BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, …repository.uir.ac.id/685/2/bab2.pdfMahkamah Konstitusi...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, …repository.uir.ac.id/685/2/bab2.pdfMahkamah Konstitusi...
26
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, JUDICIAL REVIEW,
DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Tinjauan Umum tentang Negara Hukum
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara
hukum dan penerapannya dalam situasi Indonesia saat ini, menurut Jimly
Asshidiqie ada duabelas prinsip pokok Negara hukum (rechtsstaat) yang
berlaku di zaman sekarang. Keduabelas prinsip pokok tersebut merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara modern
sehingga dapat disebut sebagai Negara hukum dalam arti yang sebenarnya.
Keduabelas prinsip pokok tersebut adalah :39
1. Supremasi hukum (supremacy of law)
Semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi
Negara sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang
mencerminkan hukum tertinggi.40
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara
empiric. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan
39 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan
Kepaiteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm.154, sebagaimana dikutip oleh Martitah,
Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press, Jakarta,
2013, hlm,32. 40 Ibid.
27
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap
dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan
sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan
mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.41
3. Asas legalitas (due process of law)
Dalam setiap Negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku
lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang
dilakukan.42
4. Pembatasan kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan
cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pemisahan kekuasaan secara horizontal.43
5. Organ-organ eksekutif independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang
pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat
independen, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi
41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid, hlm.33.
28
kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak
Asasi Manusia Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran
Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, dan sebagainya. 44
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada
dalam setiap Negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan
jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).45
7. Peradilan Tata Usaha Negara
Meskipun peradilan tata usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap
Negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga Negara untuk
menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dilaksanakannya
putusan hakim tata usaha Negara oleh pejabat adminstrasi Negara.46
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)
Disamping adanya pengadilan tata usaha Negara yang diharapkan
memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi setiap warga Negara, Negara
hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan MK dalam sistem
ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri
diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan
44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ibid, hlm.34.
29
mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang
sudah ada sebelumnya.47
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adnya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan
jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara
luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara
hukum yang demokratis.48
10. Bersifat demokratis
Dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya
untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.49
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Wwelfare
Rechsstaat)
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan
47 Ibid. 48 Ibid. 49 Ibid, hlm.35.
30
Negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan Negara
hukum dimaksudkan untuk meningkstksn kesejahteraan umum.50
12. Transparansi dan control social.
Adanya transparansi dan control social yang terbuka terhadap setiap
proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan
kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat
dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara
langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan
kebenaran.51
Menurut Lukman Hakim, Negara hukum adalah konsep baku yang
selalu saja mengalami simplifikasi makna “menjadi” dalam Negara berlaku
hukum. Dilihat dari sejarah hukum, konsep Negara hukum adalah berbeda-
beda. Philipus M.Hadjon mengemukakan bahwa ada tiga macam konsep
Negara hukum, yaitu rechtsstaat, the rule of law dan Negara hukum pancasila.
Selanjutnya Muh.Tahir Azhari dengan mengelaborasi lebih lanjut tentang
konsepsi Negara hukum, menurutnya dewasa ini dalam kepustakaan
ditentukan lima macam konsep Negara hukum, yaitu:52
a. Nomokrasi Islam, yaitu konsep Negara hukum menurut Quran dan
Sunnah, yang pada umumnya diterapkan di Negara-negara Islam.
b. Rechtsstaat, yaitu konsep Negara hukum yang diterapkan di Negara-
negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda, Jerman, dan Prancis.
50 Ibid. 51 Ibid. 52 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-
Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2015, hlm.35.
31
c. Rule of Law, yaitu konsep Negara hukum yang diteapkan di Negara-
negara Anglo Saxon, antara lain Inggris dan Amerika Serikat.
d. Socialist legality, yaitu konsep Negara hukum yang diterapkan dinegara-
negara komunis, seperti Uni Soviet.
e. Negara Hukum Pancasila, yaitu konsep Negara hukum yang diterapkan di
Indonesia.
Rukmana Amanwinata menyebut Negara Indonesia sebagai Negara
hukum yang memiliki karakteristik mandiri, karena tujuan yang hendak
dicapai oleh Negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan
makmur. Baik spriritual maupun materiil berdasarkan pancasila.
Menurut Azhari, konsep Negara hukum pancasila memiliki ciri-ciri
antara lain : (1) ada hubungan yang erat antara agama dan Negara; (2)
bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) kebebasan beragama dalam
arti positif; 4) ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5)
asas kekeluargaan dan kerukunan.53
Dalam Negara hukum Pancasila, freedom of religion atau kebebasan
beragama sangat dijamin. Akan tetapi, kebebasan beragama di Negara hukum
Pancasila selalu dalam konotasi yang positif. Artinya, tiada tempat bagi
ateisme atau propaganda anti-agama di bumi Indonesia. Dalam Negara hukum
Pancasila tidak boleh menjadi pemisah antara agama dan Negara, baik secara
53 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,
Jakarta, 2003, hlm.97.
32
mutlak maupun secara nisbi. Hal itu karena akan bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945.54
Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan
asas kerukunan secara terpadu. Kepentingan rakyat banyak lebih diutamakan,
tetapi harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Negara hukum Pancasila
menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
mengedepankan asas kerukunan.
Di samping itu Negara hukum Pancasila juga mengedepankan prinsip
persamaan sebagai elemen atau unsur penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Persamaan dihadapan hukum misalnya adalah persoalan
urgensial yang harus pula mendapat perhatian pihak penyelenggara Negara.
Bahkan secara konstitusional UUD 1945 memberikan landasan untuk lebih
menghargai dan menghayati prinsip persamaan ini dalam kehidupan Negara
hukum Pancasila, antara lain:55
1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
3. Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
54 Ibid, hlm.94. 55 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan…….,Op.Cit, hlm.52.
33
B. Tinjauan Umum Judical Review
1. Pengertian Judicial Review
Judicial review merupakan bagian dari toetsingsrecht (hak menguji).
Toetsingrecht sendiri apabila diartikan kata per kata, tanpa mengaitkannya
dengan system hukum tertentu, berarti hak menguji. Sedangkan judicial
review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan. Sehingga pada dasarnya,
kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk
meninjau atau menguji. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review
sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh
pelaksana lembaga pengadilan. Sementara toetsingrecht bersifat umum
dengan belum menentukan lembaga yang berwenang untuk melakukan hak
menguji. Dengan demikian, baik judicial review, legislative review dan juga
excecutive review merupakan bagian dari toetsingracht.56
Andrew C.McLaughlin menulis bahwa judicial review secara logis dan
historis adalah pernyataan terakhir upaya rakyat yang bebas untuk mendirikan
dan menegakkan pemerintahan non-otokratis. Inilah puncak esensial
revolusioner, dan tentu saja, puncak pemikiran mereka yang sejak ratusan
tahun sebelum revolusi menginginkan pemerintahan hukum, bukan
pemerintahan segelintir orang.57
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktik dikenal ada 2 (dua)
macam hak menguji, yaitu:
56 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm.11. 57 Ibid.
34
1. Hak menguji formal (formele toetsingrecht)
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk
legislasi terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah
ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau tidak. 58
2. Hak menguji material (materiele toetsingrecht) adalah suatu wewenang
untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu.59
Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material
tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Hak menguji (toetsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai
peraturan perundang-undangan terhadap UUD.
b. Hak menguji (toetsingrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak
hanya dimiliki oleh hakim, tetapi juga oleh Lembaga Negara lain yang
diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Selain hak menguji (toetsingrecht) yang dimiliki hakim, juga terdapat hak
menguji (toetsingrecht) yang dimiliki legislatif dan hak menguji
(toetsingrecht) yang dimiliki oleh eksekutif.60
58 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, edisi kedua, cetakan ke-1, Bandung, Penerbit
Alumni, 1997, hlm.6. 59 Ibid. 60 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht)……….Op.Cit,hlm.7.
35
2. Judicial Review dalam Lintasan Sejarah
a. Sejarah Judicial Review di Dunia Barat
Perkembangan Negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan
tumbuhnya semangat judicial review. Pada awalnya, kedaulatan parlemen
diyakini sebagai manifestasi kedaulatan rakyat sesungguhnya. Parlemen
menjadi wadah bagi para wakil rakyat yang notabene lahir dari Rahim
masyarakat kewat pemilihan umum untuk memperjuangkan hak-hak setiap
warga Negara. Parlemen juga menjadi instrument urgen untuk mengawasi
jalannya roda pemerintahan.
Dalam konteks demokrasi modern, aspirasi kepentingan dan
pengawasan akan pemerintahan dilakukan dengan metode perwakilan.
Parlemen sebagai representasi dari keinginan dan kehendak rakyat menjadi
begitu superior dibandingkan dengan lembaga Negara lain.61
Menurut Mauro Capelleti, sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra,
menjelaskan bahwa penggunaan konsep judicial review telah berumur
sangat lama. Pelacakan sejarah yang dilakukannya menuliskan bahwa
secara sederhana konsep ini telah dimulai sejak system Yunani Kuno yang
telah menetapkan keniscayaan suatu peraturan yang berada di bawah
(psephisma) tidak boleh bertentangan dengan nilai tertingginya yang
berada di atasnya (nomoi). Bahkan aturan ini telah menempatkan
mekanisme punishment yang akan diterapkan jika hal itu terjadi.62
61 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, alih bahasa oleh Haris Munandar
dkk, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm.170. 62 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguaknya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm.294.
36
Kehadiran Judicial Review dalam perspektif sejarah sejatinya
bukanlah berawal dari semangat sebuah penyusunan suatu konstitusi.
Sejarah tidak bisa membuktikan apakah keberadaannya memang sudah
durencanakan sejak awal atau judicial review merupakan fungsi normal
pengadilan. Bahkan Mahfud MD berpendapat bahwa perbedaan tentang
dasar konstitusional judicial review memerlukan waktu yang juga panjang.
Terlepas dari kapan munculnya ide judicial review, tetap saja
keberadaannya pada hari ini tidak terlepas dari semangat check and
balances dan pembatasan kekuasaan. Ide tentang pembatsan kekuasaan
pemerintahan atau dengan istilah lain menggunakan istilah
konstitusionalisme merupakan hasil atas konflik dengan ide kedaulatan
parlemen. Keberadaan Judicial Review sangat diperlukan dalam sebuah
Negara hukum demokrasi , karena ada 3 (tiga) hal penting yang dijamin
oleh keberadaan Judicial Review, yaitu:63
a. Memastikan hak-hak minoritas terjaga;
b. Menjadi pendukung legitimasi; dan
c. Menyelematkan demokrasi dari bahaya yang berasal dari dirinya
sendiri.
Judicial Review dapat memainkan peran yang sangat penting
dalam hal artikulasi konstitusi dengan membacakan dan menerangkan apa
sebenarnya yang kostitusi inginkan. Perkembangan di Amerika Serikat
mendorong George Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-
63 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Op.Cit.hlm.22.
37
19 agar terhadap MA Austria ditambahkan kewenangan melakukan
judicial review seperti yang dipraktikkan oleh John Marshall. Pada saat
itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa antara
warga Negara dengan pemerintahan terkait dengan perlindungan hak
politik, bahkan pengadilan Negara bagian juga telah memiliki wewenang
memutuskeberatan konstitusional yang diajukan warga Negara atas
tindakan Negara (constitusional complaint).
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk
menangani perkara judicial review pertama kali dikemukakan ole Hans
Kelsen pada saat menjadi anggota Chancelery dalam pembaruan
Konstitusi Austria pada 1919-1920. Gagasan tersebut diterima dan
menjadi bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang didalamnya
membentuk Mahkamah Konstitusi (verfassungsgerichtshof). Sejak saat
itulah dienal dan berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada
diluar MA yang secara khusus menangani Judicial Review dan perkara-
perkara konstitusional lainnya.64
Demokrasi secara fundamental merupakan instrument control
terhadap pemerintahan. Demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai system
yang akan mengakomodasi kepentingan mayoritas, naumn jauh lebih dari
itu, ia merupakan suatu alat agar pemerintah akuntabel terhadap
64 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi….. Op.Cit, hlm.294.
38
masyarakat yang dikelolanya serta tidak menganngap diri sebagai sesuatu
yang special yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.65
b. Sejarah Judicial Review di Indonesia
1. Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar 1945
Dari seluruh ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 berikut
dengan penjelasannya, tiada satu ketentuan pun yang mengatur tentang
Judicial Review. Bahkan ketentuan tentang Judicial Review secara
implisit pun tidak dapat ditemukan. Tidak hanya judicial review, hak
menguji untuk lembaga lainnya pun tidak ditemukan.66
Meskipun demikian, pemikiran akan pentingnya judicial review
pernah dikemukakan oleh Muh.Yamin67 pada waktu penyusunan UUD
1945 dalam sidang BPUPKI. Judicial Review ini disinggung oleh Yamin
ketika membicarakan badan kekuasaan yang enam. Mahkamah Agung
melakukan kekuasaan kehamkiman dan membanding undang-undang
supaya sesuai dengan hukum adat, hukum Islam Syariah dan sesuai
dengan Undang-Undang Dasar dan melakukan pembatalan undang-
undang.
Pada bagian lain Yamin mengutarakan pendapat dengan
beragumen:
Balai Agung (Mahkamah Agung) janganlah saja melaksanakan bagian
kehakiman, tetapi juga hendaknya menjadi badan yang membanding,
65 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial…. Op.Cit, hlm.170. 66 Fatmawati, Hak Menguji….. Op.Cit, hlm.21. 67 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945; Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Mizan,
2007, hlm.160.
39
apakah undang-undang yang dibuat oleh dewan perwakilan tidak
melanggar undang-undang dasar Republik Indonesia.
Dari cuplikan pidato Yamin tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Yamin menghendaki agar judicial review dimasukkan ke dalam
Undang-undang Dasar sebagai bagian dari wewenang Mahkamah
Agung. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak hanya
menjalankan kekuasaan kehakiman semata, melainkan pula
membanding dalam arti menguji (review) terhadap undang-undang
yang telah disetujui oleh DPR.
2. Akibat hukum pengujian yang dilakukan oleh MA tersebut
mengandung arti pula bahwa Mahkamah Agung mempunyai
wewenang membatalkan (berlakunya) suatu undang-undang yang
telah disetujui oleh DPR. Sehingga, kedudukan undang-undang
dapat diganggu gugat, artinya dapat disebanding/dinilai ataupun
diuji apakah sesuai atau bertentangan dengan Undang-undang
Dasar.
Hanya saja, usulan judicial review diakomodasi dalam UUD 1945
sebagai bagian tak terpisahkan dalam rangka mewujudkan prinsip check
and balances mendapat tantangan keras dari anggota siding lainnya,
yaitu Soepomo. Soepomo dengan tegas menolak Judicial Review
diakomodasi di Indonesia. Setidaknya ada 2 (dua) hal fundamental yang
menjadi argumentasi Soepomo untuk menolak gagasan Yamin tersebut.
Argumentasi tersebut adalah :
40
a. UUD yang dibentuk sama sekali tidak mengenal prinsip trias
politica, karena praktik judicial review hanya dijumpai di Negara
yang menganut prinsip tersebut.
b. Para ahli hukum belum begitu banyak dan disamping itu mereka
sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bidang hak
menguji material.
Disamping 2 (dua) argunentasi Soepomo di atas, sebenarnya ada
argumentasi lain yang lebih sensifitf dan esensial. Argumentasi
Soepomo tersebut tidak terlepas dari konsep Negara Integralistisknya,
yaitu konsep yang merangkul seluruh bangsa, menyatukan seluruh
rakyat. Gagasan ini menekankan pentingnya kesatuan dalam segala hal,
atau dalam tradisi Jawa disebut dengan Manunggaling Kawulo Gusti
(kesatuan antara pengabdi dan majikannya). Jadi, rakyat tidak
membutuhkan perlindungan hak-hak asasi untuk melindungi mereka dari
potensi pelanggaran oleh Negara, karena Negara sama dengan rakyat,
dan kepentingan-kepentingan keduanya dengan demikian identik.68
Namun demikian, alasan Soepomo sebenarnya masuk akal Judicial
Review bisa dilaksanakan dengan sempurna apabila masing-masing
lembaga ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang sejajar. Selain itu,
alasan lainnya adalah menyangkut kesiapan para hakim dalam
menangani kasus-kasus dalam ranah pertentangan peraturan perundang-
68 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945; Antara Mitos dan Pembongkaran,Op.Cit,hlm.158.
41
undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.69
2. Judicial Review dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Tahun 1949.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 yang
menggantikan UUD 1945 merupakan hasil dari perundingan panjang70
antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda yang secara
status quo masih mengklaim bahwa kedaulatan Indonesia sebagai
suatu Negara merdeka belum ada. Salah satu perubahan fundamental
isi ari UUD 1945 dan KRIS 1949 adalah komposisi Negara Indonesia.
Jika pada UUD 1945 adalah Negara Kesatuan, dalam KRIS 1949
justru mengamanatkan bahwa bentuk federasi merupakan susunan
Negara Indonesia.
Sesuai dengan bentuk negaranya, RIS mengenal 2 (dua) macam
undang-undang yaitu undang-undang federal dan undang-undang
daerah bagian. Konstitusi RIS mengatur bahwa Mahkamah Agung
hanya berhak menguji peraturan ketatanegaraan atau Undang-Undang
daerah bagian dan tidak berhak menguji UU federal71, karena UU
Federal tidak dapat digangu gugat.
69 Nurainun Simangunsong, Judicial Review di Indonesia; Teori, Perbandingan dan
Pelaksanaannya Pasca Amandemen UUD 1945, cetakan I, Yogyakarta, Fakultas Syariah UIN
Sunan Kalijaga, 2008, hlm.7. 70 Soehino, Hukum Tata Negara; Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta, hlm.35. 71 Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.
42
Ketentuan ini tidak lepas dari konsep kedaulatan rakyat yang
dianut dalam KRIS. UU Federal dalam prosedur pembuatannya
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Hal ini kemudian mendapatkan legitimasi yang lebih kuat bila
membacanya secara bersamaan dengan norma yang terkandung dalam
Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:
“Kekuasaan berkedaulatan Republik Indonesia Serikat
dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat.”
Atas dasar Pasal 1 ayat (20) Konstitusi RIS tersebut, kedaulatan
yang berada di tangan rakyat tersebut dilaksanakan atau dijalankan
oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Senat. Dengan perkataan lain, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Senat adalah lembaga-lembaga Negara yang melaksanakan
kedaulatan rakyat, sedangkan manifestasi dari kedaulatan rakyat
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Federal.72
Sedangkan status Undang-Undang Daerah bagian yang dapat
diuji dimaksudkan agar Undang-Undang Daerah bagian yang
dikeluarkan oleh daerah tidak menyimpang dengan semangat federasi.
Artinya, sebagai tindakan preventif, agar tidak ada daerah-daerah yang
memisahkan diri untuk kemudian menjadi Negara dengan instrument
72 Sri Soemantri, Hak Uji Material …….. Op.Cit, hlm.24.
43
undang-undang daerah. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 156,157, dan 158.
3. Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950.
Salah satu semangat yang diusung dalam UUDS 1950 adalah
kembalinya komposisi kesatuan dalam struktur hubungan pusta dan
daerah. Hal ini juga menandai berakhirnya system federasi yang
diwariskan pemerintah Belanda. Namun, UUDS 1950 tidak
mencantumkan hak menguji yang dimiliki hakim. Bahkan dalam Pasal
95 ayat (2) UUDS 1950 diatur bahwa UU tidak dapat diganggu gugat.
Alasan kenapa kemudian uu tidak dapat diganggu gugat bukan
berarti karena komposisi Negara Indonesia Kesatuan. Namun, rumusan
Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menjelaskan bahwa:73
”kedaulatan Republik Indonesia di Tangan Rakyat dan
dilakukan oleh Pemerintah Besama-sama Dengan Dewan Perwakilan
Rakyat”.
Pasca perbedaan pendapat antara Yamin dan Soepomo tersebut,
kemunculan wacana judicial review ternyata belum surut. Beberapa
waktu berselang, juga muncul wacana tersebut, meski bukan dalam
ranah konstitusi tetapi lebih bersufat politis. Daniel S.Lev mencatat
peristiwa ini pada tahun 1955, diawali dengan ketidakpuasan para
hakim terkait dengan kecilnya gaji yang mereka terima. Peristiwa ini
73 Lihat Pasal 1 ayat (2) UUDS Tahun 1950.
44
merupakan imbas dari usulan Lukman Wiriadiata Menteri Kehakiman
kala itu, yang usulannya ditolak oleh parlemen.74
Tepatnya pada bulan Desember 1955, Lukman mengusulkan
agar gaji para hakim terpisah dan lebih tinggi dari jaksa penuntut.
Ditolaknya usulan ini membuat para hakim sepakat untuk melakukan
pemogokan pada tanggal 1 Maret 1956. Pada hari itu, para hakim
menolak memeriksa perkara. Meski begitu, kerja-kerja adminsitratif di
lingkungan peradilan masih tetap dilakukan. Termasuk bagi hakim pada
Mahkamah Militer, yang saat itu semua hakimnya terdiri atas hakim
sipil. Mereka dikecualikan dari pemogokan lebih karena tidak ingin
berseberangan dengan pihak militer.75
4. Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hasil
Perubahan.
UUD 1945 hasil perubahan mengalami transformasi yang
sangat luar biasa, khususnya dalam system ketatanegaran. Tidak
terkecuali hal yang berkaitan dengan judicial review. Jika dalam
konstitusi-konstitusi sebelumnya judicial review tidak diatur dengan
tegas, berbeda dengan UUD 1945 hasil perubahan. Kewenangan
melakukan pengujian dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24 C
ayat (1) Perubahan ketiga UUD 1945, Mahkamah Konstiusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
74 Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, cetakan
pertama, Jakarta, LP3ES, 1990, hlm.46. 75 Ibid, hlm.48.
45
putusannnya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD.
Mahkamah Konsitusi diatur dalam Pasal 7B, Pasal 24, dan Pasal 24C
Perubahan Ketiga UUD NKRI Tahun 1945. Berdasarkan ketiga pasal
tersebut maka:76
a. Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksana kekuasaan
kehakiman, selain Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya.
b. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
Perubahan Ketiga UUD NKRI tahun 1945 mempunyai
kewenangan sebagai berikut:
1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap
UUD;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD;
3. Memutuskan pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
c. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau oleh wakil presiden
menurut UUD.
Sedangkan Mahkamah Agung diberi kewenangan judicial
review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-
undang. Ketentuan judicial review di Amerika Serikat berbeda dengan
Indonesia. Judicial Review di Amerika Serikat dapat dilakukan hanya
dengan terlebih dahulu ada kasus dan kontroversi terhadap suatu
peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam konteks Indonesia,
judicial review tidak hanya menyangkut hal yang telah terjadi kasus
dan kontroversi, tetapi juga jika ada potensi pelanggaran terhadap
UUD 1945.
76 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature…….,Op.Cit, hlm.76.
46
C. Tinjauan Umum Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Jenis-jenis Putusan Mahkamah Konstitusi
Di dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
putusan Mahkamah Konstitusi dimungkinkan menjadi 3 (tiga) jenis amar
putusan, untuk masing-masing amar putusan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat
diterima;
Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan
permohonan tidak dapat diterima apabila permohonannya melawan hukum
atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini MK berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 UU No.24 Tahun 2003 tentang MK.77
Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang MK, telah ditentukan yang boleh mengajukan permohonan untuk
berperan di MK sebagai berikut:
(1) Pemohon adalah pihak yang menggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undnag-undang yaitu:
a. Perseorangan warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
77 Lihat Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
47
c. Badan hukum publik atau privat;
d. Lembaga Negara.
Ketentuan diatas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga
agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang
memiliki kedudukan hukum (legalstanding) dalam permohonan pengujian
undnag-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan hak
konstitusional warga Negara.
b. Amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak;
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila
permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud
tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan
permohonan ditolak.
c. Permohonan dikabulkan
Putusan MK menyatakan permohonan dikabulkan apabila permohonannya
beralasan. Dalam hal ini, MK berpendapat bahwa permohonan beralasan
atau dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-undang
48
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, MK
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dari
undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita
Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian
dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali di kemudian hari.
Tabel II.1
Jenis Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review
No. Jenis Amar Putusan MK Keterangan
1. Amar putusan MK yang
menyatakan permohonan tidak
dapat diterima.
Apabila permohonannya
melawan hukum atau tidak
berdasarkan hukum. Dalam hal
ini MK berpendapat bahwa
pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi
syarat
2. Amar putusan MK yang
menyatakan permohonan
ditolak.
Apabila permohonannya tidak
beralasan.
3. Amar Putusan MK yang
menyatakan Permohonan
dikabulkan
Apabila permohonannya telah
berdasar hukum dan beralasan
serta telah memenuhi syarat-
syarat dalam mengajukan
permohonan pengujian undang-
undang.
49
Jenis putusan MK yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan
antara putusan yang bersifat declatoir, constitutief dan condemnatoir.78
Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi
penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan suatu
prestasi. Akibat dari putusan condemnatoir adalah diberikannya hak
kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap
penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap
tergugat/termohon79. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam
putusan perkara sengketa kewenangan lembaga Negara.
Sedangkan putusan declatoir adalah putusan dimana hakim
menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan
permohonan atau gugatan ditolak merupakan suatu putusan yang bersifat
declatoir.80 Putusan yang bersifat declatoir dalam pengujian undang-
undang oleh MK Nampak jelas dalam amar putusannya. Pasal 56 ayat (3)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan bahwa
dalam hal permohonan dikabulkans sebagaimana dimaksud ayat (2), MK
menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal, dan /atau bagian dari
undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945.
Tetapi setiap putusan yang bersifat declatoir khususnya yang
menyatakan bagian undang-undang, ayat, dan/atau pasal bertentangan
78Maruarar Siahaan, Hukum Acara MK Republik Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta,
2006, hlm.240. 79 Ibid. 80 Ibid, hlm.241.
50
dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat
constitutief.81
Putusan contitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan
hukum atau menciptakan satu kedaan hukum baru. Menyatakan suatu
undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah meniadakan keadan hukum yang timbul karena
undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Putusan MK sebagaimana telah diuraikan, kebanyakan jenisnya
terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declatoir
constitutief. Sifat declatoir tidak membutuhkan satu aparat yang
melakukan pelaksanaan putusan MK82. Putusan MK sejak diucapkan
dihadapan siding terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan
yaitu : 1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan pembuktian, 3) kekuatan
eksekutorial. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:83
1. Kekuatan mengikat.
MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa
putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
81 Ibid, hlm,242. 82 Ibid, hlm.250. 83 Ibid, hlm.252.
51
Kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan
pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara
(interpares) yaitu pemohon, pemerintah, DPD/DPD ataupun pihak terkait
yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga
mengikat semua orang, lembaga Negara dan badan hukum yang ada di
wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum yang putusannya
bersifat ergaomnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK
menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji
kembali. Dengan demikian adanya putusan MK yang telah menguji satu
undang-undang. Merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah
diperoleh satu kekuatan pasti. Meskipun demikian, menurut Pasal 60 ayat
(2) Undang-Undang MK, memberikan pengecualian yaitu jika materi
muatan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Adapun putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap undang-undang yang pernah dimohonka untuk diuji
dapat digunakan sebagai bukti karena sesuai dengan ketentuan pasal
tersebut, Mahkamah Konstitusi secara yuridis dilarang memutus perkara
permohonan yang sebelumnya telah diputus.
Kekuatan pasti satu putusan secara negative diartikan bahwa
hukum tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya
52
pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi putusannya bersifat
ergaomnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang
sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh
siapapun. Putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap demikian
dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif
bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti
secara positif bahwa apa yang diputs oleh hakim dianggap benar.
Pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan. Kekuatan pembuktian
putusan Mahkamah Konstitusi itu sejajar dengan akta otentik sehingga
selalu diakui kebenarannya sepanjang telah berkekuatan hukum tetap.84
Adapun bukti-bukti yang diajukan dan terungkap di dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi, ternyata bukti tersebut merupakan
bukti hasil manipulasi atau bukti palsu yang dibuktikan melalui putusan
Pengadilan Negeri (PN), putusan itu tidakk dapat membatalkan putusan
Mahkamah. Bahkan, putusan Pengadilan Negeri tidak bisa dijadikan
novum untuk menganulir dan sekaligus untuk mengugurkan putusan
Mahkamah Konstitusi, mengingat tidak ada mekanisme PK terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi.85
84 W.Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi revisi, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta,Yogyakarta, 2009, hlm.123. 85Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan………,Op.Cit, hlm.`161.
53
3. Kekuatan eksekutorial
Hakim MK adalah negative legislature dan putusannya berlaku
sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus
dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yag bagian tertentu
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Untuk itu, putusan MK perlu dimuat dalam Berita Negara agar setiap
orang mengetahuinya.
Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap pada umumnya
dapat dijalankan sehingga dapat disebut sebagai telah memiliki kekuatan
eksekutorial. Putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial adalah putusan
yang menetapkan secara tegas hak dan hukumnya untuk kemudian
direalisir melalui eksekusi oleh alat Negara. Oleh karena itu, putusan
Mahkamah Konstitusi tidak hanya cukup mengikat, tetapi juga harus dapat
dilaksanakan. Dan hal tersebut dianggap telah terwujud apabila telah
dimuat dalam bentuk pengumumuman yang termuat dalam berita Negara
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan itu
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.86
Dalam hal kewenangan MK melakukan pengujian terhadap
konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Maka karakteristik
putusannya yaitu bahwa selama undang-undang tersebut sedang diuji oleh
MK masih tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
86 Ibid, hlm.162.
54
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berbeda dengan hasil putusan MK tersebut, Martitah membagi
putusan MK menjadi 2 model yaitu Negative Legislature dan Positive
Legislature. Putusan MK yang bersifat Positive Legislature adalah putusan
MK yang dalam putusannya bersifat mengatur. Putusan conditionally
constitutional dan conditionally unconstitutional dimasukkan dalam
kategori putusan positive legislature. Putusan yang conditionally
constitutional artinya suatu norma dalam UU dianggap konstitusional atau
tidak bertentangan dengan konstitusi bila dimaknai sesuai dengan yang
ditentukan MK87. Sedangkan putusan yang conditionally unconstitutional
berarti bahwa suatu norma dalam undang-undang dianggap bertentangan
dengan konstitusi bila tidak sesuai dengan apa yang ditentukan MK.88
Selanjutnya berdasarkan bunyi amar putusan MK yang dikabulkan
sebagaimana anomaly terhadap praktik dari Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor
8 Tahun 2011 maka jenis Putusan MK diklasifikasikan menjadi
konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, konstitusional
progresif dan inkonstitusional progresif. Disamping itu juga terdapat
putusan yang menunda pemberlakuan putusannya.
Dalam putusan MK juga dikenal isitilah dissenting opinion,yaitu
dalam hal putusan tidka tercapai mufakat bulat, pendapat anggota majelis
hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Penyertaan pendapat hakim
87 Martitah, Op.Cit, hlm.20. 88 Ibid, hlm.134.
55
konstitusi yang berbeda ini perlu disertakan agar masyarakat dapat
mengetahui alasan masing-masing hakim konstitusi dan menilai tingkat
integritas serta kualitas seorang hakim konstitusi dalam memutus suatu
perkara. Dissenting Opinion dikecualikan dalam perkara impeachment
karena perkara tersebut memiliki dimensi-dimensi politis.
Pendapat hakim yang berbeda dissenting opinion, jika hakim yang
bersangkutan menghendaki dapat dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda
diharapkan tidak dilakukan dengan mencela putusan MK melainkan
dengan menekankan pada titik tolak pandangan atau teori yang dianut
dalam memberikan pendapat yang berbeda tersebut.89
Tabel II.2
Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi.
No. Kekuatan Hukum
Putusan MK
Keterangan
1. Kekuatan Mengikat MK berwenang mengadili perkara
konstitusi dalam tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final. Itu
berarti bahwa putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain
yang dapat ditempuh
2. Kekuatan Pembuktian bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau
bagian dari undang-undang yang telah diuji,
tidak dapat dimohonkan untuk diuji
kembali. Dengan demikian adanya putusan
MK yang telah menguji satu undang-
undang. Merupakan alat bukti yang dapat
digunakan bahwa telah diperoleh satu
kekuatan pasti
89 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi……………,Op.Cit, hlm.244.
56
3. Kekuatan Eksekutorial putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
cukup mengikat, tetapi juga harus dapat
dilaksanakan. Dan hal tersebut dianggap
telah terwujud apabila telah dimuat dalam
bentuk pengumumuman yang termuat
dalam berita Negara dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
putusan itu diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum
Dalam praktek dan perkembangannya ternyata MK tidak hanya
memberikan amar putusan sebagaimaa dinyatakan dalam Pasal 56 UU
No.24 Tahun 2003 tersebut. Berdasarkan Data Pusat Penelitian dan
Pengkajian Perkara Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi, Model putusan-putusan MK dibagi menjadi 5 model yaitu:90
a. Model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak
berlaku (Legally Null and Void)
b. Model putusan konstitusional bersyarat (Conditionally constitutional)
c. Model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional)
d. Model putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (Limited
constitutional)
e. Model putusan yang merumuskan norma baru (positive legislature).
Dalam memberikan putusan berkenaan dengan pengujian
konstitusional suatu undang-undang, landasan putusan Mahkamah
Konstitusi harus merujuk pada ketentuan Pasal 45 UU Mahkamah
90 Pusat Pengkajian Perkara Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan
Sekretariat Jenderal MK Republik Indonesia, Model dan Implementasi Putusan MK dalam
Pengujian Undang-Undang,Jakarta, 2016, hlm.8.
57
Konstitusi. Ada beberapa hal fundamental yang diatur dalam Pasal
tersebut berkenaan dengan kekuasaan para hakim yang akan melahirkan
sebuah putusan pada pengujian undang-undang sebagai berikut:91
a. Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti
dan keyakinan hakim.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap
dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar
putusan.
d. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara
musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang
dipimpin oleh ketua sidang.
e. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
permohonan.
f. Dalam hal musyawarah siding pleno hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan,
musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim
konstitusi berikutnya.
91 Bachtiar, Op.Cit, hlm.149.
58
g. Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak.
h. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak dapat
diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno
hakim konstitusi menentukan.
i. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau
ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
j. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat pendapat anggota
Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
2. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu peristiwa hukum
dimana terjadi proses persidangan karena adanya sengketa yang
dimohonkan untuk diputus. Tatkala putusan-putusan tersebut diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum, saat itu tidak ada upaya hukum
yang dapat ditempuh dan pada saat itu pula awal mula adanya akibat
hukum. Akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi itu
mulai dihitung dengan merujuk pada ketentuan Pasal 4792 UU MK yang
menyatakan bahwa “ Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan
hukum tetap, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum”. Meski putusan MK dalam menguji undang-undang membawa
akibat hukum tertentu, tetapi ketentuan Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi
92 Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
59
telah menyatakan bahwa “Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah
Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sesuai dengan kewenangannya sebagai pengadilan tingkat pertama
dan terakhir dengan keputusannya yang bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD, jika permohonan pengujian undnag-
undang dikabulkan oleh MK, tindak lanjut sebagai konsekuensinya,
peraturan berupa undang-undang itu akan diubah sebagian, ataupun
kesleuruhannya, oleh pihak pembuat undang-undang. Jika Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan pengujian undang-undang, siapapun tidak
boleh lagi mengajukan permohonan pengujian undang-undang, baik segi
pembuatannya maupun segi materi muatannya (substansi materi) dari
undang-undang yang sama, yang pernah diuji dan diputus oleh MK
tersebut. Jika permohonan tidak dapat diterima, masih terbuka
kemungkinan bagi pihak lain untuk mengajukan permohonan pengujian
yang sama. Pihak lain yang dimaksud adalah orang, kelompok, atau badan
hukum yang dinilai memenuhi persyaratan legal standing sebagai
pemohon serta mampu menunjukkan kerugian konstitusionalnya sebagai
diatur dalam Undang-undang dan yurisprudensi.93
Sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengabulkan permohonan, sejak putusan itu dibacakan, ada norma hukum
konstitusi atau ketentuan dari sebagian peraturan perundang-undangan
93 Bachtiar, Op.Cit, hlm.164.
60
yang telah berubah, bahkan ada undang-undang yang dibatalkan secara
keseluruhan karena dianggap bertentangan dengan UUD. Menurut
Maruarar, meskipun hakim konstitusi bukan pembuat undang-undang
pembatalan suatu undang-undang dengan menyatakan tidak mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum karena bertentangan dengan UUD telah
mengubah hukum yang berlaku atau undang-undang yang diperlakukan.
Dengan tatanan yang demikian, tidak dapat dihindari bahwa putusan MK
akan melahirkan suatu akibat hukum tertentu, yang bisa saja memunculkan
pro kontra dalam kehidupan hukum.94
Akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
mengikat secara normative dapat dibagi atas dua bagian, yaitu akibat
hukum dalam makna positif dan akibat hukum dalam makna negatif.
Dalam makna positif terdapat dua akibat, yaitu:95
1. Putusan Mahkamah Konstitusi mendorong terjadinya proses politik.
Suatu undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dnegan
UUD, telah mendorong terjadinya proses politik di parlemen untuk
mengubah undang-undang tersebut.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi mengakhiri sebuah sengketa hukum.
Dengan adanya pengajuan perkara yang diminta untuk diputus
Mahkamah Konstitusi, berdasarkan karakteristik putusannya yang
bersifat final dan mengikat, telah mengakhiri suatu sengketa hukum.
94 Ibid, hlm.165. 95 Ibid, hlm.166.
61
Terdapat dua akibat hukum dalam makna negatif, yaitu:96
1. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan sebuah undang-
undang hasil produk politik, yang dihasilkan melalui mekanisme
politik di parlemen yang notabene dipilih oleh rakyat melalui
mekanisme pemilihan umum yang demokratis. Dengan kewenangan
yang diberikan oleh konstitusi, 9 hakim konstitusi berhak
membatalkan suatu produk politik yang bertentangan dengan UUD
sebagai norma hukum dasar tertinggi.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikan rasa keadilan bagi
pihak yang dirugikan dengan adanya putusan tersebut, sebagai akibat
sifat final dari putusan tersebut yang menutup ruang baginya untuk
melakukan upaya hukum dalam rangka mewujudkan rasa keadilan
hukumnya. Bagi pihak-ihak yang tidak diuntungkan, secara teknis
yuridis hanya bisa menerima fakta empiric ini sesuai bunyi putusan.
3.Dalam perspektif ke depan Mahkamah Konstitusi dapat membawa
Mahkamah Konstitusi dalam keadaan lemah, yaitu dengan lemahnya
penegakan hukum. Jika putusan tidak dilaksanakan karena tidak
mempunyai kekuatan memaksa, justru dapat menutup kemungkinan
membuat masyarakat tidak menjadi tertib dan berujung pada kondisi
kacau balau (chaos).
96 Ibid.