BAB III AYAT-AYAT KECERDASAN EMOSI DAN TAFSIRNYA A ...digilib.uinsby.ac.id/1034/5/Bab 3.pdf · 3M....
Transcript of BAB III AYAT-AYAT KECERDASAN EMOSI DAN TAFSIRNYA A ...digilib.uinsby.ac.id/1034/5/Bab 3.pdf · 3M....
47
BAB III
AYAT-AYAT KECERDASAN EMOSI DAN TAFSIRNYA
A. Identifikasi Ayat Kecerdasan Emosi
Emosi merupakan sesuatu yang ada dalam diri manusia. Sebagai sisi
dalam, emosi seringkali mempengaruhi manusia dalam bertindak. Hal ini
tidak dapat dipungkiri, dikarenakan emosi adalah bagian dari potensi jiwa
yang melekat dalam diri manusia.
Kecerdasan emosi secara sederhana dapat dipahami sebagai
kecerdasan memahami diri (knowing self) dalam rangka mengidentifikasi
serta mengatur segala emosi untuk membangun nilai diri (personal values)
serta meningkatkan kesadaran diri (self awareness).1
Term kecerdasan emosi memang secara eksplisit tidak ditemukan
dalam al-Qur’an, namun secara implisit nilai-nilai kecerdasan emosi
terkandung dalam beberapa ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, pada penelitian
ini penulis mengambil pendekatan semantik dengan cara melakukan
penelusuran melalui aspek kebahasaan.
Ada banyak istilah yang digunakan al-Qur’an dalam membicarakan
tentang sisi dalam diri manusia. Di antara kosa kata itu adalah al-nafs, al-
qalb, al-‘aql, al-ru>h dan juga al-fit}rah. Masing-masing istilah itu memiliki
penekanan tersendiri dalam menggambarkan sisi tertentu manusia.
Sehubungan dengan tema kecerdasan emosi, maka penelitian ini
1 Christine Wilding, Great Emotional Intelligence, (London: Hodder Education, 2011), 3.
48
memfokuskan pada ayat-ayat yang berhubungan dengan kejiwaan manusia
sebagai bagian dari sisi dalam diri manusia.
Dalam bahasa Arab, kata emosi-emosional dibahasakan dengan
nafsa>ni> atau infi’a>li>, akan tetapi kata nafs-nafsa>ni> dengan segala bentuk
perubahannya lebih banyak dipakai dalam al-Qur’an dari pada kata infi’a>li>.2
Sebagai pijakan dalam mencari ayat-ayat yang berhubungan dengan
kecerdasan emosi, maka dalam penelitian ini mengambil term nafs.
Fokus pembahasan mengacu pada term nafskarena kata tersebut
mengandung makna aspek dan dimensi jiwa manusia yang meliputi nafsu,
jiwa, diri serta daya dorong untuk bertindak. Secara umum dalam konteks
pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang
berpotensi baik dan buruk.3
Kata nafs dengan berbagai derivasinya banyak ditemukan diberbagai
ayat. Al-Qur’an menggunakan kata tersebut dalam berbagai bentuk kata
jadian. Kata nafs di dalam al Qur’an terulang sebanyak 297 kali, masing-
masing dalam bentuk ism sebanyak 140 kali, dalam bentuk jamak terdapat
dua versi, yaitu nufu>s sebanyak 2 kali dan anfus sebanyak 153 kali, sedang
dalam bentuk fi’il (kata kerja) ada 2 kali yakni tanaffasa, yatanaffasu.4
2 Atabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 425. 3M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), 286. 4 Muh}ammad Fuad Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al Mufahras Li al-Fa>z} al Quran al-Kari>m (Beirut: Da>r al Ma’rifah, 2002), 931-933 ; Muhammad Hasan al-Humashi, Tafsi>r wa Baya>n Mufrada>t al-Qur’an Ma’a al-Asba>b al-Nuzu>l Li al-Suyut}i> Ma’a Faha>ris Ka>milati Li al-Mawa>dhi’i wa al-Fa>z} (Beirut: Muassasah al-Ima>n, 1999), 217-218.
49
Sebagian besar ayat-ayat yang menggunakan termnafs menunjuk
pada diri manusia,karena term nafs mengandung arti totalitas manusia baik
itu dari fisik (diri) maupun psikis (jiwa).5Dalam menunjuk diri manusia,
istilah nafs juga memiliki beragam makna. Diantaranya bermakna totalitas
manusia, sebagaimana ayat berikut.
6
oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.7
Kata nafs dalam ayat tersebutmenunjukkan totalitas manusia baik
secara fisik maupun psikis. Pada ayat yang lain, kata nafs menunjuk pada apa
yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku,
sebagaimana ayat berikut.
5 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 94. 6 al-Qur’an, 5 : 32. 7 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 113.
50
8
bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.9
Kata ma> bi anfusihim (apa yang ada dalam diri mereka) menunjukkan
bahwa ada sesuatu di dalam nafs yang dapat berubah dan pada gilirannya
akan menghasilkan perubahan tingkah laku.
Secara fungsional, nafs merupakan wadah yang dapat menampung
sekaligus mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik atau pun
buruk. Allah telah memberi ilham pada nafs sehingga nafs memiliki potensi
positif dan juga negatif sebagaimana firman-Nya.
10
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.11 Kata alhamaha> (memberi ilham), memiliki makna bahwa pada
hakikatnya potensi baik dan buruk melekat pada nafs, untuk itulah manusia
8 al-Qur’an, 13 : 11. 9 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 250. 10 al-Qur’an, 91 : 8-10. 11 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 595.
51
senantiasa dituntut memelihara kesucian nafs-nya dan dilarang untuk
mengotorinya.
Dari beberapa ayat yang menggunakan kata nafs dengan segala
bentuk derivasinya, tidak semuanya membahas tentang diri manusia. Hal ini
dikarenakan kata nafs juga digunakan al-Qur’an untuk menunjuk diri Tuhan,
sebagaimana ayat berikut.
12
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.13
Banyaknya ayat yang memiliki akar kata nafs tersebut, perlu diberi
batasan yang sekaligus mampu menjadi sampling yang representatif bagi
tema yang dikaji. Ayat yang menjadi objek penelitian ini adalah, ayat-ayat
yang secara spesifik memiliki term nafs dengan segala derivasinya yang
merujuk pada diri manusia dengan segenap potensinya, khususnya yang
berhubungan dengan nilai-nilai-nilai kecerdasan emosi.
B. Ayat-ayat Kecerdasan Emosi Berdasar Turunnya
12 al-Qur’an, 6 : 12. 13 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 129.
52
Sehubungan dengan digunakannya metode mawdhu’i>dalam penelitian
ini, maka sebelum membahas ayat-ayat yang dijadikan objek penelitian,
terlebih dahulu perlu disusun hierarki (urutan) ayat-ayat tersebut.
Berikut ini disajikan ayat-ayat yang menjadi objek kajian berkenaan
dengan kecerdasan emosi yang memiliki term nafsdengan segala bentuk
derivasinya berdasarkan tertib nuzu>l(turun)serta dilengkapi dengan
tafsirnya.14
1. Ayat-ayat Makiyyah
a. Al Fajr : 27
15
Hai jiwa yang tenang.16
Ayat di atas hingga ayat terakhir menerangkan tentang
penghargaan Allah bagi mereka yang memiliki jiwa yang
mut}mainnah. Jika pada ayat-ayat sebelumnya diuraikan tentang
penyesalan manusia yang durhaka, serta siksa atau rasa takutnya,
maka pada ayat 27 hingga terakhir, dijelaskan tentang keadaan
manusia yang tunduk dan patuh pada Tuhannya. Golongan orang-
orang yang tidak taat dilukiskan dengan ucapan penyesalan, sedang
pada golongan yang taat dilukiskan dengan sambutan yang hangat
dari Tuhan mereka. 14 Tertib ayat berdasarkan turunnya serta pengelompokan makiyyah-madaniyyah tersebut mengacu pada, Abdul Jalal H.A., ‘Ulu>m al-Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 397-399. 15 al-Quran, 89 : 27. 16 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil al-Qur’an, 2010), 594.
53
Di samping itu pada ayat sebelumnya dijelaskan juga perihal
manusia yang diberi kelapangan rezeki dan watak-wataknya namun
ketamakan menguasai diri dan cenderung mengejar kepuasan nafsu
syahwatnya serta keinginan-keinginannya dan segala tingkah lakunya
lepas dari kendali pikiran sehat. Kemudian Allah menjelaskan akibat
perbuatan mereka di akhirat.
Melalui ayat di atas, Allah menjelaskan perihal manusia yang
tidak ingin mengikuti hawa nafsunya, sehingga ia menduduki
martabat tinggi. Manusia semacam ini hatinya selalu tenang dan
tentram, sebab ia merasa bahwa perbuatannya berada dalam
pengawasan Allah. Ia hanya menginginkan hal-hal yang bersifat
ruhaniah, yang bisa mengisi jiwanya, dan ia membenci kelezatan
yang bersifat jasmaniah. Orang semacam ini jika diberi kekayaan, ia
tidak mengambil selain haknya sendiri. Bila ditimpa kefakiran, ia
bersabar dan tidak menadahkan tangan meminta bantuan kepada
orang lain.
Allah menjelaskan bahwa orang tersebut kelak berada di sisi-
Nya mendapat keridhaan atas amal perbuatan yang dilakukan di
dunia. Kemudian Allah memasukkannya ke dalam golongan para
hamba-Nya yang shalih. Dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Abba>s,
ketika ayat ini turun Abu Bakar yang ketika itu sedang duduk dan
berucap, Ya Rasulullah, adakah hal yg terbaik dari perkataan
54
tersebut? Rasulullah pun menjawab perkataan tersebut juga akan
dikatakan kepadamu.17
Kata al nafs di gunakan al-Qur’an dengan berbagai makna
sesuai kebiasaan orang Arab yang menggunakan kata ini. Makna dari
kata tersebut meliputi: jiwa, roh, entitas diri, darah, sisi, dan juga
saudara. Dari beberapa makna tersebut dalam ayat ini kata al nafs
bermakna jiwa atau kesadaran manusia.18
Sedangkan kata al-mut}ma’innah berarti tenang, isim fa>’il dari
kata it}ma’anna. Kata ini menggambarkan kondisi hati yang tenang
karena andanya iman. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah
riwayat bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh malaikat pada
orang beriman saat kematiannya.19
Al-Zamakhshari> dalam al-Kashsha>f menafsirkan al-
mut}ma’innah sebagai jiwa yang tenang, yaitu jiwa yang tiada
memiliki ketakutan dan juga kekhawatiran atau pun kesedihan. Allah
memanggil jiwa yang demikian ini sebagai bentuk kemuliaan
sebagaimana ketika Allah menyeru Nabi Musa dengan panggilan
kemuliaan.20
Pendapat lain mengatakan bahwa al-nafs al-mut}ma’innah dalam
arti jiwa yang tenang karena banyak berdzikir dan yakin akan wujud 17 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m, Jilid: 14 (Beirut: Maktabah Aula>d al Shaikh Li Tura>th, 2000), 350-351. 18 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 10 (Jakarta: Lembaga Percetakan al Quran Departemen Agama RI, 2009), 663. 19 Abu al Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al ‘Az}i>m,..., 351. 20Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>, Juz: 6 (Riyadh: Maktabah al ‘Ibi>ka>n, 1998), 347.
55
Allah atau janji-Nya disertai dengan keikhlasan beramal.21
Ketenangan hati tersebut diperoleh karena senantiasa berdzikir
kepada Allah sebagaimana firman-Nya .
22
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.23
Menurut al Fakhr al Ra>zi>, al-it}mi’na>n adalah al-istiqra>r wa al-
thaba>t yang berarti kokoh dan teguh.24 Jiwa mut}mainnah merupakan
jiwa yang aman dan tentram, meyakini kebenaran yang pasti dan
tidak bercampur ketakutan maupun kekhawatiran.
Al-Alu>si dalam tafsirnya menjelaskan, al-nafs al-mut}mainnah
adalah al-a>minah yaitu jiwa yang aman dan tentram tidak diliputi
ketakutan, keraguan dan kekhawatiran pada hari kiamat nanti.25
Demikian juga dengan al-Kha>zin berkata bahwa yang dimaksud
dengan mut}ma’innah adalah jiwa yang teguh terhadap keimanan serta
21 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 256-257. 22 al-Qur’an, 13 : 28. 23 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 252. 24 al-Fakhr al Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib Juz: 31 (Beirut: Da> al Fikr, 1981), 177-178. 25 Al-Alu>si al Baghda>di, Ru>h al-Ma’a>ni> Fi> Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni>, Juz: 30 (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.th.), 130.
56
membenarkan apa yang difirmankan Allah dan meyakini Allah
sebagai Tuhannya dengan wujud patuh pada perintah-Nya.26
Al-Maraghi menafsirkan, ya> ayyatuha> al-nafsu al-mut}ma'innah,
wahai jiwa yang telah yakin kepada perkara hak (kebenaran) dan
tidak ada lagi perasaan sha}>k (ragu-ragu). Jiwa yang telah berpegang
teguh kepada ketentuan-ketentuan syariat, sehingga tidak mudah
terombang-ambingkan oleh nafsu syahwat dan berbagai keinginan.27
Abu H}ayya>n dalam tafsirnya menjelaskan, ya> ayyatuha> al-nafs
al-mut}mainnah, merupakan panggilan mulia bagi jiwa orang mukmin.
Beberapa pendapat mengatakan panggilan tersebut terjadi saat
kematiaan ketika ruh keluar dari jasad, pada hari kebangkitan dan
ketika memasuki surga.28Inilah bentuk kemuliaan jiwa yang merasa
ridha dan diridhai dan mendapatkan pahala kenikmatan yang mereka
terima di sisi Rabbnya.
Melalui ayat di atas, Allah juga membuktikan keniscayaan
tentang hari kebangkitan. Keadaan di hari berbangkit kelak terbagi
menjadi dua golongan yakni manusia yang durhaka, bangkit
menyesali hidupnya dan yang taat bangkit dalam keadaan ridha dan
diridhai dengan kehormatan yang tinggi.
26Al-H}usayn ibn Mas’u>d ibnal Baghawi>, al-Tafsi>r al-Baghawi> Ma’a>lim al-Tanzi>l Juz: 8 (Riya>d: Da>r al T}ayyibah, 1412 H), 423. 27 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi>, Juz: 30 (Mesir: Must}afa al-Ba>bi>, 1946), 153-154. 28 Abu H}ayya>n al-Andalusi, Tafsi>r al-Bah}r Muh}i>t}, Juz: 9 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, 1993), 467.
57
b. Al Qiya>mah : 2
29
dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).30
Ayat ini masih memiliki muna>sabah (keterkaitan) dengan ayat
pertama dan juga beberapa ayat sesudahnya dan topik bahasan
rangkaian ayat di atas, baik sebelum atau sesudahnya berkenaan
dengan sumpah Allah terhadap hari kiamat dan juga al-nafs al-
lawwa>mah.
Huruf la>m pada ayat tersebut mengandung makna penafian,
sementara itu ada juga qurra yang menyebut huruf la>m pada ayat
tersebut sebagai la>m za>idah yang menguatkan arti perkataan
sesudahnya yaitu adanya hari kiamat dan al-nafs al-lawwa>mah. Allah
sendiri menjawab sumpah-Nya walaupun dalam teks ayat tidak
disebutkan. Namun pengertian tersebut dapat dipahami dari
penegasan Allah pada ayat-ayat selanjutnya.
‘Ikrimah ketika ditanya tentang makna la> uqsimu bi al-yaum al-
qiya>mah, ia menjawab yakni kecaman jiwa pada hal baik dan juga
buruk.31 Hal senada juga dijelaskan oleh al-Farra>’, tidaklah setiap
jiwa baik yang taat atau pun durhaka kecuali ia akan mencela dirinya.
29 al-Qur’an, 75 : 2 30 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 577. 31 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Azi}>m Juz: 14 ..., 193.
58
Jika ia berbuat kebajikan ia mencela mengapa tidak berbuat yang
lebih banyak lagi dan jika ia berbuat kejelekan ia juga mencela,
mengapa ia melakukannya.32
Kata al-nafs berasal dari fi’il (kata kerja) nafasa yang berarti
bernafas. Arti kata tersebut menjadi berkembang sehingga ditemukan
arti-arti yang beraneka ragam seperti: menghilangkan, melahirkan,
bernafas, jiwa, roh, darah, manusia, hakikat dan juga diri.33
Sedangkan kata al-lawwa>mah, terambil dari kata la>ma-yalu>mu-
lawman yang berarti mengecam. Maksud dari mengecam yaitu
menyesal hingga mengecam diri sendiri.34 Kata al-lawwa>mah hanya
satu kali disebutkan dalam al-Qur’an yakni pada surah al-Qiya>mah
ayat 2.
Bial-nafs al-lawwa>mah pada ayat di atas diartikan al-
Zamakhshari> dengan al nafs al-muttaqiyah, diri orang bertaqwa yang
di dalamnya ada jiwa yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Jiwa
tersebut cukup bagi orang bertaqwa sebagai bekal pada hari kiamat
dan ia akan terus berusaha untuk menyalahkan dirinya walau jiwa itu
selalu berada dalam kebaikan.35
Demikian juga dengan al-Fakhr al-Ra>zi>, yang menafsirkan al-
nafs al-lawwa>mah dengan al-nafs al-shari>fah (jiwa yang mulia), yaitu
32 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi,Juz: 29 ..., 146. 33 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya, Jilid: 10 ..., 438-439. 34 Ibid. 35Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>, Juz: 6 ..., 266.
59
jiwa yang mencela dirinya dikarenakan kurangnya kesungguhan
dalam bertaqwa.36 Berkenaan dengan al-nafs al-lawwa>mah ini, Ju>bair
menyatakan, tidak seorang pun dari penghuni langit dan bumi kecuali
akan menyalahkan dirinya pada hari kiamat.37
Beberapa pendapat lainnya juga menjelaskan makna al-nafs al-
lawwa>mah, diantaranya Ibn Abbas yang mengartikan jiwa yang
banyak mencela dirinya sendiri dan Mujahid mengartikan jiwa yang
menyesali apa yang telah berlalu, sedang Qatadah mengartikan jiwa
pendurhaka. Menurut Ibn Jarir beberapa pendapat tersebut saling
berdekatan maknanya, namun beliau sendiri memaknai lahiriah
makna tersebut, dengan jiwa yang sangat menyesali atas perbuatan
baik atau buruk yang telah terjadi di masa silam.38
Al-nafs al-lawwa>mah adalah peringkat jiwa di antara al-nafs al-
mut}ma’innah (jiwa yang tenang dan selalu tunduk) dan al-nafs al-
amma>rah (jiwa yang selalu mendorong pemiliknya untuk
membangkang dan mengikuti hawa nafsunya).39
36al-Fakhr al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib Juz: 30 (Beirut: Da> al Fikr, 1981), 216. 37 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 14 ..., 192. 38Ibid., 193. 39Al-Alu>si Al-Baghda>di, Ru>h al-Ma’a>ni> Fi> Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni>, Juz: 29..., 136.
60
Allah bersumpah dengan al-nafs al-lawwa>mah, yakni jiwa yang
menyesali dirinya sendiri terhadap sikap dan tingkah lakunya pada
masa lalu yang tidak sempat diisi dengan perbuatan baik. Perasaan
menyesal itu senantiasa ada walaupun ia sudah berusaha keras dan
berupaya untuk mengerjakan amal salih.
Al-nafs al-lawwa>mah sebenarnya adalah jiwa seorang mukmin
yang belum mencapai tingkat yang lebih sempurna. Penyesalan
adalah benteng utama dari jiwa semacam ini, karena telah melewati
hidup di dunia dengan kebaikan yang belum sempurna. Allah sengaja
menyebutkan jiwa yang menyesali dirinya ini karena begitu besar
persoalan jiwa dari sudut pandang al-Qur’an.
Hubungan sumpah Allah antara hari kiamat dengan al-nafs al-
lawwa>mah yakni hari kiamat kelak membeberkan tentang jiwa
seseorang apakah ia memperoleh kebahagiaan atau kesengsaraan. Al-
nafs al-lawwa>mah bisa jadi termasuk dalam golongan yang bahagia
atau golongan yang celaka.40
c. Al Furqa>n : 68
41
40 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 10..., 440. 41 al-Qur’an, 25 : 68
61
dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya).42
Pada ayat-ayat sebelumnya Allah telah menerangkan sifat-sifat
orang kafir yang tidak mau tunduk dan patuh pada perintah-Nya.
Mereka senantiasa membusungkan dada ketika berjalan di muka bumi
dan enggan untuk bersujud. Pada ayat ini Allah menjelaskan beberapa
karakteristik yang dimiliki oleh ‘iba>d al-rah}ma>n (hamba Allah), yang
sangat bertolak belakang dengan karakter yang dimiliki oleh orang
yang durhaka.
Kemuliaan karakter tentang ‘iba>d al-rah}ma>n tersebut nampak
mulai ayat 64 hingga akhir. Melalui ayat ini Allah menerangkan sifat
orang mukmin yang sebenarnya dan berhak dijuluki ‘iba>d al-rah}ma>n
karena ketaatan serta ketinggian akhlaknya yang patut menjadi
contoh teladan bagi manusia yang ingin memperoleh kemuliaan di
akhirat kelak.
‘Iba>d al-rah}ma>n adalah hamba yang menghayati Allah sebagai
al Rah}ma>n (pemberi rahmat bagi segenap makhluknya) sehingga
berusaha memantapkan pada dirinya sifat pengasih dan juga
penyayang, sehingga menjadi ciri dari kepribadiannya. Di samping
itu, ia juga tidak segan untuk mencurahkan rahmat dan kasih
42 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 366.
62
sayangnya kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau
agama, serta kepada alam semesta.43
Jika pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa sifat ’iba>d al-
rah}ma>n itu di antaranya rendah hati, lemah lembut, taat dan juga
berinfaq secara proporsional, maka pada ayat 68 di atas diuraikan
keterhindaran mereka dari pokok-pokok kedurhakaan. Sifat yang
dimiliki pada ayat ini meliputi memurnikan tauhid dan tidak
melakukan penganiayaan yang berupa pembunuhan dengan mencabut
jiwa manusia serta membunuh secara moral dengan melakukan
perzinaan.
Katala> yad’u>na ma’a Alla>h menurut T}aba’ t}aba>’i> memiliki tiga
pemaknaan, pertama, sebagai isyarat bahwa, fitrah dan naluri suci
manusia mengarah untuk beribadah dan berdoa hanya kepada Allah
semata, dengan demikian seseorang yang secara lahiriah berdoa dan
beribadah kepada Allah pada selain Allah secara otomatis telah
menyekutukan Allah. Kedua, sebagai sindiran berkenaan dengan
fenomena masyarakat pada saat itu yang menjadikan berhala-berhala
sebagai perantara sesembahan. Ketiga, wujud Allah merupakan
keniscayaan yang h}aq (benar), sehingga syiriklah mereka yang
meminta pertolongan dan juga beribadah kepada selain-Nya. Sifat
‘iba>d al rah}ma>n merupakan kebalikan dari semua itu, yakni
43 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 9..., 145.
63
memurnikan tauhid dengan hanya beribadah dan berdoa kepada Allah
semata.
Selain bertauhid secara murni, mereka juga tidak melakukan
pembunuhan terhadap siapa saja, karena jiwa seseorang bukan
menjadi hak atas dirinya, kecuali dengan hak yang telah ditetapkan
oleh Allah.44 Di samping itu, mereka juga tidak melakukan perbuatan
hina yakni zina yang termasuk dosa besar. Dengan memelihara diri
dari perbuatan zina maka bersihlah dirinya dan bersih pula
masyarakat dari kekacauan nasab.
Dalam ayat di atas, pernyataan terkait dengan sifat-sifat iba>d
al-rah}ma>n diungkapkan dengan bentuk negasi, yakni tidak
menyembah, tidak membunuh dan tidak berzina yang berbeda dengan
ayat-ayat sebelumnya. Hal ini bertujuan menyindir kaum kafir yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, di samping itu upaya
seseorang menghindari kejahatan-kejahatan sebagaimana yang
disebutkan itu pada hakikatnya sudah termasuk amal yang terpuji.45
Menurut al-Maraghi>, golongan yang masuk dalam kategori
‘iba>d al-rah}ma>n adalah orang-orang yang senantiasa beribadah
kepada Allah dan tidak berlaku syirik dalam peribadatannya. Di
44 Membunuh yang dibenarkan itu seperti Qis}a>s}. Qis}a>s} secara bahasa berasal dari al qas}s} artinya mengikuti jejak. Qis}a>s} juga berarti tatabbu’ al dam bi al qawad, (mengikuti/membalas penumpahan darah dengan al qawad), sedang al qawad diartikan sebagai al qatl bi al qatl, maksudnya suatu hukum yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan. 45 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 9..., 155.
64
samping itu tidak melakukan perzinaan demi menjaga kehormatan
diri serta tidak membunuh jiwa selain yang dibenarkan.46
Kata atha>ma> terambil dari kata ithm yang berarti dosa. Kata
atha>ma> lebih menggambarkan keburukan dari pada ithm, dalam hal
ini adalah balasan dosa. Pelipatgandaan balasan dosa yang dimaksud
di sini adalah akibat keragaman siksa. Siksa tersebut ditegaskan
dengan adanya kata yakhlud yang mengandung dua makna. Pertama,
kekekalan tanpa akhir dan yang kedua, waktu yang sangat lama.
Sedang kata muha>na>n menggambarkan bahwa siksa yang dialami
bukan sekedar fisik tetapi juga siksa kejiwaan yang menjadikan si
tersiksa mengalami kepedihan batin yang luar biasa.
Ibn Kathi>r menukil beberapa pendapat berkenaan dengan
makna atha>ma, di antaranya yakni ‘Abdullah ibn ‘Umar dan ‘Ikrimah,
keduanya menafsirkannya dengan wa>din fi jahannam (lembah di
neraka jahannam) dimana tempat tersebut diperuntukkan bagi pelaku
zina.47
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan pertanyaan ‘Abdulla>h ibn al Mas’u>d, saat itu beliau
bertanya kepada Nabi tentang dosa yang paling besar. Nabi pun
menjelaskan bahwa yang termasuk dalam dosa besar itu adalah
46 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi> Juz: 19..., 39. 47 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 10..., 326.
65
menjadikan selain Allah sebagai sekutu padahal Allah yang Maha
Pencipta, membunuh anak karena takut miskin dan berzina.48
d. Yusu>f : 53
49
dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.50
Ayat ini dan juga beberapa ayat sebelumnya berkaitan dengan
kisah yang dialami Yusuf a.s. berkenaan dengan istri al-‘Azi>z. Kata
al-nafs memiliki bentuk jamak nufu>s atau anfus. Akar kata tersebut
terdiri dari huruf n-f-s secara kebahasan berarti khuru>j shai kaifa
ka>na (keluarnya sesuatu yang semilir baik berupa angin atau yang
lainnya).51 Nafas juga terkait dengan asal kata ini, karena nafas
seseorang yang berupa udara atau angin yang keluar masuk melalui
tenggorokan berlangsung dengan lembut.
Al-Nafs atau jiwa manusia pada dasarnya bersifat netral
terhadap kebaikan atau keburukan, manusialah yang mewarnai
48Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>,Juz: 4..., 371. 49 al-Qur’an, 12 : 53. 50 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 242. 51 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 5..., 3.
66
jiwanya, apakah ia ingin tetap mensucikan jiwanya atau
mengotorinya. Al-Zamakhshari memaknai maksud amma>rah bi al su>>’
dengan kecenderungan diri pada syahwat dalam setiap saat.52
Berkenaan dengan ayat di atas, ada perbedaan penafsiran
terkait dengan siapa yang menyatakan pernyataan sebagaimana yang
diungkap ayat di atas.53 Pendapat pertama, menyatakan bahwa
pernyataan di atas adalah ungkapan Yusuf a.s. sebagai manusia yang
menyadari bahwa setiap nafsu cenderung dan mudah untuk berbuat
jahat kecuali jika mendapat rahmat dan mendapat perlindungan dari
Allah. Yusuf a.s. selamat dari godaan istri al-‘Azi>z karena limpahan
rahmat serta perlindungan Allah meskipun secara manusiawi juga
tertarik pada istri al-‘Azi>z sebagaimana perempuan tersebut tertarik
kepadanya seperti yang dijelaskan pada Yusu>f (12) : 24.54
Pendapat kedua, menyatakan bahwa ayat 53 di atas merupakan
pengakuan dari istri al-‘Azi>z yang terharu dan merasa menyesal yang
mendalam bahwa dia tidak dapat membersihkan dirinya dari
kesalahan dan keterlanjuran. Dia menyadari bahwa dirinyalah yang
hampir mengkhiananti suaminya dengan cara merayu Yususf a.s.,
untuk menjaga nama baik diri dan suami dan juga keluarganya, dia 52Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>, Juz: 3... ,298. 53 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 8..., 50. ; Al-Fakhr al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib Juz: 18..., 160. 54 al-Qur’an, 12 : 24
67
menganjurkan Yusuf a.s. dipenjara. Dalam hal ini istri al ‘Azi>z telah
melakukan kesalahan ganda yaitu berdusta dan menuduh orang yang
berkata jujur serta menghukumnya dengan hukuman penjara.
e. Al An’a>m : 151
55
Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).56
Setelah pada ayat sebelumnya membatalkan prinsip-prinsip
kepercayaan kaum musyrik dan sebagian dari perincian pengamalan
agama mereka, maka pada ayat ini menjelaskan tentang prinsip-
prinsip ajaran Islam.
55 al-Qur’an, 6 : 151. 56 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya...,148.
68
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad s.a.w.
untuk menyeru mereka meninggalkan posisi yang rendah dan hina
yang tercermin pada kebejatan moral serta penghambaan diri kepada
selain Allah, menuju ketinggian derajat dan keluhuran budi. Melalui
ayat ini dan ayat sesudahnya diterangkan beberapa pokok larangan
yang bersangkutan dengan perkatan dan juga perbuatan, sifat utama
dan juga beberapa macam kebajikan. Pokok-pokok ajaran itu terkenal
dengan al-Was}aya> al-‘Ashr / Ten Commandement (sepuluh perintah
Tuhan).
Kata ta’a>lau terambil dari kata yang berarti tinggi. Ajakan
Allah dan Rasul-Nya merupakan ajakan menuju ketinggian, karena
kandungan ajakan itu merupakan hal-hal yang positif. Sedang kata
atlu> terambil dari kata tila>wah yang berarti membaca. Makna ini
serupa dengan kata qira>ah. Jika qira>ah objeknya bersifat umum
mencakup yang suci atau tidak, positif atau tidak maka tila>wah objek
bacaannya adalah sesuatu yang suci dan benar, di samping itu
tila>wahsecara harfiyah juga berarti mengikuti, yang dipilih untuk
teks-teks yang objeknya suci atau benar untuk mengisyaratkan bahwa
apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.57
Ayat di atas memulai wasiat pertama dengan larangan
mempersekutukan Allah. Dalam larangan tersebut tersirat perintah
agar mengesakan Allah. Menurut al Biqa>’i, menggunakan redaksi
57 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h Pesan Kesan dan Keserasian Al Quran Vol: 3..., 730.
69
pelarangan menghindarkan keburukan lebih utama dari
mengutamakan kebajikan, sejalan dengan maksud tersebut
sebagaimana redaksi syahadat yang dimulai dengan menolak terlebih
dahulu segala yang dipertuhankan dan tidak wajar disembah, lalu
menetapkan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib
disembah.58 Larangan tidak boleh mempersekutukan Allah adalah
pokok pertama yang paling mutlak baik itu perkataan atau pun
iktikad.
Sedangkan ajaran yang kedua, yaitu berkenaan dengan bakti
pada orang tua. Al-Qur’an menggunakan kata ih}sa>n untuk dua hal:
pertama, memberi nikmat pada orang lain sedang yang kedua adalah
perbuatan yang baik. Kata ih}sa>n mengandung tuntutan
memperlakukan orang lain lebih baik dari pada perlakuan orang lain.
Kata ih}san juga mengisyratkan agar memberi lebih banyak dan
mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya. Menurut Muhammad
T}a>hir ibn ‘A>shur sebagaimana yang dikutip M. Quraish Shihab,
penggunaan kata ih}sa>n dalam bakti kepada orang tua memberikan
makna penghormatan dan pengagungan yang berkaitan dengan
pribadi, sehingga perintah tersebut cenderung menekankan pada
kebaktian pada penghormatan dan pengagungan terhadap kedua
orang tua.59
58 Ibid. 59Ibid., 732.
70
Penggunaan kata penghubung untuk berbakti kepada orang tua
menggunakan huruf bi bukan ila. Menurut para pakar bahasa, ila
mengandung makna jarak, sedangkan penggunaan bi sebagai kata
penghubung mengandung makna ils}a>q yakni kelekatan sehingga tiada
jarak sebagaimana kata ila. Pada akhirnya dapat dipahami bahwa
berbuat ih}sa>n pada kedua orang tua yang diperintahkan Islam adalah
bersikap sopan kepada keduanya baik dalam ucapan maupun
tindakan, penuh rasa cinta dan kasih sayang sehingga keduanya
merasa senang.
Setelah Allah memberikan perintahnya berkenaan dengan
kewajiban anak berbakti kepada orang tua, maka ajaran yang ketiga,
berkenaan dengan larangan bagi orang tua agar tidak membunuh
anak-anaknya karena takut miskin.
Motivasi yang dibicarakan pada ayat di atas adalah kemiskinan
yang sedang dialami oleh ayah dan kekhawatirannya akan semakin
terpuruk dalam kesulitan hidup akibat kelahiran anak. Oleh sebab itu
Allah segera memberi jaminan kepada sang ayah bahwa Allahlah
yang menjamin rezeki mereka. Senada dengan hal tersebut, Allah
juga berfirman dalam su>rah al-Isra>’ (17) : 31,60 yang juga menyatakan
hal yang serupa. Namun kemiskinan pada ayat ini belum terjadi,
masih dalam bentuk kekhawatiran. Hal tersebut terindikasi adanya
60 Su>rah al Isra>’ : 31
71
kata khasyat yakni takut. Jaminan Allah sebagai pemberi rezeki
ditegaskan kepada orang tua yang memiliki ketakutan karena tidak
mampu memberikan nafkah kepada anaknya, sebagaimana adanya
redaksi wa iyya>kum. Sedangkan pada ayat di atas jaminan itu tidak
hanya berlaku pada orang tua melainkan juga termasuk anaknya,
sebagaimana adanya redaksi wa iyya>hum.
Ajaran berikutnya berkenaan dengan larangan mendekati
perbuatan yang keji baik itu secara terang-terangan atau tersembunyi.
Larangan mendekati secara otomatis melarang pula melakukannya.
perbuatan keji yang dimaksud itu adalah perbuatan zina baik yang
secara tersembunyi atau terang-terangan.61 Pendapat lain mengatakan
bahwa pebuatan keji yang nampak itu berkaitan dengan anggota
tubuh, sedang yang tersembunyi adalah penyakit hati baik itu
takabur, iri hati dan lain sebagainya.62
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam sebuah riwayat dari Ibn
‘Abba>s menjelaskan bahwa pada masa Jahiliyah orang-orang tidak
memandang keji melakukan zina secara tersembunyi, namun mereka
memandang keji jikalau dilakukan secara terang-terangan. Maka
melalui ayat ini Allah mengharamkan zina baik itu secara
tersembunyi maupun terang-terangan.
61 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al ‘Az}i>m Juz: 6..., 212. 62 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid: 3..., 272.
72
Sedangkan ajaran yang kelima, Allah kembali menegaskan
larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah, tanpa sebab yang
dibenarkan oleh agama. Pelarangan membunuh jiwa oleh ayat di atas,
diikuti dengan redaksi al-lati> h}arramallahu illa> bi al-haq. Kata
h}arrama yang berarti diharamkan atau dilarang, jika dikaitkan dengan
jiwa manusia maka dapat diartikan sebagai, dijadikan terhormat oleh
Allah. Makna ini mengisyaratkan, janganlah membunuh jiwa, karena
jiwa manusia telah dianugerahi Allah kehormatan. Pemahaman ini
mendukung nilai-nilai hak asasi manusia yang merupakan salah satu
prinsip kehidupan yang ditegakkan al-Qur’an melalui beragam
ayatnya.
f. Luqma>n : 12
63
dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".64
Pada ayat-ayat sebelumnya Allah menjelaskan bahwasanya
segala apa yang tercipta di alam semesta baik itu langit, gunung-
63 al-Qur’an, 31 : 12. 64 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 412.
73
gunung, bintang gemintang, hujan yang menjadi awal tumbuhnya
tanaman semuanya itu merupakan nikmat nyata yang dilimpahkan
Allah untuk manusia, maka pada ayat di atas dan beberapa ayat
berikutnya menjelaskan tentang nikmat Allah yang tidak nampak,
berupa hamba-hamba-Nya yang memiliki ilmu, hikmah sebagaimana
yang telah diberikan kepada Luqman.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan nama Luqman
sebagaimana yang tersebut dalam ayat. Perbedaan pendapat tersebut
menyangkut beberapa hal, diantaranya yaitu apakah Luqma>n itu
seorang Nabi atau hanya seorang yang shalih dan juga bijak. Namun
mayoritas dari beberapa pendapat itu mengarah pada pendapat yang
kedua.Di samping itu, para ahli tafsir juga berbeda pendapat tentang
masa hidupnya. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Luqma>n
hidup pada masa Nabi Daud, yang lain mengatakan dia adalah anak
saudara perempuan Nabi Ayub. Ada juga pendapat lain, sebagaimana
riwayat dari Ibn ‘Abba>s, Luqma>n adalah seorang hamba dan tukang
kayu dari Habashah. 65
Terlepas dari beragam perbedaan pendapat yang menerangkan
asal usul Luqma>n, pada hakikatnya dia adalah seorang yang shalih
yang telah diberi hikmah oleh Allah untuk mengajarkan beberapa hal
tentang kebajikan, mempunyai akidah yang benar, memahami dasar-
65 Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-‘Az}i>m Juz: 11..., 49-52.
74
dasar agama, sebagaimana nasihatnya kepada putranya yang
diabadikan dalam surat Luqma>n.66
Ayat di atas, menerangkan bahwa Allah menganugerahkan
hikmah, yaitu perasaan yang halus, akal pikiran dan kearifan sehingga
dapat menyampaikannya kepada pengetahuan yang hakiki serta jalan
yang benar menuju kebahagiaan sejati.67
Sebagai tanda bahwa Luqma>n adalah seorang hamba Allah
yang selalu taat kepada-Nya, merasakan kebesaran dan kekuasan-Nya
yang ada di alam semesta ini tercermin dari sikapnya yang selalu
bersyukur kepada Allah. Menurut riwayat Ibn “Umar bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda, Luqma>n bukanlah seorang Nabi,
melainkan seorang hamba yang banyak melakukan tafakur, ia
mencintai Allah, sehingga Allah pun mencintai dia.
Pada penghujung ayat di atas, Allah menegaskan bahwa orang
yang bersyukur kepada Allah, sejatinya ia bersyukur untuk
kepentingannya sendiri, sebab Allah akan menganugerahkan kepada
siapa pun pahala yang banyak karena syukurnya. Perintah bersyukur
tersebut juga pernah ditegaskan pada Nabi Sulaiman sebagaimana
ayat berikut.
66Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l>,Juz: 5..., 11. 67 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid: 8..., 548.
75
68
berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".69
Sufya>n ibn Uyainah berkata, siapa yang melakukan shalat lima
waktu, berarti ia bersyukur kepada Allah, demikian juga orang yang
berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, ia telah
bersyukur kepada keduanya.
Orang-orang yang mengingkari nikmat Allah dengan tidak
bersyukur, sejatinya ia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.
Allah tidak memerlukan syukur hamba-Nya, sebaliknya hamba-Nya
yang membutuhkan, syukur seorang hamba kepada-Nya tidak akan
menambah kekuasaan Allah, yang demikian itu dikarenakan Dia
Maha Kaya dan Maha Terpuji.70
68 al-Qur’an, 27 : 40. 69 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 380. 70 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi> Juz: 21.., 79.
76
g. Al Baqarah : 155
71
dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.72
Dalam kehidupan manusia akan selalu ada ujian. Sebagaiamna
yang telah Allah kabarkan bahwa Dia akan memberikan
cobaan/menguji setiap hambanya, baik ujian dalam bentuk
kesenangan (al-sarra>’) maupun dalam bentuk kesedihan (al-d}arra>’).
Allah menguji umat manusia dengan beberapa ujian untuk
menunjukkan mana orang yang taat dan mana orang yang maksiat,
bukan ujian untuk menentukan mana yang mengerti dan mana yang
tidak mengerti tentang sesuatu.73
Adanya ujian bertujuan untuk mengetahui apakah orang yang
diuji tersebut tetap bersabar dan berpegang teguh pada perintah dan
hukum Allah atau tidak. Orang-orang yang bersabar dalam
menghadapi ujian, adalah orang yang mengembalikan semua yang
dimiliki kepada Allah dengan mengatakan inna lilla>hi wa inna ilayhi
71al-Qur’an, 2 : 155. 72Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 24 73al-H}usayn ibn Mas’u>d ibnal-Baghawi>, Ma’a>lim al-Tanzi>l fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Juz I ..., 185.
77
ra>ji’u>n. Kata bi shay’i(sesuatu), menunjukan bahwa ujian yang
diberikan kepada Allah hanya sedikit, walaupun dirasakan oleh
manusia berat. Ini menunjukkan bahwa Allah sangat mencintai
hamba-Nya dan Allah meringankan semua ujian-Nya kepada
manusia.74
Melalui ayat di atas, Allah memberikan ujian kepada manusia
dengan sedikit ketakukan/kekuatiran (al-khawf), kelaparan (al-ju>’),
kehilangan sebagian harta (naqs} min al-amwa>l), kerabat tercinta
meninggal dunia (al-anfus) dan gagal panen (al-tsamara>t). Ini semua
merupakan ujian yang diberikan kepada setiap hamba-Nya.
Di samping itu, ayat tersebut juga memberikan isyarat bahwa
seseorang yang telah beriman tidak serta merta terhindar dari ujian
baik kelapangan rizki, kemudahan segala urusan dan segala
ketakukan dan kekuatiran. Tetapi semua cobaan Allah tersebut tetap
berlaku bagi siapa saja berjalan sesuai dengan sunnah Allah. Oleh
karena itu musibah bisa menimpa siapa saja hanya saja bagi mereka
yang beriman dan bersabar, Allah beri pahala serta kemampuan untuk
menjalaninya, sehingga mampu menghadapi segala kesulitan yang
ada.75
Sebaliknya,orang yang putus asa serta bersedih hati dalam
menjalani ujian, maka Allah akan menjadikan ujian tersebut siksaan
74 Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz I.., 348. 75 Ahmad Mus}tafa> al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi>, Juz II..., 24.
78
baginya. Beruntunglah orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang
ketika menghadapi ujian mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa
segala sesuatu milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Merekalah
orang-orang yang mendapatkan pentunjuk yang selalu diberikan
kebaikan dan kasih sayang Allah.76
2. Ayat-ayat Madaniyyah
a. A>li ‘Imra>n : 135
77
dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.78
Ayat tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan perintah
agar segera meraih ampunan Allah, maka pada ayat-ayat selanjutnya
menjelaskan karakter orang bertaqwa yang akan mendapatkan
ampunan Allah.
Rangkaian ayat ini membicarakan tentang karakter orang yang
mendapat gelar taqwa. Jika pada ayat sebelumnya dijelaskan sifat
76Abu al Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kathi>r al Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al ‘Az}i>mJuz I.., 467-468. 77 al-Qur’an, 3 : 135. 78 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 67
79
orang yang bertaqwa dalam hubungannya dengan orang lain seperti
gemar berinfaq, baik dalam waktu lapang atau sempit, mampu
menahan amarah serta mau memaafkan kesalahan orang lain, maka
dalam ayat ini dijelaskan sifat orang yang bertaqwa yang kaitannya
dengan diri sendiri, yakni tentang kesadaran diri bertaubat apabila
telah melakukan tindakan yang keji hingga menganiaya diri sendiri
dengan jalan ingat kepada Allah dan segera memohon ampun kepada-
Nya.
Kata fa>h}ishah dalam ayat ini diterjemahkan dengan perbuatan
keji, danz}alamu> anfusahum diartikan menganiaya diri sendiri atau
pelanggaran secara umum. Menurut Al-Zamakhshari,79 makna
fa>khishah dalam ayat ini yaitu dosa besar semisal zina, sedang
dhalamu> anfusahum memiliki makna dosa kecil. Al-Mara>ghi80 > dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa perbuatan keji tersebut meliputi segala
perbuatan yang tercela (dosa) seperti ghibah dan juga minuman keras.
Dua sifat tersebut menurut Muhammad Sayyid Tant}a>wi
merupakan dua sisi dari setiap kedurhakaan,karena perbuatan keji
yang dilakukan seseorang berakibat pada penganiayaan atas dirinya,
demikian pula sebaliknya.81
Katadhakaru>llah, dimaknai oleh al-Maraghi sebagai ingat
kepada Allah berkaitan dengan janji dan ancaman-Nya serta
79Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz: 1..., 628. 80al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi Juz: 4..., 72. 81 M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mishba>h, Volume: 2..., 266-267.
80
keangungan-Nya. Mereka kembali kepada Allah mengharap ampunan
dan juga rahmat-Nya. Kesadaran tersebut melahirkan sikap taubat
dan tidak mengulangi perbuatan yang sama dan menggantinya
dengan memperbanyak istighfar, al Maraghi pun menukil sabda nabi,
ال كبرية مع االستغفار وال صغرية مع اإلصرار82
dosa besar tidak menjadi dosa besar bila segera memohon ampun, dan dosa kecil akan menjadi dosa besar bila selalu dikerjakannya” (HR Ad Dailamiy dari Ibnu ‘Abbas)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sifat orang bertakwa
sebagai calon penghuni surga bukanlah orang sama sekali tidak
pernah berbuat dosa. Identitas ketaqwaan akan tetap melekat, jika
orang yang pernah berbuat dosa itu segera menyadari dan bertaubat
dengan memohon ampun serta tidak mengulangi kesalahan yang
sama. Hal ini juga menegaskan bahwa betapa realistisnya al Quran,
Allah tidak menutup pintu dan mengharuskan manusia tanpa dosa,
Dia menerima hamba-hamba-Nya yang berlumuran dosa sekalipun
untuk dimasukkan ke dalam surga-Nya selama mereka meyadari
kesalahannya dan tidak meneruskan kesalahan tersebut sedang
mereka mengetahuinya.
Ada beberapa hal penting yang terkandung dalam ayat ini.
Pertama, mereka ingat Allah lalu memohon ampun. Kedua, mereka
82 Ah}mad ibn Sa>lim al-Safa>ri>ni> al-H}anbali>,Lawa>mi’ al-Anwa>r al-Bahiyyah, Juz: 1, (Damaskus: Muassasah al-Khafiqi>n, 1982), 366.
81
tidak meneruskan perbuatan keji dan yang ketiga, mereka
mengetahuinya. Ketiga hal ini telah mencakup makna taubat.
Berkenaan dengan hal ini, unsur taubat menurut Ima>m Ghaza>li
meliputi aspek pengetahuan, aspek kejiwaan dan aspek perbuatan.
Aspek pengetahuan mencakup pemahaman dari bahaya perbuatan
dosa, aspek kejiwaan adanya rasa penyesalan dengan segera ingat
pada Allah dan mohon ampun, sedang aspek perbuatan tidak
mengulangi perbuatan dosa yang sama.
Al-Fakhr al-Razi dalam tafsirnya Mafa>tih{ al-Ghaib
menjelaskan, ada dua hal yang dikandung ayat ini, pertama bahwa
Allah mensifati orang-orang bertaqwa melalui perangainya yang
selalu taat dan beribadah baik itu dengan cara berinfaq baik di waktu
lapang maupun sempit, menahan amarah serta memaafkan sesama,
sedang yang kedua, yakni orang-orang yang berdosa kemudian
beraubat.83
b. Al H{asr : 9
84
83 al-Fakhr al-Ra>zi, Mafa>tih{ al-Ghaib Juz: 9..., 9-10. 84 al-Qur’an, 59 : 9.
82
dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.85
Sesudah Allah menjelaskan penggunaan harta fai’ pada ayat
terdahulu, dan menyebutkan harta fai’ itu untuk Allah dan Rasul-
Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, pada
ayat ini Allah menerangkan orang Muha>jiri>n yang menjadi fakir
hanya karena mencari ridha Allah dengan berhijrah bersama
Rasulullah saw ke Madinah meninggalkan kampung halaman dan
harta kekayaan mereka. Di samping itu, Allah juga menjelaskan sifat
mulia kaum Ans}a>r yakni penduduk asli Madinah yang beriman
kepada Allah dan rela berbagi harta mereka dengan saudara seiman
mereka yaitu Muha>jiri>n.86
Dalam sebuah riwayat, ayat di atas memiliki asba>b al-nuzu>l,
sebagaimana riwayat dibawah ini.87
ا ثـن ان حد و ن غز ل ب ا فضي ة حدثـن و أسام ا أب ري حدثـن ن كث اهيم ب ر بـ ن إ قوب ب ع ين يـ حدثة ر يـ ن أيب هر و حازم األشجعي ع أب سول الله صلى الله جل ر قال أتى ر ه عن رضي الله
ندهن شي د ع م جي ل ه فـ سائ سل إىل ن د فأر ه ين اجل سول الله أصاب ا ر سلم فـقال ي ه و ي ا عل ئسل ه و ي عل سول الله صلى الله قال ر قام فـ فـ الله ه مح ر ة يـ ل هذه الليـ ضيـفه جل ي م أال ر
85 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 546. 86Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-MaraghiJuz 28..., 43 87 Jala>l al-Di>n al-Suyut}i, Asbabun Nuzul (Jakarta: Gema Insani, 2009), 561-562.
83
سول ف ر ه ضي أت ر ه فـقال الم سول الله فذهب إىل أهل ا ر صار فـقال أنا ي ن األن رجل م سلم ال تدخريه شي ه و ي عل ة قال الله صلى الله ي بـ ا عندي إال قوت الص الله م ا قالت و ئ
ف ة فـ ل ا الليـ ن طونـ نطوي ب اج و ر ي الس ئ ايل فأطف ع تـ يهم و م و نـ فـ شاء ة الع ي بـ اد الص ا أر ت فإذ ل ع سول الله صلى الله ى ر جل أو مث غدا الرجل عل عز و قد عجب الله قال ل سلم فـ ه و ي عل
جل ز و ع ل الله فالنة فأنـز ن فالن و م { ضحك م و كان ل ى أنـفسهم و ون عل ر ؤث يـ و خصاصة
Abu Hurairah berkata,”Suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah seraya berkata,”Wahai Rasulullah, sekarang ini saya sangat kelaparan. ”Rasulullah lalu menanyakan kepada istri-istrinya apakah memiliki persediaan makanan, namun tidak ada apapun pada mereka. Rasulullah lantas berkata kepada sahabat-sahabatnya, ”Adakah di antara kalian yang ingin menjamunya malam ini? Semoga Allah merahmati yang menjamu tersebut.” Seorang laki-laki dari kalangan Ans}a>r lalu berdiri dan berkata,”Wahai Rasulullah, saya yang akan menjamunya.” Laki-laki itu lantas pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya,”Saya telah berjanji akan menjamu seorang tamu Rasulullah. Oleh karena itu, keluarkanlah persediaan makananmu.” Akan tetapi, sang istri menjawab,”Demi Allah, saya tidak punya makanan apapun kecuali sekedar yang akan diberikan kepada anak-anak kita.” Laki-laki itu lantas berkata,”Kalau begitu, jika nanti anak-anak kita telah terlihat ingin makan malam maka berusahalah untuk menidurkan mereka. Setelah itu, hidangkanlah makanan untuk mereka itu (kepada sang tamu) dan padamkan lampu.” Adapun kita sendiri akan tidur dengan perut kosong pada malam ini! sang istri lalu mengikuti instruksi suaminya itu. Pada pagi harinya, laki-laki itu bertemu dengan Rasulullah. Beliau lantas berkata kepada para sahabat, ”Sesungguhnya Allah telah terkagum-kagum atau tersenyum dengan apa yang dilakukan oleh si Fulan dan si Fulanah. Kemudian Allah menurunkan ayat,
م خصاصة و كان ل ى أنفسهم و ل ون ع ر ؤث يـ 88و
Kata tabawwau> memiliki arti kembali yakni menjadi tempat
kembali seseorang setelah sebelumnya giat melakukan aktifitas di
88al-Qur’an, 59 : 9.
84
beberapa tempat. Sedang kata al-da>r pada mulanya berarti tempat
kediaman, lalu digunakan juga dalam arti kota/negeri, yang dimaksud
dalam hal ini adalah kota Madinah.
M. Quraish Shibab menukil pendapat T}aba>t}ba>i berkenaan
dengan penggabungan kata al-i>ma>n dan al-da>r oleh kata tabawwau>,
bahwasannya penggabungan tersebut bermakna memakmurkan kota
Madinah sehingga dapat terlaksana di tempat tersebut aneka
kebajikan dan ketaatan tanpa terhalangi oleh sesuatu apa pun.89
Kata yu’thiru>na artinya mengutamakan, mendahulukan dan
memuliakan. Kata tersebut berasal dari kata kerja a>thara-yu’thiru-
i>tha>ran yang berarti mengutamakan orang lain dan menghormati
orang lain.I<tha>riyah adalah suatu sikap yang mendahulukan
kepentingan orang lain. Lawan dari i>tha>riyah adalah ana>niyah yaitu
sikap mementingkan diri sendiri dari pada orang lain.
Ayat di atas menjelaskan tentang kemuliaan hati orang-orang
yang tinggal di Madinah (Ans}a>r) yang mencintai saudaranya sesama
iman (Muha>jiri>n). Allah memuji dan menyanjung orang-orang Ans}a>r
yang merelakan harta fai’ itu diberikan kepada orang-orang
Muhajirin, meskipun mereka tidak menerimanya.90
Orang-orang yang tinggal di Madinah dan hati mereka telah
dipenuhi kecintaan iman sebelum kedatangan orang-orang Muha>jiri>n.
Ketika di salah seorang ditanya Rasululullah saw tentang harta apa 89M. Quraish Shihab, Tafsi>r al Misba>h Volume: 13..., 537. 90Abu al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r al-Dimasqi>, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m Juz: 13..., 490.
85
yang disisakan untuk keluarga, lantas ada yang menjawab aku sisakan
pada mereka (keluarga) apa yang telah diberikan untuk Allah dan
Rasul-Nya.91
Mereka mempunyai sifat-sifat mulia dan akhlak luhur yang
menunjukkan kemuliaan jiwa dan keluhuran budi, diantaranya yaitu :
1) Mencintai Muha>jiri>n dan menginginkan kebaikan untuk Muha>jiri>n
itu sebagaimana halnya mereka menginginkan kebaikan untuk diri
mereka sendiri. Rasulullah saw telah mempersaudarakan antara
mereka dengan Muha>jiri>n itu dan menempatkan orang-orang
Muha>jiri>n di rumah-rumah orang-orang Ans}a>r untuk tinggal
bersama.
2) Mereka tidak menginginkan sedikitpun dari harta fai dan lain-lain
yang diberikan kepada Muha>jiri>n.
3) Mereka mendahulukan orang-orang yang membutuhkan di atas
diri mereka sendiri dan memulai dengan orang lain sebelum diri
mereka sendiri, sehingga orang yang mempunyai dua orang istri
diantara mereka itu menceraikan salah seorang dari keduanya, dan
mengawinkannya dengan salah seorang dengan kaum Muhajirin.92
Berkenaan dengan sifat shu>h ini al-Maraghi menukil hadis
marfu>’,93
91Ibid. 92Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid: 10..., 60-61. 93 Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi juz 28 ..., 44.
86
اأ ن ر أبيصاحل خبـ ن ب ل ي ةعنسه م نسل بـ امحاد دثـن ديـقاحل ه نم بـ ن دالرمح ب اع دثـن قاحل يـ ل ع نـ وبـ ر عم نخال مع ي سل ن ب انـ نصفو ع
م ت الجي قال سلم هو ي ل ع يصلىالله النب ةعن ر يـ ر أبيه ن اللجالجع ن ب الجي د داو جألب جهر يو ف نم ه خاجن د يالللهو يسب ف ار ب غ ع
دا دأب ب ع يقلب ميانف اإل الشحو ع 94مت
Tidak akan berkumpul debu-debu pada wajah seseorang ketika berjuang di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam selama-lamanya dan tidak akan berkumpul pada hati seorang hamba sifat kikir dan keimanan selama-lamanya
c. Al H{asr : 18-19
95
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.96
94Abu ‘Abd al-Rah}man Ah}mad ibn Su’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i Juz: 6 (Beirut:Da>r al-Ma’rifah , 1420), 320. 95al-Qur’an, 59 : 18-19. 96Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya..., 548.
87
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan keadaan orang
munafik yang sesat. Mereka mengatakan sesuatu yang berlawanan
dengan sisi hati mereka. Perbuatan mereka itu seperti perbuatan setan
yang selalu berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang benar.
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan kepada orang beriman agar
bertakwa kepada-Nya dan mengerjakan semua yang bermanfaat bagi
diri mereka untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam al-Qur’an ungkapan kata takwa mempunyai beberapa
arti, di antaranya : melaksanakan kewajiban yang diperintahkanAllah
dan menjauhi larangan-Nya. Di samping itu takwa juga berarti takut
melanggar perintah Allah dan memelihara diri dari perbuatan
maksiat.97
Waal-tanz}urmemiliki makna bahwa orang yang bertakwa
hendaknya memperhatikan dan meneliti apa yang dikerjakan, apakah
ada manfaat untuk dirinya nanti atau tidak. Di samping itu
hendaknya selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah
sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Hendaknya segala perbuatan
yang dilakukan senantiasa membawa manfaat untuk yaum al jaza>’
(hari pembalasan) yakni akhirat.98Al-Maraghi, menafsirkannasu> Alla>h
(melupakan Allah), dengan makna melupakan hak-hak-Nya serta
97Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsha>ri>, al-Kashsha>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l Juz: 6..., 84. 98Ah}mad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi juz 28 ..., 53.
88
meninggalkan apa yang telah diperintahkan-Nya. Di samping itu
tidak berhenti meninggalkan segala apa yang telah dilarang-Nya.99
Ayat di atas, menegaskan agar orang mukmin senantiasa
bertakwa kepada-Nya karena hanya Allah yang mengetahui semua
yang dikerjakan hambanya, baik yang nampak atau yang tersembunyi
tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.Allah
mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menjadi orang
yang fasik dan lupa kepada Allah. Sebagaimana orang munafik dalam
hal ini ‘Abdullah bin Ubay dan sekutunya dan juga orang Yahudi
Bani Nadhi>r yang telah memusuhi orang beriman.100
99Ibid. 100Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid: 10..., 76.