Case study memantau-kebakaran-hutan-di-sumatera-selatan

4
Program SETAPAK bertujuan untuk mendukung tata kelola hutan dan lahan yang baik guna terwujudnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Masyarakat sipil juga memiliki peran penting untuk ikut serta menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengawasan dan meminta pertanggungjawaban pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Masyarakat sipil terlibat melalui kegiatan advokasi untuk memastikan bahwa hukum lingkungan ditegakkan dengan adil, efektif dan transparan. Warga Singapura, Malaysia dan Indonesia menderita setiap tahun dari bencana kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan secara illegal. Mitra- mitra SETAPAK telah menggunakan pesawat tanpa awak untuk mendeteksi dan memantau kebakaran hutan dan lahan gambut. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pemantauan penggunaan lahan dan mendorong penegakan hukum dengan cara melaporkan pelanggaran dan melakukan advokasi untuk memperbaiki respon pemerintah dan peraturan perundang-undangan. “Pesawat tanpa awak menyediakan teknologi berbiaya murah untuk memantau wilayah yang luas dengan cepat. Perangkat ini sangat membantu saat kita membutuhkan informasi rinci, melakukan pemantauan wilayah yang luas seperti konsesi tambang dengan cepat dikarenakan pihak luar dilarang masuk ke dalam wilayah tambang,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan. Memantau kebakaran hutan di Sumatera Selatan Kebakaran hutan di Sumatera | Foto: Muhammadiyah

Transcript of Case study memantau-kebakaran-hutan-di-sumatera-selatan

Program SETAPAK bertujuan untuk mendukung tata kelola hutan dan lahan yang baik guna terwujudnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Masyarakat sipil juga memiliki peran penting untuk ikut serta menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengawasan dan meminta pertanggungjawaban pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Masyarakat sipil terlibat melalui kegiatan advokasi untuk memastikan bahwa hukum lingkungan ditegakkan dengan adil, efektif dan transparan.

Warga Singapura, Malaysia dan Indonesia menderita setiap tahun dari bencana kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan secara illegal. Mitra-mitra SETAPAK telah menggunakan pesawat tanpa awak untuk mendeteksi dan memantau kebakaran hutan dan lahan gambut. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pemantauan penggunaan lahan dan mendorong penegakan hukum dengan cara melaporkan pelanggaran dan melakukan advokasi untuk memperbaiki respon pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

“Pesawat tanpa awak menyediakan teknologi berbiaya murah untuk memantau wilayah yang luas dengan cepat. Perangkat ini sangat membantu saat kita membutuhkan informasi rinci, melakukan pemantauan wilayah yang luas seperti konsesi tambang dengan cepat dikarenakan pihak luar dilarang masuk ke dalam wilayah tambang,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.

Memantau kebakaran hutan di Sumatera Selatan

Kebakaran hutan di Sumatera | Foto: Muhammadiyah

Harus diakui bahwa penanganan kebakaran hutan di Indonesia masih terbatas. Meskipun demikian, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan adanya 366 titik api – yaitu daerah hutan yang sedang terbakar atau wilayah yang memiliki potensi untuk terbakar – pada tanggal 25 Juni 2014. Titik api tersebut ditemukan di provinsi Riau Sumatera, yang jumlahnya meningkat tajam dari laporan sehari sebelumnya yang hanya 97 titik. Hasil analisis independen menunjukkan bahwa ada lebih dari 800 titik api, yang menyebar cepat dan membesar meski ratusan petugas pemadam kebakaran telah dikerahkan, bom-bom air dijatuhkan dari helikopter, dan awan buatan guna menginduksi hujan dibuat oleh Angkatan Udara Indonesia. Peristiwa ini mulai tampak seperti bencana api rutin yang terjadi di Sumatera pada bulan Februari tahun itu, dan pada bulan Juni di tahun sebelumnya.

Peristiwa Februari, yang memuncak pada tanggal 2 Maret ketika citra satelit memperlihatkan 1.234 titik api yang tersebar di Riau. Kondisi ini kemudian dinyatakan sebagai kondisi darurat oleh Pemerintah. Presiden RI pun bergegas ke lokasi untuk memastikan sekitar 3.000 petugas pemadam kebakaran dan 10 helikopter berupaya memadamkan api. Setelah api dipadamankan, ditaksir kerugian material mencapai US$ 1,2 miliar dan biaya pemadaman sekitar US$ 12 juta, 21.000 hektar rawa gambut mengering dan hancur.

Bencana asap pada bulan Juni 2014 lebih parah lagi karena angin bertiup ke arah timur. Selama satu minggu sejak tanggal 19 Juni 2014, 2.492 titik api telah menyebabkan polusi udara terburuk di Asia Tenggara dalam satu dekade

terakhir, dan membuat penderitaan jutaan orang. Indeks Baku Pencemaran Udara (PSI/Pollutant Standards Index) di Singapura pada tanggal 21 Juni 2014 tercatat mencapai angka 400, angka tertinggi pencemaran lingkungan yang pernah terekam dalam sejarah negara tersebut, dan sekolah-sekolah di sebagian wilayah Malaysia dan Indonesia terpaksa ditutup sementara waktu. Menurut keterangan resmi Pemerintah Singapura, catatan PSI di atas 400 yang bertahan selama 24 jam ‘mengancam kehidupan mereka yang berusia lanjut dan yang sakit’. Di Riau, catatan PSI-nya melebihi 400 selama berhari-hari pada pertengahan bulan Juni 2013, dan Dinas Kesehatan Provinsi Riau melaporkan telah terjadi peningkatan yang signifikan pada angka penderita penyakit paru-paru, mata dan kulit. Sebelum kejadian ini, catatan PSI tertinggi di Singapura adalah 226, yakni pada September 1997 ketika masa “Kabut Asap Asia Tenggara” yang terkenal di tahun 1997-1998. Pada saat itu asap kebakaran hutan di Indonesia yang mencapai lebih dari 1 juta hektar hutan menyebar sampai sejauh Sri Lanka dan Australia.

Kebakaran hutan pada bulan Juni 2013 – seperti halnya kejadian di tahun 2014 berpusat di provinsi Riau, Indonesia – diperkirakan merugikan Singapura hampir mencapai US$ 1 miliar, akibatnya hubungan diplomatik kedua negara yang sebelumnya baik menjadi tegang.

Meskipun disebut bencana asap, namun, sesungguhnya tak satupun dari bencana besar tersebut merupakan murni bencana. Juni adalah musim kering dengan curah hujan rendah terutama di bagian barat di Indonesia. Sudah lazim bagi orang Indonesia bahwa bulan Juni sangat berkorelasi

Persoalan PembakaranKabut Asia Tenggara |Sumber: NASA

Demi Menyelamatkan Lahan Gambut KitaFakta mendasar dari kebakaran hutan dan lahan yang terus-menerus terjadi di Riau adalah setengah dari luas provinsi ini atau lebih dari 4 juta ha, terdiri dari lahan gambut dalam. Kondisi gambut tersebut kebanyakan sudah gundul karena dikeringkan untuk perkebunan pertanian atau kelapa sawit. Perlu diingat gambut pada dasarnya adalah vegetasi yang bersifat mati dan lembab, sangat rentan terhadap kebakaran, teksturnya yang berupa lapisan tanah mengapung di atas air, mudah berpindah-pindah menyebabkan kebakaran di lahan gambut akan sulit untuk dipadamkan. Secara khusus, lahan gambut Riau terkenal luar biasa dalam (hingga 7,5 meter) yang berarti jika terjadi kebakaran maka akan sangat lama dan sulit dipadamkan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya akan jauh lebih parah.

Perusakan dan pembakaran lahan gambut memiliki konsekuensi lain di luar bahaya yang ditimbulkan, biaya karena kebakaran dan polusi udara. Lahan gambut di dunia ini, yang mencakup sekitar 3 persen dari luas lahan bumi, menyimpan serta menahan sekitar 500 miliar metrik ton karbon setara dengan dua kali lipat jumlah karbon yang ada di hutan di seluruh dunia, apabila digabungkan. Secara global, lahan gambut yang rusak karena terbakar akan mengeluarkan emisi hampir 3 miliar ton karbon dioksida ke udara per tahunnya atau sekitar 6 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Hal lain, adalah permukaan lahan gambut yang dikeringkan yang jumlahnya sekitar 65 juta hektar di seluruh dunia. Lahan gambut yang dikeringkan permukaannya akan turun sehingga saluran saluran drainase harus digali lebih dalam yang makin membuka gambut dan menyebabkannya rentan terbakar.

Deforestasi dan drainase terhadap lahan gambut ditengarai sebagai penyumbang terbesar deforestasi Indonesia secara umum. Luasnya tingkat deforestasi membuat Indonesia menjadi negara emitor gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Emisi karbon dioksida Indonesia dari degradasi gambut diperkirakan mencapai 1,9 miliar metrik ton per tahun, lebih besar dari yang dihasilkan dari semua bahan bakar fosil yang dibakar di negara ini.

Mata di Udara

dengan musim kebakaran hutan.’ Banyak pimpinan lembaga nasional maupun internasional menyatakan bahwa kebakaran tersebut disengaja. World Resources Institute (WRI) menghubungkan angka kebakaran di bulan Juni 2013 dengan keberadaan beberapa produsen kertas dan perkebunan kelapa sawit skala besar serta para pemasok mereka. Meskipun kemudian muncul protes dari perusahaan-perusahaan yang dituduh terlibat dan menyatakan bahwa mereka tidak lagi melakukan

praktek tebang dan bakar dan sudah mematuhi kebijakan zero-deforestasi. WRI menggunakan citra satelit untuk mendeteksi 75 titik api dalam wilayah konsesi Asia Pulp & Paper (APP), dan lebih jauh lagi 43 titik api dalam wilayah yang diduduki oleh para memasok bahan baku bagi Asia Pacific Resources International Limited (APRIL). Perusahaan-perusahaan ini, secara berturut-turut, merupakan produsen bubur kayu dan kertas terbesar pertama dan kedua di Indonesia

Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau Pesawat Tanpa Awak atau biasa dikenal dengan drone semakin sering digunakan untuk tujuan konservasi karena kemampuannya untuk survey dan monitoring daerah yang luas, sulit dijangkau dan memakan waktu jika dilakukan dengan menggunakan kendaraan darat atau berjalan kaki. UAV yang dilengkapi kamera dan peralatan video dapat menangkap gambar rinci wilayah lahan dan hutan hingga 25 kilometer. Oleh karena itu, banyak LSM di Indonesia kini mulai menggunakan UAV untuk berbagai keperluan seperti melacak satwa liar yang terancam punah, pemantauan deforestasi dan pelanggaran penggunaan lahan.

Salah satu mitra SETAPAK yaitu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) di Sumatera Selatan telah menguji coba penggunaan UAV untuk memantau konsesi kayu di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan. Di kabupaten dimaksud ada wilayah konsesi yang akan dijadikan pabrik pulp terbesar di dunia. WALHI mulai pertama kali menggunakan UAV pada saat kebakaran hutan dan lahan di bulan Juni 2014 untuk mengawasi lahan seluas 20.000 hektar di areal konsesi. Berbekal data citra satelit dari Global Forest Watch dari WRI untuk mengidentifikasi hotspot, UAV pun membantu WALHI guna memastikan bahwa ada kebakaran lahan di wilayah yang luas tersebut.

Dalam penggunaan UAV ini WALHI Sumsel didukung oleh mitra SETAPAK yang berbasis di Kalimantan Barat, yaitu SAMPAN. SAMPAN selama ini telah mengembangkan keterampilan dalam merakit UAV berbiaya murah, meskipun sebagian komponen harus di impor. SAMPAN juga melakukan uji coba menerbangkan UAV dalam kegiatan pemetaan dan monitoring hutan dan lahan. Ada dua jenis UAV SAMPAN yang digunakan di Kabupaten OKI, yang pertama adalah pesawat sayap tetap dengan panjang sekitar 1-2 meter. Cara menerbangkannya manual, dilemparkan ke udara atau diluncurkan menggunakan ketapel. Yang kedua adalah quad-copters yang ukurannya lebih kecil dan dapat lepas landas dan mendarat secara vertikal dari manapun. Kedua jenis UAV ini didukung oleh motor listrik dan baterai lithium-ion dengan masa terbang sekitar satu jam.

Untuk penerbangan jarak pendek (1-2 kilometer), UAV dapat dikendalikan secara manual dengan radio. Namun untuk survei lahan yang lebih jauh, rute penerbangannya harus diprogram sebelumnya dengan menggunakan GPS berbasis satelit dan alat telemetri yang memungkinkan komunikasi dua arah antara komputer di permukaan dengan UAV. Pada penerbangan normal setinggi 300-400 meter,

UAV menangkap gambar video dan foto beresolusi tinggi yang dapat digabungkan menggunakan perangkat lunak untuk citra yang lebih besar dan terinci. Penerbangan dengan ketinggian dan sudut yang berbeda juga dapat menciptakan gambaran permukaan tiga dimensi. Salah satu pemandangan menakjubkan yang tertangkap oleh WALHI adalah orang utan yang bersarang tinggi di puncak pepohonan.

UAV rakitan SAMPAN ini yang hanya membutuhkan dua atau tiga orang untuk menerbangkan dan mengumpulkan data, dalam kondisi terbaiknya dapat mensurvei lahan hingga 15.000 hektar dalam sehari. UAV ini berbiaya relatif rendah, yakni sekitar US$ 1.500-2.000, termasuk di dalamnya sistem kamera dan telemetri. Kemampuan dan keterjangkauan alat ini memungkinkan teknologinya dapat digunakan secara luas di Indonesia dengan beragam kegunaan yang berkaitan dengan perbaikan tata kelola lingkungan.

Tengku Muhammad Miftahul Falah dari Sampan, Kalimantan sedang merakit UAV | Foto: Forest Watch Indonesia

Pada bulan Desember 2014, program SETAPAK menjalankan sesi pelatihan untuk mitra dari Aceh, Kalimantan Timur dan Barat, serta Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tengah mengenai pengoperasian UAV, pengambilan dan analisis data. Pada tahun 2015, menindaklanjuti inisiatif percontohan OKI, mitra-mitra lain akan dilatih menggunakan UAV untuk pemantauan hutan dan lahan.

Indonesia meratifikasi Kesepakatan ASEAN mengenai Polusi Kabut Asap Lintas-Batas di bulan September 2014. Singapura menetapkan regulasi baru yang mengancam perusahaan lokal dan asing dengan denda mencapai S$ 2 juta (US$ 1,6 juta) untuk pembakaran hutan secara ilegal yang mengarah pada polusi udara. Oleh karena kesepakatan dan peraturan baru ini, kasus-kasus hukum di masa yang akan datang terhadap para pelanggar akan dikenal secara internasional, dan membutuhkan bukti-bukti tak terbantahkan yang dapat diberikan oleh UAV.

Program SETAPAK The Asia Foundation, yang didanai oleh UK Climate Change Unit, fokus pada perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Selain mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mitigasi perubahan iklim global, program ini membantu desentralisasi tata kelola hutan dan lahan di Indonesia untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan, perlindungan dan distribusi manfaat sumber daya alam yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan