BABII TINJAUANPUSTAKA …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4895/3/BAB II.pdf · 9 BABII...
Transcript of BABII TINJAUANPUSTAKA …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4895/3/BAB II.pdf · 9 BABII...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI
1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Mutasi
Kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan
khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi
(Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap
ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai
dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya
yaitu, bila bukan merupakan respons terhadap perubahan lingkungan (Nevid,
Rathus, & Greene, 2014). Dalam bentuk yang ekstrem, kecemasan dapat
mengganggu fungsi kita sehari-hari (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).
Kecemasan menurut Freud adalah suatu keadaan perasaaan afektif yang
tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan
orang terhadap bahaya yang akan datang (Semium, 2006). Keadaan yang tidak
menyenangkan itu sering kabur dan sulit menujuk dengan tepat, tetapi kecemasan
itu sendiri selalu dirasakan (Semium, 2006). Menurut Darajat individu yang
mengalami kecemasan menunjukkan gejala yaitu adanya perasaan tidak menentu,
rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk
memahami sumber ketakutan serta merupakan manifestasi dari berbagai proses
emosi yang bercampur aduk yang terjadi ketika individu mengalami tekanan
perasaan frustasi dan pertentangan atau konflik batiniah (dalam Sutrisno, 2013).
10
Kecemasan adalah perasaan gelisah yang samar-samar atau ketakutan yang suram
mengantisipasi datangnya malapetaka atau hal buruk yang sering melibatkan
ancaman yang relatif tidak pasti atau tidak spesifik (Sarafino, Smith, King, &
DeLongis, 2015) .
Selain itu, menurut Sullivan kecemasan adalah ketegangan yang
bertentangan dengan ketegangan kebutuhan dan tindakan yang sesuai dengan
bantuannya (Fiest dan Fiest, 2008). Sedangkan Rogers mendefinisikan
kecemasan sebagai keadaan kegelisahan atau ketegangan yang penyebabnya tidak
diketahui (Fiest dan Fiest, 2008). Kecemasan merupakan pengalaman subjektif
yang tidak menyenangkan mengenai kekhawatiran atau ketegangan berupa
perasaan cemas, tegang dan emosi yang dialami oleh seseorang (Ghufron &
Risnawita, 2016). Kecemasan adalah keadaan mood negatif yang ditandai oleh
gejala-gejala fisik ketegangan psikologis oleh ketakutan tentang masa depan,
merasa bahwa seseorang tidak dapat memprediksi atau mengendalikan peristiwa
yang akan datang (Barlow dan Durand, 2009). Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan
khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Mutasi merupakan penempatan pegawai yang sering dilakukan dalam
organisasi. Mutasi atau perpindahan adalah penempatan pegawai dalam suatu
pekerjaan lain yang mengandung tugas-tugas, tanggung jawab, status dan upah
yang hampir sama dengan tugas-tugas, tanggung jawab, status, dan upah dari
pekerjaan yang sebelumnya (dalam Rahayu, 2005). Selain itu, Sastrohadiwiryo
menjelaskan bahwa mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan
11
dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan
tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang
bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan
hasil kerja semaksimal mungkin pada perusahaan (dalam Putri, 2015). Sedangkan
berdasarkan Peraturan Kapolri No.16 tahun 2012 tentang mutasi Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemindahan pegawai negeri pada
polri (alat negara berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakakan hukum, serta memberikan perlindungan pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri) dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah. Berdasarkan uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang
berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi
ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dari satu jabatan ke jabatan lain
atau antar daerah.
Anggota Polri yang selanjutnya disebut Anggota adalah pegawai negeri
pada Polri dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi yang berdasarkan
undang-undang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian (Peraturan
Kapolri 14 tahun 2011). Polri singkatan dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya adalah alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri (Peraturan Kapolri 16 tahun 2012).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Anggota Polri adalah
12
pegawai negeri pada alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Kecemasan
Menghadapi Mutasi Anggota Polri adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan
khawatir yang mengeluhkan sesuatu yang buruk akan segera terjadi berhubungan
dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan
tenaga kerja ke situasi tertentu dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah
yang dialami pegawai negeri pada alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Aspek Aspek Kecemasan Menghadapi Mutasi
Menurut Nevid, Rathus, & Greene (2014) aspek aspek kecemasan terbagi
menjadi 3 yaitu sebagai berikut :
a. Aspek fisik
Seseorang mengalami kecemasan dapat tercermin dari kondisi fisik,
seperti mengalami kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh yang
bergetar (gemetar), sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi,
kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak keringat, telapak tangan
berkeringat, pening atau pusing, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit
bicara, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung yang berdebar keras atau berdetak
13
kencang, suara yang bergetar, jari atau anggota tubuh menjadi dingin, merasa
lemas atau mati rasa, terdapat gangguan sakit perut atau mual, seirng buang air
kecil, wajah tersa memerah, merasa sensitif atau mudah marah (Nevid, Rathus, &
Greene, 2014).
b. Aspek behavioral
Kecemasan yang dialami seseorang dapat terlihat dari perilakunya antara
lain individu cenderung berperilaku menghindar, melekat dan dependen atau
tergantung serta perilaku gelisah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).
c. Aspek kognitif
Kecemasan dapat ditandai dengan adanya ciri kognitif seperti
kekhawatiran, rasa takut atau ketakutan yang mengganggu tentang masa depan,
keasyikan dengan atau kesadaran yang tajam akan sensasi tubuh, ketakutan
kehilangan kendali, memikirkan pikiran yang mengganggu yang sama berulang
kali, campur aduk atau pikiran yang membingungkan, kesulitan berkonsentrasi
atau memfokuskan pikiran seseorang, dan berpikir bahwa segala sesuatunya tidak
terkendali (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).
Menurut Daradjat (1990), apek aspek kecemasan terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu
a. Fisiologi : bentuk reaksi fisiologis berupa ujung jari terasa dingin,
pencernaan tidak teratur, pukulan jantung cepat, keringat bercucuran, tidur
tidak nyeyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak.
b. Psikologis : berupa reaksi mental yang berupa sangat takut, merasa akan
ditimpa bahaya atau kecelakaan, tidak bisa memusatkan perhatian, tidak
14
berdaya/rendah diri, hilang kepercaaan pada diri, tidak tentram, ingin lari
dari kenyataan hidup.
Menurut Shah (Ghufron & Risnawita, 2016) membagi kecemasan
menjadi 3 komponen, yaitu:
a. Komponen Fisik, seperti pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut mual,
mulut kering, grogi.
b. Emosional, seperti panik dan takut.
c. Mental atau kognitif, seperti gangguan perhatian dan memori, kekhawatiran,
ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan
Nevid, Rathus, & Greene (2014) meliputi aspek fisik, aspek behavioral, dan
aspek kognitif. Sedangkan aspek-aspek kecemasan menurut Daradjat (1990)
meliputi Fisiologis dan Psikologis. Selain itu, komponen kecemasan menurut
Shah (Ghufron & Risnawita, 2016) meliputi komponen fisik, emosional dan
mental atau kognitif. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang
dikemukkan Nevid, Rathus, & Greene (2014) meliputi aspek fisik, aspek
behavioral, dan aspek kognitif untuk mengungkapkan aspek-aspek Kecemasan
Menghadapi Mutasi karena semua kecemasan memiliki gejala yang sama hanya
saja yang dicemaskan berbeda. Pada penelitian ini aspek-aspek kecemasan
diarahkan pada konteks kecemasan dalam menghadapi mutasi.
3. Faktor-Faktor Kecemasan Menghadapi Mutasi
Nevid, Rathus, & Greene (2014) menyebutkan beberapa faktor faktor
dalam gangguan kecemasan diantaranya adalah :
15
a. Faktor kognitif
a) Prediksi berlebihan terhadap rasa takut
Orang dengan gangguan gangguan kecemasan sering kali memprediksi
secara berlebihan tentang seberapa besar ketakutan atau kecemasan yang akan
mereka alami dalam situasi-situasi pembangkit kecemasan.
b) Keyakinan yang self defeating atau irasional
Pikiran-pikiran irasional dapat meningkatkan dan mengejakjan
gangguan gangguan kecemasan dan fobia. Pikiran-pikiran irasional ini
menginfensifikasi keterangsangan otonomik, mengganggu rencana, memperbesar
aversivitas, mendorong tingkah laku menghindar, dan menurunnya harapan untuk
self efficacy sehubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan
emosi.
c) Sensitivitas berlebih terhadap ancaman
Suatu sensitivitas berlebih terhadap sinyal ancaman adalah ciri utama
dari gangguan-gangguan kecemasan. Orang dengan fobia atau kecemasan merasa
berbahaya pada situasi-situasi yang oleh kebanyakan orang dianggap aman.
d) Sensitivitas kecemasan
Sensitifitas kecemasan didefinisikan sebagai ketakutan terhadap
kecemasan dan simtom-simtom ang terkait dengan kecemasan. Orang dengan
taraf kecemasan yang tinggi terhadap kecemasan mempunyai ketakutan terhaap
ketakutan iu sendiri.
e) Salah mengatribusikan sinyal sinyal tubuh
16
Orang yang mudah terkena gangguan panik cenderung salah untuk
mengatrubsikan sinyal-sinyal tubuh seperti palpitasi jantung, pusing tujuh
keliling, atau kepala enteng sebagai tanda untuk terjadainya serangan jantung
atau hal lain yang mengancam.
f) Self efficacy yang rendah
Bila seseorang percaya bahwa seseorang tidak punya kemampuan untuk
menanggulangi tantangan-tantangan penuh stres yang seseorang hadapi dalam
hidup, seseorang akan merasa makin cemas bila seseorang berhadapan dengan
tantangan-tantangan itu. Sebaliknya orang yang mampu melakukan tugas
tugasnya, seeorang itu tidak akan dihantui oleh kecemasan, atau rasa takut bila
seseorang itu berusaha melakukannya. Orang dengan self efficacy yang rendah
(kurang yakin pada kemampuannya untuk melakukan tugas tugas dengan sukses)
cenderung untuk berfokus pada ketidakadekuatan yang dipersepsikan.
b. Faktor biologis
a) Faktor faktor genetis Faktor genetis tampak mempunyai peran penting dalam
perkembangan gangguan-gangguan kecemasan, termasuk panik, gangguan
kecemasan menyeluruhm, gangguan obsesif-kompulik dan gangguan
gangguan fobia.
b) Neurotransmiter Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada reaksi
kecemasan, termasuk gamma-aminobutyric acid (GABA) yaitu
neurotransmiter yang inhibitori yang meredakan aktifitas berlebih dari saraf
dan membantu untuk meredam respons-respons stres. Bila aksi GABA tidak
adekuat, neurin-neuron dapat berfungsi berlebihan, kemungkinan
17
menyebabkan kejang-kejang. Dalam kasus-kasus yang kurang dramatis, aksi
GABA yang kurang adekuat dapat meningkatkan keadaan kecemasan.
Adler dan Rodman (Ghufron & Risnawita, 2016) menyatakan terdapat
dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan yaitu :
a. Pengalaman negatif pada masa lalu
Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak,
yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat
terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang
sama dan juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal
dalam mengikuti tes.
b. Pikiran yang tidak rasional
Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu :
a) Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta
perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi
permaslaahannya.
b) Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku
sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran
kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan
inspirasi.
c) Persetujuan, Persetujuan adanya kenyakinan yang salah didasarkan pada ide
bahwa terdapat hal virtual yang tidak hanya diinkan, tetapi juga untuk
mencapai persetujuan dari sesama teman atau siswa.
18
d) Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi
pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
kecemasan menghadapi mutasi yang digunakan oleh peneliti adalah faktor faktor
kecemasan menurut Nevid, Rathus, & Greene (2014) adalah faktor kognisi yang
meliputi prediksi berlebih terhadapa rasa takut, keyakinan yang self defeating
atau irasional, sensitivitas berlebih terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan,
salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh, self efficacy yang rendah. Selain itu
ada faktor biologis yang meliputi faktor faktor genetis dan neurotransmiter.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Adler dan
Rodman (Ghufron & Risnawita, 2014) meliputi pengalaman negatif pada masa
lalu dan pikiran yang tidak rasional.
Penanganan kecemasan yang dialami oleh individu dapat berbeda antara
individu satu dengan individu lain tergantung pada penilaian individu terhadap
kemampuan yang dimiliki (dalam Deviyanthi dan Widiasavitri, 2016). Bila
seseorang percaya bahwa seseorang tidak punya kemampuan untuk
menanggulangi tantangan-tantangan penuh stres yang seseorang hadapi dalam
hidup, seseorang akan merasa makin cemas bila seseorang berhadapan dengan
tantangan-tantangan itu (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Sebaliknya orang yang
mampu melakukan tugas tugasnya, seeorang itu tidak akan dihantui oleh
kecemasan, atau rasa takut bila seseorang itu berusaha melakukannya. Pada
penelitian ini penulis memilih faktor self efficacy yang rendah. Self Efficacy
menurut Bandura (Alwisol, 2009) adalah suatu keyakinan individu bahwa
19
individu mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Orang
dengan self efficacy yang rendah (kurang yakin pada kemampuannya untuk
melakukan tugas tugas dengan sukses) cenderung untuk berfokus pada
ketidakadekuatan yang dipersepsikan.
B. SELF EFFICACY
1. Pengertian Self Efficacy
Bandura (Alwisol, 2009) mendefinisikan Self Efficacy adalah keyakinan
seseorang akan kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu
tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian tertentu. Menurut
Baron & Byrne (2004) self efficacy merujuk pada keyakinan seseorang akan
kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai
tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Sedangkan menurut Alwisol (2009)
Self Efficacy adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik
atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Self efficacy berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita cita
menggambarkan sesuatu yang ideal seharusnya (dapat dicapai), sedangkan self
efficacy menggambarkan penilaian kemampuan diri (Alwisol, 2009). Self-efficacy
menurut Fiest dan Fiest (2008) mengacu pada keyakinan orang bahwa seseorang
mampu melakukan perilaku-perilaku yang dapat menghasilkan hasil yang
diinginkan secara khusus situasi. Self Efficacy didefinisikan sebagai keyakinan
seseorang atas kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber kognitif,
dan sumber tindakan yang diperlukan untuk menjalankan tugas dalam konteks
20
tertentu (Luthans, 2010). Woolfolk menyebut self efficacy adalah kepercayaan
mengenai kompetensi personal dalam situasi khusus (dalam Christian &
Moningka, 2012)
Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa self
efficacy sebagai keyakinan seseorang untuk mempergunakan kontrol pribadi pada
motivasi, kognisi, afeksi pada lingkungan sosialnya selain itu juga merupakan
keyakinan bahwa seseorang mampu melaksanakan tugas, mencapai tujuan atau
rintangan.
2. Aspek Aspek Self Efficacy
Menurut Bandura (Alwisol, 2009) aspek aspek self efficacy meliputi :
a. Level (Magnitude)
Aspek ini berkaitan dengan penilaian individu terhadap tingkat kesulitan
tugas yang sedang dihadapinya. Individu menilai dirinya merasa mampu atau
tidak untuk melakukan tugas tersebut, sebab kemampuan diri individu berbeda-
beda pada tingkat kesulitan tugas yang dihadapinya. Individu akan melakukan
tugas yang menurutnya mudah untuk dikerjakan, kemudian akan berkembang
untuk mengerjakan tugas tugas yang dianggapnya sulit (dalam Nurlaila, 2011).
b. Strength
Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan diri keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Individu yang memiliki
keyakinan yang kuat terhadap kemampuanya untuk menyelesaikan tugas atau
masalahnya, akan terus bertahan dan terus berjuang dalam berusaha, meskipun
banyak kesulitan dan tantangan yang dihadapinya dalam mencapai keberhasilan
21
tersebut. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong
untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki
pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah
dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-
pengalaman yang tidak menunjang (dalam Christian & Moningka, 2012).
c. Generality
Aspek ini berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya
melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Banyak aktivitas menuntut individu
yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan aktivitas tersebut.
Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada
pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi
tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi
(dalam Christian & Moningka, 2012).
Aspek-aspek self efficacy menurut Luthans (2010) meliputi :
a. Pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja
Pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja inilah yang paling kuat
dalam membentuk keyakinan efficacy karena merupakan informasi langsung
mengenai kesuksesan. Proses situasi maupun kognitif (misal persepsi
kemampuan seseorang) berkaitan dengan kinerja akan mempengaruhi penilaian
dan keyakianan self efficacy. Bandura menunjukkan bahwa pengalaman yang
diperoleh melalui usaha terus menerus dan kemampuan untuk belajar membuat
efficacy yang kuat dan fleksibel. Akan tetapi, efficacy yang dibangun dari
22
kesuksesan yang datang dengan mudah tidak akan bertahan ketika muncul
berbagai kesulitan.
b. Pengalaman pribadi dan pemodelan
Individu yang tidak mengalami secara langsung perilaku personal yang
memperkuat pembelajaran (belajar sendiri dengan melihat dan mengamati orang
lainyang relevan), hal yang sama juga terjadi pada pencapaian efficacy. Bandura
menyatakan bahwa jika orang melihat orang lain seperti dirinya, yang berhasil
karena usaha keras, mereka yakin bahwa mereka juga punya kapasitas untuk
sukses.
c. Persuasi sosial
Keyakinan seseorang atas efficacy dapat diperkuat melalui pengaruh
orang lainyang kompeten dan dihormati sehingga mereka mendapatkan apa yang
diperlukan dan memberikan umpan balik positif pada perkembangan yang terjadi
dalam tugas.
d. Peningkatan fisik dan psikologis
Orang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan emosi,
untuk menilai kapabilitas mereka. Jika individu berada dalam kondisi mental dan
fisik yang sehat maka hai ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun
efficacy, kondisi tersebut juga meningkatkan efficacy seseorang pada tugas yang
menuntut kondisi fisik dan atau psikologis yang baik.
Aspek-aspek self efficacy menurut Baron & Byrne (2004) meliputi :
23
a. Aspek akademik
Berhubungan dengan keyakian akan kemampuanya melakukan tugas
tugas, mengatur kegiatan mereka sendiri, dan hidul dengan harapan mereka
sendiri dan orang lain.
b. Aspek sosial
Berhubungan dengan keyakian mereka akan kemampuannya membentuk
dan mempertahankan hubungan, asertif, dan melakukan kegiatan di waktu
senggang.
c. Aspek Self Regulatory
Berhubungan dengan kemampuan menolak tekanan teman sebaya dan
mencegah kegiatan beresiko tinggi.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek aspek Self
Efficacy menurut Bandura (Alwisol, 2009) meliputi Level (magnitude),
Generality, dan Strength. Selain itu aspek-aspek self efficacy menurut Luthans
(2010) meliputi pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja, pengalaman
pribadi dan pemodelan, persuasi sosial dan peningkatan fisik dan psikologis.
Sedangkan menurut Baron & Byrne (2004) aspek-aspek self efficacy meliputi
aspek akademik. Aspek sosial dan aspek Self Regulatory. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan aspek-aspek dari Bandura (Alwisol, 2009) meliputi Level
(magnitude), Generality, dan Strength karena sesuai dengan subyek penelitan.
24
C. HUBUNGAN SELF EFICACY DENGAN KECEMASAN
MENGHADAPI MUTASI
Menurut Bandura self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap
kemampuan atas kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan,
atau mengatasi hambatan (Baron & Byrne, 2004). Keyakinan efficacy dikatakan
dapat mempengaruhi individu menginterpretasikan suatu kejadian. Individu yang
memiliki self efficacy yang rendah dengan mudah akan yakin bahwa usaha yang
mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga
mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif yang datang. Sedangkan
individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung untuk melihat
tantangan sebagai suatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan
upaya yang cukup (dalam Christian & Moningka, 2012). Ketika individu
menghadapi suatu tekanan yaitu kecemasan, keyakinan individu terhadap
kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam
bereaksi terhadap situasi yang menekan (Baron & Byrne, 2004). Efikasi diri
bervariasi dari situasi ke situasi tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan
untuk kegiatan yang berbeda, ada atau tidaknya orang lain, itu kompetensi yang
dirasakan dari orang lain ini, terutama jika mereka adalah pesaing; itu
predisposisi orang untuk menghadiri kegagalan kinerja daripada kesuksesan; dan
keadaan fisiologis yang menyertainya, terutama adanya kelelahan, kecemasan,
apati, atau putus asa (Fiest dan Fiest, 2008).
Bandura mengindikasi bahwa self efficacy berhubungan dengan kondisi
fisik dan emosi (Luthans, 2010). Aspek Level (Magnitude) pada Self Efficacy
25
berkaitan dengan penilaian individu terhadap tingkat kesulitan dalam
menjalankan suatu tugas yang sedang dihadapinya (dalam Nurlaila, 2011).
Seseorang yang gagal dalam menjalankan tugas atau mentukan keadaan yang
terlalu menuntutnya cenderung akan lebih mengalami simptom fisiologis seperti
jantung berdebar, wajah memerah, tangan berkeringat, pusing dan lain-lain
(Alwisol, 2009). Nevid, Rathus, & Greene (2014) menjelaskan reaksi fisik yang
dialami ketika individu merasa cemas, seperti tangan berkeringat, jantung
berdebar, wajah memerah, pusing. Feist & Feist (2008) mengemukakan bahwa
ketika seseorang mengalami kecemasan yang tinggi maka mereka biasanya
memiliki self efficacy yang rendah, sementara mereka yang memiliki self efficacy
tinggi merasa mampu mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai
suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.
Sumber sumber self efficacy adalah pengalaman penguasaan,
pengalaman pribadi atau pemodelan, persuasi sosial, dan peningkatan fisik dan
psikoloisi (Luthans, 2010). Orang sering mengandalakan perasaan mereka, secara
fisik dan emosi, untuk menilai kapabilitas mereka. Jika ada hal-hal negatif ( misal
orang sangat lelah dan atau tidak sehat secara fisik atau cemas/depresi dan atau
merasa tertekan), maka hal tersebut akan sangat mengurangi efikasi (Luthans,
2010). Jika keadaan fisik dan mental dalam keadaan baik, maka kondisi tersebut
tidak memberikan kontribusi pada efikasi individu. Jika individu berada dalam
kondisi mental dan fisik yang sehat maka hai ini merupakan titik awal yang baik
untuk membangun efikasi. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang
26
pada tuga yang menuntut kondisi fisik ataupun psikologis yang baik (Luthans,
2010).
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal
antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Self efficacy merupakan variabel
pribadi yang penting, yang kalau di gabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan
pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang
yang penting (Alwisol, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mu’arifah
(2005), menyebutkan bahwa kecemasan yang tidak teratasi dapat menimbulkan
gangguan perilaku, berupa perilaku menghindar. Perilaku menghindar merupakan
salah satu gejala kecemasan berdasarkan aspek behavioral yaitu individu
cenderung berperilaku menghindar, melekat dan dependen atau tergantung serta
perilaku gelisah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Self efficacy berdasarkan
aspek Strength berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang
terhadap keyakinan atas kemampuanya. Orang yang yakin dirinya mampu dalam
menghadapi lingkunganya, maka ketika situasi dan lingkungan yang sedang
dihadapi menekan individu tersebut, individu akan merasa tenang dan tidak
khawatir, serta dapat berfikir jernih (Baron & Byrne, 2004). Sedangkan individu
akan menghindari tugas atau situasi yang diyakini diluar kemampuan individu,
sebaliknya individu akan mengerjakan aktivitas yang diyakini mampu untuk
diatasi (dalam Nurlaila, 2011). Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi
akan cenderung memilih tugas yang lebih sukar dan mengandung tantangan dari
pada individu yang memiliki self efficacy rendah. Self efficacy yang tinggi
membantu membuat perasaan tenang dalam mendekati tugas dan kegiatan yang
27
sulit. Sebaliknya, orang yang meragukan kemampuan dirinya, mereka bisa
percaya bahwa sesuatu itu lebih sulit daripada sebenarnya (dalam Mukhid, 2009).
Aspek Generality berkaitan dengan keyakinan individu akan
kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Banyak aktivitas
menuntut individu yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan
aktivitas tersebut. Menurut Bandura (Lhuthans, 2010) penilaian individu akan
kemampuannya juga mempengaruhi pola pemikiran. Individu yang merasa tidak
yakin akan kemampuannya mengatasi tuntutan lingkungan akan mempersepsikan
kesukaran lebih hebat daripada yang sesungguhnya. Individu yang memiliki self
efficacy yang kuat akan kemampuannya melakukan usaha untuk memenuhi
tuntutan lingkungan, sekalipun mengahadapi hambatan. Self efficacy juga
membentuk pemikiran tentang sebab-akibat. Ketika mencari penyelesaian
masalah, individu dengan self eficacy lebih tinggi cenderung mengatribusikan
kegagalannya pada kurangnya usaha, sementara individu dengan kemampuan
yang sama tetapi self efficacy lebih rendah menganggap kegagalan tersebut
berasal dari kurangnya kemampuan. Individu yang memiliki self efficacy tinggi
memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat kecemasan atau
depresi ketika mengerjakan tugas daripada individu yang self efficacy nya rendah
(Lhuthans, 2006).
Mutasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di Instansi Kepolisian.
Mutasi adalah pemindahan pegawai negeri pada Polri dari suatu jabatan ke
jabatan lain atau antar daerah (Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2012). mutasi
anggota Polri merupakan hal yang biasa dalam regenerasi bagian dari
28
kepentingan organisasi. Selain itu mutasi bagi anggota Polri selalu ada kapan saja
dan dimana saja. Anggota Polri tidak akan pernah mengetahui kapan akan
dimutasi dan dimana akan dimutasikan namun mutasi merupakan ketetapan wajib
bagi setiap Anggota Polri di Instansi Kepolisian. Sesuai dengan Peraturan
Kapolri No. 5 tahun 2006 tentang penerimaan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia setiap anggota Polri harus bersedia ditempatkan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bersedia ditempatkan pada
semua bidang tugas pokok Polri. Dari hasil wawancara pertama dari 6 anggota
Polri Polres Gunungkidul dapat disimpulkan bahwa terdapat gejala gejala
kecemasan yang di alami dalam menghadapi mutasi anggota Polri di Polres
Gunungkidul.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahyu (2005) di
Lingkungan Pegawai UNY menyatakan bahwa perasaan khawatir serta
kecemasan menjadi salah satu dampak psikologis yang dialami oleh pegawai
yang mengalami Mutasi (pemindahan). Mutasi merupakan penempatan pegawai
yang sering dilakukan dalam organisasi. Mutasi atau perpindahan adalah
penempatan pegawai dalam suatu pekerjaan lain yang mengandung tugas-tugas,
tanggung jawab, status dan upah yang hampir sama dengan tugas-tugas, tanggung
jawab, status, dan upah dari pekerjaan yang sebelumnya. Pelaksanaan mutasi
dapat didasari oleh prakarsa pimpinan dengan pertimbangan pembinaan karir
pegawai dan atau untuk kepentingan organisasi (lembaga), tetapi dapat pula
terjadi karena keingian pegawai yang bersangkutan (dalam Rahayu, 2005).
Dalam penelitian Nuraini, Zulkarnaen, dan Listyani (2013) tentang Evaluasi
29
dampak kebijakan mutasi PNS dalam lingkungan dinas pendidikan Kabupaten
Sintang menunjukkan bahwa salah satu evaluasi dampak mutasi PNS yang
dirasakan adalah perasaan resah akan pekerjaannya setelah mutasi terjadi.
Perasaan resah merupakan salah satu gejala kecemasan, kecemasan bisa jadi
berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku (tampak
khawatir dan gelisah atau resah), maupun respon fisiologis tertentu (Barlow dan
Durand, 2009). Kecemasan bersifat kompleks dan merupakan keadaan suasana
hati yang berorientasi pada masa yang akan datang dengan ditandai adanya
kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang
akan datang (Barlow dan Durand, 2009).
Pada penelitian Were dan Ilyas (2016) tentang analisis Kebijakan Mutasi
Jabatan dan Implikasinya terhadap Kinerja PNS di Pemerintahan Kabupaten
Soppeng menjelaskan bahwa mutasi pegawai yang baik adalah salah satu sendi
lembaga yang baik karena dengan sistem mutasi pegawai yang tepat dan
dilaksanakan dengan baik akan menimbulkan kinerja yang tinggi, rasa tanggung
jawab dari sesuatu organisasi dan seluruh pegawai begitu pula sebaliknya apabila
tidak ada sistem mutasi pegawai yang baik secara formil akan menyebabkan
frustasi yang dapat menimbukan bahaya bagi organisasi. Kecemasan merupakan
produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang
untuk mencapai tujuan yang diinginkan (dalam Sutrisno, 2013). Dari beberapa
penelitan terdahulu yang telah dilakukan tentang Mutasi bagi karyawan maupun
anggota PNS didapatkan hasil bahwa Mutasi dapat menyebabkan kecemasan
30
pada individu yang bekerja baik di instansi pemerintahan maupun karyawan
swasta.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan adanya
hubungan antara self efficacy dengan kecemasan. Seperti penelitan eksperimen
yang dilakukan oleh Nurlaila (2011) yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan
bahwa pelatihan self efficacy menurunkan kecemasan siswa yang sedang
menghadapi Ujian Akhir Nasional. Selain itu, penelitian kuantitatif dari Riani dan
Rozali (2014) di Jakarta ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan
antara self efficacy dengan kecemasan. Penelitan berikutnya yang dilakukan oleh
Deviyanthi dan Widiasavitri (2016) di Bali menemukan bahwa terdapat
hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan komunikasi dalam
presentasikan tugas di depan kelas. Berdasarkan hasil penelitian sebelumya dapat
disimpulkan bahwa adanya hubungan negatif antara self efficacy dengan
kecemasan.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti mengasumsikan bahwa terdapat
pengaruh self efficacy terhadap kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri.
D. HIPOTESIS
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada
hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi
anggota Polri. Semakin tinggi self efficacy maka semakin rendah kecemasan
menghadapi mutasi anggota Polri. Begitu pula sebaliknya, apabila self efficacy
rendah, maka semakin tinggi pula kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri.