BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN...
-
Upload
truongdieu -
Category
Documents
-
view
219 -
download
1
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Literasi Finansial
Literasi finansial secara umum didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk memahami, menganalisis, mengelola, dan mengkomunikasikan
perihal keuangan personal (Vitt et al., 2000). Menurut Sohn et al. (2012), literasi
finansial secara khusus didefinisikan sebagai pengetahuan dan kemampuan yang
penting untuk mengatasi tantangan dan keputusan finansial dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan memiliki literasi finansial, masyarakat akan mampu
menghadapi situasi dan transaksi finansial yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Seluruh masyarakat dalam status sosial, pendidikan, dan ekonomi, dari
level terendah hingga tertinggi, tentu menggunakan uang. Jumlah dan cara
penggunaan uang setiap orang pasti berbeda. Namun adanya sebuah kesamaan,
yaitu setiap orang perlu pengelolaan uang. Kegiatan mengelola keuangan untuk
pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari hingga proses persiapan jangka
panjang dalam bentuk tabungan, tentu memerlukan literasi finansial. Literasi
finansial akan membantu kita dalam banyak hal, seperti menyeimbangkan arus
keuangan rumah tangga, serta merencanakan pembangunan rumah, pendidikan
anak, dan jaminan hari tua (Agarwalla, 2015).
Literasi finansial adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia, karena literasi finansial adalah media yang berguna untuk
11
membuat keputusan-keputusan keuangan (Orton, 2007). Menurut Lusardi dan
Mitchel (2007), literasi finansial adalah pengetahuan keuangan dengan tujuan
mencapai kesejahteraan. Pengetahuan keuangan yang rendah akan mengakibatkan
kegagalan dalam pembuatan rencana keuangan dan kesulitan dalam mencapai
kesejahteraan hari tua (Byrne et al., 2007). Literasi finansial yang rendah akan
menghasilkan keputusan finansial yang tidak optimal, dimana seseorang dengan
level yang rendah akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan finansialnya. Lebih
jauh lagi, literasi finansial pada remaja adalah sesuatu yang penting dimana dilihat
dari perspektif pengetahuan dan kemampuan finansial, masa remaja merupakan
masa dimana manusia membentuk pondasi perilaku terhadap uang untuk masa
depan (Beverly dan Burkhalter, 2005; Martin dan Olivia, 2001).
2. Remaja
Remaja berasal dari kata latin "adolensence" yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi
yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1992).
Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan orang tua karena sudah tidak
termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam golongan dewasa atau
tua. Seperti yang dikemukakan oleh Marcell (2007), remaja adalah fase transisi
perkembangan fisik dan psikologis manusia yang terjadi selama masa pubertas
menuju usia legal dewasa (usia mayoritas).
Menurut Rumini dan Sundari (2004), masa remaja adalah peralihan dari
masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek
12
atau fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur
12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22
tahun bagi pria. Sedangkan menurut Daradjat (1990), remaja adalah masa
peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini, anak
mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun
perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun
cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Masa mahasiswa meliputi rentang umur dari 18/19 tahun sampai 24/25
tahun (Winkel, 1997). Menurut Winkel (1997), rentang umur mahasiswa ini
dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari
semester I sampai dengan semester IV; dan periode waktu 21/22 tahun sampai
24/25 tahun, yaitu mahasiswa dari semester V sampai semester VIII. Pada rentang
usia tersebut mahasiswa berada pada masa dewasa dini. Mahasiswa tidak dapat
dikatakan sebagai kanak-kanak tapi juga belum dapat dikatakan sebagai dewasa.
Mereka dalam masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisik serta psikisnya.
3. Literasi Finansial pada Remaja
Survey lapangan pada beberapa negara mencatat bahwa literasi finansial
yang rendah antara grup sosial-ekonomi, termasuk di antaranya yaitu para remaja.
Lusardi, Mitchell, dan Curto (2010) meneliti literasi finansial pada remaja di
Amerika Serikat melalui penelitian National Longitudinal Survey of Youth, dan
menemukan bahwa level literasi finansial para remaja adalah rendah. Mereka
menemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara wanita dan pria, yaitu
13
wanita menunjukkan literasi finansial yang lebih rendah. Literasi finansial yang
rendah juga dilaporkan terjadi pada berbagai sub-grup populasi dari negera
berkembang maupun negara kurang berkembang. Studi dari literasi finansial di
Indonesia menyimpulkan bahwa level literasi finansialnya sangat rendah. Misal,
penelitian yang dilakukan oleh USAID (2013), didapatkan hasil bahwa literasi
finansial di Indonesia berdasarkan pendidikan, pemasukan, dan jenis kelamin,
untuk pengetahuan dasar finansial hasilnya cukup bervariasi, namun untuk untuk
pengetahuan advanced finansial hasilnya sangat rendah. Secara umum, semakin
tinggi pendidikan dan pemasukan, maka semakin tinggi literasi finansialnya.
Bagi sebagian besar orang, masa kuliah adalah saat pertama dalam
mengelola keuangan secara mandiri tanpa pengawasan penuh orang tua (Sabri
et.al., 2010). Masa kuliah merupakan waktu bagi para mahasiswa untuk belajar
finansial secara mandiri dan bertanggung jawab atas keputusan yang mereka
ambil. Menurut Nababan (2012), masa kuliah merupakan peralihan dari masa
ketergantungan finansial (financial dependence) menuju masa kemandirian
finansial (financial independence). Dengan peralihan dari masa ketergantungan
finansial menuju kemandirian finansial, tentu mahasiswa akan menemui
permasalahan ekonomi yang semakin kompleks. Masalah-masalah ekonomi yang
dihadapi oleh para mahasiswa antara lain, keterlambatan kiriman uang saku,
pengeluaran tak terduga, pengaruh gaya hidup dalam lingkaran pertemanan, pola
konsumsi yang berlebihan, dan lain sebagainya.
Chen dan Volpe (1998) menjelaskan bahwa mahasiswa yang memiliki
pengetahuan yang rendah akan membuat keputusan keuangan yang salah. Tanpa
14
adanya pengetahuan finansial yang cukup dan pengelolaan finansial yang baik,
mahasiswa dapat kehabisan uang saku sebelum waktu pengiriman berikutnya.
Menurut Widayati (2012), pembelajaran di perguruan tinggi sangat berperan
penting dalam proses pembentukan literasi finansial mahasiswa. Dengan
pengetahuan finansial yang cukup, mahasiswa dapat membuat perencanaan
finansial dengan lebih baik, guna mempersiapkan kemandirian finansial, serta
membantu dalam mencapai kesuksesan dan kemakmuran di masa yang akan
datang.
4. Agen Sosialisasi Finansial
Sosialisasi finansial adalah sebuah proses yang didapatkan dari
lingkungan, yaitu berupa kemampuan, pengetahuan, dan perilaku yang penting
untuk memaksimalkan peran konsumen dalam pasar finansial (Ward, 1974).
Sosialisasi merupakan proses sosial pada konsumen dengan berbagai karakteristik
yang dibawa oleh sumber spesifik, biasanya disebut dengan agen sosialisasi
(Churchill dan Moschis, 1979). Pusat dari teori sosialiasi konsumen menekankan
pada kepentingan dari menspesifikasikan sumber sosial, guna memahami
bagaimana konsumen mendapat berbagai pengetahuan dan perilaku tersebut
(McLeod dan O‟Keefe, 1972). Hal tersebut berguna untuk memahami tingkat
keefektifan agen sosialisasi konsumen dalam mempengaruhi masyarakat, dalam
pembentukan dan pengembangan keterampilan, pengetahuan, dan perilaku
konsumen. Menurut Sohn et al. (2012), Agen Sosialisasi meliputi 4 pihak, yaitu
keluarga, rekan, pendidikan dan media.
15
5. Pengalaman Finansial
Johnson dan Sherraden (2007) menyatakan bahwa konsep pengalaman
finansial adalah sebuah konsep alternatif untuk literasi finansial. Menurut mereka,
masyarakat tidak hanya perlu untuk mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan finansial, tetapi juga perlu untuk meningkatkan kemampuan akses
mereka pada kebijakan, instrumen, dan servis finansial. Pada penelitian tersebut,
pengalaman finansial diasumsikan berasal dari pengalaman masyarakat dalam
menghadapai kebijakan, instrumen, dan servis finansial. Selain itu, uang saku
pada mahasiswa juga merupakan sebuah hal yang terkait dengan pengalaman
finansial. Menurut Ling dan Lin (2005), uang saku berhubungan positif dengan
kecenderungan perilaku pembelian impulsif konsumen muda pada toko secara
fisik atau offline. Uang saku bisa berasal dari beberapa sumber, di antaranya
orang tua, keluarga selain orang tua, beasiswa, maupun gaji.
Penelitian yang dilakukan oleh Johnson dan Sherrade (2007)
menyimpulkan bahwa masyarakat, seiring meningkatnya usia, yang memerima
gaji ataupun memiliki akun bank, akan memeliki kecenderungan lebih mengerti
secara finansial. Hubungan yang signifikan antara pengalaman finansial dan
literasi finansial dibuktikan dengan hasil bahwa seseorang yang memiliki akun
bank akan berpengaruh pada kebiasaan finansialnya. Pengalaman finansial
merupakan aspek yang fungsional selain aspek kognitif dan pengetahuan, yang
mana ketiganya dapat memicu perubahan pemahaman, kebiasahaan, dan perilaku
dalam finansial. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh M. Hilgert, J.
Hogarth, dan S. Beverly (2003) menunjukkan bahwa masyarakat memperoleh
16
pengetahuan finansial tidak hanya dari pendidikan formal, tetapi juga dari
interaksi dengan para agen sosialisasi, misalnya, teman, keluarga dan media.
Selain agen sosialisasi finansial, pengalaman finansial juga merupakan peran yang
signifikan. Karena pengetahuan finansial seseorang dapat ditingkatkan dengan
lebih efektif, ketika orang tersebut berlatih secara langsung dalam aktifitas
finansial.
6. Perilaku terhadap Uang
Uang adalah sebuah isu penting di masyarakat, tidak hanya sebagai
komoditas utilitarian, tetapi juga sebagai representasi emosional atas simbol
keberhargaan sesuatu (Engelberg dan Sjoberg, 2006; Mitchell dan Mickel, 1999).
Uang telah menjadi motivator yang kuat dalam kehidupan, sama kuatnya dengan
faktor yang mempengaruhi kepuasan pekerjaan dan tingkat stres seseorang (Tang
dan Gilbert, 1995). Uang dapat membuat seseorang lebih termotivasi untuk
mengetahui lebih banyak tentang finansial agar mereka dapat mengelola,
memperoleh, dan mengembangkan uang yang lebih banyak untuk ke depannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Edwards, Allen dan Hayhoe (2007)
berjudul “Financial attitudes and family communication about students‟ finances:
the role of sex differences”, menyimpulkan bahwa perilaku terhadap uang (misal,
dengan persepsi uang sebagai hadiah dari usaha atau sebagai obyek penyimpanan)
juga dapat menjadi peran yang signifikan dalam meningkatkan motivasi untuk
mendapat pengetahuan manajemen finansial tambahan. Dengan memiliki perilaku
17
terhadap uang yang positif dapat membawa seseorang menjadi lebih termotivasi
untuk mempelajari lebih lanjut seputar literasi finansial.
Selain itu mereka juga menemukan bahwa perilaku terhadap uang
berhubungan dengan keterbukaan mereka pada orang tua mereka mengenai situasi
finansial. Seseorang yang memiliki keterbukaan seputar finansial mereka
cenderung lebih memahami tentang literasi finansial. Perilaku terhadap uang yang
positif dan didukung dengan peran orang tua dalam mengajarkan finansial, maka
seseorang akan memiliki motivasi lebih untuk mengetahui tentang finansial. Hal
tersebutlah yang akan meningkatkan literasi finansial mereka.
B. PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Agen Sosialisasi Finansial dan Literasi Finansial
Banyak penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa keluarga, rekan,
pendidikan, dan media adalah agen signifikan dalam sosialisasi konsumen, yang
mana masing-masing agen bekerja dengan cara berbeda-beda dalam lingkaran
kehidupan (Sohn et al., 2012). Dalam penelitian terhadap sosialisasi konsumen
remaja, Churchil dan Moschis (1979) menemukan bahwa komunikasi dengan
keluarga tentang kepentingan konsumsi akan menurun dengan seiring
meingkatnya usia, dimana sebaliknya komunikasi dengan rekan akan meningkat
dengan seiring meningkatnya usia. Maka dari itu, pengaruh orang tua akan
semakin melemah sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu, sedangkan
pengaruh rekan akan semakin tumbuh kuat. Seorang anak yang tumbuh semakin
dewasa akan terkena pengaruh dari berbagai agen sosialisasi. Dari interaksi
18
dengan para agen sosialisasi itulah, maka anak tersebut akan belajar tentang peran
konsumen. Mereka juga mengembangkan literasi finansial mereka melalui proses
sosialisasi. Berikut adalah gambaran umum hubungan antara agen sosialisasi
(misal, keluarga, rekan, pendidikan, dan media) dengan literasi finansial.
Keluarga, terutama orang tua, diketahui menjadi salah satu agen sosialisasi
primer untuk para remaja ketika membentuk perilaku terhadap uang maupun
simpanan (Clarke, Heaton, Israelsen, dan Eggett, 2005; Rettig, 1985), dan
perilaku terhadap kredit (Norvilitis et al., 2006), dimana survey dilakukan pada
para remaja yang berpartisipasi dalam workshop pendidikan finansial. Hasilnya
menunjukkan bahwa hampir 77% dari mereka merujuk pada orang tua mereka
untuk mendapatkan informasi finansial.
Para peneliti telah mencatat bahwa pengaruh rekan dapat membentuk
perilaku finansial pada remaja (Kretschmer dan Pike, 2010; Masche, 2010; Moore
dan Bowman, 2006). Dalam penelitian mereka, remaja cenderung melakukan
gambling. Delfabbro dan Thrupp (2003) menemukan bahwa walaupun kebiasaan
telah dibentuk oleh perilaku orang tua sejak kecil, namun aspek sosialisasi
seorang rekan yang kuat dalam usia muda, dapat mempengaruhi kebiasaan. Para
rekan akan mempengaruhi kebiasaan konsumen remaja, biasanya dalam pemilihan
produk (Bachmann, Roedder-John, dan Rao, 1993), permintaan hadiah (Caron dan
Ward, 1975), perilaku materialistik (Churchill dan Moshcis, 1979) dan
kompetensi konsumen (Lachance dan Legault, 2007). Lachance dan Legault
(2007) menemukan bahwa mahasiswa yang melakukan konsumsi terhadap suatu
barang sebagai jalan untuk diterima oleh grup rekan mereka, memiliki kompetensi
19
konsumen yang lebih rendah. Di samping itu, bagi para remaja yang mencari
informasi konsumsi dari rekan mereka, justru memiliki kompetensi konsumen
yang lebih tinggi.
Pendidikan formal sebagai agen sosialisasi juga dipercaya memainkan
peran penting dalam membentuk pengetahuan finansial (Bernheim, Garett, dan
Maki, 2001). Penelitian Bernheim, Garett, dan Maki (2011) mengenai efek
kebiasaan jangka panjang dari pendidikan finansial sekolah menengah atas,
menunjukkan bahwa siswa dari sekolah yang diamanatkan pendidikan finansial
dapat secara signifikan menikatkan tingkat simpanan mereka pada hingga level
rumah tangga. Pada tahun 2005, Varcoe et al. mencatat bahwa menggunakan
kurikulum finansial yang didesain secara profesional dapat meningkatkan
pengetahuan dan kebiasaan finansial para siswa.
Selanjutnya, media adalah agen sosialisasi konsumen yang penting lainnya
untuk para remaja. Dalam penelitian Lyons et al. (2006), sekitar 33% dari para
siswa menengah atas dan para mahasiswa dilaporkan menggunakan media dan
internet menjadi sumber mendapatkan informasi finansial. Penelitian lain
menunjukkan bahwa lama menonton televisi secara positif berpengaruh pada
permintaan pembelian, pengenalan merek, perilaku materialistik, dan kebiasaan
finansial (Bujizen dan Valkenburg, 2003; Churchil dan Moschis, 1979; Loibl dan
Hira, 2005; Schor, 2004). Lolbi dan Hira (2005) menemukan bahwa tingkat
penggunaan media (misal, berita, surat, publikasi, software, dan internet) sebagai
sebuah sumber informasi dalam perencanaan finansial, secara positif berhubungan
dengan praktek finansial yang lebih baik, sebaik dengan kepuasan finansial.
20
Signifikansi dari agen sosialisasi finansial dalam membentuk pengetahuan
finansial pada remaja adalah penting (Sohn et al., 2012). Remaja di Indonesia
mendapatkan literasi finansial dari berbagai agen sosialisasi, misal, berita, surat,
publikasi, software, dan internet, dimana pengaruh dari masing-masing agen dapat
berbeda.
Dari penjelasan mengenai peran agen sosialisasi finansial pada
pembentukan literasi finansial, maka didapatkan hipotesis sebagai berikut:
H1: Ada pengaruh agen sosialisasi finansial pada literasi finansial
mahasiswa.
2. Pengalaman Finansial dan Literasi Finansial
Menurut Kotlikoff dan Bernheim (2001), seseorang yang secara aktif
berpartisipasi dalam manajemen simpanan, akun bank, dan produk finansial
lainnya pada usia muda, dapat menjamin kehidupan mereka pada hari tua.
Pendidikan finansial akan lebih efektif, jika dapat menggabungkan pengetahuan
kognitif dengan pengalaman finansial, misalnya memiliki akun bank.
Penelitian NEFE (2004) menyarankan bahwa pendidikan finansial yang
digunakan untuk mengakses aplikasi praktis dari kepemilikian akun bank adalah
sebuah sarana untuk pelatihan finansial. Penelitian tersebut juga mencatat bahwa
masyarakat secara umum memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pasar
saham setelah mereka melakukan investasi saham, serta memiliki pengetahuan
tentang pembelian rumah setelah mereka membelinya. Dengan kata lain, literasi
finansial seperti berhubungan dengan pengalaman finansial. Mereka yang
21
memiliki pengalaman finansial yang lebih akan menunjukkan pengetahuan
finansial yang lebih juga.
Selain itu, pengalaman masa muda adalah sesuatu yang penting dalam
menentukan literasi finansial seseorang, karena kejadian finansial yang pernah
terjadi dalam keluarga di masa muda merupakan salah satu bentuk pengalaman
sekaligus sosialisasi finansial. Pengalaman finansial saat muda dapat menjadi
kunci mempercepat seseorang untuk meraih literasi dan kebiasaan finansial yang
lebih baik di masa dewasa.
Dari penjelasan mengenai peran pengalaman finansial pada pembentukan
literasi finansial, maka didapatkan hipotesis sebagai berikut:
H2: Ada pengaruh pengalaman finansial pada literasi finansial mahasiswa.
3. Perilaku terhadap Uang dan Literasi Finansial
Dalam sebuah penelitian perilaku pembelian, Roberts dan Jones (2001)
menunjukkan bahwa perilaku terhadap uang, utamanya pada barang prestisius,
dapat mengarahkan pada pembelian kompulsif. Pembelian kompulsif merupakan
proses pengulangan yang sering berlebihan dalam berbelanja yang dikarenakan
rasa ketagihan, tertekan atau rasa bosan (Solomon, 2002). Hong (2005) yang
meneliti sampel siswa sekunder dan post-sekunder Korea, mendukung dengan
menunjukkan hubungan yang siginifikan antara perilaku terhadap uang dengan
pembelian kompulsif. Kim (2003) juga menemukan bahwa perilaku terhadap uang
dapat secara signifikan mempengaruhi pada pola penggunaan uang pada para
mahasiswa di Korea.
22
Sebuah penelitian yang dilakukan pada para siswa, Edwards et al. (2007)
menemukan bahwa perilaku terhadap uang berkaitan dengan keterbukaan siswa
dengan orang tuanya mereka mengenai situasi finansial. Penemuan ini
menyarankan bahwa perilaku terhadap uang yang umum dapat menjadi motivator
untuk membentuk kebiasaan dalam pencariian pengetahuan finansial, sejalan
dengan perilaku terhadap udang dapat mempengaruhi kebiasaan lainnya (misal,
penggunaan kartu debut maupun kredit, dan kebiasaan pembelian kompulsif).
Burgess (2005) menemukan bahwa perilaku terhadap uang yang spesifik terkait
dengan tujuan mengarahkan diri dan nilai-nilai keamanan dalam berfinansial.
Dari penjelasan mengenai peran perilaku terhadap uang pada pembentukan
literasi finansial, maka didapatkan hipotesis sebagai berikut:
H3: Ada pengaruh perilaku terhadap uang pada literasi finansial mahasiswa.
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu dapat
dikembangkan kerangka model penelitian dapat dilihat dalam gambar 2.1.
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan pengaruh agen sosialisasi finansial,
pengalaman finansial, dan perilaku terhadap uang terhadap literasi finansial.
23
Sumber: Sohn et al., 2012
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari
penelitian yang telah dilakukan oleh Sohn, et al. (2010). Pada kerangka tersebut
digambarkan bahwa literasi finansial sebagai variabel independen, agen sosialisasi
finansial, pengalaman finansial, dan perilaku terhadap uang sebagai variabel
dependen.
Literasi Finansial
Agen Sosialisasi Finansial
Pengalaman Finansial
Perilaku terhadap Uang