Konsep Hukum Dan Perundangan Serta Model Penyelesaian Bagi ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Negara...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Negara...
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Negara Hukum
1. Pengertian Negara Hukum
Perspektif historis, embrio tentang gagasan negara hukum telah
dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya
tulis ketiga yang di buat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan
pertama, politeia dan politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam
Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah
yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.14
Pemikiran Plato tentang Negara Hukum tersebut adalah untuk mencegah
kekuasaan sewenang-wenang oleh penguasa negara dan untuk melindungi hak-
hak rakyat dari tindakan pemerintahan yang tidak adil dan kesewenang-
wenangan yang membuat penderitaan bagi rakyat. Gagasaan Plato tentang
negara hukum semakin tegas ketika di dukung oleh Aristoteles (murid Plato),
yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara
yang baik adalah negara yang di perintah dengan konstitusi dan berkedaulatan
hukum.
14 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, Hal. 24
20
Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu sebagai
berikut:
a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan padda
ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-
wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi;
c. Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas
kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan, tekanan yang dilaksanakan
pemerintah despotik (satu penguasa);
Konsep Rechtsstaat di Jerman dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami
oleh Immanuel Kant berkembang di negara-negara civil law system dan dari
Albert Venn Dicey dengan konsep rule of law yang berkembang di negara-
negara penganut common law/anglo saxon. Menurut Philipus M. Hadjon,15
bahwa kemunculan negara dalam konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem
hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”,
sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut
“common law”.
Negara hukum dalam perkembangannya senantiasa dipautkan dengan
konstitusi negara, terutama dalam hal pengaturan dan penegasan tentang
pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin kemerdekaan dan hak-hak dasar
warga negara dan perlindungannya. Esensi dari negara berkonstitusi adalah
15Philipus M. Hadjo, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya
1987, Hal. 76-82.
21
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Atas dasar itu, keberadaan
konstitusi dalam suatu negara merupakan (kemutlakan) conditio sine quanon.
Menurut Sri Soemantri, 16tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak
mempunyai Konstitusi atau undang-undang dasar, Negara dan konstitusi
merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Dengan demikian dalam batas-batas minimal, negara hukum identik dengan
negara yang berkonstitusional atau negara yang menjadikan konstitusi sebagai
aturan main kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Budiono Kusumohamidjojo, 17berpendapat lalu mengemukakan bahwa
pada babak sejarah sekarang, sukar untuk membayangkan negara tidak sebagai
negara hukum. Setiap negara yang tidak mau dkucilkan dari pergaulan
masyarakat internasional menjelang abad XXI paling sedikit secara formal akan
memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Hukum juga menjadi aturan
permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga
perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik. Dengan
demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan
primordial, melainkan kepada cita-cita dalam kerangka kenegaraan.
Menurut Bothling, negara hukum adalah 18“de staat, waarin de
wilsvriheid van gezagdragers is beperket door grnezen van recht” (negara,
dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan
16Soemantri Sri. M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bulan Bintang, Bandung,
1992, Hal. 3. 17Kusumohamidjojo Budiono, Filsafat Hukum: Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo
Jakarta, 2004, Hal. 147. 18Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.18
22
hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka merealisasi pembatasan
pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudakan dengan cara, “Enerzids in
een binding van rechter en administratie aan de wet, anderjizds in een
begrenzing van de bevoegdheden van wetgever”, (disatu sisi keterikatan hakim
dan pemerintah terhadap undang-undang, dan di sisi lain pembatasan
kewenangan oleh pembuat undang-undang).
2. Prinsip-Prinsip Negara Hukum
19Prof. Bagir Manan, mengatakan bahwa konsep negara hukum sangat
terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dalam
literatur lama pada dasarnya sistem hukum di dunia ini dapat dibedakan dalam
dua kelompok besar yaitu sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum
Anglo-Saxon. Menurut Thahir Azhary, 20dalam kepustakaan ditemukan lima
macam konsep negara hukum yaitu:
i. Nomokrasi Islam adalah konsep negara hukum yang pada umumnya
diterapkan di negara-negara Islam.
ii. Rechtsstaat, adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara
Eropa Kontinental, antara lain misalnya: Belanda, Jerman, Prancis.
iii. Rule of Law, adalah knsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara
Anglo-Saxon, seperti: Inggris, USA.
iv. Sosialist Legality adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-
negara komunis.
19Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta
Timur, 2013, Hal. 32 20Azhary, M. Tahir, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, Hal. 63.
23
v. Konsep Negara Hukum Pancasila adalah konsep negara hukum yang
diterapkan di Indonesia.
3. Unsur-Unsur Negara Hukum
Menurut Ridwan. HR, Konsepsi Negara Hukum dalam
pengembangannya telah mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat
dilihat diantaranya:
i. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
ii. Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
iii. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
iv. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
v. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang
bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak
memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
vi. Adanya peran nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara
untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang
dilakukan oleh pemerintah;
vii. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata
sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
a. Supremasi Hukum
Adanya pengakuan normatif dan empiris akan prinsip supremasi hukum,
yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
teertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada
24
hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia,
tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.
b. Persamaan dalam Hukum
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empiris.
Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan deskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang
terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang di
namakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar
kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara
dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.
c. Asas Legalitas
Dalam setiap negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus di dasarkan atas peraturan perundang-undanganyang sah
dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis. Peraturan perundang-
undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebihh dulu atau mendahului
tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian setiap
perbuatan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures
(regels)
.
25
d. Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan
cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecendrungan untuk berkembang menjadi sewenang-
wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Karena itu kekuasaan harus selalu dibatasi
dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang
bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling
mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.
e. Organ-organ Eksekutif yang Independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di era sekarang berkembang pula
tentang pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat independent,
seperti bank sentral, organisasi tentara, kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada
pula lembaga-lembaga baru seperti komisi Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemilihan Umum, Lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain
sebagainya.
Lembaga, badan atau organisasi-organisasi tersebut, sebelumnya dianggap
sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang
menjadi independen, sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak
seseorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun
pemberhentian pimpinannya.
26
f. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak
Adanya Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and
impartial judiciary). Ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam
menjalankan fungsi yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun
juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang
(ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan
adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, baik
intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari
kalangan masyarakat dan media massa.
Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong undang-undang atau
peraturan perundang-undangan, melainkan juga mulut keadilan yang
mensuarakan perasaan hukum dan keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
g. Peradilan Tata Usaha Negara
Meskipun Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip
peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap
negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk
menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan
hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara.
h. Peradilan Tata Negara
Disamping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan
memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, negara
27
hukum modern lazim juga mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah
konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts), adalah dalam
upaya untuk memperkuat system checks and balances antara cabang-cabang
kekuasaan yang sengaja di pisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya
Mahkamah ini di beri fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas
undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus
berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antarlembaga negara yang
mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terahadap hak asasi manusia dengan
jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara
hukum yang demokratis.
Setiap manusia sejak kelahirannya telah menyandang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan
demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi
arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karenanya,
adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu
merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai
negara hukum.
Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar
dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara
28
adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum
dalam arti yang sesungguhnya.
j. Bersifat Demokratis
Dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan
ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh atau hanya untuk kepentingan
penguasa secara bertentangan dengan prinsip demokrasi. Oleh karena hukum
memang bukan hanya dimaksudkan untuk menjamin kepentingan segelintir
orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi
semua orang tanpa terkecuali.
k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara
demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum
(nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
l. Transparansi dan Kontrol Sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses
pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
29
komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka
menjamin keadilan dan kebenaran.
4. Konsep Negara Hukum Indonesia
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 disebutkan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal tersebut merupakan
landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law). Sebelum
dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, landasan konstitusional bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, tercantum dalam pembukaan
dan batang tubuh UUD 1945 sebelum perubahan. Selain itu pernyataan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum juga dapat dilihat dalam penjelasan
UUD 1945 sebelum perubahan21.
Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan ada tujuh
kunci pokok sistem pemerintahan Negara Indonesia. Jelas bahwa cita-cita
Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar
Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan
bukalah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan, yang dapat
menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang
demikian bukanlah hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan
21 Marjanne Termorshuizen, The Consept Rule of Law, dalam “JENTERA Jurnal Hukum”,
Edisi 3 tahun II, Jakarta, 2004, Hal. 78
30
bagi rakyat. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang
kemudian menjadi rechtmatigheid22.
Dengan demikian rechtsstaat memiliki inti upaya memberikan
perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan
perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM,
yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau pembagian
kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan
di dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau paling tidak dapat
diminimalkan. Di samping itu, konsep rechtsstaat menginginkan adanya
perlindungan bagi hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang
independen. Pada konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi
yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri.
B. Tinjauan Kebebasan Beragama dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan.
Indonesia sebagai negara yang mengakui dan sedang terus berusaha
menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya terus melakukan
diseminasi23 dan meng-HAM-kan setiap sektor kehidupan bermasyarakat.
Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
22 Soedjati Djiwantono, Setengah Abad Negara Pancasila, Centre for Strategic and
International Studies (CSIS), Jakarta, 1955, Hal. 11 23 Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu
agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.
31
Kependudukan, kelompok minoritas di atas dapat tetap dilayani dan dicatat
dalam database administrasi kependudukan.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (5), terhadap penduduk yang agamanya belum
diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen data penduduk
tentang agama dapat tidak diisi pada dokumen kependudukan khususnya KTP
elektronik. Sehingga, tiada hambatan bagi setiap penduduk untuk melengkapi
dokumen kependudukannya.
Hal tersebut merupakan langkah progresif Pemerintah dalam
menyelenggarakan perlindungan dan penghormatan HAM warga negaranya.
Walaupun, jika dikaji lebih mendalam tidak diiisinya kolom agama pada kartu
tanda penduduk bagi penduduk yang agama atau kepercayaannya yang belum
diakui oleh negara adalah bentuk nyata diskriminasi administrasi kependudukan.
Karena negara kita adalah negara eufimis24, mungkin sebaiknya “diskriminasi”
tersebut harus kita maknai sebagai bentuk kebijaksanaan Pemerintah terhadap
kelompok minoritas agar tidak mengalami kesulitan dalam melengkapi dokumen
kependudukan atau tidak memaksa mereka untuk berbohong perihal agamanya
yang dipeluknya di hadapan negara.
Ketiadaan Peraturan Pelaksanaan dan Berpotensi Menyuburkan Atheisme
secara Legal Diperkenankannya oleh negara untuk mengosongkan kolom agama
pada KTP bagi penduduk yang agama dan kepercayaannya yang belum diakui
oleh negara ternyata masih terdapat hambatan. Hambatan tersebut berupa
24Eufimis adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan
kasar.
32
ketiadaan peraturan pelaksanaan yang mengatur kriterium agama dan
kepercayaan apa saja yang diakui untuk belum diakui di Indonesia.
Ketidakjelasan regulasi karena ketiadaan peraturan pelaksanaan yang mengatur
dan menjabarkan substansi dari materi UU Administrasi Kependudukan yang
sangat umum dapat menimbulkan kerawanan dalam penerapannya. Bahkan
terdapat potensi penyuburan faham atheis dengan menggunakan instrumen yang
legal.
Mengingat negara ini dibentuk berdasarkan by law dan by constitution
maka hendaknya Pemerintah membentuk peraturan pelaksanaan. Sehingga
dalam aspek substansi hukum (legal substance) tidak terdapat celah yang
digunakan sebagai sarana yang legal untuk menyuburkan atheisme. Apalagi
mengingat Indonesia adalah negara yang berkeTuhanan. Konsep keseimbangan
dalam ber-HAM di Indonesia telah diatur secara jelas pada Konstitusi, negara
wajib menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya. Di sisi lain
warga negara harus menundukkan diri pada pembatasan oleh Undang-undang.
Dengan demikian, dapatlah dimaknai prinsip penghormatan hak asasi dan
kesetaraan di depan hukum (equality before the law) bukan hanya redaksi
pemanis dalam konstitusi dan bukan pula alibi untuk latah dan bebas berekspresi
dengan kata “asasi”.
Selanjutnya Pasal 34 ayat (4) menyatakan bahwa pelaporan pernikahan
bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA Kecamatan. Adanya
aturan yang tegas terhadap umat Islam ini memang sesuai dengan kondisi yuridis
faktual bahwa KUA adalah lembaga yang berwenang mengeluarkan kutipan
33
Akta Perkawinan. Akan halnya penduduk di luar Islam justru terkesan tidak
diatur dengan jelas. Bagaimana sesungguhnya perkawinan yang dilakukan oleh
pemeluk aliran Kepercayaan atau masyarakat adat yang belum mempunyai
agama. Apakah mereka dapat dengan mudah memperoleh kutipan akta
perkawinan tersebut dari kantor catatan sipil. Selama aturan tersebut tidak tegas
dan jelas mengatur tentang hak-hak yang seharusnya diterima oleh seluruh
warga negara maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan dapat
dikatakan tidak memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga. Sampai
sejauh ini pemerintah baru mengakui keberadaan Khonghucu sebagai agama
dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negri No 470/336/SJ pada
tanggal 24 Februari 2006 tentang pelayanan administrasi kependudukan kepada
penganut Khonghucu. Dengan adanya Surat Edaran tersebut maka Pemerintah
Daerah wajib melayani administrasi kependudukan kepada penganut
Khonghucu.
Selain itu mengingat komposisi penduduk di Indonesia yang terdiri dari
macam suku dan mempunyai agama yang berbeda pula, seharusnya menjadi
perhatian yang serius bagi negara di dalam mengatasi hal ini. Pengaturan tentang
perkawinan campuran / perkawinan antar agama melalui prosedur pengadilan
tentu mengakibatkan kesulitan sejumlah warga. Pengaturan tentang perkawinan
campuran / perkawinan antar agama seperti yang terdapat pada pasal 35 melalui
penetapan pengadilan tentu mengakibatkan kesulitan sejumlah warga. Dengan
menggunakan prosedur pengadilan tentu masalah biaya dan waktu menjadi
pertimbangan sendiri bagi warga. Perkawinan sebagai hak bagi warganegara
34
yang akan melaksanakannya dalam hal ini perkawinan antar agama telah
direduksi sedemikian rupa sehingga bagi pemerintah seolah-olah menjadi
persoalan hukum.
Bagi pemerintah, segala tindakan hukum yang diambil baik dalam
melakukan tindakan hukum berupa pembuatan peraturan perundang-undangan
(regeling) maupun penerbitan ketetapan atau keputusan (beschiking), harus
menjamin sesorang bebas menentukan pilihannya terhadap agama yang di
yakininya serta memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksanan hak
beragama itu, bukan menimbulkan pelanggaran terhadap pelaksanaan hak
dimaksud. Namun banyak tindakan pemerintah yang dinilai membatasi
seseorang untuk melaksanakan hak beragamanya.
Dari isi pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan ideologi negara
Indonesia dalah Ketuhanan yang Maha Esa, oleh karena segala kegiatan di
negara Indonesia harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu besifat
mutlak. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 merupakan
perwujudan dari pengakuan keagamaan. Oleh karena itu, setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadah menurut agamanya yang warganya anggap benar
dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak, serta hak setiap warga negara
untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman untuk tinggal dan
berhak menentukan kewarganegaraan sendiri.
Berikutnya, dari isi pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa
setiap warga negara memiliki agama dan kepercayaanya sendiri tanpa ada unsur
paksaan dari pihak manapun. Dan tidak ada yang bisa melarang orang untuk
35
memilih agama yang diyakininya. Setiap agama memiliki cara dan proses ibadah
yang bermacam-macam, oleh karena itu setiap warga negara dan pemerintah
tidak boleh untuk melarang orang beribadah yakni sesuai dengan isi pasal 22
Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Kebebasan Beragama.
Pemahaman mengenai freedom of religion, baik dalam arti positif maupun
negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama
berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau
mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak
beragama. Pengertian kebebasan beragama seperti yang ada dalam deklarasi
umum PBB tentu saja bersifat sangat liberal, dan nampak didominasi budaya
Barat. Ini berbeda dengan konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia mengandung konotasi positif.
C. Tinjauan Umum Tentang Teori Efektivitas
Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan
keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal
ini terkadang mempersulit penelaahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan
teori efektivitas, namun secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai
keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan.
Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi.
Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki
beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas organisasi. Mengutip
36
Ensiklopedia administrasi25, menyampaikan pemahaman tentang efektivitas
sebagai berikut:
“Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai
terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan
suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka
orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud
sebagaimana yang dikehendaki”
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat
dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki.
Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan
dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat
diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha
atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud
adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan
keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang,
tugas dan fungsi instansi tersebut.
Menurut Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul “Law and
Society”, yang dikutip oleh Soerjono (Soerjono Soekanto dan Abdullah
Mustafa), efektif atau tidaknya suatu perundang-undangan sangat dipengaruhi
oleh tiga faktor, yang kita kenal sebagai efektivitas hukum, dimana ketiga faktor
25 Di akses di https://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum Pada Tanggal
15 Desember 2016
37
tersebut adalah:
1. Substansi Hukum
Substansi hukum adalah inti dari peraturan perundang-undang itu
sendiri.
2. Struktur Hukum
Struktur hukum adalah para penegak hukum. Penegak hukum adalah
kalangan penegak hukum yang langsung berkecimpung di bidang
penegakan hukum tersebut.
3. Budaya Hukum
Budaya hukum adalah bagaimana sikap masyarakat hukum di tempat
hukum itu dijalankan. Apabila kesadaran masyarakat untuk mematuhi
peraturan yang telah ditetapkan dapat diterapkan maka masyarakat akan
menjadi faktor pendukung. Namun, bila masyarakat tidak mau
mematuhi peraturan yang ada maka masyarakat akan menjadi faktor
penghambat utama dalam penegakan peraturan yang dimaksud.
Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali26
berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari
hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan
hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali pun
mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi
efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal
26 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, 2010,
Hal. 375.
38
pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di
dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam
menegakkan perundang-undangan tersebut. Teori efektivitas hukum menurut
Soerjono Soekanto27 adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan
oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturan hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto28 ukuran efektivitas
pada elemen pertama adalah:
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis.
27 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal. 8. 28 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung 1983, Hal. 8.
39
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan
yuridis yang ada.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum
tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya
aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan
baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan
profesional dan mempunyai mental yang baik. Menurut Soerjono Soekanto29
bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau
dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut:
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas
pada wewenangnya.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan
prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
29 Ibid, Hal. 82
40
prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai
alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan
prasarana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto30
memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana
prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan
kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya.
Adapun elemen-elemen tersebut adalah:
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan
angka waktu pengadaannya.
3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi
fungsinya.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari
kondisi masyarakat, yaitu:
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan
yang baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun
peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
30 Ibid, Hal. 82
41
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas
atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan
kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul.
Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari
komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan
disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam
hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter
tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan
masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang
ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal.
Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat
positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya
rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk
melakukan sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat
muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak
adil dan sebagainya. Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena adanya
semacam tekanan dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar
warga masyarakat tunduk kepada hukum. Pada takaran umum, keharusan warga
masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi
atau punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih
memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya
42
dapat menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau hanya
temporer.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut
relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita31 yaitu bahwa
faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya
terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan
penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang
sering diabaikan.
Menurut Soerjono Soekanto32 efektif adalah taraf sejauh mana suatu
kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika
terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya
dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi
perilaku hukum.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum
tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses
pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu
kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan
inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan
hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat
muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak
efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang berat; mungkin juga
31 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2001, Hal. 55. 32 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV. Ramadja
Karya, Bandung, 1988, Hal. 80.
43
karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga
masyarakat33.
D. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Publik
Pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik tidak terlepas dari
masalah kepentingan umum. Kepentingan umum dengan pelayanan umum
saling berkaitan. Pelayanan publik dalam perkembangan lebih lanjut dapat juga
timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan
organisasi. Melengkapi 10 uraian tersebut, ada beberapa pengertian pelayanan
publik. Menurut Dwiyanto bahwa pelayanan publik adalah:
“Serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk
memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang
dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan
pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), dan sebagainya”.
Pelayanan publik merupakan serangkaian aktifitas yang diberikan oleh
suatu organisasi atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang
dibutuhkan masyarakat.
Pelayanan publik dimaknai sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pemenuhan
hak-hak dasar tersebut. Pelayanan publik sebagai segala bentuk kegiatan
33 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum Yarsif Watampone, Jakarta,
1998, Hal. 186.
44
pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dalam
bentuk barang dan jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan.
Pelayanan umum merupakan kegiatan yang diberikan oleh seseorang atau
sekelompok dengan landasan melalui sistem atau prosedur yang telah ditentukan
untuk usaha memenuhi kepentingan masyarkat. Pelayanan umum harus
mendahulukan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, karena
pelayanan umum berfungsi memenuhi kepentingan masyarakat umum yang
membutuhkan pelayanan.
Hanif Nurcholis dalam bukunya Teori dan Praktik Pemerintahan dan
Otonomi Daerah mengemukakan pelayanan publik sebagai:
“Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan
perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat”34.
Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diberikan untuk masyarakat
banyak. Pelayanan publik diberikan oleh negara melalui organisasi atau
perusahaan maupun instansi pemerintah demi menciptakan kesejahteraan
masyarakat.
Menurut John Wilson yang dikutip oleh Hanif Nurcholis mengemukakan
bahwa:
34 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta,
2005. Hal. 175.
45
“Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori
sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN atau BUMD. Ketiga
komponen yang menangai sektor publik tersebut menyediakan layanan publik,
seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, bantuan sosial dan
penyiaran”.
Pelaksanaan pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat melibatkan
kedua belah pihak untuk saling bekerjasama. Masyarakat diharapkan dapat
berpartisipasi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan, yakni dengan
memenuhi aturan dengan kesadaran dan menghargai administrator publik yang
memberikan pelayanan. Suatu instansi pemerintah merasa dihargai dan akan
bekerja dengan penuh tanggungjawab dalam memberikan pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang efektif dapat
memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran
ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan
lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam, memperdalam
kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Sinambela di dalam
bukunya bahwa pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan
masyarakat oleh penyelenggara pemerintah serangkaian aktivitas yang
dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Negara
46
didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat”35.
Pelayanan publik dapat dikatakan sebagai pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah. Pelayanan publik juga
merupakan serangkaian atau sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah
atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh
masyarakat, karena pemerintah dan negara didirikan oleh masyarakat dengan
tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan publik
memiliki lima karakteristik yaitu:
1. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan
tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
2. Posisi tawar pengguna. Semakin tinggi posisi tawar pengguna atau klien,
maka akan semakin tinggi pula peluang untuk meminta pelayanan yang lebih
baik.
3. Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara
pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna.
4. Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol
atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.
5. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau
penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Masyarakat akan merasa puas apabila pelayanan yang diberikan sangat
baik. Adaptasi layanan sudah sesuai dengan permintaan masyarakat sebagai
35 Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, 2006. Hal. 5.
47
penerima pelayanan. Posisi tawar pengguna, tipe pasar, lokus control dan sifat
pelayanan sebagai karakteristik dalam meningkatkan pelayanan publik yang
berkualitas.
1. Asas-Asas Pelayanan Publik
Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian
kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap,
wajar, dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas
antara lain:
1. Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan publik
tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing
pihak, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar,
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap
berpegang pada efisiensi dan efektifitasnya.
3. Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus
diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan,
kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau
Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka
Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang
bersangkutan berkewajiban “memberi peluang” kepada masyarakat
48
untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Adapun Asas Pelayanan publik meliputi:
a. Transparansi
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas
Dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturanperundang-perundangan.
c. Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan
efektivitas.
d. Partisipatif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat.
e. Kesamnaan Hak
Tidak diskriminatif, tidak membedakan suku, ras, agama, golongan ,
gender, dan status ekonomi.
f. Keseimbangan hak dan kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak
49
Pelayanan publik akan berkualitas apabila memenuhi asas-asas
diantaranya hak dan kewajiban; pengaturan setiap bentuk pelayanan umum
harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat
untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus dapat
memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum; dan
apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau Lembaga
Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau
Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban
“memberikan peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Tinjauan Umum Tentang Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta,
āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah “religi” yang berasal dari bahasa Latin “religio” dan berakar pada kata
kerja “religare” yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan36.
36 Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, Diakses 15 Juni 2016
50
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia.
Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama.
Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang
adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan
dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaranajarannya
teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk
melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan,
upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan
penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram37.
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di
antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “a” berarti tidak dan “gama”
berarti kacau, jadi berarti tidak kacau38. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya39.
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa
Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion
(bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman).
37 Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, 1989, Hal. 26 38 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1992, hlm. 112. buku lain yang
membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT al-Ma’arif, 1973, hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984, Hal. 39
39 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; edisi III, Cet 2, Balai Pustaka, 2002, Hal. 12
51
Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata
diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan,
kebiasaan. Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan
agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam
pengertian yang sama dengan “agama”40. Kata agama selain disebut dengan kata
diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan
juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut addin dan
karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena
hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara41.
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama
Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain
Islam, Kristen dan Yahudi. Selain itu agama Wad’i atau agama bumi yang juga
sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan
pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghu Cu dan
berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan42. Agama Asli adalah bentuk-
bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku;
kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara
mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun
orang lain43. Secara umum pengertian agama adalah suatu sistem kepercayaan
kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan
40Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997,
Hal. 63 41Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, Hal. 121 42 Pengertian-agama-secara-umum, /http://umum.kompasiana.com/ Diakses 15 Juni 2016 43 Agama asli, http://www.jappy.8m.net/blank_11.html, Diakses 15 Juni 2016
52
interaksi dengan-Nya. Pokok yang ada dalamnya adalah eksistensi Tuhan,
manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan sesama44.
F. Tinjauan tentang Penganut/Penghayat Aliran Kepercayaan
Ditinjau secara sosiologis, dalam hidupnya baik secara individual maupun
hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat lepas dari unsur religi, apapun religi
yang dianutnya. Sebagai hasil perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia menganut
berbagai agama dan kepercayaan. Religi yang dekemukakan oleh Durkheim
dengan toteminismenya, berbeda dengan mentalitas primitif yang dikemukakan
oleh Levi Bruhl. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Levi Bruhl bahwa:
“….karena struktur masyarakat beraneka ragam, maka demikian juga
gambaran-gambarannya, dan begitu pula pemikiran individunya. Setiap corak
masyarakat karenanya punya mentalitas yang khas, karena masing-masing
punya kebiasaan dan lembaga-lembaga yang khas pula, pada dasarnya
hanyalah merupakan suatu aspek tertentu bagi gambaran-gambaran kolektif;
semua itu adalah gambaran-gambaran yang dipikirkan secara obyektif.”
Dalamkehidupan masyarakat primitif, menegaskan bahwa keberadaan
individu dan pemikirannya terhadap suatu hal tergantuk pada masyarakatnya,
karena masyarakatlah yang memberikan pengetahuan dan konsep-konsep
kehidupan sebagai suatu fenomena sosial maupun fenomenal alam pada
individu. Kemunculan religi yang hidup dalam masyarakat sederhana tidak lain
karena adanya fenomena alam, diluar jangkauan dan keterbatasan pemikiran
manusia dalam menjawab fenomena tersebut, sehingga mereka menganggap
44 Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1985, Hal. 6
53
adanya kekuatan supra-natural, sehingga harus dihormati dan dipuja agar
memberikan perlindungan dan berkah bagi masyarakat, sehingga Firth
mengemukakan sebagai berikut:
“Jika kita namakan hal ini suatu kepercayaan (religi) gaib, maka kita
sekali-kali tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dipercaya rakyat
tadi oleh mereka harus dianggap sebagai suatu diluar kekuasaan alam, akan
tetapi oleh karena hal-hal itu tidak merupakan sebagian dari apa yang menurut
pengalaman kita harus digolongkan ke dalam kekuatan alam. Pada hakekatnya
tindakan hal-hal gaib tadi merupakan penyempurnaan bagi usaha-usaha biasa
dari manusia…”
Pendapat tersebut menegaskan bahwa kepercayaan terhadap hal-hal gaib
di luar jangkauan manusia merupakan kekuatan sebagai penyelaras hubungan
manusia dengan alam dan sebagai pengawasan terhadap tingkah laku dengan
sesamanya maupun dengan alam melalui norma-norma yang dihasilkannya, baik
dalam bentuk anjuran, keharusan, maupun larangan. Manusia memiliki rasa
takut apabila melanggar norma yang telah ditetapkan, dan setiap pelanggaran
yang dilakukan dapat mendatangkan bencana tidak saja kepada si pelanggar,
tetapi juga kepada orang lain dalam kelompoknya bahkan bagi seluruh
masyarakat, sehingga manusia senantiasa mentaati norma yang ada dan menjaga
keselarasan hidup dengan alam.
Dalam berhubungan dengan sang pencipta, nenek moyang kita sudah
berusaha mengenalnya. Dengan demikian, lahirlah kepercayaan yang dikenal
dengan animisme (peercaya bahwa benda mempunyai kekuatan gaib) dan
dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangannya
selanjutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenek moyangnya maka
54
lahirlah suatu kepercayaan memuja roh nenek moyang. Jadi Kepercayaan itu
adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lainnya dari
kepercayaan adalah suatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat
membayangkan manusia dapat hidup tanpa kepercayaan apapun, karena
kepercayaan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataannya kita
temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka
sudah tentu ada dua kemungkinan, semuanya itu salah atau salah satu
diantaranya benar. Di Samping itu, masing-masing bentuk kepercayaan mungkin
mengandung unsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur baur. Maka satu-
satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Maksudnya
kebenaran disini merupakan asal dan tujuan segala kenyataan.
G. Tinjauan Umum tentang Administrasi Kependudukan
1. Pengertian Administrasi
Administrasi adalah kegiatan penyusunan dan pencatatan data serta
informasi (drafting and recording data + information) secara sistematis dengan
tujuan untuk menyediakan keterangan serta memudahkan memperolehnya
kembali secara keseluruhan dan dalam satu hubungan satu sama lain. Secara
etimologi, administrasi berasal dari bahasa Yunani “Administrare” atau
administer yang berarti mengendalikan, mengelola atau menangani urusan
urusan seperti negara, pemerintahan, rumah tangga ataupun pengelolaan suatu
bisnis/usaha.
55
Banyak pengertian administrasi yang dikemukakan oleh para ahli
administrasi, ada pengertian adminitrasi secara luas dan ada pengertian
administrasi secara sempit, dan bahkan ada yang mengartikan sebagai proses
sosial. Dalam pengertian yang luas adalah 45merupakan suatu fungsi yang
memegang peranan yang sangat penting terhadap tercapainya kelancaran usaha
kegiatan, maupun aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan/organisasi.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan administrasi juga merupakan urat
nadi perusahaan dan administrasi juga dapat memperlihatkan fakta dan
keterangan yang diperlukan untuk perencanaan secara rinci dan keterangan/data
yang meliputi catatan yang akurat, formulir serta laporan yang meliputi tugas
administrasi.
Pemahaman yang tepat tentang peranan administrasi dalam kehidupan
modern sangat tergantung pada definisi yang digunakan sebagai titik tolak
berpikir. Administrasi didefinisikan sebagai “keseluruhan proses kerja sama”
antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu dalam
rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil
guna.
Apabila definisi diatas disimak, akan terlihat paling sedikit 3 hal yaitu:
Administrasi merupakan suatu seni sekaligus sebagai proses. Sebagai seni,
penarapan administrasi memerlukan kiat tertentu yang sifatnya sangat
45 Sondang, P. Siagian, Kerangka Dasar Ilmu Administrasi, Rineka Cipta, Cetakan 2, Jakarta,
2001. Hal. 12
56
situasional dan kondisional. Administrasi selulu terikat pada kondisi, situasi,
waktu dan tempat.
Administrasi memiliki unsur-unsur tertentu, yaitu adanya dua oarang atau
lebih, orang-orang tersebut bekerja sama dalam hubungan yang sifatnya formal
dan hirarkis, adanya tujuan yang ingin dicapai. Adanya tugas-tugas yang harus
dilaksanakan dan tersedianya sarana dan prasarana tertentu.
Administrasi sebagai proses kerja sama bukanlah merupkan hal baru
karena administrasi sesungguhnya timbul bersamaan dengan timbulnya
peradaban manusia. Istilah administrasi berasal dari bahasa latin yaitu
ad+ministrare yang berarti melayani, membantu, menunjang dan memenuhi.
Istilah administrsi sama dengan tata usaha, artinya setiap kegiatan yang
mengadakan pencatatan berbagai keterangan yang penting didalam
usaha/organisasi yang bersangkutan.
Mengenai administrasi dapat dijelaskan bahwa administrasi merupakan
sub sistem dari sistem administrasi organisasi yang bekerja sama dengan sub
sistem lain membentuk suatu tujuan. Didalam ini bahwa administrasi dapat di
artikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Sedangkan dalam pengertian sempit, Menurut 46Prajudi Atmosudirjo.
Administrasi dibedakan menjadi dua pengertian yakni Administrasi dalam
pengertian sempit, berarti tata usaha (administratie) atau Office work.
Administrasi dalam pengertian luas dapat ditinjau dari sudut yaitu dari sudut
proses, dari sudut fungsi atau tugas dan dari sudut kepranataan ialah Sebagai
46 Syam Agus, pengantar administrasi niaga. UNM, Makassar, 2011, Hal. 42.
57
proses yang dimulai dari proses pemikiran, perencanaan, pengaturan,
penggerakan, pengawasan atau pengendalian sampai dengan proses pencapaian
tujuan. Dari sudut fungsi administrasi berarti keseluruhan aktivitas yang mau
tidak mau harus dilaksanakan secara sadar oleh pihak yang berkedudukan
sebagai administrator. Dan dari sudut kepranataan aktivitas yang dilaksanakan
didalam suatu lembaga.
Sejalan dengan perkembangan zaman administrasi berkembang sebagai
disiplin ilmu yang berusaha mengembangkan dan mengungkapkan materinya
secara berkualitas, agar berdaya dan berhasil guna dalam memberikan tuntutan
praktis, bage pengendalian kerja sama sejumlah manusia didalam suatu
organisasi. Dalam kenyataannya bahwa ilmu administrasi merupakan deskripsi
data pengalaman manusia dalam mengendalikan kerja sama yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya sebagai obyektivitas, karena telah teruji
keberhasilan penggunaannya di dalam praktik. Sutrisno Hadi di dalam bukunya
“Metodologi Research jilid 1” mengatakan bahwa “ilmu pengetahuan
sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara
harmonis dalam suatu bangunan yang teratur”.
2. Tinjauan Administrasi Kependudukan
47Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
47 Lihat Dirjen Administrasi Kependudukan DEPDAGRI, 2008, Hal. 3.
58
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain. Pengertian tersebut di atas berarti bahwa setiap
penduduk harus di data dan ditata melalui penertiban dokumen yang dikeluarkan
oleh dinas kependudukan dan catatan sipil setempat agar pemerintah dapat
dengan mudah memenuhi segala urusan kependudukan bila dokumen setiap
penduduk dapat dikelola dengan baik dan tertib.
Sebab, setiap kejadian/peristiwa penting yang dialami (seperti kelahiran,
kematian, dan perkawinan) akan membawa akibat terhadap penerbitan atau
perubahan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan atau surat
keterangan kependudukan lain yang meliputi pindah datang, perubahan alamat,
atau status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Dokumen Kependudukan
adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari
pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Penataan administrasi direkomendasikan untuk penyelenggaraan registrasi
penduduk termasuk pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dalam
pelaksanaan sistem ini, semua penduduk baik Warga Negara Indonesia (WNI)
maupun warga Negara Asing (WNA) yang mengalami kejadian vital atau
perubahan status kependudukannya harus mendaftarkan diri atau mencatatkan
perubahan status tersebut kepada para petugas yang ditunjuk oleh negara.
Dengan adanya sistem ini, pemerintah akan memperoleh kemudahan dalam
mengatur bentuk-bentuk pelayanan publik lainnya misalnya dibidang
pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
59
Dokumen Kependudukan pada dasarnya meliputi:
1. Biodata Pendudukan;
2. Kartu Keluarga (KK);
3. Kartu Tanda Penduduk (KTP);
4. Surat keterangan kependudukan;
5. Akta Pencatatan Sipil. Surat keterangan kependudukan meliputi surat-surat
sebagai berikut:
a. Surat Keterangan Pindah;
b. Surat Keterangan Pindah Datang;
c. Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri;
d. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri;
e. Surat Keterangan Tempat Tinggal;
f. Surat Keterangan Kelahiran;
g. Surat Keterangan Lahir Mati;
h. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan;
i. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian;
j. Surat Keterangan Kematian;
k. Surat Keterangan Pengangkatan Anak;
l. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia;
m. Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas; dan
n. Surat Keterangan Pencatatan Sipil.
Pelayanan pencatatan sipil meliputi pencatatan peristiwa penting, yaitu:
1. Kelahiran;
60
2. Kematian;
3. Lahir mati;
4. Perkawinan;
5. perceraian; 6
6. Pengakuan anak;
7. Pengesahan anak; 8
8. Pengangkatan anak;
9. Perubahan nama;
10. Perubahan status kewarganegaraan;
11. Pembatalan perkawinan;
12. Pembatalan perceraian; dan Peristiwa penting lainnya.