Bab II Tinjauan Pustaka

19
TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Pemanfaatan Sukun Sukun (Artocarpus altilis) termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae, ordo Urticales, dan kelas Dicotiledoneae (Citrosoma 1988 di dalam Anonim 2002), merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan tahun dikenal sebagai tanaman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New Guinea Pasific dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily 1984 yang dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar meluas di Indonesia. Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen raya di bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia 4 tahun setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar antara 200-750 buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994). Gambar buah dan tanaman sukun disajikan pada Gambar 1. (a) (b) Gambar 1 Buah sukun (a) dan pohon sukun (b) Buah sukun memiliki bagian daging buah yang dapat dimakan sebesar 81.21% dan bagian yang dibuang yaitu kulit buah serta hati buah yang pahit

description

tipus

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka

6  

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi dan Pemanfaatan Sukun

Sukun (Artocarpus altilis) termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae,

ordo Urticales, dan kelas Dicotiledoneae (Citrosoma 1988 di dalam Anonim

2002), merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan tahun dikenal sebagai

tanaman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New Guinea Pasific

dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman yang

dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran

tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi

dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily 1984 yang

dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar meluas

di Indonesia.

Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen

raya di bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia

4 tahun setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya

bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar

antara 200-750 buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994). Gambar buah dan

tanaman sukun disajikan pada Gambar 1.

(a) (b)

Gambar 1 Buah sukun (a) dan pohon sukun (b)

Buah sukun memiliki bagian daging buah yang dapat dimakan sebesar

81.21% dan bagian yang dibuang yaitu kulit buah serta hati buah yang pahit

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka

7  

rasanya sebesar 18.79%. Sukun dapat digolongkan sebagai buah yang memiliki

potensi sebagai bahan substitusi pangan khususnya karbohidrat karena didukung

oleh kandungan zat gizinya yang sangat baik (Tabel 1). Dibandingkan dengan

beras, buah sukun memiliki kandungan mineral dan vitamin yang lebih lengkap

dengan nilai kalori rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan diet.

Buah sukun mengandung asam amino esensial yang tidak diproduksi oleh tubuh

manusia seperti histidin, isoleusin, lisin, methionin, triptofan, dan valin (Widowati

2003).

Tabel 1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain

Zat Gizi Nilai per 100 gram bagian yang dapat di makan

Sukun tua Terigu Beras

giling Jagung kuning

Ubi kayu Talas

Energi (kal) Air (g) Potein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg)

108 69.3 1.3 0.3

28.2 21 59 0.4

0.12 0.06 17

357 12 8.9 1.3

77.3 16

106 1.2 0

0.12 0

349 13.0 6.8 0.7

78.9 10

140 0.8

0.12 0 0

317 24.0 7.9 3.4

63.6 9

148 2.1 264 0.33

9

158 60 0.8 0.3

37.9 33 40 0.7 230 0.06

0

104 73 1.9 0.2

23.7 38 61 1.0 6

0.13 4

Sumber : USDA ( 2004 )

Tepung Sukun

Sukun termasuk golongan buah klimakterik dengan puncak klimakterik

yang dicapai dalam waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat.

Dibandingkan dengan jenis buah klimakterik lain, buah sukun memiliki kecepatan

respirasi yang lebih tinggi. Buah sukun segar mempunyai umur simpan sekitar 2-4

hari setelah dipetik. Buah yang jatuh dan memar mempunyai daya simpan yang

lebih pendek (Syah & Nazaruddin 1994). Buah sukun dapat diawetkan dengan

pengeringan dalam bentuk gaplek atau tepung. Berdasarkan   kandungan

karbohidrat yang cukup tinggi (28.2%), buah sukun berpeluang untuk diolah

menjadi tepung.

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka

8  

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi

yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat

komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak

sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Bentuk

tepung merupakan produk antara yang fleksibel, mempunyai daya simpan yang

lebih baik, serta mudah dalam pendistribusian dan pengangkutan. Pengolahan

sukun dalam bentuk tepung memberikan nilai kepraktisan dalam pengolahannya

lebih lanjut. Kandungan air yang rendah serta bentuk tepung yang ringan

menyebabkan produk antara ini mudah untuk diangkut, dikemas, maupun

didistribusikan. Hal ini pula yang memungkinkan produk tepung sukun untuk

diproduksi dan dipasarkan secara massal dan meluas. Prosedur pembuatan

tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan

pangan. Secara garis besar bahan pangan yang dapat diolah menjadi tepung

dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan pangan yang mudah menjadi

coklat apabila dikupas dan bahan pangan yang tidak mudah mengalami

pencoklatan (Widowati 2003).

Pembuatan tepung sukun dimulai dengan pengupasan buah, perendaman

dan pencucian, pemotongan, pemblansiran selama 10 menit,

perajangan/penyawutan, pengeringan, dan penepungan (Gambar 2). Hal yang

perlu mendapat perhatian khusus saat pengolahan adalah buah sukun mengandung

polifenol cukup tinggi, sehingga saat dikupas dan dirajang akan cepat berubah

warna menjadi kecoklatan (Prabawati & Suismono 2009). Pada umumnya umbi-

umbian dan buah-buahan mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini

disebabkan oleh reaksi oksidasi antara bahan pangan dengan udara (oksigen),

sehingga terjadi reaksi pencoklatan akibat pengaruh enzim yang terdapat dalam

bahan pangan tersebut (browning enzymatic).

Pencoklatan karena aktivitas enzim merupakan reaksi antara oksigen

dengan suatu senyawa polifenol yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase.

Oleh karena itu, setelah dikupas, buah segera direndam dalam air (Prabawati &

Suismono 2009) atau larutan garam 1% (Widowati & Damardjati 2001) kemudian

dilakukan pemblansiran untuk menonaktifkan enzim fenolase. Demikian pula saat

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka

9  

perajangan atau penyawutan, sawut harus segera direndam dalam air lalu dipres

untuk mengeluarkan air dan senyawa fenol.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung sukun (Widowati 2003)

Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 gram dengan rendemen

daging buah 81.21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan

dikeringkan akan dihasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 – 20% dan

Buah sukun 

Pengupasan 

Pembelahan 

Pemblansiran dengan uap, 10‐20 menit 

Penyawutan/perajangan 

Pengeringan  

Sawut kering 

Penepungan 

Tepung sukun 

Pengayakan 

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka

10  

rendemen tepung sebesar 11 – 25%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun.

Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal

(setengah matang) yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum.

Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara

5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 oC. Bila pengeringan dilakukan di bawah

sinar matahari maka lama pengeringan sangat tergantung pada cuaca (1-2 hari bila

udara cerah) (Widowati 2003).

Komposisi Kimia Tepung Sukun

Tepung sukun mengandung 84.03% karbohidrat, 9.09% air, 2.83% abu,

3.64% protein dan 0.41% lemak. Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan

protein tepung sukun lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu, tepung ubi

jalar, dan tepung pisang (Widowati et al. 2001).

Tabel 2 Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan

Kadar (%) Komoditas

Sukun Pisang Labu kuning

Ubijalar Ubikayu

Air

Abu

Protein

Lemak

Karbohidrat

9.09 2.83 3.64 0.41 84.03

10.11 2.66 3.05 0.28 84.01

11.14 5.89 5.04 0.08 77.65

7.80 2.16 2.16 0.83 86.95

7.80 2.22 1.60 0.51 87.87

Sumber: Widowati et al. (2001)

Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tepung sukun.

Komponen karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun berada dalam

bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6.9%), total gula (4.07%) dan gula

reduksi (2.65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati sukun

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi pati sukun

Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%) Protein kasar 0.53 Lemak 0.39 Air 10.83 Amilosa 22.52 Abu 1.77 Amilopektin 77.48

Sumber: Akanbi et al. (2009)

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka

11  

Seperti halnya pati dari sumber lain, molekul pati sukun tersusun atas dua

kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer tersebut

disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan

glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul

tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran

derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati

seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b) (Roder et al. 2005)

Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain

dengan ikatan α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk polimer yang linier dengan

sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (< 1%) atau satu dari

300-1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara

105 – 106 Da dengan derajat polimerisasi mencapai kisaran 500 – 6000. Gugus

hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk

struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985).

Amilopektin memiliki ukuran molekul yang sangat besar dengan berat

molekul mencapai 107 – 109 Da dan derajat polimerisasi antara 3x105 – 3x106.

Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu sama lain dengan

ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka

12  

percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang

yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda,

demikian juga berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin

yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun memiliki

kandungan amilosa beragam, tergantung varietas dan tempat tumbuh. Sebagai

contoh kadar amilosa tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar

17 - 20%, sedangkan untuk tepung sukun Cilacap, Kediri, Bone dan

Kepulauan Seribu berkisar antara 11 – 17% (Prabawati & Suismono 2009).

Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun

menjadi penting apabila tepung sukun tersebut akan digunakan sebagai bahan

baku ataupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan

amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel

dan struktur bihun yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai 1985).

Pembentukan gel yang baik akan mengurangi tingkat kelengketan produk bihun

yang dihasilkan. Pati sukun asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang

tergolong rendah (11-20%), tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat

fungsional lainnya berpotensi untuk diolah menjadi bihun.

Sifat Fungsional Pati Sukun

a. Karakteristik Gelatinisasi

Salah satu karakteristik fisik pati yang penting untuk dievaluasi dalam

kaitannya terhadap sifat fungsional pati ketika diaplikasikan pada produk pangan

adalah karakteristik gelatinisasi. Jika pati dipanaskan dengan air, maka pati akan

mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti oleh peningkatan viskositas dan

pada akhirnya akan membentuk pasta. Fenomena ini dikenal dengan istilah

gelatinisasi pati. Jika pemanasan dilanjutkan selama jangka waktu tertentu

kemudian didinginkan, maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil

yang berbeda-beda, tergantung pada jenis pati.

Menurut Schoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Purwani et

al. (2006), penggolongan pasta pati dibagi menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe C

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka

13  

dan tipe D. Pati tipe A adalah tipe pasta pati yang mengalami pembengkakan

tinggi dengan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran

secara cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter

pembengkakan sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih

rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat

pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum

namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat

selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan

sulit mengental pada konsentrasi normal.

Profil gelatinisasi pati dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen

Brabender Amylograph atau Rapid Visco Analyzer. Prinsip kedua instrumen

tersebut adalah mengukur perubahan viskositas suspensi pati ketika mengalami

pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sukun

disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4.

Tabel 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 ml

Parameter Nilai

Suhu gelatinisasi 73.3 °C

Viskositas puncak (P) 790 BU

Viskositas pasta panas (H) 786 BU

Viskositas pasta dingin (C) 1091 BU

Viskositas breakdown (P-H) 4 BU

Setback (C-H) 305 BU

Keterangan: BU = Brabender Unit Sumber : Rincón dan Padilla (2004)

Berdasarkan analisis dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph,

suhu gelatinisasi pasta pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 g adalah 73.3 °C. Nilai

suhu ini lebih tinggi dibandingkan pati kentang (61.6 °C), tetapi lebih rendah dari

pati jagung (83.3 °C). Rincón dan Padilla (2004) menyebutkan bahwa suhu

gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran granula, dimana granula dengan ukuran lebih

kecil akan lebih tahan terhadap kerusakan dan gangguan terhadap susunan

molekulnya, sehingga suhu gelatinisasinya menjadi lebih tinggi.

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka

14  

Setelah gelatinisasi, viskositas pati meningkat dengan tajam, terutama

disebabkan oleh berkurangnya air yang tersedia. Puncak viskositas merupakan

parameter penting yang membedakan antara pati yang satu dengan yang lain. Pati

sukun menunjukkan nilai viskositas puncak 790 BU, jauh lebih tinggi dari

viskositas puncak pati jagung (302 BU) (Rincón & Padilla 2004). Viskositas pati

jagung dan pati kentang mengalami penurunan selama proses holding isothermal,

sementara pati sukun viskositasnya justru meningkat pada periode ini.

Rincón dan Padilla (2004) menyatakan bahwa viskositas pasta panas

dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya efek pencampuran granula pati yang

membengkak, fragmen granula, koloid dari molekul pati terdispersi, tingkat

pengembangan amilosa dan persaingan untuk mendapatkan air bebas antara

amilosa yang mengembang dengan granula yang tersisa. Pati sukun lebih mampu

mempertahankan integritas strukturnya di bawah kondisi panas dan tekanan, hal

ini dapat terlihat dari nilai viskositas breakdown yang hanya mencapai 4 BU.

Gambar 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6% (Rincón & Padilla

2004)

Kenaikan viskositas yang terjadi saat pasta panas mengalami pendinginan

disebabkan oleh kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Karakteristik

ini terutama disebabkan oleh afinitas di antara gugus hidroksil. Molekul amilosa

yang terdispersi secara acak dapat menyusun molekul-molekulnya untuk

membentuk agregat dengan kelarutan rendah, sampai akhirnya terbentuk gel.

Viskositas pasta dingin pati sukun (1091 BU) lebih besar dari viskositas

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka

15  

puncaknya (790 BU). Hal ini disebabkan selama pendinginan viskositas pasta

sukun meningkat karena tingginya kecenderungan fraksi amilosa untuk

mengalami retrogradasi (Rincón & Padilla 2004).

b. Swelling Power dan Kelarutan

Kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dari

viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan ataupun dari pengukuran

swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan

volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara

swelling power didefinisikan sebagai perbandingan antara berat sedimen pasta pati

dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Wattanachant et al.

2002b).

Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang

tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Kim et al. (1996)

melaporkan bahwa pati kentang yang memiliki swelling power lebih tinggi

dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) memiliki kelarutan

yang lebih tinggi pula.

Swelling power dari pati sukun semakin meningkat dengan peningkatan

suhu (Tabel 5). Fenomena ini terutama terjadi pada peningkatan suhu dari 70 °C

ke 80 °C. Swelling power berhubungan dengan ikatan asosiatif di antara granula

pati. Karakter dan kekuatan jaringan misel pada granula pati berhubungan dengan

kandungan amilosa dalam pati tersebut dimana kadar amilosa yang rendah akan

menghasilkan swelling power yang lebih besar (Rincón & Padilla 2004).

Tabel 5 Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu

Suhu (°C)

Swelling power (g/100 g amilosa)

Kelarutan (g/100 g bk)

60 35.7 ± 0.11 2.31 ± 0.17 70 46.9 ± 0.35 2.75 ± 0.26 80 144.9 ± 0.12 5.28 ± 0.24 90 238.1 ± 2.17 8.93 ± 2.8

Sumber: Rincón dan Padilla (2004)

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka

16  

Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan berhubungan dengan

kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan

menggantikan interaksi hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih

mudah menyerap air dan memiliki pengembangan tinggi. Muhamed et al. (2008)

menyatakan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan

bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda dalam

kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya

pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan

pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.

Sebagai akibat dari peristiwa swelling akan terjadi peningkatan kelarutan,

dimana kelarutan tertinggi terjadi pada suhu 90 °C. Peningkatan kelarutan ini

disebabkan oleh adanya molekul amilosa terlarut yang bocor dan keluar dari

granula pati yang mengalami swelling (Rincón & Padilla 2004). Semakin banyak

molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan akan semakin

tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi pada umumnya

akan memiliki kelarutan yang tinggi pula. Namun demikian tidak selamanya

kandungan amilosa berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks

antara amilosa dengan lipid, seperti pada pati kacang-kacangan, dapat mengurangi

kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).

Tepung Beras

Tepung beras diperoleh dari hasil penggilingan beras, baik dengan cara

kering maupun cara basah. Tepung beras dapat dihasilkan dari berbagai varietas

beras. Tepung beras yang diproduksi dari beras dengan varietas berbeda akan

menghasilkan tepung beras yang berbeda pula terutama dalam kandungan protein,

lemak, pati dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia

beras turut menentukan keragaman sifat fisiko-kimia tepung beras (Luh & Liu

1980). Komposisi kimia dari tepung beras dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka

17  

Tabel 6 Komposisi kimia tepung beras

Komposisi Jumlah (per 100 gram)

Air (g) 11.90

Abu (g) 0.63

Protein (g) 5.95

Lemak (g) 1.39

Karbohidrat (g) 80.38

Serat pangan (g) 2.40 Sumber: USDA SR-21 (2008)

Dalam teknologi pengolahan pangan modern, tepung beras digunakan

antara lain untuk mengontrol viskositas, memisahkan adonan dengan adonan lain,

mengatur tingkat pencoklatan, memudahkan pengeluaran produk dari cetakan

serta memperbaiki kerenyahan. Di Asia, beras terutama dikonsumsi dalam bentuk

bihun selain ditanak menjadi nasi (Juliano & Sakurai 1985). Beras tidak memiliki

kandungan gluten yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang viskoelastis,

sehingga umumnya dalam pembuatan bihun beras dilakukan pragelatinisasi

terhadap tepung beras agar dapat berfungsi sebagai pengikat (binder) bagi adonan.

Derajat pragelatinisasi tepung beras berperan penting dalam membentuk tekstur

bihun. Komponen yang berperan dalam membentuk matriks gel dan struktur

bihun adalah amilosa (Hormdok & Noomhorm 2007). Bihun beras yang baik

dapat dihasilkan dari beras berkadar amilosa sedang hingga tinggi (>22%).

Beberapa penelitian terhadap tepung atau pati beras sebagai bahan baku

ataupun bahan pembantu pada proses produksi mie/bihun telah banyak dilakukan.

Sandhu et al. (2010) dalam studinya melaporkan bahwa pencampuran pati

kentang dengan pati beras sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas

pemasakan bihun. Dinyatakan lebih lanjut bahwa penggunaan pati beras sebagai

bahan pensubstitusi parsial terhadap pati kentang dalam proses pembuatan bihun

berbahan dasar pati kentang dapat meningkatkan ketahanan bihun terhadap panas.

Hasil penelitian lain melaporkan bahwa bihun yang diproduksi dari beras dan

disubstitusi parsial oleh pati jagung akan menghasilkan bihun dengan nilai

kekerasan yang lebih rendah dan tingkat kelicinan (slipperiness) serta transparansi

bihun yang lebih tinggi (Wang et al. 2000).

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka

18  

Penggunaan tepung beras lebih dari 10% dalam suatu produk pangan

memerlukan perhatian terhadap karakteristik tepung beras tersebut. Bean (1986)

di dalam Munarso (1998) menyebutkan bahwa rasio amilosa – amilopektin dan

suhu gelatinisasi merupakan faktor utama yang menentukan kesesuaian tepung

beras dengan spesifikasi produk yang dikehendaki. Berdasarkan kandungan

amilosanya, beras dapat dikelompokkan dalam empat kelas (Juliano & Sakurai

1985). Tabel 7 menyajikan kisaran kadar amilosa dan suhu gelatinisasi dari setiap

kelas beras. Suhu gelatinisasi diukur sebagai suhu titik akhir birefringence

(birefringence end point temperature = BEPT), yaitu suhu dimana 95 – 98% sifat

birefringence telah hilang ketika pati dipanaskan dalam air dan diamati dengan

mikroskop polarisasi (Bean 1986 di dalam Munarso 1998).

Tabel 7 Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya

Kelas Kadar amilosa (%) BEPT (°C) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi

2 – 9 9 – 20 20 – 25 25 – 33

- 55 – 69.5 70 – 74 74.5 - 79

Sumber: Juliano dan Sakurai (1985)

Berdasarkan analisis menggunakan instrumen Brabender Amylograph,

tepung beras menghasilkan profil gelatinisasi yang sangat dipengaruhi oleh

kandungan amilosanya. Kurva amilograf dari tepung beras dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5 Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang (Wang et al. 2000)

Waktu (menit)

Vis

kosi

tas

(RV

U) Amilosa tinggi

(>23.5%)

Amilosa sedang (19-23.5%)

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka

19  

Profil gelatinisasi yang dihasilkan oleh beras berkadar amilosa tinggi dan

sedang menunjukkan pola yang serupa. Beras dengan kandungan amilosa tinggi

memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan beras berkadar amilosa

sedang. Pada saat suhu dipertahankan pada 95 °C, pati beras mengalami

penurunan viskositas yang menunjukkan ketahanan panas dari pati tersebut tidak

terlalu baik. Tetapi pada saat dilakukan pendinginan, viskositas pati beras

mengalami peningkatan yang menunjukkan kecenderungan yang tinggi dari pati

tersebut untuk beretrogradasi. Retrogradasi merupakan karakteristik pati yang

sangat penting terutama dalam aplikasinya pada produk bihun, karena berkaitan

dengan kemampuan pati tersebut untuk membentuk struktur untaian bihun yang

tidak rapuh.

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun

Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya.

Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat

fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan memiliki karakteristik yang baik.

Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan dengan

pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan.

Pati yang ideal digunakan sebagai bahan baku bihun adalah pati dengan

kandungan amilosa tinggi, pembengkakan granula dan kelarutan terbatas serta

memiliki profil gelatinisasi tipe C (Lii & Chang 1981). Pati dengan kandungan

amilosa tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan menghasilkan pasta

dengan penampakan lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung

(Wattanachant et al. 2002a).

Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan dalam

pembentukan struktur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan.

Retrogradasi pati akan menentukan tingkat kekerasan dan penampakan bihun atau

soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun yang diproduksi dari bahan

baku pati dengan kandungan amilosa tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi

namun transparansinya lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang

diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa lebih rendah. Pada tingkat tertentu

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka

20  

kekerasan bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun dengan tekstur

tegar, sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi.

Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan

amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan

bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi). Kim et al. (1996)

menyatakan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang

tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula.

Kompleks antara lemak dengan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak

soun yang dihasilkan. Lebih lanjut Kim et al. (1996) menjelaskan bahwa pati

dengan kandungan amilosa tinggi dan ukuran granula kecil akan menghasilkan

soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila

dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa rendah dan

granula besar.

Kim et al. (1996) memaparkan hubungan antara profil gelatinisasi dengan

karakteristik soun yang dihasilkan. Soun yang berasal dari pati kacang-kacangan

dengan profil gelatinisasi tipe C memiliki susut masak dan kelengketan yang

rendah namun kekerasannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang

dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil

gelatinisasi tipe C cenderung lebih stabil terhadap pemanasan, sehingga keluarnya

padatan dari soun yang diproduksi dengan bahan dasar pati tersebut dapat ditekan

dan soun memiliki tingkat kelengketan yang rendah.

Pati sukun memiliki kandungan amilosa rendah (11-20%, Prabawati &

Suismono 2009), swelling power dan kelarutan tinggi (Rincón & Padilla 2004),

viskositas yang cenderung meningkat selama pemanasan dan holding time serta

kecenderungan untuk mengalami retrogradasi setelah didinginkan (Akanbi et al.

2009). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku bihun, maka

pati sukun potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bihun.

Hidrokoloid Dalam Bahan Pangan dan Pengaruh Penambahan Garam

Hidrokoloid memiliki peranan penting dalam mengendalikan karakteristik

reologi, seperti viskositas ataupun elastisitas, pada produk pangan padat maupun

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka

21  

cair. Fungsi hidrokoloid ini sangat erat berhubungan dengan karakteristik

organoleptik, tekstur dan pelepasan flavor pada produk.

Dalam produk pangan berbahan dasar pati seperti bihun, penambahan

hidrokoloid diperlukan untuk mengontrol karakteristik reologi dan memodifikasi

tekstur. Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sistem pati

aqueous sebagai model percobaan untuk menggali fungsi dan manfaat potensial

dari hidrokoloid. Glicksman (1982) menyatakan bahwa hidrokoloid dapat

mengontrol karakteristik reologi dan tekstural dari bahan pangan, meningkatkan

penyerapan air dan menjaga kualitas produk secara keseluruhan selama

penyimpanan. Studi lain melaporkan bahwa penambahan hidrokoloid dapat

memperbaiki atau memodifikasi karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati

(Funami et al. 2005b, Yoshimura et al. 1996), meningkatkan kapasitas pengikatan

air (Yoshimura et al. 1998), dan stabilitas terhadap freeze-thaw dari sistem pati

aqueous (Lee et al. 2002). Funami et al. (2005a) menyatakan bahwa

galaktomanan (guar gum, tara gum, locus bean gum) memiliki pengaruh besar

terhadap karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi dari pati gandum. Hidrokoloid

tersebut mampu menghambat retrogradasi pati dan meningkatkan kapasitas

pengikatan air.

Dua jenis hidrokoloid yang akan digunakan dan dilihat pengaruhnya

terhadap karakteristik bihun yang dihasilkan adalah guar gum dan tepung iles-iles

sebagai preparat glukomanan.

a. Guar Gum

Guar gum adalah polisakarida non-ionik dengan rantai utama manosa

(Man) dengan ikatan β-(1-4) yang disubstitusi oleh satu rantai samping galaktosa

(Gal) melalui ikatan α-(1-6) dengan rata-rata rasio molekul Man:Gal = 2:1

(Gambar 6) (Funami et al. 2005b). Guar gum diperoleh dari endosperma biji

tanaman legume (Cyamopsis tetragonalobus dan psoraloides) melalui serangkaian

proses penghancuran dan pengecilan ukuran untuk memisahkan gum dari biji

(Panda 2005).

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka

22  

Gambar 6 Struktur guar gum (Panda 2005)

Guar gum merupakan polimer yang dapat larut dalam air dingin

membentuk larutan kental yang bersifat non-Newtonian pseudoplastis. Guar gum

umumnya digunakan pada konsentrasi di bawah 1%. Dalam industri pangan, guar

gum digunakan karena kemampuannya untuk mengikat dan mengimobilisasi air

dalam jumlah besar, sehingga mempengaruhi kekentalan, menghambat

pembentukan kristal es dalam produk beku, memodifikasi tekstur produk, dan

menstabilkan konsistensi produk terhadap perubahan suhu penyimpanan (Panda

2005).

Pada produk pangan berpati, interaksi guar gum dengan amilosa akan

meningkatkan viskositas dari sistem pati-guar gum selama proses pemanasan,

sementara interaksi guar gum dengan amilopektin akan meningkatkan viskositas

puncak. Selain itu, kemampuan guar gum untuk mengentalkan dan meningkatkan

konsentrasi efektif dari komponen-komponen pati juga menjadi faktor penting

yang mengendalikan karakteristik gelatinisasi pati. Fenomena ini menjadi dasar

bagi penggunaan guar gum sebagai pengatur tekstur (texture modifier) pada

produk pangan berbasis pati (Funami et al., 2005a).

b. Tepung Iles-iles

Tepung iles-iles (Amorphopallus oncophyllus) diperoleh dari irisan umbi

tanaman iles-iles yang dikeringkan dan digiling menjadi tepung. Tepung iles-iles

memiliki kandungan glukomanan yang tinggi (64.98%, Tabel 8), sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pangan karena karakterisik gelatinisasi dan

kemampuannya sebagai pengemulsi. Tepung iles-iles (konjac flour) telah

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka

23  

dimanfaatkan sejak lebih dari seribu tahun lalu di Asia Timur untuk membuat

produk gel yang disebut konyaku (Simon 2008).

Tabel 8 Komposisi kimia tepung iles-iles

Komponen Jumlah (%bb) Air Pati Protein Serat Glukomanan

6.80 10.24 3.42 5.90 64.98

Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (2010) di dalam www.indoagri.com

Jacon et al. (1993) menyatakan bahwa glukomanan yang terkandung

dalam iles-iles merupakan polimer dari D-glukosa dan D-manosa dengan

perbandingan 2:3 dan ikatan β-1,4 yang disbustitusi secara acak oleh gugus asetil,

umumnya pada residu gula ke-19 (Gambar 7). Glukomanan memiliki berat

molekul sekitar 1000 – 2000 kilo Dalton.

Gambar 7 Struktur glukomanan (Jacon et al. 1993)

Menurut Jacon et al. (1993), larutan glukomanan dalam air pada suhu

ruang akan memberikan viskositas yang tinggi dan membentuk gel dengan

penambahan air kapur. Dijelaskan lebih lanjut, viskositas glukomanan yang

tinggi tersebut diakibatkan oleh interaksi antara komponen molekul terlarut yang

lebih dominan dibandingkan oleh proses hidrasi.

Penelitian mengenai interaksi glukomanan dengan pati telah banyak

dilakukan. Yoshimura et al. (1998) mempelajari interaksi antara glukomanan

dengan pati jagung dan menemukan bahwa penambahan glukomanan dapat

meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung. Sementara Khanna dan

Tester (2006) menyatakan bahwa glukomanan meningkatkan suhu gelatinisasi

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka

24  

pati jagung dan pati kentang serta menghambat retrogradasi kedua jenis pati

tersebut.

c. Pengaruh Penambahan Garam

Penambahan kation divalen seperti Ca2+ atau Mg2+ pada campuran pati-

hidrokoloid diketahui memiliki efek signifikan terhadap beberapa karakteristik

gelatinisasi campuran tersebut. Moritaka et al. (2003) menyebutkan bahwa

penambahan garam kalsium atau magnesium pada larutan gum gellan akan

mempercepat gelatinisasi larutan tersebut dan mengubah karakteristik reologinya

menjadi lebih tidak tergantung pada suhu (less temperature dependent).

Dinyatakan lebih lanjut bahwa kation divalen akan membentuk ikatan ionik

dengan gugus asam karboksilat pada rantai gellan, sehingga menghasilkan

agregasi heliks ganda melalui pembentukan jembatan inter-chain.

Studi lain yang dilakukan oleh Sudhakar et al. (1996) menunjukkan bahwa

viskositas pasta dingin dan suhu gelatinisasi pati sangat dipengaruhi oleh

keberadaan garam dalam sistem pangan yang diamati. Gum akan memfasilitasi

pembentukan electrical double layer dari kation di sekeliling pati, sehingga

menurunkan suhu gelatinisasi. Dengan penambahan garam, maka pati akan

menukar kation dari larutan dengan ion hidrogen, sehingga terjadi peningkatan

volume dan pada akhirnya akan meningkatkan viskositas pasta dingin dari sistem

pati-hidrokoloid. Penambahan garam juga menyebabkan karakteristik aliran

sistem pati menjadi lebih pseudoplastis.