BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Terhadap Proses …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/950/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Terhadap Proses …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/950/3/BAB...
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Terhadap Proses Perceraian
1. Pengertian Kecemasan
Taylor (2006) mengemukakan kecemasan sebagai suatu
pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan
sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau
tidak adanya rasa aman. Davidson, Neale, & King (2001) menjelaskan,
anxietas atau kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan
khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera
terjadi. Biggs dkk (dalam Putri, 2012) mendefinisikan kecemasan sebagai
suatu kegelisahan atau ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi dan
ketakutan mengenai masa depan yang belum pasti.
Beck (dalam Wells, 2007) menjelaskan bahwa kecemasan adalah
suatu keadaan yang terjadi karena adanya proses berpikir yang
menyimpang. Menurut Kowalski (dalam Santi, 2014), kecemasan dapat
didefinisikan sebagai suatu emosi yang ditandai dengan meningkatnya
aktivitas secara otonom, secara khusus aktivasi pada sistem syaraf
simpatetik (seperti meningkatnya detak jantung, tekanan darah,
pernafasan, dan tegangan otot), perasaan subyektif terhadap tekanan, dan
kognisi yang meliputi ketakutan dan kekhawatiran.
28
Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai kecemasan maka dapat
disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu kegelisahan atau ketakutan
terhadap sesuatu yang akan terjadi dan ketakutan mengenai masa depan
yang belum pasti disebabkan adanya proses berpikir yang menyimpang.
2. Faktor Penyebab kecemasan
Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu tertentu
dan tergantung pada pengalaman hidup, peristiwa maupun situasi yang
dialami oleh seseorang. Ramaiah (2003) mengklasifikasi 3 faktor
penyebab kecemasan, yaitu
a. Faktor Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara
berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada
individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja sehingga
individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.
b. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan
jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal,
terutama jika individu tersebut menekan rasa marah atau frustasi dalam
jangka waktu yang sangat lama.
29
c. Faktor Fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi
seperti misalnya kehamilan, masa remaja, dan sewaktu pulih dari suatu
penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi tersebut, perubahan-perubahan
perasaan lazim muncul yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.
Machner (2003) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kecemasan. Faktor tersebut adalah:
a. Genetik
Penelitian telah membuktikan bahwa faktor hereditas terutama
fungsi neurologi memiliki predisposisi terhadap munculnya reaksi
psikologis dan simtom kecemasan di dalam konteks lingkungan yang
asing. Haugaard (dalam Novitasari 2013) mengatakan bahwa faktor
genetik diekspresikan dalam temperamen yang dikarakteristikkan dengan
sikap waspada dan kaku dalam menghadapi situasi yang dipersepsikan
berbahaya, tidak familiar atau melibatkan orang lain yang tidak familiar.
b. Faktor psikologis
Beberapa penelitian mengungkapkan konsep anxiety sensitivity
(AS). AS didefinisikan sebagai respon individu terhadap perubahan
psikologis yang diasosiasikan dengan ketakutan ataupun kecemasan. AS
sangat terkait dengan bias yang terjadi pada proses kognitif individu. AS
kemudian menjadi trait yang abnormal pada individu dan mempertinggi
kemungkinan munculnya kecemasan pada individu. Selain itu, faktor
30
lainnya yang memunculkan kecemasan adalah temperamen individu,
pola asuh, kritik yang tajam, dan kurangnya kehangatan dalam
perkembangan individu dapat menjadi pemicu munculnya kecemasan.
c. Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat memicu berkembangnya kecemasan
pada individu meliputi kemiskinan, pemaparan terhadap kecemasan,
isolasi sosial, dan tidak adanya hubungan interpersonal yang secara
signifikan memiliki makna bagi individu tersebut. Selain itu, munculnya
stres karena pola adaptasi yang gagal pada individu juga dapat menjadi
faktor pemicu kecemasan. Faktor lainnya adalah peristiwa hidup yang
negatif dan ketidakpastian akan sesuatu.
d. Selain itu, faktor kognitif juga dapat menjadi faktor penyebab dari
penyebab kecemasan.
Distorsi kognitif atau keyakinan/pikiran yang salah pada seseorang
dapat menjadi penyebab terjadinya kecemasan. Distorsi tersebut dapat
berupa keyakinan yang tidak realistik bahwa dunia merupakan tempat
yang berbahaya (Wenar & Kerig, 2005) sehingga terlalu sensitif atau
bersikap berlebihan terhadap situasi yang dianggap berpotensi
menimbulkan kecemasan bahkan cenderung mempersepsi situasi yang
ambigu sebagai situasi yang mengancam.
31
Berdasarkan faktor penyebab yang telah disebutkan, dapat
disimpulkan bahwa faktor penyebab kecemasan dapat terjadi melalui
faktor genetik, faktor fisik, emosi yang ditekan, lingkungan, kognitif dan
faktor psikologis.
3. Gejala kecemasan
Beberapa ahli menggolongkan simtom kecemasan dalam beberapa
aspek, diantaranya adalah:
Nevid, Rathus & Greene (2005) menggolongkan kecemasan dalam
bentuk tiga gejala yaitu:
a. Gejala fisik dari kecemasan meliputi kegelisahan, anggota tubuh
bergetar, banyak berkeringat, telapak tangan berkeringat, pusing,
pingsan, mulut terasa kering, sulit bernafas, sulit berbicara,
bernafas pendek, suara bergetar, jantung berdetak kencang, merasa
lemas, panas dingin, sulit menelan, leher atau punggung terasa
kaku, tangan yang dingin, gangguan sakit perut, merasa mudah
marah.
b. Gejala perilaku dari kecemasan yaitu berperilaku menghindar,
ketergantungan atau melekat, perilaku terguncang.
c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu khawatir mengenai sesuatu,
ketakutan akan sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan
bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan
akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, kebingungan,
32
sulit untuk konsentrasi, sangat waspada pada sensasi ketubuhan,
khawatir akan hal-hal yang sepele.
Menurut Swartz (2007) individu yang mengalami kecemasan akan
memunculkan gejala psikologis dan fisiologis.
a. Gejala psikologis yang muncul seperti cepat marah, takut,
khawatir, sulit konsentrasi dan munculnya perasaan tidak menentu.
b. Gejala fisiologis seperti berkeringat, mulut terasa kering, merasa
kepanasan atau kedinginan, jantung berdebar kencang, otot terasa
tegang, gemetar, mual dan gelisah.
Hawari (2006) menyebutkan tentang gejala dari kecemasan,
diantaranya adalah:
a. Khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah
tersinggung.
b. Ketegangan yang ditandai dengan merasa tegang, tidak tenang,
gelisah,mudah terkejut.
c. Ketakutan ditandai dengan takut sendirian, takut pada keramaian
dan banyak orang, ketakutan pada gelap, takut pada orang asing
d. Gangguan tidur ditandai dengan sukar masuk tidur, tidur tidak
nyenyak, sering terbangun pada malam hari, bangun dengan lesu,
mimpi-mimpi yang menegangkan
e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat. Daya ingat menjadi
menurun, sulit berkonsentrasi
33
f. Keluhan somatik misalnya rasa sakit pada otot, berdebar-debar,
sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit
kepala dan lainnya.
g. Gejala sensorik ditandai dengan penglihatan kabur, muka memerah
dan pucat.
h. Gejala kardiovaskuler ditandai oleh jantung berdebar-debar, nyeri
dada, denyut nadi mengeras, rasa lemas seperti mau pingsan
i. Gejala pernapasan ditandai dengan rasa tertekan di dada, nafas
sesak atau pendek.
j. Gejala gastrointestinal ditandai dengan sulit menelan, mual, perut
melilit, gangguan pencernaan, nyeri lambung, rasa panas di perut,
konstipasi.
k. Gejala urogenital ditandai dengan sering kencing, tidak dapat
menahan kencing, masa haid berkepanjangan, masa haid teramat
pendek, haid beberapakali dalam sebulan.
l. Gejala otonom ditandai dengan mulut kering, mudah berkeringat,
sakit kepala.
Beck (dalam Blackburn & Davidson, 1994) mengungkapkan gejala
kecemasan meliputi:
a. Fisiologis, yaitu terganggunya pola-pola normal dari aktivitas
fisiologik yang ada, gejala yang timbul diantaranya adalah dada
berdebar, jantung berdegup kencang, tubuh gemetar, kepala pusing,
sulit tidur, lutut terasa lemas, tubuh berkeringat meskipun tidak
34
merasakan panas, tubuh merasa panas atau dingin, sakit kepala,
otot mengalami ketegangan atau kaku, sakit perut, sembelit,
terengah-engah atau sesak nafas.
b. Afeksi, meliputi perasaan khawatir, sedih, gelisah, cemas, merasa
tidak berdaya, tertekan, takut pada sesuatu yang akan terjadi.
c. Kognisi, gejala tampak pada fungsi berpikir diantaranya adalah
sulit konsentrasi, sulit memutuskan sesuatu, bimbang, mudah lupa,
kelelahan berpikir, adanya pikiran-pikiran yang menakutkan,
sering memikirkan adanya bahaya atau ancaman dan mengira
bahwa hal yang buruk akan terjadi.
d. Perilaku, gejala yang terlihat pada tingkah laku seseorang yang
meliputi; menghindari ancaman atau situasi, melarikan diri, tidak
bisa santai, sulit bicara
Berdasarkan gejala kecemasan yang telah disebutkan sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa gejala kecemasan dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa gejalan, yang meliputi; respon
fisiologis, respon afeksi, respon kognitif dan respon perilaku. Peneliti
mengacu pada gejala kecemasan yang disebutkan oleh Beck (dalam
Blackburn & Davidson, 1994).
35
4. Upaya Mengatasi Kecemasan
Beberapa teknik intervensi telah dilakukan sebagai upaya untuk
mengurangi atau menurunkan tingkat kecemasan. Beberapa bentuk upaya
intervensi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Terapi Psikofarmaka
Hawari (2010) menyebutkan bahwa terapi psikofarmaka
adalah pengobatan untuk stres, cemas dan atau depresi dengan
menggunakan obat-obatan (farmaka) yang berfungsi memulihkan
gangguan neurotransmitter (sinyal penghantar syaraf) di susunan
saraf pusat otak (sistem limbik). Terapi psikofarmaka bekerja
dengan cara memutuskan jaringan psiko-neuro-imunologi
sehingga stresor yang dialami oleh individu tidak lagi
mempengaruhi fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan organ-
organ tubuh
b. Terapi Suportif
Terapi ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi,
semangat dan dorongan agar penderita kecemasan tidak merasa
kekhawatiran, merasakan ancaman serta percaya diri bahwa ia
mampu mengatasi stresor yang sedang dihadapi (Hawari, 2001).
Didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani,
dkk (2016) terapi suportif terbukti merupakan suatu metode yang
efektif untuk menurunkan kecemasan dengan cara mendukung,
36
memperkuat, meningkatkan kepercayaan diri terhadap masalah
yang dihadapi.
c. Hipnoterapi
Hipnoterapi merupakan suatu teknik terapi yang
menggunakan metode hipnotis untuk memberi sugesti atau
perintah kepada pikiran bawah sadar untuk penyembuhan suatu
gangguan psikologis atau untuk mengubah pikiran, perasaan dan
perilaku menjadi lebih baik (Kahija dalam Novrizal, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Febrina (2016) & Novrizal
(2010) didapatkan hasil bahwa hipnoterapi berhasil menurunkan
kecemasan pada subjek penelitian. hal tersebut terjadi karena pada
saat seorang dihipnoterapi, proses tersebut akan diterima oleh
thalamus. Thalamus kemudian meneruskan ke sistem limbik dan
primary sensory cortices yang kemudian mempengaruhi
hipotalamus untuk menstabilkan pengeluaran CRF yang
berlebihan sehingga pengeluaran ACTH menjadi stabil. ACTH
yang stabil menyebabkan kecemasan menjadi berkurang
(Novrizal, 2010).
d. Relaksasi
Teknik relaksasi merupakan teknik self control yang berguna
untuk meregulasi emosi dan fisik individu dari kecemasan,
ketegangan, stres, dan lainnya (Kazdin, 2001). Secara fisiologis
relaksasi memberikan respon rileks yaitu ditandai dengan
37
menurunnya tekanan darah, dan detak jantung. Relaksasi dapat
menekan rasa tegang dan rasa cemas sehingga timbul counter
conditioning (Bellack & Hersen dalam Utami, 1993). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh KartikaSari (2015); Santi (2014),
didapatkan hasil bahwa relaksasi mampu menurunkan tingkat
kecemasan pada subjek penelitian.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
upaya untuk menurunkan kecemasan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, diantaranya adalah dengan terapi psikofarmaka, terapi suportif,
hipnoterapi, dan relaksasi. Peneliti menggunakan CBT untuk menurunkan
kecemasan karena CBT menggunakan dua pendekatan dalam mengatasi
permasalahan individu yaitu menggunakan model kognitif dan model
perilaku. Pendekatan ini mampu menjawab kebutuhan yang dimiliki oleh
individu untuk mengatasi simtom fisik atau keluhan fisiologis yang
dirasakan dengan pendekatan perilaku seperti relaksasi. Sedangkan untuk
mengatasi distorsi pikiran dengan menggunakan pendekatan kognitif yaitu
restrukturisasi kognitif (Vivi, 2012).
Anthony dan Swinson (2000) mengakui jika CBT ini memang
berbeda dan memiliki kelebihan dibandingkan dengan psikoterapi yang
lain dengan alasan:
a. CBT cenderung direktif. Dengan kata lain terapis bertindak dan
berperan aktif selama proses terapi dan memberikan sugesti yang
spesifik.
38
b. CBT menyelesaikan permasalahan yang sangat spesifik. Salah satu
teknik terapi yang digunakan adalah membantu individu untuk
mengembangkan insight (misalnya mengerti atau memahami) hingga
ke dalam akar permasalahannya tetapi tidak menggunakan strategi
yang terlampau rumit untuk menyelesaikan masalah.
c. CBT berfokus pada keyakinan dan perilaku saat ini.
d. Dalam proses CBT, terapis dan klien adalah teman/rekan yang bekerja
bersama selama masa terapi.
e. Dalam CBT klien yang menentukan tujuan terapi, dengan sedikit
masukan dari terapis.
f. Di dalam CBT biasanya juga dimasukkan sebuah pengukuran untuk
mengevaluasi sehingga beberapa teknik terapi (jika perlu) dapat diubah
untuk menghasilkan efektivitas terapi yang maksimal.
g. CBT juga mengubah keyakinan dan perilaku seseorang sehingga ia
mampu untuk mengelola kecemasannya secara lebih baik dan dapat
mengendalikan situasi yang dapat memicu munculnya kecemasan.
5. Kecemasan Wanita dalam Proses Perceraian
Menurut Sanford & Bearsley (1994), perceraian adalah sejenis
kehilangan yang terjadi bukan karena kematian salah satu dari pasangan
suami isteri tetapi dari kematian suatu hubungan. Hamid (dalam Soewadi,
1992) mengemukakan bahwa perceraian merupakan keadaan yang
menunjukkan lepasnya suatu ikatan tali perkawinan dan berakhirnya
39
hubungan suami isteri. Inisiatif perceraian tersebut dapat muncul dari
pihak suami ataupun isteri. Soewadi (1992) mengatakan bahwa keputusan
yang muncul dari pihak isteri ataupun suami disebabkan adanya perasaan
ketidaksanggupan dari salah satu atau kedua belah pihak untuk
meneruskan hubungan karena ketidakcocokan yang ada tidak dapat
disatukan lagi.
Perasaan ketidaksanggupan tersebut menimbulkan tekanan-tekanan
bagi pasangan yang berakibat pada munculnya konflik dan perilaku buruk
dari masing masing pihak yang menjadikan alasan isteri maupun suami
memutuskan untuk mengakhiri hubungan pernikahan. Kebimbangan,
kekhawatiran dan ketidakpastian dari keadaan yang akan dihadapi
sepeninggal pasangan kerap menjadi pemicu munculnya kecemasan yang
akan berdampak buruk bagi diri maupun perkembangan anak-anak.
Kecemasan pada wanita yang menghadapi perceraian akan tampak
pada segi pembicaraan, dalam merespon suatu permasalahan serta sikap
yang menunjukkan menurunnya kepercayaan diri sebagai manifestasi
tingginya kecemasan yang dialami. Kekhawatiran, kehilangan, rasa
bersalah dan perasaan malu secara berkelanjutan kerap mengarah pada
kecemasan bahkan depresi bagi pasangan yang menjalani, sekalipun
perceraian itu menjadi kehendaknya. Setidaknya kecemasan yang
berkaitan dengan keberadaan masa depan dan terutama anak-anak (Hyde,
1985; Papalia, 1998).
40
Burns (2013) mengatakan bahwa kecemasan yang terjadi pada
individu yang sedang menghadapi perceraian disebabkan karena adanya
distorsi kognitif yang berpengaruh pada emosi, fisik, dan perilaku menjadi
negatif. Emosi yang dirasakan menjadi merasa gelisah, merasa tidak
berdaya, merasa sedih, atau mudah marah, akan menimbulkan respon
fisik. Hal tersebut wajar karena tubuh selalu memberikan respon terhadap
ancaman (Wilding & Milne, 2011). Reaksi fisiologis yang dimunculkan
oleh kecemasan diantaranya adalah ketegangan otot, jantung sering
berdebar, nafas menjadi berat, tidak dapat rileks, gangguan tidur, sakit
kepala dan mudah terkejut. Hal tersebut membuat sebagian wanita yang
sedang dalam proses perceraian melakukan isolasi diri dengan tidak lagi
terlibat secara aktif di lingkungan sosial (Kitson & Roach dalam Papalia,
1998)
Peneliti menggunakan CBT karena CBT menggunakan dua
pendekatan dalam mengatasi permasalahan individu yaitu menggunakan
model kognitif dan model perilaku. Pendekatan ini mampu menjawab
kebutuhan yang dimiliki oleh individu untuk mengatasi simtom fisik atau
keluhan fisiologis yang dirasakan dengan pendekatan perilaku seperti
relaksasi, dan untuk mengatasi distorsi pikiran dengan menggunakan
pendekatan kognitif yaitu restrukturisasi kognitif. Melalui kedua
pendekatan tersebut, kecemasan dapat diturunkan karena perubahan
distorsi kognitif dan pemberian relaksasi akan dapat mereduksi kecemasan
yang dialami (Vivi, 2012).
41
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan
pada wanita dalam proses perceraian disebabkan individu memiliki
keyakinan yang disfungsional atau distorsi kognitif dan semakin tinggi
keyakinan yang disfungsional maka semakin tinggi pula individu
mengalami kecemasan. Kecemasan yang tinggi menimbulkan respon fisik
yang dirasakan diantaranya adalah ketegangan otot, jantung sering
berdebar, nafas menjadi berat, tidak dapat rileks, gangguan tidur, sakit
kepala dan mudah terkejut. Perilaku yang ditampilkan diantaranya
melakukan isolasi diri dengan tidak lagi terlibat secara aktif di lingkungan
sosial.
B. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
1. Pengertian Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy atau dikenal dengan nama CBT
adalah suatu bentuk intervensi psikologis yang bertujuan untuk membantu
individu menyadari, menghubungkan antara pikiran, perasaan, perilaku
dan gejala fisik dengan menggunakan teknik kognitif dan perilaku
(Anderson, Watson, Davidson dalam Indriasari, 2011). Lesmana (dalam
Putri, 2012) menjelaskan bahwa terapi kognitif perilaku sebagai suatu
pendekatan yang memperhatikan perubahan kognisi dan tingkahlaku.
Taylor (2006) mengatakan bahwa Cognitive Behavior Therapy
merupakan pendekatan perubahan perilaku yang memfokuskan pada
target perilaku itu sendiri, kondisi menghilangkan perilaku, kondisi
42
mempertahankan perilaku dan faktor-faktor yang menguatkan perilaku itu.
Pendekatan ini mengakui pentingnya kognisi individu terhadap
perilakunya. Sejalan dengan itu, Martin (1996) mengatakan bahwa
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah satu terapi
modifikasi perilaku yang menggunakan kognisi sebagai kunci dari
perubahan perilaku. Terapis membantu klien dengan cara membuang
pikiran dan keyakinan keliru klien, kemudian menggantinya dengan
konstruksi pola pikir yang lebih baik. Menurut Somers & Quere (2007)
CBT merupakan intervensi psikologis yang melibatkan interaksi cara
berpikir, merasa dan berperilaku dalam diri seseorang.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa CBT adalah suatu bentuk intervensi yang dapat membantu individu
untuk mengatasi masalah dengan menyadari adanya hubungan antara
pikiran, emosi, simtom fisiologis dan perilaku, dengan menggunakan
teknik kognitif dan perilaku.
2. Prinsip Dasar Cognitive Behavior Therapy
Menurut Roth dkk (2002), prinsip dasar CBT adalah adanya
hubungan timbal balik antara proses berpikir (apa yang dipikirkan)
dengan afeksi (pengalaman emosional), fisik dan perilaku. Lesmana
(dalam Putri 2012) mengatakan bahwa terapi kognitif perilaku memiliki
tiga proporsi fundamental yaitu:
43
a. Aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku.
b. Aktivitas kognitif dapat dipantau atau diubah .
c. Perubahan perilaku yang diharapkan dapat dipengaruhi melalui
perubahan kognitif.
Menurut Beck, J (2011) terdapat 10 prinsip utama dalam metode
CBT yaitu:
a. Prinsip pertama dalam CBT adalah identifikasi dari masalah-
masalah klien.
b. Prinsip kedua terapis mampu menunjukkan keramahan juga
perhatian dan kompetensinya pada klien.
Pada pelaksanaan metode terapi ini membutuhkan hubungan yang
nyaman dan baik antara terapis dan klien.
c. Cognitive behavior therapy menekankan pada kerjasama dan peran
aktif klien.
Terapis dan klien harus mampu bekerjasama dalam mendukung
proses terapi. Klien juga didukung untuk dapat berpartisipasi
secara aktif dalam terapi.
d. Prinsip CBT adalah berorientasi pada tujuan akhir dari terapi serta
berfokus pada masalah yang ada pada klien.
Pada masa terapi terapis dan klien mengidentifikasi permasalahan
klien dan kemudian bersama-sama menyusun tujuan yang ingin
dicapai oleh klien.
44
e. Cognitive behavior therapy pada dasarnya menekankan kondisi
saat ini serta permasalahan yang ada.
Pembahasan mengenai kejadian masa lalu hanya dilakukan jika
klien menunjukkan preferensi untuk membahas masa lalunya.
f. Cognitive behavior therapy mengajarkan dan mendorong klien
untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri dan mengajarkan klien
untuk melakukan pencegahan munculnya pikiran-pikiran negatif.
g. Cognitive behavior therapy memiliki waktu yang terbatas
CBT pada umumnya dilakukan antara 4-12 sesi pertemuan. Tujuan
yang ingin dicapai oleh terapis adalah mengurangi gejala,
membantu klien menghadapi permasalahan dan mengajarkan pada
klien untuk menghindari kondisi yang tidak baik terulang kembali
sehingga ketika terapi telah berakhir klien dapat menjadi terapis
bagi dirinya sendiri.
h. Cognitive behavior therapy memiliki sesi yang terstruktur
CBT memiliki sesi yang terstruktur agar berjalan efektif dan
efisien dan memiliki beberapa sesi, diantaranya adalah identifikasi
perasaan, pikiran dan perilaku. Selain itu juga terdapat tugas rumah
yang harus dikerjakan
i. Cognitive behavior therapy mengajarkan klien untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi pikiran disfungsional dan core
belief yang ada.
45
Terapis pada prinsip ini membantu klien untuk mengidentifikasi
core belief dan melakukan pengamatan yang lebih realistik dengan
perspektif yang berbeda.
j. Cognitive behavior therapy dapat menggunakan teknik yang
bervariasi untuk mengubah pikiran, emosi dan perilaku.
CBT menggunakan beragam teknik untuk mengubah pikiran,
emosi dan perilaku seperti menggunakan juga teknik relaksasi,
exposure dan lainnya sesuai dengan kebutuhan klien.
Menurut Kendall & Braswell (Ronen, 1997), beberapa prinsip
dasar sebagai pengarah dalam Cognitive Behavior Therapy adalah
bahwa
a. Kognisi merupakan proses yang memperantarai dalam proses
belajar manusia.
b. Pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara
kausal.
c. Aktivitas kognitif seperti harapan, pernyataan diri merupakan hal
penting dalam memahami dan memprediksi psikopatologi dan
perubahan terapi.
d. Kognisi dan perilaku adalah harmonis artinya proses kognitif dapat
diinterpretasikan ke dalam paradigma perilaku dan teknik kognitif
dapat dikombinasikan dengan prosedur perilakuan.
e. Tugas terapis Cognitive Behavior Therapy adalah berkolaborasi
dengan klien untuk menilai perilaku dan proses kognisi yang
46
terganggu, kemudian merencanakan pengalaman belajar baru untuk
memperbaiki kognisi yang terdistorsi, perilaku dan pola afeksinya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa prinsip dasar Cognitive Behavior Therapy adalah proses kognitif,
emosi dan perilaku adalah sebuah sistem yang saling berinteraksi dan
keyakinan bahwa individu dapat melakukan perubahan pada pola pikir
demi mencapai perubahan dengan memperbaiki distorsi kognisi yang ada
untuk mengubah emosi dan perilaku.
3. Jenis Distorsi Kognitif
Jenis distorsi kognitif menurut Oey (2011) adalah:
a. Semua atau tidak sama sekali / Cara berpikir hitam putih
Kecenderungan untuk berpikir dan menginterpretasikan segala
sesuatu dalam bentuk all or nothing dan tidak dapat melihat adanya
kemungkinan area abu-abu diantara hitam dan putih. Misalnya jika
segala sesuatu tidak berjalan dengan sempurna atau sesuai harapan
maka ia merasa gagal total.
b. Katastropik
Mudah membuat kesimpulan tanpa data yang mendukung dan
cenderung berpikir seburuk-buruknya. Contoh: seorang wanita yang
mengalami perceraian menjadi enggan untuk membina hubungan lagi
dengan lawan jenis karena yakin akan gagal lagi dalam membina
rumah tangga.
47
c. Filter mental / memiliki pemahaman selektif, membatasi
kesimpulan berdasarkan hal-hal yang terbatas dan negatif.
Pada distorsi kognitif ini seseorang tidak mempertimbangkan
sesuatu secara menyeluruh namun hanya memusatkan perhatiannya
pada suatu hal negatif dan tidak dapat berpikir secara fleksibel serta
biasanya tidak memberikan orang lain kesempatan untuk menjelaskan
keadaan. Contoh: Suami terlambat pulang ke rumah, istri tidak
bertanya lebih dahulu mengapa suaminya datang terlambat tetapi
menuduhnya selingkuh dengan mengabaikan hal lain seperti mungkin
saja di jalan ada kemacetan.
d. Overgeneralisasi / Generalisasi berlebihan
Menyimpulkan suatu kejadian secara berlebihan berdasarkan
kejadian yang sebelumnya pernah terjadi. Misalnya, pengalaman
seorang wanita yang mengetahui bahwa pacarnya berselingkuh
kemudian ia menyimpulkan bahwa semua laki-laki tidak bisa
dipercaya.
e. Diskualifikasi positif
Pada distorsi ini segala sesuatu yang positif ataupun pengalaman
dan kejadian positif dilihat sebagai sesuatu yang tidak berarti,
sehingga semakin menguatkan perasaan negatif dan menilai segala
sesuatu sebagai hal buruk. Contoh: Ketika ada seseorang yang
memberikan pertolongan, ia berpikir bahwa ada sesuatu yang
48
diinginkan orang tersebut di balik pertolongan yang diberikan, pasti
ada udang di balik batu.
f. Personalisasi / Membuat seseorang cenderung menghubungkan
antara kejadian eksternal dengan diri sendiri dan menyalahkan diri
sendiri.
Contoh: Ketika bersama rekan setim mengikuti pertandingan dan
timnya kalah, ia merasa kekalahan itu karena dirinya.
g. Jumpling to conclution / kesimpulan terlalu dini. Terdapat tiga
bentuk jumpling to conclution
1). Label negatif
Contoh: Kegagalan tidak diterima bekerja membuat seseorang
merasa dirinya bodoh, tidak berharga dan memberi label pada
dirinya sebagai orang gagal.
2). Pembaca pikiran
Seseorang berpikir bahwa ia tahu apa yang dipikirkan oleh orang
lain tentang dirinya. Contoh: Bila ada orang lain sedang berbicara
dan tertawa di dekatnya, ia merasa orang tersebut sedang
membicarakan kejelekannya atau mengolok-oloknya. Hal tersebut
secara otomatis membuat seseorang jadi beranggapan buruk
terhadap situasi dan apa yang dipikirkan oleh orang lain.
3). Peramal
Seseorang beranggapan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi dan
memperkirakan hal negatif atau kegagalan dari peristiwa yang
49
akan dialami. Contoh: seseorang berpikir bahwa ia akan gagal
dalam ujian untuk mendapatkan SIM
h. Penalaran emosional
Seseorang berasumsi bahwa perasaan negatif yang dirasakannya
pasti benar dan merefleksikan apa yang akan terjadi. Contohnya:
Seorang yang tidak yakin akan perasaan pasangannya, merasa
pasangannya tidak mencintainya dan meyakini bahwa hubungan yang
dijalani akan berakhir. Hal tersebut akhirnya menimbulkan
pertengkaran sehingga pada akhirnya hubungan yang dijalani benar-
benar berakhir.
i. Pernyataan “Harus”.
Distorsi ini bisa menyangkut bagaimana seharusnya melakukan
sesuatu. Contoh: “Saya seharusnya ada bersamanya, sehingga ia
tidak mengalami kecelakaan”, “ Seharusnya pernikahan saya
bahagia”
Beck (dalam Wells, 2007) menyebutkan beberapa jenis distorsi
kognitif yang ada pada individu yang mengalami kecemasan, diantaranya
adalah:
a. Arbitrary inference, yaitu adanya pembuatan kesimpulan tanpa
didukung oleh data yang cukup.
b. Selective abstraction, yaitu individu hanya fokus pada satu aspek dan
mengabaikan aspek lainnya yang lebih penting.
50
c. Overgeneralisation, individu mengambil kesimpulan untuk seluruh
situasi hanya berdasarkan pada suatu kejadian tertentu.
d. Magnification /Minimization yaitu kecenderungan untuk membesar-
besarkan atau mengecilkan suatu kejadian dengan mengabaikan hal
positif.
e. Personalizing yaitu menghubungkan kejadian eksternal dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri akibat kejadian eksternal tersebut.
f. Catastrophising yaitu melebih-lebihkan akan terjadinya kemungkinan
terburuk yang akan terjadi.
g. Mind reading yaitu berasumsi bahwa orang atau lingkungan di
sekitarnya bereaksi secara negatif terhadap dirinya tanpa didukung
bukti untuk hal tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat bermacam – macam jenis distorsi kognitif yang dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan pada individu yang disebabkan
karena pola pikir yang tidak tepat.
4. Teknik Cognitive Behavior Therapy
Tujuan Cognitive behavior therapy adalah membantu individu
untuk berpikir mengenai dirinya, lingkungan dan pengaruh pikiran
terhadap perasaan, perilaku dan fisik (Nevid, dkk., 2005; Roth, dkk.,
2002). Menurut Roth dkk (2002), Cognitive Behavior Therapy dapat
digunakan dalam terapi individual maupun kelompok, juga dapat
51
digunakan untuk anak-anak, remaja dan dewasa dengan berbagai budaya
dan latar belakang.
Cognitive Behavior Therapy juga merupakan tritmen yang cukup
efisien untuk kasus kecemasan dan depresi. Setiap penelitian CBT
menerapkan jumlah sesi yang berbeda-beda. Penelitian Hirsc, Jolley &
Williams (dalam Duana, 2013) mengenai evaluasi pelaksanaan CBT
pada 52 kasus depresi dan 42 kasus kecemasan, dan empat kasus
campuran antara depresi dan kecemasan menunjukkan bahwa CBT dapat
dilakukan dalam 4-12 sesi dengan setiap sesi berlangsung selama 1 jam.
Namun pada pelaksanaannya juga fleksibel tergantung dari masalahnya.
Berikut penjelasan teknik-teknik yang digunakan dalam intervensi
CBT, diantaranya (Cully & Teten, 2008; Oey, 2011; Vivyan, 2009)
a. Psikoedukasi
Tujuan adanya pemberian psikoedukasi adalah memberikan
pemahaman pada subjek mengenai kognisi, emosi, aspek
fisiologis dan perilaku serta keterkaitan aspek-aspek tersebut.
Psikoedukasi sangat bermanfaat jika diberikan di permulaan
terapi untuk menjelaskan sebab kecemasan subjek yang
mencakup simtom kecemasan. Berbagai informasi ini diberikan
sesuai dengan kebutuhan subjek. Salah satu fungsi
psikoedukasi ini untuk mereduksi dampak kecemasan yang
lebih lanjut (Hawton, Salkovskis, Kirk & Clark, 1993).
52
b. Relaksasi
Relaksasi yang diberikan adalah relaksasi pernafasan dan
relaksasi progresif. Teknik relaksasi pernafasan dilakukan
dengan cara menarik nafas secara perlahan melalui hidung,
menahannya dan mengeluarkannya melalui mulut sehingga
membentuk kondisi rileks. Relaksasi progresif dilakukan
dengan menegangkan sekelompok otot pada suatu waktu dan
kemudian melemaskan otot tersebut secara perlahan. Relaksasi
dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas sehingga timbul
counter conditioning (Bellack & Hersen dalam Utami, 1993).
Sistem saraf manusia terdiri atas sistem saraf pusat dan
sistem saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah
mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki, seperti
gerak tangan, kaki, leher dsb. Sistem saraf otonom berfungsi
mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis yaitu fungsi
digestif, kardiovaskuler dsb. Sistem saraf otonom ini terdiri
dari dua bagian yaitu (1) sistem saraf simpatis yang bekerja
meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh,
memacu denyut jantung dan pernafasan, memacu
meningkatkan denyut jantung, (2) sistem saraf parasimpatis
yang berfungsi menstimulasi turunnya semua fungsi yang
53
dinaikkan oleh sistem saraf simpatis dan menstimulasi naiknya
semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis.
Pada waktu seseorang mengalami kecemasan dan
ketegangan, sistem saraf yang dominan bekerja adalah saraf
simpatis, sedangkan saat orang rileks sistem saraf
parasimpatislah yang bekerja. Dengan demikian perubahan
keadaan otot yang pada awalnya berkontraksi dan tegang dapat
menjadi rileks sehingga menimbulkan efek kenyamanan
fisiologis pada tubuh.
c. Restrukturisasi kognitif
Teknik ini dianggap sangat penting karena faktor kognitif
merupakan faktor utama yang terlibat dalam munculnya
kecemasan. Oleh karenanya teknik ini digunakan untuk
menolong individu mengganti pemikiran disfungsional dengan
pemikiran yang lebih positif dan realistis. Restrukturisasi
kognitif dilakukan untuk memastikan bahwa individu tidak lagi
memiliki pikiran-pikiran terdistorsi dan terjebak dalam
perangkap tersebut. Restrukturisasi kognitif berfungsi untuk
mengidentifikasi pikiran yang dimiliki dan menemukan
alternatif berpikir lain agar individu mampu memodifikasi
pola pikirnya saat menghadapi suatu situasi (Anthony &
Swinson dalam Asrori, 2009 ).
54
d. Problem Solving
Teknik ini merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menemukan solusi dari masalah yang dihadapi sehari-hari
secara efektif. Teknik ini bertujuan untuk membantu
mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh individu dengan
bantuan terapis, dan mengidentifikasikan sumber-sumber yang
dimiliki oleh individu tersebut.
Oei (2011) menambahkan bahwa keterampilan
memecahkan masalah melibatkan identifikasi masalah, cara
penyelesaian masalah, pemilihan prioritas penyelesaian
masalah, pengendalian terhadap masalah, pertimbangan
terhadap cara penyelesaian masalah, proses penyelesaian
masalah dan evaluasi. Selain itu, teknik ini juga membuat
individu mampu memaksimalkan efektivitas coping yang
dilakukan yang pada akhirnya dapat membantu individu
mengurangi stres dan cemas yang muncul akibat permasalahan
yang sedang dihadapinya ( D’Zurilla dalam Putri, 2012).
e. Tugas rumah
Frogatt (2006) mengatakan, tugas rumah merupakan
komponen penting dalam CBT. Tugas rumah dapat membantu
individu menguji coba dan menggunakan apa yang telah
dipelajarinya selama proses terapi. Tugas rumah juga
55
merupakan proses pengulangan yang pada akhirnya akan
membentuk sebuah kebiasaan karena adanya proses belajar
(Roth, dkk., 2002).
C. Pengaruh CBT terhadap Kecemasan pada Wanita dalam
Proses Perceraian
Kecemasan pada wanita dalam proses perceraian adalah suatu
kegelisahan terhadap sesuatu yang akan terjadi mengenai masa depan yang
belum pasti disebabkan adanya proses berpikir yang menyimpang karena
lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan suami isteri.
Beck dalam Wells (2007) & Nevid dkk (2005) mengatakan, cara berpikir
yang terdistorsi dan penilaian yang lebih terhadap situasi yang mengancam
memegang peranan penting dalam terjadinya kecemasan.
Kecemasan muncul selama jangka waktu tertentu, tergantung pada
pengalaman hidup maupun situasi yang dialami oleh individu. Menurut
Ramaiah (2003) kecemasan dapat terjadi karena faktor lingkungan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan yang diperoleh individu dari
lingkungan mempengaruhi cara berpikir individu tersebut tentang diri dan
orang lain. Wenar & Kerig, (2005) menambahkan bahwa faktor kognitif
juga menjadi penyebab munculnya kecemasan. Individu yang cemas
memiliki pemikiran yang menyimpang yang beranggapan bahwa orang
lain, lingkungan ataupun situasi merupakan suatu ancaman sehingga
individu tersebut bersikap berlebihan terhadap situasi yang berpotensi
56
menimbulkan kecemasan, bahkan cenderung mempersepsikan situasi yang
ambigu sebagai situasi yang mengancam.
Pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami oleh individu
dalam perjalanan hidupnya memunculkan sebuah bentuk keyakinan yang
disebut skemata. Skemata ini timbulnya melalui proses yang cukup lama.
Saat individu mendapatkan kejadian yang mengaktifkan skemata yang
telah ada maka individu akan melakukan penilaian situasi yang
disfungsional hingga muncullah pikiran-pikiran otomatis negatif yang
diaktifkan karena pikiran disfungsional tersebut. Pikiran otomatis ini
mempengaruhi emosi seseorang yang pada akhirnya menimbulkan
kecemasan (Wells, 2007).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Burns (2013) mengatakan bahwa
kecemasan yang terjadi pada individu yang menghadapi perceraian
disebabkan karena adanya distorsi kognitif sehingga mempengaruhi emosi
dan berdampak pada tingkah laku yang ditampilkannya. Hasil penelitian
Blackburn & Eunson (dalam Blackburn & Davidson, 1994) terhadap 200
penderita kecemasan memperlihatkan bahwa suatu pikiran seringkali
memiliki lebih dari satu kesalahan dalam proses kognitifnya yang sering
berulang dalam situasi yang berbeda.
Pikiran-pikiran disfungsional yang dimiliki tersebut akan
mendorong munculnya kondisi yang tidak menyenangkan pada fisik,
emosi maupun perilaku. Kondisi emosi yang dirasakan karena pikiran
disfungsional tersebut diantaranya mudah marah, cemas, sedih, khawatir
57
yang berlebihan. Kondisi emosi yang negatif tersebut mempengaruhi
respon fisik yang dirasakan sehingga jantung berdebar, lemas, gangguan
tidur, adanya ketegangan otot, badan terasa panas dingin, dan sakit kepala
yang amat sangat. Akibat dari hal tersebut, individu menjadi menampilkan
perilaku negatif, diantaranya seperti perilaku menghindar, menangis, atau
mengurung diri. Perilaku menghindar akibat adanya kecemasan terlihat
pada wanita yang dalam proses perceraian diantaranya menolak terlibat
dalam aktivitas sosial di lingkungan (Gregoire, 2013; Moison, 2010 ;
Papalia, 1998).
Melihat kondisi di atas, maka penting bagi para wanita dalam
proses perceraian untuk mendapatkan perhatian agar dapat berpikir jernih
dan tenang sehingga dapat kembali menjalani kehidupannya dengan
normal, dapat mengambil keputusan yang tepat dalam keseharian, terlebih
bagi wanita yang memiliki anak dari hasil pernikahannya, mereka harus
tetap dapat mengasuh anaknya dengan baik untuk meminimalisir dampak
perceraian bagi anak-anak mereka. Bagaimanapun kecemasan yang
dirasakan oleh orangtua dalam perceraiannya dapat memiliki pengaruh
bagi anak-anak hasil pernikahan dimana anak-anak bisa menjadi depresif
atau sebaliknya menjadi agresif (Lancer, 2009)
Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu cara untuk mengatasi kecemasan pada wanita dalam proses
perceraian. CBT akan melatih individu untuk memiliki kemampuan
mengubah distorsi kognitif dan individu akan dilatih untuk mengatur
58
suasana hati dalam mengurangi kecemasan (Lochman dalam
Purnamaningsih, 1998). Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh
Solverman dkk (1999) yang menggunakan CBT, berhasil menurunkan
kecemasan pada anak-anak di Florida. Demikian pula dengan penelitian
yang dilakukan oleh Stanley dan Beck (2003) yang bisa membuktikan
bahwa CBT mampu menurunkan kecemasan pada orang dewasa lanjut.
Penelitian yang dilakukan di Turki oleh Ongider (2013) juga menunjukkan
bahwa CBT efektif dalam menurunkan efek negatif dari kecemasan,
depresi dan perasaan kesepian yang dialami oleh wanita yang bercerai.
Dengan berbagai hasil penelitian yang mendukung digunakannya
CBT, maka intervensi CBT dalam penelitian ini diharapkan dapat
membantu cara berpikir individu agar mempunyai kemampuan untuk
mengidentifikasi pola pikir dengan cara mengenali, memonitor pikiran
otomatis kemudian mengevaluasi atau mengubah pola berfikir, sehingga
pada akhirnya dapat berdampak pada perubahan perasaan (mengenai diri
sendiri dan lingkungan) serta perilakunya.
Pemberian intervensi CBT dimulai dengan psikoedukasi.
Psikoedukasi sangat bermanfaat jika diberikan di awal pertemuan untuk
menjelaskan hubungan antara pikiran, emosi, aspek fisiologis serta
perilaku. Pemahaman subjek dilihat dari cara subjek menganalisa aspek
kognisi yang berpengaruh pada emosi, aspek fisiologis dan perilakunya.
Penelitian yang dilakukan oleh Asrori (2009) menyimpulkan bahwa
dengan pemberian psikoedukasi subjek dapat menyadari bahwa pikiran
59
yang di miliki menyebabkan munculnya perasaan negatif dan akhirnya
mempengaruhi perilaku yang ditampilkan.
Intervensi berikutnya dilanjutkan dengan pemberian relaksasi.
Relaksasi digunakan pada individu yang mengalami kecemasan karena
ketika mengalami kecemasan individu akan merasakan reaksi fisiologis
seperti merasakan otot yang tegang dan meningkatnya detak jantung.
Meningkatnya detak jantung terjadi sebagai akibat dari aktifnya sistem
saraf simpatis yakni sistem saraf yang bekerja meningkatkan rangsangan
atau memacu organ tubuh. Relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa
cemas sehingga timbul counter conditioning (Bellack & Hersen dalam
Utami, 1993).
Relaksasi pada prinsipnya akan mengaktifkan kerja sistem saraf
parasimpatis yang berfungsi untuk menghambat kerja sistem saraf
simpatis, sehingga aktivitas dari organ-organ kembali menjadi normal.
Relaksasi yang digunakan adalah relaksasi pernapasan dan otot yang telah
teruji efektivitasnya untuk menurunkan ketegangan (Prawitasari, 1998).
Relaksasi mengajarkan pada individu agar dapat lebih rileks ketika
menghadapi berbagai situasi yang mencemaskan. Subjek diminta berlatih
relaksasi hingga ia terampil sehingga dapat menerapkannya di berbagai
situasi yang dibutuhkan.
Teknik lainnya yang digunakan adalah restrukturisasi kognitif.
Teknik ini dianggap sangat penting karena menurut Beck (dalam Wells,
2007 ) kecemasan disebabkan oleh proses berpikir yang menyimpang atau
60
terdistorsi. Teknik dalam restrukturisasi kognitif diawali dengan
penangkapan pikiran (thougt catching). Proses menangkap pikiran
memungkinkan subjek untuk memantau, merekam atau memunculkan
dialog internal secara akurat, terutama saat menghadapi situasi yang
menekan. Kemudian dilakukan uji realitas dengan kondisi sebenarnya
terhadap pemikiran subyek yang disfungsional. Selanjutnya subjek dilatih
untuk memunculkan alternatif pikiran positif yang nantinya diharapkan
akan menjadi pikiran otomatis saat subjek menghadapi sebuah peristiwa
menekan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Asrori (2009);
Duana (2013); Putri (2012) & Vivi (2012) yang menggunakan
restrukturisasi dalam proses intervensinya membuktikan bahwa terjadi
perubahan pikiran pada subjek penelitian sehingga kecemasan yang
dirasakan mengalami penurunan.
Teknik lain yang diberikan dalam CBT adalah problem solving.
Teknik ini merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menemukan
solusi dari masalah yang dihadapi sehari-hari secara efektif. Teknik ini
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan subjek dengan membantu
untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan terapis membantu
mengidentifikasikan sumber-sumber yang dimiliki oleh subjek.
Teknik selanjutnya adalah tugas rumah. Frogatt (2006) mengatakan
tugas rumah merupakan komponen penting dalam CBT. Latihan menulis
dapat membantu subjek menguji coba dan menggunakan apa yang telah
dipelajarinya selama proses terapi. Tugas rumah juga merupakan proses
61
pengulangan yang pada akhirnya akan membentuk sebuah kebiasaan
karena adanya proses belajar (Roth, dkk., 2002). Penelitian sebelumnya
yang meneliti mengenai efektivitas tugas rumah adalah penelitian Feeney
(2004); McClanahan & Antonuccio (dalam Mendoza, 2004)
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, maka pada penelitian
ini dilakukan intervensi berupa CBT sebagai upaya untuk mengurangi
kecemasan pada wanita dalam proses perceraian dengan menggunakan
teknik psikoedukasi, relaksasi, retrukturisasi kognitif, problem solving dan
tugas rumah.
D. Landasan Teori
Individu akan mengalami kecemasan apabila memiliki pemikiran
yang menyimpang (Beck dalam Wells, 2007). Kecemasan bermanfaat jika
mendorong seseorang untuk melakukan hal yang lebih baik sebagai
antisipasi atas kecemasannya (Durand & Barlow, 2006; Fausiah, 2005).
Sebaliknya, kecemasan yang tinggi dapat mengganggu fungsi kehidupan
sehari-hari karena keadaan suasana perasaan (mood) yang diyakini betul
oleh seseorang bahwa akan terjadi sesuatu hal yang negatif di masa depan
sehingga menimbulkan sebuah ketidaknyamanan, mengganggu fungsi
kehidupan sehari-hari, menimbulkan distres, atau menghindari situasi
sosial yang menimbulkan distres bagi individu tersebut (Durand &
Barlow, 2006)
62
Kecemasan dalam proses perceraian adalah suatu kegelisahan yang
akan terjadi dan ketakutan mengenai masa depan yang belum pasti
disebabkan adanya proses berpikir yang menyimpang karena lepasnya
suatu ikatan tali perkawinan dan berakhirnya hubungan suami isteri.
Wanita dalam proses perceraian dapat mengalami kecemasan, ditandai
oleh munculnya simtom kecemasan yang meliputi aspek fisiologis, aspek
afeksi, aspek kognisi serta aspek perilaku. Beck (dalam Blackburn &
Davidson, 1994) mengungkapkan gejala kecemasan meliputi: Aspek
fisiologis; yaitu terganggunya pola-pola normal dari aktivitas fisiologik
yang ada, gejala yang timbul diantaranya adalah dada berdebar, jantung
berdegup kencang, tubuh gemetar, kepala pusing, sulit tidur, lutut terasa
lemas, tubuh berkeringat meskipun tidak merasakan panas, tubuh merasa
panas atau dingin, sakit kepala, otot mengalami ketegangan atau kaku,
sakit perut, sembelit, terengah-engah atau sesak nafas.
Aspek afeksi, meliputi perasaan khawatir, sedih, gelisah, cemas,
merasa tidak berdaya, tertekan, takut pada sesuatu yang akan terjadi,
Aspek kognisi, gejala tampak pada fungsi berpikir diantaranya adalah sulit
konsentrasi, sulit memutuskan sesuatu, bimbang, mudah lupa, kelelahan
berpikir, adanya pikiran-pikiran yang menakutkan, sering memikirkan
adanya bahaya atau ancaman dan mengira bahwa hal yang buruk akan
terjadi. terakhir adalah aspek perilaku; gejala yang terlihat pada tingkah
laku seseorang yang meliputi menghindari ancaman atau situasi, melarikan
diri, tidak bisa santai, sulit bicara.
63
Menurut Beck (dalam Wells, 2007), kecemasan terjadi ditentukan
oleh cara individu tersebut “melihat” dunia. Individu yang mengalami
kecemasan cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dan
kemungkinan bahaya dalam situasi tertentu dan cenderung menilai rendah
terhadap kemampuan diri untuk mengatasi ancaman yang datang. Individu
cenderung melakukan penilaian yang tidak realistis terhadap situasi
tertentu sehingga menjadikan individu tersebut siaga secara berlebihan.
Menurut Beck, kecemasan terjadi karena adanya distorsi kognitif
(penyimpangan pola pikir) yang terjadi pada individu. Individu yang
mengalami kecemasan dapat mengalami penyimpangan dalam
menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya. Jadi, kecemasan ditimbulkan
oleh proses berfikir individu dan bukan oleh situasi yang ada.
Beck menjelaskan bahwa seringkali individu yang cemas memiliki
asumsi yang tidak realistik karena individu tersebut akan selalu
menganggap bahwa situasi atau orang lain tidak aman bagi dirinya dan
selalu memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Individu ini memiliki
asumsi bahwa situasi yang dihadapi sebagai situasi yang berbahaya juga
menimbulkan ancaman dan menilai dirinya tidak memiliki kemampuan
dalam mengadapi bahaya tersebut sehingga tingkat stres semakin tinggi.
Individu yang mengalami kecemasan, stres dan ketidaktenangan akan
memberikan respon yang berlebihan terhadap kondisinya (Wells, 2007).
Beutler dan Matthews (dalam Blackburn & Davidson,1994),
medukung teori yang dikemukakan Beck dalam pernyataannya bahwa
64
individu dengan kecemasan lebih besar untuk menafsirkan situasi yang
rancu sebagai hal yang mengancam dibandingkan dengan orang yang
tidak menderita kecemasan. Artinya individu tersebut memandang dirinya
rentan terhadap hal-hal yang menyakitkan, melebih-lebihkan risiko yang
diperoleh pada suatu situasi. Pandangan individu dengan kecemasan
terhadap dunia sekitarnya yang mengancam bukanlah karena dimana-mana
ada ancaman dan tempat tidak menyenangkan, tetapi cenderung
menganggap diri mereka mempunyai risiko tinggi terhadap bahaya.
Individu dengan kecemasan juga memandang masa depan sebagai hal
yang tdak dapat diramalkan, curang, dan penuh bahaya.
Model kecemasan Beck (Blackburn & Davison, 1994) merupakan
model yang menghubungkan faktor emosi dan kognisi dengan kecemasan.
Interpretasi yang salah terhadap suatu kejadian atau peristiwa dapat
menimbulkan perubahan emosi, seperti cemas sehingga dapat
memunculkan gejala fisik yang dirasakan oleh tubuh. Tubuh akan bereaksi
dengan menimbulkan simtom fisik dan kemudian semakin meningkatkan
kecemasan. CBT menggunakan dua pendekatan dalam mengatasi
permasalahan individu yaitu menggunakan model kognitif dan model
perilaku. Pendekatan ini mampu menjawab kebutuhan yang dimiliki oleh
individu untuk merngatasi simtom fisik atau keluhan fisiologis yang
dirasakan dengan pendekatan perilaku seperti relaksasi. Sedangkan untuk
mengatasi distorsi pikiran dengan menggunakan pendekatan kognitif yaitu
restrukturisasi kognitif (Vivi, 2012).
65
Prinsip dasar dari Cognitive Behavior Therapy adalah bahwa cara
seseorang berpikir dalam situasi tertentu mempengaruhi bagaimana
perasaan seseorang dan perilakunya. Setiap orang akan memiliki cara
berpikir sendiri, respon individu terhadap peristiwa tertentu dapat berbeda.
Kunci dari Cognitive Behavior Therapy adalah untuk mengidentifikasi
pikiran, perasaan dan perilaku yang membentuk reaksi dan memutuskan
apakah tanggapan tersebut tepat dan bermanfaat. Oleh karena itu, penting
untuk memberikan Cognitive Behavior Therapy pada individu yang
mengalami masalah, karena terapi ini bekerja pada asumsi bahwa
keyakinan seseorang mempengaruhi emosi dan perilaku. Mengidentifikasi
dan mengatasi pikiran bermasalah dapat membantu untuk mengubah
emosi dan perilaku seseorang menjadi lebih baik (Susana, 2015)
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat melalui Gambar 1
66
Gambar 1. Kerangka teori untuk penurunan kecemasan pada wanita dalam proses
perceraian
Keterangan:
= Mendapatkan perlakuan
= Menyebabkan
Wanita dalam proses perceraian
Cemas
Aspek fisiologis; jantung berdegup kencang, sulit tidur,
lemas, sakit kepala, otot mengalami ketegangan atau kaku,
sakit perut, dada sesak.
Aspek afeksi, meliputi; khawatir, sedih, gelisah, cemas,
takut pada sesuatu yang akan terjadi.
Aspek kognisi; konsentrasi, sulit memutuskan sesuatu,
bimbang, mudah lupa.
Aspek perilaku; menghindari ancaman atau situasi, tidak
bisa santai.
Kecemasan menurun
Aspek fisiologis; sakit kepala berkurang, otot tidaktegang.
Aspek afeksi; merasa tenang .
Aspek kognisi; dapat berkonsentrasi, yakin dan tidak ragu
dalam mengambil keputusan.
Aspek perilaku; berani melakukan aktivitas sosial dan
berbaur di lingkungan.
CBT
Psikoedukasi
Relaksasi
Restrukturisasi
kognitif
Problem solving.
Tugas rumah
Tidak mengalami
Distorsi Kognitif Distorsi
Kognitif
Perubahan Distorsi
Kognitif
67
E. Hipotesis
Ada pengaruh CBT terhadap tingkat kecemasan pada wanita dalam
proses perceraian. Kecemasan pada wanita dalam proses perceraian
setelah mendapatkan perlakuan CBT lebih rendah dibandingkan sebelum
mendapatkan perlakuan CBT.