Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

download Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

of 48

Transcript of Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    1/48

    Anwar

    Senin, 27 Januari 2014

    Dari mana datangnya kekejaman?

    Anwar Congo (dalam film dokumenter The Act of KillingJoshua Oppenheimer): seorang

    lelaki tua dengan paras seorang kepala sekolah dusun, seorang bapak dengan kehangatan sapa

    seorang tetangga, seorang teman bicara dengan senyum yang selalu membayang. Tapi juga

    seseorang dengan riwayat yang buas.

    Kamera menyorotnya: ia tunjukkan apa yang dilakukannya ketika ia membunuh orang. Itu

    berlangsung di hari-hari yang gelap dan guncang 1965-1966: ia belitkan sebatang kawat besi

    ke leher seorang korban, lalu ia tarik sekencang-kencangnya hingga orang itu tercekik; ia

    letakkan kaki meja di tenggorokan orang yang dalam keadaan tak berdaya ditelentangkan,

    dan Anwar-bersama teman-temannya-duduk di daun meja sambil mengguncang-guncangkannya, sampai terdengar suara napas yang putus. Atau ia pukuli orang hingga

    berdarah-darah dan mati.

    Menonton The Act of Killingadalah menonton sebuah teater keganasan. Tapi juga sebuah

    gambar hidup ingatan.

    Anwar seorang preman yang hidup sebagai tukang catut karcis bioskop di Medan, mungkin

    di tahun 1950-an. Ketika film Amerika masih diperbolehkan diputar, dan orang ramai datang

    menonton, penghasilannya cukup. Tapi kemudian, menjelang pertengahan 1960-an, PKI

    berkampanye mengganyang produksi Hollywood. Film Amerika pun dilarang masuk.

    Pemerintah "demokrasi terpimpin" Bung Karno meneruskan gerakan anti-"neo-

    kolonialisme".

    Tapi, bagi Anwar Congo, di masa "komunis yang ingin berkuasa" itu, kehidupan berubah

    drastis. Tak banyak lagi penonton bioskop. Gedung itu sepi. Anwar, si tukang catut,

    kehilangan nafkah. "Kita sebagai preman susah cari makan."

    Lalu datang Oktober 1965. PKI dituduh berada di belakang pembunuhan sejumlah jenderal

    Angkatan Darat, dan gelombang besar antikomunis menjulang, menggulung. Militer

    menggerakkan mesinnya. Orang "komunis" di mana-mana ditangkap dan dibunuh atau

    dikurung. Di Kota Medan, Anwar-dengan dendam di hati-jadi jagal. Di hari-hari itu, kataseseorang yang mengenalnya, mendengar nama Anwar saja orang ketakutan.

    Anwar tersenyum lebar mendengarkan cerita itu. Ia bangga.

    Dari mana datangnya rasa bangga akan kekejaman? Dari dalam dirinya? Bukankah ia seorang

    manusia?

    Saya ingat kata-kata Ivan Karamazov: "Orang kadang-kadang berbicara tentang kebuasan

    binatang, tapi itu sangat tak adil bagi hewan. Hewan tak pernah sekejam manusia, hewan tak

    pernah begitu kejam secara artistik."

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    2/48

    Mungkin Dostoyevski menciptakan Ivan dalam novel Karamazov Bersaudara untuk membuat

    kita tak percaya lagi-setidaknya sejenak-kepada makhluk yang, menurut kitab suci,

    diciptakan sesuai dengan citra Tuhan itu. Manusia, kata Karamazov ini, lebih dari macan.

    Macan "tak akan berpikir untuk memaku kuping orang, seandainya pun ia bisa

    melakukannya".

    Ivan kemudian bercerita tentang tentara Turki yang menduduki Bulgaria: para serdadu yang

    merenggutkan orok dari perut ibunya, atau-setidaknya dalam cerita Ivan-para serdadu yang

    membuat seorang bayi tertawa-tawa sebelum kepalanya mereka tembak dari jarak dekat.

    Manusia, kata Ivan pula, telah menciptakan Iblis mirip dengan dirinya.

    Di sini, saya kira, Dostoyevski ingin menciptakan satu bagian yang hiperbolik untuk

    novelnya. Sebab di luar novel, kekejaman, kekejian, kejahanaman, mala-semua itu tak terjadi

    sebagai ekspresi sifat-sifat Setan yang kekal. Tapi juga tak selamanya larut ke dalam rutin

    hidup sehari-hari. Hannah Arendt melihat adanya "the banality of evil". Saya lebih melihat

    "the contingency of evil". Yang mala, yang keji, yang jahanam, bisa terjadi tapi juga bisatidak, bergantung pada sebuah masa, sebuah tempat: sebuah situasi.

    Bagi saya, The Act of Killingmerisaukan hati bukan karena film ini mendokumentasikan

    kekejaman Anwar Congo. Sebuah gambar hidup ingatan adalah sebuah narasi yang

    berlubang-lubang: Anwar tak mengisahkan riwayat hidupnya secara penuh; dalam film ini,latar Kota Medan-hubungan etnis dan ketegangan kelas-kelas sosialnya-tak tergambar.

    Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, di Medan tak ada konflik di sekitar tanah

    pertanian yang meledak dalam kebuasan terhadap para pendukung PKI. Yang tampak dalam

    film dokumenter ini sebuah latar lain-dan itulah justru yang merisaukan: kekejaman Anwar

    Congo adalah bagian yang akrab dengan apa yang bisa disebut sebagai "ekologi kekerasan".

    Ia tak akan berhenti setelah semua orang "komunis" dihabisi.

    "Preman"-apa pun etimologi kata ini-adalah bagian masyarakat yang paradoksal. Mereka tak

    sepenuhnya di dalam. Mereka, dengan diperlakukan sebagai sesuatu yang di-"luar"

    kehidupan bersama yang resmi, artinya di "luar" polis, secara tak langsung justru membangun

    makna polis sebagai wilayah tempat hukum dan lembaga-lembaga politik berfungsi. Tapi

    pada saat yang sama "preman", seperti yang ditunjukkan dalam The Act of Killingdalam

    wujud Pemuda Pancasila, juga bagian dari kekuasaan yang membuat polis ditegakkan dan

    politik dijalankan.

    Dengan seragam, upacara, dan hierarki yang mirip tentara resmi, dengan pertemuan yang

    dihadiri bahkan oleh seorang Wakil Presiden, dengan anggota yang berwajah bengis yang

    dengan sewenang-wenang mengutip uang dari pedagang kecil orang Tionghoa di pasar, para

    preman itu menunjukkan betapa akrabnya kekuasaan dengan kekerasan.

    Anwar Congo lahir sebagai jagal di tengah ekologi kekerasan itu. Dan ia tak sendiri.

    Goenawan Mohamad

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    3/48

    Menunggu

    Sabtu, 18 Januari 2014

    Putu Setia

    Menunggu adalah penantian yang berat. Apalagi yang ditunggu itu sesuatu yang penting.

    Peraih Nobel Sastra tahun 1969, Samuel Barclay Beckett (1906-1989), bahkan

    menggambarkan betapa bisa hilangnya harapan karena menunggu sesuatu yang tak pasti. Itu

    ada dalam dramanya yang kesohor:Menunggu Godot (Waiting For Godot).

    Tapi pengungsi Sinabung tak akan kehilangan harapan menunggu kedatangan Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono. Masalahnya, SBY sejak awal pekan lalu berjanji akan datang ke

    Sinabung pada pekan ini, entah besok atau lusa. SBY sibuk luar biasa untuk koordinasi

    penanggulangan bencana. Jakarta banjir sudah rutin, siapa pun gubernurnya. Namun banjir

    bandang Manado lebih tragis, 16 jiwa melayang. Padahal SBY tak berjanji ke Manado.

    Ini tahun "menunggu" dan "ditunggu-tunggu". Anas Urbaningrum ditunggu banyak orang.

    Ada yang menunggu kapan dia buka-bukaan membantu KPK untuk menyebut sejumlah

    orang yang terlibat dalam kasus Hambalang. Ada yang menunggu Anas bebas dari jerat

    hukum, karena dengan beraninya dia menantang, "Satu rupiah pun Anas korupsi dari

    Hambalang, Anas siap digantung di Monas." Pernyataan yang tak main-main, seolah Anas

    punya bukti tak korupsi di Hambalang. Tapi pernyataan itu membuat banyak yang menunggu

    Anas di Monas sambil menyebut--antara guyon dan serius--menyiapkan tali tambang.

    Menunggu sering tidak sabar, memang. Anas beda dengan tersangka lain, sebutlah Ratu Atut,

    Akil Mochtar, Joko Susilo. Ketiga orang ini, sebelum diadili, hartanya sudah ketahuan

    melimpah dan disita. Mereka tak membuat perlawanan "siap digantung". Sedangkan Anas,

    tak satu pun hartanya disegel, bahkan mobil yang tadinya disangka hasil gratifikasi tak disita

    KPK. Dan Anas melawan, bahkan kemarin sudah nge-tweet lagi. Kenapa ini tak membuat

    kita bersabar menunggu pengadilan? Betul ada tradisi, tahanan KPK tak mungkin lolos dari

    jerat hukum. Tapi tetaplah vonis hakim yang menentukan apakah tersangka itu korupsi atau

    tidak, bukan KPK.

    Adakah yang menunggu bagaimana nasib Sutan Bhatoegana, yang rumahnya sudah

    digeledah KPK? Wow, sudah pasti banyak yang menunggu "masuknya barang itu". Orang

    jadi bergairah menunggu karena ada faktor lain: tokoh itu kontroversial. Orang yang berkoar-

    koar bersih tapi ternyata bermasalah, para penunggunya seperti berdoa agar orang itu betul-

    betul kotor.

    Di atas segalanya itu (ini ucapan sakti Anas di gedung KPK), yang paling banyak ditunggu

    dan melibatkan dua ratus juta rakyat Indonesia adalah keputusan Mahkamah Konstitusi. MK

    akan menyidangkan uji materi yang diajukan Yusril Ihza Mahendra pada pekan ini, 21Januari. Kalau gugatan Yusril diterima MK, maka pemilu legislatif dan pemilu presiden

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    4/48

    disatukan. Ada yang menyebut akan terjadi kisruh politik, karena jadwal KPU akan mundur

    semua. Mungkin itu berlebihan. Bukankah penyatuan pemilu itu hanya berarti mengundurkan

    pileg dari 9 April ke Juli, bersamaan dengan pilpres?

    Sesederhana itu? Semestinya. KPU tinggal menjadwal ulang tahap-tahap pemilu, termasuk

    membuat tahapan kapan pasangan capres dan cawapres diajukan partai atau gabungan partai,

    sebagaimana diamanatkan konstitusi. Nah, urusan terakhir inilah yang ditentang partai besar,

    karena mereka sesungguhnya tak siap dengan capresnya. PDI Perjuangan, misalnya, masih

    dilematis akan mengusung Jokowi atau bukan. Kalau ya, akan jadi RI-1 atau RI-2?

    Pendampingnya itu, apakah dari partai lain atau "trah Sukarno"? Daripada dilematis, lebih

    baik menentang keras gugatan Yusril. Tapi sesungguhnya MK yang pegang palu, mau

    diketok ke arah mana.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    5/48

    Pilihan

    Minggu, 26 Januari 2014

    Putu Setia

    @mpujayaprema

    Selalu ada pilihan. Kata-kata ini terus diucapkan Romo Imam. Apa pun yang saya tanyakan,

    jawabannya selalu ada pilihan. Saya lantas memancing: "Kalau begitu, apakah saya masih

    punya pilihan? Pekerjaan sampingan apa yang cocok untuk saya?"

    Romo Imam terkekeh. "Menanam cabai atau jahe di dalam pot. Mau lebih keren, jadi

    penceramah. Selalu ada pilihan, kecuali menjadi sastrawan, apalagi yang berpengaruh. Itu tak

    bisa mendadak, ada proses panjang. Dipaksakan malah bisa mencemarkan predikat lain yangsudah disandang."

    Saya terbahak: "Ya, tidak Romo. Saya tak paham dunia sariawan, eh, sastrawan. Dunia yang

    suka ribut di kalangan mereka sendiri." Lalu saya serius: "Kalau menurut Romo, keputusan

    Mahkamah Konstitusi yang menyetujui pemilu serentak tetapi berlaku tahun 2019, pilihan

    tepat atau salah?"

    Romo minum air. "Itu pilihan terbaik untuk menyelamatkan posisi mereka. Hakim MK dalam

    keadaan serba salah. Perpu penyelamatan MK sudah berupa undang-undang, sementara para

    hakim, termasuk ketuanya, tak memenuhi syarat itu. Ada yang belum tujuh tahun

    meninggalkan partai politik, misalnya. Lalu muncul uji materi dari pakar hukum tata negara

    Yusril Ihza Mahendra, mempersoalkan pemilu serentak dan ketentuan mengajukan pasangan

    capres dan cawapres yang sesuai dengan konstitusi. Argumen Yusril sangat lengkap dan ada

    jalan keluar kalau uji materinya diterima. Misalnya, tak perlu membuat undang-undang yang

    baru, pakai saja aturan UUD 45 dan pemilu bisa serentak tahun ini juga, ya, sesuai jadwal

    pemilu presiden di bulan Juli 2014."

    Romo minum lagi. "MK pasti tertekan. Mengabulkan Yusril, bisa dituduh macam-macam,

    bikin gaduhlah, bikin huru-haralah. Apalagi ada hantu perpu yang bisa memangkas mereka.Selalu ada pilihan. Pilihannya, ada uji materi yang diajukan Effendi Gazali bersama Koalisi

    Masyarakat Sipil, nun setahun lalu. Musyawarah hakim sudah dibuat Maret tahun lalu, tapi

    keputusan belum sempat dibacakan. Mungkin tak ada niat. Nah, itu saja dibacakan setelah

    dua hari sebelumnya memeriksa gugatan Yusril. Kebetulan uji materi Effendi Gazali tak

    memberi jalan keluar, maka kesempatan MK memberi jalan keluar yang bijak, versi mereka.

    Yakni, uji materi diterima, tetapi pemilu serentak tahun 2019. Alasannya teknis, perlu

    membuat undang-undang baru dan seterusnya. Ah, kamu sudah tahu kok, kemarin sudah

    ditulis."

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    6/48

    Saya tersenyum, tak mau berbohong. "Romo, apakah Pemilu 2014 jadi sah?" Romo

    menjawab: "MK jelas menyebutkan pelaksanaan Pemilu 2014 ini menyalahi konstitusi. Kata

    keren: inkonstitusional. Kalau sudah salah, maka kita akan mendapatkan wakil rakyat yang

    salah, lalu presiden yang inkonstitusional. Dan NKRI jadi Negara in-Konstitusional Republik

    Indonesia."

    Romo tertawa, tapi saya menyela: "Yang saya tanyakan, Pemilu 2014 nanti sah apa tidak?"

    Romo menjawab: "Sah secara hukum karena ada pendapat, keputusan MK itu, apa pun

    isinya, adalah konstitusi. Karena MK menetapkan pemilu yang inkonstitusional, maka

    langkah inkonstitusional itu adalah konstitusi. Paham?"

    Saya terpojok, lalu berkelit: "Jangan gunakan kata paham atau tak paham, nanti Romo dicela

    di Instagram." Kasihan Romo bingung ke mana arah kalimat saya, lalu saya mengalihkan:

    "Ngomong-ngomong, apa Romo sudah baca buku Selalu Ada Pilihankarya presiden kita?"

    Eh, Romo cepat menjawab: "Belum, saya mau membaca setelah beliau tak lagi menjadi

    presiden, supaya lebih jernih mengomentari. Kan tinggal 270 hari." Saya kaget, kok Romo

    ikut menghitung mundur, ya?

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    7/48

    @FaktaAgama

    Senin, 27 Januari 2014

    Novriantoni Kahar,Dosen Paramadina

    Kalau Anda berminat pada "ilmu pasti" tentang agama, cobalah jenguk @FaktaAgama. Akun

    Twitter berlogo Departemen Agama Republik Indonesia ini menyuguhkan berbagai informasi

    terukur dan pasti tentang hal-ihwal yang gaib di bidang agama. Mau tahu azab yang akan

    menimpa mereka yang suka bergunjing? Ada, dan detail! Siksaan si tukang fitnah? Tentu saja

    ada!

    Kalau itu mencekam, mari kita tengok yang lucu saja! Siapa malaikat yang tak pernahtertawa? Dia yang kelak meniup sangkakala: Israfil. Berapa jumlah sayap Jibril dan apa

    kehebatannya? Wow, 600 kepak, dan tiap-tiap kepak dapat menutupi tepian langit. Dari

    sayap-sayap itu juga dapat berjatuhan intan berlian beragam warna. Indah bukan?

    Yang juga indah, bila tamat membaca Quran, akan ada 60 ribu malaikat yangstand bydan

    sedia menyokong doa yang Anda pinta. Kalau rajin menjenguk orang sakit, 70 ribu malaikat

    niscaya akan mendoakan Anda agar terbebas dari dosa sampai petang tiba. Asyik, bukan?

    Oh, ya, yang rutin ke pasar burung akan rugi sekali bila tak kenal @FaktaAgama. Soalnya,

    memohon karunia Allah akan sangat mustajab saat ayam jantan berkokok. Kok, bisa?

    Kokokan itu adalah pertanda bahwa si jago sedang menyaksikan malaikat mendekat. Nah, itu

    adalah momen terbaik untuk meminta sesuatu kepada Maha Pemberi!

    Selain yang indah, @FaktaAgama tentu memuat hal-hal yang mencekam. Kalau malas

    sembahyang, Anda bersiap saja ditunggu ular Saqar. Mengumpat orang? Gunting neraka kian

    tajam-terasah! Menyebar gosip atau fitnah? Kian dirindu oleh duri-duri taman neraka! Lho,

    kok, neraka disebut taman? Entahlah!

    Pendek kata, @FaktaAgama menyuguhkan berbagai info-dan mungkin juga fantasi-yangsangat vulgar dan seperti pasti tentang alam gaib. Tak ada lagi misteri karena semua sudah

    pasti. Ini berbeda dengan rumusan Rudolf Otto (1867-1937) tentang inti beragama: perasaan

    mysterium tremendum et fascinans. Penganut agama mana pun niscaya diayun-ayun oleh

    misteri, baik yang mencekam maupun menakjubkan.

    Dalam Islam, bagian yang mencekam seperti kabar azab-siksa-sengsara-neraka itulah yang

    disebut tarhib. Yang menakjubkan bagai taman surgawi dengan segenap kenikmatan firdausi

    disebut targhib. Unsur tarhibdan targhibini berfungsi bagaikan rem dan gas bagi umat.

    Tarhibmenahan tindakan durhaka, sedangkan targhibbertujuan mensugesti perilaku mulia.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    8/48

    Detail-detail tarhib dan targhibitu dengan mudah dapat kita jumpai di Al-Quran, terlebih lagi

    kitab-kitab hadis yang cukup lapang untuk menerima imajinasi, bahkan fantasi. Maklum saja,

    demi memompa kesalehan, para ulama sejak dulu sudah bersikap permisif dan bahkan positif

    terhadap hadis-hadis dari jenis ini.

    @FaktaAgama tampaknya dengan enteng menyuguhkan informasi-informasi jenis itu,

    bahkan seperti tanpa seleksi. Akibatnya: (1) Unsur misteri keberagamaan seakan sirna dan

    menjelma ilmu pasti. (2) Inti agama pun seakan hanya soal menakut-nakuti dan mengiming-

    imingi. (3) Yang fatal, sebagian orang beranggapan bahwa @FaktaAgama mungkin akun

    dagelan Departemen Agama.

    Membaca @FaktaAgama, saya serasa diajak ke masa kanak-kanak tatkala komik-komik

    seputar azab-siksa-sengsara-neraka begitu mencekam ke dasar jiwa. Tapi, karena kini sudah

    dewasa, saya senyum-senyum miris saja membacanya. *

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    9/48

    Sangkuni Tidak Dibantu Dewa

    Senin, 27 Januari 2014

    Seno Gumira Adjidarma,Wartawan

    Ada danau buatan, ada hidung buatan, ada juga kecerdasan buatan-itulah artificial intelligent.

    Namanya juga zaman baru, yang disebut riset pada masa kini adalah "main klik". Nah,

    nebeng "main klik" pada Indonesia Indicator, saya dapatkan angka-angka hasil pencarian

    terhadap keberadaan tokoh wayang dalam dunia politik Indonesia kontemporer.

    Berdasarkan pelacakan terhadap 337 media daring (online) selama 2013, nama Sangkuni

    ternyata mencapai angka tertinggi dibanding tokoh wayang lain yang sering dianggap"bergerak dalam bidang politik", seperti Durna, Widura, dan Kresna. Angka itu menyodok

    pada Januari sampai Februari, yakni termuat dalam 140-an berita dari 52 media, sehubungan

    dengan pemberitaan pelaku politik tertentu. Ketika menurun pun, sampai bulan Desember,

    tokoh Sangkuni tetap paling banyak disebut.

    Januari 2014, dalam perunutan dari hari ke hari sampai tanggal 25 kemarin, Sangkuni tetap

    terdepan (leading), meski dengan pencapaian tertinggi dimuat 10 berita saja, dibanding

    Durna yang cuma dimuat 4 berita. Widura, yang rupanya hanya populer melalui komik R.A.

    Kosasih, tapi jarang tampil dalam pergelaran wayang kulit, wajar jika tak pernah disebut

    sama sekali; tetapi untuk Kresna yang sangat dikenal ternyata setali tiga uang. Kaum

    politikus cepat menyebut nama Sangkuni.

    Referensi terhadap wayang ini menunjukkan bahwa dunia politik Indonesia di zaman baru

    tetap berorientasi pada dunia lama. Dalam hal ini, Sangkuni akan selalu dirujuk sebagai

    representasi kelicikan, dengan ucapan-ucapan tak jujur yang mempunyai tujuan tertentu, yang

    sepenuhnya mengandalkan tipu daya jahat-serta tidak segan menumpahkan darah. Seperti

    gagasannya tentang Bale Sigalagala yang bermaksud membakar para Pandawa hidup-hidup.

    Sebagian besar rencana jahat Sangkuni, kecuali perjudian dengan taruhan negara yangmenjerumuskan para satria itu dalam lakon Pandawa Dadu, sebetulnya lebih banyak gagal.

    Padahal, apa yang disebut sebagai kelicikannya, dengan kacamata berbeda dapat disebut

    sebagai kecerdasan. Mengapa kecerdasan Sangkuni selalu dapat dikalahkan? Demikianlah

    disebutkan oleh "yang empunya cerita", karena para dewa berpihak kepada Pandawa.

    Benarkah ini karena Pandawa itu berbudi baik, berakhlak tinggi, dan selalu membela

    "kebenaran"? Ternyata bukan, melainkan karena sudah ditakdirkan!

    Skenario takdir ini sudah diketahui oleh Kresna, bentuk lain dari Batara Wisnu, yang dalam

    Bhagavad-Gita berkata kepada Arjuna, "Engkau hanyalah alatku." Bharata-Yudha adalah

    skenario yang ilahiah sifatnya, tempat Kresna menjadi pawang yang harus menjaga kodrat

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    10/48

    setiap orang. Maka Arjuna pun dihidupkan kembali, untuk dengan licik membunuh Ekalaya,

    yang telah mengalahkan Arjuna dalam pertarungan yang adil, karena Arjuna lebih dibutuhkan

    untuk menghadapi Karna. Tokoh-tokoh tak terkalahkan seperti Wisanggeni, Antasena, dan

    Antareja dengan berbagai alasan juga harus mati demi skenario Bharata-Yudha seutuhnya.

    Dengan kata lain, politik Sangkuni yang sepenuhnya mengandalkan otak sendiri, jelas tidak

    akan pernah lebih unggul melawan "politik ilahi". Jadi, yang berlangsung sebetulnya adalah

    suatu pertarungan yang tidak adil. Di titik ini, empati terhadap ketidaksetaraan bisa

    membalikkan posisi keberpihakan, bukan lagi Sangkuni melawan Kebenaran & Co.,

    melainkan kreativitas manusia melawan ketiadasemenaan kodrat, atau dalam bahasa yang

    berbeda tentunya wacana kelompok terbawahkan (sub-ordinated groups) melawan wacana

    kelompok dominan.

    Adapun kekhawatiran saya, dengan keberadaan budaya politik ala wayang yang-kenal

    maupun tak kenal wayang-tetap merupakan referensi dalam politik Indonesia kontemporer,

    adalah justru bekerjanya proses hegemonisasi "politik ilahi" ini, yang akan memaksakan

    keberlangsungan kodrat dengan cara apa pun, termasuk secara koersif. Dalam posisi merasa

    pihaknya paling benar, lawan-lawan politiknya akan diperlakukan sebagai Sangkuni maupun

    Wisanggeni.

    Dalam wayang kulit, Sangkuni ada di sisi kiri, yakni golongan "salah", dan Wisanggeni di

    sisi kanan, yakni golongan "benar"; dalam "politik ilahi" yang dioper kelompok dominan,

    dua-duanya tak terbenarkan: seorang Sangkuni adalah representasi kreativitas manusiawi

    yang tidak terbenarkan melampaui suratan takdir, dan Wisanggeni adalah representasi "diluar suratan" yang tidak terbenarkan mengubah skenario kodrat. Takdir dan kodrat sama dan

    sebangun: pemaksaan kehendak kelompok dominan.

    Demikianlah cara saya membaca data angka dari Indonesia Indicator: pembermaknaan bisa

    dilakukan dengan melibatkan sisa angka dari jumlah media, yang dihibahkan kepada tokoh

    lawan dalam wacana Sangkuni, sehingga keberpihakan dimungkinkan berbalik dalam

    konteks oposisi baru: Politik Manusiawi Versus Politik Ilahi.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    11/48

    Fikih Kiai Sahal

    Senin, 27 Januari 2014

    Azis Anwar Fachrudin,Pengajar Pesantren Nurul Ummah, Kotagede

    Kiai Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU dan Ketua MUI yang baru saja wafat, adalah penganut

    fikih sosial, dan memang itulah warisan pemikirannya yang terpenting. Kiai Sahal diakui

    otoritasnya dalam bidang fikih dan ushul fikih(filsafat hukum Islam). Di antara karya

    monumentalnya, selain tulisan-tulisan berbahasa Indonesia yang mewacanakan paradigma

    fikih sosial, juga kitab berbahasa Arab dalam kajian ushul fikih: Thariqatul-Hushul. Kitab ini

    catatan pinggir terhadap kitab babon ushul fikih di pesantren: Ghayatul-Wushulkarya

    Zakariya al-Anshari.

    Fikih sosial adalah perspektif yang memandang fikih bukan sebagai hukum an sich,

    melainkan sebagai etika sosial yang menggerakkan. Fikih sosial mengedepankan nilai hukum

    dalam terang maqashid as-syari'ah(tujuan syariat yang lima: menjaga agama, jiwa, akal,

    harta, dan keturunan). Kiai Sahal kerap menekankan dalam tulisan-tulisannya bahwa fikih itu

    hasil perolehan pergulatan pemikiran yang bisa jadi efektif pada zamannya, tapi tak lagi

    relevan dengan perkembangan kekinian. Maka fikih sosial menuntut adanya kontekstualisasi

    produk hukum-khususnya kitab kuning yang kerap jadi pegangan orang NU.

    Fikih sosial memberikan interpretasi nilai-nilai hukum agama agar tak kering. Zakat,

    misalnya, sebenarnya adalah ajaran Islam yang memiliki semangat keadilan sosial-ekonomi.

    Maka fikih sosial menolak bila zakat semata berorientasi pada ibadah formal tahunan semata.

    Fikih sosial juga menolak menjadikan hukum agama sebagai hukum positif negara. Sebab, ia

    memang memaksudkan fikih sebagai etika penggerakan kehidupan masyarakat. Di sini

    menariknya. Hukum Islam, di tangan Kiai Sahal, lebih hidup nilai filosofisnya ketimbang

    produk formalnya.

    Secara metodologis fikih sosial dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum

    agama ke dalam 'illat (ratio legis)hukum itu sendiri. Fikih sosial menghendaki agar produk-produk parsial fikih tak diperlakukan secara kaku, tapi mesti peka terhadap kondisi sosial. Ia

    terjadi, antara lain, dengan kembali pada prinsip umum dan semangat syariah itu sendiri.

    Bisa kita ajukan satu contoh di sini tentang bagaimana Kiai Sahal mengutarakan pemikiran

    terkait dengan lokalisasi prostitusi. Menurut Kiai Sahal, prostitusi memang dilarang agama.

    Tapi, sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak mudah dihilangkan. Dalam

    kondisi semacam ini, kita dihadapkan pada dua mafsadah(dua hal yang merusak), yaitu

    membiarkan prostitusi tak terkontrol. Maka kebijakan lokalisasi bisa dipandang sebagai

    pilihan terhadap yang paling ringan dari dua risiko yang mengimpit. Kaidah hukum yang

    dipakai dalam hal ini ialah: irtikab akhaff ad-dhararain(mengambil yang teringan

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    12/48

    mudaratnya dari dilema dua mudarat).

    Masih banyak contoh produk fatwa Kiai Sahal yang menarik. Sayangnya, di tubuh NU,

    paradigma fikih sosial ini belum banyak menjadi ilham untuk memecahkan persoalan

    kekinian. Pemecahan Masalah (Bahtsul Masail) NU sampai kini tak sedikit yang masihterperangkap dalam taklid secara tekstual pada kitab yang ditulis berabad lampau. Maka,

    untuk melanjutkan warisan dari Kiai Sahal, NU perlu meneruskan proyek fikih sosial yang

    telah digagas beliau itu. *

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    13/48

    Dua Gunung, Sawah, dan Matahari

    Sabtu, 25 Januari 2014

    Qaris Tajudin, [email protected]

    Saya melakukan survei kecil-kecilan soal kreativitas. Dalam sejumlah diskusi dan workshop

    tentang penulisan, saya meminta peserta menggambar pemandangan dalam 30 detik. Tak ada

    batasan pemandangan seperti apa yang harus digambar. Bebas sebebas-bebasnya.

    Seharusnya, mereka bisa menggambar apa saja, dari laut, padang savana, pedesaan, hingga

    gedung-gedung di kota. Tapi, saat hasilnya dikumpulkan, sebagian besar menggambar dua

    gunung, matahari di tengahnya, serta sawah dan jalan menikung di depannya.

    Itu tidak hanya terjadi sekali-dua kali. Dalam berbagai kesempatan di berbagai kota diIndonesia-termasuk sebuah workshopyang diikuti oleh lusinan guru dari Sabang sampai

    Merauke-gambar gunung dan sawah selalu muncul. Bedanya hanya soal usia: semakin tua

    peserta, semakin terobsesi mereka pada sawah dan gunung. Di usia 40 tahun ke atas, 95

    persen menggambar sawah dan gunung. Pada mahasiswa, jumlahnya tinggal 70 persen.

    Berkurang, tapi tetap dominan.

    Ini memang bukan penelitian ilmiah, tapi saya yakin sebagian besar orang Indonesia akan

    menggambar gunung-sawah juga saat diminta menggambar pemandangan. Orang Jakarta

    yang pandangannya selalu tertumbuk pada gedung dan mobil, anak pantai yang akrab dengan

    laut dan pohon nyiur, gembala di Nusa Tenggara Timur, yang sehari-hari memandang

    savana, juga menggambar pemandangan yang sama.

    Dari mana datangnya keseragaman itu? Jawabnya mudah, dari sekolah. Di sekolah, hampir

    semua hal diseragamkan dan dihafalkan hingga taraf yang mengerikan. Jika pelajaran seni

    saja harus seragam dan dihafal, apalagi pelajaran eksak seperti matematika. Ujung dari

    keseragaman ini adalah jawaban tunggal saat ujian. Hampir seluruh soal ujian sekolah kita

    berbentuk multiple choice, bukannya esai. Dalam soal multiple choice, jawaban yang benar

    hanya satu: a, b, c, atau d. Kita tak punya jawaban berbeda, meski mungkin jawaban kita itu

    mengandung kebenaran.

    Saat duduk di bangku sekolah dasar, seorang kawan pernah sedikit kreatif. Dalam ujian

    matematika, ada soal berbunyi begini: "Sekolah ingin membangun kelas tambahan. Setiap

    murid diminta menyumbang dua batu bata. Jika ada 40 murid di sekolah itu, berapa batu bata

    yang dibutuhkan?" Di bawahnya ada empat pilihan jawaban: a. 70, b. 80, c. 65, d. 55.

    Seharusnya dia menjawab b, karena 2 batu bata X 40 murid = 80. Tapi, teman saya menulis

    jawabannya sendiri: "E. Semua jawaban salah, karena untuk membangun kelas, dibutuhkan

    lebih dari 80 batu bata."

    Jawaban itu tentu saja disalahkan, meski benar. Jawaban itu disalahkan bukan karena salah,

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    14/48

    tapi teman saya mencoba melawan penyeragaman kebenaran.

    Para pengajar merasa perlu ada keseragaman, karena itu memudahkan mereka. Ketidak-

    seragaman itu membutuhkan diskusi, dan diskusi-bagi banyak guru-tidak efisien.

    Penyeragaman pengetahuan, menghafal, dan menjawab satu jawaban yang benar itu lebihmudah karena bisa dilakukan satu arah dan tanpa bantahan. Tapi, menghafal tak berbeda jauh

    dengan mencontek. Penghafal dan pencontek sama-sama tak mengerti inti dari pelajaran yang

    diajarkan dan diujikan. Seperti penggambar sawah dan gunung yang mungkin belum pernah

    memandang pemandangan itu.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    15/48

    Sharon dan Palestina

    Sabtu, 25 Januari 2014

    Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St Vincent de Paul

    Bekas Perdana Menteri Ariel Sharon mengembuskan napas terakhirnya pada 11 Januari 2014.

    Ia tokoh penting dalam sejarah Israel modern.

    Banyak hal bisa ditulis tentang sosok yang satu ini. Namun, tokoh yang mencuat namanya

    akibat perannya dalam Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kipur pada 1973 itu berani

    mengambil segala risiko sekaligus menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisinya.

    Sebagai zionis sejati, Sharon dikenal sebagai raja tega yang brutal untuk membunuh semua

    musuh Israel.

    Misalnya, dialah pelaku pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953 yang menewaskan 96

    orang Palestina. Dia jugalah aktor intelektual pembantaian Sabra dan Shatila di selatan

    Beirut, Libanon, pada 1982, semasa menjabat Menteri Pertahanan Israel. Selama tiga hari,

    dimulai pada 16 September 1982, ratusan pria, wanita, dan anak-anak dibantai di kedua kamp

    pengungsi itu. Tak mengherankan jika kematian Jagal Beirut-sebutan bagi Sharon-disambut

    dengan sukacita oleh warga kedua kamp tersebut.

    Sebutan itu jelas mencerminkan kebrutalannya. Padahal, sebuah kekuasaan yang hanya

    dilandasi kebrutalan, menurut filsuf Yahudi Hannah Arendt, tidak akan pernah membawa

    rasa aman bagi Israel. Sharon dan para penggantinya seharusnya ingat bahwa dulu jutaan

    warga Yahudi pernah menjadi korban kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II. Yang dulu

    pernah menjadi korban, justru kini menjadi pihak yang mengorbankan yang lain.

    Sharon lupa bahwa bangsanya pernah menjadi korban karena dia seorang pendukung

    zionisme yang militan. Doktrin zionisme dikonkretkan melalui Kongres Zionis Sedunia

    pertama di Basel, Swiss, pada 1897. Lalu gerakan zionis yang semula hendak mendirikan

    sebuah negara Yahudi di Afrika kemudian berubah di tanah Palestina, berkat Deklarasi

    Balfour pada 1917. Deklarasi inilah yang menjadi awal atau akar perseteruan antara Palestinadan Israel.

    Negara Israel akhirnya berdiri pada 15 Mei 1948 dan kaum zionis membela pemerintah Israel

    hingga detik ini. Namun tidak setiap orang Yahudi setuju dengan pendirian atau

    pemerintahan Israel. Misalnya, Neta Golan dan para pemuda Yahudi yang tergabung dalam

    International Solidarity Movement. Masih banyak fakta tentang orang-orang Yahudi yang

    tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah Israel, seperti filsuf Martin Buber, Noam

    Chomsky, Adam Shapiro, dan Prof Ze'ev Sternhell.

    Maka, kematian Sharon harus menjadi pengingat bagi masyarakat dunia, bahwa persoalan

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    16/48

    Palestina belum selesai. Maka kita diingatkan untuk terus solider dengan bangsa Palestina,

    sesuai dengan resolusi PBB.

    Pada 29 November 1947, PBB menerapkan Resolusi 181 (II) atau yang dikenal dengan nama

    Partition Resolution. Resolusi ini mengatur pembagian Palestina menjadi dua negara, yakninegara Israel dan Palestina, dengan Yerusalem sebagai corpus separatumkedua wilayah.

    Namun solidaritas kita jangan terlepas dari konteks bahwa inti masalah Palestina versus Israel

    bukan masalah perang agama, tapi rebutan tanah. Menurut Bung Karno, Indonesia yang

    kenyang dijajah kekuatan kolonialis harus terus berempati dan solider dengan bangsa mana

    pun yang masih belum merdeka, khususnya Palestina.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    17/48

    Arung Jeram di Hulu Migas

    Rabu, 29 Januari 2014

    Eddy PurwantoPraktisi Migas Nasional

    Sejatinya ada dua sasaran nasional yang wajib menjadi acuan resmi pada 2014. Pertama,

    Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 tertanggal 10 Januari 2012, yang menargetkan

    produksi minyak bumi nasional sebesar 1,01 juta barel per hari dan paling lambat harus

    dicapai pada 2014. Acuan kedua, Undang-Undang APBN 2014, yang telah ditandatangani

    Presiden SBY pada 14 November 2013 dengan--salah satu--asumsi makro liftingatau

    produksi komersial minyak 870 ribu barel per hari.

    Sangat disayangkan, penampilan rencana kerja dan anggaran seluruh kontraktor kontrak kerja

    sama migas tahun 2014 cukup merisaukan. Target produksi kumulatif jauh di bawah sasaran

    nasional. Kendati dibantu produksi dari lapangan baru, seperti Cepu, capaian maksimal

    seluruh operator migas yang dapat diraih dalam tahun 2014 paling banter hanya 804 ribu

    barel per hari--meleset jauh dari kedua sasaran.

    Hampir dua tahun sejak Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2012

    tentang "Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional", yang ditujukan kepada Menko

    Perekonomian, sepuluh kementerian, Badan Pertanahan Nasional, BP Migas, para gubernur,

    bupati, hingga pemangku kepentingan lainnya. Namun tahun 2014 justru menjadi salah satu

    "titik-nadir" produksi minyak nasional.

    Selama ini paradigma di sektor migas masih bermain-main di sekitar angka liftingyang

    disadari akan terus menyusut, sementara cost recoveryterus meningkat sejalan dengan usia

    lapangan yang semakin renta. Diakui, posisi liftingmigas masih dianggap keramat bagi

    penerimaan negara, tidak hanya dari kontribusi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),

    tapi juga dari pajak-pajak (PPh, PBB) dan lainnya. Namun, untuk mengarungi tahun-tahun

    paceklik migas, seharusnya orientasi bangsa ini lebih kepada "reformasi lifting" melalui

    kampanye eksplorasi besar-besaran yang lebih dari sekadar "wacana-nasional".

    Keberhasilan eksplorasi minyak dan gas bumi yang lumayan besar terakhir kali terjadi pada

    Februari 2001 dengan suksesnya penemuan lapangan Banyu Urip di Cepu, Jawa Timur, yang

    memiliki potensi kandungan minyak 1,5 miliar barel dan gas 8 miliar kaki kubik. Setelah itu,

    Indonesia mengalami paceklik penemuan sumber minyak dan gas yang dianggap besar.

    Selepas krisis ekonomi tahun 1998, rasio ekspenditur biaya dan investasi migas di Indonesia

    memang berubah secara drastis. Sebelum krisis, porsi kegiatan eksplorasi di wilayah kerja

    produksi masih lumayan pada kisaran 25-30 persen. Namun, selepas krisis 1998, ia merosot

    menjadi 5-7 persen, jauh di bawah porsi untuk kegiatan pengembangan lapangan dan

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    18/48

    ekspenditur lainnya. Sejak merosotnya portofolio eksplorasi di wilayah kerja produksi serta

    jebloknya nasib eksplorasi di wilayah-wilayah kerja baru, cadangan dan produksi minyak

    Indonesia terus menurun. Produksi gas bumi sempat terangkat, namun belakangan cadangan

    komersial kembali melorot.

    Pemerintah dan legislatif diharapkan dapat meyakinkan dan memfasilitasi investor untuk

    lebih berani menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya pada kegiatan eksplorasi, baik

    di wilayah kerja produksi maupun wilayah kerja baru, utamanya di kawasan Indonesia Timur.

    Berdasarkan laporan Wood MacKenzie, dalam lima tahun ke depan akan ada 20production-

    sharing contract(PSC) yang habis masa kontraknya--beberapa tahun kemudian akan semakin

    banyak kontrak yang habis. Menurut Wood MacKenzie, Indonesia berpotensi kehilangan 60

    persen dari produksi migas nasional, sementara secara alamiah produksi lapangan-lapangan

    lainnya akan terus menyusut.

    Kalau sudah begini, walaupun 2014 dianggap sebagai tahun pemilu, kampanye eksplorasi

    tidak lagi sebatas retorika, melainkan dibumikan menjadi agenda-nasional melalui berbagai

    program lintas-sektor dibantu kemudahan-kemudahan fiskal dan non-fiskal sehingga

    Indonesia mampu berkelit dari ancaman yang sudah berada di depan mata: darurat migas.

    Tanpa didukung instrumen khusus untuk mendongkrak eksplorasi migas di wilayah-kerja

    baru dan wilayah-kerja produksi yang berstatus lebih berbobot, dipastikan "laju penggantian

    cadangan" akan terus tergerus ke tingkat defisit yang semakin besar sehingga laju penurunan

    produksi dan liftingmigas nasional akan lebih merisaukan dibanding masa-masa sebelumnya.

    Jika hanya bersandar pada undang-undang migas baku yang mengatur tata kelola migas

    nasional, seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, pemerintah tidak

    berdaya mendongkrak kegiatan eksplorasi. Diperlukan instrumen khusus di luar undang-

    undang migas baku yang statusnya kini masih terombang-ambing di DPR RI selepas

    dibubarkannya BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi pada 2012.

    Mungkin dengan aturan setingkat undang-undang atau minimal setingkat peraturan

    pemerintah (PP) khusus untuk mengatur kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas nasional

    secara lintas-sektor dengan berbagai bentuk kemudahannya, berdampingan dengan undang-

    undang minyak dan gas bumi yang baru yang diharapkan tidak terlalu lama diperam di

    gedung DPR-RI. Maklum penghuninya sibuk menghadapi pemilu 2014.

    Dengan demikian, perahu arung jeram yang terus bergerak ke hilir diharapkan bisa berganti

    arah, berbalik naik ke hulu.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    19/48

    Sosok Antitesis SBY

    Kamis, 30 Januari 2014

    Mohamad Fauzi Sukri,Penulis

    Hari-hari ini kita semakin sering mendengar pembicaraan-pembicaraan perihal suksesi

    kepemimpinan nasional, khususnya untuk Presiden Republik Indonesia 2014-2019. Dan

    semua pembicaraan ini mengarah pada satu tema besar: mencari sosok antitesis SBY.

    Dalam pencarian sosok antitesis SBY ini, setidaknya terindikasikan dua hal. Pertama, di mata

    publik dan media massa, gaya kepemimpinan SBY selama ini dianggap kurang cocok dengan

    permasalahan yang dihadapi Indonesia. Di sini SBY bukan tidak berhasil, bahkan kita tahuSBY terpilih dua kali berturut-turut. Tapi, pada masa kepemimpinan SBY yang kedua,

    kepada publik seakan diperlihatkan sosok SBY yang jauh dari harapan publik dalam

    menanggapi dan menyelesaikan permasalahan nasional.

    Beberapa kasus besar, seperti pertikaian KPK dengan DPR atau kasus Bank Century dan

    sebagainya, kurang ditanggapi dengan cepat dan tegas, yang memberi kesan SBY kurang

    berkuasa sebagai figur presiden. Berkali-kali SBY dianggap kurang tanggap, kurang cepat,

    kurang responsif, kurang tegas, dan cenderung dianggap melankolis-perasa. Dan, tentu saja,

    hal ini diperparah dengan prahara dalam Partai Demokrat.

    Kedua, kemunculan beberapa sosok dan gaya kepemimpinan daerah yang mengesankan

    dalam pemberitaan media massa nasional. Dalam pemunculan ini, gaya tersebut seakan

    berkebalikan dengan gaya kepemimpinan SBY. Kita melihat politik not as usual, gaya

    kepemimpinan yang tak biasa, mendobrak, terkesan revolusioner, dekat dengan kehidupan

    rakyat: hal yang sebenarnya sudah seharusnya dilakukan sosok pemimpin politik.

    Tentu saja kemunculan ini tidak hanya berdampak pada merosotnya popularitas SBY, tapi

    juga sedikit-banyak memudarkan tokoh-tokoh nasional yang selama ini ingin menjadi sosok

    antitesis SBY. Saat ini, jika ada pemilihan sosok antitesis SBY yang dari tokoh nasional,apalagi yang sudah pernah memimpin Indonesia, rakyat kurang begitu greget untuk

    menjadikannya pilihan utama. Mereka kurang memberikan harapan besar untuk melakukan

    terobosan-terobosan yang baru seperti yang biasa dilakukan oleh tokoh daerah yang berhasil.

    Secara umum, psikologi sosial masyarakat seakan sudah terbentuk: lebih baik memilih tokoh

    daerah atau tokoh muda baru daripada memilih tokoh lama. Jadi, bisa dibilang tokoh-tokoh

    lama akan sangat sulit untuk menjadi sosok antitesis SBY. Di sini sebenarnya pokok

    masalahnya adalah pada gaya kepemimpinan, bukan pada keberhasilan besar.

    Beberapa tokoh daerah yang masuk dalam radius tokoh nasional sebenarnya juga melakukan

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    20/48

    politik as usual, cuma mereka memiliki gaya kepemimpinan yang dianggap memenuhi

    keinginan publik, plus keberhasilan-keberhasilan yang kecil tapi penting dan menyentuh

    kepentingan publik banyak.

    Bisa dibilang, bagi sosok antitesis SBY, tidak ada tema dan ide besar untuk kepemimpinanyang akan datang. Publik hanya ingin melihat aksi-aksi besar para pemimpin mereka. Ini

    bukan zaman ideologi besar dengan cita-cita besar. Kita menyaksikan bahwa, dalam beberapa

    kali pemilihan pemimpin daerah atau gubernur, beberapa tokoh akademisi kalah oleh tokoh

    biasa tapi menawarkan kepemimpinan yang baru.

    Maka, tawaran gaya kepemimpinan menjadi kunci dalam pemilihan sosok antitesis SBY.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    21/48

    Menangkap Bus

    Kamis, 30 Januari 2014

    Bina [email protected]

    Percakapan anak perempuan-mungkin berumur sembilan tahun-dengan ibunya ini terjadi di

    sebuah kamar kecil umum salah satu mal di Jakarta Selatan. Keduanya antre di depan saya; si

    anak tak henti bercerita, kadang bertanya dalam bahasa Inggris lancar. Ibunya pun menjawab

    dalam bahasa yang sama, dengan logat Amerika.

    Saya sungguh kagum akan kemampuan bahasa Inggris si anak kecil. Mendengarkan

    percakapan keduanya, saya merasa tidak sedang di Indonesia. Ketika itu, sempat tebersitpikiran: bagaimana jika saya bertanya menggunakan bahasa Indonesia kepada si anak.

    Saya ingat cerita teman saya yang kesulitan mendapatkan sekolah taman kanak-kanak bagi

    anaknya yang usianya belum genap lima tahun. Rumah mereka terletak di kawasan Bintaro,

    dan sang ibu tak berhasil menemukan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa

    Indonesia. Semua menggunakan bahasa Inggris.

    Guru di calon sekolah itu, kata teman yang satu ini, berkukuh menjelaskan pentingnya

    penguasaan bahasa Inggris sejak dini. Guru itu pun dengan fasih menjelaskan manfaat belajar

    bahasa asing terhadap perkembangan kognisi seorang anak.

    Si guru tidak paham alasan teman saya yang ingin menanamkan bahasa Indonesia yang

    benar, sebelum anaknya belajar bahasa asing. Sebaliknya, dia mungkin berpikiran orang tua

    anak itu minder karena tak lancar berbahasa Inggris. Akhirnya agar, si anak lancar berbahasa

    Inggris, sang guru pun menyarankan agar orang tua membiasakan berkomunikasi dalam

    bahasa Inggris dengan anaknya. Kawan saya pun berang bercampur putus asa. Dia

    berpendapat, keprihatinan terhadap merosotnya kepedulian terhadap kualitas berbahasa

    Indonesia wajib ditularkan.

    Kita memang pantas khawatir, orang tidak merasa perlu "melakukan perbaikan" bahasa yang

    "mengalami penurunan" ini. Mungkin karena sudah terdengar sebagai bahasa Indonesia, frasa

    seperti itu dianggap benar dan baik. Penyiar televisi dan produk tulisan di media massa turut

    "melakukan penyebaran" kekonyolan itu. Padahal semua itu bukti bahwa kualitas bahasa

    Indonesia kita "mengalami kemerosotan".

    Para ahli pendidikan pun prihatin atas kurangnya perhatian terhadap pendidikan bahasa

    Indonesia sejak dini. Mereka mengakui bahwa, dalam kurikulum yang lalu, kedudukan

    bahasa Indonesia cenderung dilemahkan, tak dihargai pada setiap satuan pendidikan. Di

    tingkat sekolah dasar, bahkan di taman kanak-kanak, posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    22/48

    pendidikan diganti dengan bahasa Inggris.

    Dalam kurikulum 2013, para ahli pendidikan memartabatkan bahasa Indonesia sejak

    pendidikan dasar dengan menjadikannya sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Untuk itulah,

    satuan mata pelajaran bahasa Indonesia diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan sosial danalam. Meski tidak mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan,

    karena sebagai bahasa sehari-hari saja dia kurang disayangi.

    Sebelum "mengalami penyesalan", Anda pasti setuju bila bahasa Indonesia sangat layak

    dicintai secara berkesinambungan. Bukannya saya tidak bangga melihat anak-anak Indonesia

    sudah lancar berbahasa asing. Tapi jangan sampai anak-anak justru asing dengan bahasa

    nasionalnya.

    Jika tidak, simaklah potongan pembicaraan antara nona rumah yang duduk di sekolah dasar

    dan pembantu rumahnya ini.

    "Non, Pak Slamet (nama sopir keluarga) ke mana?"

    Dengan bahasa Inggris di benaknya, si nona kecil menjawab, "Menangkap bus."

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    23/48

    Ibu Negara, Log Off

    Rabu, 29 Januari 2014

    Raymond Kaya,Wartawan di SCTV

    Ibu Negara Michelle Obama, 21 Januari lalu, kembali terlibat dalam sebuah kampanye hidup

    sehat bertema Let's Move bersama para pemain basket Miami Heat, Dwayne Wade, Ray

    Allen, Chris Bosh, dan LeBron James, serta pelatih kepala Erik Spoelstra, yang dalam video

    ini bertindak sebagai seorang reporter. Tayangan di YouTube ini dikomentari banyak pihak,

    termasuk misalnya ekspresi Michelle saat melakukanslam dunkdengan wajah menyeringai.

    Tayangan ini langsung mendapat respons yang umumnya menyambut, tapi ada yang memberi

    tanda dislikesekaligus berkomentar. Salah satu isi kalimatnya, "Isn't there a reward for proofof BIGFOOT?"Bahkan dalam sebuah situs di TV nasional NBC, ada sebuah kalimat bernada

    rasial karena hampir semua yang terlibat dalam tayangan ini berkulit hitam. Tapi tak satu pun

    nada marah diungkap dari White House, apalagi dari pribadi Michelle.

    Seseorang yang sadar masuk ke teknologi media baru yang berbasis Internet atau dunia

    virtual sebenarnya masuk dalam sebuah dunia yang baru tanpa etika dan budaya. Seseorang

    yang dengan sadar masuk ke dunia Internet harus membedakan dirinya sebagai humandan

    sebagaipost-human. Pada saat seseorang masuk ke dunia virtual melalui Internet, ia masuk

    dalam kondisipost-human. Dengan demikian, apa pun yang dia alami saat berinteraksi

    dengan orang lain dalam media sosial, ia harus memikirkan segala konsekuensinya, baik hal-

    hal yang menyenangkan maupun sebaliknya, justru menjengkelkan. Semuanya harus

    terselesaikan di dunia virtual itu dan jangan dibawa-bawa ke dalam kehidupan pribadi setelah

    melakukansign offatau keluar dari media yang digunakan. Profesor Charless Ess dari

    Universitas Drury menyatakan dunia virtual (bukan dunia maya) adalah dunia baru yang

    masih mencari sebuah norma. Nilai-nilai yang disepakati oleh warga dalam dunia virtual

    hanya disepakati sesama mereka dan tidak bersifat umum.

    Ada berbagai cara agar "terhindar" atau "tidak" mendapat perlakuan negatif saat masuk ke

    dunia virtual. Pertama, dengan tidak mengirimspamkepada orang lain. Kedua, janganmenganggap dunia virtual sebagai dunia yang penuh dengan privasi. Ketiga, jangan

    menyerang orang lain jika diri Anda tidak ingin mendapat serangan balik. Dan terakhir,

    gunakan nama dan identitas yang benar. Jangan sekali-kali memberi komentar menggunakan

    identitas palsu untuk mendukung pendapat diri. Perilaku ini tidak cuma bodoh, tapi lambat

    laun juga akan terbongkar.

    Michelle Obama tentu melakukan semua syarat di atas, tapi serangan tetap ada dalam dunia

    virtual kepada dirinya. Itulah yang memang terjadi. Apa pun yang dibuat dalam dunia virtual,

    sebagus apa pun semuanya, bersifat subyektif. Michelle sudah masuk dalam kondisi human

    dan (mampu keluar) dari kondisipost-human. Ia sadar betul, jika semua programnya masuk

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    24/48

    dalam dunia virtual, kritik pun akan datang. Michelle dan para ahli komunikasinya hanya

    menghitung jumlah hit dan likedari tayangannya dan orang-orang yang mungkin terkena

    dampak yang positif atas karya mereka. Maka, jika tidak suka akan dunia virtual, hanya satu

    pilihan: jangan marah-marah, log off. Selesai. *

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    25/48

    Imlek dan Transformasi Kebangsaan

    Kamis, 30 Januari 2014

    Achmad Fauzi,Aktivis Multikulturalisme

    Resolusi esensial perayaan Tahun Baru Imlek 2565 berharap memiliki sumbangsih besar bagi

    terciptanya kedamaian dan persatuan. Terlebih perayaan sakral itu lekat dengan terjadinya

    pembauran masyarakat lintas kultural sehingga menjadi modal sosial dan katarsis kohesi.

    Persoalan kebangsaan menjadi penting untuk diusung sebagai isu strategis, karena kekerasan

    telah mengalami sofistikasi budaya dan melunturkan kemilau Indonesia sebagai negara yang

    menjunjung demokrasi multikultural.

    Imlek sejatinya memiliki magnet sentripetal. Lazimnya perayaan religi yang diperingati

    secara komunal, dalam perayaan Imlek juga dihelat festival akbar yang melibatkan pelbagai

    paguyuban seni-budaya multi etnik. Misalnya, pelaku ritual tatung yang berasal dari suku

    Dayak, penari barongsai dari kelompok pesilat Tionghoa, penabuh tambur dari suku Madura,

    serta etnik Melayu yang mengambil peran sebagai pengangkat tandu (Toa Khio). Malam

    harinya, giliran pertunjukan wayang potehi (wayang boneka katun dari Fujian, RRC) yang

    mengangkat cerita klasik dari Tiongkok dengan dalang dari suku Jawa. Dalam acara itu juga

    diadakan pelayanan penyembuhan (Geertz, 1960), numerology, dan ramalan keberuntungan

    (Harrel, 1987).

    Proses akulturasi budaya dalam perayaan Imlek secara sosiologis linear dengan

    perkembangan masyarakat yang semakin kosmopolit dan kontra-primordialisme. Pembauran

    tanpa sekat di antara suku bangsa menjadi elan vital untuk memotong urat nadi politik

    kependudukan warisan kolonial yang mendikotomikan masyarakat dalam sekat tertentu,

    sebagaimana tertuang dalam doktrin politik divide et impera.

    Negeri ini tentu punya pengalaman sejarah yang pahit tentang dampak buruk politik adu

    domba yang ditanamkan Belanda. Warga keturunan yang terlahir di Indonesia dan telah

    berasimilasi puluhan tahun lamanya masih kerap disebut nonpribumi. Masih segar dalamingatan meledaknya kerusuhan rasial berskala masif pada Mei 1998.

    Ironisnya, tabir pelanggaran hak asasi manusia kelas berat itu hingga kini masih belum bisa

    tersingkap lebar dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Karena itu, melalui momentum

    Imlek, paradigma kesetaraan adalah kunci pokok yang harus dimiliki setiap anak bangsa agar

    dikotomi suku disudahi. Bukankah tokoh Tionghoa juga punya andil besar dalam meraih

    kemerdekaan maupun mengisi pembangunan kini?

    Pergelaran seni budaya antar-etnik dalam perayaan Imlek memang menjadi kajian menarik

    bagi peminat studi lintas budaya. Secara fenomenologis, telah terjadi perubahan iklim budaya

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    26/48

    yang lebih kondusif antara Indonesia dan Tiongkok dari benturan budaya (clash of cultures)

    ke pembauran budaya (sharing of culture). Konsep persebaran kebudayaan yang berorientasi

    pada teori difusi kultural sudah mulai bergeser ke arah paralelisme kultural.

    Implementasi dari teori paralelisme kultural ditandai dengan peniadaan dikotomi tentangkonsepgreat and little tradition. Budaya besar berkembang karena ditopang oleh kebudayaan

    kecil. Begitu juga budaya kecil bisa eksis karena dinaungi oleh kebudayaan besar. Dalam

    teori difusi kultural berlaku sebaliknya, kebudayaan besar meluberi kebudayaan kecil,

    sehingga konsep persebaran kebudayaan yang berorientasi pada teori difusi kultural akan

    melakukan pemaksaan (invasi) dan intoleransi terhadap kebudayaan kecil.

    Alo Liliweri (2003) melihat persoalan identitas budaya sebagai kajian yang sifatnya sangat

    psikologis, memasuki wilayah sensitif. Identitas budaya yang heterogen tiba-tiba menjelma

    menjadi "malaikat maut" bagi keutuhan Indonesia, apabila tidak ada kohesi yang baik antara

    kebudayaan besar dan kebudayaan kecil. Karena itu, nilai budaya harus dimaknai sebagai

    perangkat dasar yang mengangkat manusia Indonesia sebagai bangsa yang utuh. Pemaknaan

    itu harus disikapi dengan cara mencari keseimbangan yang wajar agar realitas budaya yang

    plural itu tetap eksis menyangga pilar keadaban asli Indonesia.

    Merawat khazanah budaya dengan segala potensinya adalah upaya untuk mencegah perilaku

    yang melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk

    membunuh satu sama lain. Kepekaan bangsa terhadap kesucian Indonesia jika direlevansikan

    dengan kondisi bangsa yang tercabik, suka atau tidak suka harus diasah kembali. Budaya

    adalah salah satu instrumen untuk menjaga kesucian itu.

    Perayaan Imlek kontemporer harus melahirkan identitas baru yang lebih khas dan berwarna

    Indonesia. Tanpa menafikan historisitas perayaan ini, masyarakat dari berbagai suku, agama,

    dan budaya turut membaur dalam satu ikatan kebinekaan. Ini fakta menggembirakan betapa

    lilin harapan kembali menyala di tengah gelapnya ancaman anarkisme antar-suku, fanatisme

    kelompok, rendahnya penghargaan terhadap budaya lain, serta menurunnya kepercayaan

    masyarakat terhadap negara. Perayaan Imlek lintas kultural menjadi jalan baru masyarakat

    lintas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk mengikatkan diri dalam ikatan

    kebangsaan. *

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    27/48

    ManggaSabtu, 01 Februari 2014

    Bagja Hidayat,

    @hidayatbagdja

    Cinta seringkali tak masuk akal. Ibu saya mengirim SMS, memberi tahu bahwa pohon

    mangga di depan dan belakang rumah di kampung sedang berbuah. Ia menyisakan lima butir.

    "Kalau-kalau kamu pulang," tulisnya.

    Saya tertawa membacanya. Tentu saya tak akan pulang dalam waktu dekat, setelah kemarin

    menjemput anak yang liburan tengah semester sekolahnya. Selain itu, saya pulang biasanya

    saat Lebaran. Dan, dengan telepon seluler, rencana mudik bisa dengan cepat dikabarkan. Jadi,

    menyimpan lima mangga untuk saya terdengar aneh, karena mereka bakal membusuk karenahari raya masih setengah tahun lagi.

    Tapi, itulah cinta, yang sering tak masuk akal.

    Ibu saya selalu saja menganggap ini tahun 1996. Pada tahun itu saya meninggalkan rumah

    untuk sekolah. Komunikasi kami hanya melalui surat. Kalau liburan semester, saya bisa tiba-

    tiba nongol di depan pintu. Dan ibu kerap menyesal, jika saat libur itu, musim mangga sudah

    habis dan ia tak menyisakan satu pun untuk saya. Sejak itu, ia menyimpan mangga saat

    berbuah karena takut saya pulang sewaktu-waktu, sedangkan musim sudah habis.

    Mungkin cinta memang tak masuk akal.

    Barangkali karena setiap orang punya memori tentang peristiwa yang paling membekas

    dalam hidupnya. Bagaimanapun, sejak anak-anaknya sekolah di luar kampung, hidup ibu dan

    bapak jadi berat karena kebutuhan bertambah. Sampai sekarang, hampir setiap hari

    menelepon atau ditelepon, nasihatnya selalu sama: jangan telat makan, jaga kesehatan,

    berhenti merokok, dan selalu bersyukur. Untung ia tak menambah satu nasihat yang dulu

    wajib ia katakan: rajin belajar!

    Dan memori itu melahirkan cinta yang tak masuk akal, bagi saya. Bagi ibu, semua itu muncul

    dari bawah sadarnya. Cinta itu lahir dari fitrahnya sebagai ibu yang protektif terhadap anak-

    anaknya. Sebab, bapak selalu mengingatkan dengan nalarnya, agar tak usah terlalu pusing

    memikirkan hidup anak-anak yang sudah memisahkan diri.

    Setelah punya anak sekarang, saya jadi paham kenapa larangan kepada anak lebih banyak

    keluar dari ibu. Mungkin karena ibu punya hubungan jauh lebih dekat kepada anak-anaknya.

    Sebab, setiap anak akan mengikatkan dan mengukuhkan batinnya kepada ibu saat menyusu.

    Ketika anak-anaknya susah, benteng proteksi yang dibangunnya selama kita tumbuh itu akanambyar.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    28/48

    Maka, jika ibu melarang minum es di musim hujan karena bisa flu, bapak akan

    mengizinkannya karena flu toh ada obatnya dan bisa sembuh segera. Jika ibu melarang main

    pisau karena ia cemas kita akan terluka, bapak akan membiarkan karena anak-anak suka

    mencoba banyak hal. Ibu banyak melarang karena ia akan bekerja lebih keras jika anak-anaknya sakit: menjaga, merawat, dan menyembuhkan.

    Dari situlah mungkin tumbuh cinta protektif yang kerap tak masuk akal.

    Seorang teman mengingatkan momen mangga itu akan membuat saya kangen suatu saat

    nanti. Ibu teman ini meninggal dua tahun lalu. Berbahagialah, kata dia, yang masih punya ibu

    dengan cinta yang luar biasa, betapapun tak masuk akal dan nalar kita yang suka berpikir

    selintas dan enteng-entengan. *

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    29/48

    Hak Penderita KustaSabtu, 01 Februari 2014

    Rusman Widodo,

    Staf Komnas HAM

    Pada Minggu akhir Januari, masyarakat seluruh dunia memperingati Hari Kusta Dunia yang

    memiliki fokus mengajak semua pihak, terutama negara, untuk peduli dan memperhatikan

    Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)--meminjam istilah dari PerMaTa

    (Perhimpunan Mandiri Kusta) untuk menyebut penyandang kusta--dan anggota keluarganya

    yang sampai saat ini menjadi manusia yang paling termarjinalkan hidupnya di seluruh dunia.

    OYPMK di seluruh dunia yang berjumlah lebih dari 5 juta orang mengalami stigma,

    diskriminasi, dan beragam bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di Indonesia, yangmenempati peringkat ke-3 sebagai negara penyumbang penderita kusta baru setelah India dan

    Brasil, kondisi OYMPK sampai saat ini belum banyak berubah. Mereka masih mengalami

    beragam pelanggaran HAM: dikucilkan oleh masyarakat sekelilingnya, ditempatkan di

    koloni-koloni kusta yang sudah ada sejak zaman Belanda, dilarang menggunakan fasilitas

    umum, tertutup aksesnya untuk memperoleh pekerjaan, dikeluarkan dari lembaga pendidikan,

    tidak bisa menikah dengan orang yang tidak terkena kusta, dan lain-lain. Intinya, hampir di

    semua aspek kehidupan--sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya--mereka terpinggirkan.

    Beragam bentuk pelanggaran HAM itu muncul karena kurangnya pengetahuan dan salah

    persepsi dari masyarakat terhadap penyakit kusta. Masyarakat menganggap penyakit kusta

    adalah penyakit yang sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Faktanya, kusta tidak

    mudah menular. Sekitar 95 persen orang yang terkena bakteri kusta tidak menderita kusta

    karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi tersebut. Kusta saat ini sudah dapat

    disembuhkan dengan terapi obat modern dan obat-obat tersebut disediakan gratis di

    puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia. Kusta dianggap sebagai penyakit kutukan dari

    Tuhan. Faktanya, kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri (kuman) dan bila

    ditangani sejak awal tidak akan muncul disabilitas pada penderitanya.

    Kondisi OYPMK yang terkepung oleh beragam pelaku dan beragam jenis pelanggaran HAMmengakibatkan mereka menjadi benar-benar tersisihkan dan tidak berdaya. Apalagi,

    mayoritas dari OYPMK adalah masyarakat ekonomi lemah. Selain itu, persoalan kusta sudah

    bergeser sangat jauh. Kusta saat ini bukan semata persoalan medis (kesehatan), tapi dia telah

    menjadi persoalan psikologi, sosial, ekonomi, politik, dan HAM.

    Dalam perspektif HAM, upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM menjadi

    tanggungjawab atau kewajiban negara (pemerintah). Oleh karena itu, persoalan kusta ini

    hanya dapat ditangani dengan baik bila ada keterlibatan secara masif, intensif, dan

    komprehensif dari pemerintah. Intinya, pemerintah harus berani menjadi leading sectoruntukmengajak pemangku kepentingan lainnya bersama-sama menghapus segala bentuk

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    30/48

    pelanggaran HAM terhadap OYMPK. Kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan baik

    oleh negara. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani resolusi

    tentang "Prinsip-Prinsip dan Pedoman tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Orang-

    orang Yang Terkena Kusta dan Anggota Keluarga Mereka" yang telah diadopsi oleh Dewan

    HAM PBB pada September 2010. *

    *) Tulisan ini pendapat pribadi

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    31/48

    Iman dan Negara HukumSabtu, 01 Februari 2014

    Akhmad Sahal,

    Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

    Bagaimana negara mesti bersikap terhadap iman warganya? H Agoes Salim pernah

    menyoroti soal itu. Dalam artikelnya, "Kementerian Agama dalam Republik Indonesia"

    (1951), beliau bertanya apakah negara kita yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa

    "mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan yang

    mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?".

    Tokoh kebangsaan yang kerap digelari "Orang Tua Besar" itu menjawab begini: "Tentu dan

    pasti! Sebab, UUD kita, sebagaimana UUD tiap-tiap negara yang mempunyai adab dankesopanan, mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan beragama, asalkan jangan

    melanggar hak-hak pergaulan orang masing-masing. Jangan melanggar adab kesopanan pihak

    ramai, tertib keamanan, dan damai."

    Selanjutnya ia menulis: "Kementerian Urusan Agama tetap harus mengingat bahwa sekalipun

    bangsa kita sebagian besar beragama Islam, akan tetapi negara kita tidak menetapkan agama

    Islam sebagai agama yang diwajibkan segala rakyat Bahkan kepada mereka yang

    meniadakan Tuhan dan yang beragama ketuhanan berbilangan atau berbagai-bagi, tidaklah

    Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan, bahkan tidakpun dibenarkan kita

    menghadapkan celaan dan cacian."

    Bagi Agoes Salim, kebebasan beragama sifatnya mutlak, dan karena itu harus dilindungi

    konstitusi. Ia juga menegaskan Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang berperan

    merawat kebebasan berkeyakinan, termasuk keyakinan warga yang ateis maupun politeis,

    asal tak mengganggu ketenteraman publik. Di akhir artikelnya, ia menyebut tugas

    Kementerian Urusan Agama sebagai mulia karena pada lembaga inilah "bergantung

    pemeliharaan kesatuan kebangsaan kita".

    Ironisnya, Kementerian Agama kini semakin melenceng dari khitah yang dicanangkan AgoesSalim. Alih-alih sebagai "pemelihara kesatuan kebangsaan kita", Menteri Agama

    Suryadharma Ali justru mendukung intoleransi dan diskriminasi agama. Dan itu disokong

    oleh MUI dan ormas seperti FPI dan FUI.

    Ada upaya untuk mengubah karakter "negara hukum" NKRI menjadi "NKRI bersyariah."

    Tak jarang upaya tersebut berlindung di balik klaim demokrasi. Bagi mereka, demokrasi

    adalah melulu soal suara terbanyak. Kalau misalnya suara terbanyak menghendaki

    pelenyapan Syiah dan Ahmadiyah, kenapa tidak?

    Tapi, masih layakkah kehendak mayoritas disebut demokrasi kalau disertai pemberangusan

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    32/48

    kebebasan berkeyakinan minoritas? Perlu diingat, demokrasi modern bertumpu pada dua

    pilar: kesetaraan dan kemerdekaan. Pilar kesetaraan mendasari berkembangnya mekanisme

    seleksi pemimpin melalui pemilihan umum, sedangkan pilar kemerdekaan menjadi basis bagi

    ide negara hukum (rechtsaat).

    Begitulah, atas dasar kesetaraan, kepemimpinan dalam demokrasi tidak bertolak dari klaim

    superioritas keturunan seperti aristokrasi, atau klaim mandat keilahian ala teokrasi, melainkan

    melalui suara terbanyak dalam pemilu. Pemimpin dalam demokrasi merupakanprimus inter

    pares, yang pertama dari yang setara.

    Namun, demokrasi modern juga bertumpu pada prinsip kemerdekaan warga, dalam arti bebas

    dari kesewenangan dominasi pihak lain. Kalaupun ia tunduk pada kuasa negara, itu karena ia

    memberi persetujuan (consent) terhadapnya, melalui kontrak sosial.

    Menurut Thomas Hobbes, negara modern lahir dari kontrak antarindividu-individu yang

    hendak melindungi diri dari situasi "perang semua lawan semua". Ini adalah gambaran

    perang saudara yang murub karena konflik agama di Eropa abad ke-17. Ketakutan itulah

    yang mendorong para individu untuk melakukan kontrak sosial untuk bersedia dipimpin oleh

    kedaulatan absolut ala Leviathan.

    Tapi, Sang Leviathan juga bisa menjadi tiran. Dari situlah pemikir politik semacam Locke,

    Montesquieu, dan Jefferson merumuskan strategi untuk "mengerangkeng" Leviathan, agar

    hak individu dalam kontrak sosial terlindungi. Inilah yang lalu berkembang menjadi sistem

    kontrol terhadap kekuasaan lewat rule of law, trias politika, dan check and balance, yangsemuanya jadi ciri negara hukum.

    Asumsinya, negara bukan entitas yang mendahului individu, melainkan sebaliknya: ia

    muncul karena adanya kontrak antarindividu, demi melindungi kemerdekaan mereka.

    Pemerintah tak punya lisensi untuk memberangusnya karena hak tersebut bukan anugerah

    dari negara, tapi melekat dalam diri tiap manusia.

    Walhasil, prinsip kesetaraan dan kemerdekaan adalah dua sisi dari koin demokrasi yang tak

    bisa saling menafikan. Dengan begitu, mayoritas tak bisa mengebiri hak minoritas, karena itu

    sama artinya dengan menafikan sisi demokrasi yang lain, yakni rechstaat.

    Memang, ide negara hukum adalah produk tanah Eropa. Tapi para pendiri Republik ini

    mengadopsinya, karena hanya dengan negara hukumlah kemerdekaan tiap warga terlindungi,

    termasuk kemerdekaan berkeyakinan.

    Karena itulah Agoes Salim tegas menyatakan, meski negara kita berdasar Ketuhanan yang

    Maha Esa, warga yang ateis ataupun politeis sekalipun mendapat tempat. *

    *) Kolom ini untuk Prof Dawam Rahardjo atas Yap Thiam Hien Award 2013

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    33/48

    Presiden dan Literasi

    Minggu, 02 Februari 2014

    Bandung Mawardi,

    Pengelola Jagat Abjad Solo

    Anas Urbaningrum (AU) menerbitkan buku berjudulJanji Kebangsaan Kita, 2013. Buku itu

    berisi esai-esai yang pernah dimuat di koran dan disampaikan dalam pidato di pelbagai acara.

    Status tersangka tak menghabisi ambisi intelektual dan literasi dari bekas Ketua Umum Partai

    Demokrat itu. Ingat AU, ingat Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). AU

    pernah turut membesarkan partai bentukan SBY, menebar pujian bagi SBY selaku presiden.

    Dulu, AU pernah menerbitkan dua buku untuk pembentukan imajinasi politik dan opini

    publik:Bukan Sekadar Presiden: Daya Gugah SBY sebagai Pemimpin(2009) danRevolusi

    Sunyi: Mengapa Partai Demokrat dan SBY Menang Pemilu 2009(2010).

    Para pembaca bisa mengingat dua buku garapan AU jika ingin memberi tanggapan buku

    SBY, berjudul Selalu Ada Pilihan, 2014. AU pernah mengisahkan SBY bergelimang pujian

    meski berubah menjadi serangan kritik, akibat terlibat kasus korupsi dan konflik dalam Partai

    Demokrat. Sekarang, SBY menulis sendiri tanpa perantara atau juru pengisah. Buku setebal

    808 halaman itu dipersembahkan bagi "pencinta demokrasi dan para pemimpin Indonesia

    mendatang". Presiden sanggup menulis buku, memuat pembelaan diri dan petuah, dari urusanpribadi sampai politik. Kita mesti menebus keingintahuan mengenai SBY dengan pembelian

    buku seharga Rp 199 ribu.

    SBY menjelaskan bahwa penulisan dan penerbitan buku bermaksud memberi "jawaban" dan

    edukasi atas pelbagai kritik, fitnah, komentar, gosip selama menjalankan amanah dua

    periode, sejak 2004. Buku memiliki tujuan agar rakyat mengerti jalan pikiran, kebijakan, dan

    tindakan SBY: " memajukan kehidupan dan kesejahteraan rakyat Indonesia." Kita mulai

    mengerti bahwa SBY sengaja menghampiri kita tak cuma melalui lagu, puisi, dan pidato.

    Buku diniatkan menjadi sapaan bagi publik, mencipta hubungan literasi. Kapan SBYmemiliki ketekunan dan waktu menulis buku? SBY menjawab: "Yang jelas, buku yang

    penulisannya saya cicil selama setahun ini, yang saya tulis di hari libur, di pesawat, dan di

    tengah keheningan malam, tidak sekali pun mengganggu tugas-tugas saya sebagai Kepala

    Negara dan Kepala Pemerintahan."

    Kita mulai bercuriga. SBY itu sibuk menjadi presiden dan mendongkrak popularitas Partai

    Demokrat. Apakah SBY bakal menambah kesibukan dengan promosi buku? Ah, curiga kita

    berlebihan. Kita menanti SBY mengucap judul buku dalam pidato atau wawancara, beraroma

    promosi. Sebutan judul buku bisa mengajak publik tergoda membeli buku bersampul putih

    dan tebal. Publik pun diperkenankan mengekspresikan pujian atau kebanggaan, memiliki

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    34/48

    presiden sebagai penulis buku.

    Presiden menulis buku? Kita ingat Sukarno, penulis artikel dan buku-buku ampuh. Dalam

    pelbagai pidato, Sukarno sering berpesan agar orang-orang membaca SarinahdanDi Bawah

    Bendera Revolusi. Pesan bermaksud politis dan intelektual, mengajak publik mengerti basispemikiran revolusi, sejarah, demokrasi, kepribadian. Sukarno tampil sebagai intelektual,

    menyajikan tulisan-tulisan sangar dan menggugah. Sejak muda, Sukarno memang rajin

    membaca dan menulis, berlanjut saat menjabat presiden. Publik mengingat Sukarno,

    mengingat buku-buku.

    Pesona buku-buku dari Sukarno belum pudar, melintasi tahun demi tahun. Orang-orang

    masih ingat kutipan berisi pemikiran dan slogan-slogan buatan Sukarno. Agenda

    menggerakkan Indonesia dengan buku beretos literasi melekat ke Sukarno. Indonesia episode

    awal adalah negeri berpolitik dengan buku, berlimpah ide dan tanggapan. Ingatan itu

    memberi pengharapan ada komunikasi politik populis dan edukasi politik berbasis

    keaksaraan. Indonesia bergerak bersama buku-buku garapan Sukarno dan para penggerak

    bangsa: M. Hatta, Hamka, M. Natsir, Tan Malaka, M. Yamin.

    H Mualliff Nasution (1963), dalam sekapur sirih untuk bukuDi Bawah Bendera Revolusi,

    menerangkan: " buku ini dipersembahkan kepada rakjat dengan maksud djanganlah

    hendaknja hanja sekedar untuk penghias lemari buku, akan tetapi dengan penuh tjinta dan

    sadar mempeladjarinja setjara ilmiah betapa pasangsurutnja pergerakan kemerdekaan di

    zaman pendjadjahan." Buku setebal bantal juga bertujuan "meratakan djalan bagi

    pembentukan masjarakat adil dan makmur." Ingat, buku dari presiden jangan cuma jadipenghias lemari buku!

    Buku dari Sukarno dan SBY memiliki tujuan mulia, meski berbeda isi dan resepsi pembaca.

    Kita berharap buku SBY mampu dipelajari oleh publik, tak cuma jadi penghias lemari buku.

    Para pejabat dan pengusaha pun pantas diingatkan, jangan membeli buku dengan niat pamer

    kesetiaan kepada SBY! Apakah buku Selalu Ada Pilihandiminati pembaca? Kita belum bisa

    mengukur dan membuat evaluasi. Kita cuma melihat fakta, selama Januari 2014, Selalu Ada

    Pilihansudah cetak dua kali. Ampuh! Kita bakal tercengang dengan jumlah penjualan jika

    ada promosi dari SBY. Buku telah menggenapi pengenalan publik terhadap SBY: penggubah

    lagu, pujangga, penulis.

    Buku-buku warisan dari para penggerak bangsa dan sajian SBY membuat katalog Indonesia

    berlimpah. Membaca buku, membaca Indonesia. Presiden menulis buku tentu persembahan

    edukatif demi demokrasi berbasis literasi. Sukarno, B.J. Habibie, Gus Dur, dan SBY menjadi

    representasi dari klaim penggerak politik dan literasi. Mereka adalah presiden dan penulis.

    Kita membaca buku mereka dengan percik harapan: Indonesia berliterasi sepanjang masa.

    Amin.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    35/48

    Kepemimpinan Perempuan di KampusSelasa, 04 Februari 2014

    Musdah Mulia, aktivis perempuan

    Faktanya, 65 persen dari lulusan universitas di dunia adalah perempuan, bahkan 65 persen

    dari lulusan terbaik universitas juga perempuan. Tapi kepemimpinan perempuan di perguruan

    tinggi di Indonesia tidak sesuai dengan fakta itu. Tercatat hanya ada empat perempuan rektor

    atau ketua. Padahal, di negeri ini ada 97 perguruan tinggi negeri dan 3.124 perguruan tinggi

    swasta.

    Lokakarya tentang minimnya kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi yang

    diselenggarakan oleh Higher Education and Leadership Management menyimpulkan tiga

    faktor utama sebagai hambatan: budaya patriarkal dan faktor eksternal di sekitar perempuan;

    minimnya pengembangan pribadi dan profesional bagi perempuan; dan kurangnya kelompok

    perempuan aktif yang mampu menyebarkan semangat positif dalam mengambil peran

    kepemimpinan.

    Ternyata hambatan paling mengemuka bukan soal kompetensi akademik, kemampuan ilmiah,

    ataupun pengalaman manajemen perguruan tinggi sebagaimana disyaratkan, melainkan lebih

    banyak terkait dengan nilai-nilai budaya. Sungguh sangat disayangkan, dunia pendidikan

    tinggi yang seharusnya mengajarkan pentingnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis justru

    masih terbelenggu oleh nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik. Tidak mengherankan jika

    di perguruan tinggi masih dijumpai nilai-nilai diskriminatif dan stigma negatif terhadapperempuan.

    Buktinya, dalam pemilihan rektor di sebuah universitas negeri, kandidat perempuan satu-

    satunya "di-bully" dengan sejumlah pernyataan bias gender. Misalnya: "Universitas ini sangat

    maskulin secara kultural dan sosiologis, sehingga gaya feminin dalam kepemimpinan masih

    sulit untuk sukses."

    Sejumlah penelitian merumuskan, ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki sejumlah

    keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan,perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki-laki.

    Perempuan dinilai lebih interpersonal dan bisa mendengarkan lebih baik sebagai

    keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman dan penting. Selain itu, yang

    terpenting adalah perempuan memiliki pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan.

    Perempuan juga dapat menjadi lebih kooperatif dan mendukung, di samping tidak suka

    menonjolkan diri dan kompetitif. Mereka tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten,

    teliti, lebih memperhatikan hal-hal kecil dan rumit, serta kolegial.

    Ciri-ciri kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan

    mampu melahirkan manusia kritis, inovatif, bertanggung jawab, serta tetap kuat berpegang

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    36/48

    pada nilai-nilai spiritual. Manusia seperti itu mampu memandang semua manusia sebagai

    makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati. Mungkin itu sebabnya di sejumlah

    negara maju perempuan mendominasi kepemimpinan di perguruan tinggi.

    Sejak awal abad ke-20, dunia internasional lantang menyuarakan pentingnya kesetaraan dankeadilan gender sebagai salah satu strategi kunci dalam menciptakan masyarakat yang damai,

    maju, dan sejahtera. Bahkan, tiga dari tujuan Millenium Development Goals (MDG's)

    berfokus pada upaya kesetaraan dan keadilan gender.

    Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal biasa, sepanjang tidak menimbulkan

    ketidakadilan dan ketimpangan gender (gender inequities and injustice). Akan tetapi, dalam

    realitas di masyarakat, perbedaan gender sangat sering membawa ketimpangan atau

    ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sebab, mereka selama ini merupakan kelompok

    yang rentan, marginal, dan tertinggal akibat kultur dan struktur yang didominasi kelompok

    maskulin.

    Lalu, apakah kita akan membiarkan perilaku tidak manusiawi tersebut? Demi terwujudnya

    masa depan peradaban manusia yang lebih adil dan lebih damai, semua bentuk ketimpangan

    dan ketidakadilan gender harus diakhiri sekarang juga.

    Untuk itu, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, upaya rekonstruksi

    budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, dimulai dari pendidikan dalam

    keluarga. Kedua, diperlukan upaya reformasi terhadap semua kebijakan publik yang

    diskriminatif (Komnas Perempuan mengatakan ada sebanyak 354 perda diskriminatifterhadap perempuan). Ketiga, diperlukan upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama yang

    memarginalkan perempuan, sehingga yang tersebar hanyalah interpretasi keagamaan yang

    akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan.

    Kita perlu mendorong pengembangan perguruan tinggi yang memilikisense of genderyang

    baik. Kuantitas dan kualitas kepemimpinan perempuan di dunia pendidikan perlu

    ditingkatkan. Kita harus memberikan dukungan yang lebih kuat agar para perempuan dapat

    meruntuhkan berbagai hambatan, baik karena nilai-nilai tradisional, struktur, budaya, maupun

    pribadi yang menghalangi perkembangan personal dan profesional. Karakteristik

    kepemimpinan demokratis perlu dikembangkan untuk mendorong perempuan dan laki-laki

    menjadi pemimpin berkualitas di masa depan. Akhirnya, semoga lebih banyak lagi

    perempuan yang menjadi pemimpin di perguruan tinggi.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    37/48

    Bahagia tapi Kurang PintarSelasa, 04 Februari 2014

    Agus M. Irkham, aktivis literasi

    Kemampuan anak Indonesia berusia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca

    dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia masih rendah. Berdasarkan hasil Programme

    for International Student Assessment 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65

    negara yang berpartisipasi dalam tes. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang

    berada di peringkat terbawah.

    Penilaian itu dipublikasikan The Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) pada awal Desember 2013. Rata-rata skor matematika anak-anak Indonesia 375,

    rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata skor untuk sains 382. Padahal rata-rata skor OECD

    secara berurutan adalah 494, 496, dan 501.

    PISA 2012 yang bertema Evaluating School Systems to Improve Education diikuti oleh 34

    negara anggota OECD dan 31 negara mitra (termasuk Indonesia) yang mewakili lebih dari 80

    persen ekonomi dunia. Murid yang terlibat sebanyak 510 ribu anak berusia 15 tahun yang

    mewakili 28 juta anak berusia 15 tahun di sekolah dari 65 negara partisipan.

    Selain mengukur tingkat kemampuan siswa terhadap matematika, sains, dan membaca, PISA

    2012 mengukur seberapa bahagiakah siswa saat di sekolah.

    Ternyata hasilnya sungguh di luar dugaan. Hasil PISA 2012 menunjukkan murid-murid di

    Indonesia paling bahagia saat berada di sekolah. Sebaliknya, murid-murid di Korea Selatan

    yang kemampuan sains, matematika, dan membacanya tinggi justru paling tidak bahagia di

    sekolah.

    Membaca hasil survei di atas, kita akan dihadapkan pada fakta yang bersifat paradoksal. Hal

    ini berupa rasa bahagia para murid kita saat di sekolah, namun tidak lantas secara otomatismembuat mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam matematika, sains, dan membaca.

    Bahagia tapi tidak pintar.

    Temuan paradoks tersebut juga bisa bermakna Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

    (KTSP) 2006 sudah berhasil membuat para siswa senang di sekolah, karena mereka-yang

    mengikuti survei itu-memakai KTSP. Dapat juga bermakna sekolah merupakan ruang publik

    (baca: ruang kebebasan) buat para murid di tengah pola relasi yang terjalin di rumah (anak

    dan orang tua) dan lingkungan masyarakat sekitar mereka (remaja dan orang dewasa) yang

    berkemungkinan besar tidak memberi ruang ekspresi yang cukup untuk mereka.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    38/48

    Terlepas dari makna paradoks dan dua cara pembacaan-pemaknaan tersebut, hasil PISA 2012

    ini-terutama rasa bahagia di sekolah-bisa menjadi titik masuk bagi ikhtiar perubahan dunia

    pendidikan kita. Sebab, rasa bahagia ini adalah kunci bagi proses pembelajaran yang optimal.

    Mereka dapat melihat satu dunia yang penuh dengan kemungkinan, harapan, kesempatan, dan

    cita-cita. Akhirnya, para murid tidak hanya pintar, tapi juga bahagia. Bahagia tapi juga pintar.Dengan demikian, para orang tua tidak perlu mengatakan seperti yang pernah diutarakan oleh

    Alexander Sutherland Neill, pendiri sekolah Summer Hill: "lebih baik anak saya menjadi

    tukang sapu yang bahagia ketimbang menjadi sarjana tapi terkena gangguan jiwa."

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    39/48

    Chopin dan PemberontakannyaSenin, 03 Februari 2014

    Soe Tjen Marching, Komponis

    Chopin, yang lahir di Polandia dan diperingati tiap 22 Februari, bukanlah komponis yang

    suka sorak-sorai publik. Ia lebih suka memberi konser di rumah pribadi, atau gedung-gedung

    kecil yang terkesan intim daripada di sebuah gedung megah. Ia mendapat nafkah dari

    mengajar dan konser.

    Memang, komponis romantisisme ditandai dengan pemberontakan mereka menjadi

    "peliharaan" para bangsawan. Keberanian akan perbedaan dan keunikan jugalah yang telah

    membuat para komponis ini menciptakan karya-karya mengagumkan. Bunyi memang sesuatu

    yang abstrak, namun tak pernah terpisahkan dari ide (dan sering kali kenekatan atau kegilaan)

    sang seniman.

    Tidak semua perbedaan dan keunikan bisa diterima begitu saja. Chopin, yang dipuja hampir

    seantero jagat saat ini, sempat menghadapi terpaan kritik karena permainannya dianggap

    terlalu lemah dan kurang gairah. Beberapa dari para kritikus yang masih terpaku pada standar

    musik Beethoven yang seperti badai menerjang, sempat memandang negatif Chopin. Namun

    Franz Liszt, komponis andal yang kemudian menjadi sahabat Chopin, menulis di majalah

    Gazette Musicale yang diterbitkan pada 2 Mei 1841, "Chopin menyajikan musiknya seperti

    seorang pujangga dan pemimpi kepada orang di sekelilingnya, bukan kepada publik. . . Ia

    menawarkan simpati yang lembut, bukan antusiasme yang ribut."

    Di tangan Chopin, yang lebih banyak mengarang untuk piano daripada instrumen lainnya,

    alat ini menjadi seolah bernyanyi. Berbeda dengan kebanyakan komponis sebelumnya,

    Chopin gemar mencantumkan tempo rubato(tempo yang dicuri) yang memberi kebebasan

    bagi pemain untuk menentukan kecepatan dan juga artikulasi nada-nada. Ini juga sempat

    mengejutkan beberapa musikus yang biasa dengan tempo yang serba tepat. Kebebasan seperti

    rubatoini bisa diartikan seenaknya sendiri oleh beberapa orang. Namun, bagi pianis yang

    andal, justru kebebasan adalah tanggung jawab untuk memilih, dan ini menjadi beban yang

    cukup besar, karena tanggung jawab seperti ini membutuhkan ketepatan dan kepekaan yangluar biasa.

    Reputasi Chopin sebagai komponis makin menanjak di Prancis, namun kesehatannya

    bertambah turun. Saat itu, ia bertemu dengan penulis George Sand (perempuan yang

    dilahirkan dengan nama Armandine Aurore Dupin). George gemar memakai baju lelaki dan

    mengisap tembakau-kebiasaan yang dianggap tak lazim bagi perempuan dan sering dicela

    masyarakat waktu itu. Ketika bertemu Chopin, ia telah bercerai, dan punya dua anak dari

    perkawinan sebelumnya.

    Berbeda dengan Chopin yang lembut dan gemulai, George adalah perempuan yang maskulin.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    40/48

    Baik disadari maupun tidak, hubungan mereka adalah bentuk pemberontakan terhadap

    dualisme gender. Lelaki tak harus maskulin dan perempuan tak harus feminin. George dan

    Chopin tidak pernah menikah (sekali lagi, bentuk pemberontakan mereka terhadap tuntutan

    standar), dan karena itu keduanya sempat diasingkan ketika tinggal di Majorca, Spanyol.

    Namun pemberontakan Chopin inilah yang ada di balik nada-nada yang sekarang dialunkandan dikagumi berbagai pianis dunia, dan ironisnya menjadi konservatisme tersendiri bagi

    banyak pianis yang mengalunkannya di gedung-gedung megah.

  • 8/13/2019 Caping, Cari Angin, Kolom Tempo 26.1.2014-4.2.2014

    41/48

    NU dan Politik 2014Selasa, 04 Februari 2014

    Azis Anwar Fachrudin, Pengajar Ponpes Nurul Ummah, Yogyakarta

    Nahdlatul Ulama (NU) baru saja memperingati hari jadi ke-88 pada 31 Januari lalu. Momen

    ini penting untuk melakukan refleksi demi menghadapi tantangan di masa depan. Saya

    mencatat setidaknya ada dua hal yang perlu mendapat perhatian serius.

    Pertama, dalam gegap-gempita tahun politik 2014 ini, tentu NU akan mendapat banyak

    perhatian. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di negeri ini, NU memiliki

    magnet politik yang kuat guna menarik para calon legislator dan eksekutif untuk sowan ke

    pesantren.

    Apa yang salah dengan mendekati NU? Secara politis, hal itu membuat mereka yang kurang

    suka-mungkin ini juga dari warga NU sendiri-membaca fenomena itu dengan nada negatif:

    "Ah, itu hanya pencitraan demi mencari simpati dan menambah bobot legitimasi."

    Tapi setidaknya para kiai dan pesantren-pesantren NU bisa mendapatkan pegangan bahwa

    mereka telah mengikat janji dan aspirasi pesantren. Untuk itu, setelah jadi nanti, janganlah

    lupa kepada pesantren. NU dan pesantren mestinya sudah cukup mawas atas pengalaman satu

    dekade mutakhir. NU lebih sering dijadikan alat untuk mendongkrak suara semata. Warga

    NU tentu tidak lupa mengenai majunya Salahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi sebagai calon

    wakil presiden dalam pemilihan presiden 2004. Dalam beberapa pilkada juga acapkaliditemui kiai NU yang, karena calon gubernur/bupatinya berasal dari kalangan sekuler,

    digunakan sebagai sarana untuk memompa legitimasi religiositasnya. Semoga pada 2014 hal-

    hal ini tak lagi terjadi, atau terminimalkan, atau setidaknya para calon pemimpin bisa sadar

    diri.

    Kedua, yang tak kalah penting, NU mesti melakukan introspeksi kembali terhadap

    komitmennya untuk menjaga NKRI. Itulah yang dikatakan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil

    dalam peringatan harlah ke-88 di PBNU. Kiai Said beberapa kali berkelakar bahwa PBNU itu

    singkatan dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

    Satu persoalan mendasar yang harus diajukan mengenai komitmen NU itu: bagaimana sikap

    NU terhadap Syiah dan Ahmadiyah? Diakui atau tidak, orang-orang yang bersengketa dengan

    warga Syiah di Sampang ialah Nahdliyin. Terkait dengan Ahmadiyah, Menteri Agama kita

    yang juga orang NU memberi dua alternatif, yakni bertobat atau membikin