Bab III Ghozali -...
Transcript of Bab III Ghozali -...
38
BAB III
DESKRIPSI KITAB IHYA’ ULUMUDDIN
A. Tinjauan Umum Kitab Ihya’ Ulumuddin.
Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya monumental yang
menjadi intisari dari seluruh karya al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulumuddin
berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.1 Sebagaimana judulnya kitab
ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntun umat Islam, tidak
berorientasi pada kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang
lebih utama.
Kitab ini terdiri atas empat bagian besar,2 setiap bagian terdiri dari
sepuluh bab yang dimulai dari pengenalan terhadap pengarang, kemudian
khotbah kitab yang dilanjutkan bagian pertama dan bagian kedua, bagian
ketiga dan bagian keempat.
Bagian pertama menjelaskan tentang ibadah, dalam bagian ini terdiri
atas sepuluh bab. Bab ke satu dimulai dengan menjelaskan tentang ilmu, sebab
ilmu sangat penting dimana setiap manusia berbakti kepada Allah dengan
menuntutnya. Dalam bab ini juga akan dikupas bagaimana keutamaan ilmu,
seperti ilmu terpuji dan tercela, adab atau kesopanan pelajar dan pengajar,
bahaya ilmu, tanda-tanda ulama akherat serta tentang akal.
Bab kedua menjelaskan tentang aqidah, bab ketiga menjelaskan tentang
rahasia bersuci, bab keempat tentang shalat, bab kelima tentang zakat, bab
keenam tentang puasa, bab ketujuh tentang haji, bab kedelapan tentang adab
membaca al-Qur'an. Bab kesembilan tentang dzikir dan doa serta bab
kesepuluh menjelaskan tentang tata tertib wirid. Bagian kedua berisi tentang
persoalan pergaulan antara sesama manusia yang padanya pula terdiri atas
sepuluh bab, meliputi: adab makan, adab perkawinan, hukum bekerja, halal
haram.
1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Histories, Teoritis, dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.85. 2 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islam, t.t.), hlm. 27.
39
Adab berteman dan bergaul dengan manusia. Adab beruzlah, adab
bermusyafir, adab mendengar dan merasa, amar ma’ruf nahimunkar, serta
adab kehidupan dan akhlak kenabian. Bagian ketiga tentang segala perbuatan
yang membinasakan terdiri atas sepuluh bab. Dalam bab ini dijelaskan tentang
semua budi pekerti yang tercela dan dalam al-Qur'an dengan
menghilangkanya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati dari padanya.
Dalam bab ini diterangkan juga tentang tiap-tiap budi pekerti, batas-batasnya,
hakikatnya, sebab yang membawa tertarik padanya yang dapat menimbulkan
bahaya. Disana juga dijelaskan tanda-tanda untuk mengenalinya dan
bagaimana cara mengobatinya supaya terlepas dari padanya. Semuanya itu
disertai dengan dalil-dalil ayat al-Qur'an, hadis dan kata-kata sahabat nabi.
Bab ini meliputi: uraian tentang keajaiban hati, latihan diri bahaya hawa
nafsu perut dan kemaluan, bahaya lidah dan bahaya marah, dendam dan
dengki, tercelanya dunia. Tercelanya harta dan kikir, tercelanya kemegahan
dan riya, tercelanya sifat takabur dan ujub, serta tercelanya sifat tertipu
kemenangan duniawi.
Bagian terakhir berisi tentang perbuatan yang melepaskan dalam bagian
ini dijelaskan tentang semua budi pekerti terpuji dan keadaan yang disukai
seperti budi pekerti muqarrabin dan saddiqin3yang akan mendekatkan diri
pada Tuhan pencipta alam. Bab-bab itu antara lain: bab taubat, sabar, syukur,
harap dan takut. Bab fakir, zuhud, tauhid, tawakal, cinta kasih, rindu, dan rela.
Bab niat benar, ikhlas. Bab muraqabah dan menghitung amalan, bab tafakur
dan serta bab dzikrul maut (ingat mati).
Dengan penjelasan semua bagian dari bab di atas diharapkan mampu
mengembalikan fitrah asal mula manusia yaitu tidak lain hanya untuk
beribadah kepada Allah SWT, Sebagaimana firman Allah;
)٥٦: الذاريات ( وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون
3 Ibid.
40
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk beribadah kepada ku. (Qs. Al-Dzariat : 56)4.
Lebih lanjut, Kitab Ihya’ Ulumuddin disusun ketika umat Islam teledor
terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah al-Ghazali kembali dari rasa keragu-
raguan dengan tujuan utama untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Mengapa demikian? Ketika itu, umat Islam acuh terhadap ilmu-ilmu Islam
dan mereka lebih asyik dengan filsafat barat. Oleh karena itu, al-Ghazali
tergugah hatinya untuk membersihkan hati umat dari kesesatan, sekaligus
pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar baik Islam ataupun barat
(oreintalist)5 dengan menghadirkan sebuah karya ilmiah ditengah-tengah umat
Islam.
Dalam versi lain dikatakan bahwa penyusunan kitab Ihya’ ulumuddin
oleh al-Ghazali didasari oleh rasa ketidakyakinannya dalam hal ibadah kepada
Allah SWT. Dimasa itu terjadi pertentangan yang sangat besar antara kaum
sufi (tasawuf) dan kaum syariah (fuqaha). Kaum fuqaha’ menghabiskan
waktunya untuk memperbincangkan syah dan batal dengan mengabaikan
tentang kehalusan perasaan, sedangkan kaum sufi terlalu memupuk perasaan
(dzauq), kadang-kadang tidak memperdulikan amalan-amalan, ibadah dan
syariat yang sesuai dengan sunnah rasul. Oleh karenaya al-Ghazali
berkeinginan untuk menyatukan keduanya dengan menyusun sebuah kitab
yang diberi judul Ihya’ Ulumuddin. Dalam kitab ini al-Ghazali menuliskan
bahwa “syariat tanpa hakekat, bagaikan bangkai tak bernyawa, begitu juga
hakekat tanpa syariat ibarat nyawa tak bertubuh”.
B. Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali.6 Dalam versi lain menyebutkan bahwa nama lengkap
4 Soenarjo, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan
/ Penafsir al-Qur'an, 1994), hlm. 862. 5 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan, (Semarang: Dimas, 1993),
hlm. 5. 6 Al-Ghazali, op, cit., hlm. 7.
41
beliau dengan gelarnya adalah Syekh al-ajal al-imam al-zahida al-said al-
muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali abu
Hamid al-Ghazali, para ulama ahli sejarah menyebutkan bahwa al-Ghazali
lahir di kota Thus, pada tahun 450 H dan meninggal di kota yang sama.7 Dari
sumber lain menyebutkan bahwa ia lahir di kota Ghazalah,8 sebuah kota kecil
dekat Thus di Khurasan yang ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia
Islam.9
Al-Ghazali dibesarkan dalam keluarga sederhana yang taat beragama,
Ayahnya bekerja sebagai seorang pemintal dan penjual kain wol yang hasilnya
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan para Fuqaha’ serta orang-orang
yang membutuhkan pertolongannya. Ayahnya termasuk orang yang mencintai
ilmu dan ulama’. Di waktu senggangnya dia sering dan aktif menghadiri
majlis-majlis ta’lim dan pengajian10 dan juga sering mengunjungi para
Fuqoha, pemberi nasihat dan duduk bersamanya sehingga ketika ia
mendengar nasehat para ulama tersebut, ia terkadang sempat menangis dan
lebih rendah hati seraya memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai anak
seperti halnya para ulama tersebut. Kekuasaan Allah mengabulkannya,
sehingga ia dikaruniai anak (al-Ghazali) yang kemudian menjadi ulama besar
dan terkenal hingga sekarang. Sementara itu saudaranya, Ahmad juga menjadi
penceramah dan penasihat yang masyhur pula, namun sayangnya orang tua al-
Ghazali tidak dapat melihat keberhasilan anak-anaknya.
Sejak kecil al-Ghazali telah menjadi yatim.11 Sebelum ayahnya
meninggal ia dan adiknya dititipkan kepada seorang sufi dengan harapan al-
Ghazali kelak menjadi seorang Faqih dan pemberi nasihat, dengan menitipkan
sedikit harta seraya berkata: “Aku menyesal sekali dikarenakan Aku tidak
belajar menulis, Aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu
7 Abudin Nata, Persepektif Islam Tetang Hubungan Guru Murid, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 55. 8 Muhammad Sholihin, dkk., Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002),
hlm. 45. 9 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 159 10 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 53. 11 Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of Etical Norms in Ghazali and
Immanuel Kant, (Turki: Turky Diyanet Vakfi, 1992), hlm. 9.
42
melalui dua putraku ini”. Sufi itu melaksanakan wasiat tersebut dengan cara
mendidik keduanya sampai suatu hari ketika harta itu habis dan tidak mampu
lagi memberi makan keduanya, Sufi itu menyerahkan al-Ghazali dan adiknya
kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus menyambung
hidup mereka disana.
Di madrasah tersebut al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqih dan Bahasa
Arab kepada Ahmad bin Muhammad al-Rizqani12 kemudian ke Jurjan menjadi
santri Abu Nasr Al-ismaili dilanjutkan ke Naisabur. Di sinilah ia berguru
kepada Al-juwaini yang terkenal dengan sebutan Imam Haramain, yaitu pada
tahun 478 H / 1086 M hingga ia menguasai ilmu kalam, ilmu manthiq, fiqih,
ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan13. Selama di Naisabur, ia
tidak hanya belajar kepada al-Juwaini, tetapi ia juga belajar teori-teori tasawuf
kepada Yusuf Al-Nasajj, kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf,
kendati hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah
hidupnya.
Kehausan al-Ghazali akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak
intelektualnya mulai berkembang, hal itu tercermin ketika ia belajar suatu
ilmu. Kecenderungan dalam mengetahui, memahami dan mendalami masalah-
masalah yang hakiki, begitu juga dari al-Juwaini, ilmu-ilmu yang diberikan
kepada al-Ghazali benar-benar dikuasai, termasuk perbedaan pendapat dari
para ahli ilmu. Karena kemahiran al-Ghazali dalam segala hal, al-Juwaini
memberi gelar Bahr Mughriq( lautan yang menghanyutkan ).14
Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir al-Ghazali membuatnya
semakin dikenal oleh masyarakat luas. Setelah gurunya wafat, Penyebaran
intelektualnya dilanjutkan ke daerah Mu’askar dan ia menetap disana kurang
lebih 5 tahun. Kegiatan pokoknya sebelum al-Ghazali terjun menjadi guru
besar Nizhamiyah, ia banyak mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang
diadakan oleh perdana menteri Nizhamul Mulk. Keikutsertaan al-Ghazali
dalam suatu diskusi bersama ulama dan intelektual terkenal dihadapan
12 Al-Ghazali, Munqid min al-dhalal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm.9. 13 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op. cit., hlm. 8. 14 Samsul Nizar, op. cit, hlm. 86.
43
Nizhamul Mulk membawa kemenangan baginya, yang demikian itu berkat
ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, Kefasihan
lidahnya dan kejituan argumentasinya.
Melihat kehebatan, kecerdikan dan kepandaian al-Ghazali maka
Nizhamul Mulk sangat takjub dan kagum sehingga Nizhamul Mulk
menobatkan dirinya untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiah di
Baghdad pada tahun 484 H / 1091 M.15
Meskipun usianya baru tiga puluh tahun, al-Ghazali juga dinobatkan
untuk mengajar ilmu agama Islam yang diikuti oleh sebagian besar para ulama
dan para pemimpin dibaghdad. Hal ini berawal dari kekaguman mereka
kepada al-Ghazali dan kehauasan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, kurang dari empat tahun al-Ghazali telah memiliki murid
kurang lebih empat ratus (ulama’ dan pemimpin) hal ini menunjukkan
keberhasilan al-Ghazali dalam dunia pendidikan (mendidik dan mengajar)16.
Disamping itu, al-Ghazali juga aktif mengadakan perdebatan dengan
golongan-golongan yang berkembang pada masa itu.
Di balik perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, ternyata semua itu
menimbulkan pergolakan dalam diri al-Ghazali karena tidak ada yang
memberi kepuasan batinnya. Ia mengalami krisis rohani, merasa hampa
jiwanya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan jabatannya dan
menuju ke Syam untuk mencari ketenangan bathin dengan cara berkhalwat
(menyepi sambil merenung) ini dilakukan setelah ia bergelut dengan
skeptisme yang tak kunjung usai dan konflik psikis antara kepentingan dunia
dan akhirat.17
Selama dua tahun al-Ghazali menjadi hamba Allah SWT yang benar-
benar mampu mengendalikan hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktunya
untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf di masjid Damaskus.
15 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 10. 16 Abudin Nata, Persepektif Islam tentang pola hubungan Guru dan Murid, ( Jakarta:
Raja Grafiindo Persada, 2001), hlm. 61. 17 Al-Ghazali, Munqid Min adh dhalal, op. cit., hlm. 10.
44
Untuk melanjutkan pendekatan diri kepada Allah SWT, al-Ghazali
tergugah hatinya untuk memenuhi panggilan-nya, yaitu menjalankan ibadah
haji. Dengan segera ia pergi ke Mekah, Madinah dan setelah itu ia ziarah ke
makam Rasulallah SAW. serta makam Nabi Ibrahim AS. Setelah selesai
mengerjakan ibadah haji, ia terus ke negeri Syam (Syiria), mengunjungi Baitul
Maqdis, kemudian ke Damaskus dan terus menetap ibadah di Masjid al-
Umawi di kota tersebut, yaitu pada suatu sudut yang terkenal hingga sekarang
dengan nama al-Ghazaliyah. Pada masa itulah beliau mengarang kitab Ihya’
Ulumuddin 18 yang hingga sekarang banyak dikaji oleh para sarjana.
Setelah kembali dari ibadah haji dan berkhalwat, keadaan hidup al-
Ghazali sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan
minum, mengunjungi masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan
menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan dan keikhlasan yaitu
hanya karena Allah SWT semata.19
Kemudian al-Ghazali kembali ke Baghdad, mengadakan majlis
pengajaran dan menerangkan isi dan maksud kitabnya “Ihya’ Ulumuddin”.
tidak lama kemudian atas desakan Fahrul Mulk (Putra Nizhamul Mulk) al-
Ghazali melanjutkan mengajar di Universtas Nizhamiah. Kali ini al-Ghazali
tampil sebagai tokoh pendidikan20 yang benar-benar mewarisi dan mengarifi
ajaran Rasulullah SAW. Ia tampil bukan hanya sebagai guru agama semata,
tapi juga sebagai sufi dan penunjuk jalan yang agamis yang sama sekali sudah
melepas kepentingan dunia yang fana ini.
Tidak lama ia tinggal di Naisabur, setelah mengabdikan diri untuk ilmu
pengetahuan selama berpuluh-puluh tahun dan memperoleh kebenaran yang
hakiki pada akhir hayatnya, maka kemudian al-Ghazali kembali ke kota
kelahirannya yaitu Thusia. Disana Ia mengasuh sebuah pondok untuk kaum
sufi dan juga madrasah untuk para penuntut ilmu.21 Kegiatan pokok al-Ghazali
18 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 11. 19 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op. cit., hlm. 8. 20 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 87. 21 Amin Syukur, dkk., Intelektual Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
138.
45
diakhir hayatnya adalah membagi waktunya untuk membaca al-Qur'an,
mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada para
penuntut ilmu yang ingin menyauk lautan ilmunya, mendirikan shalat dan
lain-lainnya.
Kegiatan ini berlangsung hingga al-Ghazali menghembuskan nafas
yang terakhir dengan mendapat khusnul khotimah. Al-Ghazali meninggal
pada tanggal 19 Desember 1111 M22 atau bertepatan pada hari senin tangal 14
Jumadi Akhir tahun 505 H di Thusia. Jenazahnya dikebumikan dipemakaman
ath-Thabiran23 berdekatan dengan makam al-firdausi ahli syair ternama.
Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan, sedangkan putra
laki-lakinya sudah meninggal sejak kecil sebelum al-Ghazali wafat. Namanya
Hamid oleh karena itu beliau mendapat gelar julukan Abu Hamid.
C. Sosiokultural Kehidupan Al-Ghazali
Berbicara pemikiran seorang tokoh, maka satu hal yang tidak bisa
diabaikan adalah keadaan sosial ketika sang tokoh tersebut berinteraksi
langsung dengan setting sosial kala itu. Sebab apapun kondisi saat manusia
hidup dan bergelut, sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir manusia itu
sendiri tak terkecuali al-Ghazali. Dia hidup dimasa munculnya aliran-aliran
pemikiran ditengah masyarakat Islam. Berbagai macam corak pemikiran yang
timbul disebabkan karena persoalan-persoalan yang melingkupi umat Islam
saat itu.
Sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW dilanjutkan dengan
periode pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan puncaknya adalah pada masa
pemerintahan Saidina Ali dengan ditandai makin banyaknya permasalahan
yang muncul hingga ke persoalan politik. Wujudnya adalah ketidaksetujuan
para sahabat terhadap pengangkatan Sayyidina Ali ra. sebagai khalifah yang
keempat hingga terjadi peperangan di antara sesama muslim, perang inilah
yang menjadi penyebab perkembangan persoalan hingga Ali ra. terbunuh.
22 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 54. 23 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 159.
46
Persoalan yang timbul dalam peperangan dan lapangan politik di atas
akhirnya berdampak pada timbulnya persoalan-persoalan teologi.24 Maka
muncullah pengkafiran / siapa yang kafir dalam arti siapa yang keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Lambang dari perpecahan politik adalah adanya genjatan senjata
melalui tahkim (arbhifrase). Dengan adanya tahkim, akhirnya muncul aliran-
aliran dalam beraqidah, diantaranya: aliran Khawarij, Syiah dan Murji’ah.
Aliran-aliran ini semakin lama semakin tidak ada titik temunya, hingga masa
al-Ghazali, bahkan hingga sekarang ini.
Apabila dirunut dari rentang perjalanan sejarah, maka kendatipun masa
hidup al-Ghazali masih berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun
sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau jelasnya masa disintregasi
(1000-1250 M).25 Secara politis kekuatan pemerintahan Islam yang masa itu
dibawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah sangat lemah dan mundur karena
terjadinya konflik internal yang berkepanjangan dan tak kunjung
terselesaikan. Hal ini merupakan sebab utama munculnya berbagai masalah.
Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami
masa keemasan sebelumnya, pada masa al-Ghazali mengalami kemunduran,
bahkan nyaris kehilangan kepribadiannya. begitu juga dalam ilmu-ilmu agama
Islam dirasakan telah mati dalam jiwa umat Islam.26 Dalam bidang
pendididkan dan kejiwaan, umat Islam mengalami kemiskinan intelektual,
spiritual dan moral.
Disorientasi kehidupan telah melanda umat. Tarikan segi-segi
keduniaan dalam berbagai aspek kehidupan banyak mengalahkan segi-segi
keakhiratan. Oleh Karena itu, pada bidang agama yang menuntut pengamalan-
pengamalan, dan penghayatan secara intens justru dimanfaatkan untuk
mencari popularitas, jabatan,pangkat di sekitar pusat kekuasaan.
Begitu juga dalam bidang pemikiran, tidak luput dari berbagai
permasalahan. Sehubungan dengan terjadi polarisasi dan pluralisasi paham
24 Muhaimin, Ilmu Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 12. 25 Amin Syukur, dkk., op. cit., hlm. 119. 26 Ibid., hlm. 120.
47
dari berbagai kelompok yang masing-masing mengklaim paling benar27.
Dalam pandangan al-Ghazali ada empat golongan yang menimbulkan krisis
dalam bidang pemikiran dan intelektual, yaitu kaum mutakalimin, filosuf, ahli
kebatinan (ta’limiyah) dan kaum sufi. Hal ini disebabkan oleh adanya
pengalaman al-Ghazali sendiri.
Ia mengalami keadaan yang syak (tidak ada keyakinan) atau masa
skeptis, dikarenakan oleh adanya pertentangan diantara disiplin ilmu, yang
akhirnya ia memutuskan untuk berkhalwat dan mencari keyakinan yang
hakiki, Melepaskan keduniaan dan melakukan pengembaraan serta
menjalankan ibadah haji.28 Sepulangnya al-Ghazali dari tanah suci dan
mendapatkan keyakinan yang hakiki, maka ia berusaha untuk
mempersatupadukan dan mencari titik temu. Contoh pertentangan kaum
Syariah dan kaum hakikat (sufi). Al-Ghazali berkata: “hakikat tanpa syariah
bagaikan ruh tak bertubuh dan syariah tanpa hakikat bagaikan tubuh tak
bernyawa.”
Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang mengitari masa hidup al-
Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya kecerdasan dan
ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif dengan
zamannya yang penuh ketegangan yang disebabkan oleh banyaknya madzhab,
garis kesukuan, kebahasaan, kedaerahan bahkan idiologi negara. Menghadapi
dunia Islam saat itu yang dipenuhi oleh pragmentasi sosial politik dan alam
pikiran yang tidak terkontrol, serta dibarengi oleh adanya penyempitan paham,
dan kurangnya sikap tasamuh diantara sesama muslim, al-Ghazali dengan
sikap kritis dan keberaniannya mengambil keputusan secara realistis dan
mantap, beliau memilih tasawuf sebagai pondasi dasar teologisnya.29
Sikap al-Ghazali itu terefleksikan dalam karya monumentalnya Ihya’
Ulumuddin, yang merupakan reaksi terhadap keadaan riil yang mengglayuti
kehidupan dirinya dan kehidupan umat Islam saat itu, kitab itu berisikan
27 Fathiyah Hasan Sulaiman, op. cit., hlm. 12. 28 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 63. 29 Amin Syukur, dkk., op. cit., hlm. 125.
48
penghidupan kembali ilmu-ilmu keagamaan dan juga seruan kembali kepada
hal-hal yang telah digariskan oleh Allah SWT.
D. Karya-Karya al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam dan juga seorang pengarang
yang produktif.30 Di masa hidupnya baik sebagai penasihat kerajaan maupun
sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur
maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap. Beliau tetap aktif
mengarang sehingga puluhan kitab bahkan ratusan telah berhasil
dipersembahkan kepada umat Islam.
Al-Ghazali aktif mengarang sejak usia 25 tahun hingga akhir hayatnya
yaitu berusia 55 tahun. Diperkirakan, setiap tahun tidak kurang dari sepuluh
buku yang dihasilkannya, baik kecil ataupun besar yang meliputi berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh,
tafsir, tasawuf31 dan ilmu akhlaq. Akan tetapi dalam hal ini, karena
keterbatasan kemampuan manusia, maka tidak semua karyanya terdeteksi
keberadaannya dan juga tersebar di seluruh perpustakaan penjuru dunia.
Harus diakui bahwa al-Ghazali merupakan salah satu tokoh pemikir
yang berjasa dalam peradaban Islam, ia juga merupakan orang yang
berpengaruh kedua di kalangan umat Islam setelah Rasulallah SAW, uniknya,
pengaruh al-Ghazali tidak hanya di kalangan agama Islam tetapi juga agama
lain seperti Kristen dan Yahudi yaitu melalui beberapa filsafatnya.
Menurut Dr. Badawi Thabanah32 yang ditulis dalam Muqoddimah Kitab
Ihya’ Ulumuddin. Karya al-Ghazali dikelompokkan menurut disiplin ilmu
pengetahuan, sebagai berikut:
1. Kelompok Ilmu Akhlaq dan Tasawuf
a. Ihya’ Ulumuddin (Penghidupan kembali ilmu-ilmu agama)
b. Ayyuhal Walad (Hai anak-anakku)
c. Mizan al-Amal (Timbangan amal)
30 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 141. 31 Amin Syukur, op. cit., hlm. 141. 32 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 55.
49
d. Misykat al-Anwar (Relung-relung cahaya)
e. Minhaj al-Abidin (Pedoman beribadah)
f. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al Akhirah (Mutiara penyingkap
ilmu akhirat)
g. Al-Qurabah ila Allah ‘Azza wa jalla (Mendekatkan diri kepada Allah)
h. Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar (Akhlaq yang luhur dan
menyelamatkan dari keburukan)
i. Bidayatul Hidayah (Langkah-langkah mencapai hidayah)
j. Al-Mabadi wa al-Ghayah (Permulaan dan tujuan akhir)
k. Risalah al-Qudsiyah (Risalah suci)
l. Al-Ulum al-Laduniyah (Ilmu-ilmu laduni)
2. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam.
a. Maqasid Falasifah (Tujuan filsafat)
b. Tahafut Al-Falasifah (Kekacauan para filosuf)
c. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam aqidah)
d. Al-Qishah al-Mustaqim (Jalan untuk mengatasi kegelisahan)
e. Hujjatul Haq (Argumen-argumen yang benar)
f. Mahkum al-Nadhar (Metodologika)
g. Asrar Addin (Misteri ilmu agama)
h. Ishbatu al-Nadhar (Penetapan logika)
i. Mufahil al-Khilaf fi Ushul al-Din (memisahkan perselisihan dalam
ushuluddin)
3. Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh
a. Al-Basith (Pembahasan yang mendalam)
b. Al-Wasith (Perantara)
c. Al-Wajiz (Surat-surat wasiat)
d. Al-Mankhul (Adat kebiasaan)
e. Syifa’ al-‘Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil (Terapi yang tepat pada qiyas
dan ta’wil)
f. Adz-Dzariah ila Makarimi al-Syariah (Jalan menuju kemuliaan
syariah)
50
4. Kelompok Tafsir
a. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode ta’wil dalam menafsirkan
al-Qur'an)
b. Jawahirul Qur’an (Rahasia-rahasia al-Qur'an)
E. Pandangan al-Ghazali Tentang Etika Guru Dan Murid Dalam Kitab
Ihya’ Ulumuddin
Pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohai anak menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Dalam hal ini pendidikan mengandung tiga unsur
pokok yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu: unsur pendidik (guru), anak
didik (murid), dan tujuan.
Pada dasarnya proses pendidikan merupakan interaksi antara pendidik
dan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentransmisikan pengalaman-
pengalaman dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Imam al-
Ghazali “Tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT
bukan pangkat dan bermegah-megahan.”33
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan itu, maka dibutuhkan interaksi
antara guru dan murid, dalam arti hubungan seperti apakah yang akan
terwujud?. Untuk menjawab masalah ini tidaklah sederhana, karena dalam
interaksi tersebut, guru sebagai pelaku utama kegiatan pendidikan
memerlukan persiapan baik dari segi penguasaan ilmu yang diajarkan,
kemampuan menyampaikan ilmu secara efesien dan efektif kepada anak didik
(murid) yang bervariasi watak ataupun kepribadian sehingga membutuhkan
konsep / teori khusus dalam mengaplikasikannya. Dalam hal ini Imam al-
Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberikan beberapa konsep Etika
guru terhadap murid dan juga etika murid terhadap guru.
33 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setya, 2003), hlm. 13.
51
Adapun Etika Guru menurut al-Ghazali sebagaimana dalam kitab Ihya
Ulumuddin sebagai berikut :
1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada Murid dan memeperlakukan
sebagaimana anaknya sendiri. Dalam hal ini, orang tua adalah penyebab
adanya si anak lahir di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi
penyebab bagi kehidupan yang kekal di akherat.
2. Mengikuti jejak Rasulullah SAW., yaitu tidak meminta upah atas
tugasnya, tetapi mengajar hanya karena Allah SWT, tidaklah ia melihat
apa yang telah dikerjakan kepada murid, akan tetapi kewajiban bagi murid
untuk selalu mengingat budi baik guru kepadanya.
3. Tidak meninggalkan nasehat. contoh melarang murid mempelajari sesuatu
ilmu sebelum pada tingkatanya dan juga mempelajari yang tersembunyi
sebelum selesai yang terang.
4. Termasuk yang halus-halus dari mengajar, bahwa guru menghardik murid
dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak
dengan cara terus terang dan dengan cara kasih sayang tidak dengan cara
mengejek. Sebab dengan cara terus terang, merusakkan takut murid
kepada guru dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka
meneruskan sifat yang jahat itu.
5. Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran,
tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan murid, misalnya
Guru bahasa melecehkan ilmu fikih.
6. Guru harus menyingkatkan pelajaran menurut pemahaman murid. Jangan
mengajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya.
7. Kepada seorang pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan
pelajaran yang jelas yang layak baginya.
8. Seorang guru harus mengamalkan ilmunya. Janganlah perkataannya
membohongi perbuatannya 34
34 Al-Ghazali, op. cit., hlm. 62-69
52
Dan juga, Etika Murid menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut :
1. Mendahulukan kebersihan bathin dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela. Sebab ilmu pengetahuan merupakan kebaktian hati, shalat bathin
dan pendekatan jiwa kepada Allah SWT.
2. Seorang Murid hendaklah mengurangkan hubungnnya urusan duniawi,
menjauhkan diri dari keluarga dan kampung halaman. Sebab segala
hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain.
3. Seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan
pula menentang atau memerintah guru, tetapi menyerahkan seluruhnya
kepada guru dengan menaruh keyakinan penuh terhadap segala hal yang
dinasehatkan sebagaimana orang sakit yang bodoh yakin kepada dokter
yang ahli dan berpengalaman.
4. Bagi Murid pada tingkat permulaan, hendaklah menjaga diri dari
mendengar pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan. Baik ilmu
keduniaan ataupun ilmu keakhiratan.
5. Seorang Murid jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada
cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran-pelajaran
sebelumnya.
6. Seorang Murid jangan menenggelamkan diri pada suatu bidang ilmu
pengetahuan secara serentak, tetapi memelihara tertib dan memulainya
dari yang lebih penting.
7. Seorang Murid jangan melibatkan diri pada pokok bahasan atau suatu
bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakan bidang yang
sebelumnya, karena ilmu pengetahuan itu tersusun secara tertib
8. Seorang murid agar mengetahui sebab untuk mendapatkan ilmu yang
termulia, yaitu kemulian hasil dan kepercayaan serta kekuatan dalilnya.
9. Seorang Murid agar dalam mencari ilmu, didasarkan pada upaya menghias
bathin dan mempercantik dengan berbagai keutamaan.
10. Seorang Murid harus mengetahui hubungan ilmu pengetahuan itu kepada
tujuannya, supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu,
53
membawa pengaruh kepada tujuannya yang mash jauh dan yang penting
membawa pengaruh pada yang tidak penting .35
Dari uraian tersebut terlihat bahwa guru dan murid merupakan dua
unsur yang tidak bisa dipisahkan. Dalam arti formal terjadi relasi edukatif
yaitu suatu proses yang menggambarkan adanya hubungan aktif antara guru
dan murid dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya untuk mencapai
tujuan pendidikan,36 sehingga terbentuklah mileu belajar-mengajar yang
kondusif, yaitu guru memberikan ilmu-ilmunya (transfer of knowledge) dan
murid menerima apa yang diajarkannya yang didasarkan atas nilai religiusitas.
Dalam hal ini penentu utama keberhasilan pendidikan adalah guru dan
murid. Guru harus mempersiapkan segala sesuatu yang akan diberikan kepada
murid, begitu juga murid ia harus bersih hatinya dalam menerima pancaran
ilmu.Oleh karena itu, hubungan Guru dan murid tidak hanya sebatas belajar-
mengajar, dalam hal ini guru harus membimbing, menasehati dan menjadi
teladan / uswatun hasanah bagi muridnya. Dengan kata lain Guru merupakan
penyebab kehidupan abadi (kehidupan kekal di akhirat) dan orang tua
penyebab murid lahir di dunia.
Dari konsep diatas terlihat adanya hubungan yang khas antara guru dan
murid. Hubungan itu tidak sebatas untung-rugi yang dinilai dengan materi
ataupun layaknya pemberi dan penerima, begitu juga hubungan yang dibatasi
oleh tempat dan waktu (dianggap guru maupun murid manakala berada dalam
kelas), akan tetapi pada hakikatnya merupakan hubungan keagamaan, yaitu
suatu hubungan yang memiliki nilai-nilai transenden / kelangitan.37
35 Ibid., hlm. 69-72 36 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif, ( Jakarta:
Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 11. 37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2004), hlm. 77.