BULIK KAMPUNG

3
BULIK KAMPUNG Sudah tujuh tahun unda kada bulik, unda kaingatan kampung halaman, mencium pulang harumnya kambang hutan, melihat tabalnya sabat di balakang rumah, ramainya suara burung liar saban bangun baisukan, sabarataan maolah unda kaingatan pulang. Di balakang rumah panggung nang menjadi cirri khas rumah Kalimantan ada sungai halus nang landas lawan dingin. Warna banyu lubangan ngini berwarna jingga kecoklatan nang kaya banyu teh. Ngitu akibat tasaring serasah lawan akar kayu hutan tropis di subalah hulu sana. Munnya pas musim hujan, lubangan ngini liwar landas. Lawan kawanan nang lain unda barami-ramian baudakan banyu: baluncat mulai tuyukan pasir nang bacabur ka sungai nang dalam. Imabah tu lawan satatak papan, kami balarut, maumpati arus nang deras kearah hilir sungai. Hiruk pikuk lawan lima atau anam rombongan kakanakan membiarkan arus membawa boan unda beriringan sampai berpal-pal jaraknya. Kami mandi maudaki banyu. Rombongan ngini jadi mirip berang-berang, lawan awak mengkilap lawan mata habang batatangah hari, bakunyung hilir mudik. Permainan ngitu terkadang ampihan salajur, kada babilasan lagi lawan sabun. Ada jua permainan bisa taganggu dan tahambur bukahan karena kami talihat ular lombok manyubrang di tengah- tengah sungai. Kami lari ketakutan kalau-kalau ular itu berbalik menyerang. Setelah mandi karena di seberang sungai masih hutan lebat terkadang sekawan Lutung merah (Hilobatus klosii) terlihat bertongkrongan diatas pepohonan dengan jarak 200 hingga 300 meter di depan kami. Karena mitos yang beredar dikalangan bocah–anak-anak– Kalimantan, makhluk ini sangat tidak senang menggoda anak yang menggunakan pakaian mirip mereka. Tiba tiba Ijul –dalah seorang teman kami berteriak-teriak “Oii….kelasii ini nah si Abui, pakai baju bawarna merah…!”*) anak-anak itu berteriak sekuatnya dengan akrab, menyapa monyet-monyet yang ternyata di lindungi itu. Setelah itu aku melihat jerat burung terkukur, kalau-kalau jebakan yang kami pasang kemaren telah kena di masuki oleh burung. Jerat-jerat ituu kami letakkan di tengah kebun atau

description

bulik kampung

Transcript of BULIK KAMPUNG

BULIK KAMPUNGSudah tujuh tahun unda kada bulik, unda kaingatan kampung halaman, mencium pulang harumnya kambang hutan, melihat tabalnya sabat di balakang rumah, ramainya suara burung liar saban bangun baisukan, sabarataan maolah unda kaingatan pulang. Di balakang rumah panggung nang menjadi cirri khas rumah Kalimantan ada sungai halus nang landas lawan dingin. Warna banyu lubangan ngini berwarna jingga kecoklatan nang kaya banyu teh. Ngitu akibat tasaring serasah lawan akar kayu hutan tropis di subalah hulu sana.Munnya pas musim hujan, lubangan ngini liwar landas. Lawan kawanan nang lain unda barami-ramian baudakan banyu: baluncat mulai tuyukan pasir nang bacabur ka sungai nang dalam. Imabah tu lawan satatak papan, kami balarut, maumpati arus nang deras kearah hilir sungai. Hiruk pikuk lawan lima atau anam rombongan kakanakan membiarkan arus membawa boan unda beriringan sampai berpal-pal jaraknya. Kami mandi maudaki banyu.Rombongan ngini jadi mirip berang-berang, lawan awak mengkilap lawan mata habang batatangah hari, bakunyung hilir mudik. Permainan ngitu terkadang ampihan salajur, kada babilasan lagi lawan sabun. Ada jua permainan bisa taganggu dan tahambur bukahan karena kami talihat ular lombok manyubrang di tengah-tengah sungai. Kami lari ketakutan kalau-kalau ular itu berbalik menyerang.Setelah mandi karena di seberang sungai masih hutan lebat terkadang sekawan Lutung merah (Hilobatus klosii) terlihat bertongkrongan diatas pepohonan dengan jarak 200 hingga 300 meter di depan kami. Karena mitos yang beredar dikalangan bocahanak-anak Kalimantan, makhluk ini sangat tidak senang menggoda anak yang menggunakan pakaian mirip mereka. Tiba tiba Ijul dalah seorang teman kami berteriak-teriak Oii.kelasii ini nah si Abui, pakai baju bawarna merah!*) anak-anak itu berteriak sekuatnya dengan akrab, menyapa monyet-monyet yang ternyata di lindungi itu.Setelah itu aku melihat jerat burung terkukur, kalau-kalau jebakan yang kami pasang kemaren telah kena di masuki oleh burung. Jerat-jerat ituu kami letakkan di tengah kebun atau pinggiran sungai yang berpasir. Kalau hujan telah usai biasanya jenis-jenis burung ini sering turun ketanah untuk mendapatkan makanan. Jebakan yangn kami buat untuk makhluk bersayap itu sangat sederhana, terbuat dari kayu dan tali dengan jerat dan sebilah tonggak lurus yang di lenturkan.Lalu dalam lingkaran tali jerat tersebut ditabur padi atau beras di tengah-tengahnya. Setelah itu kami membuat kamuflase disekitar jebakan itu sedemikian rapi dengan dedaunan hingga mirip jebakan ala Mc Giver. Bila burung mendarat, karena melihat makanan dan menginjak jerat itu maka kayu terlentur setengah lingkaran tadi akan bergerak sontak dan menjerat kaki burung.Pulang melongok jerat dengan pakaian seadanya biasanya kami melewati rumah bibi yang menanam buah-buahan seperti kedondong, jambu dan mangga. Tanpa permisi seperti kebiasaan nakalnya anak-anak memanjat pohon-pohon itu diam-diam atau menyasar buah-buah itu dengan ketepel. Tentu saja acara itu bisa bubar ketika bibi yang ada di rumahnya dikagetkan oleh hiruk pikuk anak-anak atau peluru ketapel yang jatuh diatas genting rumah, menyebabkan saudara ibu kandung ini mengomel.***Pulang kampung. Tempat-tempat bermain masa kecil itu sudah hilang. Ladang dibelakang rumah dan hutannya sudah tidak ada lagi. Lahan itu kini sudah di tumbuhi rumah penduduk. Kantor kelurahan lama yang tadinya terletak di kawasan pasar, kini di pindahkan tidak jauh dari belakang rumah kami. Ini adalah merupakan kantor kelurahan baru yang dipindahkan untuk mengantisipasi keseimbangan pertumbuhan perumahan dan penduduk, kata Pak Lurah berteori. Sungai pun terlihat tidak berair lagi, karena hutan sumber air telah dibabat habis di sebelah hulu sana.Sepuluh tahun yang lalu, lebih kurang sepuluh kilometer dari rumah kami biasa kutemukan sumber air yang masih sangat asli di pinggir hutan. Anak sungai ini memang dangkal, namun merupakan anak sungai kecil selebar 3 meter yang berasal dari bawah hutan. Air yang keluar dari hutan ini bermuara pada anak sungai yang biasa kami pakai untuk mandi. Maka air yang keluar langsung dari arah hutan tersebut sangat dingin layaknya keluar dari dalam kulkas sedangkan yang berada di muaranya sungai agak lebar mengalir hangat. Kami menyebut lokasi itu dengan sungai Asap, karena sungai itu dingin dan terkadang berembun seperti asap.Beberapa meter dari lokasi sungai tersebut, terdapat rumah terbuat dari kayu ulin tempat meletakkan hasil sadapan karet. Kini rumah itupun sudah roboh. Kolam ikan dengan penghuni berjenis-jenis ikan liar yang terletak di samping bangunan itupun telah hilang teruruk. Hanya tinggal kenangan. Begitupun monyet merah yang suka menakut-nakuti anak-anak waktu kami masih kecil kini tidak pernah tampil di pohon-pohon itu lagi. Mereka pergi untuk selamanya sejalan dengan penggusuran habitat mereka. Sekeliling rumah kami sudah tidak ada lagi hutan tempat mereka menggantungkan hidup mencari buah-buahan dan dedaunan yang layak di santap.Aku coba memandang lurus ke arah jalan yang dulu penuh rumput dan semak. Kutatap sebuah bukit kecil yang setiap hari kudaki karena harus berjalan kaki menuju sekolah SMPku. Jaraknya hanya dua setengah kilo. Dulu jalan ini penuh semak, licin berlumpur dengan tanah merah ketika hujan. Kini jalan itu sudah beraspal licin. Semakpun tidak pernah muncul lagi.Dari sekian kenangan yang masih utuh hanya beberapa pohon rambutan yang masih tumbuh dibelakang rumah kami. Ada lagi, langit biru kampungku yang masih belum lagi tercemar. Elang Bondol yang masih suka meliuk-liuk di udara melakukan manuver-manuver melihat-lihat anak ayam kampung yang lengah untuk di sambar tiba-tiba, masih kujumpai ketika aku pulang kemaren.****) hei lutung ini nih Abui (nama orang) pakai baju warna merah mirip kamu