BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perikanan Tangkap
Secara umum usaha perikanan tangkap dapat dibedakan berdasarkan jenis
alat tangkap yang digunakan, antara lain gill net, payang, dogol, pancing tonda,
dll, dimana masing-masing alat tersebut mempunyai perbedaan dalam cara
pengoperasiannya dalam menangkap ikan. Salah satu jenis usaha perikanan
tangkap yang lumayan banyak dilakukan di Palabuhanratu Sukabumi adalah
usaha perikanan tangkap pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap
ikan tradisional yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan jenis pelagis. Pancing
tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing (Hook and Line) (Subani dan
Barus 1989). Jumlah nelayan yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap
ini tergantung dari besar kecilnya kapal atau perahu yang digunakan. Untuk
perahu berukuran kecil biasanya digunakan tenaga nelayan sebanyak 4-6 orang
dengan satu orang sebagai nahkoda yang merangkap menjadi fishing master, satu
orang menjadi juru mesin, 2-4 orang ABK (Anak Buah Kapal) yang masing-
masing mengoperasikan satu atau lebih pancing tonda sekaligus (Gunarso 1989).
Alat bantu pada alat tangkap ini adalah rumpon dan lampu yang berfungsi untuk
mengumpulkan (memikat) ikan agar mendatangi rumpon pada saat malam hari
(Gunarso 1989).
Menurut Hermanto (1986) usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari
hasil penangkapan ikan di laut. Adapun hasil penangkapan ikan di laut oleh suatu
unit usaha penangkapan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Hasil tangkapan sangat
dipengaruhi antara lain oleh (1) tersedianya populasi ikan di suatu daerah
penangkapan (fishing area), (2) keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi,
dan (4) efektifitas alat tangkap yang digunakan.
Menurut Taryoto dkk (1993) usaha penangkapan di Indonesia memiliki
ciri armada penangkapan yang sederhana, kesederhanaan ini dapat dilihat dari
ukuran perahu atau kapal, ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan.
Kondisi demikian mengakibatkan sangat sulit untuk memperoleh hasil tangkapan
7
yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari bagi nelayan. Nelayan
sendiri merupakan kelompok yang memiliki pendapatan paling rendah
dibandingkan dengan kelompok lain belum dapat dihapuskan dari pikiran
sebagian masyarakat.
2.1.1 Pola Usaha Perikanan Tangkap
Berbeda dengan pola usaha yang lain, pendapatan dari usaha yang
dilakukan oleh nelayan cenderung tidak teratur. Nelayan dalam menjalankan
usahanya tidak pernah mempunyai gambaran tentang besarnya pendapatan yang
akan diperoleh (Nadjib 2000). Usaha penangkapan ikan bagi nelayan merupakan
seni berburu yang sulit diperkirakan hasilnya. Pada suatu saat, nelayan
mempunyai pendapatan besar tetapi pada saat yang lain nelayan tidak
berpenghasilan sama sekali.
Usaha penangkapan ikan mempunyai tingkat ketidakpastian yang tinggi.
Nelayan dapat mengalami kerugian dari penggunaan biaya operasi, resiko
kehilangan perahu atau jaring pada waktu penangkapan ikan adalah sangat
mungkin. Nelayan perlu melakukan berbagai macam inovasi dan diversifikasi
usaha perikanan tangkap (Kusnadi 2000).
Usaha penangkapan ikan yang dilakukan nelayan sangat terkait dengan
penggunaan biaya operasi penangkapan yang meliputi bahan bakar, perbekalan
nelayan serta es apabila dibutuhkan. Biaya operasi merupakan biaya tetap yang
dikeluarkan oleh nelayan, walaupun nelayan tidak dapat memastikan perolehan
hasil tangkapan yang akan diterima pada saat itu sebagai pengembalian modal
usaha penangkapan ikan untuk hari esok.
Penggunaan biaya operasi sebagai biaya tetap dalam kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu serta hasil tangkapan yang tidak
menentu menyebabkan nelayan berorientasi untuk melakukan kegiatan usaha
penangkapan ikan agar hasil tangkapan optimal. Biaya atau ongkos produksi
adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Ongkos
produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos berupa
pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran
8
nyata (inputed cost). Pengeluaran-pengeluaran nyata yang dikeluarkan ada yang
kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah bahan
bakar, oli, es, pengeluaran untuk makan, untuk reparasi kapal, dan untuk biaya
lain. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak kontan adalah upah/gaji awak nelayan
pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil dijual.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari perahu, mesin
dan alat penangkap. Salah satu strategi dalam menganalisis ketidakpastian usaha
dengan pola bagi hasil antara nelayan buruh dan pemilik berikut ini adalah
analisis bagi hasil tersebut.
2.1.2 Sistem Bagi Hasil
Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang sistem Bagi Hasil
Perikanan, yang dimaksud dengan hasil bersih bagi perikanan laut adalah hasil
ikan yang diperoleh dari penangkapan yang setelah diambil dari sebagian untuk
para nelayan penggarap, menurut kebiasan nelayan setempat, dikurangi dengan
beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan
penggarap.
Usaha penangkapan ikan, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat
penangkapan ikan sendiri karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi
keterbatasan modal adalah dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik
peralatan melalui cara ikatan tertentu yang tercermin dalam sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil akan terjadi saling ketergantungan antara golongan nelayan
pandega dengan juragan sebagai pemilik alat tangkap (Manadiyanto dkk 1988).
Menurut Manadiyanto dkk (1988) adanya Undang-Undang Sistem Bagi
Hasil merupakan bukti bahwa perhatian pemerintah terhadap masalah pemerataan
pendapatan adalah cukup besar. Namun perjalanan panjang Undang-Undang
tersebut mungkin kurang sesuai lagi dengan keadaan di lapangan, yang telah
menjalani perubahan yang cukup pesat selama kurun waktu 1964-1999.
9
2.2 Nelayan
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1,
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Menurut Satria (2002), berdasarkan penguasaan kapital nelayan dibedakan
menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang
memiliki sarana penangkapan ikan, seperti kapal atau perahu, jaring dan alat
tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja
sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sekarang lebih
dikenal dengan Anak Buah Kapal (ABK).
Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang perikanan, nelayan
dibedakan atas nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik
adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas
kapal/perahu yang diperlukan dalam usaha penangkapan ikan dilaut. Nelayan
pekerja (buruh) yaitu semua orang yang sebagai satu kesatuan menyediakan
tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik sebagai
nahkoda/pandega maupun sebagai pengoprasian alat tangkap (Mubagio 1994
diacu dalam Firman 1996).
Secara umum berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan
ikan maka nelayan dapat dibagi atas lima kelompok yaitu:
1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkap ikan
tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat hanya
menerima bagi hasil penangkapan yang diusahakan orang lain. Pada umumnya
juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan.
2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap tetapi
bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.
3) Juragan darat laut, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tagkap ikan dan
dia ikut dalam operasi penangkapan. Juragan darat laut menerima bagi hasil
sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai unit penangkapan.
4) Buruh/pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya
berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil dari hasil
tangkapan dan jarang diberi upah harian.
10
5) Anggota kelompok, yaitu orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan
secara berkelompok. Perahu yang diusahakan adalah perahu yang diberi
modal yang dikumpulkan oleh tiap anggota kelompok (Hermanto 1986).
Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan
dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran karena
limbah industri maupun tumpahan minyak, dapat mempengaruhi usaha baik di
bidang perikanan tangkap mau pun budidaya yang berpengaruh terhadap
kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir (Dahuri 2000).
2.2.1 Rumah Tangga Nelayan
Menurut BPS (1997), rumah tangga adalah orang atau sekelompok orang
yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya makan
bersama dari satu dapur. Pengertian makan dari satu dapur adalah mengurus
kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Rumah tangga nelayan yaitu
sekelompok orang yang tinggal bersama, pada umumnya disatukan oleh ikatan
perkawinan dan hubungan darah yang salah satu dari anggota rumah tangganya
bekerja sebagai nelayan.
Tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang rendah merupakan ciri
umum kehidupan nelayan. Tingkat kehidupan nelayan sedikit di atas pekerja
migran atau setarap dengan petani kecil. Bahkan jika dibandingkan secara
seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan
khususnya nelayan buruh kecil atau nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai
lapisan sosial yang paling miskin (Kusnadi 2000).
2.2.2 Pendapatan Rumah Tangga Nelayan
Menurut Nugroho (1996), nilai pendapatan yang diterima oleh nelayan
bergantung pada hasil tangkapan (produksi) dan harga dari komoditas tersebut.
Jumlah hasil nelayan tergantung pada teknologi yang digunakan, dalam hal ini
adalah perlengkapan sesuai dengan penangkapannya, baik motor, perahu maupun
alat tangkap.
11
Menurut Biro Pusat Statistik (1993b), pendapatan dan penerimaan
keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh
anggota rumah tangga ekonomi. Pendapatan itu sendiri terdiri dari:
1) Pendapatan dari upah/gaji yang mencakup upah/gaji yang diterima oleh
seluruh anggota rumah tangga ekonomi yang bekerja sebagai buruh sebagai
imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan untuk suatu perusahaan, majikan,
instansi tersebut baik uang maupun barang dan jasa.
2) Pendapatan dari hasil seluruh anggota rumah tangga yang berupa pendapatan
kotor yaitu selisih nilai jual barang dan jasa yang diproduksinya dengan biaya
produksinya.
3) Pendapatan lainnya yaitu pendapatan diluar upah/gaji yang menyangkut usaha
lain dari; (a) perkiraan sewa rumah milik sendiri, (b) bunga, deviden, royalti,
paten, sewa/kontrak, lahan, rumah, gedung, bangunan, peralatan, dsb, (c) buah
hasil usaha (hasil usaha sampingan yang dijual), (d) pensiunan dan klaim
asuransi jiwa, (e) kiriman famili/pihak lain secara rutin, ikatan dinas,
beasiswa, dsb.
2.2.3 Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan
Pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah
aggota keluarga, komposisi umur, jenis kelamin, aktifitas sehari-hari, dan harga
barang-barang (Sumardi dan Evers 1995). Masyarakat yang tergolong
berpenghasilan rendah pada umumnya proporsi pengeluaran terbesarnya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Sebaliknya pada golongan yang
berpenghasilan tinggi lebih banyak untuk digunakan makan, berbelanja dan
rekreasi.
Menurut Hanafiah (1987), pos-pos atau bagian mata anggaran rumah
tangga perikanan (RTP) dan rumah tangga buruh perikanan (RTBP) dibagi dalam
empat kelompok masing-masing adalah sebagai berikut:
1) Kebutuhan Pokok; pangan, sandang, pendidikan,kesehatan, penerangan
rumah, dan perbaikan rumah.
12
2) Sumbangan Sosial dan Keagamaan; upacara keagamaan, sumbagan sosial,
sumbangan keamanan, pajak/IPEDA/lain-lain.
3) Pengeluaran yang dipandang mengandung unsur pemborosan; pengeluaran
untuk rokok, minuman keras, selamatan/pesta dan hiburan.
4) Tabungan dan Bayar Hutang; sisa pendapatan yang merupakan potensi untuk
“saving” dan bayar hutang.
Pengeluaran rata-rata per kapita sebulan adalah rata-rata biaya yang
dikeluarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga
dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Pengeluaran atau konsumsi
rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi makanan dan bukan
makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk
kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk
keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak lain (Biro Pusat
Statistik 2000).
Menurut Biro Pusat Statistik (1993), pengeluaran konsumsi dikelompokan
menjadi pengeluaran untuk bahan makanan dan pengeluaran untuk bahan non-
makanan, yaitu:
1) Konsumsi makanan, minuman dan tembakau, terdiri dari kelompok padi-
padian, ikan, daging, elur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan. Buah-
buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi
lainnya serta makanan dan minuman jadi.
2) Konsumsi untuk barang-barang bukan makanan terdiri dari perumahan,
bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian, alas kaki, serta
brang-barang tahan lama.
Nelayan dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi pengeluaran untuk
kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk
kebutuhan pokok seperti pendidikan, pakaian, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan
sosial kemasyarakatan lainnya. Sementara itu, rumah tangga dengan proporsi
pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, rumah tangga tersebut dapat
13
dikategorikan sebagai rumah tangga dengan status kesejahteraan yang masih
rendah (Bappenas 2000).
2.3 Tingkat Kesejahteraan
2.3.1 Penjelasan dan Ukuran Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah suatu ukuran tingkat kehidupan masyarakat yang
layak di mana tingkat kesejahteraan tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
dapat diukur berdasarkan variabel pendapatan, keadaan tempat tinggal, kesehatan
dan pendidikan. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks
sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat, jika dilihat dari
aspek tertentu.
Menurut Sukirno (1985) kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat
subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan, dan cara hidup yang
berbeda-beda sehingga memberikan nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor
yang menentukan tingkat kesejahteraan.
Badan Pusat Statistik (2000) juga menyatakan bahwa suatu rumah tangga
dapat dikatakan sejahtera apalbila :
1) Seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat
dipenuhi sesuai dengan tingkat kehidupan masing-masing rumah tangga itu
sendiri.
2) Mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan hidup sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dengan jelas
melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga yang
bersangkutan. Pengeluaran rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama
sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan untuk
konsumsi semua anggota rumah tangga dibagi dengan banyaknya jumlah anggota
rumah tangga. Determinan utama dari tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk
adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan menurun (BPS
2000).
14
Undang-Undang No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial dinyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh
rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945 (Dasmita 1998).
Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui
kondisi mau pun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan)
adalah salahsatu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan)
dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Rumah pada saat
ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan
kehidupan rumah tangga/masyarakat. Oleh karena itu, harus ditangani secara
serius baik oleh instansi swasta yang berkepentingan maupun oleh pemerintah.
Masih banyak masyarakat ekonomi lemah yang belum memiliki rumah yang
memadai. Program yang dilaksanakan tertuang dalam program penyehatan
lingkungan yang bertujuan menjaga, menciptakan serta melestarikan keadaan
lingkungan yang sehat, bersih dan nyaman (Biro Pusat Statistik 1993).
Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional diacu dalam
Mubagio (1994), yang disebut keluarga sejahtera adalah keluarga yang:
1) Dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan,
perumahan, sosial maupun agama.
2) Mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah
anggota keluarga.
3) Dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggotanya, berkehidupan bersama
dengan masyarkat sekitar, beribdah khusyuk, disamping terpenuhi
kebutuhan pokoknya.
15
Indikator Kesejahteraan Rumah Tangga yang disesuaikan dengan
indikator kesejahteraan rumah tangga yang dipergunakan oleh Biro Pusat Statistik
(BPS) dalam SUSENAS 1991. Indikator tersebut adalah:
1) Pendapatan rumah tangga
2) Konsumsi rumah tangga
3) Keadaan tempat tinggal
4) Fasilitas tempat tinggal
5) Kesehatan anggota rumah tangga
6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis/paramedik
(termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan
memperoleh obat-obatan)
7) Kemudahan memasukan anak ke jenjang pendidikan
8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi (pengangkutan)
9) Kehidupan beragama
10) Rasa aman dari gangguan kesehatan
11) Kemudahan dalam melakukan olah raga
Tingkat kesejahteraan keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) (1996) adalah sebagai berikut:
1) Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang,
papan, dan kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera Tahap I (S-1), adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, keluarga
berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tingga serta
kebutuhan transportasi.
3) Keluarga Sejahtera Tahap II (S-2), yaitu keluarga yang disamping telah
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah memenuhi kebutuhan sosial
psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan
pengembagannya seperti menabung dan memperoleh informasi.
16
4) Keluarga Sejahtera Tahap III (S-3), adalah keluarga yag telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya, akan tetapi
belum dapat member kontribus maksimal terhadap masyarakat seperti secara
teratur memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di
masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan
sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan sebagainya.
5) Keluarga Sejahtera Tahap III plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis,
maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan
sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat (Permanasari,
1997).
Berdasarkan konsep dan definisi kesejahteraan yang dikemukakan diatas,
maka dapat diketahui bahwa kesejahteraan sangat luas dan tidak semuanya dapat
diukur secara kuantitatif. Ukuran lainnya yang biasa dipakai dalam menentukan
tingkat kesejahteraan khusus untuk nelayan adalah Nilai Tukar Nelayan (NTN),
berikut ini uraian mengenai NTN.
2.3.2 Nilai Tukar Nelayan
Selama ini, upaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan masih
menggunakan indikator perubahan pendapatan nelayan. Indikator demikian
menurut Basuki dkk (2001) kurang tepat dan menyesatkan untuk menggambarkan
secara tepat perbaikan kesejahteraan nelayan karena belum membandingkan
dengan pengeluaran nelayan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya. Oleh
karenanya, indikator yang lebih tepat adalah nilai tukar nelayan (NTN) yang
mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran
(expenditure) keluarga nelayan.
Nilai tukar menurut Soeharjo dkk (1980) dapat digunakan untuk keperluan
dua macam analisis. Penggunaan yang pertama adalah sebagai alat deskripsi
(descriptive tool). Sebagai alat deskripsi konsep ini digunakan untuk menerangkan
dan menjelaskan secara statistik atau indeks mengenai kecenderungan jangka
pendek dan jangka panjang tentang sejarah kelakuan harga barang-barang yang
17
diperdagangkan. Penggunaan yang kedua yang sangat erat hubungannya dengan
yang pertama, adalah sebagai alat untuk keperluan penetapan kebijakan (tool for
policy).
Menurut Basuki dkk (2001), NTN adalah rasio total pendapatan terhadap
total pengeluaran rumah tangga nelayan selama periode waktu tertentu.
Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan kotor atau dapat disebut sebagai
penerimaan rumah tangga nelayan. Nilai Tukar Nelayan yang dihitung adalah
merupakan gabungan dari usaha kegiatan perikanan tangkap.