BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologiseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4058/2/BAB...

21
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Menurut Desmarais dan Savoie (2012) konsep kesejahteraan psikologis di tempat kerja bertujuan untuk menggambarkan pengalaman positif seseorang selama bekerja, yang terdiri dari dimensi yang berhubungan dengan pekerjaan. Kesejahteraan psikologis karyawan menurut Berger (2010) termasuk dalam perasaan menikmati pekerjaan, memiliki energi positif dan motivasi, serta di libatkan dalam kegiatan perusahaan. Kesejahteraan psikologis menurut Holm (dalam, Akhtar, 2017) yaitu kondisi di mana karyawan memiliki hubungan baik serta berperilaku positif di lingkungan kerja. Harter, Schmidt, dan Keyes (2002) berpendapat bahwa dalam sudut pandang kesejahteraan psikologis, perasaan yang positif pada karyawan sebagai tanda dari kesehatan mental karyawan, menghasilkan karyawan yang lebih bahagia dan produktif. Tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik, dan menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam pekerjaannya (Ryff dan Singer, 1996). Berdasarkan uraian dari tokoh-tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis di tempat kerja adalah kemampuan individu mengoptimalkan fungsi psikologisnya untuk lebih bahagia,

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologiseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4058/2/BAB...

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Menurut Desmarais dan Savoie (2012) konsep kesejahteraan psikologis di

tempat kerja bertujuan untuk menggambarkan pengalaman positif seseorang

selama bekerja, yang terdiri dari dimensi yang berhubungan dengan pekerjaan.

Kesejahteraan psikologis karyawan menurut Berger (2010) termasuk dalam

perasaan menikmati pekerjaan, memiliki energi positif dan motivasi, serta di

libatkan dalam kegiatan perusahaan. Kesejahteraan psikologis menurut Holm

(dalam, Akhtar, 2017) yaitu kondisi di mana karyawan memiliki hubungan baik

serta berperilaku positif di lingkungan kerja. Harter, Schmidt, dan Keyes (2002)

berpendapat bahwa dalam sudut pandang kesejahteraan psikologis, perasaan yang

positif pada karyawan sebagai tanda dari kesehatan mental karyawan,

menghasilkan karyawan yang lebih bahagia dan produktif.

Tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu

memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki

kepercayaan diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik, dan

menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam

pekerjaannya (Ryff dan Singer, 1996). Berdasarkan uraian dari tokoh-tokoh

tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis di tempat kerja adalah

kemampuan individu mengoptimalkan fungsi psikologisnya untuk lebih bahagia,

12

berfikir positif dan termotivasi dalam bekerja serta mengoptimalkan fungsi

fisiknya sehingga karyawan memiliki produktifitas tinggi, karyawan lebih

percayaan diri dalam mencapai arah dan tujuannya, serta nyaman dalam bekerja

sehingga karyawan cenderung bertahan lama dalam suatu organisasi perusahaan.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie

(dalam Morin, 2017) terdiri dari dimensi :

a. Interpersonal Di Tempat Kerja

Interpersonal di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie (2012) yaitu

persepsi mengalami hubungan positif dengan individu yang berinteraksi dengan

diri sendiri dalam konteks kerja.

b. Berkembang Di Tempat Kerja

Berkembang di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie (2012) yaitu

persepsi untuk mencapai pekerjaan yang signifikan dan menarik yang

memungkinkan seseorang untuk memenuhi diri sebagai individu .

c. Kompetensi Di Tempat Kerja

Kompetensi di tempat kerja adalah persepsi memiliki kemampuan yang

diperlukan untuk melakukan pekerjaan seseorang secara efisien dan memiliki

penguasaan tugas untuk dilakukan (Desmarais dan Savoie, 2012).

d. Pengakuan Yang Dirasakan Di Tempat Kerja

Pengakuan di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie (2012) adalah

persepsi menghargai pekerjaan seseorang dan kepribadian seseorang.

13

e. Keinginan Untuk Terlibatan Di Tempat Kerja

Keinginan terlibat di tempat kerja sebagai upaya melibatkan diri dalam

organisasi dan berkontribusi pada fungsi dan keberhasilannya yang baik

(Desmarais dan Savoie, 2012).

Selanjutnya Ryff (2014) menyatakan bahwa dimensi dari kesejahteraan

psikologis yaitu :

a. Otonomi

Otonomi menurut Ryff (1989) dapat diartikan sebagai penentuan nasib

sendiri, kemandirian, dan pengaturan perilaku dari dalam pengaktualisasi-diri

digambarkan sebagai fungsi otonom dan resistensi terhadap enkulturasi di mana

seseorang tidak mencari orang lain untuk disetujui, tetapi mengevaluasi diri

sendiri dengan standar pribadi. Individu terbebas dalam membuat keputusan

sendiri, mampu menghindari tekanan sosial dan dapat bertindak dengan cara-cara

tertentu serta mengevaluasi diri dengan standar pribadi.

b. Penguasaan Lingkungan

Penguasaan lingkungan menurut Ryff (1989) adalah kemampuan individu

untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi

psikisnya di definisikan sebagai karakteristik kesehatan mental, kemampuan

untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks. Teori-teori

ini menekankan kemampuan seseorang untuk maju di dunia dan mengubahnya

secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental. Dengan demikian menunjukkan

bahwa partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan unsur penting bagi

kerangka kerja yang terkoordinasi dan fungsi psikologis positif.

14

c. Pengembangan Diri

Pengembangan diri menurut Ryff (1989) merupakan kebutuhan untuk

mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi seseorang adalah pusat dari

perspektif klinis pada pertumbuhan pribadi, keterbukaan terhadap pengalaman

adalah karakteristik utama dari orang yang berfungsi penuh. Pengembangan diri

menjadikan individu untuk dapat berkembang dan berkesinambungan.

d. Tujuan Hidup

Menurut Ryff (1989) perkembangan masa hidup mengacu pada berbagai

tujuan atau sasaran yang berubah dalam kehidupan, seperti menjadi produktif dan

kreatifitas atau mencapai integrasi emosional di kemudian hari. Jadi dapat

disimpulkan tujuan hidup secara positif memiliki niat dan arahan yang

berkontribusi pada perasaan bahwa hidup itu bermakna.

e. Hubungan Positif Dengan Orang Lain

Ryff (1989) mendefinisikan hubungan positif dengan orang lain sebagai

hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya dengan kemampuan untuk

mencintai di pandang sebagai komponen utama kesehatan mental, memiliki

perasaan empati dan kasih sayang yang kuat untuk semua manusia serta mampu

memiliki cinta yang lebih besar, persahabatan yang lebih dalam. Hubungan positif

dengan orang lain dapat di lihat dari tinggi rendahnya kemampuan seseorang

dalam membina kehangatan dan hubungan dengan orang lain digambarkan

dengan empati yang kuat.

15

f. Penerimaan Diri

Penerimaan diri menurut Ryff (1989) di definisikan sebagai ciri utama

kesehatan mental serta karakteristik aktualisasi diri, fungsi optimal, dan

kematangan. Teori rentang hidup juga menekankan penerimaan diri dan

kehidupan masa lalu seseorang. Dengan demikian, memegang sikap positif

terhadap diri sendiri muncul sebagai karakteristik sentral dari fungsi psikologis

positif.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dimensi dari

kesejahteraan psikologis di tempat kerja adalah kemampuan untuk menguasai

lingkungan dan menjalin hubungan interpersonal dengan baik diantara rekan

kerja, keinginan untuk selalu berkembang berkompetensi serta menguasai

otonomi atau pengaturan perilaku dalam mengaktualisasikan diri dan

mendapatkan pengakuan atas hal tersebut di lingkungan kerja, karyawan juga

serta secara aktif mengikuti kegiatan yang ada di perusahaan. Berdasarkan uraian

di atas peneliti memilih untuk menggunakan dimensi kesejahteraan psikologis

yang diuraikan oleh Desmarais dan Savoie (dalam Morin, 2017) diataranya yaitu

interpersonal di tempat kerja, berkembang di tempat kerja, merasa kompetensi di

tempat kerja, pengakuan yang dirasakan di tempat kerja, keinginan untuk terlibat

di tempat kerja. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih dimensi tersebut

yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, didukung

berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek, dan dilihat dari kodisi tempat

akan dijadikan tempat penelitian, sehingga dimensi tersebut mampu mengungkap

kesejahteraan psikologis karyawan.

16

3. Faktor Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa faktor kesejahteraan

psikologis terdiri dari :

a. Faktor Jenis Kelamin

Menurut Ryff dan Keyes (1995) dalam penelitiannya perbedaan jenis

kelamin mempengaruhi dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Hasil dari

penelitian menunjukan bahwa wanita dari segala usia cenderung memiliki skor

tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pengembangan

pribadi bila di bandingkan dengan pria.

b. Faktor status sosial

Menurut Ryff (1996) status sosial terdiri dari pendapatan, pendidikan, dan

kedudukan pekerjaan yang telah dikaji dalam studi penelitian longitudinal dan

pencapaian pekerjaan berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang

memiliki kelas sosial yang tinggi lebih merasa terarah dalam hidupnya

dibandingkan individu yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

c. Faktor Usia

Usia mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu. Semakin

bertambahnya usia maka semakin bertambah fungsi kognitif individu. Penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa

perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan

psikologis. Berdasarkan hasil penelitian dimensi penguasaan lingkungan dan

dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama

dari dewasa muda hingga madya.

17

d. Faktor Budaya

Ryff (1996) menyatakan bagaimana budaya melahirkan konsep dasar diri,

diri dalam hubungannya dengan orang lain dan peningkatan kesehatan merupakan

tema umum dalam penelitian secara sosial. Budaya dalam suatu organisasi dapat

terbentuk dari kebiasaan dan perilaku yang terjadi secara terus-menerus. Budaya

disuatu perusahaan berbeda dengan budaya di perusahaan lain. Budaya di dalam

perusahaan Menurut Hofdtede, dkk (dalam Fuad, 2004) memiliki karakteristik

seperti profesionalisme, jarak dari managemen, percaya pada rekan kerja,

keteraturan, permusuhan, dan integrasi.

Budaya di suatu perusahaan berbeda dengan budaya di perusahaan lainnya.

Budaya perusahaan dapat menciptakan konsep dasar diri pada karyawan sehingga

dapat mempengaruhi perilaku karyawan saat bekerja. Perilaku karyawan di tempat

kerja seperti mencibir, mencemooh, dan berbicara kasar dapat menjadi sesuatu hal

yang biasa saja. Namun bagi perusahaan lain yang memiliki perbedaan budaya

perilaku tersebut tampak seperti perilaku yang tidak etis dan tidak sopan. Perilaku

karyawan yang tidak etis dan tidak sopan termasuk dalam perilaku tidak

menyenangkan atau disebut dengan experienced of workplace incivility (Cortina,

2001).

Andersson dan Pearson (dalam Ulandari, 2016) menjelaskan bahwa

experienced of workplace incivility umumnya akan terus berkembang kecuali

sampai pihak memilih untuk mengabaikan dan melepaskan diri dari experienced

of workplace incivility. Apabila experienced of workplace incivility tidak

ditangani dengan baik maka seluruh karyawan akan mecontoh dan melakukan

18

perilaku tidak menyenangkan tersebut. Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan

experienced of workplace incivility terjadi karena adanya faktor budaya

perusahaan yang tidak baik sehingga berdampak buruk bagi karyawan dan

perusahaan.

B. Experienced Of Workplace Incivility

1. Pengertian Experienced Of Workplace Incivility

Experienced of workplace incivility menurut Cortina (2008) merupakan

bentuk perilaku anti sosial yang paling luas di tempat kerja dengan intesitas

rendah, melanggar norma-norma sosial, serta memiliki niat yang tidak jelas untuk

menyakiti karyawan. Andersson dan Pearson (1999); Pearson (2001) menjelaskan

bahwa experienced of workplace incivility ditandai dengan pelanggaran norma

sopan santun, dengan intensitas rendah, dan maksud yang ambigu. Pearson (dalam

Fox, 2012) menyatakan bahwa experienced of workplace incivility sebagai

pertukaran kata-kata dan perilaku yang tampaknya tidak penting dan melanggar

norma-norma konvensional perilaku kerja. Eagar dkk (dalam Logan, 2016)

menambahkan bahwa experienced of workplace incivility digambarkan sebagai

perilaku kasar dan mengintimidasi di mana korban merasa dihina dan berpotensi

rentan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa experienced of

workplace incivility adalah perilaku menyimpang yang di terima korban saat

bekerja seperti di intimidasi dengan intensitas rendah, dan melanggar norma sosial

19

seperti menggunakan kata-kata tidak sopan serta bersikap kasar untuk menyakiti

tanpa alasan yang jelas.

2. Dimensi Experienced Of Workplace Incivility

Adapun dimensi experienced of workplace incivility menurut Cortina (2001)

yaitu terdiri dari satu dimensional. Satu dimensional yang disebutkan oleh Cortina

(2001) mencakup bentuk penganiayaan pada karyawan berupa tindakan negatif

secara luas dengan intensitas yang rendah seperti dikucilkan, berperilaku kasar,

serta perilaku tidak sopan yang di terima korban di tempat kerja. Dimensi ini

didasarkan pada experienced of workplace incivility selama kurang lebih 5 tahun.

Adapaun Pearson (dalam Cortina, 2009) menyebutkan ciri-ciri dari experienced of

workplace incivility yaitu :

a. Melanggar Norma Aturan

Menurut Andersson dan Pearson (dalam Cortna, 2009) perilaku melanggar

norma-norma organisasi seperti mengancam karyawan lain. Oleh sebab itu,

melanggar norma aturan sebagai perilaku tidak beradab di tempat kerja.

b. Mempunyai Maksud Ambigu

Mempunyai maksud ambigu menurut Harun (dalam Cortina, 2009) adalah

perilaku apa pun yang diarahkan oleh satu atau lebih orang di tempat kerja ke

arah tujuan merugikan satu atau lebih orang lain di tempat kerja itu atau seluruh

organisasi

c. Intensitas Rendah

Pearson dkk (dalam Cortina, 2009) menguraikan konsep intensitas rendah

sebagai kekuatan yang lebih rendah, muatan negatif yang lebih rendah tidak

20

melibatkan serangan fisik serta berbeda dari kekerasan di tempat kerja seperti

jenis agresi ekstrim

Berdasarkan dimensi dan ciri ciri yang sudah dijelaskan dapat disimpulkan

bahwa karakteristik experienced of workplace incivility merupakan perilaku anti

sosial dengan maksut yang tidak jelas untuk menyakiti dengan intesitas yang

rendah seperti dikucilkan, diperlakukan secara kasar, dan direndahkan.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti memilih dimensi yang di sebutkan oleh

Cortina (2001) yaitu satu dimensional. Peneliti memiliki pertimbangan dalam

memilih dimensi tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya

lebih luas, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek, dan dilihat

dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, sehingga dimensi tersebut

mampu mengungkap experienced of workplace incivility.

C. Generasi Millenial

Tenaga kerja di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018)

menunjukkan 46,48% berumur di bawah 39 tahun. Selain itu, hasil riset Badan

Pusat Statistik menunjukan di tahun 2020 generasi millenial yaitu generasi yang

berusia 20-40 tahun akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia yang

di duga berjumlah 83 juta jiwa atau 34% dari total penduduk Indonesia.

Berdasarkan hasil data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tenaga

kerja Indonesia adalah generasi millenial. Generasi millenial menurut Naimovska

(dalam Sugianto, 2018) adalah generasi yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000

atau berusia 18-38 tahun. Bursch (dalam Subandowo, 2017) menyatakan bahwa

generasi millenial diidentifikasikan sebagai generasi yang paling beragam dalam

21

sifat, perilaku, dan kultur selain itu generasi millenial juga akan sangat mewarnai

keragaman di tempat kerja. Ali dan Purwandi (2017) menyebutkan karakter utama

generasi millenial yaitu :

a. Connected

Generasi millenial pandai bersosialisasi terutama dengan komunitas yang di

ikuti. Generasi millenial terhubung tidak saja dengan orang disekitarnya tetapi

juga terhubung dengan berita di belahan dunia lainnya. Generasi millenial

mengakses berita tidak hanya melalui koran saja tetapi juga mengakses portal

online dan channel yang terpisah beberapa waktu. Koneksi sosial millenial selain

ditopang oleh media sosial juga ditopang oleh instant messenger untuk

bersosialisasi dalam grup eksklusif. Generasi millenial gemar bersosialisasi baik

secara online ataupun offline.

b. Creative

Generasi millenial dapat berfikir luas, kaya akan ide, dan mampu

mengkomunikasikan dengan cemerlang. Generasi millenial memiliki wawasan

cukup luas karena arus informasi begitu cepat dan mudah di dapat sehingga

menumbuhkan kreativitas.

c. Confidence

Generasi millenial adalah generasi yang percaya diri, berani

mengungkapkan pendapat, dan tidak sungkan untuk berdebat di depan publik.

Generasi millenial cukup percaya diri dalam bertindak dan percaya diri tampil di

depan umum, generasi millenial terkadang menabrak aturan yang lazim bagi

generasi sebelumnya.

22

Selain itu, Faisal (2017) menyimpulkan dari identitas dan self image

generasi millenial terdapat lima aspek penting diantaranya :

a. Komunal

Generasi millenial memiliki sifat komunal mereka tidak dapat hidup sendiri

mereka harus berkerumun hidup dalam satu lingkungan komunal yang saling

berinteraksi saling mendukung satu sama lain serta perasaan memiliki yang kuat

diantara kelompok.

b. Sederhana

Kesederhanaan generasi millenial terletak pada cita-cita dan rangkaian

hidup dengan membuat rencana hidup yang sederhana atau tidak ambisius

sehingga generasi millenial lebih fleksibel dalam mengambil keputusan dan lebih

mengambil banyak waktu untuk mengeksplorasi hal baru untuk dicoba.

c. Naive Personality

Generasi millenial dalam pertemanan sangat menghargai nilai-nilai

ketulusan dan kesetiaan, lalu dalam keluarga juga sangat menghargai nilai

pengabdian dan pengorbanan.

d. Into values

Into values dalam hal ini terlihat dari berbagai aktivitas generasi millenial

sehari-hari yang sifatnya virtue, kearifan, dan religious wisdom masih sangat kuat.

e. Mementingkan Keluarga

23

Generasi millenial sangat mementingkan keluarga, kebahagian dalam

keluarga memiliki bobot yang besar bagi generasi millenial di era globalisasi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa generasi millenial

memiliki karakteristik kerja fleksibilitas serta pengembangan ide-ide dalam

bekerja. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hornbostel (dalam Anggraini, 2016)

yang mengungkapkan bahwa generasi millenial menginginkan berada pada

lingkungan di mana kontribusi dan talenta adalah suatu hal yang di nilai dan

perbedaan yang ada dipandang dengan respek yang tinggi. Lloyd dan Felix (dalam

Prabowo, 2016) menggambarkan sikap generasi millenial terhadap pekerjaan dan

karir yaitu keinginan untuk fleksibilitas, keinginan untuk belajar terus menerus,

preferensi untuk berorientasi terhadap kerja tim.

D. Hubungan Antara Experienced Of Workplace Incivility

dengan Kesejahteraan Psikologis pada Karyawan Millenial

Tenaga kerja merupakan suatu hal yang penting dalam pertumbuhan

perekonomian di Indonesia. Tenaga kerja di Indonesia pada saat ini terdiri dari

tenaga kerja generasi baby boomers, generasi millenial, dan generasi x.

Selanjutnya riset yang dilakukan pada bulan Juni oleh Badan Pusat Statistik

(2018) menunjukan hasil bahwa 46,48% tenaga kerja Indonesia di dominasi oleh

generasi millenial. Menurut Naimovska (dalam Sugianto, 2018) generasi millenial

adalah generasi yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000, pada saat ini generasi

millenial berusia 18-38 tahun. Generasi millenial memiliki karakteristik yang

24

berbeda dari generasi sebelumnya saat bekerja. Hal tersebut sesuai sesuai dengan

pendapat Lloyd dan Felix (dalam Prabowo, 2016) yang menggambarkan sikap

generasi millenial terhadap pekerjaan dan karir yaitu keinginan fleksibilitas,

keinginan untuk belajar terus menerus, dan preferensi untuk berorientasi terhadap

kerja tim.

Karakteristik generasi millenial yang berbeda dengan generasi sebelumnya

tersebut menyebabkan adanya perbedaan pandangan dengan karyawan generasi

lainnya yang dapat menciptakan konflik didalam perusahaan. Ruang lingkup

konflik termasuk dalam pelanggaran etika, diskriminasi, serta pelecehan seksual

di mana semuanya memiliki konsekuensi (Zalabak, 2006). Pelanggaran etika serta

diskriminasi ditempat kerja termasuk dalam perilaku experienced of workplace

incivility (Cortina, 2017)

Experienced of workplace incivility menurut Cortina (2008) merupakan

bentuk perilaku anti sosial yang paling luas di tempat kerja dengan intesitas

rendah, melanggar norma-norma sosial, serta memiliki niat yang tidak jelas untuk

menyakiti karyawan. Andersson dan Pearson (dalam Leiter, 2011) menyatakan

experienced of workplace incivility mengacu pada perilaku kasar atau tidak sopan

yang menyampaikan sikap tidak hormat terhadap orang lain. Apabila experienced

of workplace incivilty diabaikan akan berdampak buruk pada karyawan dan

perusahaan. Adapun dimensi experienced of workplace incivility menurut Cortina

(2001) yaitu terdiri dari satu dimensional yang mencakup bentuk penganiayaan

pada karyawan berupa tindakan negatif secara luas dengan intensitas yang rendah

seperti dikucilkan, berperilaku kasar, serta perilaku tidak sopan di tempat kerja.

25

Dampak pada korban experienced of workplace incivility ditandai dengan

rendahnya kepuasan kerja, tekanan untuk keluar dari organisasi dan kesejahteraan

psikologis yang rendah (Cortina, 2001). Apabila experienced of workplace

incivility tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan dampak buruk dan

kerugian bagi karyawan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Cortina dan Magley (2001) mengenai insiden dan dampak experienced of

workplace incivility pada karyawan yang menunjukan hasil bahwa experienced of

workplace incivility memiliki efek negatif pada kesejahteraan psikologis

karyawan.

Kesejahteraan psikologis karyawan di tempat kerja sangat penting karena

dapat mempengaruhi motivasi dan kinerja karyawan dalam upaya pertumbuhan

dan kemajuan perusahaan. Menurut Desmarais dan Savoie (2012) konsep

kesejahteraan psikologis di tempat kerja bertujuan untuk menggambarkan

pengalaman positif seseorang selama bekerja, yang terdiri dari dimensi yang

berhubungan dengan pekerjaan, diantaranya dimensi dari kesejahteraan psikologis

yaitu interpersonal di tempat kerja, berkembang di tempat kerja, merasa

kompetensi di tempat kerja, pengakuan yang dirasakan di tempat kerja, keinginan

untuk terlibat di tempat kerja. Kesejahteraan psikologis pada karyawan sangat

penting kaitannya dengan produktifitas karyawan dan pertumbuhan perusahaan.

Cortina (2001) menambahkan kesejahteraan psikologis pada karyawan dapat

dipengaruhi oleh experienced of workplace incivility. Adapun hubungan antara

experienced of workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis dijabarkan

melalui karakterisik keduanya.

26

Experienced of workplace incivility berkaitan dengan dimensi hubungan

interpersonal di tempat kerja. Menurut Cortina (2007) experienced of workplace

incivility merupakan perilaku kasar dan tidak sopan, menunjukkan kurangnya

perhatian terhadap orang lain. Adanya experienced of workplace incivility

menurut Cortina (2001) menyebabkan kemarahan, ketakutan, rusaknya identitas

sosial, gangguan kognitif dan penilaian kognitif. Oleh sebab itu adanya

experienced of workplace incivility yang menyebabkan korban merasa cemas dan

tidak ingin berinteraksi sehingga karyawan memiliki hubungan interpersonal yang

tidak baik serta dapat mempengaruhi rendahnya hubungan interpersonal.

Sebaliknya, tidak adanya experienced of workplace incivility yang ditandai

dengan sikap sopan dan saling menghargai dapat mempengaruhi hubungan

interpersonal yang baik, hal ini sesuai dengan pendapat Kartono (dalam Arianto,

2013) adanya tutur kata baik diantara karyawan, sikap tolong menolong, sikap

saling tegur dan mengoreksi dan sikap kekeluargaan di antara karyawan

merupakan unsur dari hubungan kerja yang baik.

Kedua, experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi dimensi

berkembang di tempat kerja. Experienced of workplace incivility termasuk dalam

bentuk anti sosial atau diskriminasi dengan intensitas rendah. Blau dkk (dalam

Roberts, 2011) menyatakan tingginya experienced of workplace incivility ditandai

dengan sikap menjawab telepon dengan cara yang tidak sopan, berbicara negatif

tentang karyawan lain dan mengirim email kasar kepada rekan kerja. Tingginya

experienced of workplace incivility memiliki dampak buruk bagi karyawan. Hal

tersebut didukung oleh pedapat Zhou dkk, (2014) yang menyebutkan dampak

27

experienced of workplace incivility memiliki pengaruh negatif pada kehidupan

sehari hari seperti stabilitas emosi, bias atribusi bermusuhan, locus of control,

beban kerja kronis, dan kendala organisasi kronis. Jika tingginya experienced of

workplace incivility pada karyawan tidak ditangani maka akan memberikan

kendala serta tidak stabilnya emosi karyawan sehingga karyawan tidak dapat

berkembang di tempat kerja dengan baik. Sebaliknya, jika experienced of

workplace incivility rendah yang ditandai dengan tidak adanya diskriminasi dan

perilaku anti sosial maka karyawan memiliki perasaan positif untuk semakin

berkembang di tempat kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Harter, Schmidt, dan

Keyes (dalam Zamralita, 2008) perasaan positif pada karyawan sebagai tanda dari

kesehatan mental karyawan, menghasilkan karyawan yang lebih bahagia,

berkembang dan produktif.

Ketiga, experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi dimensi

kompetensi di tempat kerja. Experienced of workplace incivility merupakan

perilaku menyimpang dengan maksut menyakiti. Tingginya experienced of

workplace incivility menurut Bjorkqovist, dkk (dalam Cortina, 2001); Cortina

(2017) ditandai dengan perilaku kasar diantara karyawan seperti merendahkan,

mengucilkan dan melanggar norma hormat di tempat kerja yang berdampak pada

depresi dan perasaan cemas karyawan. Tingginya experienced of workplace

incivility menyebabkan karyawan depresi selama di tempat kerja sehingga

karyawan kesulitan untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki. Sebaliknya,

rendahnya experienced of workplace incvility yang ditunjukan dengan sikap tidak

merendahkan dan tidak ada pengecualian, serta rasa hormat diantara karyawan

28

dapat memberikan dampak positif pada kompetensi karyawan. Hal tersebut

didukung oleh pendapat Grandy dan Berry (dalam Roberts, 2011) yang

menyatakan bahwa mengurangi perilaku negatif di tempat kerja berpengaruh pada

meningkatnya perilaku positif dalam organisasi, kompetensi dan performa

karyawan.

Ke-empat experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi dimensi

pengakuan di tempat kerja. Eagar, dkk (dalam Logan, 2016) menjelaskan bahwa

experienced of workplace incivilty merupakan perilaku kasar dan mengintimidasi

dimana korban merasa dihina dan berpotensi rentan. Tingginya experienced of

wokplace incivility ditandai dengan berbicara kasar, mencemooh, serta

diskriminasi. Apabila tingginya experienced of workplace incivility tidak

ditangani akan berdampak pada rendahnya pengakuan yang dapat mempengaruhi

rendahnya produktifitas karyawan. Hal tersebut didukung oleh pendapat (Zhou,

2014) yang menyatakan bahwa perasaan dihina dan tidak adanya pengakuan

berdampak pada penurunan kepuasan kerja, peningkatan intensi untuk keluar,

penurunan komitmen afektif, penurunan secara fisik serta penurunan

kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, rendahnya experienced of workplace

incivility yang ditandai dengan sikap saling menghormati, memberikan apresiasi

dapat mempengaruhi psikologis karyawan karena merasa diakui dan dihargai

yang berdampak pada meningkatkan produktifitas kerja. Hal tersebut didukung

oleh pendapat Baumeister dan Leary (dalam Estes, 2008) yang menyatakan bahwa

adanya rasa hormat merupakan motivator kuat pada produktifitas dan perilaku

seseorang.

29

Selanjutnya experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi

dimensi keinginan untuk terlibat di tempat kerja. Menurut (Cortina, 2017)

experienced of workplace incivility mengacu pada perilaku kasar, merendahkan,

mengucilkan dan melanggar norma hormat di tempat kerja. Tingginya

experienced of workplace incivility yang ditandai dengan mengucilkan dan

merendahkan karyawan apabila tidak ditangani dengan baik maka akan

berdampak pada rendahnya keinginan terlibat dan berkontribusi dengan

perusahaan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Hershcovis (dalam Zhou, 2014)

yang menyatakan bahwa experienced of workplace incivility berdampak pada

penurunan keterlibatan dan kepuasan kerja, peningkatan intensi untuk keluar,

penurunan komitmen afektif, serta penurunan secara fisik, dan penurunan

kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, rendahnya tingkat experienced of workplace

incivility ditandai dengan sikap saling menghargai satu sama lain memiliki

pengaruh positif terhadap keterlibatan karyawan. Hal teresbut didukung oleh

pendapat Robbins dan Judge (dalam Margaretha, 2012) yang menyatakan bahwa

sikap saling menghargai dan menghormati berpengaruh pada keinginan untuk

terlibat dalam pekerjaan, mendedikasikan diri terhadap pekerjaan, dan

bertanggung jawab atas pekerjaanya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa experienced of

workplace incivility berkaitan dengan kesejahteraan psikologis karyawan melalui

kedua karakteristiknya. Barling (dalam Cortina, 2008), Bunk dan Magley (2003)

mengungkapkan dampak experienced of workplace incivility tercipta melalui

situasi stres dan respons emosional yang merugikan yang menimpa keadaan

30

psikologis karyawan dengan buruk yang dapat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis. Oleh sebab itu, experienced of workplace incivlity dapat

mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada karyawan. Temuan tersebut juga

didukung oleh penelitian sebelumnya yangdilakukan oleh Akhtar (2017) yang

menyatakan bahwa adanya pengaruh negatif experienced of workplace incivility

pada kesejahteraan psikologis karyawan. Artinya, jika karyawan mengalami

experienced of workplace incivility maka karyawan akan merasakan rendahnya

hubungan interpersonal, kompetensi di tempat kerja, keinginan untuk

berkembang, rasa pengakuan di tempat kerja, dan keterlibatan dengan perusahaan

yang merupakan bagian dari dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritis yang sudah dijabarkan maka hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif experiened of

workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis karyawan millenial di Yamie

Panda Group Yogyakarta. Dimana jika perilaku experienced of workplace

incivility tinggi maka semakin rendah kesejahteraan psikologis. Begitu sebaliknya

ketika experienced of workplace incivility rendah maka tingkat kesejahteraan

psikologis karyawan akan tinggi.

11