Bab III Ghozali -...

16
38 BAB III DESKRIPSI KITAB IHYA’ ULUMUDDIN A. Tinjauan Umum Kitab IhyaUlumuddin. Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya monumental yang menjadi intisari dari seluruh karya al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulumuddin berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. 1 Sebagaimana judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntun umat Islam, tidak berorientasi pada kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama. Kitab ini terdiri atas empat bagian besar, 2 setiap bagian terdiri dari sepuluh bab yang dimulai dari pengenalan terhadap pengarang, kemudian khotbah kitab yang dilanjutkan bagian pertama dan bagian kedua, bagian ketiga dan bagian keempat. Bagian pertama menjelaskan tentang ibadah, dalam bagian ini terdiri atas sepuluh bab. Bab ke satu dimulai dengan menjelaskan tentang ilmu, sebab ilmu sangat penting dimana setiap manusia berbakti kepada Allah dengan menuntutnya. Dalam bab ini juga akan dikupas bagaimana keutamaan ilmu, seperti ilmu terpuji dan tercela, adab atau kesopanan pelajar dan pengajar, bahaya ilmu, tanda-tanda ulama akherat serta tentang akal. Bab kedua menjelaskan tentang aqidah, bab ketiga menjelaskan tentang rahasia bersuci, bab keempat tentang shalat, bab kelima tentang zakat, bab keenam tentang puasa, bab ketujuh tentang haji, bab kedelapan tentang adab membaca al-Qur'an. Bab kesembilan tentang dzikir dan doa serta bab kesepuluh menjelaskan tentang tata tertib wirid. Bagian kedua berisi tentang persoalan pergaulan antara sesama manusia yang padanya pula terdiri atas sepuluh bab, meliputi: adab makan, adab perkawinan, hukum bekerja, halal haram. 1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Histories, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.85. 2 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islam, t.t.), hlm. 27.

Transcript of Bab III Ghozali -...

Page 1: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

38

BAB III

DESKRIPSI KITAB IHYA’ ULUMUDDIN

A. Tinjauan Umum Kitab Ihya’ Ulumuddin.

Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya monumental yang

menjadi intisari dari seluruh karya al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulumuddin

berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.1 Sebagaimana judulnya kitab

ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntun umat Islam, tidak

berorientasi pada kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang

lebih utama.

Kitab ini terdiri atas empat bagian besar,2 setiap bagian terdiri dari

sepuluh bab yang dimulai dari pengenalan terhadap pengarang, kemudian

khotbah kitab yang dilanjutkan bagian pertama dan bagian kedua, bagian

ketiga dan bagian keempat.

Bagian pertama menjelaskan tentang ibadah, dalam bagian ini terdiri

atas sepuluh bab. Bab ke satu dimulai dengan menjelaskan tentang ilmu, sebab

ilmu sangat penting dimana setiap manusia berbakti kepada Allah dengan

menuntutnya. Dalam bab ini juga akan dikupas bagaimana keutamaan ilmu,

seperti ilmu terpuji dan tercela, adab atau kesopanan pelajar dan pengajar,

bahaya ilmu, tanda-tanda ulama akherat serta tentang akal.

Bab kedua menjelaskan tentang aqidah, bab ketiga menjelaskan tentang

rahasia bersuci, bab keempat tentang shalat, bab kelima tentang zakat, bab

keenam tentang puasa, bab ketujuh tentang haji, bab kedelapan tentang adab

membaca al-Qur'an. Bab kesembilan tentang dzikir dan doa serta bab

kesepuluh menjelaskan tentang tata tertib wirid. Bagian kedua berisi tentang

persoalan pergaulan antara sesama manusia yang padanya pula terdiri atas

sepuluh bab, meliputi: adab makan, adab perkawinan, hukum bekerja, halal

haram.

1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Histories, Teoritis, dan Praktis,

(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.85. 2 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islam, t.t.), hlm. 27.

Page 2: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

39

Adab berteman dan bergaul dengan manusia. Adab beruzlah, adab

bermusyafir, adab mendengar dan merasa, amar ma’ruf nahimunkar, serta

adab kehidupan dan akhlak kenabian. Bagian ketiga tentang segala perbuatan

yang membinasakan terdiri atas sepuluh bab. Dalam bab ini dijelaskan tentang

semua budi pekerti yang tercela dan dalam al-Qur'an dengan

menghilangkanya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati dari padanya.

Dalam bab ini diterangkan juga tentang tiap-tiap budi pekerti, batas-batasnya,

hakikatnya, sebab yang membawa tertarik padanya yang dapat menimbulkan

bahaya. Disana juga dijelaskan tanda-tanda untuk mengenalinya dan

bagaimana cara mengobatinya supaya terlepas dari padanya. Semuanya itu

disertai dengan dalil-dalil ayat al-Qur'an, hadis dan kata-kata sahabat nabi.

Bab ini meliputi: uraian tentang keajaiban hati, latihan diri bahaya hawa

nafsu perut dan kemaluan, bahaya lidah dan bahaya marah, dendam dan

dengki, tercelanya dunia. Tercelanya harta dan kikir, tercelanya kemegahan

dan riya, tercelanya sifat takabur dan ujub, serta tercelanya sifat tertipu

kemenangan duniawi.

Bagian terakhir berisi tentang perbuatan yang melepaskan dalam bagian

ini dijelaskan tentang semua budi pekerti terpuji dan keadaan yang disukai

seperti budi pekerti muqarrabin dan saddiqin3yang akan mendekatkan diri

pada Tuhan pencipta alam. Bab-bab itu antara lain: bab taubat, sabar, syukur,

harap dan takut. Bab fakir, zuhud, tauhid, tawakal, cinta kasih, rindu, dan rela.

Bab niat benar, ikhlas. Bab muraqabah dan menghitung amalan, bab tafakur

dan serta bab dzikrul maut (ingat mati).

Dengan penjelasan semua bagian dari bab di atas diharapkan mampu

mengembalikan fitrah asal mula manusia yaitu tidak lain hanya untuk

beribadah kepada Allah SWT, Sebagaimana firman Allah;

)٥٦: الذاريات ( وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون

3 Ibid.

Page 3: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

40

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk beribadah kepada ku. (Qs. Al-Dzariat : 56)4.

Lebih lanjut, Kitab Ihya’ Ulumuddin disusun ketika umat Islam teledor

terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah al-Ghazali kembali dari rasa keragu-

raguan dengan tujuan utama untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.

Mengapa demikian? Ketika itu, umat Islam acuh terhadap ilmu-ilmu Islam

dan mereka lebih asyik dengan filsafat barat. Oleh karena itu, al-Ghazali

tergugah hatinya untuk membersihkan hati umat dari kesesatan, sekaligus

pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar baik Islam ataupun barat

(oreintalist)5 dengan menghadirkan sebuah karya ilmiah ditengah-tengah umat

Islam.

Dalam versi lain dikatakan bahwa penyusunan kitab Ihya’ ulumuddin

oleh al-Ghazali didasari oleh rasa ketidakyakinannya dalam hal ibadah kepada

Allah SWT. Dimasa itu terjadi pertentangan yang sangat besar antara kaum

sufi (tasawuf) dan kaum syariah (fuqaha). Kaum fuqaha’ menghabiskan

waktunya untuk memperbincangkan syah dan batal dengan mengabaikan

tentang kehalusan perasaan, sedangkan kaum sufi terlalu memupuk perasaan

(dzauq), kadang-kadang tidak memperdulikan amalan-amalan, ibadah dan

syariat yang sesuai dengan sunnah rasul. Oleh karenaya al-Ghazali

berkeinginan untuk menyatukan keduanya dengan menyusun sebuah kitab

yang diberi judul Ihya’ Ulumuddin. Dalam kitab ini al-Ghazali menuliskan

bahwa “syariat tanpa hakekat, bagaikan bangkai tak bernyawa, begitu juga

hakekat tanpa syariat ibarat nyawa tak bertubuh”.

B. Biografi Al-Ghazali

Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali.6 Dalam versi lain menyebutkan bahwa nama lengkap

4 Soenarjo, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan

/ Penafsir al-Qur'an, 1994), hlm. 862. 5 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan, (Semarang: Dimas, 1993),

hlm. 5. 6 Al-Ghazali, op, cit., hlm. 7.

Page 4: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

41

beliau dengan gelarnya adalah Syekh al-ajal al-imam al-zahida al-said al-

muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali abu

Hamid al-Ghazali, para ulama ahli sejarah menyebutkan bahwa al-Ghazali

lahir di kota Thus, pada tahun 450 H dan meninggal di kota yang sama.7 Dari

sumber lain menyebutkan bahwa ia lahir di kota Ghazalah,8 sebuah kota kecil

dekat Thus di Khurasan yang ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia

Islam.9

Al-Ghazali dibesarkan dalam keluarga sederhana yang taat beragama,

Ayahnya bekerja sebagai seorang pemintal dan penjual kain wol yang hasilnya

untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan para Fuqaha’ serta orang-orang

yang membutuhkan pertolongannya. Ayahnya termasuk orang yang mencintai

ilmu dan ulama’. Di waktu senggangnya dia sering dan aktif menghadiri

majlis-majlis ta’lim dan pengajian10 dan juga sering mengunjungi para

Fuqoha, pemberi nasihat dan duduk bersamanya sehingga ketika ia

mendengar nasehat para ulama tersebut, ia terkadang sempat menangis dan

lebih rendah hati seraya memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai anak

seperti halnya para ulama tersebut. Kekuasaan Allah mengabulkannya,

sehingga ia dikaruniai anak (al-Ghazali) yang kemudian menjadi ulama besar

dan terkenal hingga sekarang. Sementara itu saudaranya, Ahmad juga menjadi

penceramah dan penasihat yang masyhur pula, namun sayangnya orang tua al-

Ghazali tidak dapat melihat keberhasilan anak-anaknya.

Sejak kecil al-Ghazali telah menjadi yatim.11 Sebelum ayahnya

meninggal ia dan adiknya dititipkan kepada seorang sufi dengan harapan al-

Ghazali kelak menjadi seorang Faqih dan pemberi nasihat, dengan menitipkan

sedikit harta seraya berkata: “Aku menyesal sekali dikarenakan Aku tidak

belajar menulis, Aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu

7 Abudin Nata, Persepektif Islam Tetang Hubungan Guru Murid, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2001), hlm. 55. 8 Muhammad Sholihin, dkk., Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002),

hlm. 45. 9 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 159 10 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 53. 11 Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of Etical Norms in Ghazali and

Immanuel Kant, (Turki: Turky Diyanet Vakfi, 1992), hlm. 9.

Page 5: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

42

melalui dua putraku ini”. Sufi itu melaksanakan wasiat tersebut dengan cara

mendidik keduanya sampai suatu hari ketika harta itu habis dan tidak mampu

lagi memberi makan keduanya, Sufi itu menyerahkan al-Ghazali dan adiknya

kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus menyambung

hidup mereka disana.

Di madrasah tersebut al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqih dan Bahasa

Arab kepada Ahmad bin Muhammad al-Rizqani12 kemudian ke Jurjan menjadi

santri Abu Nasr Al-ismaili dilanjutkan ke Naisabur. Di sinilah ia berguru

kepada Al-juwaini yang terkenal dengan sebutan Imam Haramain, yaitu pada

tahun 478 H / 1086 M hingga ia menguasai ilmu kalam, ilmu manthiq, fiqih,

ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan13. Selama di Naisabur, ia

tidak hanya belajar kepada al-Juwaini, tetapi ia juga belajar teori-teori tasawuf

kepada Yusuf Al-Nasajj, kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf,

kendati hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah

hidupnya.

Kehausan al-Ghazali akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak

intelektualnya mulai berkembang, hal itu tercermin ketika ia belajar suatu

ilmu. Kecenderungan dalam mengetahui, memahami dan mendalami masalah-

masalah yang hakiki, begitu juga dari al-Juwaini, ilmu-ilmu yang diberikan

kepada al-Ghazali benar-benar dikuasai, termasuk perbedaan pendapat dari

para ahli ilmu. Karena kemahiran al-Ghazali dalam segala hal, al-Juwaini

memberi gelar Bahr Mughriq( lautan yang menghanyutkan ).14

Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir al-Ghazali membuatnya

semakin dikenal oleh masyarakat luas. Setelah gurunya wafat, Penyebaran

intelektualnya dilanjutkan ke daerah Mu’askar dan ia menetap disana kurang

lebih 5 tahun. Kegiatan pokoknya sebelum al-Ghazali terjun menjadi guru

besar Nizhamiyah, ia banyak mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang

diadakan oleh perdana menteri Nizhamul Mulk. Keikutsertaan al-Ghazali

dalam suatu diskusi bersama ulama dan intelektual terkenal dihadapan

12 Al-Ghazali, Munqid min al-dhalal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm.9. 13 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op. cit., hlm. 8. 14 Samsul Nizar, op. cit, hlm. 86.

Page 6: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

43

Nizhamul Mulk membawa kemenangan baginya, yang demikian itu berkat

ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, Kefasihan

lidahnya dan kejituan argumentasinya.

Melihat kehebatan, kecerdikan dan kepandaian al-Ghazali maka

Nizhamul Mulk sangat takjub dan kagum sehingga Nizhamul Mulk

menobatkan dirinya untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiah di

Baghdad pada tahun 484 H / 1091 M.15

Meskipun usianya baru tiga puluh tahun, al-Ghazali juga dinobatkan

untuk mengajar ilmu agama Islam yang diikuti oleh sebagian besar para ulama

dan para pemimpin dibaghdad. Hal ini berawal dari kekaguman mereka

kepada al-Ghazali dan kehauasan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, kurang dari empat tahun al-Ghazali telah memiliki murid

kurang lebih empat ratus (ulama’ dan pemimpin) hal ini menunjukkan

keberhasilan al-Ghazali dalam dunia pendidikan (mendidik dan mengajar)16.

Disamping itu, al-Ghazali juga aktif mengadakan perdebatan dengan

golongan-golongan yang berkembang pada masa itu.

Di balik perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, ternyata semua itu

menimbulkan pergolakan dalam diri al-Ghazali karena tidak ada yang

memberi kepuasan batinnya. Ia mengalami krisis rohani, merasa hampa

jiwanya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan jabatannya dan

menuju ke Syam untuk mencari ketenangan bathin dengan cara berkhalwat

(menyepi sambil merenung) ini dilakukan setelah ia bergelut dengan

skeptisme yang tak kunjung usai dan konflik psikis antara kepentingan dunia

dan akhirat.17

Selama dua tahun al-Ghazali menjadi hamba Allah SWT yang benar-

benar mampu mengendalikan hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktunya

untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf di masjid Damaskus.

15 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 10. 16 Abudin Nata, Persepektif Islam tentang pola hubungan Guru dan Murid, ( Jakarta:

Raja Grafiindo Persada, 2001), hlm. 61. 17 Al-Ghazali, Munqid Min adh dhalal, op. cit., hlm. 10.

Page 7: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

44

Untuk melanjutkan pendekatan diri kepada Allah SWT, al-Ghazali

tergugah hatinya untuk memenuhi panggilan-nya, yaitu menjalankan ibadah

haji. Dengan segera ia pergi ke Mekah, Madinah dan setelah itu ia ziarah ke

makam Rasulallah SAW. serta makam Nabi Ibrahim AS. Setelah selesai

mengerjakan ibadah haji, ia terus ke negeri Syam (Syiria), mengunjungi Baitul

Maqdis, kemudian ke Damaskus dan terus menetap ibadah di Masjid al-

Umawi di kota tersebut, yaitu pada suatu sudut yang terkenal hingga sekarang

dengan nama al-Ghazaliyah. Pada masa itulah beliau mengarang kitab Ihya’

Ulumuddin 18 yang hingga sekarang banyak dikaji oleh para sarjana.

Setelah kembali dari ibadah haji dan berkhalwat, keadaan hidup al-

Ghazali sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan

minum, mengunjungi masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan

menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan dan keikhlasan yaitu

hanya karena Allah SWT semata.19

Kemudian al-Ghazali kembali ke Baghdad, mengadakan majlis

pengajaran dan menerangkan isi dan maksud kitabnya “Ihya’ Ulumuddin”.

tidak lama kemudian atas desakan Fahrul Mulk (Putra Nizhamul Mulk) al-

Ghazali melanjutkan mengajar di Universtas Nizhamiah. Kali ini al-Ghazali

tampil sebagai tokoh pendidikan20 yang benar-benar mewarisi dan mengarifi

ajaran Rasulullah SAW. Ia tampil bukan hanya sebagai guru agama semata,

tapi juga sebagai sufi dan penunjuk jalan yang agamis yang sama sekali sudah

melepas kepentingan dunia yang fana ini.

Tidak lama ia tinggal di Naisabur, setelah mengabdikan diri untuk ilmu

pengetahuan selama berpuluh-puluh tahun dan memperoleh kebenaran yang

hakiki pada akhir hayatnya, maka kemudian al-Ghazali kembali ke kota

kelahirannya yaitu Thusia. Disana Ia mengasuh sebuah pondok untuk kaum

sufi dan juga madrasah untuk para penuntut ilmu.21 Kegiatan pokok al-Ghazali

18 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 11. 19 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op. cit., hlm. 8. 20 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 87. 21 Amin Syukur, dkk., Intelektual Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.

138.

Page 8: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

45

diakhir hayatnya adalah membagi waktunya untuk membaca al-Qur'an,

mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada para

penuntut ilmu yang ingin menyauk lautan ilmunya, mendirikan shalat dan

lain-lainnya.

Kegiatan ini berlangsung hingga al-Ghazali menghembuskan nafas

yang terakhir dengan mendapat khusnul khotimah. Al-Ghazali meninggal

pada tanggal 19 Desember 1111 M22 atau bertepatan pada hari senin tangal 14

Jumadi Akhir tahun 505 H di Thusia. Jenazahnya dikebumikan dipemakaman

ath-Thabiran23 berdekatan dengan makam al-firdausi ahli syair ternama.

Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan, sedangkan putra

laki-lakinya sudah meninggal sejak kecil sebelum al-Ghazali wafat. Namanya

Hamid oleh karena itu beliau mendapat gelar julukan Abu Hamid.

C. Sosiokultural Kehidupan Al-Ghazali

Berbicara pemikiran seorang tokoh, maka satu hal yang tidak bisa

diabaikan adalah keadaan sosial ketika sang tokoh tersebut berinteraksi

langsung dengan setting sosial kala itu. Sebab apapun kondisi saat manusia

hidup dan bergelut, sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir manusia itu

sendiri tak terkecuali al-Ghazali. Dia hidup dimasa munculnya aliran-aliran

pemikiran ditengah masyarakat Islam. Berbagai macam corak pemikiran yang

timbul disebabkan karena persoalan-persoalan yang melingkupi umat Islam

saat itu.

Sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW dilanjutkan dengan

periode pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan puncaknya adalah pada masa

pemerintahan Saidina Ali dengan ditandai makin banyaknya permasalahan

yang muncul hingga ke persoalan politik. Wujudnya adalah ketidaksetujuan

para sahabat terhadap pengangkatan Sayyidina Ali ra. sebagai khalifah yang

keempat hingga terjadi peperangan di antara sesama muslim, perang inilah

yang menjadi penyebab perkembangan persoalan hingga Ali ra. terbunuh.

22 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 54. 23 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 159.

Page 9: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

46

Persoalan yang timbul dalam peperangan dan lapangan politik di atas

akhirnya berdampak pada timbulnya persoalan-persoalan teologi.24 Maka

muncullah pengkafiran / siapa yang kafir dalam arti siapa yang keluar dari

Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.

Lambang dari perpecahan politik adalah adanya genjatan senjata

melalui tahkim (arbhifrase). Dengan adanya tahkim, akhirnya muncul aliran-

aliran dalam beraqidah, diantaranya: aliran Khawarij, Syiah dan Murji’ah.

Aliran-aliran ini semakin lama semakin tidak ada titik temunya, hingga masa

al-Ghazali, bahkan hingga sekarang ini.

Apabila dirunut dari rentang perjalanan sejarah, maka kendatipun masa

hidup al-Ghazali masih berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun

sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau jelasnya masa disintregasi

(1000-1250 M).25 Secara politis kekuatan pemerintahan Islam yang masa itu

dibawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah sangat lemah dan mundur karena

terjadinya konflik internal yang berkepanjangan dan tak kunjung

terselesaikan. Hal ini merupakan sebab utama munculnya berbagai masalah.

Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami

masa keemasan sebelumnya, pada masa al-Ghazali mengalami kemunduran,

bahkan nyaris kehilangan kepribadiannya. begitu juga dalam ilmu-ilmu agama

Islam dirasakan telah mati dalam jiwa umat Islam.26 Dalam bidang

pendididkan dan kejiwaan, umat Islam mengalami kemiskinan intelektual,

spiritual dan moral.

Disorientasi kehidupan telah melanda umat. Tarikan segi-segi

keduniaan dalam berbagai aspek kehidupan banyak mengalahkan segi-segi

keakhiratan. Oleh Karena itu, pada bidang agama yang menuntut pengamalan-

pengamalan, dan penghayatan secara intens justru dimanfaatkan untuk

mencari popularitas, jabatan,pangkat di sekitar pusat kekuasaan.

Begitu juga dalam bidang pemikiran, tidak luput dari berbagai

permasalahan. Sehubungan dengan terjadi polarisasi dan pluralisasi paham

24 Muhaimin, Ilmu Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 12. 25 Amin Syukur, dkk., op. cit., hlm. 119. 26 Ibid., hlm. 120.

Page 10: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

47

dari berbagai kelompok yang masing-masing mengklaim paling benar27.

Dalam pandangan al-Ghazali ada empat golongan yang menimbulkan krisis

dalam bidang pemikiran dan intelektual, yaitu kaum mutakalimin, filosuf, ahli

kebatinan (ta’limiyah) dan kaum sufi. Hal ini disebabkan oleh adanya

pengalaman al-Ghazali sendiri.

Ia mengalami keadaan yang syak (tidak ada keyakinan) atau masa

skeptis, dikarenakan oleh adanya pertentangan diantara disiplin ilmu, yang

akhirnya ia memutuskan untuk berkhalwat dan mencari keyakinan yang

hakiki, Melepaskan keduniaan dan melakukan pengembaraan serta

menjalankan ibadah haji.28 Sepulangnya al-Ghazali dari tanah suci dan

mendapatkan keyakinan yang hakiki, maka ia berusaha untuk

mempersatupadukan dan mencari titik temu. Contoh pertentangan kaum

Syariah dan kaum hakikat (sufi). Al-Ghazali berkata: “hakikat tanpa syariah

bagaikan ruh tak bertubuh dan syariah tanpa hakikat bagaikan tubuh tak

bernyawa.”

Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang mengitari masa hidup al-

Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya kecerdasan dan

ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif dengan

zamannya yang penuh ketegangan yang disebabkan oleh banyaknya madzhab,

garis kesukuan, kebahasaan, kedaerahan bahkan idiologi negara. Menghadapi

dunia Islam saat itu yang dipenuhi oleh pragmentasi sosial politik dan alam

pikiran yang tidak terkontrol, serta dibarengi oleh adanya penyempitan paham,

dan kurangnya sikap tasamuh diantara sesama muslim, al-Ghazali dengan

sikap kritis dan keberaniannya mengambil keputusan secara realistis dan

mantap, beliau memilih tasawuf sebagai pondasi dasar teologisnya.29

Sikap al-Ghazali itu terefleksikan dalam karya monumentalnya Ihya’

Ulumuddin, yang merupakan reaksi terhadap keadaan riil yang mengglayuti

kehidupan dirinya dan kehidupan umat Islam saat itu, kitab itu berisikan

27 Fathiyah Hasan Sulaiman, op. cit., hlm. 12. 28 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 63. 29 Amin Syukur, dkk., op. cit., hlm. 125.

Page 11: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

48

penghidupan kembali ilmu-ilmu keagamaan dan juga seruan kembali kepada

hal-hal yang telah digariskan oleh Allah SWT.

D. Karya-Karya al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam dan juga seorang pengarang

yang produktif.30 Di masa hidupnya baik sebagai penasihat kerajaan maupun

sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur

maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap. Beliau tetap aktif

mengarang sehingga puluhan kitab bahkan ratusan telah berhasil

dipersembahkan kepada umat Islam.

Al-Ghazali aktif mengarang sejak usia 25 tahun hingga akhir hayatnya

yaitu berusia 55 tahun. Diperkirakan, setiap tahun tidak kurang dari sepuluh

buku yang dihasilkannya, baik kecil ataupun besar yang meliputi berbagai

disiplin ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh,

tafsir, tasawuf31 dan ilmu akhlaq. Akan tetapi dalam hal ini, karena

keterbatasan kemampuan manusia, maka tidak semua karyanya terdeteksi

keberadaannya dan juga tersebar di seluruh perpustakaan penjuru dunia.

Harus diakui bahwa al-Ghazali merupakan salah satu tokoh pemikir

yang berjasa dalam peradaban Islam, ia juga merupakan orang yang

berpengaruh kedua di kalangan umat Islam setelah Rasulallah SAW, uniknya,

pengaruh al-Ghazali tidak hanya di kalangan agama Islam tetapi juga agama

lain seperti Kristen dan Yahudi yaitu melalui beberapa filsafatnya.

Menurut Dr. Badawi Thabanah32 yang ditulis dalam Muqoddimah Kitab

Ihya’ Ulumuddin. Karya al-Ghazali dikelompokkan menurut disiplin ilmu

pengetahuan, sebagai berikut:

1. Kelompok Ilmu Akhlaq dan Tasawuf

a. Ihya’ Ulumuddin (Penghidupan kembali ilmu-ilmu agama)

b. Ayyuhal Walad (Hai anak-anakku)

c. Mizan al-Amal (Timbangan amal)

30 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 141. 31 Amin Syukur, op. cit., hlm. 141. 32 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 55.

Page 12: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

49

d. Misykat al-Anwar (Relung-relung cahaya)

e. Minhaj al-Abidin (Pedoman beribadah)

f. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al Akhirah (Mutiara penyingkap

ilmu akhirat)

g. Al-Qurabah ila Allah ‘Azza wa jalla (Mendekatkan diri kepada Allah)

h. Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar (Akhlaq yang luhur dan

menyelamatkan dari keburukan)

i. Bidayatul Hidayah (Langkah-langkah mencapai hidayah)

j. Al-Mabadi wa al-Ghayah (Permulaan dan tujuan akhir)

k. Risalah al-Qudsiyah (Risalah suci)

l. Al-Ulum al-Laduniyah (Ilmu-ilmu laduni)

2. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam.

a. Maqasid Falasifah (Tujuan filsafat)

b. Tahafut Al-Falasifah (Kekacauan para filosuf)

c. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam aqidah)

d. Al-Qishah al-Mustaqim (Jalan untuk mengatasi kegelisahan)

e. Hujjatul Haq (Argumen-argumen yang benar)

f. Mahkum al-Nadhar (Metodologika)

g. Asrar Addin (Misteri ilmu agama)

h. Ishbatu al-Nadhar (Penetapan logika)

i. Mufahil al-Khilaf fi Ushul al-Din (memisahkan perselisihan dalam

ushuluddin)

3. Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh

a. Al-Basith (Pembahasan yang mendalam)

b. Al-Wasith (Perantara)

c. Al-Wajiz (Surat-surat wasiat)

d. Al-Mankhul (Adat kebiasaan)

e. Syifa’ al-‘Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil (Terapi yang tepat pada qiyas

dan ta’wil)

f. Adz-Dzariah ila Makarimi al-Syariah (Jalan menuju kemuliaan

syariah)

Page 13: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

50

4. Kelompok Tafsir

a. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode ta’wil dalam menafsirkan

al-Qur'an)

b. Jawahirul Qur’an (Rahasia-rahasia al-Qur'an)

E. Pandangan al-Ghazali Tentang Etika Guru Dan Murid Dalam Kitab

Ihya’ Ulumuddin

Pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh

pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohai anak menuju terbentuknya

kepribadian yang utama. Dalam hal ini pendidikan mengandung tiga unsur

pokok yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu: unsur pendidik (guru), anak

didik (murid), dan tujuan.

Pada dasarnya proses pendidikan merupakan interaksi antara pendidik

dan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks

umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentransmisikan pengalaman-

pengalaman dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Imam al-

Ghazali “Tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT

bukan pangkat dan bermegah-megahan.”33

Untuk merealisasikan tujuan pendidikan itu, maka dibutuhkan interaksi

antara guru dan murid, dalam arti hubungan seperti apakah yang akan

terwujud?. Untuk menjawab masalah ini tidaklah sederhana, karena dalam

interaksi tersebut, guru sebagai pelaku utama kegiatan pendidikan

memerlukan persiapan baik dari segi penguasaan ilmu yang diajarkan,

kemampuan menyampaikan ilmu secara efesien dan efektif kepada anak didik

(murid) yang bervariasi watak ataupun kepribadian sehingga membutuhkan

konsep / teori khusus dalam mengaplikasikannya. Dalam hal ini Imam al-

Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberikan beberapa konsep Etika

guru terhadap murid dan juga etika murid terhadap guru.

33 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, (Bandung:

Pustaka Setya, 2003), hlm. 13.

Page 14: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

51

Adapun Etika Guru menurut al-Ghazali sebagaimana dalam kitab Ihya

Ulumuddin sebagai berikut :

1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada Murid dan memeperlakukan

sebagaimana anaknya sendiri. Dalam hal ini, orang tua adalah penyebab

adanya si anak lahir di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi

penyebab bagi kehidupan yang kekal di akherat.

2. Mengikuti jejak Rasulullah SAW., yaitu tidak meminta upah atas

tugasnya, tetapi mengajar hanya karena Allah SWT, tidaklah ia melihat

apa yang telah dikerjakan kepada murid, akan tetapi kewajiban bagi murid

untuk selalu mengingat budi baik guru kepadanya.

3. Tidak meninggalkan nasehat. contoh melarang murid mempelajari sesuatu

ilmu sebelum pada tingkatanya dan juga mempelajari yang tersembunyi

sebelum selesai yang terang.

4. Termasuk yang halus-halus dari mengajar, bahwa guru menghardik murid

dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak

dengan cara terus terang dan dengan cara kasih sayang tidak dengan cara

mengejek. Sebab dengan cara terus terang, merusakkan takut murid

kepada guru dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka

meneruskan sifat yang jahat itu.

5. Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran,

tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan murid, misalnya

Guru bahasa melecehkan ilmu fikih.

6. Guru harus menyingkatkan pelajaran menurut pemahaman murid. Jangan

mengajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya.

7. Kepada seorang pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan

pelajaran yang jelas yang layak baginya.

8. Seorang guru harus mengamalkan ilmunya. Janganlah perkataannya

membohongi perbuatannya 34

34 Al-Ghazali, op. cit., hlm. 62-69

Page 15: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

52

Dan juga, Etika Murid menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut :

1. Mendahulukan kebersihan bathin dari kerendahan budi dan sifat-sifat

tercela. Sebab ilmu pengetahuan merupakan kebaktian hati, shalat bathin

dan pendekatan jiwa kepada Allah SWT.

2. Seorang Murid hendaklah mengurangkan hubungnnya urusan duniawi,

menjauhkan diri dari keluarga dan kampung halaman. Sebab segala

hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain.

3. Seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan

pula menentang atau memerintah guru, tetapi menyerahkan seluruhnya

kepada guru dengan menaruh keyakinan penuh terhadap segala hal yang

dinasehatkan sebagaimana orang sakit yang bodoh yakin kepada dokter

yang ahli dan berpengalaman.

4. Bagi Murid pada tingkat permulaan, hendaklah menjaga diri dari

mendengar pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan. Baik ilmu

keduniaan ataupun ilmu keakhiratan.

5. Seorang Murid jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada

cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran-pelajaran

sebelumnya.

6. Seorang Murid jangan menenggelamkan diri pada suatu bidang ilmu

pengetahuan secara serentak, tetapi memelihara tertib dan memulainya

dari yang lebih penting.

7. Seorang Murid jangan melibatkan diri pada pokok bahasan atau suatu

bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakan bidang yang

sebelumnya, karena ilmu pengetahuan itu tersusun secara tertib

8. Seorang murid agar mengetahui sebab untuk mendapatkan ilmu yang

termulia, yaitu kemulian hasil dan kepercayaan serta kekuatan dalilnya.

9. Seorang Murid agar dalam mencari ilmu, didasarkan pada upaya menghias

bathin dan mempercantik dengan berbagai keutamaan.

10. Seorang Murid harus mengetahui hubungan ilmu pengetahuan itu kepada

tujuannya, supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu,

Page 16: Bab III Ghozali - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/...s1-2006-muhammadgh-1606-bab3_31… · muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali

53

membawa pengaruh kepada tujuannya yang mash jauh dan yang penting

membawa pengaruh pada yang tidak penting .35

Dari uraian tersebut terlihat bahwa guru dan murid merupakan dua

unsur yang tidak bisa dipisahkan. Dalam arti formal terjadi relasi edukatif

yaitu suatu proses yang menggambarkan adanya hubungan aktif antara guru

dan murid dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya untuk mencapai

tujuan pendidikan,36 sehingga terbentuklah mileu belajar-mengajar yang

kondusif, yaitu guru memberikan ilmu-ilmunya (transfer of knowledge) dan

murid menerima apa yang diajarkannya yang didasarkan atas nilai religiusitas.

Dalam hal ini penentu utama keberhasilan pendidikan adalah guru dan

murid. Guru harus mempersiapkan segala sesuatu yang akan diberikan kepada

murid, begitu juga murid ia harus bersih hatinya dalam menerima pancaran

ilmu.Oleh karena itu, hubungan Guru dan murid tidak hanya sebatas belajar-

mengajar, dalam hal ini guru harus membimbing, menasehati dan menjadi

teladan / uswatun hasanah bagi muridnya. Dengan kata lain Guru merupakan

penyebab kehidupan abadi (kehidupan kekal di akhirat) dan orang tua

penyebab murid lahir di dunia.

Dari konsep diatas terlihat adanya hubungan yang khas antara guru dan

murid. Hubungan itu tidak sebatas untung-rugi yang dinilai dengan materi

ataupun layaknya pemberi dan penerima, begitu juga hubungan yang dibatasi

oleh tempat dan waktu (dianggap guru maupun murid manakala berada dalam

kelas), akan tetapi pada hakikatnya merupakan hubungan keagamaan, yaitu

suatu hubungan yang memiliki nilai-nilai transenden / kelangitan.37

35 Ibid., hlm. 69-72 36 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif, ( Jakarta:

Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 11. 37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2004), hlm. 77.