BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi...

32
19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DAN PRAPERADILAN 2.1 Tinjauan Umum tentang Penemuan Hukum Oleh Hakim 2.1.1 Pengertian Penemuan Hukum Suatu undang-undang tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan”. 1 Kegiatan dalam mencari dan menemukan hukum tersebut disebut dengan penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah ...proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk peristiwa hukum yang konkret”. 2 Lebih lanjut secara sederhana Sudikno Mertokusumo menggambarkan bahwa penemuan hukum merupakan ...proses 1 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.37. 2 Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., h.4.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

19

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

DAN PRAPERADILAN

2.1 Tinjauan Umum tentang Penemuan Hukum Oleh Hakim

2.1.1 Pengertian Penemuan Hukum

Suatu undang-undang tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia

yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Sudikno

Mertokusumo dalam bukunya bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan

yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada

peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas

sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus

dicari dan diketemukan”.1 Kegiatan dalam mencari dan menemukan hukum

tersebut disebut dengan penemuan hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “...proses

pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi

tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk

peristiwa hukum yang konkret”.2 Lebih lanjut secara sederhana Sudikno

Mertokusumo menggambarkan bahwa penemuan hukum merupakan “...proses

1 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

h.37.

2 Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., h.4.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

20

konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum

dengan mengingat akan peristiwa konkret (des sein) tertentu”.3

Menurut Paul Scholten “...yang dimaksud dengan penemuan hukum

adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada

peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa

peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan

jalan analogi maupun rechsvervijning (penghalusan/ pengkonkretan hukum).”4

Selanjutnya, Mawissen menyebut penemuan hukum dengan pengembanan

hukum (rechtsboefening), yang merupakan “...kegiatan manusia berkenaan

dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat, yang meliputi kegiatan

membentuk, menerapkan, menemukan, menafsirkan secara sistematis,

mempelajari, dan mengajarkan hukum”.5 Sedangkan pengembanan hukum itu

sendiri dibedakan lagi menjadi pengembanan hukum praktis dan pengembangan

hukum teoritis. “Pengembanan hukum praktis meliputi kegiatan yang berkenaan

dengan hal mewujudkan hukum dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan

pengembanan hukum teoritis meliputi kegiatan pembentukan hukum, penemuan

hukum, dan bantuan hukum”.6

Amir Syamsudin memberikan pengertian bahwa penemuan hukum

merupakan:

3 Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Loc.Cit.

4 Achmad Ali, Op.Cit., h.146.

5 B. Arief Sidharta, 1994, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia Tahun XII

No.1, Januari 1994, h.61-63.

6 Ibid.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

21

Proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan

peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah

atau metode-metode tertentu, yang digunakan agar penerapan hukumnya

terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan

menurut hukum, sehinga hasil yang diperoleh dari proses itu dapat

diterima san dipertanggungjawabkan dalm ilmu hukum.7

Selanjutnya Utrecht menjelaskan bahwa “...apabila terjadi suatu peraturan

perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak

berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut”.8 Hal tersebut

memiliki arti bahwa seorang hakim harus berperan untuk menentukan bagaimana

hukumnya, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya

dalam membuat keputusan.

Dapat disimpulkan dari pendapat mengenai para ahli diatas, penemuan

hukum dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-

metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam

penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat

dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan

tetap mengingat peristiwa konkret tertentu.

2.1.2 Alasan Penemuan Hukum

Bambang Sutiyoso mengungkapkan bahwa perundang-undangan “bersifat

statis dan rigid(kaku), sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu

meningkat dari waktu ke waktu, baik jenis maupun jumlahnya. Sehingga dapat

dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan „Het recht hink achter de

7 Amir Syamsudin, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas, 4 Januari

2008, h.6.

8 Utrecht, E., 1986, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, h.248.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

22

feiten ann‟, yaitu hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.”9 Oleh

karena itu, suatu peristiwa kongkrit harus diketemukan hukumnya dengan

menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.

Hal tersebut agar hukumnya dapat ditemukan untuk dapat diterapkan dalam

peristiwa konkrit di tengah masyarakat.

Selanjutnya pendapat Jazim Hamidi memperkuat tulisan Bambang

Sutiyoso bahwa “peraturan perundang-undangan itu tidak jelas, tidak lengkap,

bersifat statis, dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, dan hal itu

menimbulkan ruang kosong, yang harus diisi oleh hakim dengan menemukan

hukumnya yang dilakukan dengan cara menjelaskan, menafsirkan, atau

melengkapi peraturan perundang-undangannya”.10

Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak

tersebut diatas “...tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada

peristiwa konkret, oleh karena itu ketentuan undang-undang harus diberi arti,

dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan

pada peristiwanya itu”.11

Hal tersebut mengandung arti bahwa peristiwa

hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya, kemudian undang-

undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.

Maka sebenarnya hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan

hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk

9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang

Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, h.102.

10

Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan

Interpretasi Teks), UII Press, Yogyakarta, h.52.

11

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, h.12.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

23

menafsirkan undang-undang. Hal tersebut dikarenakan “setiap undang-undang

bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga

menimbulkan ruang kosong, yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah,

dibebankan kepada para hakim”.12

Penemuan hukum oleh hakim tersebut dapat

dilakukan dengan metode interpretasi atau kontruksi, dengan catatan bahwa hakim

tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang atau tidak boleh

bersikap sewenan-wenang.

Namun penemuan hukum tersebut tidak serta merta dapat dilakukan

dengan mudah, Ahmad Rifai dalam bukunya menegaskan bahwa:

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang

dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis

terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau

peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak

tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim akan

mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum

yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum

tidak tertulis.13

Dapat dipahami dari pendapat Ahmad Rifai tersebut diatas bahwa hakim

tidak serta merta dapat melakukan penemuan hukum, melainkan harus terlebih

dahulu melihat perundang-undangan terkait yang berlaku. Jika perundang-

undangan yang terkait tidak memadai dalam mengatasi peristiwa konkret, maka

hakim diperbolehkan untuk menemukan hukum dengan tetap berdasarkan pada

sumber-sumber hukum dengan tidak memperkosa maksud dan jiwa undang-

undang, serta tetap sesuai dengan tujuan pembuat undang-undang.

12 Andi Zainal Abidin, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung

h.33.

13

Ahmad Rifai, 2014, Op.Cit., h.25.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

24

2.1.3 Metode Penemuan Hukum

Terdapat beberapa pendapat mengenai metode penemuan hukum ini

dengan mendasarkan pada pandangan masing-masing para ahli. Sudikno

Mertokusumo dalam bukunya membedakan metode penemuan hukum menjadi

tiga, yaitu metode interpretasi, metode argumentasi, dan metode eksposisi

(kontruksi hukum).14

Achmad Ali membedakan metode penemuan hukum menjadi dua, yaitu

metode interpretasi dan metode kontruksi.15

Hal serupa juga diungkapkan oleh

Philiphus M. Hadjon dengan merujuk pendapat yang dikemukakan “J.J.H.

Bruggink dalam bukunya Op Zoek Naar Het Recht (Rechtsvinding in

Rechstheoretisch Perspectief), yang meliputi metode interpretasi

(interpretatiemethoden) dan model penalaran (redeneerweijzen) atau kontruksi

hukum”16

Ahmad Rifai dalam bukunya membedakan metode penemuan hukum

menjadi tiga bagian yaitu selain metode penemuan hukum interpretasi dan

kontruksi seperti yang diungkapkan oleh Achmad Ali dan Philuphus M. Hadjon,

ia juga menambahkan metode hermeneutika.17

Untuk memeberikan pemahaman

mengenai pembagian metode penafsiran hukum tersebut, maka akan dijelaskan

jenis-jenis metode penafsiran hukum yaitu sebagai berikut:

14 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.56.

15

Achmad Ali, Op.Cit, h.164.

16

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, h. 25.

17

Ibid, h.61-87.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

25

1. Metode Interpertasi Hukum

Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang

menjelaskan teks undang-undang agar undang-undang tersebut dapat

diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. “Penafsiran oleh hakim merupakan

penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh

masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Tujuan

akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi

agar hukum positif itu berlaku”.18

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya mengungkapkan bahwa “Interpretasi berarti

suatu kesimpulan dalam memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata

atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat

memahaminya”.19

Menurutnya, interpretasi berarti pemecahan suatu makna

ganda, norma kabur (vage normen), antinomy hukum (konflik norma hukum),

dan ketidakpastian suatu perundang-undangan. Hal tersebut demi mencari dan

menemukan maksud dari para pembuatnya.20

Sedangkan menurut Bambang

Sutiyoso, “Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks

perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat

diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu”.21

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya membedakan metode interpretasi hukum ini

menjadi sebelas jenis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

18 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, h.13.

19

Ahmad Rifai, Op.Cit, h.61.

20

Ahmad Rifai, Loc.Cit.

21

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.106.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

26

a. Interpretasi Gramatikal

“Interpretasi gramatikal adalah metode penemuan hukum dengan

menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan

kaidah hukum tata bahasa”.22

Bahasa merupakan sarana yang penting

bagi hukum, karena merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat

undang-undang dalam merumuskan pasal-pasal dan penjelasannya.

Mengingat kata-kata dalam perundang-undangan Indonesia banyak

berasal dari terjemahan kata-kata asing khususnya Belanda, maka

pengungkapan maknanya harus memenuhi standar logis, dan mengacu

pada kelaziman bahasa sehari-hari dalam masyarakat.

b. Interpretasi Historis

Menurut Sudikno Mertokusumo terdapat dua macam interpretasi

historis, yaitu yang pertama interpretasi menurut sejarah undang-

undang (wet historisch) dan yang kedua interpretasi sejarah hukum

(recht historisch).23

Interpretasi menurut sejarah undang-undang (wet historisch) adalah

“...mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa, dalam hal

ini dilihat dari pembuat undang-undangnya”24

ketika undang-undang itu

dibentuk dulu. Jadi, dalam metode interpretasi ini, kehendak pembuat

22 Johnny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Jakarta, h.221.

23

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.60.

24

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.112.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

27

undang-undang ketika undang-undang itu dibentuk dulu dianggap

sangat menentukan.

Selanjutnya Interpretasi sejarah hukum (rechts historissch) adalah

“...metode interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam

konteks seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait dengan

kelembagaan hukumnya”.25

Jadi, setiap peraturan perundang-undangan yang ada pada saat ini

memiliki sejarah sendiri-sendiri. Jadi para hakim yang ingin

mengetahui makna kata atau kalimat dalam undang-undang tidak dapat

menafsirkannya per kata atau kalimat, melainkan menafsirkan dengan

meneliti sejarah atau latar belakang lahirnya undang-undang tersebut.

c. Interpretasi Sistematis

“Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-

undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan”.26

Hal tersebut mengandung arti bahwa “...hukum dilihat sebagai suatu

kesatuan atau sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat

sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu

sistem. Undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem

perundang-undangan”.27

Jadi, hal yang paling penting dalam

menafsirkan undang-undang adalah bahwa penafsiran tidak boleh

25 Bambang Sutiyoso, Loc.Cit.

26

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.58-59.

27

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.111.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

28

menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem

hukum suatu Negara.

d. Interpretasi Teleologis/Sosiologis

Pontang Moerad B.M. memberi pengertian mengenai interpretasi ini,

yaitu:

Interpretasi teleologis/sosiologis adalah suatu interpretasi untuk

memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum

tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan

masyarakat. Interpretasi teleologis/sosiologis menjadi sangat

penting apabila hakim menjalankan suatu undang-undang,

dimana keadaan masyarakat ketika undang-undang itu

ditetapkan berbeda sekali dengan keadaan pada waktu undang-

undang itu dijalankan.28

Interpretasi ini ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan dimana

undang-undang yang ada akan disesuaikan dengan kenyataan hukum

saat ini. Jadi, peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan

baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.

e. Interpretasi Komparatif

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo menyebutkan bahwa:

Interpretasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan

jalan memperbandingkan antara berbagai sitem hukum. Dengan

memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna

suatu ketentuan pertauran perundang-undangan. Metode

interpretasi ini digunakan oleh hakim pada saat menghadapi

kasus-kasus yang menggunakan dasar hukum positif yang lahir

dari perjanjian internasional. 29

28 Pontang Moerad B.M., 2005, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam

Perkara Pidana, Alumni, Bandung, h.92-93.

29

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, h.19.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

29

Interpretasi komparatif ini digunakan untuk mencari kejelasan

mengenai ketentuan suatu perundang-undangan dengan

membandingkan undang-undang yang satu dengan yang lain dalam

suatu sistem hukum atau sistem asing lainnya.

f. Interpretasi Futuristik/Antisipatif

Menurut Achmad Ali dalam bukunya, “Interpretasi futuristik

merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yang

menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum)

dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai

kekuatan hukum (ius constituendum)”.30

Jadi, interpretasi futuristik atau antisipatif ini adalah suatu metode

penafsiran dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang

belum resmi berlaku, misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang

nantinya akan diberlakukan sebagai undang-undang. Dalam hal ini

tentu seorang hakim memiliki keyakinan bahwa naskah RUU tersebut

pasti akan segera diundangkan, sehingga ia melakukan antisipasi

dengan melakukan penafsiran futuristic atau antisipatif tersebut.

g. Interpretasi Restriktif

Achmad Ali mengungkapkan bahwa, “Interpretasi restriktif merupakan

metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna

30 Achmad Ali, Op.Cit. h.186.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

30

dari suatu aturan”.31

Interpretasi restriktif ini “...digunakan untuk untuk

menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dimana ruang lingkup

ketentuan itu dibatasi dengan bertitik tolak pada artinya menurut

bahasa”.32

Jadi, interpretasi restriktif merupakan metode penafsiran

hukum yang bersifat membatasi atau mempersempit suatu pengertian

dalam undang-undang.

h. Interpretasi Ekstensif

“Interpretasi ekstensif merupakan metode interpretasi yang membuat

interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui

interpretasi gramatikal”.33

Jadi, maksudnya adalah bahwa interpretasi

ekstensif ini digunakan dengan maksud untuk menjelaskan suatu

ketentuan undang-undang dengan cara melampaui batas yang diberikan

oleh interpretasi gramatikal.

i. Interpretasi Autentik

Interpretasi autentik dalam bahasa Belanda disebut sebagai volledig

bewijs opleverend, yang berarti bahwa interpretasi autentik ini

“...memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah

atau yang resmi”.34

Penafsiran autentik ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu

sendiri, jadi hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran

31 Achmad Ali, Loc.Cit.

32

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.116

33

Ahmad Rifai, Op.Cit, h.71.

34

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.118.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

31

dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan dalam

pengertiannya dalam undang-undang itu sendiri.

j. Interpretasi Interdisipliner

Johnny Ibrahim dalam bukunya mengungkapkan bahwa:

Metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila

ia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata substansinya

menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam

lingkup ilmu hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana,

hukum administrasi atau hukum internasional. Hakim akan

melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi

logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu

cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.35

Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut tindak pidana

“korupsi”, dimana hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut

dari berbagai disiplin yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan

hukum perdata.

k. Interpretasi Multidisipliner

“Dalam metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan

berusaha membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim

juga harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari

disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum”.36

Hal ini berarti hakim

membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu yang lain dalam menjatuhkan

putusan, demi membuat suatu putusan yang adil dan memberi kepastian

hukum.

35 Johnny Ibrahim, Loc.Cit.

36

Johnny Ibrahim, Loc.Cit.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

32

Biasanya dalam melakukan interpretasi multidisipliner tersebut, hakim

akan mendatangkan para ahli atau pakar dalam disiplin ilmu terkait

untuk dimintakan keterangan mereka sebagai saksi ahli yang

memberikan keterangan di bawah sumpah.

2. Metode Kontruksi Hukum

Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu

hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan masalah

baru dan boleh tidak dilaksanakan.”Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah

agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan

dan bermanfaat bagi pencari keadilan”.37

Kontruksi hukum ini sangat

dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum.

Menurut Philipus M. Hadjon, model kontruksi hukum terdiri dari

“...analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario, dan bentuk ketiga

oleh P. Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa

Indonesia oleh Prof. Soedikno M. disebut penyempitan hukum”38

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya membedakan metode konstruksi hukum ini

menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

a. Metode Argumentum Per Anoalgium (Analogi)

Menurut Bambang Sutiyoso, “Metode analogi berarti memperluas

peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya,

37

Achmad Ali, Op.Cit, h.192.

38

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit., h.26

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

33

kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip

dengan yang diatur dalam undang-undang”.39

Jadi analogi ini merupakan metode penemuan hukum dimana hakim

mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau

perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun

yang belum ada peraturannya.

b. Metode Argumentum a Contrario

“Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang

menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan

itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku

kebalikannya”.40

Maksudnya adalah, bahwa penafsiran ini dilakukan

dengan menjelaskan undang-undang yang berdasarkan pada pengertian

yang sebaliknya antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan

peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Jadi, apabila suatu

peristiwa diatur dalam undang-undang, namun peristiwa lain yang mirip

tidak diatur dalam undang-undang, maka berlaku hal yang sebaliknya.

c. Metode Penyempitan/Penghalusan Hukum

Menurut Jazim Hamidi, metode penyempitan atau pengkongkretan

hukum ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang

bersifat terlalu abstrak, pasif, dan sangat umum sifatnya. Hal tersebut

bertujuan agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa

39 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.133.

40

Achmad Ali, Op.Cit, h.197.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

34

teretentu.41

Mengingat suatu norma hukum atau aturan perundang-

undangan terkadang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka

perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu.

d. Fiksi Hukum

Fiski hukum adalah “...sesuatu yang khayal yang digunakan dai dalam

ilmu hukum dalam bentuk kata-kat, istilah-istilah yang berdiri sendiri

atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu

pengertian hukum”.42

Metode penemuan hukum ini berlandaskan pada

asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang.

3. Metode Hermeneutika Hukum

Jazim Hamidi menjelaskan dalam bukunya mengenai pengertian

hermeneutika hukum, yaitu sebagai berikut:

Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal

mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi (penafsiran)

terhadap teks. Kata „teks‟ atau „sesuatu‟ dalam pengertian yang sedang

dibahas ini adalah berupa “teks hukum, fakta hukum, naskah-naskah

hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam dalam kitab

suci, hasil ijtihad hukum (doktrin hukum), peraturan perundang-undangan,

atau yurisprudensi”, dan itu semua kapasitasnya menjadi „objek‟ yang

ditafsirkan. Metode dan teknik penafsirannya dilakukan secara holistik

dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.43

Hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi teks

hukum atau metode memahami suatu naskah normatif.

41 Jazim Hamidi, Op.Cit, h.61.

42

Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.139

43

Jazim Hamidi, Op.Cit, h.5

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

35

2.2 Tinjauan Umum tentang Praperadilan

2.2.1 Pengertian Praperadilan

Sejarah kehadiran lembaga praperadilan sejatinya muncul dari semangat

untuk memasukan konsep habeas corpus di dalam sistem hukum acara pidana di

Indonesia. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, “...konsep ini dihadirkan sebagai

mekanisme testing atas sah tidaknya suatu tindakan penangkapan dan penahanan,

karena tindakan tersebut merupakan „indruising‟ terhadap hak-hak dan kebebasan

seseorang, sehingga membutuhkan pengujian dari pengadilan”.44

Menurut Loebby Loqman, konsep Habeas Corpus bersandar pada “...dasar

pemikiran suatu penjagaan terhadap hilang kemerdekaan bagi seseorang dalam

arti luas”.45

Hal tersebut berarti bahwa “...di dalam masyarakat yang beradab,

pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang, sehingga

pemerintah harus bertanggung jawab terhadap seseorang yang hilang

kemerdekaannya, baik berhubungan dengan suatu peristiwa tindak pidana,

maupun kehilangan kemerdekaan lainnya”.46

Konsep Habeas Corpus tidak seperti praperdilan dimana “...ruang

lingkupnya terbatas pada hukum acara pidana, habeas corpus mempunyai ruang

lingkup yang lebih luas, baik dalam hukum acara pidana maupun pada hak-hak

sipil dari warganya berhubungan dengan hak kebebasan seseorang yang telah

dijamin dalam Undang-Undang Dasarnya”.47

Jadi dalam hal ini, konsep habeas

44 Oemar Seno Adji, Loc.Cit.

45

Loebby Loqman, Op.Cit., h.57.

46

Ibid, h.55.

47

Ibid, h.57.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

36

corpus yang diadopsi dalam KUHAP Indonesia dalam bentuk mekanisme hukum

Praperadilan, memiliki kewenangan tidak seluas konsep aslinya.

Kembali lagi pada konsep praperadilan, bahwa lembaga praperadilan

merupakan hal yang baru dalam peradilan negara kita, lembaga ini diperkenalkan

oleh KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum bersamaan dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pengertian praperadilan menurut bahasa, maka “pra berarti awalan, yang

bermakna sebelum atau di muka. Sedangkan peradilan adalah sesuatu mengenai

perkara pengadilan atau Lembaga Hukum bertugas memperbaiki”.48

Jadi dapat

dipahami bahwa arti praperadilan adalah “...suatu lembaga hukum yang bertugas

memeriksa suatu perkara sebelum diajukan ke Pengadilan. Namun istilah

praperadilan yang dipakai di Indonesia ini adalah merupakan ketentuan umum

yang terdapat pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tentang hukum Acara

Pidana”,49

dengan bunyi pasal sebagai berikut:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

48 Badudu dan Zein, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

h.236.

49

M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar

Grafika, Jakarta, h.3.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

37

Bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus

menurut cara yang diatur dalam KUHAP tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau

tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaan demi rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak

lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan; sidang

Pengadilan Negeri untuk memeriksa tentang sah tidaknya penangkapan

dan penahanan oleh pejabat-pejabat yang ditugaskan melakukan

penyidikan dalam perkara pidana.50

Sedangkan aturan mengenai praperadilan itu sendiri dalam KUHAP

ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang

lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.

2.2.2 Tujuan dan Wewenang Praperadilan

Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana,

“...undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum

untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,

penyitaan, dan sebagainya”.51

Tindakan upaya paksa tersebut merupakan

“...pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, maka

tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum

dan undang-undang yang berlaku (due process of law)”.52

Untuk mengawasi dan

menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum, perlu

diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau

50 Setiawan Widagdo, Op.Cit., h.472.

51

M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.3.

52

M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

38

tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan kepada tersangka. Lembaga inilah

yang disebut dengan Lembaga Praperadilan.

Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP

adalah “...untuk melakukan „pengawasan secara horizontal‟ atas segala tindakan

upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka

selama dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan

itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang

yang berlaku”.53

Praperadilan di dalam KUHAP (KUHAP) diatur dalam Bab ke-X Pasal 77

sampai dengan Pasal 83. Pasal 77 KUHAP menyebutkan bahwa:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bunyi pasal tersebut apabila diperhatikan dapat memperinci mengenai

wewenang apa saja yang dimilki hakim dalam praperadilan, yaitu sebagai berikut:

1. Sah atau Tidaknya Upaya Paksa

Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk memeriksa

mengenai sah atau tidaknya upaya paksa disini berarti adalah wewenang untuk

“...memeriksa dan memutus sah atau tidaknya „penangkapan dan penahanan‟,

jadi seorang tersangka yang dikenakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada praperadilan untuk

53 Andi Sofyan dan Abs. Asis, Op.Cit., h. 187.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

39

memeriksa atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya”.54

Jadi

kemudian secara khusus akan dirinci mengenai penangkapan dan penahanan,

yaitu sebagai berikut:

a. Penangkapan

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan diartikan

sebagai berikut, “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktukebebasan tersangka atau terdakwa

apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau

penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini”.

Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap yang diduga

sebagai pelaku tindak pidana dengan bukti permulaan yang cukup. Hal

ini tercantum dalam Pasal 17 KUHAP yang menentukan bahwa,

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak

dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditunjukan kepada

mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Sedangkan mengenai bukti permulaan yang cukup, terdapat pendapat

Drs. P.A.F Lamintang dalam bukunya mengenai apa yang disebut

dengan bukti permulaan yang cukup yaitu:

Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP

itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat

54 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit., h.188.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

40

bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat

menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk

menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka

melakukan tindak pidanasetelah terhadap orang tersebut

dilakukan penangkapan.55

Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut diatas dapat

dilakukan paling lama satu hari, hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1)

KUHAP.

Menurut Syprianus Aristeus, sebelum dilakukan suatu penangkapan

oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil

yang harus dipenuhi terlebih dahulu. “Yang dimaksud dengan syarat

materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa

terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya

surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya”.56

b. Penahanan

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan diartikan

sebagai berikut, “Penahanan adalah penempatan tersangka atau

terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau

hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini”.

55 P.A.F Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan

Secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru,

Bandung, h.117.

56

Syprianus Aristeus, 2007, “Penelitian Hukum tentang Perbandingan antara Penyelesaian

Putusan Praperadilan dengan Kehadiran Hakim Komisaris dalam Peradilan Pidana”, Penelitian

Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen HAM RI, Jakarta, h.37.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

41

Sedangkan syarat-syarat penahanan bagi seorang tersangka atau

terdakwa diatur di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai

berikut:

a) Diduga keras melakukan tindak pudana berdasarkan bukti yang

cukup;

b) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak,

atau menghilangkan barang bukti; dan

c) Mengulangi tindak pidana.57

Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, terdapat pula syarat-

syarat lain dilakukannya suatu penahanan sebagaimana diatur dalam

Pasal 21 ayat (4) KUHAP, dengan bunyi pasal sebagai berikut:

Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka

atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau

percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana

tersebut dalam hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun

atau lebih;

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

- Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351

ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal

379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459 Pasal

480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

- Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran

terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah

dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471);

- Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak

Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun

1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),;

- Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan

Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Dalam proses penahanan terhadap tersangka, “...harus memenuhi dua

syarat atau alasan yaitu syarat objektif dan syarat subjektif”.58

Yang

57 C. Djisman Samosir, Op.Cit., h.50.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

42

dimaksud dengan syarat objektif yaitu “...syarat tersebut dapat diuji ada

atau tidak oleh orang lain”.59

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat

subjektif yaitu “...hanya tergantung pada orang yang memerintahkan

penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak”.60

“Syarat objektif

tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (4)

sedangkan syarat subjektif untuk melakukan penahanan terhadap

tersangka atau terdakwa adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 21

ayat (1) KUHAP”.61

Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penahanan dapat meminta

kepada Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang

dilakukan penyidik kepadanya, sesuai dengan syarat-syarat untuk

dilakukan penahanan yang telah diuraikan sebelumnya.

2. Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan

Dalam hal memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penuntutan, terdapat beberapa alasan sebagai kemungkinan, yaitu sebagai

berikut:

1) Ne bis in idem yaitu apa yang dipersangkakan kepada tersangka

merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan

putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

58 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit., h.134.

59

Ibid.

60

Ibid.

61

Duwi Handoko, 2015, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Hawa dan AHWA, Pekanbaru,

h. 95.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

43

2) Kadaluarsa untuk menunut sebagaimana diatur dalam KUH Pidana.62

3. Tuntutan Ganti Rugi

Tuntutan ganti rugi ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP, dimana tuntutan

tersebut dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasehat hukumnya

kepada praperadilan di Pengadilan Negeri. Dari bunyi pasal tersebut dapat

dipahami bahwa tunutan ganti kerugian dapat diajukan karena ditangkap, ditahan,

dituntut, dan diadili atau dikenakan “tindakan lain” tanpa alasan yang sesuai

dengan undang-undang, atau kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti

ditangkap, ditahan, atau diperiksa. Yang dimaksud dengan tindakan lain adalah

kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan

yang tidak sah menurut hukum, termasuk juga penangkapan atau penahanan. Hal

tersebut secara jelas dijabarkan dalam penjelasan Pasal 95 KUHAP.

4. Permintaan Rehabilitasi

Praperadilan berwenang memeriksa dan mengadili permintaan rehabilitasi

yang diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasehat hukumnya “...atas

penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-

undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan”.63

62 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit, h.189.

63

M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.6.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

44

2.2.3 Prosedur Pemeriksaan Praperadilan

Tata cara atau prosedur pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh

KUHAP dalam Bab X, Bagian Kesatu, Pasal 79 sampai dengan Pasal 83. Sebelum

membahas mengenai prosedur pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan,

terlebih dahulu akan diuraikan menganai siapa saja yang memeiliki hak untuk

mengajukan permohonan praperadilan, yaitu sebagai berikut:

a. Tersangka, Keluarga, atau Kuasa

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 79 KUHAP yang berbunyi,

“Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau

penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua

pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Pasal 79 mengatur mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan

penahanan yang dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasa

hukumnya. “Kedalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah

atau tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah”.64

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya, dalam hal mengajukan

permintaan pemeriksaan, tersangka, keluarganya, atau kuasanya berhak

mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya Penangkapan;

Penahanan; Penyitaan; dan Penggeledahan.65

80 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.9.

65

M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

45

b. Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan

Hal ini diatur dalam Pasal 80 KUHAP yang berbunyi, “Permintaan untuk

memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan

dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang

berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan

alasannya”.

Bunyi pasal tersebut terlihat bahwa penuntut umum dan pihak ketiga yang

berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau

tidaknya penghentian penyidikan.

“Secara Umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan

perkara pidana, ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang

bersangkutan”.66

Hal ini berarti selain penunutut umum, yang berhak utuk

mengajukan permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan

adalah saksi korban, yaitu yang mengalami langsung dan menjadi korban

dalam peristiwa pidana.

Undang-undang telah memberi hak kepada saksi untuk melakukan

pengawasan terhadap sistem praperadilan sehingga “...pengawasan atas

penghentian penyidikan bukan hanya berada ditangan penuntut umum saja, tapi

diperluas jangkauannya kepada saksi.”67

Pemberian hak kepada saksi ini dapat

dianggap memenuhi tuntutan kesadaran masyarakat.

66 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

67

M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

46

c. Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan

Saat penuntut umum telah melakukan penghentian penyidikan, maka

penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan yang berhak mengajukan

permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan

oleh penuntut umum, kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan

alasannya. “Pada penghentian penyidikan, penuntut umum yang diberi hak

untuk mengawasi penyidik. Sedang dalam penghentian penuntutan, penyidik

yang diberi hak untuk mengawasi”.68

d. Tersangka, Ahli Waris, atau Kuasa

Hal ini sesuatu dengan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi

sebagai berikut:

Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas

penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau

hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang

perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang

praperadilan sebagaimana dimakasud dalam Pasal 77.

Menurut ketentuan Pasal yang telah disebutkan sebelumnya, tersangka,

ahli warisnya, atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada

praperadilan atas alasan:

- Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;

- Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau

68 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.10.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

47

- Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang

perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.69

e. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi

Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 81 KUHAP yang berbunyi,

“Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau

penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan

kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Hal tersebut berarti tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat

melakukan pengajuan tuntutan ganti rugi kepada praperadilan dengan alasan

sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan.

Kalau praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi

alasan kepada tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

mengajukan permintaan ganti kerugian kepada praperadilan. Sebaliknya,

kalau praperadilan menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan atau penuntutan dilanjutkan,

dengan sendirinya menutup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan menuntut ganti kerugian.70

Sedangkan mengenai pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan

dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Permohonan Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

Setiap permohonan yang akan diajukan agar dapat diperiksa oleh

praperadilan harus terlebih dahulu diajukan kepada ketua pengadilan negeri

69 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

70

M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

48

yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan,

penggeledahan atau penyitaan itu dilakukan. Sedangkan dalam hal penghentian

penyidikan atau penuntutan “...diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat

dimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau

penuntutan berkedudukan”.71

b. Permohonan Diregister oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Setelah panitera menerima permohonan, maka diregister yang nomornya

berbeda dengan nomor perkara lainnya. “Segala permohonan yang ditujukan ke

Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa. Administrasi

yustisial Praperadilan dibuat tersendiri terpisah dari administrasi perkara

biasa”.72

c. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera

Setelah permohonan diregister, maka sesegera mungkin ketua pengadilan

negeri menunjuk hakim tunggal dan panitera, hal ini diatur dalam Pasal 78 ayat

(2) KUHAP, yang bunyi pasalnya adalah, “Praperadilan dipimpin oleh hakim

tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang

panitera”.

Setelah ditetapkan hakim tunggal dan panitera, maka selanjutnya adalah

penentuan hari sidang, hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) hurf a KUHAP

yang berbunyi, “Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim

yang ditunjuk menetapkan hari sidang”.

71 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit, h. 193

72

M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

49

d. Penetapan Hari Sidang dan Pemanggilan Para Pihak

Setelah ketua pengadilan negeri menunjuk hakim dan panitera, maka

segera bersidang. Menyangkut hal ini, telah ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1)

huruf c KUHAP yang berbunyi, “Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat

dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan

putusannya”.

Jadi proses pemeriksaan dalam praperadilan “...dilakukan dengan „acara

cepat‟ dan selambat-lambatnya tujuh hari kemudian hakim harus sudah

menjatuhkan putusan”.73

e. Pemeriksaan Dilakukan dengan Hakim Tunggal

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim

tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan

diputus oleh hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam bunyi Pasal 78 ayat (2)

KUHAP, yaitu sebagai berikut, “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal

yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera”.

Sedangkan dalam pemeriksaannya, maka menurut Pasal 82 ayat (1) huruf

b KUHAP, yaitu:

Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan

atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak

sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian

penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk

alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau

pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.

73 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit, h.194.

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH … 2.pdf · hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk 9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum

50

Selanjutnya pada saat “...pemeriksaan telah dimulai, maka menurut Pasal

82 ayat (1) huruf d KUHAP”74

yang menentukan bahwa, “Dalam hal suatu

perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan

mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan

tersebut gugur”.

Maksudnya adalah bahwa jika pokok perkara telah mulai diperiksa oleh

pengadilan negeri sedangkan permohonan pemeriksaan praperadilan belum

selesai, maka permohonan tersebut dainggap gugur.

74 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Loc.Cit.