG HRP-linked antibody dari Cell Signaling

Technology (nomor katalog 7074) dan substrat DAB (diaminobenzidine).

Peralatan untuk pewarnaan IHK meliputi gelas objek dan penutupnya, kotak

plastik, tisu, batang kaca, alat penghitung waktu (timer), lemari pendingin dan

lembar protokol IHK.

Metode Penelitian

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama meliputi

persiapan pakan dan penanganan mencit BALB/c. Tahap kedua merupakan

pengujian secara makroskopis dan mikroskopis pengaruh sorgum dalam

mencegah kanker kolon pada mencit BALB/c yang diinduksi AOM dan DSS

dengan pewarnaan histopatologi yang terdiri atas pewarnaan hematoksilin-eosin

(HE) dan imunohistokimia (IHK). Pewarnaan IHK dilakukan untuk mendeteksi

keberadaan COX-2 pada jaringan kolon mencit BALB/c.

Persiapan ransum mencit BALB/c

Biji sorgum dipilih dan disosoh selama 20 detik (DS 50%), dihaluskan

menjadi tepung dengan alat diss mill. Tepung sorgum dianalisis proksimat untuk

formula perlakuan yang digunakan sebagai sumber karbohidrat pada ransum

mencit.

Ransum yang diberikan pada mencit mengacu pada pakan standar dari

America Institute of Nutrition (AIN 1993) yang dimodifikasi sesuai dengan

kebutuhan gizi mencit.

Page 36: Bab II Tinjauan Pustaka

Tabel 11 Komposisi pakan mencit BALB/c (AIN 1993 yang

dimodifikasi)

No. Komponen

Standar

AIN,1993

1 Sorgum 0

2 Protein kasein 20

3 Lemak, minyak kedelei 7

4 Selulosa, CMC 5

5 Mineral mix 3.5

6 Vitamin mix 1

7 Sukrosa 10

8 Karbohidrat,meizena/sorgum

Untuk membuat

100

Ransum standar menggunakan maizena sebagai sumber

karbohidrat dan pakan perlakuan menggunakan tepung sorgum. Pakan

perlakuan kelompok C sumber karbohidrat adalah tepung sorgum 50%

dan maizena 50% dan kelompok D sumber karbohidrat adalah tepung

sorgum 100%.

Tabel 12 Komposisi ransum standar dan ransum uji mencit

Komponen

K negatif

(A)

K positif

(B)

Sorgum 50%

(C)

Sorgum

100% (D)

Protein kasein 23.13 23.12 20.85 18.58

Lemak,minyak kedelai 6.84 6.84 6.67 6.51

Selulosa, CMC 5.00 5.00 2.93 0.85

Mineral mix 2.58 2.58 2.36 2.14

Vitamin mix 1.00 1.00 1.00 1.00

Air 8.94 8.94 5.31 1.69

Sukrosa 10.00 10.00 10.00 10.00

Karbohidrat (maizena) 42.51 42.51 21.25 0.00

Karbohidrat (sorgum) 0 0 29.61 59.22

Penanganan Mencit BALB/c

Desain yang digunakan adalah randomized post test control group.

Populasi dan sampel yang diteliti adalah mencit galur BALB/c dengan

kriteria inklusi; umur 8 minggu, berbobot ±20 gram, sehat, aktivitas dan

tingkah laku.

Page 37: Bab II Tinjauan Pustaka

Gambar 18 Diagram alir pengujian in vivo pada mencit BALB/c.

Mencit diadaptasikan selama seminggu bertujuan untuk menyesuaikan

dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati kemampuan

beradaptasi dan berprilaku normal, tidak sakit, dan menyeragamkan kondisi

sebelum diberi perlakuan. Setelah dilakukan aklimatisasi selama satu minggu

dengan diberi ransum standar modifikasi dari AIN (American Institute of

Nutrition) 93 dan minum secara ad libitum.

24 ekor mencit BALB/c, umur

8 minggu

Kelompok D: Ransum sorgum

100% dan injeksi AOM

(10 mg/kg bb) dan DSS 1%

Kelompok C: Ransum50% sorgum +50% maizena dan

injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan

DSS 1%

Kelompok B: Ransum standar

dan injeksi AOM (10

mg/kg bb) dan DSS 1%

Kelompok A: Ransum standar

(5 g/kg bobot badan)

Mencit @ 6 ekor diberi perlakuan selama 19 minggu. Penimbangan

ransum/hari, bobot badan (2X seminggu)

Adaptasi 1 minggu

Nekropsi

Patologi Anatomi Histopatologi

HE IHK

Page 38: Bab II Tinjauan Pustaka

Pada akhir masa adaptasi mencit dikelompokkan ke dalam empat

kelompok sebagai perlakuan terdiri dari: (1) kelompok kontrol negatif (A) yaitu

yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat standar (maizena) dan diinjeksi

0.9% salin melalui intraperitoneal, (2) kelompok kontrol positif (B) yaitu yang

diberi ransum dengan sumber karbohidrat standar (maizena) dan diinjeksi AOM

10mg/kgBB melalui intraperitoneal dan pemberian DSS 1% melalui air minum,

(3) kelompok (C) yaitu yang diberi ransum dengan karbohidrat dari sorgum 50%

dan maizena 50%, diinduksi AOM 10 mg/kgBB dan DSS 1%, (4) kelompok (D)

yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat dari sorgum 100% dan

diinduksi AOM 10 mg/kgBB dan DSS 1%.

Induksi azoksimetana (AOM) secara intraperitoneal dengan dosis 10mg/kg

BB pada umur 9 minggu mencit kelompok B, C dan D. DSS 1% diberikan pada

minuman (ad libitum) selama seminggu setelah induksi AOM pada mencit

kelompok B, C dan D. Masa perlakuan selama 18 minggu setelah injeksi atau

umur tikus sekitar 29 minggu. Ransum yang diberikan 5 gram/ekor/hari dalam

bentuk bubuk mengikuti AIN 93 sudah mencukupi kebutuhan konsumsi mencit

perhari dan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi setiap harinya. Tiap

ekor mencit menempati satu kandang yang terbuat dari plastik dan

ditempatkan dalam ruangan yang telah diatur siklus udara dan cahaya.

Semua mencit diberi ransum secara teratur dan ditempatkan dalam ruangan suhu

kamar dan dilengkapi blower untuk menjaga kelembaban lingkungan. Banyaknya

ransum yang dikonsumsi dihitung tiap hari berdasarkan jumlah pakan yang

tersisa.

Setelah berakhir masa perlakuan mencit diterminasi dengan cara dislokasi

leher, yaitu perusakan hubungan antara tulang leher dan kepala yang

menyebabkan rusaknya jaringan syaraf pengatur kesadaran.

Pengambilan Organ Mencit Balb/c

Setelah perlakuan 18 minggu, mencit diterminasi dan diambil organ hati,

ginjal dan kolon untuk diindentifikasi patologi anatomi dan dilakukan pemrosesan

jaringan secara histopatologi. Analisis histopatologi kolon tikus percobaan dengan

Page 39: Bab II Tinjauan Pustaka

pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK) dilakukan

dengan metode Kiernan (1990).

Pembuatan preparat histologi

Organ tersebut harus segera diambil untuk preparat histologis. Organ

dicuci dengan 0,9% NaCl fisiologis dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin

(dengan komposisi asam pikrat jenuh:formalin pro-analisis:asam asetat

glasial=15:5:1) selama 24 jam. Setelah organ terfiksasi, larutan diganti dengan

alkohol 70% yang dikenal sebagai stopping point dengan pengertian bahwa

jaringan dapat disimpan lama pada larutan ini.

Proses penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dilakukan dengan alkohol

yang konsentrasinya bertingkat. Selanjutnya, jaringan dijernihkan dengan silol

(clearing) dan ditanam dalam parafin (embedding). Jaringan dalam blok parafin

disayat secara serial dengan microtom rotary. Kemudian, dilekatkan pada gelas

obyek disimpan dalam inkubator 40°C selama 24 jam. Setelah itu, sediaan

diwarnai dengan berbagai macam prosedur pewarnaan sesuai dengan tujuan.

Prosedur proses dehidrasi dan infiltrasi

Dehidrasi adalah pengambilan air dari dalam jaringan secara perlahan-lahan

dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Sampel dalam tissue

basket dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 90 dan 95% masing-masing selama

1 atau 2 jam sampai overnight. Sampel dimasukkan ke dalam alkohol absolut

(absolut I, II, III) selama 20 menit sampai 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran

jaringan. Sampel dijemihkan dengan merendam di dalam silol I, II dan III

masing-masing selama 20 menit hingga 1 jam tergantung besar-kecilnya

ukuran jaringan. Pada xilol III sampel dihangatkan pada suhu parafin cair. Sampel

diinfiltrasi dengan parafin (parafin I, II, III) pada suhu 65-70°C dalam

inkubator masing-masing selama 1 jam.

Pembuatan blok embedding

Sampel yang telah diinfiltrasi dapat dicetak dengan parafin melalui proses

embedding. Proses embedding diawali dengan menyiapkan cetakan yang

ukurannya sesuai dengan sampel jaringan. Jaringan dari parafin diambil dan

Page 40: Bab II Tinjauan Pustaka

dimasukkan pada cetakan dengan posisi bagian yang akan dipotong pada bagian.

Pada satu cetakan dapat diisi beberapa jaringan. Cetakan dapat didinginkan

pada cold plate untuk mencegah terjadinya pembekuan parafin bagian atas dulu.

Cetakan dapat direndam dalam air dingin setelah parafin membeku sehingga

blok parafin dapat dikeluarkan dari dalam cetakan. Blok parafin dapat langsung di-

triming untuk mempermudah pemotongan dengan menggunakan microtom

rotary.

Prosedur triming

Triming adalah penipisan sampel untuk mendapat jaringan atau bagian organ

yang benar dan bagus dalam orientasi dan memfasilitasi larutan fiksasi masuk

sampai pada bagian terdalam. Prosedur triming diawali dengan mengeluarkan organ

terpilih dari dalam fiksator atau larutan penyimpan. Organ dipotong pada bagian

yang diinginkan dengan dua mata pisau. Ukuran ketebalan sampel + 3-5 μm

dengan luas permukaan + 1x1 cm2. Selanjutnya, sampel dapat diproses lebih

lanjut, seperti pewarnaan HE dan IHK.

Pewarnaan Hemaksilin-eosin (HE)

Pemrosesan jaringan menjadi preparat histopatologi melalui tahapan-

tahapan sebagai berikut; fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing, infiltrasi,

embedding, trimming, sectioning, deparafinisasi dan dilanjutkan dengan staining

(pewarnaan). Fiksasi jaringan dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke

dalam larutan formaldehid. Sampel jaringan yang sudah menjadi histopat

direndam ke dalam xylol I selama 5-10 menit untuk menghilangkan parafin,

kemudian direndam dalam xylol II kembali untuk membilas selama 5-10 menit.

Setelah itu, sampel direndam dalam alkohol. Pada tahap ini sampel berturut-

turut direndam dalam alkohol yang menurun konsentrasinya secara bertingkat,

yaitu: alkohol absolut (100%), alkohol 96%, kemudian alkohol 70% masing-

masing 5 menit. Konsentrasi yang menurun secara berturut-turut tersebut akan

membuat air memasuki sampel jaringan. Sampel kemudian direndam dalam

akuades selama 5 menit dan direndam dalam larutan hematoksilin selama 5-10

menit. Hematoksilin akan mewarnai inti sel pada sampel jaringan dengan warna

biru. Setelah itu, sampel dimasukkan dalam air mengalir (secara tidak langsung)

Page 41: Bab II Tinjauan Pustaka

selama 5-10 menit untuk membilas. Tahap pewarnaan selanjutnya adalah

pewarnaan dengan pewarna eosin selama 1-2 menit untuk mewarnai sitosol sel

pada sampel jaringan. Setelah tahap ini, sampel memasuki tahap pencelupan

alkohol yang meningkat konsentrasinya secara berturut-turut sebagai kebalikan

dari tahap yang sebelumnya, yaitu: alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol

absolut (100%) masing-masing sebanyak 3-4 celupan. Pada akhir tahap

pewarnaan, sampel kembali direndam dengan xylol selama 5-10 menit, kemudian

direndam kembali dalam xylol selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel jaringan

ditutup dengan gelas penutup dan direkatkan dengan entellan. Slide

histopatologi siap diamati di bawah mikroskop dan difoto secara digital.

Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan dikelompokkan berdasarkan

organ yang akan diamati. Tingkatan colitis mengikuti protokol (Cooper 1993,

Suzuki et al. 2006). Skor 0 apabila mukosa kolon normal dan tidak terjadi

infiltrasi radang. Skor 1 apabila kripta memendek (1-3 kripta) dengan sedikit

infitrasi sel radang dan edema. Skor 2 apabila 2/3 kripta hilang dan terjadi

infiltrasi radang. Skor 3 ditandai oleh hilangnya kripta dengan infiltrasi radang

yang parah pada lamina propria tetapi masih tersisanya epitel permukaan. Skor 4

ditandai hilangnya semua kripta dan terjadi infitrasi radang yang parah pada

mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa.

Pembuatan preparat imunohistokimia (IHK)

Preparasi gelas objek

Preparasi gelas objek diawali dengan menyiapkan gelas objek yang akan

digunakan untuk penempelan (afixing) preparat. Gelas objek dimasukkan ke

dalam staining jar yang berisi alkohol 70% sampai semua bagian terendam,

kecuali bagian yang kasar tempat pelabelan. Staining jar yang berisi gelas objek

tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bak electromagnetic cleaner yang telah

diisi air (sejajar dengan alkohol yang terdapat dalam staining jar).

Electromagnetic cleaner dihidupkan selama 20 menit (untuk membersihkan gelas

objek dari lemak atau segala kotoran yang menempel yang dapat mengganggu

dalam proses imunohistokimia). Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar

dan direndam dengan menggunakan milique (air yang sudah disuling berulang-

Page 42: Bab II Tinjauan Pustaka

ulang) sebanyak 3 kali, masing-masing 20 menit, dilanjutkan perendaman staining

jar yang berisi gelas objek ke dalam electromagnetic cleaner selama 20 menit.

Pelapisan (coating) gelas objek dengan gelatin (sebagai agen penempel)

Pelapisan (coating) dilakukan dengan melarutkan 2.50-3.00 g gelatin

dalam 300-400 ml air panas bersuhu maksimal 60 °C, kemudian didinginkan

hingga mencapai suhu ruang. Selanjutnya, kromium potasium sulfat

(CrK(SO4)2) sebanyak 0,25 g dimasukkan dan diaduk. Setelah itu, ditambahkan

H2O hingga volumenya mencapai 500 ml. Gelas objek yang bersih direndam

dalam larutan tersebut selama 15-30 menit, kemudian dikeringkan pada suhu

ruang. Setelah kering, gelas objek disimpan di dalam oven dengan suhu + 60°C

untuk menghindari penempelan segala macam kotoran pada gelas objek.

Pembuatan irisan preparat pada gelas objek (sectioning)

Tahapan pembuatan irisan preparat meliputi beberapa tahap secara

berurutan, yaitu penempatan blok embedding pada holder microtom rotary,

pemasangan pisau pemotong, penentuan ketebalan sayatan, triming dan

penempelan (afixing). Preparat diiris dengan microtom rotary pada ketebalan

sayatan 3-5 μm.

Penempelan irisan preparat ke gelas objek (afixing)

Proses penempelan atau afiksasi dengan menggunakan air bersuhu 40°C

atau dengan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 39-40°C selama 24 jam.

Sebelum dimasukkan ke dalam air hangat atau bersuhu 40°C dengan

menggunakan gelas objek atau gelas benda, sampel sayatan jaringan dimasukkan

ke dalam air bersuhu dingin terlebih dahulu. Hal ini bertujuan meregangkan

jaringan (tidak mengkerut) dan lebih mempermudah afiksasi.

Persiapan preparat untuk pewarnaan imunohistokimia (IHK)

Deparaffinisasi (rehidrasi)

Langkah ini diawali proses deparafinasi (rehidrasi) dengan merendam

jaringan pada gelas objek dalam larutan xylol sebanyak tiga kali, masing-masing

Page 43: Bab II Tinjauan Pustaka

selama 10 menit. Selanjutnya, dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam

larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi

tinggi ke rendah. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 100, 96, 80 dan

70%. Perendaman dalam masing-masing konsentrasi etanol dilakukan sebanyak

dua kali. Masing-masing perendaman tersebut dilakukan selama 10 menit.

Proses deparaffinisasi diakhiri dengan perendaman jaringan dalam akuades

sebanyak dua kali, masing-masing perendaman dilakukan selama 5 menit.

Antigen unmasking

Antigen unmasking bertujuan untuk membuka epitop antigen, sehingga

antigen dapat berikatan dengan antibodi. Antigen unmasking dilakukan dengan

merebus jaringan dalam 10 mM larutan PBST (buffer natrium sitrat) pada suhu

sub-boiling (85°C) selama 10 menit. Buffer natrium sitrat dibuat dengan

melarutkan 2,94 g C6H5Na3O7•2H2O dalam 1 L akuades. Pada tahap ini, suhu

perebusan harus dijaga agar tidak melebihi atau kurang dari 85°C. Perebusan

dilakukan di dalam wadah stainless-steel yang diletakkan di atas hot-plate. Buffer

natrium sitrat harus dijaga agar tidak mendidih selama proses perebusan.

Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah proses pendinginan (cooling)

jaringan. Proses pendinginan dilakukan dengan tetap merendam jaringan di

dalam wadah tanpa ditutup pada suhu ruang. Pada proses ini, suhu awal dan akhir

perebusan serta suhu awal dan akhir pendinginan harus dicatat. Hal ini akan

memudahkan dalam optimasi suhu proses antigen unmasking selanjutnya.

Pewarnaan (staining)

Proses pewarnaan (staining) dilakukan setelah proses pendinginan pada

antigen unmasking. Pewarnaan diawali dengan merendam jaringan pada gelas

objek dengan akuades. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing 5

menit. Dalam hal ini, proses perendaman yang pertama dilakukan dengan

merendam seluruh gelas objek dalam wadah yang berisi akuades. Proses ini

segera dilakukan setelah proses pendinginan berakhir. Hal seperti ini akan

memudahkan proses selanjutnya dan jaringan tidak mudah kering. Sebelum

berlanjut pada perendaman berikutnya, jaringan pada gelas objek diberi batas

Page 44: Bab II Tinjauan Pustaka

dengan pap-pen yang mengandung 1-bromopropan. Jaringan yang dibatasi oleh

pap-pen akan memudahkan proses perendaman selanjutnya. Hal ini agar larutan

perendam tidak meluap ke batas luar jaringan tersebut.

Selanjutnya, perendaman dengan akuades yang kedua dan ketiga

dilakukan dengan memindahkan gelas objek ke dalam wadah berbentuk kotak

yang di bagian dasarnya terdapat tisu yang dibasahi dengan akuades. Pada bagian

atas tisu tersebut diberi dua penyangga untuk meletakkan gelas objek agar tidak

langsung menyentuh tisu yang basah tersebut. Dalam kondisi tersebut, proses

perendaman jaringan dilakukan dengan meneteskan akuades melalui pipet tetes

tepat di atas jaringan.

Perendaman jaringan dilanjutkan di dalam larutan 3% H2O2 dengan cara

diteteskan. Perendaman ini dilakukan selama 10 menit. Setelah itu, perendaman

dilakukan di dalam akuades lagi dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan.

Perendaman ini dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 menit.

Perendaman dilanjutkan di dalam larutan PBS (phosphate buffer saline) selama

5 menit. Dalam hal ini, PBS berperan sebagai larutan pencuci (wash buffer).

PBS dibuat dengan cara melarutkan tablet PBS ke dalam akuades, dengan

perbandingan satu tablet PBS dilarutkan dalam 100 ml akuades. Pada pembuatan

PBS, ditambahkan Tween 20 sebanyak satu tetes. Tween 20 berperan sebagai

deterjen, yaitu untuk menyatukan antara PBS dengan protein target. Tween 20

juga dapat membersihkan protein-protein lain yang bukan target, sehingga

memperjelas pengamatan protein target.

Perendaman dilanjutkan di dalam larutan blocking (blocking solution)

selama satu jam. Larutan blocking dibuat dengan cara melarutkan susu skim

(skim milk) ke dalam PBS, dengan perbandingan 0,1 g susu skim dilarutkan

dalam 100 ml PBS. Perendaman dengan larutan blocking dilakukan dengan cara

diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan blocking yang dapat diteteskan

adalah 100-400 μL pada suhu ruang. Penetesan larutan blocking dilakukan

dengan mikropipet.

Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan

antibodi primer dengan proses inkubasi pada suhu 4°C (suhu kulkas) selama

semalam (overnight). Perendaman dengan antibodi primer dilakukan dengan cara

Page 45: Bab II Tinjauan Pustaka

diteteskan tepat di atas jaringan, sebelum diinkubasi dengan suhu 4°C. Volume

larutan antibodi primer yang diteteskan adalah 100-400 μL dengan pengenceran

1:100. Penetesan larutan antibodi primer dilakukan dengan mikropipet.

Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antigen yang terdapat

pada jaringan dengan antibodi primer (reaksi Ag-Ab). Pada penelitian ini,

antibodi primer yang digunakan ada dua macam, yaitu antibodi anticaspase-3 dan

antibodi antiCOX-2.

Setelah overnight, larutan antibodi primer dicuci dan dilanjutkan dengan

merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama

5 menit. Dalam hal ini, larutan PBS diteteskan saja. Perendaman selanjutnya

adalah perendaman jaringan dalam larutan antibodi sekunder dengan proses

inkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Perendaman dengan antibodi

sekunder dilakukan dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan

antibodi sekunder yang diteteskan adalah 100-400 μL dengan pengenceran

1:1000. Penetesan larutan antibodi sekunder dilakukan dengan mikropipet.

Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antibodi primer yang

sudah terikat pada jaringan dengan antibodi sekunder (reaksi Ag-Ab). Pada

penelitian ini, antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi antirabbit yang

dilabel dengan enzim HRP (horseradish peroxidase). Setelah itu, larutan antibodi

sekunder dicuci, dan dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan PBS

sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya, jaringan

direndam dengan larutan DAB (diaminobenzidine). Dalam hal ini, DAB harus

disiapkan dalam keadaan segar. DAB dibuat dengan mengencerkan larutan stok

DAB dalam pelarut DAB dengan perbandingan 1:10. DAB merupakan substrat

bagi enzim HRP yang melabel antibodi sekunder. Reaksi antara DAB dan enzim

HRP menghasilkan warna coklat. Selanjutnya, larutan DAB dicuci dari jaringan.

Pencuciannya dilakukan dengan merendam jaringan dalam akuades selama 5

menit. Setelah itu, jaringan direndam dengan larutan hematoksilin selama 5-10

menit. Hematoksilin merupakan salah satu pewarna yang baik untuk diagnosis

histopatologik, karena hematoksilin berperan mewarnai nuklus dan jaringan

terkalsifikasi dengan warna ungu.

Page 46: Bab II Tinjauan Pustaka

Perendaman berlanjut dengan merendam jaringan dalam akuades sebanyak

dua kali, masing-masing 5 menit. Setelah perendaman dengan akuades, langkah

penting lain dalam metode imunohistokimia adalah dehidrasi, penjernihan dan

penutupan jaringan pada gelas objek (mounting).

Proses dehidrasi diawali proses inkubasi dengan merendam jaringan dalam

larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi

rendah ke tinggi. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 70, 80, 96 dan 100%.

Perendaman dalam masing-masing konsentrasi etanol dilakukan selama 3 menit.

Setelah perendaman dalam etanol 100%, jaringan direndam dalam larutan xylol

selama 3 menit. Selanjutnya, jaringan siap ditutup dengan media penutup dan

gelas penutup. Proses penutupan jaringan dilakukan dengan cara meneteskan

media penutup secukupnya pada jaringan di gelas objek, sebelum xylol menguap.

Selanjutnya, gelas penutup diletakkan di atas jaringan dan ditekan perlahan

dengan ujung pinset untuk mengeluarkan gelembung udara yang masih terdapat

pada gelas objek. Media penutup tersebut akan mengeras sehingga gelas objek

dapat disimpan pada rak preparat. Selanjutnya, sediaan histologis siap diamati di

bawah mikroskop dan direkam dengan foto digital.

Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan berdasarkan

pewarnaan IHK dikelompokkan berdasarkan warna coklat DAB yang tidak

terlokalisasi. Hal ini dilakukan dengan memberikan skor terhadap tingkat

kepekatan warna coklat pada area yang terbentuk (Nishihara 2008). Skor tersebut

meliputi 0 (tidak terdapat area berwarna coklat, 0%), 1 (warna coklat sangat

kurang pekat, + 1-25%), 2 (warna coklat kurang pekat, + 26-50%), 3 (warna

coklat pekat, + 51-75%), 4 (warna coklat sangat pekat, + 76-100%).