BAB II UKHUWAH ISLAMIAH - UIN Walisongo Semarang...

22
13 BAB II UKHUWAH ISLAMIAH A. Pengertian Ukhuwah Islamiah 1. Secara Etimologi (kebahasaan) Dari segi bahasa, kata ukhuwah berasal dari kata dasar akhun ( خ ا). Kata akhun ( خ ا) ini dapat berarti saudara kandung/seketurunan atau dapat juga berarti kawan. Bentuk jamaknya ada dua, yaitu ikhwat ( ة ѧ إ) untuk yang berarti saudara kandung dan ( ان ѧ إ) untuk yang berarti kawan. 1 Jadi ukhuwah bisa diartikan “persaudaraan”. Sedangkan ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti memperhatikan. Makna asal kata ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang bersaudara. Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu bapak, atau keduanya maupun dari segi persusuan secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan anti teman akrab atau sahabat. 2 2. Secara Terminologi Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Ukhuwah Islamiah adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan 1 Louis Ma’luf al Yasui, Kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Beirut: Dar al Masyriq), Cet. XXVIII, 1986, hlm. 5. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 486.

Transcript of BAB II UKHUWAH ISLAMIAH - UIN Walisongo Semarang...

13

BAB II

UKHUWAH ISLAMIAH

A. Pengertian Ukhuwah Islamiah

1. Secara Etimologi (kebahasaan)

Dari segi bahasa, kata ukhuwah berasal dari kata dasar akhun (اخ ).

Kata akhun (اخ ) ini dapat berarti saudara kandung/seketurunan atau dapat

juga berarti kawan. Bentuk jamaknya ada dua, yaitu ikhwat ( وة untuk (إخ

yang berarti saudara kandung dan ( وان untuk yang berarti kawan.1 Jadi (إخ

ukhuwah bisa diartikan “persaudaraan”.

Sedangkan ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai

“persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti

memperhatikan. Makna asal kata ini memberi kesan bahwa persaudaraan

mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang bersaudara.

Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya

persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna

tersebut kemudian berkembang dan pada akhirnya ukhuwah diartikan

sebagai setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik

persamaan keturunan, dari segi ibu bapak, atau keduanya maupun dari segi

persusuan secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup

persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi dan perasaan.

Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang

membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan anti teman akrab atau

sahabat.2

2. Secara Terminologi

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Ukhuwah Islamiah adalah

ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan

1 Louis Ma’luf al Yasui, Kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Beirut: Dar al

Masyriq), Cet. XXVIII, 1986, hlm. 5. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 486.

14

kelembutan, cinta dan sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama

diikat dengan akidah Islamiah, iman dan takwa. 3

Ukhuwah Islamiah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat

menyatukan hati semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka

berjauhan, bahasa dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu di

umat Islam senantiasa terikat antara satu sama lainnya, membentuk suatu

bangunan umat yang kokoh.4

Terhadap ukhuwah (persaudaraan) ini, al Ghazali, menegaskan

bahwa persaudaraan itu harus didasari oleh rasa saling mencintai. Saling

mencintai karena Allah Swt dan persaudaraan dalam agama-Nya

merupakan pendekatan diri kepada Allah Swt.5

Adapun maksud Ukhuwah Islamiah menurut Dr. Quraish Shihab

dalam bukunya Wawasan Al-Quran diuraikan bahwa :

“Istilah Ukhuwah Islamiah perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim, sehingga dengan demikian kata lain “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini kurang tepat, kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai ajektifa, sehingga Ukhuwah Islamiah berarti persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam”.6

Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ukhuwah

Islamiah merupakan suatu ikatan jiwa yang kuat terhadap penciptanya dan

juga terhadap sesama manusia karena adanya suatu kesamaan akidah,

iman dan takwa. Adapun dari pendapat ketiga dapat disimpulkan bahwa

ukhuwah Islamiah merupakan suatu persaudaraan antar sesama orang

3 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 5.

4 Musthafa Al Qudhat, Mabda’ul Ukhuwah fil Islam, terj. Fathur Suhardi, Prinsip Ukhuwah dalam Islam, (Solo: Hazanah Ilmu, 1994), hlm. 14.

5 Al Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 152-154. 6 M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 486-487.

15

Islam, bukan karena keturunan, profesi, jabatan dan sebagainya melainkan

karena adanya persamaan akidah.

B. Dasar Ukhuwah Islamiah

Ukhuwah Islamiah merupakan salah satu ajaran Islam yang harus kita

laksanakan, sebagaimana ajaran yang lain, Ukhuwah Islamiah juga

mempunyai atau berdasarkan firman-firman Allah Swt dan juga sabda

Rasulullah Muhammad saw. Dalam al-Quran kata akh (saudara) dalam bentuk

tunggal ditemukan sebanyak 52 kali.7 Kata ini dapat berarti :

1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang

berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang

tertentu, misalnya :

خو كماتمعو كماتوأخو كماتنبو كماتهأم كمليع تمرح كملت )23: النساء (وبنات األخ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki…(Q. S. An Nisa’ : 23)8

2. Saudara yang dijalin dengan ikatan keluarga, seperti bunyi doa Nabi Musa

a.s. yang diabadikan dalam al-Quran :

)30-29: طه( هارون أخي .واجعل لي وزيرا من أهليDan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku” (Q. S. Thaahaa : 29-30). 9

3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama, seperti dalam

firman-Nya :

)65: األعراف (وإلى عاد أخاهم هوداDan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka, Hud.” (Q. S. al-A’raf : 65) 10

7 Ibid, hlm. 487. 8 H. A. Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 23. 9 Ibid, hlm. 478. 10 Ibid, hlm. 232.

16

4. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham

ن هذا أخي له تسع وتسعون نعجة ولي نعجة واحدة فقال أكفلنيها إ )23: ص ( وعزني في الخطاب

Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.(Q. S. Shaad : 23)11

Dalam sebuah hadits Nabi bersabda saw :

انصر أخاك ه قال رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم عن أنس رضى اهللا عن 12)رواه البخاري (ظاملاأو مظلوما

Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya.

Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang

yang menganiaya, beliau menjawab

13تأخذ فوق يديه Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya.

5. Persaudaraan seagama

Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q. S, Al Hujurat ayat 10 :

)10: احلجرات ( إنما المؤمنون إخوةSesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. (Q. S. Al Hujurat : 10)14

C. Sejarah Ukhuwah Pada Zaman Nabi Muhammad Saw

11 Ibid, hlm. 735. 12 Imam Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Kitab Al-

Ilmiah, 1992), hlm. 138. 13 Ibid. 14 Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 486.

17

Kehidupan umat yang dicita-citakan oleh Islam ialah satu umat yang

hidup dalam kerukunan, sejahtera damai dan kompak seperti sebatang tubuh.

Banyak anjuran yang termuat dalam sumber ajaran Islam yang menghendaki

agar umat Islam bersatu, bersandar dalam, kebersamaan, bermusyawarah yang

berasaskan persamaan, keadilan dan kebenaran, saling menasehati, saling

tolong-menolong dan sebagainya. Kehidupan seperti ini pernah terwujud

dalam kehidupan generasi pertama dalam masa dakwah Islamiah (zaman

Nabi).15

Pada waktu Nabi Muhammad saw mulai membangun masyarakat

muslim di Madinah, maka ukhuwah ini menjadi salah satu di antara catur

darmanya: 1) membangun masjid, 2) menggalang ukhuwah Islamiah, 3)

membuat piagam Madinah bersama golongan Yahudi Nasrani, 4) menyusun

garda Nasional/pasukan keamanan.16 Puncak hubungan sosial ini dapat

digambarkan dalam masyarakat Islam yang pertama yaitu persaudaraan kaum

Anshor dan Muhajirin yang dibangun atas dasar cinta yaitu ikatan hidup yang

mengikat masyarakat bagaikan satu bangunan yang kokoh.

Persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Anshar ini bukan hanya

sekedar kolektif, tetapi juga secara individual (semacam saudara angkat)

sehingga diantara mereka mengira dapat saling mewarisi. Disamping antara

mereka terbentuk solidaritas sosial yang selama ini belum pernah mereka

rasakan.17 Mereka telah mengaplikasikan nilai-nilai yang tinggi itu (ukhuwah)

sehingga mereka dapat mencapai menara gading kegemilangan dan

kesempurnaan. Hal ini tidak lain karena mereka selalu berpegang teguh pada

tali keilmuan yang Allah ikatkan di hati mereka. Selain itu mereka juga

menentang siswa yang tidak selaras dengan nilai-nilai keimanan mereka.

Namun apa yang terlihat dalam lintasan sejarah umat Islam setelah Nabi saw

wafat, ialah suatu fenomena yang menggambarkan wajah umat Islam yang

terpcah belah dan bermusuhan satu sama lain.

15 Musthafa al-Qudhaf, Op. Cit., hlm. 24. 16 Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan (Sebuah Wacana Kritis),

(Jakarta: Bina Wiraswasta Insan Indonesia, 2002), hlm. 98. 17 Ibid.

18

Nabi wafat dengan hanya meninggalkan petunjuk bagaimana

seharusnya kaum muslimin hidup dalam bermasyarakat dan bernegara secara

umum. Tidak ada penjelasan terperinci yang berupa wasiat bagaimana

masyarakat dan negara dikelola setelah beliau wafat, ini merupakan masalah

besar umat Islam. Karena tidak ada petunjuk terperinci inliah maka ketika

Nabi wafat, belum lagi jenazahnya disemayamkan di persada bumi, kaum

muslimin sudah terpecah dalam dua ide politik: demokrasi dan hereditary.18

Pada paruhan kedua masa pemerintahan Ustman bin Affan yang

berusia dua belas tahun, gejala perpecahan mulai muncul, lahir kelompok

oposan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang beliau ambil. Tanpa

memperhatikan maksud dan tujuan dari kebijaksanaan khalifah, mereka

menolak pengangkatan pejabat-pejabat negara yang berasal dari satu klan dan

khalifah. Mereka menuduh Utsman menganut nepotismen dan menggunakan

uang negara untuk mendapat dukungan politik. Ustman tewas diujung pedang

kelompok penentang.

Kewafatan ustman melahirkan tiga kelompok kaum muslimin yang

berdiri saling berhadapan. Pertama mendukung Ali bin Abi Thalib. Kedua,

mendukung muawiyah Ibn Abu Sufyan. Ketiga namakanlah kelompok Jamal

terdiri dari penduduk Madinah di bawah pimpinan Aisyah, Thalhah dan Az-

Zubeir. Pertentangan Ali dan Mu’awiyah mengulang kembali sejarah lama

yakni perang antara Byzantium dengan Persia di masa pra Islam.

Tahkim Shuffin yang merupakan hasil perundingan di Adruh selama

enam bulan antara pihak Ali dan pihak Mu’awiyah melahirkan perpecahan di

kubu Ali yang berakibat lahir pula kelompok politik baru. Denan terjadinya

perpecahan di kubu Ali, maka muncullah ide politik yakni Syiah, Khawarij

dan Dinasti (pendukung Mu’awiyah) ketiga kelompok ini antara satu sama

lain slaing bermusuhan dan berbunuh maka sejarah pun mencatat begitu

banyak darah kaum muslim tertumpah membahasi bumi, hanya karena

18 Nouruzzaman Ash-Shidqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), hlm. 166.

19

perbedaan pandangan politik. Satu tragedy yang berakibat panjang, sampai

sekarang. Ukhuwah Islamiah makin dilupakan.

Dinasti Umaiyah yang berkedudukan di Damaskus bertahan hidup

hanya satu abad. Dia diganti oleh dinasti Abasiyah yang berkedudukan di

Baghdad. Dinasti Abasiyah walaupun pada segi perkembangan budaya

memperlihatkan prestasi cemerelang sehingga mampu menempatkan diri

sebagai pemegang obor penerang dunia, namun mereka tetap tidak mampu

melahirkan ukhuwah.19

Dengan terjadinya keberagaman dalam ide politik dan perbedaan-

perbedaan dalam apa yang dianggap sebagai kepentingan nasional, maka

benturan-benturan yang terjadi adalah hal yang sukar terelakan. Ini memang

suatu hal yang tragis dan sangat menyedihkan, namun adalah suatu kenyataan.

Sekarang timbul pertanyaan apakah terhadap hal ini belum ada pemikiran atau

upaya-upaya menemukan jalan keluarnya. Jawabannya, sudah. Namun hasil

yang menggembirakan belum menampakkan diri.

Untuk melahirkan kerukunan sesama muslim demi tegaknya persatuan,

ada enam langkah atau upaya yang layak dikerjakan. 1) menghilangkan sikap

fanatisme golongan, 2) menghindari sengketa masalah cabang agama

(furu’iyah), 3) mengutamakan persatuan, 4) menumbuhkan rasa kebersamaan,

5) mencegah lahirnya berbagai macam fatwa sebagai hasil ijtihad, maka

sebaiknya dilakukan secara kolektif, dan 6) pengertian tentang umat Islam,

harus mencakup semua orang yang mengaku dirinya muslim tanpa

memperhatikan sikap dan pandangan politiknya.20

D. Tujuan Ukhuwah Islamiah

Agama Islam sebagai Dienullah yang hak bagi seluruh manusia. Nilai-

nilai ajarannya meliputi dan menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia

yang sangat kompleks. Kesempurnaan ajarannya Islam mampu memberikan

respon positif terhadap seluruh persoalan dalam aspek kehidupan manusia

dan masyarakat.

19 Ibid. 20 Ibid. hal. 172-173.

20

Pada hakikatnya, setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat

berkeinginan untuk hidup dengan damai, aman, tenteram, penuh kebahagiaan

dan sejahtera. Kondisi seperti ini, sebagaimana dicita-citakan Islam,

melukiskan gambaran masyarakat ideal yang diibaratkan organ tubuh

manusia. Banyak anjuran yang termuat dalam al-Quran menghendaki agar

manusia bersatu dalam kebersamaan dan permusyawaratan yang berazaskan

kebersamaan, keadilan dan kebenaran, saling tolong-menolong, saling

menasihati dan sebagainya.

Salah satu di antara landasan pokok Islam, di samping azas persamaan

dan keadilan ialah azas persaudaraan yang dalam istilah Islam biasa disebut

ukhuwah. Ukhuwah/persaudaraan itu dapat didukung oleh bermacam-macam

tali dan ikatan. Adakalanya karena pertalian darah dan keturunan (biologis,

karena hubungan perkawinan, ikatan keluarga, budaya adat dan lain-lain).

Berbeda dengan persaudaraan Islam, tali yang menghubungkannya

yakni akidah, persamaan kepercayaan yang diperkuat pula oleh ruh dan

semangat ketaatan yang sama kepada pencipta alam semesta ini.

Adapun salah satu tampilan yang menjadi ciri khas muslim sejati yakni

cintanya kepada sesama saudara seiman. Sebuah cinta yang tidak ternoda oleh

kecenderungan-kecenderungan duniawi atau hasrat-hasrat yang tersembunyi.

Ini merupakan cinta persaudaraan sejati yang kemurniannya diturunkan dari

cahaya petunjuk Islam. Pengaruhnya terhadap perilaku manusia sangat unik

dalam sejarah hubungan manusia. Ikatan yang menghubungkan seorang

muslim dengan saudaranya, tanpa memandang ras, warna kulit atau bahasa

merupakan ikatan iman kepada Allah.

Persaudaraan karena iman merupakan ikatan yang kuat antara hati dan

pikiran. Tidak mengherankan perasaan persaudaraan/ukhuwah ini akan

melahirkan perasaan-perasaan mulia dalam jiwa seorang muslim dan

membentuk sikap positif serta menjauhkan sikap-sikap negatif.

21

Adapun akhlak terhadap sesama muslim yang diajarkan oleh syariat

Islam secara garis besarnya menurut K.H. Abdullah Salim sebagai berikut : 21

1. Menghubungkan tali persaudaraan 2. Saling tolong-menolong 3. Membina persatuan 4. Waspada dan menjaga keselamatan bersama 5. Berlomba mencapai kebaikan 6. Bersikap adil 7. Tidak boleh mencela dan menghina 8. Tidak boleh menuduh dengan tuduhan fasiq atau kafir 9. Tidak boleh bermarahan 10. Memenuhi janji 11. Saling memberi salam 12. Menjawab bersin 13. Melayat mereka yang sakit 14. Menyelenggarakan pemakaman jenazah 15. Membebaskan diri dari suatu sumpah 16. Tidak bersikap iri dan dengki 17. Melindungi keselamatan jiwa dan harta 18. Tidak boleh bersikap sombong 19. Bersifat pemaaf

Sifat-sifat dan akhlak yang harus dipelihara dan yang harus

disingkirkan di atas dimaksudkan untuk membina persaudaraan dan

persahabatan juga untuk memelihara persatuan ukhuwah Islamiah.

E. Macam-macam Ukhuwah Islamiah

Dilihat dari segi bentuknya, bahasa tentang ukhuwah Islamiah dalam

al-Quran muncul dalam dua bentuk, yaitu jamak dan tunggal. Bentuk tunggal

dengan memakai kata akh (saudara laki-laki) dan kata ukht (saudara

perempuan). Adapun bentuk jamaknya memakai kata ikhwan, akhwat dan

ikhwat.

Ukhuwah pada mulanya berarti persamaan dan keserasian dalam

banyak hal. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan

persaudaraan dan persamaan dalam sifat-sifat mengakibatkan persaudaraan.22

21 Abdullah Salim, Akhlak Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta: Media

Dakwah, 1994), hlm. 123-153. 22 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan

Masyarakat, (Mizan: Bandung, 1995), hlm. 358.

22

Contoh beberapa ayat di depan yang mengisyaratkan bentuk atau jenis

“persaudaraan” yang disinggung oleh al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan

bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam

persaudaraan.23 Adapun empat macam ukhuwah tersebut adalah :

1. Ukhuwah Ubudiyah

Ukhuwah Ubudiyah atau saudara kesemakhlukan dan

kesetundukan kepada Allah yaitu bahwa seluruh makhluk adalah

bersaudara dalam arti memiliki persamaan.24

2. Ukhuwah Insaniyah

Ukhuwah Insaniyah atau saudara sekemanusiaan adalah dalam arti

seluruh manusia adalah bersaudara. Karena mereka semua bersumber dari

ayah ibu yang satu yaitu Adam dan Hawa.25 Hal ini berarti bahwa manusia

itu diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Q.S. Al

Hujurat : 13).26

Demikian al-Quran memandang semua manusia mengisyaratkan

adanya Ukhuwah Insaniyah sebab dalam persaudaraan ini juga tidak

memandang perbedaan agama, bahkan persaudaraan ini merupakan

persaudaraan dalam arti yang umum sehingga tidak dibenarkan adanya

saling menyakiti, mencela atau perbuatan buruk lainnya.

3. Ukhuwah Wathaniyah Wa Nasab

Ukhuwah Wathaniyah Wa Nasab yaitu persaudaraan dalam

kebangsaan dan keturunan. Ayat-ayat macam ini banyak dan hampir

mendominasi semua ukhuwah. Sebagaimana dikemukakan oleh Quraish

Shihab tentang macam-macam makna akh (saudara) dalam al-Quran yaitu

dapat berarti :

a. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti ayat yang berbicara tentang warisan atau keharaman menikahi orang-orang tertentu.

b. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga

23 TIM Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly PP. Salafiyah Sukorejo Situbondo, Fiqh

Rakyat : Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm, 14. 24 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 358. 25 Ibid. 26 R. H. A. Soenarjo, Al-Quran… Op. Cit., hlm. 847.

23

c. Saudara dalam arti sebangsa walaupun tidak seagama. d. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham. e. Saudara seagama.27

Sebenarnya jika dilihat lebih jauh saudara seketurunan dan

saudara sebangsa ini merupakan pengkhususan dari persaudaraan

kemanusiaan. Lingkup persaudaraan ini dibatasi oleh suatu wilayah

tertentu. Baik itu berupa keturunan, masyarakat ataupun oleh suatu bangsa

atau negara.

4. Ukhuwah fi Din al Islam

Ukhuwah fi Din al Islam adalah persaudaraan antar sesama

muslim. Lebih tegasnya bahwa antar sesama muslim menurut ajaran Islam

adalah saudara. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hujurat ayat 10 :

ا الممونإنمحرت لكملع قوا اللهاتو كميوأخ نيوا بلحة فأصوون إخمنؤ )10:احلجرات(

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.28

Ukhuwah fi Din al Islam mempunyai kedudukan yang luhur dan

derajat yang tinggi dan tidak dapat diungguli dan disamai oleh ikatan

apapun.29 Ukhuwah ini lebih kokoh dibandingkan dengan ukhuwah yang

berdasar keturunan, karena ukhuwah yang berdasarkan keturunan akan

terputus dengan perbedaan agama, sedangkan ukhuwah berdasarkan

akidah tidak akan putus engan bedanya nasab.30 Konsep ukhuwah fi Din al

Islam merupakan suatu realitas dan bukti nyata adanya persaudaraan yang

hakiki, karena semakin banyak persamaan maka semakin kokoh pula

persaudaraan, persamaan rasa dan cita. Hal ini merupakan faktor dominan

yang mengawali persaudaraan yang hakiki yaitu persaudaraan antar

27 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 487-488. 28 R. H. A. Soenarjo, Al-Quran… Op. Cit., hlm. 846. 29 Nashir Sulaiman al-Umar, Tafsir Surat al Hujurat : Manhaj Pembentukan Masyarakat

Berakhlak Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994), hlm. 249. 30 Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh al Ukhuwah fi al Islam, Terj. Hawn Murtahdo, Merajut

Benang Ukhuwah Islamiah, (Solo: Era Intermedia, 2000), hlm. 14.

24

sesama muslim. Dan iman sebagai ikatannya. Implikasi lebih lanjut adalah

dalam solidaritas sosialnya bukan hanya konsep take and give saja yang

bicara tetapi sampai pada taraf merasakan derita saudaranya.31

Kaum muslimin tidak dapat mencapai tujuan-tujuannya, yaitu

mengaplikasikan syariat Allah ditengah-tengah manusia kecuali jika

mereka bekerja sama dalam amalnya. Persaudaran disini bukan hanya

berarti kerja sama, saling mengenal atau saling dekat, karena persaudaraan

dalam Islam lebih kuat dari segala pengertian saling mengenal, saling

mengerti, saling membantu dan solidaritas. Makna-makna ini hanya dapat

diperkuat dan ditingkatkan dengan persaudaraan dalam Islam mendorong

tercapainya keharmonisan dan menghilangkan persaingan dan permusuhan

pada diri manusia dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Karena,

persaudaraan ini mengharuskan adanya rasa cinta dan kebencian karena

Allah, yaitu cinta kepada orang yang memegang kebenaran, kesabaran dan

ketakwaan serta membenci orang yang memegang kebatilan, mengikuti

hawa nafsu serta berani melanggar keharaman yang telah digariskan

Allah.32

Seorang mukmin haruslah menyadari dan memahami makna

tentang persaudaraan ini, sehingga mengakui orang mukmin lainnya

sebagai saudaranya. Dari sini akan timbul suatu kerja sama dan gotong

royong sehingga terciptalah suatu masyarakat muslim yang serasi dan

harmonis.

Akhirnya terbentuklah suatu masyarakat yang ideal, yaitu sosok

masyarakat yang diwarnai oleh jalinan solidaritas sosial yang tinggi, rasa

persaudaraan yang solid antar manusia. Sebagaimana dalam sejarah

manusia. Masyarakat seperti ini pernah eksis dalam masyarakat madani

yang dibina Rasul saw. Sesama warganya terjalin cinta, semangat gotong

royong dan kebersamaan yang tinggi.

31 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 491. 32 Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas : Tanggung Jawab Muslim dalam

Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 140.

25

F. Faktor-faktor Penunjang Persaudaraan

Ukhuwah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, merupakan suatu

kondisi saling berhubungan dan saling keterikatan dengan dasar saling

mencintai diantara dua orang, atau dalam hal ini antara orang-orang mukmin

karena keimanan mereka. Maka diantara mereka harus saling mencintai dan

seorang mukmin hendaknya memperlakukan mukmin lain selayaknya saudara

sendiri dan melaksanakan hak-hak yang ada di antara mereka.

Ukhuwah (persaudaraan) tidak lahir begitu saja. Lahirnya ukhuwah

disebabkan adanya suatu faktor penunjang, yaitu faktor persamaan. Misalnya,

persamaan keturunan, suku, bangsa, ideologi, keyakinan (agama) dan

sebagainya. Oleh karena itu, semakin banyak faktor persamaan yang ada maka

akan semakin memperkokoh ukhuwah tersebut.

Seseorang yang lebih terikat dalam ikatan ukhuwah itu akan

mempunyai rasa cinta saudaranya dan ia akan merasakan derita saudaranya.

Dia juga akan dengan suka dan rela mengulurkan tangannya untuk membantu

saudaranya meskipun dirinya sendiri dalam keadaan serba kekurangan.33

Dalam hal ini, faktor penunjang lahirnya ukhuwah adalah persamaan

iman (akidah). Persamaan iman antar mukmin itu menjadikan mereka

bersaudara. Di antara mereka terdapat tali Allah (hablullah) yang mengikat

erat. Mereka telah disadarkan agar supaya jangan merusak persaudaraan itu

dengan percerai-beraian karena alasan apapun.34 Keimanan merupakan unsur

pengikat dalam rangka upaya menumbuhkan dan membina ukhuwah tersebut.

Ikatan akidah itu lebih kuat daripada ikatan darah dan keturunan. Ikatan ini

merupakan pondasi yang kokoh bagi suatu bangunan yang dinamakan

Ukhuwah Islamiah.35 Bagi setiap mukmin, ukhuwah merupakan suatu

konsekuensi logis daripada keimanan mereka. Iman dan ukhuwah merupakan

dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Seorang mukmin seharusnya menyadari sepenuh hati bahwa muslim

lain merupakan saudaranya sendiri. Adapun mereka berbeda sebagai bangsa,

33 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 34 Ali Yafie, Op. Cit., hlm. 195. 35 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1993), hlm, 231.

26

warna kulit, bahasa dan adat istiadat, itu tidak akan menghilangkan sifatnya

sebagai saudara. Persaudaraan Islam didasarkan pada tali agama dan

kesamaan iman serta penyerahan diri kepada Allah Swt. Persatuan umat Islam

diikat dengan semangat tolong menolong saling menghormati persamaan hak

dan kewajiban, cinta kasih dan sebagainya. Ukhuwah Islamiah tidak

memandang perbedaan bangsa dan keturunan, warna kulit, pangkat derajat

atau kekayaan.36 Mereka harus saling menjaga hubungan diantara mereka agar

terbina ukhuwah yang harmonis. Mereka harus mencintai saudaranya yang

seiman itu sebagaimana halnya dia mencintai dirinya sendiri. Keimanan itu

mampu menumbuhkan cinta kasih yang mendalam, yang kemudian

diwujudkan dalam beberapa bentuk sikap dan perilaku luhur dan positif yang

sarat dengan akhlakul karimah dan solidaritas sosial yang mendalam.37

Adanya sikap saling mencintai akan tercipta suatu tatanan kehidupan

sosial yang harmonis dan dinamis di kalangan umat mukmin khususnya dan

dikalangan masyarakat umumnya.

G. Petunjuk Al-Quran untuk Memantapkan Ukhuwah

Guna memantapkan ukhuwah tersebut pertama kali al-Quran

menggarisbawahi bahwa perbedaan merupakan hukum yang berlaku dalam

kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Illahi. Juga

demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk

dipentas bumi. Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya

diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak

bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena

hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.

Seorang muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan

pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak

mungkin berada diluar kehendak Illahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat

memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu

36 Moedjono Sosrodirdjo, Ungkapan dan Istilah Agama Islam, (Jakarta: Pradnya Paramita,

t.t.), hlm. 134 37 Sahal Mahfudh, Op. Cit., hlm. 231.

27

tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya “mati” atau memaksa orang

lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan mereka.

Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt

memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang

diperintahkan. Adapun petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan

persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam, sebagai

berikut:38

1. Untuk memantapkan persaudaraan dalam arti umum, Islam

memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai

khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara,

membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan

tujuan penciptaannya. Karena itu Nabi Muhammad saw. juga melarang

memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang

sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi

Muhammad saw juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan

segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak

mengenal istilah “Penaklukan alam”, karena secara tegas al-Quran

menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah.

Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia

tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas

penundukan Illahi.39

Selain tugas khalifah manusia harus membina peradaban dan

kebudayaan diatas bumi sesuai dengan petunjuk Allah, atau dengan istilah

mu’amalah ma’allah dan mu’amalah ma’al khalqi. Sesungguhnya tugas

khalifah manusia adalah juga merupakan tugas ibadah dalam arti luas.

karena penunaian khalifah itu merupakan kebaktian juga kepada Allah.40

Pengangkatan manusia sebagai khalifah Allah (khalifatullah)

memang dikehendaki-Nya. Untuk memahami kehendak-Nya, diperlukan

telaah, fakta, faktor, fungsi dan peran. Kenyataannya, peran khalifah itu

38 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 491-492. 39 Ibid, hlm. 492-493. 40 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1973), hlm. 144-145.

28

memerlukan syarat-syarat tertentu yaitu seluruh nama-nama benda. Yang

karena sistem penamaan itu tenaga (malaikat) menjadi sujud (sistematik)

kecuali iblis yang enggan sujud karena ia tertutup oleh kesombongan diri

ke-akuan-nya. Dalam hal ini dapat dilihat kegagalan iblis membedakan

fakta, faktor, fungsi dan peran. Iblis merasa superior dari asal usulnya,

karena ia berasal dari api sedangkan Adam berasal dari tanah. Padahal,

yang Allah wajibkan untuk disujudi adalah Adam yang memerankan

peran “ketuhanan” yaitu yang agendanya, sistem naitnya, sepenuhnya

tumbuh dengan iradahnya. Jadi bukanlah Adam himself melainkan Adam

yang bismillah, yang illah, billah, yang ikhlas.41

Sebagai penguasa di bumi, manusia berkewajiban membudayakan

alam ini guna menyiapkan kehidupan yang bahagia. Tugas dan kewajiban

itu merupakan ujian Tuhan pada manusia. Siapa diantaranya yang paling

baik menunaikan amanah itu. Dalam pelaksanaan kewajiban dan amanah,

semua adalah sama berdasar bidang masing-masing.

Semua manusia diciptakan dari satu asal yang sama. Tidak ada

kelebihan yang satu dari yang lainnya, kecuali yang paling baik dalam

menunaikan fungsinya sebagai khalifah Tuhan di bumi, yang lebih banyak

manfaatnya bagi kemanusiaan, dan yang paling takwa kepada Allah Swt.

Perbedaan ras, dan bangsa hanya sebagai pertanda dan identitas dalam

pergaulan Internasional.

Demikian Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia.

Atas dasar prinsip persamaan itu maka setiap orang mempunyai hak dan

kewajiban yang sama. Islam tidak memberikan hak-hak istimewa bagi

seseorang atau golongan lainnya, baik dalam bidang kerohanian, maupun

dalam bidang politik sosial dan ekonomi. Setiap orang mempunyai hak

yang sama dalam kehidupan masyarakat dam masyarakat mempunyai

kewajiban bersama atas kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Karenanya

41 Machendrawaty, M. Ag., & Agus Ahmad Safei, M. Ag., Pengembangan Masyarakat

Islam Dari Ideologi Strategi Sampai Tradisi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 150.

29

Islam menentang setiap bentuk diskriminasi karena keturunan, maupun

karena warna kulit, kesukuan, kebangsaan dan kekayaan.42

2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam

memperkenalkan ajaran

)6: الكافرون ( لكم دينكم ولي دينUntukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku43

Al-Quran juga mengajurkan agar mencari titik singgung dan titik

temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi

sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing

mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.44

Dalam bahasa al-Quran, titik persamaan itu adalah kalimah sawa’.

Diantara titik persamaan tersebut adalah penciptaan sesuatu kehidupan

bermoral yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam segala

aspek kehidupan manusia. Sesuai blue print Tuhan yang diberikan kepada

manusia melalui teks-Nya yang disampaikan oleh Isa as dan Muhammad

saw.45

Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan

umatnya untuk menyampaikan kepada agama lain, setelah kalimat sawa’

(titik temu) tidak dicapai.

Jalinan persaudaraan antara seorang muslim dan non muslim sama

sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak

kaum muslim. Dalam monoteisme, kekuatan supranatural itu dipandang

sebagai Tuhan pencipta alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Ini

mengandung arti bahwa manusia seluruhnya merupakan makhluk Tuhan.

Manusia sebenarnya bersaudara. Manusia seluruhnya adalah bersaudara,

dalam arti bahwa sesungguhnya mempunyai keyakinan agama yang

42 Nasruddin Razak, Op. Cit., hlm. 27-28. 43 Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 1112. 44 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 493. 45 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan,

1999), hlm. 117.

30

berlainan, mereka tetap bersaudara dipandang dari sudut asal, mereka

sama-sama makhluk Tuhan.46

Islam bersikap toleran terhadap agama-agama monoteisme lain,

terutama agama Yahudi dan Kristen. Dengan kedua agama ini Islam

mempunyai hubungan yang erat. Islam mengakui bahwa kedua agama ini

berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran dasar yang

disampaikan kepada Yesus adalah sama dengan ajaran yang disampaikan

kepada Nabi Muhammad. Ajaran dasar yang dimaksud ialah Islam, yaitu

percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menyerahkan diri kepada-Nya.

Bukti bahwa Islam bersifat toleran terhadap agama lain yaitu

diperbolehkannya pria Islam mengikat perkawinan dengan wanita Yahudi

dan Kristen dengan tidak disyaratkan harusnya wanita yang bersangkutan

mengubah agamanya. Islam memperbolehkan umatnya mengadakan

bukan hanya hubungan persaudaraan, malahan hubungan yang lebih erat

lagi, yaitu hubungan perkawinan.47

Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada

agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama yang lain.

Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam

agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas

dari jalan yang salah dan sesat. Terserahlah kepada manusia memilih jalan

yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan yang akan membawa

kepada keselamatan dan mana jalan yang salah yang akan membawa pada

kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya.

Manusia telah dewasa dan mempunyai akal, tidak perlu dipaksa, selama

kepadanya telah dijelaskan perbedaan antara jalan salah dan jalan benar.

Kalau ia memilih jalan salah ia harus berani menanggung resikonya yaitu

kesengsaraan kalau ia takut pada kesengsaraan, harusla ia memilih jalan

benar.

46 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 493-494. 47 Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996),

hlm. 272-273.

31

Dalam hubungan ini ayat 29 surat al-Kahfi mengatakan :

kebenaran telah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau percaya, percayalah dan

siapa yang tak mau janganlah ia percaya. Ayat ini memberikan

kemerdekaan bagi orang untuk percaya kepada ajaran yang dibawa Nabi

Muhammad dari tidak percaya kepada-Nya. Manusia tidak dipaksa untuk

percaya kepada-Nya.48

3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama muslim. Al-Quran

pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap

lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan antar mereka.

Al-Quran menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan

memerintahkan untuk melakukan Islah (perbaikan hubungan) jika

seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang (kelompok) kaum

muslim.

Manusia marah terhadap manusia lain adalah wajar, tetapi

kemarahan yang berlarut-larut merupakan pelanggaran terhadap ajaran

agama. Kalau dikatakan bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa,

maka berarti setiap manusia pasti mempunyai kesalahan dan kelalaian.

Seorang yang marah terhadap kesalahan orang lain, kecuali orang lain itu

secara berulang-ulang dan sengaja membuat kesalahan, merupakan orang

yang sombong, seakan-akan dirinya tidak pernah salah. Oleh karena itu,

Islam mengajarkan apabila ada seorang muslim bermarahan kepada

sesamanya, tidak boleh lebih tiga hari.49

Al-Quran juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari

prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta

menggunjing, yang diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri

yang telah meninggal dunia.

Purbasangka merupakan satu sikap jiwa yang senantiasa diliputi

oleh sakwasangka atau curiga. Akibat purbasangka itu dapat meruntuhkan

suatu bangunan yang telah lama dibina dengan susah payah. Umpamanya,

48 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 494-495. 49 Abdullah Salim, Akhlaq : Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta:

Media Dakwah), hlm. 138-139.

32

jika seorang suami atau seorang isteri ataupun kedua-duanya dihinggapi

oleh penyakit tersebut, maka hilanglah kerukunan dan ketenangan dalam

rumah tangga. Akhirnya, timbullah disharmoni, kericuhan dan

pertengkaran, dan kemudian terjadi perceraian dengan segala akibat-

akibatnya yang menghancurkan.

Demikian halnya dalam hubungan pribadi dengan pribadi. Dalam

kehidupan bertetangga, bermasyarakat dan lain-lain. Selama penyakit yang

demikian masih terlingkung dalam hubungan pribadi dengan pribadi,

maka akibatnya hanyalah dirasakan oleh orang-orang yang bersangkutan

saja, atau paling tinggi oleh keluarga-keluarga yang terdekat, seumpama

istri, anak dan lain-lain. Tapi jika purbasangka itu hinggap ke lingkungan

yang lebih luas, maka ia akan menjelma menjadi semacam penyakit

kanker yang akan merusak keseluruhan tubuh masyarakat.

Akibat purbasangka itu dapat menghilangkan hak-hak manusia,

mengenyampingkan perasaan kemanusiaan, memperkosa keadilan,

meruntuhkan kebenaran, menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan.50

Menarik untuk diketengahkan bahwa al-Quran dan hadits Nabi

saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwah), tetapi yang

ditempuhnya adalah memberikan contoh praktis. Pada umumnya contoh-

contoh tersebut berkaitan dengan sikap kewajiban. Misalnya melarang

mengolok-olok orang lain.

Semua itu wajar karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap

lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang

berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Inipun

dimengerti bukan saja karena at takhliyah (menyingkirkan yang jelek)

harus di dahulukan daripada at tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan),

melainkan juga karena melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan

lawannya, demikian pula sebaliknya.

50 M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup 3, (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 188-189.

33

Semua petunjuk al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw. yang

berbicara tentang interaksi antar manusia pada akhirnya bertujuan untuk

memantapkan ukhuwah.

H. Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah

Persamaan dalam bidang akidah dan toleransi dalam bidang furu’

apabila dipahami secara benar, pasti akan dapat mengantarkan kepada

pemantapan ukhuwah Islamiah, baik toleransi tersebut didasari oleh :51

a. Konsep tanawwu’ al ibadah (keragaman cara beribadah)

Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi

Muhammad saw. dalam bidang pengalaman agama, yang mengantakankan

pada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama

semuanya itu merujuk kepada Rasulullah saw. Anda tidak perlu

meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini,

agama tidak menggunakan pertanyaan, berapa hasil 5 + 5 ?’, melainkan

yang dipertanyakan adalah jumlah sepuluh itu merupakan hasil

penambahan berapa tambah berapa ?”

b. Konsep al mukhti’I fi al-ijtihad lahu ajr (yang salah dalam berijtihad pun

(menetapkan hukum) mendapatkan ganjaran).

Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang

ulama, ia tidak akan berdosa. Bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah

Swt., walaupun penentuan yang benar dan salah bukan wewenang

makhluk, tetapi wewenang Allah Swt yang perlu digaris bawahi, bahwa

yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti

haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah

melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum)

setelah mempelajari dengan seksama dalil-dalil keagamaan (al-Quran dan

sunnah).

51 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 359.

34

c. Konsep al hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah belum

menetapkan suatu hukum sebelum ijtihad dilakukan oleh seorang

mujtahid).

Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah

bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda.

Sama halnya dengan gelas-gelas kosong yang disodorkan oleh tuan rumah

mempersilahkan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia

di atas meja dan mengisi gelasnya penuh atau setengah. Sesuai dengan

selera dan kehendak pengisi. Jangan mempermasalahkan seseorang yang

mengisi gelasnya dengan kopi, dan andapun tidak wajar dipersalahkan jika

memilih setengan air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.

Menurut al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. tidak

selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah

Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu

sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-

Quran dan sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor antara lain

lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi dan tentu saja tingkat kecerdasan dan

pemahaman masing-masing mujtahid.

Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati

dengan menyebutnya, “pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru dan

pendapat anda menurut hemat kami keliru tetapi mungkin saja benar.”

Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa

sebagai manusia mereka mempunyai keterbatasan dan dengan demikian,

tisdak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan

bahwa interpretasinyalah yang paling benar.52

52 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 497-498.