CASEREPORTKDRT CIKA

23
 1 PENINJAUAN PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN SUAMI TERHADAP ISTRI MELALUI JALUR MEDIASI DISUSUN OLEH RIZKA METYA 1102010250 BLOK ELEKTIF DOMESTI C VI OLENCE  KELOMPOK 2 TUTOR : dr. Bevita FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2014 - 2015

Transcript of CASEREPORTKDRT CIKA

Page 1: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 1/23

1

PENINJAUAN PENYELESAIAN PERKARA KEKERASANSUAMI TERHADAP ISTRI MELALUI JALUR MEDIASI

DISUSUN OLEH

RIZKA METYA

1102010250

BLOK ELEKTIF

DOMESTI C VI OLENCE KELOMPOK 2

TUTOR : dr. Bevita

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2014 - 2015

Page 2: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 2/23

i

PENINJAUAN PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN SUAMI TERHADAP ISTRIMELALUI JALUR MEDIASI

ABSTRACTIntroduction: An effort to solve domestic violences with alternative way other than court rules-that has beenknown , always ended up in jail. Though, being imprisoned isn‟t the only way to handle criminalities, mostly fordomestic violence cases, it causes a “damage”. So, that “damage” con dition could be „fixed‟ by „paying‟ off

penalties (restoration justice). This way called penal mediation.

Case reports: Mrs. HW, reported a violation act using a ceramic bowl of soup against her upper head by her ownhusband (Mr. HD). The ceramic bowl broke into pieces, and caused a triple laserations with some bruises(hematoms) on her forehead. It was happened because of a small thing, unfotunatelly her husband really had a shorttemper.

Discussion: Restorative justice that applied in Penal Mediation could‟ve been implemented in completion ofdomestic violence cases. Indonesia doesn't legalized „mediation‟ on it‟s law. Mediation is an alternative way and

way more effective to address cases involving domestic violence with win – win solution concept. Moreimportantly, some of big countries had applied and legalized this method already.

Conclusion: Since Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 law about Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga which provides a protection for domestic violence victims, thus made a criminalities act that happens inhousehold, now becoming a responsibility of a country. In fact, it wasn't the best way to solve this. Mostly reportedcases were withdrawed, but later on the same cases been reported repeteadly. In penal Mediation, the violent person

penalties aren‟t just pay some money to victims, but also take a responsibility for victim‟s physically and mentallyill by arranging a family counseling or so.

Keyword : completion of domestic violence, restorative and mediation

Page 3: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 3/23

1

PENDAHULUAN

Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota

keluarga merasa damai dan terlindungi. Padahal sesungguhnya penelitian mengungkapkan

betapa tinggi intensitas kekerasan dalam rumah tangga. Dari penduduk berjumlah 217 juta, 11,4

persen di antaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, terutama di pedesaan mengaku

pernah mengalami tindak kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan domestik, seperti

penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh (Kompas, 27 April 2000).

KDRT dapat berbentuk:

1) Penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);

2)

Penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);3) Penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara paksa dari

suami;

4) Penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang dimaksudkan dalam tulisan

ini mencakup segala bentuk perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan),

rasa sakit, luka, dan sengaja merusak kesehatan. Termasuk juga dalam kategori penganiayaan

terhadap istri adalah pengabaian kewajiban memberi nafkah lahir dan batin.

Perilaku kekerasan di atas dapat terjadi dalam setiap rumah tangga. Sehingga KDRT, bukan

terletak pada apa kriterianya, tetapi lebih pada alasan mengapa perilaku kekerasan itu dapat

menerpa tiap keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga yang biasanya terjadi didasarkan pada

beberapa alasan seperti adanya persoalan ekonomi, persoalan keturunan, faktor bathiniah ,

adanya orang ketiga, baik Wanita Idaman Lain (WIL) maupun Pria Idaman Lain (PIL) , dsb.

Secara umum keempat faktor inilah yang menjadi alasan terjadinya KDRT. Faktor-faktor ini

tentu saja akan berbeda pada daerah dan situasi. Menurut data yang didapatkan berdasarkankasus yang dilaporkan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan hal

terburuk yang terjadi adalah anak pun terkena imbas dari pertengkaran antara orang tua.

Page 4: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 4/23

2

Untuk itulah maka tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagimana suatu kasus KDRT dapat

diselesaikan dengan cara alternatif mediasi, sekalipun tidak diakui keberadaannya dalam hukum

di Indonesia.

LAPORAN KASUS

Ny. HW, melaporkan kekerasan yang dilakukakan oleh suaminya dengan menggunakan sebuah

mangkok keramik ke kepalanya hingga pecah. Hal ini dipicu akibat suami yang memiliki sifat

temperamental (mudah marah).

Peristiwa terjadi pada hari Senin tanggal 19 Mei 2014 sekitar pukul 18:30 WIB di Apartemen

Mediterania Palace Tower C/5 FF Rt. 010/013 Kel. Kebon Kosong Kec. Kemayoran JakartaPusat, yang dilakukan oleh sang suami yang berinisial HD. Tersangka memukulkan mangkok

keramik yang berisikan sayur kearah kepala korban (Ny. HW), hingga mangkok tersebut pecah.

Akibat pukulan keras tersebut, kepala korban mendapatkan 3 (tiga) luka robek yang

mengeluarkan darah dibagian atas kepala, dan di bagian kening korban terdapat luka memar

bergores yang menyebabkan pusing, mata berkunang – kunang, badan terasa lemas dan korban

tidak dapat menjalankan aktifitas sehari – hari.

Korban menerangkan bahwa sebelum kejadian ini, tersangka HD pernah melakukan kekerasan

fisik lain terhadapnya, dan pernah dilaporkan pada tanggal 04 Pebruari 2013, sesuai dengan

Nomor Polisi: 150 / K / II / 2013 / Res JP. Hal ini berawal pada 02 Pebruari 2013, saat Ny. HW

meminta uang kepada suaminya, namun sang suami tidak memberikan. Padahal Ny. HW yakin

bahwa suaminya berpenghasilan, karena bekerja sebagai pengacara. Hingga pada malam harinya,

Ny. HW nekad mengambil ATM suaminya pada malam hari, lalu suaminya mengetahui hal

tersebut keesokan harinya, pada tanggal 04 Pebruari 2013. Kekerasan pun terjadi sepulangnya

HD dari bermain golf pada pukul 15:30 WIB. Dari hasil Visum menunjukkan wajah dankeempat anggota gerak Ny. HW mengalami memar – memar akibat kekerasan tumpul yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan.

Page 5: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 5/23

3

Dari laporan saksi II (inisial LP), yang merupakan pengasuh anak pasangan Tn. HD dan Ny.

HW, hampir setiap hari keduanya ribut dan cek cok mulut sejak dirinya mulai bekerja pada 12

Maret 2013 di rumah pasangan tersebut.

Atas kejadian tersebut pada hari Senin, 19 Mei 2014 Ny. HW bersama pengasuh dan anak – anaknya melaporkan suaminya Tn. HD ke Polsek Kemayoran atas tindakan kasus kekerasan

dalam rumah tangga.

Page 6: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 6/23

4

DISKUSI

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai

merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah

negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang

Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga

dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus

ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mencegah,

melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT, negara dan masyarakat wajib melaksanakan

pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk

kekerasan, terutama KDRT, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap

martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan Negara tersebut didasarkan pada Pasal 18 Undang – Undang Dasar Negara RI

Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun

1945 menentukan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman

dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi".

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan

penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum

yang memadai untuk menghapus KDRT. (Effendy, R. 1986)

Adapun Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:

1. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap adanya KDRT. Menurut data yang

didapatkan berdasarkan kasus yang dilaporkan dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan yang signifikan, terhitung dari beberapa periode angka kasus kekerasan ini

meningkat sebesar 45%, atau berdasarkan catatan Komisi Nasional Perempuan,

kekerasan terhadap istri selama tahun 2007 tercatat 17.772 kasus, sedangkan tahun 2006

hanya 1.348 kasus, bahkan hal terburuk yang terjadi adalah anak pun terkena imbas dari

Page 7: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 7/23

5

pertengkaran antara orang tua, memang dalam hal ini pemicu terbesar dari setiap

kekerasan ini adalah faktor ekonomi yang semakin lama dirasakan semakin sulit oleh

keluarga, terlebih dengan kejadian krisis ekonomi yang menimpa negara kita saat ini,

sehingga ini memang akan menjadi sebuah ujian berat bagi setiap orang untuk tetap

survive menjalani hidup, termasuk bagaimana mengelola rumah tangga agar sekalipun

terlilit kesulitan ekonomi, tetapi bangunan rumah tangga tidak retak lantaran adanya

kekerasan.

2. Persoalan keturunan, atau faktor bathiniah

3. Adanya orang ketiga baik Wanita Idaman Lain (WIL) maupun Pria Idaman Lain (PIL)

4. Faktor kecemburuan

Cemburu selalu menghiasi kehidupan keluarga. Kecemburuan telah

menjadi beban yang berat tatkala relasi di antara suami dan istri mulai mengendor.Apalagi jika ada PIL (Pria Idaman Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) mulai

menggeser cinta diantara suami-istri. Padahal sesunguhnya kecemburuan itu terjadi bisa

saja terjadi karena “komunikasi” yang kurang antara suami -istri. Kecemburuan bisa

diatasi jika suami-istri selalu berkomunikasi secara baik dan terbuka, jika dalam

pekerjaan ataupun relasi sosial ada teman/sahabat dan bukan PIL/WIL.

5. Budaya

Dalam budaya masyarakat Indonesia, anak-anak dan perempuan masih belum mendapat

tempat atau masih belum dianggap sebagai individu yang berdiri sendiri.

Meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia dapat

dikatakan sebagai akibat dari sistem dan budaya yang berlaku dalam masyarakat

Indonesia, Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki banyak sekali ragam

kebudayaan, karena dari sisi historis Indonesia adalah kumpulan dari berbagai kerajaan

dan suku bangsa yang disatukan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Di

Indonesia kata “melindungi”, ”mendidik” mempunyai banyak persepsi yang berbeda -

beda. Kata- kata “melindungi”, ”mendidik”, sering disalahartikan dengan mengekang

kebebasan, mengurung, memukuli, dan perlakuan buruk lainnya dengan alasan

melindungi dari pengaruh buruk lingkungan.

Page 8: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 8/23

6

6. Faktor Agama

Norma agama merupakan unsur penting dan pokok dalam kehidupan manusia. Norma

agama ini yang membimbing seseorang ke arah jalan yang baik dan benar, norma tersebut

menunjukkan segala apa yang dilarang dan diharuskan masyarakat, mana yang baik dan

mana yang buruk. Demikian apabila seseorang benar-benar memahami dan menjalankan

norma agamanya, maka ia akan menjadi manusia yang baik dan tidak bertingkah laku

yang dapat merugikan orang lain. Akan tetapi Agama seringkali dipakai alat (kedok)

untuk memaksa anak dan isteri (wanita) mematuhi keinginan orang tua/suami, sehingga

sering terjadi pemaksaan terhadap anak/isteri/wanita untuk melayani nafsu orang

tuanya/suami.

7. Faktor Korban

Kadang kala si korban juga memegang peranan di dalam terjadinya tindak pidana

kekerasan. Misalnya saja korban ketika ditegur, malah melawan, sehingga membuat

pelaku menjadi emosi dan melakukan kekerasan.

8. Faktor Balas Dendam

Faktor balas dendam seringkali terjadi pada keluarga yang masa mudanya dikekang oleh

orang tuanya (trauma masa kecil), kemudian ketika dia menjadi orang tua maka akan

meniru perlakuan yang dia terima dari orang tuanya. (Tallan, R. 2009)Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya

perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama

kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara

umum di dalam KUHP telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran

orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan. Undang – undang No. 23 Tahun 2004 ini

mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam

rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan

unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam

KUHP. Oleh karenanya sebagai wujud perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah

tangga terdapatlah pasal-pasal dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga yang memuat ketentuan pidana mulai Pasal 44 - Pasal 49. (Prayudi, 2008)

Page 9: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 9/23

7

Sebagai suatu perwujudan kebijakan hukum pidana Undang-undang ini memuat ancaman pidana

yang bersifat alternatif yaitu pidana penjara atau denda. Sehingga bagi seorang terdakwa, hakim

bebas untuk memilih diantara dua macam ancaman pidana tersebut. Maksud Undang-undang

KDRT ini tentunya agar kalaupun terjadi pemidanaan, pidana yang dijatuhkan akan cenderung

ringan sehingga titik akhirnya diharapkan perkawinan pelaku dan korban tidak akan retak.

Namun demikian, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dikenakan pidana penjara

dari pada pidana denda. Pidana penjara yang dijatuhkan hakim ini patut dipertanyakan apakah

pidana penjara dapat menimbulkan efek jera kepada terpidana? Mengingat banyaknya kasus

kekerasan dalam rumah tangga dilakukan suami terhadap isteri dengan beralasan untuk

„mendidik ‟ isteri supaya patuh dan taat kepada suaminya, terlebih lagi dengan dianutnya sistem

patriarkat di masyarakat Indonesia memberi tempat dominan kepada kaum pria untuk menjadi

kepala rumah tangga dan sekaligus penentu kebijakan dalam rumah tangga. Bahkan, banyakkasus KDRT yang dilaporkan atau diadukan oleh korban (istri) ternyata pada awalnya dipicu

oleh korban itu sendiri. Contohnya, pelaku KDRT seorang suami yang sering dihina oleh istrinya

sendiri lantaran tidak berpenghasilan banyak. Apabila hal ini terjadi berulang kali maka

hilanglah kesabaran seorang suami, dan melakukan pemukulan kepada isterinya. Mulanya hanya

bermaksud memberi pelajaran kepada si isteri, namun karena melanggar Undang-undang KDRT,

maka dilaporkan kepada aparat kepolisian.

Apabila hukuman pidana penjara yang diterapkan untuk menghukum pelaku KDRT, maka si

terpidana akan ditempatkan ke Lembaga Pemasyarakatan. Di Lembaga Pemasyarakatan

diharapkan akan menjadikan terpidana menjadi lebih baik, namun kenyatannya kehidupan di

Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia belum berhasil membina warga binaannya untuk menjadi

lebih baik, mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang sebagian besar overcapacity .

Malahan , bisa jadi terpidana yang tidak memiliki bakat jahat, ketika ia masuk ke Lembaga

Pemasyarakatan justru akan semakin down atau malah semakin jahat. Untuk mengatasi hal

tersebut perlu perubahan paradigma. Pidana penjara yang semula sebagai sarana penal dalam

penanggulangan kejahatan KDRT perlu dipertanyakan keberadaannya, khususnya terhadap

kasus-kasus KDRT yang tidak begitu berat, dengan mendayagunakan penanggulangan kejahatan

melalui upaya non penal yang berupa mediasi penal. Meskipun Indonesia tidak mengakui adanya

mediasi dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi di dalam praktiknya ada di antara perkara

pidana diselesaikan melalui mediasi. (Arief, 2010)

Page 10: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 10/23

8

Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es. Secara

kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :

1) Sistem patriarkat

Sistem patriarkat yang memberi tempat dominan kepada kaum pria untuk menjadi kepala

rumah tangga dan sekaligus penentu kebijakan dalam rumah telah mengintrodusir nilai

kepatuhan/loyalitas hanya kepada ayah/bapak dan bukan ibu/mama. Apalagi jika

perknikahan itu maharnya telah dilunasi, ada anggapan bahwa suami boleh melakukan

apa saja terhadap isteri.

2) Mengalah untuk aman

Kuatnya pengaruh patriarkat telah membentuk karakter kaum perempuan untuk selalu

mencari aman jika ada sesuatu yang terjadi sekalipun itu berurusan dengan HAM-nya,

perempuan selalu hanya i ngin aman dan tidak ingin berakibat “ broken home ”. Karena hal

ini akan berdampak lebih buruk lagi dengan bagaiamana penafkahan selanjutnya.

3) Pepatah ‘piring dan sendok berbunyi’, jangan sampai diketahui tetangga.

Pepatah ini memang dipengaruhi kuat oleh paham masyarakat di Indonesia kebanyakan,

jika ada persoalan dalam rumah tangga, mari kita selesaikan dan jangan sampai orang laintahu. (Kompas, 2001)

Selama ini KDRT diidentifikasikan dengan delik aduan. Padahal kalau dilihat dari Pasal 351

KUHP (tentang penganiayaan) dan Pasal 356 (tentang Pemberatan), ternyata tidak diisyaratkan

adanya aduan. Hanya saja, khususnya penegak hukum, jika suatu kejahatan yang berhubungan

dengan keluarga, maka dilihat sebagai delik aduan padahal itu adalah kasus criminal murni.

Sehingga jika kemudian korban menarik aduannya, maka hendaknya penegak hukum dapat

meneruskannya ke pengadilan. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum

pidana merupakan bagian dari criminal policy . Kebijakan kriminal inipun pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat ( social defence ) dalam upaya

mencapai kesejahteraan masyarakat ( social welfare ). Meningkatnya kriminal dapat mengganggu

kebijakan perencanaan kesejahteraan masyarakat yang ingin dicapai. Oleh karenanya

Page 11: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 11/23

9

perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial harus pula dibarengi dengan kebijakan

perencanaan perlindungan sosial. (Sudarto, 1981)

Penyelesaian Tindak Pidana KDRT Bab VIII Pasal 44 – Pasal 49 Undang-undang No.23 Tahun

2004 mengatur tentang ketentuan pidana yang dapat diterapkan terhadap orang yang melakukantindak pidana kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan bentuk-bentuk tindak

kekerasan yang dapat dikenai sanksi pidana adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan

seksual dan penelantaran rumah tangga. Dengan demikian, orang yang melakukan tindak

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga, dapat

dikenai sanksi pidana. Namun jenis dan besarnya sanksi yang dapat dikenakan terhadap

pelakunya masih harus merujuk pada pasal-pasal lain yang ditentukan dalam Undang-undang

No. 23 Tahun 2004. Jenis sanksi yang terdapat dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga terdiri dari sanksi alternatif yaitu pidana penjara atau denda. Hal ini dapatdilihat dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 44 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 :

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban

mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya

korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda

paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap

isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00(lima juta rupiah).

Pasal tersebut di atas mengancam sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik

dalam lingkup rumah tangga, namun tidak dijelaskan dalam pasal tersebut tentang apa yang

dimaksud dengan kekerasan fisik. Pengertian tentang kekerasan fisik yang dimaksud oleh pasal

Page 12: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 12/23

10

tersebut merujuk pada Pasal 5 huruf a, yang pengertiannya dijelaskan dalam Pasal 6, yaitu

perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Sanksi yang diancamkan

bersifat alternatif, karena ancamannya adalah sanksi pidana penjara atau denda. Selain bersifat

alternatif, sanksi yang diancamkan adalah maksimum umum, karena sanksinya menentukan

“paling tinggi” atau “paling banyak” dan tidak menentukan “paling sedikit” .

Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 :

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap

isteri dan sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00

(tiga juta rupiah).

Ketentuan dalam Pasal 45 tersebut di atas, mengancam sanksi pidana terhadap orang yang

melakukan kekerasan psikis, yang dimaksud dengan kekerasan psikis ditentukan dalam Pasal 7

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

kehilangan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,

dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 44 ayat (4) mensyaratkan adanya pengaduan untuk dapat diproses oleh aparat penegak

hukum, hal ini karena ditentukan oleh Pasal 51 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 bahwa:

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik

aduan. Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 juga merupakan delik aduan.

Hal ini ditentukan oleh Pasal 52, yang isinya adalah sebagai berikut: Tindak pidana kekerasan

psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.

Pasal 46 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap orang yangmelakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana

dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak

Rp.56.000.000,00 (lima puluh enam juta rupiah). Pasal tersebut menentukan ancaman sanksi

pidana penjara atau denda terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual, sedangkan yang

Page 13: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 13/23

11

dimaksud dengan perbuatan seksual ditentukan oleh Pasal 8 huruf a, yaitu paksaan hubungan

seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan dipidana dengan pidana penjara

paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),setiap orang yang (a) menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan (b) menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 ayat (2). Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ini mengancam sanksi pidana

penjara atau sanksi pidana denda terhadap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup

rumah tangganya. Sedangkan pengertian tentang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah

tangganya dijelaskan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, yang pengertiannya

ialah: (1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajibmemberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut, dan (2)

penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1), juga berlaku bagi setiap orang yang

mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang

tersebut. (Sudarto, 1981).

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ditentukan secara jelas bahwa siapa yang

dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai

berikut:

1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

dimaksud pada huruf a, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut.2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga

dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Disamping itu, kebijakan penanggulangan kejahatan apabila menggunakan upaya penal, maka

penggunaanya sebaiknya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan

Page 14: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 14/23

12

limitative. Penyusunan suatu perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana

haruslah memperhatikan beberapa pertimbangan kebijakan sebagai berikut :

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu

mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkanPancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk

menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan

penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus

merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan

kerugian (materiil, dan atau spiritual) atas masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil ( cost and

benefit principle )4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja

dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas

(overbelasting ) (Sudarto, 1981).

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal Sebagai Alternatif

Pandangan bahwa suatu proses perkara pidana yang sudah masuk dalam sistem harus tuntas

hingga pengadilan agaknya masih dianut oleh aparat penegak hukum. Upaya mediasi sebagai

jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan suatu perkara pidana bukan merupakan

mekanisme yang dikenal dalam hukum pidana. Alhasil tanpa memandang jenis dan kualifikasi

tindak pidana seolah-olah pemidanaan adalah sebagai tujuan akhir. Akibat lebih jauh adalah

terjadinya overcapacity lembaga pemasyarakatan. Dampak yang lahir dari kelebihan jumlah

penghuni dibandingkan kapasitas ruang menimbulkan kerusuhan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan, kasus – kasus pelecehan seksual, kesehatan, dan kekerasan. Hal ini bermuara

kepada proses pembinaan yang justru memicu masalah stigmatisasi bagi seseorang mantan

narapidana.

Proses mediasi penal merupakan alternatif proses penyelesaian perkara pidana untuk mengatasi

hal tersebut. Dengan menghindarkan seseorang masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan maka di

samping dapat menghindari stigmatisasi terpidana juga dapat menghemat biaya negara. Mediasi

penal merupakan salah satu bentuk alternatif sengketa di luar pengadilan, yang biasa dikenal

Page 15: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 15/23

13

dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution . Menurut Barda Nawawi Arief,

walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa

perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui

berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau

lembaga pemaafan yang ada di dalam masyarakat. (Arief, 2010)

Polisi sebagai ujung tombak proses peradilan pidana menurut ketentuan Pasal 18 Undang-

undang No. 2 Tahun 2002 diberikan hak untuk melakukan diskresi kepolisian. Untuk

kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, pelaksanaannya hanya dapat

dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perumusan pasal ini

menimbulkan kontradiksi antara ayat (1) dan ayat (2) karena disyaratkan harus melihat pada peraturan yang berlaku, ini menimbulkan tidak semua hal dapat dilakukan diskresi kepolisian.

Sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga kiranya model

penyelesaian melalui mediasi ini dapat dikembangkan dalam proses peradilan pidana, hanya

perlu diberlakukan dengan ketentuan-ketentuan khusus, dengan mempertimbangkan berat

ringannya kasus KDRT. Disinilah peran polisi dibutuhkan sebagai policy makers . Joseph

Goldstein menggolongkan diskresi ke dalam invocation discretion dan non invocation discretion .

Yang pertama polisi memilih untuk menerapkan hukum pidana dan melakukan penahanan, yang

kedua sekalipun polisi dapat melakukan penahanan, tetapi ia memilih untuk tidakmenggunakannya.

Oleh karena itu, pemidanaan terhadap pelaku KDRT dengan kualifikasi delik yang tidak begitu

berat, mediasi penal merupakan alternatif pilihan yang terbaik bagi pelaku, dengan

memperhatikan keseimbangan antara pemidanaan dan keharmonisan rumah tangga, mengingat

dalam rumah tangga terdapat anak-anak dan isteri yang membutuhkan ketergantungan ekonomi

dan sosial. Sejauh ini, Amerika Serikat, Austria, Polandia, Denmark dan Finlandia telah

menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan jalur mediasi. Selain itu, mediasi

penal fokus pada terciptanya dialog yang konstruktif ( dialogue driven ) antara korban dan pelaku

(suami dan istri) dengan penekanan pada pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dan

perbaikan kerusakan/penderitaan yang telah terjadi. (Umbert, M. 2011)

Bahkan berdasarkan hasil penelitian, dilaporkan bahwa kebanyakan kasus KDRT yang paling

sering sampai ke tahap penuntutan adalah perkara KDRT terkait penelantaran rumah tangga yang

Page 16: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 16/23

14

dilakukan oleh pihak suami. Hal ini sebenarnya dikarenakan korban selaku istri hanya ingin

memberikan pelajaran kepada si suami agar sang suami memberikan nafkah kepada sang istri.

Untuk perkara KDRT yang bersifat penganiayaan ringan, kebanyakan terjadi perdamaian baik

pada tingkat penyidikan pada kepolisian, maupun pada saat pihak kejaksaan melakukan upaya

mediasi.

Perdamaian dalam kasus KDRT ini, merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan teori

yang dikemukakan Donal Black mengenai morfologi hukum. Dalam peristiwa damai yang

terjadi dalam kasus KDRT terlihat bahwa faktor morfologi (kedekatan) yaitu kedekatan dan

kejauhan hubungan antara sesorang dengan orang lain sangat berpengaruh terhadap penegakan

hukum. Perdamaian yang terjadi adalah suatu yang wajar dilakukan, karena dalam kasus KDRT,

para pihak dalam hal ini pelaku dan korban merupakan suami istri yang memiliki kedekatan

emosional. (Mustaqim, B. 2010)

Kendala-kendala Yang Dihadapi Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui

Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT

Penyelesaian melalui mediasi mempunyai keunggulan karena mempertimbangkan

kepentingan masa depan keluarga dan menjaga keutuhan keluarga terutama untuk kepentingan

masa depan anak, ajaran agama juga mengajarkan penyelesaian sengketa secara damai. Proses

mediasi dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri para pihak dan mediator, yang terikat etika

dan kode etik untuk menjaga kerahasiaan. Namun demikian, dalam penerapannya terdapat

beberapa kendala, diantaranya:

(1) Belum melembaganya proses penyelesaian melalui mediasi ini di kalangan

penegak hukum dan masyarakat

(2) Tidak adanya dasar hukum yang kuat dalam penyelesaian melalui mediasi ini

menimbulkan aparat penegak hukum tidak berani melakukan diskresi,

(3) Sistem peradilan pidana berujung tombak pada proses penyidikan, apabilatersangka sudah dikenai penahanan pada proses penyidikan maka mau tidak mau

akan berlanjut pada proses berikutnya yaitu penuntutan dan persidangan. Apabila

tersangka sudah ditahan maka tidak ada pilihan lain bagi hakim untuk

menjatuhkan pidana penjara, alhasil proses mediasi tidak bisa dilakukan.

Page 17: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 17/23

15

(4) Bagi pihak korban khususnya seorang isteri terkadang tidak mau dilakukan

mediasi apalagi apabila sebelumnya sudah ada pria idaman lain, maka dengan

adanya putusan pemidanaan akan mempermudah proses perceraian

(5) Akibat atau dampak buruk dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

cukup parah sehingga korban tidak bisa memaafkan

(6) Para pihak tidak mentaati terhadap putusan mediasi, misalnya si terdakwa

mengulangi tindak pidananya lagi

(7) Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, sehingga apabila

aparat penegak hukum menjadi mediator maka masyarakat memiliki persepsi

negatif sehingga menimbulkan kecurigaan yang tidak beralasan. (Syukur, A.

2011)

Cara Mendidik Istri dalam Islam

Islam sangat menghargai wanita dan meninggikan derajatnya. Dalam sebuah hadist,

Rasulullah mengatakan bahwa pria tidak boleh memukul istrinya (HSR Imam Abu Dawud,

Nasa‟i, dan Ibnu Majah). Dan dalam hadist lain, beliau menjelaskan bahwa sebaik-baiknya pria

adalah pria yang baik terhadap istrinya (HR Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Memang dalam

al-Qur‟an terdapat sebuah ayat yang memperbolehkan seorang pria memukul istrinya. Namun ,

perlu dipahami konteks ayat tersebut. Istri bagaimana yang boleh dipukul, dalam situasi seperti

apa, tujuan memukul, dan bagaimana cara memukulnya.

Page 18: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 18/23

16

“Sebab itu, maka Wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu

kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan

pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. ” (surah an - Nisaa‟

ayat 34)

1. Istri bagaimana yang dapat dipukul?

Istri yang dapat dipukul adalah istri yang menunjukkan tanda-tanda nuzyuz. Nuzyuz

adalah tindakan yang menunjukkan pembangkangan atas kewajiban pada suami sehingga

mengancam bahtera rumah tangga tanpa adanya alasan yang syar‟i. Misalnya menolak

melayani suami di ranjang tanpa alasan yang jelas, menelantarkan keluarga, berselingkuh,

dll.

2. Bagaimana situasi yang memperbolehkan suami memukul istrinya dan apa

tujuannya?

Adakalanya, dalam suatu rumah tangga, istri melakukan suatu kesalahan. Dan hal itu

menjadi tanggungjawab suami untuk menegur, mengingatkan, dan mengarahkan kembali

Istrinya ke jalan yang lurus.

Page 19: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 19/23

17

Dan dalam melakukan kewajibannya untuk mendidik seorang istri, Islam telah jelas

memberikan tuntunan dan arahan bagi kaum suami untuk melakukannya dengan cara

yang baik dan benar. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keduanya (suami dan istri) agar

dalam bersikap tidak melampaui batas, dan sesuai dengan arahan yang telah ada.

Sesuai dengan Q.S An – Nisa:34, Islam memberikan 3 tahapan dalam menegur istri:

- Menasihati dengan kata-kata yang baik lagi bijaksana. Rasulullah melarang

suami memarahi dan mencela istri mereka. Karena kata-kata celaan itu lebih

menyakitkan dari tusukan pedang

- Pisah ranjang . Diharapkan dengan pisah ranjang, istri instropeksi diri atas

kesalahan yang diperbuatnya. Istri yang masih mencintai suaminya pasti sedih ka

dipisah ranjang dan berusaha mengharmoniskan kembali hubungan percintaanmereka

- Dipukul . Setelah nasehat maupun aksi pisah ranjang sudah tidak mempan

3. Bagaimana cara memukul istri yang nusyuz?

Pertama-tama, menggunakan 2 metode awal, yaitu menasehati dan pisah ranjang. Jangan

istri salah sedikit, langsung dipukul. Istri juga manusia, tempat salah dan khilaf. Semoga

dengan nasehat dari imam rumah tangga, istri menjadi lebih baik lagi.

Kedua, jangan memukul di wajah. Rasulullah melarang seseorang memukul di wajah.

Ketiga, tidak boleh menyakiti atau ghairu mubrah. Para ulama ahli fiqih dan ulama tafsir

mengkategorikan ghairu mubrah adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, tidak

sampai membuat tulang retak, dan bukan bagian tubuh yang berbahaya jika dipukul.

Jika seorang istri setelah mendapatkan didikan dari seorang suami namun tetap tidak taat, maka

dosa lah yang akan menghampirinya. Begitupun suami yang membiarkan dan tidak menegur istri

yang berbuat salah, maka berdosa pulalah dirinya. Adapun suami dalam mendidik istri ia

melakukannya dengan melampaui batas, misal memukul istri tanpa mengikuti urutan di atas,

maka itu adalah perbuatan dzalim yang berarti dosa. (Rahmawati, T. 2011)

Page 20: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 20/23

18

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan diatas, kita

dapat menyimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan melalui mediasi penal dalam

penanggulangan merupakan kebijakan yang perlu diadakan sebagai alternatif penyelesaian perkara KDRT. Penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga dengan mediasi yang

dilakukan dengan mempertemukan korban dan pelaku dengan melibatkan beberapa pihak lain

seperti mediator. Untuk memberikan kebebasan dalam berkomunikasi, pihak ketiga dalam hal ini

mediator tidak boleh ikut campur dan memaksa para pihak untuk memilih berjalan keluar

permasalahan, hal ini dimaksudkan agar tujuan win win solution diharapkan akan benar-benar

tercapai, namun mediator harus tetap memberikan perlindungan kepada korban dengan

memastikan bahwa kepentingan korban terakomodir dalam mediasi yang dilakukan.

Penyelesaian perkara melalui proses mediasi yang dilakukan pihak Kepolisian ini dapat

dikatakan berjalan efektif. Kebanyakan kasus KDRT yang dilaporkan ke pihak Kepolisian yang

diselesaikan melalui jalur mediasi, dan hampir keseluruhannya hingga kini telah menjalani hidup

berumah tangga dengan rukun. Adapun terjadinya perkara berulang, hanya terjadi pada 2 atau 3

kasus. Hanya saja tidak semua kasus KDRT dapat diselesaikan secara mediasi ada batasan-

batasan yang perlu ditetapkan oleh Undang – Undang. Tidak adanya payung hukum mejadikan

kendala pemanfaatan mediasi penal sebagai metode penyelesaian kasus KDRT.

SARAN

1. Perlu dibuat hukum yang jelas untuk penyelesaian kasus KDRT melalui mediasi penal.

2. Aparat penegak hukum khususnya polisi selaku penyidik seyogyanya melakukan seleksi

terhadap kasus-kasus KDRT mana yang patut diselesaikan secara litigasi dan mana yang

bisa diselesaikan secara non litigasi dengan mempertimbangkan kasus demi kasus dan

tingkat berbahayanya pembuat dan perbuatannya.3. Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga perlu dikaji ulang,

mengingat telah banyak tindak pidana kekerasan yang diatur dalam Undang-undang lain

seperti: KUHP, dan Undang-undang Perlindungan Anak, sehingga dalam pelaksanaannya

tidak terjadi tumpang tindih.

Page 21: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 21/23

19

4. Dalam proses mediasi yang dilakukan pada kasus KDRT, ada baiknya agar pihak yang

ditunjuk sebagai mediator juga melibatkan salah satu pihak dari korban dan pelaku yang

dalam hal ini diwakili oleh keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar aparat kepolisian

dapat meminta bantuan kepada para pihak yang dilibatkan tersebut, dalam melakukan

pengawasan apakah jalan keluar (win-win solution) yang ditempuh telah dilaksanakan

oleh para pihak atau belum. Serta mencegah adanya pemikiran negatif dari salah satu

pihak, baik pihak korban maupun tersangka atas adanya ketidak adilan (keberpihakan

yang berat sebelah).

5. Ada baiknya hukum KDRT maupun hukum – hukum yang berlaku di Indonesia

bercermin dari hukum Islam.

Page 22: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 22/23

20

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah yang telah memberi sebaik-baik nikmat berupa iman dan Islam.

Salawat dan doa keselamatanku terlimpahkan selalu kepada Nabi Muhammad Sawberserta keluarga dan para sahabat – sahabat Nabi semuanya.

Pada lembar ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih, pertama – tama kepada kedua

orang tua saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya hingga saat ini. Kepada Dr. dr.

Artha Budi Susila Duarsa, M. Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI,

kepada DR. drh. Hj. Titiek Djannatun selaku koordinator penyusun Blok Elektif, dan kepada dr.

Hj. Susilowati, M. Kes selaku koordinator pelaksana Blok Elektif, serta kepada Polres

Metropolitan Jakarta Pusat, khususnya kepada Bapak Winarno dan seluruh staff Kepolisian yang

telah memberikan kesempatan pada Kelompok 2 untuk berkunjung dan mengumpulkan data

untuk materi pembuatan laporan ini.

Terima kasih kepada dr. Ferryal Basbeth, Sp.F DFM sebagai dosen pengampu di bidang

kepeminatan Domestic Violence , atas „kisah – kisah‟ pengalaman menarik dan pengetahuannya

selama ini yang sangat bermanfaat untuk saya dan kawan – kawan. Terima kasih kepada dr.

Bevita yang telah memberikan waktu dan kesabarannya dalam membimbing pembuatan laporan

kasus ini hingga selesai. And the last, but not least , terima kasih kepada semua anggota

kelompok Domestic Violence kelompok 2! Dukungan dan kerjasama singkat ini akan selalu berkenang dihati dan ingatan saya.

Saya cukupkan sampai disini, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.Subhanaka AllaHumma wa bihamdik, asyHadu alla ilaaHa illa anta astaghfiruka wa atuubuilaik

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Jakarta, 19 November 2014

Rizka Metya

Page 23: CASEREPORTKDRT CIKA

8/10/2019 CASEREPORTKDRT CIKA

http://slidepdf.com/reader/full/casereportkdrt-cika 23/23

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Wahid, A. 2001. Perlindungan Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga . PT. Refika

Aditama, Bandung.

2. Baskoro, B.D. 2010. Perlindungan Hukum Kepada Korban Tindak Pidana Kekerasan

dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Proses Penyidikan di Wilayah Hukum Kepolisian

Resort Grobongan . Laporan Penelitian Ilmu Hukum pada FH Universitas Diponegoro,

Semarang: tidak diterbitkan.

3. Dikdik, M., Mansur, A., Gultom, E. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan .

Rajawali Press, Jakarta.

4.

Missa, L. 2008. Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) di Wilayah Masyarakat Adat Kota Kupang: eprints.undip.ac.id [Internet].

Tersedia: http://eprints.undip.ac.id/24012/1/LAMBER_MISSA-01.pdf [16 Nopember

2014]

5. Rahmawati, T. 2011. Cara Memukul Seorang Perempuan!, viewed 16 November 2014,

from http://muda.kompasiana.com/2011/10/17/repost-cara-memukul-seorang-

perempuan-404202.html

6. Rezkia, N.U.H.P. 2014. Studi Kasus Di Kota Tarakan Tahun 2011-2013: Kajian

Sosiologi Hukum Terhadap Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Secara Damai . Skripsi Fakultas Hukum pada Universitas Hasanuddin, Makassar: tidak

diterbitkan.

7. Zylstra, A. 2001. Mediation and Domestic Violence: A Practical Screening Method for

Mediators and Mediation Program Administrators. Journal of Dispute Resolution , Vol.

2001, Iss. 2 [2001], Art. 2.