BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, …repository.uir.ac.id/685/2/bab2.pdfMahkamah Konstitusi...

36
26 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, JUDICIAL REVIEW, DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Tinjauan Umum tentang Negara Hukum Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara hukum dan penerapannya dalam situasi Indonesia saat ini, menurut Jimly Asshidiqie ada duabelas prinsip pokok Negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Keduabelas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Keduabelas prinsip pokok tersebut adalah : 39 1. Supremasi hukum (supremacy of law) Semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi Negara sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum tertinggi. 40 2. Persamaan dalam hukum (equality before the law) Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empiric. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan 39 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaiteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm.154, sebagaimana dikutip oleh Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press, Jakarta, 2013, hlm,32. 40 Ibid.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, …repository.uir.ac.id/685/2/bab2.pdfMahkamah Konstitusi...

26

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, JUDICIAL REVIEW,

DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Tinjauan Umum tentang Negara Hukum

Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara

hukum dan penerapannya dalam situasi Indonesia saat ini, menurut Jimly

Asshidiqie ada duabelas prinsip pokok Negara hukum (rechtsstaat) yang

berlaku di zaman sekarang. Keduabelas prinsip pokok tersebut merupakan

pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara modern

sehingga dapat disebut sebagai Negara hukum dalam arti yang sebenarnya.

Keduabelas prinsip pokok tersebut adalah :39

1. Supremasi hukum (supremacy of law)

Semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi

Negara sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang

mencerminkan hukum tertinggi.40

2. Persamaan dalam hukum (equality before the law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan

pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara

empiric. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan

39 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan

Kepaiteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm.154, sebagaimana dikutip oleh Martitah,

Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press, Jakarta,

2013, hlm,32. 40 Ibid.

27

diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap

dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan

sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan

mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga

masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat

perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat

kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.41

3. Asas legalitas (due process of law)

Dalam setiap Negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas

dalam segala bentuknya yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus

didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku

lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang

dilakukan.42

4. Pembatasan kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan

cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau

pemisahan kekuasaan secara horizontal.43

5. Organ-organ eksekutif independen

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang

pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat

independen, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi

41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid, hlm.33.

28

kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak

Asasi Manusia Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran

Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, dan sebagainya. 44

6. Peradilan bebas dan tidak memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada

dalam setiap Negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim

tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan

jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).45

7. Peradilan Tata Usaha Negara

Meskipun peradilan tata usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan

bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai

pilar utama Negara hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap

Negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga Negara untuk

menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dilaksanakannya

putusan hakim tata usaha Negara oleh pejabat adminstrasi Negara.46

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)

Disamping adanya pengadilan tata usaha Negara yang diharapkan

memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi setiap warga Negara, Negara

hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan MK dalam sistem

ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri

diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan

44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ibid, hlm.34.

29

mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang

sudah ada sebelumnya.47

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adnya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan

jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.

Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara

luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara

hukum yang demokratis.48

10. Bersifat demokratis

Dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang

menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku

tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya

untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip

demokrasi.49

11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Wwelfare

Rechsstaat)

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.

Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan

47 Ibid. 48 Ibid. 49 Ibid, hlm.35.

30

Negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan Negara

hukum dimaksudkan untuk meningkstksn kesejahteraan umum.50

12. Transparansi dan control social.

Adanya transparansi dan control social yang terbuka terhadap setiap

proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan

kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat

dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara

langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan

kebenaran.51

Menurut Lukman Hakim, Negara hukum adalah konsep baku yang

selalu saja mengalami simplifikasi makna “menjadi” dalam Negara berlaku

hukum. Dilihat dari sejarah hukum, konsep Negara hukum adalah berbeda-

beda. Philipus M.Hadjon mengemukakan bahwa ada tiga macam konsep

Negara hukum, yaitu rechtsstaat, the rule of law dan Negara hukum pancasila.

Selanjutnya Muh.Tahir Azhari dengan mengelaborasi lebih lanjut tentang

konsepsi Negara hukum, menurutnya dewasa ini dalam kepustakaan

ditentukan lima macam konsep Negara hukum, yaitu:52

a. Nomokrasi Islam, yaitu konsep Negara hukum menurut Quran dan

Sunnah, yang pada umumnya diterapkan di Negara-negara Islam.

b. Rechtsstaat, yaitu konsep Negara hukum yang diterapkan di Negara-

negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda, Jerman, dan Prancis.

50 Ibid. 51 Ibid. 52 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-

Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2015, hlm.35.

31

c. Rule of Law, yaitu konsep Negara hukum yang diteapkan di Negara-

negara Anglo Saxon, antara lain Inggris dan Amerika Serikat.

d. Socialist legality, yaitu konsep Negara hukum yang diterapkan dinegara-

negara komunis, seperti Uni Soviet.

e. Negara Hukum Pancasila, yaitu konsep Negara hukum yang diterapkan di

Indonesia.

Rukmana Amanwinata menyebut Negara Indonesia sebagai Negara

hukum yang memiliki karakteristik mandiri, karena tujuan yang hendak

dicapai oleh Negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan

makmur. Baik spriritual maupun materiil berdasarkan pancasila.

Menurut Azhari, konsep Negara hukum pancasila memiliki ciri-ciri

antara lain : (1) ada hubungan yang erat antara agama dan Negara; (2)

bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) kebebasan beragama dalam

arti positif; 4) ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5)

asas kekeluargaan dan kerukunan.53

Dalam Negara hukum Pancasila, freedom of religion atau kebebasan

beragama sangat dijamin. Akan tetapi, kebebasan beragama di Negara hukum

Pancasila selalu dalam konotasi yang positif. Artinya, tiada tempat bagi

ateisme atau propaganda anti-agama di bumi Indonesia. Dalam Negara hukum

Pancasila tidak boleh menjadi pemisah antara agama dan Negara, baik secara

53 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,

Jakarta, 2003, hlm.97.

32

mutlak maupun secara nisbi. Hal itu karena akan bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945.54

Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan

asas kerukunan secara terpadu. Kepentingan rakyat banyak lebih diutamakan,

tetapi harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Negara hukum Pancasila

menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat

mengedepankan asas kerukunan.

Di samping itu Negara hukum Pancasila juga mengedepankan prinsip

persamaan sebagai elemen atau unsur penting dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Persamaan dihadapan hukum misalnya adalah persoalan

urgensial yang harus pula mendapat perhatian pihak penyelenggara Negara.

Bahkan secara konstitusional UUD 1945 memberikan landasan untuk lebih

menghargai dan menghayati prinsip persamaan ini dalam kehidupan Negara

hukum Pancasila, antara lain:55

1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;

2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja;

3. Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan.

54 Ibid, hlm.94. 55 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan…….,Op.Cit, hlm.52.

33

B. Tinjauan Umum Judical Review

1. Pengertian Judicial Review

Judicial review merupakan bagian dari toetsingsrecht (hak menguji).

Toetsingrecht sendiri apabila diartikan kata per kata, tanpa mengaitkannya

dengan system hukum tertentu, berarti hak menguji. Sedangkan judicial

review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan. Sehingga pada dasarnya,

kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk

meninjau atau menguji. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review

sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh

pelaksana lembaga pengadilan. Sementara toetsingrecht bersifat umum

dengan belum menentukan lembaga yang berwenang untuk melakukan hak

menguji. Dengan demikian, baik judicial review, legislative review dan juga

excecutive review merupakan bagian dari toetsingracht.56

Andrew C.McLaughlin menulis bahwa judicial review secara logis dan

historis adalah pernyataan terakhir upaya rakyat yang bebas untuk mendirikan

dan menegakkan pemerintahan non-otokratis. Inilah puncak esensial

revolusioner, dan tentu saja, puncak pemikiran mereka yang sejak ratusan

tahun sebelum revolusi menginginkan pemerintahan hukum, bukan

pemerintahan segelintir orang.57

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktik dikenal ada 2 (dua)

macam hak menguji, yaitu:

56 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia,

Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm.11. 57 Ibid.

34

1. Hak menguji formal (formele toetsingrecht)

Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk

legislasi terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah

ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

atau tidak. 58

2. Hak menguji material (materiele toetsingrecht) adalah suatu wewenang

untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan

perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan

yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak

mengeluarkan suatu peraturan tertentu.59

Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material

tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Hak menguji (toetsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai

peraturan perundang-undangan terhadap UUD.

b. Hak menguji (toetsingrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak

hanya dimiliki oleh hakim, tetapi juga oleh Lembaga Negara lain yang

diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Selain hak menguji (toetsingrecht) yang dimiliki hakim, juga terdapat hak

menguji (toetsingrecht) yang dimiliki legislatif dan hak menguji

(toetsingrecht) yang dimiliki oleh eksekutif.60

58 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, edisi kedua, cetakan ke-1, Bandung, Penerbit

Alumni, 1997, hlm.6. 59 Ibid. 60 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht)……….Op.Cit,hlm.7.

35

2. Judicial Review dalam Lintasan Sejarah

a. Sejarah Judicial Review di Dunia Barat

Perkembangan Negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan

tumbuhnya semangat judicial review. Pada awalnya, kedaulatan parlemen

diyakini sebagai manifestasi kedaulatan rakyat sesungguhnya. Parlemen

menjadi wadah bagi para wakil rakyat yang notabene lahir dari Rahim

masyarakat kewat pemilihan umum untuk memperjuangkan hak-hak setiap

warga Negara. Parlemen juga menjadi instrument urgen untuk mengawasi

jalannya roda pemerintahan.

Dalam konteks demokrasi modern, aspirasi kepentingan dan

pengawasan akan pemerintahan dilakukan dengan metode perwakilan.

Parlemen sebagai representasi dari keinginan dan kehendak rakyat menjadi

begitu superior dibandingkan dengan lembaga Negara lain.61

Menurut Mauro Capelleti, sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra,

menjelaskan bahwa penggunaan konsep judicial review telah berumur

sangat lama. Pelacakan sejarah yang dilakukannya menuliskan bahwa

secara sederhana konsep ini telah dimulai sejak system Yunani Kuno yang

telah menetapkan keniscayaan suatu peraturan yang berada di bawah

(psephisma) tidak boleh bertentangan dengan nilai tertingginya yang

berada di atasnya (nomoi). Bahkan aturan ini telah menempatkan

mekanisme punishment yang akan diterapkan jika hal itu terjadi.62

61 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, alih bahasa oleh Haris Munandar

dkk, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm.170. 62 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguaknya Model Legislasi Parlementer dalam

Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm.294.

36

Kehadiran Judicial Review dalam perspektif sejarah sejatinya

bukanlah berawal dari semangat sebuah penyusunan suatu konstitusi.

Sejarah tidak bisa membuktikan apakah keberadaannya memang sudah

durencanakan sejak awal atau judicial review merupakan fungsi normal

pengadilan. Bahkan Mahfud MD berpendapat bahwa perbedaan tentang

dasar konstitusional judicial review memerlukan waktu yang juga panjang.

Terlepas dari kapan munculnya ide judicial review, tetap saja

keberadaannya pada hari ini tidak terlepas dari semangat check and

balances dan pembatasan kekuasaan. Ide tentang pembatsan kekuasaan

pemerintahan atau dengan istilah lain menggunakan istilah

konstitusionalisme merupakan hasil atas konflik dengan ide kedaulatan

parlemen. Keberadaan Judicial Review sangat diperlukan dalam sebuah

Negara hukum demokrasi , karena ada 3 (tiga) hal penting yang dijamin

oleh keberadaan Judicial Review, yaitu:63

a. Memastikan hak-hak minoritas terjaga;

b. Menjadi pendukung legitimasi; dan

c. Menyelematkan demokrasi dari bahaya yang berasal dari dirinya

sendiri.

Judicial Review dapat memainkan peran yang sangat penting

dalam hal artikulasi konstitusi dengan membacakan dan menerangkan apa

sebenarnya yang kostitusi inginkan. Perkembangan di Amerika Serikat

mendorong George Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-

63 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

Op.Cit.hlm.22.

37

19 agar terhadap MA Austria ditambahkan kewenangan melakukan

judicial review seperti yang dipraktikkan oleh John Marshall. Pada saat

itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa antara

warga Negara dengan pemerintahan terkait dengan perlindungan hak

politik, bahkan pengadilan Negara bagian juga telah memiliki wewenang

memutuskeberatan konstitusional yang diajukan warga Negara atas

tindakan Negara (constitusional complaint).

Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk

menangani perkara judicial review pertama kali dikemukakan ole Hans

Kelsen pada saat menjadi anggota Chancelery dalam pembaruan

Konstitusi Austria pada 1919-1920. Gagasan tersebut diterima dan

menjadi bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang didalamnya

membentuk Mahkamah Konstitusi (verfassungsgerichtshof). Sejak saat

itulah dienal dan berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada

diluar MA yang secara khusus menangani Judicial Review dan perkara-

perkara konstitusional lainnya.64

Demokrasi secara fundamental merupakan instrument control

terhadap pemerintahan. Demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai system

yang akan mengakomodasi kepentingan mayoritas, naumn jauh lebih dari

itu, ia merupakan suatu alat agar pemerintah akuntabel terhadap

64 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi….. Op.Cit, hlm.294.

38

masyarakat yang dikelolanya serta tidak menganngap diri sebagai sesuatu

yang special yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.65

b. Sejarah Judicial Review di Indonesia

1. Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar 1945

Dari seluruh ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 berikut

dengan penjelasannya, tiada satu ketentuan pun yang mengatur tentang

Judicial Review. Bahkan ketentuan tentang Judicial Review secara

implisit pun tidak dapat ditemukan. Tidak hanya judicial review, hak

menguji untuk lembaga lainnya pun tidak ditemukan.66

Meskipun demikian, pemikiran akan pentingnya judicial review

pernah dikemukakan oleh Muh.Yamin67 pada waktu penyusunan UUD

1945 dalam sidang BPUPKI. Judicial Review ini disinggung oleh Yamin

ketika membicarakan badan kekuasaan yang enam. Mahkamah Agung

melakukan kekuasaan kehamkiman dan membanding undang-undang

supaya sesuai dengan hukum adat, hukum Islam Syariah dan sesuai

dengan Undang-Undang Dasar dan melakukan pembatalan undang-

undang.

Pada bagian lain Yamin mengutarakan pendapat dengan

beragumen:

Balai Agung (Mahkamah Agung) janganlah saja melaksanakan bagian

kehakiman, tetapi juga hendaknya menjadi badan yang membanding,

65 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial…. Op.Cit, hlm.170. 66 Fatmawati, Hak Menguji….. Op.Cit, hlm.21. 67 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945; Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Mizan,

2007, hlm.160.

39

apakah undang-undang yang dibuat oleh dewan perwakilan tidak

melanggar undang-undang dasar Republik Indonesia.

Dari cuplikan pidato Yamin tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1. Yamin menghendaki agar judicial review dimasukkan ke dalam

Undang-undang Dasar sebagai bagian dari wewenang Mahkamah

Agung. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak hanya

menjalankan kekuasaan kehakiman semata, melainkan pula

membanding dalam arti menguji (review) terhadap undang-undang

yang telah disetujui oleh DPR.

2. Akibat hukum pengujian yang dilakukan oleh MA tersebut

mengandung arti pula bahwa Mahkamah Agung mempunyai

wewenang membatalkan (berlakunya) suatu undang-undang yang

telah disetujui oleh DPR. Sehingga, kedudukan undang-undang

dapat diganggu gugat, artinya dapat disebanding/dinilai ataupun

diuji apakah sesuai atau bertentangan dengan Undang-undang

Dasar.

Hanya saja, usulan judicial review diakomodasi dalam UUD 1945

sebagai bagian tak terpisahkan dalam rangka mewujudkan prinsip check

and balances mendapat tantangan keras dari anggota siding lainnya,

yaitu Soepomo. Soepomo dengan tegas menolak Judicial Review

diakomodasi di Indonesia. Setidaknya ada 2 (dua) hal fundamental yang

menjadi argumentasi Soepomo untuk menolak gagasan Yamin tersebut.

Argumentasi tersebut adalah :

40

a. UUD yang dibentuk sama sekali tidak mengenal prinsip trias

politica, karena praktik judicial review hanya dijumpai di Negara

yang menganut prinsip tersebut.

b. Para ahli hukum belum begitu banyak dan disamping itu mereka

sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bidang hak

menguji material.

Disamping 2 (dua) argunentasi Soepomo di atas, sebenarnya ada

argumentasi lain yang lebih sensifitf dan esensial. Argumentasi

Soepomo tersebut tidak terlepas dari konsep Negara Integralistisknya,

yaitu konsep yang merangkul seluruh bangsa, menyatukan seluruh

rakyat. Gagasan ini menekankan pentingnya kesatuan dalam segala hal,

atau dalam tradisi Jawa disebut dengan Manunggaling Kawulo Gusti

(kesatuan antara pengabdi dan majikannya). Jadi, rakyat tidak

membutuhkan perlindungan hak-hak asasi untuk melindungi mereka dari

potensi pelanggaran oleh Negara, karena Negara sama dengan rakyat,

dan kepentingan-kepentingan keduanya dengan demikian identik.68

Namun demikian, alasan Soepomo sebenarnya masuk akal Judicial

Review bisa dilaksanakan dengan sempurna apabila masing-masing

lembaga ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang sejajar. Selain itu,

alasan lainnya adalah menyangkut kesiapan para hakim dalam

menangani kasus-kasus dalam ranah pertentangan peraturan perundang-

68 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945; Antara Mitos dan Pembongkaran,Op.Cit,hlm.158.

41

undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.69

2. Judicial Review dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Tahun 1949.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 yang

menggantikan UUD 1945 merupakan hasil dari perundingan panjang70

antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda yang secara

status quo masih mengklaim bahwa kedaulatan Indonesia sebagai

suatu Negara merdeka belum ada. Salah satu perubahan fundamental

isi ari UUD 1945 dan KRIS 1949 adalah komposisi Negara Indonesia.

Jika pada UUD 1945 adalah Negara Kesatuan, dalam KRIS 1949

justru mengamanatkan bahwa bentuk federasi merupakan susunan

Negara Indonesia.

Sesuai dengan bentuk negaranya, RIS mengenal 2 (dua) macam

undang-undang yaitu undang-undang federal dan undang-undang

daerah bagian. Konstitusi RIS mengatur bahwa Mahkamah Agung

hanya berhak menguji peraturan ketatanegaraan atau Undang-Undang

daerah bagian dan tidak berhak menguji UU federal71, karena UU

Federal tidak dapat digangu gugat.

69 Nurainun Simangunsong, Judicial Review di Indonesia; Teori, Perbandingan dan

Pelaksanaannya Pasca Amandemen UUD 1945, cetakan I, Yogyakarta, Fakultas Syariah UIN

Sunan Kalijaga, 2008, hlm.7. 70 Soehino, Hukum Tata Negara; Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Liberty

Yogyakarta, hlm.35. 71 Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.

42

Ketentuan ini tidak lepas dari konsep kedaulatan rakyat yang

dianut dalam KRIS. UU Federal dalam prosedur pembuatannya

dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan

Rakyat. Hal ini kemudian mendapatkan legitimasi yang lebih kuat bila

membacanya secara bersamaan dengan norma yang terkandung dalam

Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:

“Kekuasaan berkedaulatan Republik Indonesia Serikat

dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan

Rakyat dan Senat.”

Atas dasar Pasal 1 ayat (20) Konstitusi RIS tersebut, kedaulatan

yang berada di tangan rakyat tersebut dilaksanakan atau dijalankan

oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan

Senat. Dengan perkataan lain, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat,

dan Senat adalah lembaga-lembaga Negara yang melaksanakan

kedaulatan rakyat, sedangkan manifestasi dari kedaulatan rakyat

dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Federal.72

Sedangkan status Undang-Undang Daerah bagian yang dapat

diuji dimaksudkan agar Undang-Undang Daerah bagian yang

dikeluarkan oleh daerah tidak menyimpang dengan semangat federasi.

Artinya, sebagai tindakan preventif, agar tidak ada daerah-daerah yang

memisahkan diri untuk kemudian menjadi Negara dengan instrument

72 Sri Soemantri, Hak Uji Material …….. Op.Cit, hlm.24.

43

undang-undang daerah. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 156,157, dan 158.

3. Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun

1950.

Salah satu semangat yang diusung dalam UUDS 1950 adalah

kembalinya komposisi kesatuan dalam struktur hubungan pusta dan

daerah. Hal ini juga menandai berakhirnya system federasi yang

diwariskan pemerintah Belanda. Namun, UUDS 1950 tidak

mencantumkan hak menguji yang dimiliki hakim. Bahkan dalam Pasal

95 ayat (2) UUDS 1950 diatur bahwa UU tidak dapat diganggu gugat.

Alasan kenapa kemudian uu tidak dapat diganggu gugat bukan

berarti karena komposisi Negara Indonesia Kesatuan. Namun, rumusan

Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menjelaskan bahwa:73

”kedaulatan Republik Indonesia di Tangan Rakyat dan

dilakukan oleh Pemerintah Besama-sama Dengan Dewan Perwakilan

Rakyat”.

Pasca perbedaan pendapat antara Yamin dan Soepomo tersebut,

kemunculan wacana judicial review ternyata belum surut. Beberapa

waktu berselang, juga muncul wacana tersebut, meski bukan dalam

ranah konstitusi tetapi lebih bersufat politis. Daniel S.Lev mencatat

peristiwa ini pada tahun 1955, diawali dengan ketidakpuasan para

hakim terkait dengan kecilnya gaji yang mereka terima. Peristiwa ini

73 Lihat Pasal 1 ayat (2) UUDS Tahun 1950.

44

merupakan imbas dari usulan Lukman Wiriadiata Menteri Kehakiman

kala itu, yang usulannya ditolak oleh parlemen.74

Tepatnya pada bulan Desember 1955, Lukman mengusulkan

agar gaji para hakim terpisah dan lebih tinggi dari jaksa penuntut.

Ditolaknya usulan ini membuat para hakim sepakat untuk melakukan

pemogokan pada tanggal 1 Maret 1956. Pada hari itu, para hakim

menolak memeriksa perkara. Meski begitu, kerja-kerja adminsitratif di

lingkungan peradilan masih tetap dilakukan. Termasuk bagi hakim pada

Mahkamah Militer, yang saat itu semua hakimnya terdiri atas hakim

sipil. Mereka dikecualikan dari pemogokan lebih karena tidak ingin

berseberangan dengan pihak militer.75

4. Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hasil

Perubahan.

UUD 1945 hasil perubahan mengalami transformasi yang

sangat luar biasa, khususnya dalam system ketatanegaran. Tidak

terkecuali hal yang berkaitan dengan judicial review. Jika dalam

konstitusi-konstitusi sebelumnya judicial review tidak diatur dengan

tegas, berbeda dengan UUD 1945 hasil perubahan. Kewenangan

melakukan pengujian dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24 C

ayat (1) Perubahan ketiga UUD 1945, Mahkamah Konstiusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

74 Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, cetakan

pertama, Jakarta, LP3ES, 1990, hlm.46. 75 Ibid, hlm.48.

45

putusannnya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD.

Mahkamah Konsitusi diatur dalam Pasal 7B, Pasal 24, dan Pasal 24C

Perubahan Ketiga UUD NKRI Tahun 1945. Berdasarkan ketiga pasal

tersebut maka:76

a. Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksana kekuasaan

kehakiman, selain Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya.

b. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1)

Perubahan Ketiga UUD NKRI tahun 1945 mempunyai

kewenangan sebagai berikut:

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap

UUD;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD;

3. Memutuskan pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

c. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh presiden dan/atau oleh wakil presiden

menurut UUD.

Sedangkan Mahkamah Agung diberi kewenangan judicial

review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-

undang. Ketentuan judicial review di Amerika Serikat berbeda dengan

Indonesia. Judicial Review di Amerika Serikat dapat dilakukan hanya

dengan terlebih dahulu ada kasus dan kontroversi terhadap suatu

peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam konteks Indonesia,

judicial review tidak hanya menyangkut hal yang telah terjadi kasus

dan kontroversi, tetapi juga jika ada potensi pelanggaran terhadap

UUD 1945.

76 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature…….,Op.Cit, hlm.76.

46

C. Tinjauan Umum Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Jenis-jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Di dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,

putusan Mahkamah Konstitusi dimungkinkan menjadi 3 (tiga) jenis amar

putusan, untuk masing-masing amar putusan tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat

diterima;

Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan

permohonan tidak dapat diterima apabila permohonannya melawan hukum

atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini MK berpendapat bahwa

pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 UU No.24 Tahun 2003 tentang MK.77

Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang MK, telah ditentukan yang boleh mengajukan permohonan untuk

berperan di MK sebagai berikut:

(1) Pemohon adalah pihak yang menggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undnag-undang yaitu:

a. Perseorangan warga Negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

77 Lihat Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

47

c. Badan hukum publik atau privat;

d. Lembaga Negara.

Ketentuan diatas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang

dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga

agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang

memiliki kedudukan hukum (legalstanding) dalam permohonan pengujian

undnag-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, terlebih dahulu harus menjelaskan dan

membuktikan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan hak

konstitusional warga Negara.

b. Amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak;

Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila

permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud

tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya

sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan

permohonan ditolak.

c. Permohonan dikabulkan

Putusan MK menyatakan permohonan dikabulkan apabila permohonannya

beralasan. Dalam hal ini, MK berpendapat bahwa permohonan beralasan

atau dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi

ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-undang

48

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan

permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, MK

menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dari

undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita

Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian

dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian

kembali di kemudian hari.

Tabel II.1

Jenis Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review

No. Jenis Amar Putusan MK Keterangan

1. Amar putusan MK yang

menyatakan permohonan tidak

dapat diterima.

Apabila permohonannya

melawan hukum atau tidak

berdasarkan hukum. Dalam hal

ini MK berpendapat bahwa

pemohon dan/atau

permohonannya tidak memenuhi

syarat

2. Amar putusan MK yang

menyatakan permohonan

ditolak.

Apabila permohonannya tidak

beralasan.

3. Amar Putusan MK yang

menyatakan Permohonan

dikabulkan

Apabila permohonannya telah

berdasar hukum dan beralasan

serta telah memenuhi syarat-

syarat dalam mengajukan

permohonan pengujian undang-

undang.

49

Jenis putusan MK yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan

antara putusan yang bersifat declatoir, constitutief dan condemnatoir.78

Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi

penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan suatu

prestasi. Akibat dari putusan condemnatoir adalah diberikannya hak

kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap

penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap

tergugat/termohon79. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam

putusan perkara sengketa kewenangan lembaga Negara.

Sedangkan putusan declatoir adalah putusan dimana hakim

menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan

permohonan atau gugatan ditolak merupakan suatu putusan yang bersifat

declatoir.80 Putusan yang bersifat declatoir dalam pengujian undang-

undang oleh MK Nampak jelas dalam amar putusannya. Pasal 56 ayat (3)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan bahwa

dalam hal permohonan dikabulkans sebagaimana dimaksud ayat (2), MK

menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal, dan /atau bagian dari

undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.

Tetapi setiap putusan yang bersifat declatoir khususnya yang

menyatakan bagian undang-undang, ayat, dan/atau pasal bertentangan

78Maruarar Siahaan, Hukum Acara MK Republik Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta,

2006, hlm.240. 79 Ibid. 80 Ibid, hlm.241.

50

dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat

constitutief.81

Putusan contitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan

hukum atau menciptakan satu kedaan hukum baru. Menyatakan suatu

undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 adalah meniadakan keadan hukum yang timbul karena

undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Putusan MK sebagaimana telah diuraikan, kebanyakan jenisnya

terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declatoir

constitutief. Sifat declatoir tidak membutuhkan satu aparat yang

melakukan pelaksanaan putusan MK82. Putusan MK sejak diucapkan

dihadapan siding terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan

yaitu : 1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan pembuktian, 3) kekuatan

eksekutorial. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:83

1. Kekuatan mengikat.

MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa

putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan

dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.

81 Ibid, hlm,242. 82 Ibid, hlm.250. 83 Ibid, hlm.252.

51

Kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan

pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara

(interpares) yaitu pemohon, pemerintah, DPD/DPD ataupun pihak terkait

yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga

mengikat semua orang, lembaga Negara dan badan hukum yang ada di

wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum yang putusannya

bersifat ergaomnes, yang ditujukan pada semua orang.

2. Kekuatan pembuktian

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK

menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari

undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji

kembali. Dengan demikian adanya putusan MK yang telah menguji satu

undang-undang. Merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah

diperoleh satu kekuatan pasti. Meskipun demikian, menurut Pasal 60 ayat

(2) Undang-Undang MK, memberikan pengecualian yaitu jika materi

muatan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Adapun putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap undang-undang yang pernah dimohonka untuk diuji

dapat digunakan sebagai bukti karena sesuai dengan ketentuan pasal

tersebut, Mahkamah Konstitusi secara yuridis dilarang memutus perkara

permohonan yang sebelumnya telah diputus.

Kekuatan pasti satu putusan secara negative diartikan bahwa

hukum tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya

52

pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi putusannya bersifat

ergaomnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang

sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh

siapapun. Putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap demikian

dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif

bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti

secara positif bahwa apa yang diputs oleh hakim dianggap benar.

Pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan. Kekuatan pembuktian

putusan Mahkamah Konstitusi itu sejajar dengan akta otentik sehingga

selalu diakui kebenarannya sepanjang telah berkekuatan hukum tetap.84

Adapun bukti-bukti yang diajukan dan terungkap di dalam

persidangan Mahkamah Konstitusi, ternyata bukti tersebut merupakan

bukti hasil manipulasi atau bukti palsu yang dibuktikan melalui putusan

Pengadilan Negeri (PN), putusan itu tidakk dapat membatalkan putusan

Mahkamah. Bahkan, putusan Pengadilan Negeri tidak bisa dijadikan

novum untuk menganulir dan sekaligus untuk mengugurkan putusan

Mahkamah Konstitusi, mengingat tidak ada mekanisme PK terhadap

putusan Mahkamah Konstitusi.85

84 W.Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi revisi, Universitas Atma

Jaya Yogyakarta,Yogyakarta, 2009, hlm.123. 85Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan………,Op.Cit, hlm.`161.

53

3. Kekuatan eksekutorial

Hakim MK adalah negative legislature dan putusannya berlaku

sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus

dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yag bagian tertentu

dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Untuk itu, putusan MK perlu dimuat dalam Berita Negara agar setiap

orang mengetahuinya.

Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap pada umumnya

dapat dijalankan sehingga dapat disebut sebagai telah memiliki kekuatan

eksekutorial. Putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial adalah putusan

yang menetapkan secara tegas hak dan hukumnya untuk kemudian

direalisir melalui eksekusi oleh alat Negara. Oleh karena itu, putusan

Mahkamah Konstitusi tidak hanya cukup mengikat, tetapi juga harus dapat

dilaksanakan. Dan hal tersebut dianggap telah terwujud apabila telah

dimuat dalam bentuk pengumumuman yang termuat dalam berita Negara

dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan itu

diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.86

Dalam hal kewenangan MK melakukan pengujian terhadap

konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Maka karakteristik

putusannya yaitu bahwa selama undang-undang tersebut sedang diuji oleh

MK masih tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa

86 Ibid, hlm.162.

54

undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berbeda dengan hasil putusan MK tersebut, Martitah membagi

putusan MK menjadi 2 model yaitu Negative Legislature dan Positive

Legislature. Putusan MK yang bersifat Positive Legislature adalah putusan

MK yang dalam putusannya bersifat mengatur. Putusan conditionally

constitutional dan conditionally unconstitutional dimasukkan dalam

kategori putusan positive legislature. Putusan yang conditionally

constitutional artinya suatu norma dalam UU dianggap konstitusional atau

tidak bertentangan dengan konstitusi bila dimaknai sesuai dengan yang

ditentukan MK87. Sedangkan putusan yang conditionally unconstitutional

berarti bahwa suatu norma dalam undang-undang dianggap bertentangan

dengan konstitusi bila tidak sesuai dengan apa yang ditentukan MK.88

Selanjutnya berdasarkan bunyi amar putusan MK yang dikabulkan

sebagaimana anomaly terhadap praktik dari Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor

8 Tahun 2011 maka jenis Putusan MK diklasifikasikan menjadi

konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, konstitusional

progresif dan inkonstitusional progresif. Disamping itu juga terdapat

putusan yang menunda pemberlakuan putusannya.

Dalam putusan MK juga dikenal isitilah dissenting opinion,yaitu

dalam hal putusan tidka tercapai mufakat bulat, pendapat anggota majelis

hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Penyertaan pendapat hakim

87 Martitah, Op.Cit, hlm.20. 88 Ibid, hlm.134.

55

konstitusi yang berbeda ini perlu disertakan agar masyarakat dapat

mengetahui alasan masing-masing hakim konstitusi dan menilai tingkat

integritas serta kualitas seorang hakim konstitusi dalam memutus suatu

perkara. Dissenting Opinion dikecualikan dalam perkara impeachment

karena perkara tersebut memiliki dimensi-dimensi politis.

Pendapat hakim yang berbeda dissenting opinion, jika hakim yang

bersangkutan menghendaki dapat dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda

diharapkan tidak dilakukan dengan mencela putusan MK melainkan

dengan menekankan pada titik tolak pandangan atau teori yang dianut

dalam memberikan pendapat yang berbeda tersebut.89

Tabel II.2

Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi.

No. Kekuatan Hukum

Putusan MK

Keterangan

1. Kekuatan Mengikat MK berwenang mengadili perkara

konstitusi dalam tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final. Itu

berarti bahwa putusan MK langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain

yang dapat ditempuh

2. Kekuatan Pembuktian bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau

bagian dari undang-undang yang telah diuji,

tidak dapat dimohonkan untuk diuji

kembali. Dengan demikian adanya putusan

MK yang telah menguji satu undang-

undang. Merupakan alat bukti yang dapat

digunakan bahwa telah diperoleh satu

kekuatan pasti

89 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi……………,Op.Cit, hlm.244.

56

3. Kekuatan Eksekutorial putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya

cukup mengikat, tetapi juga harus dapat

dilaksanakan. Dan hal tersebut dianggap

telah terwujud apabila telah dimuat dalam

bentuk pengumumuman yang termuat

dalam berita Negara dalam jangka waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

putusan itu diucapkan dalam sidang pleno

terbuka untuk umum

Dalam praktek dan perkembangannya ternyata MK tidak hanya

memberikan amar putusan sebagaimaa dinyatakan dalam Pasal 56 UU

No.24 Tahun 2003 tersebut. Berdasarkan Data Pusat Penelitian dan

Pengkajian Perkara Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah

Konstitusi, Model putusan-putusan MK dibagi menjadi 5 model yaitu:90

a. Model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak

berlaku (Legally Null and Void)

b. Model putusan konstitusional bersyarat (Conditionally constitutional)

c. Model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional)

d. Model putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (Limited

constitutional)

e. Model putusan yang merumuskan norma baru (positive legislature).

Dalam memberikan putusan berkenaan dengan pengujian

konstitusional suatu undang-undang, landasan putusan Mahkamah

Konstitusi harus merujuk pada ketentuan Pasal 45 UU Mahkamah

90 Pusat Pengkajian Perkara Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan

Sekretariat Jenderal MK Republik Indonesia, Model dan Implementasi Putusan MK dalam

Pengujian Undang-Undang,Jakarta, 2016, hlm.8.

57

Konstitusi. Ada beberapa hal fundamental yang diatur dalam Pasal

tersebut berkenaan dengan kekuasaan para hakim yang akan melahirkan

sebuah putusan pada pengujian undang-undang sebagai berikut:91

a. Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti

dan keyakinan hakim.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus

didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap

dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar

putusan.

d. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara

musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang

dipimpin oleh ketua sidang.

e. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib

menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap

permohonan.

f. Dalam hal musyawarah siding pleno hakim konstitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan,

musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim

konstitusi berikutnya.

91 Bachtiar, Op.Cit, hlm.149.

58

g. Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan

sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil

dengan suara terbanyak.

h. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak dapat

diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno

hakim konstitusi menentukan.

i. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau

ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.

j. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat pendapat anggota

Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

2. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu peristiwa hukum

dimana terjadi proses persidangan karena adanya sengketa yang

dimohonkan untuk diputus. Tatkala putusan-putusan tersebut diucapkan

dalam sidang pleno terbuka untuk umum, saat itu tidak ada upaya hukum

yang dapat ditempuh dan pada saat itu pula awal mula adanya akibat

hukum. Akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi itu

mulai dihitung dengan merujuk pada ketentuan Pasal 4792 UU MK yang

menyatakan bahwa “ Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

hukum tetap, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk

umum”. Meski putusan MK dalam menguji undang-undang membawa

akibat hukum tertentu, tetapi ketentuan Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi

92 Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

59

telah menyatakan bahwa “Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah

Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa

undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Sesuai dengan kewenangannya sebagai pengadilan tingkat pertama

dan terakhir dengan keputusannya yang bersifat final untuk menguji

undang-undang terhadap UUD, jika permohonan pengujian undnag-

undang dikabulkan oleh MK, tindak lanjut sebagai konsekuensinya,

peraturan berupa undang-undang itu akan diubah sebagian, ataupun

kesleuruhannya, oleh pihak pembuat undang-undang. Jika Mahkamah

Konstitusi menolak permohonan pengujian undang-undang, siapapun tidak

boleh lagi mengajukan permohonan pengujian undang-undang, baik segi

pembuatannya maupun segi materi muatannya (substansi materi) dari

undang-undang yang sama, yang pernah diuji dan diputus oleh MK

tersebut. Jika permohonan tidak dapat diterima, masih terbuka

kemungkinan bagi pihak lain untuk mengajukan permohonan pengujian

yang sama. Pihak lain yang dimaksud adalah orang, kelompok, atau badan

hukum yang dinilai memenuhi persyaratan legal standing sebagai

pemohon serta mampu menunjukkan kerugian konstitusionalnya sebagai

diatur dalam Undang-undang dan yurisprudensi.93

Sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi yang

mengabulkan permohonan, sejak putusan itu dibacakan, ada norma hukum

konstitusi atau ketentuan dari sebagian peraturan perundang-undangan

93 Bachtiar, Op.Cit, hlm.164.

60

yang telah berubah, bahkan ada undang-undang yang dibatalkan secara

keseluruhan karena dianggap bertentangan dengan UUD. Menurut

Maruarar, meskipun hakim konstitusi bukan pembuat undang-undang

pembatalan suatu undang-undang dengan menyatakan tidak mempunyai

kekuatan mengikat secara hukum karena bertentangan dengan UUD telah

mengubah hukum yang berlaku atau undang-undang yang diperlakukan.

Dengan tatanan yang demikian, tidak dapat dihindari bahwa putusan MK

akan melahirkan suatu akibat hukum tertentu, yang bisa saja memunculkan

pro kontra dalam kehidupan hukum.94

Akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan

mengikat secara normative dapat dibagi atas dua bagian, yaitu akibat

hukum dalam makna positif dan akibat hukum dalam makna negatif.

Dalam makna positif terdapat dua akibat, yaitu:95

1. Putusan Mahkamah Konstitusi mendorong terjadinya proses politik.

Suatu undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dnegan

UUD, telah mendorong terjadinya proses politik di parlemen untuk

mengubah undang-undang tersebut.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi mengakhiri sebuah sengketa hukum.

Dengan adanya pengajuan perkara yang diminta untuk diputus

Mahkamah Konstitusi, berdasarkan karakteristik putusannya yang

bersifat final dan mengikat, telah mengakhiri suatu sengketa hukum.

94 Ibid, hlm.165. 95 Ibid, hlm.166.

61

Terdapat dua akibat hukum dalam makna negatif, yaitu:96

1. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan sebuah undang-

undang hasil produk politik, yang dihasilkan melalui mekanisme

politik di parlemen yang notabene dipilih oleh rakyat melalui

mekanisme pemilihan umum yang demokratis. Dengan kewenangan

yang diberikan oleh konstitusi, 9 hakim konstitusi berhak

membatalkan suatu produk politik yang bertentangan dengan UUD

sebagai norma hukum dasar tertinggi.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikan rasa keadilan bagi

pihak yang dirugikan dengan adanya putusan tersebut, sebagai akibat

sifat final dari putusan tersebut yang menutup ruang baginya untuk

melakukan upaya hukum dalam rangka mewujudkan rasa keadilan

hukumnya. Bagi pihak-ihak yang tidak diuntungkan, secara teknis

yuridis hanya bisa menerima fakta empiric ini sesuai bunyi putusan.

3.Dalam perspektif ke depan Mahkamah Konstitusi dapat membawa

Mahkamah Konstitusi dalam keadaan lemah, yaitu dengan lemahnya

penegakan hukum. Jika putusan tidak dilaksanakan karena tidak

mempunyai kekuatan memaksa, justru dapat menutup kemungkinan

membuat masyarakat tidak menjadi tertib dan berujung pada kondisi

kacau balau (chaos).

96 Ibid.