BAB v Pembahasan
-
Upload
vhiiettdaciuhma -
Category
Documents
-
view
16 -
download
0
description
Transcript of BAB v Pembahasan
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan membahas kesesuaian serta kesenjangan antara teori dengan
asuhan keperawatan yang diberikan kepada Tn. R Z di ruangan Bratasena dengan
masalah keperawatan : waham, harga diri rendah, kerusakan komunikasi verbal,
halusinasi, koping individu tidak efektif dan risiko perilaku kekerasan.
Diagnosa keperawatan pertama pada Tn. R Z adalah waham. Waham adalah suatu
keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus-menerus namun
tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2011).
waham adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus internal dan
eksternal secara akurat. Gangguan tersebut muncul dalam bentuk keyakinan
individu yang tidak dapat divalidasi dan dibuktikan secara realita. Keyakinan
individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis dan diucapkan
secara berulang-ulang (Kusumawati, 2010). Menurut Stuart & Laraia (2005),
waham dalah kepercayaan yang salah terhadap obyek dan tidak konsisten dengan
latar belakang intelektual dan budaya. Selain itu, waham disebut juga dengan
keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kondisi obyektif, dipertahankan terus
menerus.
Tanda dan gejala yang dihasilkan atas penggolongan waham antara lain ; (Waham
perawatan minimal) Berbicara dan berperilaku sesuai dengan realita,
Bersosialisasi dengan orang lain, Mau makan dan minum dan Ekspresi wajah
tenang ; (waham perawatan parsial) Cenderung menghindari orang lain,
Mendominasi pembicaraan dan Bicara kasar ; (Waham perawatan total) Melukai
diri dan orang lain, Menolak makan / minum obat karena takut diracuni, Gerakan
tidak terkontrol, Ekspresi tegang, Iritable, Mandominasi pembicaraan, Bicara
kasar, Menghindar dari orang lain dan Mengungkapkan keyakinannya yang salah
berulang kali.
Penegakan diagnosa waham setelah ditemukan data yang mendukung pada
tanggal 04 Desember 2016. Hasil pengkajian yang diperoleh dari wawancara dan
observasi selama berinteraksi dengan Tn. R Z menunjukkan beberapa data yang
mengarah pada masalah keperawatan waham kebesaran antara lain ;
kecenderungan Tn. R Z mengungkapkan hobi otomotifnya, Tn. R Z mengatakan
pernah menjuarai lomba rally dunia di medan bersama teman SMA nya pada
Tahun 1993 menggunakan mobil xenia dan avanza (pada waktu itu baru klien
yang memiliki), setelah dari itu Tn. R Z mengatakan pulang dari Medan ke Jakarta
menggunakan pesawat garuda yang hanya diisi oleh klien dengan temannya
(serasa pesawat pribadi), klien mengatakan dekat dengan Ibu Megawati dan Puan
Megawati, klien mengatakan tanda tangan deputi Gubernur BI di uang kertas
adalah tanda tangan dirinya yang diamanatkan oleh Ibu Megawati. Klien merasa
enggan untuk berinteraksi dengan klien lain yang dianggap tidak bisa sepemikiran
dalam pembicaraan, klien juga enggan membantu/melakukan aktivitas di ruangan
Bratasena (menyapu, mengepel, bersih-bersih dll) karena bukan level klien.
Faktor predisposisi terjadinya masalah keperawatan waham pada Tn. R Z secara
psikososial, keluarga, pengasuh dan lingkungan klien yang mempengaruhi
perkembangan psikologis klien. Sejak usia 3 tahun klien sudah ditinggalkan orang
yang berarti menurut klien (Ibu) dan klien tinggal dengan nenek karena ayah klien
menikah lagi. Klien merasakan kesedihan ketika ditinggalkan oleh orang yang
berarti dalam hidup klien. Selanjutnya, klien kehilangan adiknya yang meninggal
karena sakit miom. Klien mengatakan faktor financial yang selalu menjadi
masalah utama bagi dirinya, namun klien mengatakan dapat meminta saja dengan
paman atau sepupunya. Tahun 2003 klien kehilangan orang yang berarti bagi
klien (nenek), klien mengatakan sedih namun pasrah karena segala sesuatu sudah
ditakdirkan Allah.
Faktor presipitasi terjadinya masalah keperawatan waham pada Tn. R Z adalah
adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi pada klien, seperti keinginan klien untuk
memiliki mobil dan hobi dalam bidang otomotif yang tidak mendapat support dari
keluarga. Tekanan serta proses berduka yang tidak tuntas dilewati klien. Klien
beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini telah menjadi takdir Allah dan
sudah digariskan sehingga membuat klien pasrah serta malas untuk beraktivitas
dan bekerja. Klien mengatakan manusia lebih baik melaksanakan kewajiban
shalat 5 waktu selanjutnya takdir Allah yang menentukan. Faktor predisposisi dan
faktor presipitasi yang tampak dalam masalah waham pada Tn. R Z sejalan
dengan teori mengenai terjadinya waham.
Tujuan dari tindakan keperawatan pada pasien waham antara lain, klien dapat
berorientasi kepada realita secara bertahap, klien mampu memenuhi kebutuhan
dasar, klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan, klien
menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (Keliat, 2010). Tindakan keperawatan
yang dilakukan yaitu bina hubungan saling percaya, bantu orientasi realita,
diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah, tingkatkan aktivitas yang dapat
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien, berdiskusi tentang kemampuan
positif yang dimiliki, bantu melakukan kemampuan yang dimiliki, berdiskusi
tentang obat yang diminum, melatih minum obat yang benar.
Aplikasi tindakan keperawatan terkait masalah keperawatan waham berdasarkan
Nursing Interventions Classification yang telah dilakukan terhadap klien Tn. R Z,
meliputi membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi kebutuhan
psikologis/emosional yang belum terpenuhi hingga saat ini bagi klien, bantu klien
kedalam orientasi realita, mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klien,
diskusi harapan setelah keluar dari RSMM, melatih kemampuan yang dimiliki,
diskusi tentang obat yang diminum serta minum obat secara teratur.
Perkembangan yang cukup baik diperlihatkan oleh Tn. R Z setelah diberikan
intervensi keperawatan tersebut, hal ini ditunjukkan dengan klien mampu
mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi. Selain itu, klien mampu
mengambil keputusan akan kebutuhan yang sangat diperlukan saat ini dan yang
masih bisa untuk diganti dengan kebutuhan yang lainnya, seperti kebutuhan akan
mobil dan otomotif menurut klien bukan kebutuhan utama (primer). Kegiatan
melakukan kemampuan positif yang ditunjukkan oleh klien, antara lain mampu
mengikuti latihan di ruang Rehab (kelas gerabah dan olahraga) yang dapat
meningkatkan harga diri klien di mata orang lain. Klien juga mampu diarahkan ke
realita bahwa saat ini klien di rawat untuk proses penyembuhan.
Hambatan yang dialami selama interaksi dan memberikan asuhan keperawatan
pada Tn. R Z adalah dominasi pembicaraan yang berulang-ulang dari klien
mengenai hobi dan kecintaannya terhadap otomotif. Selain itu pendapat klien
yang mempertahankan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir dari
Allah SWT sehingga klien beranggapan manusia cukup berpasrah diri tampa
harus berusaha (bekerja). Sehingga klien harus terus di motivasi dalam
melaksanakan aktivitas harian di ruangan maupun nantinya di rumah. Strategi
yang perawat lakukan adalah dengan mengajak berdiskusi dan membawa klien
kedalam orientasi realita mengenai kehidupan yang seharusnya dijalani oleh
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hal tersebut cukup efektif untuk
meningkatkan hubungan saling percaya antara klien dan perawat. Hal ini terlihat
dengan semakin sering klien mengungkapkan masalah yang lain (kesedihan klien
kehilangan istri, ibu, nenek) pada hari-hari selanjutnya. Selain itu motivasi klien
dalam beraktivitas dan memberikan pujian yang wajar meningkatkan keterlibatan
klien dalam aktivitas di ruangan maupun saat di rehab. Dengan semakin sering
interaksi, memberikan motivasi kepada klien dan pengakuan akan kehadiran klien
dalam keluarga serta kelompok akan meningkatkan harga diri agar klien dapat
secara perlahan kembali ke realita.
Masalah keperawatan kedua yang ditemukan pada tanggal 25 November 2015
adalah harga diri rendah. Harga diri rendah adalah perasaan negatif diri sendiri,
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat,
2007). Townsend (2014) menyatakan bahwa harga diri rendah ditandai dengan
adanya perasaan kurang berharga, merasa tidak mampu, pandangan hidup yang
pesimis, mengkritik diri sendiri serta perasaan tentang diri yang negatif. Hal ini
sesuai dengan tanda dan gejala yang diperlihatkan oleh Tn. R Z yang cenderung
mengalihkan wajah (tidak ada kontak mata) saat membahas tentang keluarga,
pekerjaan, cita-cita, klien merasa sedih atas perceraian dan kehilangan ibu serta
neneknya. Klien merasa kurang dihargai sebagai cucu pertama dalam keluarga,
merasa tidak diterima kehadirannya dalam keluarga, merasa ditelantarkan oleh
ayahnya dari usia 3 tahun tinggal dengan nenek, pasrah dengan keadaan karena
semua sudah ketentuan Allah SWT, mengatakan malu dan demam panggung jika
harus tampil di depan banyak orang. Selain itu Tn. R Z cenderung tiduran di
lantai, duduk sendiri, penurunan produktivitas, tampak lesu dan jarang
berinteraksi dengan klien lain. Tanda dan gejala secara objektif maupun subjektif
tersebut mengarahkan pada permasalahan harga diri rendah.
Faktor predisposisi yang menyebabkan masalah keperawatan harga diri rendah
pada Tn. R Z antara lain kurangnya tanggung jawab diri (malas bekerja, maupun
mencari pekerjaan, memilih-milih pekerjaan), tergantung pada orang lain
(saudara, paman, keluarga) karena merasa sebagai cucu pertama layak di hargai
dan dihormati, ideal diri tidak realistis. Menurut Townsend (2014) menyatakan
bahwa faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah sebuah penolakan
berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis. Hal ini sesuai dengan gejala yang tampak
pada klien Tn. R Z. Sedangkan faktor presipitasi yang dialami oleh Tn. R Z
adalah kehilangan pasangan akibat perceraian dan mengalami putus obat.
Perceraian tersebut terjadi diakibatkan belum punya anak selama 13 tahun
menikah serta klien yang agak malas bekerja dibandingkan istrinya (kurang
bertanggung jawab mencari nafkah). Hal ini didukung oleh pernyataan Townsend
(2014) yang menyatakan bahwa faktor presipitasi pada Tn. R Z yang mengalami
harga diri rendah diakibatkan oleh kegagalan mempertahankan rumah tangga dan
putus obat.
Tindakan keperawatan diagnosa harga diri rendah menurut Bulechek, Butcher,
dan McCloskey (2013) dalam Nursing Interventions Classification antara lain
penumbuhan harapan (memfasilitasi perkembangan penampilan positif pada
situasi tertentu). Peningkatan harga diri (membantu klien meningkatkan
penghargaan terhadap diri) dengan cara beri penguatan terhadap kekuatan diri
yang dimiliki klien, bantu klien menentukan respon positif dari orang lain, hindari
tindakan yang dapat mengusik klien, bantu penyusunan tujuan yang realistis untuk
peningkatan harga diri klien, gali pencapaian sebelumnya, beri penghargaan atau
pujian terhadap keberhasilannya, fasilitasi lingkungan dan aktivitas untuk
mendukung peningkatan harga diri klien.
Tindakan keperawatan yang telah dilakukan berdasarkan dalam mengatasi
masalah keperawatan harga diri rendah adalah mengidentifikasi kemampuan
positif yang dimiliki oleh Tn. R Z. Perawat memberi motivasi agar Tn. R Z
memilih kegiatan positif yang dapat dilatih. Kemampuan positif yang telah dipilih
oleh Tn. R Z adalah modifikasi mobil, mengaji, mengendarai mobil (sopir),
berwirausaha, mewarnai gerabah, olahraga tenis meja, perawatan diri secara
mandiri. Kegiatan positif yang telah berhasil dilatih kemudian dimasukkan dalam
jadwal harian Tn. R Z adalah mewarnai gerabah, olahraga, mengaji serta
perawatan kebersihan diri secara mandiri. Kegiatan positif atau kemampuan
positif dilatih dan diidentifikasi bersama Tn. R Z untuk menumbuhkan serta
meningkatkan rasa kepercayaan diri bahwa Tn. R Z masih mampu melakukan
kegiatan yang berguna. Kegiatan mencuci piring membersihkan ruangan tidak
dimasukkan kedalam hal positif klien, karena hal tersebut dapat merendahkan
harga diri klien.
Setiap orang berhak mendapatkan harga diri yang sesuai sebagaimana manusia
yang bermartabat, sama halnya dengan Tn. R Z yang berhak mendapatkan
kembali harga dirinya dengan terus melatih kemampuan positif yang dimiliki.
Kemampuan atau kegiatan positif yang dilatih dapat meningkatkan harga diri Tn.
R Z terutama pada saat melakukan aktivitas rutin sehari-hari. Kegiatan positif
yang dipilih oleh Tn. R Z sebagian besar tidak dapat dilatih di ruangan karena
keterbatasan alat dan fasilitas, pada kesempatan yang akan datang perawat
mungkin harus berkomunikasi dengan pihak keluarga dan berdiskusi mengenai
kegiatan positif yang dapat dilakukan klien nantinya dirumah tanpa merendahkan
harga diri klien.
Hambatan yang dihadapi dalam memberikan intervensi terkait masalah harga diri
rendah adalah Tn. RZ yang masih belum konsisten melakukan kegiatan yang
dilatih karena keadaan Tn. RZ yang cenderung kurang bersemangat (harus
dimotivasi). Tn. RZ kurang mampu mengidentifikasi kemampuan positif yang
lainnya, sehingga perawat memutuskan untuk membantu mengindentifikasi
kemampuan positif yang ada dalam diri Tn. RZ. Perawat terus memotivasi Tn. RZ
untuk melakukan kegiatan positif sederhana secara terus menerus, ketika kegiatan
sederhana tersebut sudah dijalankan dengan baik secara bertahap perawat akan
membantu Tn. RZ untuk mengidentifikasi kemampuan positif lain yang lebih
komprehensif seperti kegiatan terkait pekerjaan yang masih bisa dilakukan.
Masalah keperawatan yang ketiga pada Tn. RZ adalah isolasi sosial yang
ditemukan pada hari kedua pengkajian (tanggal 25 November 2015). Isolasi sosial
merupakan suatu keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2006). Isolasi sosial adalah
suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain
(Townsend, 2014). Tanda dan gejala seseorang mengalami isolasi social menurut
Townsend (2014) adalah apatis atau kurang peduli terhadap lingkungan, kurang
komunikasi verbal, mengisolasi diri, cenderung menyendiri, minim interaksi
dengan lingkungan, dan sebagainya.
Secara spesifik dari hasil pengkajian yang menunjukkan masalah keperawatan
isolasi sosial pada Tn. RZ yaitu kecenderungan untuk menyendiri, melamun, tidak
mau mengobrol dengan teman lain dengan alasan tidak selevel/tidak sepemikiran
dengan klien, hanya ingin berbicara/berinteraksi dengan klien tertentu saja, malas
beraktivitas, lebih ingin mendekatkan diri kepada Allah. Isolasi sosial yang terjadi
pada Tn. RZ diakibatkan oleh adanya harga diri rendah yang dapat mengakibatkan
Tn. RZ gengsi/malu serta enggan untuk melakukan interaksi dengan orang lain
dan cenderung untuk memilih melamun sendirian saja dalam beraktivitas. Klien
tampak kurang mampu memulai interaksi dan hanya mengenal 3-4 klien lain.
Faktor predisposisi terjadinya masalah isolasi sosial pada Tn. RZ secara
psikologis keterampilan verbal Tn. RZ cukup baik ditandai dengan komunikasi
yang lancar saat berinteraksi dengan perawat atau klien lain yang dianggap
sepemikiran oleh Tn. RZ, sulit untuk memulai komunikasi dengan orang lain,
pengalaman masa lalu yang kurang baik ditandai dengan krisis peran akibat
perceraian dan ketidakpedulian oleh keluarga. Secara sosial budaya Tn. RZ tidak
bekerja dan hanya menerima uang saku dari saudara/pamannya. Faktor presipitasi
terjadinya masalah isolasi sosial pada Tn. RZ adalah kegagalan dalam
mempertahankan rumah tangga, proses kehilangan orang yang berarti dalam
hidup (ibu, nenek dan istri) serta kebutuhan klien tidak terpenuhi yang
mengakibatkan stres berat pada Tn. RZ.
Tindakan keperawatan untuk diagnosa isolasi dalam Nursing Interventions
Classification (NIC) antara lain manajemen perilaku dengan cara meningkatkan
keterampilan sosial serta membantu mengembangkan keterampilan sosial
interpersonal, pembinaan hubungan yang kompleks dengan cara memfasilitasi
klien untuk membina hubungan dengan klien yang kesulitan berinteraksi dengan
orang lain, peningkatan koping dengan cara membantu klien beradaptasi dengan
persepsi stresor, perubahan, ancaman yang menghambat pemenuhan kebutuhan
dasar dan peran individu, peningkatan sosialisasi dengan cara memfasilitasi klien
untuk meningkatkan interaksi dengan yang lain.
Aplikasi tindakan keperawatan diagnosa isolasi sosial yang telah dilakukan
terhadap Tn. RZ, antara lain mengidentifikasi keuntungan dan kerugian interaksi,
berlatih memperkenalkan diri, mempraktikkan cara berkenalan dengan teman
maupun perawat. Perkembangan yang diperlihatkan oleh klien cukup baik setelah
dilakukan implementasi tersebut, perkembangan ini ditunjukkan oleh adanya,
kontak mata saat berinteraksi, klien mengenal lebih dari 9 klien lain, badan tegak,
dan senyum, selain itu kemampuan melakukan kegiatan sambil mengobrol atau
berbicara dengan klien lain tampak sudah dilakukan klien, seperti berkumpul
sambil merokok/makan sesuatu, makan bersama di meja makan serta mengikuti
kegiatan di rehab.
Secara garis besar hambatan yang dialami dalam memberikan intervensi terkait
isolasi sosial pada Tn. RZ adalah kurangnya motivasi dan merasa kurang layaknya
klien berada di RSMM dengan klien lain. Klien merasa tidak sepemikiran dengan
klien lain, sehingga klien hanya ingin berkomunikasi dengan klien lain yang
lancar komunikasinya. Klien juga malas beraktivitas fisik karena segala sesuatu
sudah ketentuan Allah dan lebih ingin memperbanyak ibadah saja. Namun,
berdasarkan hasil pengamatan Tn. RZ mampu mengikuti dan berinteraksi dengan
klien lain dalam suatu kegiatan setelah diberikan stimulus/motivasi.
Masalah keperawatan keempat yang ditemukan pada Tn. RZ adalah halusinasi
(tanggal 01 Desember 2015). Stuart (2007) menyatakan halusinasi adalah kesan,
respon dan pengalaman sensori yang salah. Halusinasi merupakan gangguan atau
perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus
eksteren : persepsi palsu (Maramis, 2005). Berdasarkan hasil pengkajian perawat
pada Tn. RZ terhadap masalah halusinasi diperlihatkan dengan klien sering
melamun menyendiri, hasil pengamatan perawat ruangan maupun menurut
pernyataan subjektif Tn. RZ yang mengatakan isi halusinasinya yaitu menyuruh
klien memikirkan pengalaman masa lalu yang menyenangkan bagi klien seperti
nongkrong, tertawa bersama teman, mengikuti lomba, frekuensi halusinasi sering
ketika klien melamun, muncul ketika sedang menyendiri, respon klien
mengabaikan dan dibawa ibadah.
Faktor predisposisi masalah halusinasi adalah faktor biologis (genetik, keturunan,
status nutrisi, riwayat kesehatan), faktor psikologis (keterampilan verbal,
kepribadian menutup diri, pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan),
faktor sosial budaya (usia, jenis kelamin, status pendidikan, pekerjaan). Faktor
predisposisi pada Tn. RZ adalah adanya pengalaman masa lalu yang tidak
menyenangkan yaitu bercerai dengan istrinya, kehilangan orang yang penting
dalam kehidupannya dan penganguran. Faktor presipitasi pada masalah halusinasi
adalah faktor bilogis, kegagalan, stressor, dukungan keluarga yang kurang dalam
merawat klien. Faktor presipitasi yang dialami oleh Tn. RZ adalah kurangnya
dukungan keluarga terhadap perawatan, stressor yang berat, dan putus obat.
Jenis halusinasi yang dialami oleh Tn. RZ adalah halusinasi pendengaran
(auditory). Isi halusinasinya yaitu menyuruh klien memikirkan pengalaman masa
lalu yang menyenangkan bagi klien seperti nongkrong, tertawa bersama teman,
mengikuti lomba, frekuensi halusinasi sering ketika klien melamun, muncul
ketika sedang menyendiri, respon klien mengabaikan. Tindakan keperawatan
diagnosa halusinasi dalam “Nursing Interventions Classification (NIC)” antara
lain stimulasi kognitif dengan cara meningkatkan kesadaran dan pemahaman
terhadap sekitar melalui penggunaan stimulus terencana, manajemen halusinasi
dengan cara meningkatkan keamanan, kenyamanan, dan orientasi realita klien
dengan halusinasi. Dalam hal ini aplikasi NIC yang dilakukan oleh perawat adalah
dengan melakukan evaluasi untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan Tn. RZ
dalam mengontrol halusinasi.
Hasil evaluasi kemampuan mengontrol halusinasi pada Tn. RZ menunjukkan
bahwa Tn. RZ telah mengetahui beberapa cara mengontrol halusinasi yang
didapatkan dari perawat ruangan sebelumnya. Tn. RZ mengetahui pengontrolan
halusinasi dengan cara, penggunaan obat, bercakap-cakap dan melakukan
kegiatan harian. Namun Tn. RZ harus terus dilatih dan dimotivasi dalam
memahami, meresapi dan melakukan kemampuan tersebut, karena Tn. RZ
terkadang malas untuk beraktivitas dan halusinasi yang terjadi pada klien
termasuk menyenangkan bagi klien. Kemampuan melakukan kegiatan harian
belum dilakukan dengan baik, karena kemampuan sosialisasi dan produktifitas
dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang masih kurang.
Penggunaan obat anti psikotik pada klien skizofrenia haruslah dengan teratur,
karena apabila klien gangguan jiwa mengalami putus obat maka permasalahan
yang terjadi pada klien akan timbul kembali. Tn. RZ diberikan pemahaman
dengan menyadarkan daya tilik klien secara perlahan bahwa permasalahan
halusinasi adalah suatu masalah yang dapat merugikan klien dan harus diatasi
dengan minum obat seumur hidup, jika putus obat maka masalah itu akan kembali
muncul dan merugikan diri klien. Intervensi ini sekaligus dilakukan untuk
mengatasi diagnosa keperawatan regimen terapeutik inefektif (putus obat) pada
Tn. RZ.
Masalah keperawatan kelima yang ditemukan pada Tn. RZ (tanggal 24 November
2015) adalah risiko perilaku kekerasan. Risiko perilaku mencederai orang lain
adalah perilaku yang dilakukan seseorang baik secara fisik, emosional, maupun
seksual rentan untuk melukai orang lain (Nanda, 2015). Perilaku kekerasan adalah
salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman,
mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan (Keliat, et al, 2007). Risiko
perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku
yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri dan orang lain
(Townsend, 2014). Tanda dan gejala RPK adalah fisik mata melotot, emosi tidak
adekuat, perilaku menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain,
verbal mengancam, dan tangan yang mengepal (Townsend, 2014). Diagnosa
risiko perilaku kekerasan pada Tn. RZ dimunculkan, karena didasari data status
rekam medis pasien yang menyatakan riwayat pasien masuk RSMM pada tahun
November 2015 adalah karena perilaku kekerasan melempar alat rumah tangga,
marah-marah dan berteriak-teriak. Selama wawancara sikap klien cenderung
mempertahankan pendapatnya.
Faktor predisposisi masalah risiko perilaku kekerasan adalah faktor biologis
(genetik, keturunan, status nutrisi, riwayat kesehatan, gangguan fungsi panca
indra, faktor hormonal, kerusakan sistem limbik), faktor psikologis (keterampilan
verbal dan moral, kepribadian agresif, pengalaman masa lalu yang kurang
menyenangkan), faktor sosial budaya (usia, jenis kelamin, status pendidikan, latar
belakang sosial budaya). Faktor predisposisi yang ditemukan pada Tn. RZ adalah
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan yaitu kehilangan orang yang
penting (ibu) usia 3 tahun, lalu ayah menikah lagi, kehilangan nenek, bercerai
dengan istrinya, merasa tidak dihargai dan dihormati oleh keluarga (saudara,
paman) serta tidak memiliki pekerjaan. Faktor presipitasi pada masalah risiko
perilaku kekerasan adalah faktor bilogis, kegagalan, stressor, dukungan keluarga
yang kurang dalam merawat klien. Faktor presipitasi yang muncul pada Tn. RZ
adalah kurangnya regiment terapeutik keluarga, stressor dan putus obat.
Berdasarkan hasil pengkajian perawat terhadap masalah RPK pada Tn. RZ sudah
tidak menjadi masalah yang aktual, hal tersebut didasarkan pada hasil pengamatan
perawat ruangan maupun menurut pernyataan subjektif Tn. RZ. Namun kelompok
dan perawat ruangan tetap melakukan peninjauan daya tilik diri Tn. RZ untuk
menyadari bahwa permasalahan RPK dapat terjadi kembali apabila tidak diatasi
dengan baik. Tindakan keperawatan untuk diagnosa risiko perilaku kekerasan
dalam “Nursing Interventions Classification (NIC)” antara lain manajemen
perilaku kekerasan dengan cara membantu klien mengurangi atau menghilangkan
risiko perilaku kekerasan, kedua manajemen lingkungan dengan cara memantau
dan memanipulasi lingkungan fisik untuk menurunkan potensi perilaku kekerasan
yang bisa menciderai dirinya atau orang lain. Pelatihan pengendalian impuls
dengan cara membantu klien memediasi perilaku impulsif melalui penerapan
strategi terhadap pemecahan masalah terhadap situasi sosial dan interpersonal.
Kelompok melakukan evaluasi dan validasi terhadap klien dalam mengontrol
resiko perilaku kekerasan, berdasarkan hasil evaluasi resiko perilaku kekerasan
yang telah dilakukan klien adalah mengenal akibat dan masalah resiko perilaku
kekerasan, mengontrol marah dengan cara fisik dan verbal, mengontrol marah
dengan cara spiritual dan minum obat. Tn. RZ mampu melakukan latihan dengan
mandiri. Hasil wawancara terhadap klien dan observasi yang dilakukan, klien
mengatakan lebih senang mengendalikan marah dengan spiritual (shalat, zikir, dan
berdoa). Klien tampak rajin melaksanakan ibadah dan berdoa.
Masalah keperawatan keenam pada Tn. RZ adalah defisit perawatan diri (tanggal
25 November 2015). Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan melakukan
aktivitas individu yang terdiri dari mandi, berpakaian, berhias, makan, tolileting
atau kebersihan diri secara mandiri (Carpenito, 2007). Keadaan individu
mengalami kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan
kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktivitas terhambat.
Townsend (2014) menyatakan bahwa tanda gejala defisit perawatan diri terlihat
dari kurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan perawatan diri terlihat
dari penampilan yang tidak rapi, kotor, bau badan, bau mulut, dan sebagainya.
Indikator seseorang dikatakan defisit perawatan diri adalah apabila seseorang
tidak mampu menjalankan kegiatan perawatan diri rutin seperti orang normal,
contohnya mandi dua kali sehari, mengganti baju rutin, dan melakukan kegiatan-
kegiatan perawatan diri yang lain.
Tanda dan gejala yang memperlihatkan deficit keperawatan diri pada Tn. RZ
antara lain, cara berpakaian klien tidak rapi dan terkadang kurang sesuai, pakaian
klien tampak tidak rapi, terkadang klien tidak sesuai mengancing bajunya dan
klien lebih sering menggunakan sarung. Faktor predisposisi terjadinya masalah
defisit perawatan diri menurut Keliat, dkk (2014) adalah faktor biologis,
psikologis, dan sosial budaya. Faktor predisposisi terjadinya defisit perawatan diri
pada Tn. RZ adalah psikologis (kurangnya motivasi dalam melakukan perawatan
diri berpakaian). Faktor presipitasi adalah stres berat akibat kehilangan peran
sebagai suami dan anak mengakibatkan Tn. RZ malas dan kurang motivasi dalam
melakukan perawatan diri secara maksimal.
Tindakan keperawatan diagnosa defisit perawatan diri dalam Nursing
Interventions Classification antara lain berpakaian, bantuan perawatan diri:
mandi/hygiene, berhias, makan, dan eliminasi, perawatan rambut, manajemen
defekasi. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan
defisit perawatan diri berdasarkan aplikasi dari NIC yaitu dengan mengidentifikasi
bersama keuntungan melakukan perawatan diri dan kerugian tidak melakukan
kegiatan perawatan diri, cara-cara melakukan perawatan diri dan alat yang
digunakan untuk melakukan perawatan diri. Perawat memotivasi Tn. RZ untuk
selalu berpakain rapi dan mengancing baju. Evaluasi yang dilakukan cukup
memuaskan karena Tn. RZ terlihat mulai mampu melakukan kegiatan perawatan
diri berpakaian dengan baik namun tetap harus dimotivasi. Tak lupa perawat juga
selalu memberikan reinforcement positif atas setiap kegitan yang klien lakukan.