Cdk 045 Penyakit Menular
Embed Size (px)
Transcript of Cdk 045 Penyakit Menular
International Standard Serial Number: 0125 913X Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma
Daftar Isi:2. Editorial Artikel : 3. Pemberantasan Jentik Aedes dalam Rangka Penanggulangan Demam Berdarah 7. Penanggulangan Demam Berdarah dengan "Fogging" Malathion pada Tempat Penularan Potensial di Yogyakarta 1985/1986 12. Infeksi "Japanese Encephalitis" pada Babi di Cengkareng Jakarta, dan Peranannya dalam Penularan ke Manusia 16. Epidemiologi Demam Tifoid di Suatu Daerah Pedesaan di Paseh, Jawa Barat 19. Uji Coba Vaksin Oral Ty 21 A Salmonella Typhi di Kompleks Pertamina, Plaju 22. Reaksi Kekebalan Anak-anak Sekolah Dasar terhadap Toksoid Difteri 2 LF 28. Mikrobakteria Atipikal pada Penderita TBC di Padang, Semarang dan Surabaya 32. Pengukuran Kadar Sekret IgA dengan Cara ELISA untuk Membantu Menegakkan Diagnosis Penyakit Pertusis 37. Pembentukan Antitoksin pada Wanita Usia Subur setelah Pemberian Toksoid Serap Tetanus 41. Kadar Zat Antipoliomielitik dalam Air Susu Ibu di Jakarta dan Pengaruhnya terhadap Vaksinasi Polio 44. Pengembangan Antibodi Monoklonal untuk Filaria 47. "Enzyme Linked Imunnotransblotting Test" pada Transmigran di Daerah Endemis Filariasis Malayi di Pulau Buton 52. Penggunaan Klon DNA untuk Mendeteksi Larva Infektif Brugia malayi pada Nyamuk 55. Peranserta Masyarakat dalam Pemberantasan Malaria di Robek, Nusatenggara Timur 60. Tes Resistensi Secara In Vitro Plasmodium falciparum terhadap Obat yang Mengandung Sulfadoksin 64. Penelitian Parasit Usus pada Sayuran di Jakarta 68. Pemeriksaan Serologi pada Kasus-kasus Tersangka Kongenital Rubella di Jakarta Tahun 1986 71. Potensi Vaksin Morbilli yang Dipakai Program Imunisasi di Indonesia 74. Peranan Primatologi dalam Mengembangkan Ilmu Kedokteran dan Biologi
Alamat redaksi : Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp 4892808 Penanggung jawab/ Pimpinan Umum : Dr. Oen L. H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bambang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Siringoringo. Redaksi Kehormatan : Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.O. Sidabutar, Prof. DR. B. Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/ Dit Jen PPG/ STT/1976. tgl. 3 Juli 1976. Pencetak : P.T. Temprint
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/ pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis
Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991
Kami sangat bergembira, akhirnya makalah-makalah yang disampaikan dalam Seminar Penyakit Menular yang diadakan pada tanggal 23 dan 24 Februari 1987 di Jakarta dapat dikumpulkan, dan diterbitkan dalam edisi khusus Cermin Dunia Kedokteran ini. Kami menyadari, informasi hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, perlu disebarluaskan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang berkepentingan. Makalah-makalah yang dibahas dalam seminar tersebut meliputi berbagai aspek dari penyakit menular, baik tentang klinik pengobatan, vaksinasi, diagnosis, epidemiologi, pemberantasan dan lain-lain. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Panitia Penyelenggara Seminar yang berkenan memberikan bantuannya, sehingga hasil-hasil dari Seminar tersebut dapat hadir di tengah-tengah anda secara utuh.
Redaksi
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I. BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN PUSAT PENELITIAN PENYAKIT MENULAR
SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA Pelindung/Penasehat : Dr. Iskak Koiman Ketua : Drh. Soeharyono W. MPH Sekretaris : Ir. M. Edhie Sulaksono Panitia Pengarah ("Steering Committee") Ketua : Drh. Soeharyono W. MPH Anggota : 1. Dr. Imran Lubis CPH 2. Dr. Cyrus H. Simanjuntak 3. Dra. Hariyani A.M. 4. Dra. Mulyati Prijanto 5. Dr. Liliana Kurniawan MSc 6. Ir. M. Edhie Sulaksono 7. Drh. Gendrowahyuhono
Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991
ArtikelPemberantasan Jentik Aedes dalam Rangka Penanggulangan Demam BerdarahDr. Imran Lubis CPHPusat Penelitian PenyakitMenular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan / Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian pemberian Themephos 1% SG pada 93,4% container yang ditemukan pada 13 desa endemis Demam Berdarah di Sidoardjo. Setelah 3 bulan pemberian, tampak bahwa indeks nyamuk Aedes yang semula naik, ternyata menjadi tururi kembali. Misalnya House Index dari 3245 menjadi 10, Dengue Figure 56 menjadi 3. Disamping tidak jadinya naik indeks nyamuk Aedes, terjadi juga penurunan infeksi Dengue di daerah dengan tindakan pemberantasan sebesar penurunan 37% dan di daerah kontrol kenaikan sebesar 110%. Berbagai cara melakukan pemberantasan jentik Aedes juga dibicarakan.
PENDAHULUAN Laporan pertama kali mengenai penyakit Demam Berdarah (DHF DBD) di Indonesia adalah berasal dari Surabaya dan Jakarta .tahun 1968 (Kho et al, 1969). Dengan jumlah penderita 58 orang dan dengan 24 kematian (CFR: 41,3%). Mulai saat itu, penyakit Demam Berdarah menyebar ke kota/desa lain. Terutama pada daerah yang telah mengandung nyamuk jenis Aedes aegypti (Sureso et al, 1985). Karena hampir seluruh wilayah di Indonesia sudah mempunyai nyamuk Aedes, maka penyebaran penyakit menjadi sangat cepat. Dalam waktu 16 tahun saja (19681984) daerah terserang Demam Berdarah meningkat dari 2 Kabupaten menjadi 162 Kabupaten (pada 21 Propinsi) dengan kasus rata-rata pertahun dari 58 menjadi 5.000 anak. Letusan wabah Demam Berdarah terbesar timbul pada tahun 1973 (10.189), tahun 1983 (13.875) dan tahun 1984 (12.710). Sebagian besar daerah terserang Demam Berdarah tersebut berubah menjadi
daerah endemis, selalu melaporkan kasus sepanjang tahun, dengan fluktuasi peningkatan pada waktu musim hujan. Seperti pada daerah Asean lain, penyakit Demam Berdarah sangat dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk Aedes (Suroso, 1984). Upaya penanggulangan nyamuk Aedes seperti misalnya di Singapura telah menunjukkan dampak penurunan kasus Demam Berdarah dengan baik. Begitu juga dengan pengalaman penanggulangan wabah dengan melakukan fogging malathion, abatisasi secara massal. Di beberapa tempat dapat diangagap bisa memperkecil dan mempersingkat cetusan wabah yang terjadi itu. Strategi penanggulangan penyakit Demam Berdarah yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan, salah satunya adalah memberantas jentik Aedes dengan Themephos 1% SG secara massal (Suroso, 1981). Cara ini dianggap dapat tahan lama yaitu 3 bulan, terutama sekali untuk tindakan pencegahan kenaikan kasus pada waktu menghadapi musim hujan yang akan datang atau suatu wabah yang diperkirakan telah mengancam daerah itu. Tindakan ini telah dilakukan di beberapa tempat sejak tahun 1981, tetapi kenyataannya jumlah kasus Demam Berdarah di daerah itu masih cukup tinggi. Penelitian ini akan melakukan pengukuran dampak pemberantasan jentik Aedes terhadap infeksi (penyebaran) virus Dengue. Pengukuran yang paling tepat adalah membandingkan besar infeksi sebelum dan sesudah tindakan di daerah dengan perlakuan dan di daerah kontrol. BAHAN DAN CARA Pemberantasan jentik Aedes, dilakukan dengan menggunakan insektisida golongan Themephos I% SG (nama dagang: Abate). Dosis Themephos adalah 1 ppm, yaitu dengan menghitung perkiraan jumlah air yang akan tertampung dalam container kemudian 1/1000 bagian dari jumlah itu adalah
Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991
Themephos 1% dalam bentuk bubuk padat. Themephos diberikan pada semua container air yang dijumpai indoor maupun outdoor dan sedang berisi air sebagian/seluruh. Dengan pemberian Themephos I ppm maka diharapkan insektisida akan menempel pada seluruh permukaan dalam bejana. Telur Aedes terdapat menempel pada dinding itu, bila menetas maka jentik Aedes segera dibunuh. Oleh karena itu sangat penting dalam waktu minimal seminggu container yang diberi Themephos tidak boleh disikat/dibersihkan, supaya lapisan insektisida tersebut tidak terkikis habis. Dosis Themephos 1% dalam 1 ppm yang diberikan pada tempat air minum/masak,tidak menyebabkan perubahan bau maupun rasa, dan aman untuk pemakaian manusia dalam waktu yang lama. Pokok-pokok kegiatan lapangan adalah: a) memilih daerah endemis Demam Berdarah dan daerah kontrol menurut kriteria Dit. Jen. P2M & PLP yaitu: 13 desa di Kabupaten Sidoardjo yang endemis dan 13 desa ditempat . sama yang sebanding sebagai daerah kontrol. b) melakukan pengumpulan data dasar: Jumlah container air berikut isinya, jumlah anak berumur 7 tahun dan lainlain. c) melakukan latihan survai nyamuk, pemberian Themephos yang tepat dan pengambilan darah anak sebagai sampel. d) melakukan pelaksanaan survai dan pembinaan. Evaluasi: Melakukan pengambilan darah pada anak sehat umur 7 tahun di dua daerah terpilih tersebut, pada waktu sebelum dan sesudah dilakukan tindakan pemberantasan jentik Aedes. Sampel darah diperiksa secara H.I. (Hemaglutinasi Inhibisi) menurut Clark & Cassal dengan memakai 48 unit antigen Dengue 2 berasal dari PN Biofarma. Kenaikan titer antibodi terhadap Dengue sebesar 4 kali atau lebih pada anak yang sama, dianggap anak tersebut telah mendapat infeksi virus Dengue (Kriteria WHO, 1981). HASIL Bulan Nopember 1983 telah dilakukan tindakan pemberantasan jentik Aedes di 13 desa endemis Demam Berdarah di Kabupaten Sidoardjo. Mencakup 10.596 rurnah (93,4% dari total cakupan) dengan 19.779 buah container air yang diberi Themephos 1% SG. Dibutuhkan seluruhnya adalah Themephos 491.040 gram atau sebesar 46,34 gram/rumah. Pemberian Themephos dalam penelitian ini adalah 1 kali, diberikan sebulan sebelum muslin hujan. Perbedaan index nyamuk Aedes pada waktu sebelum dan sesudah tindakan pemberantasan jentik Aedes dilakukan tampak pada Tabel I. Tampak di sini bahwa sebelum dilakukan tindakan pemberantasan jentik terjadi kecenderungan untuk naik, misalnya D.F. dari 3 menjadi 5 kemudian 6. Tetapi setelah dilakukan tindakan, terjadi penurunan walaupun tidak bermakna yaitu menjadi D.F. 3 kemudian 4. Secara acak sederhana pengambilan sampel anak sehat seluruhnya mendapat 744 anak dari daerah endemis Demam Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991
Tabel 1. Hasil Survai Aedes pada Waktu Sebelum dan Sesudah tindakan Pemberantasan Jentik, 1983-1984. H.I. 27-6-1983 25-7-1983 22- 8-1983 5-9-1983 18.10-1983 14-1119-1223-1-1984 20-2-1984 32 18 12 15 32 45 10 25 26 C.I. L.R. ) 20,1 36 5 6,3 9,5 18 3 3,3 6,7 13 3 1,9 8,3 15 3 1,9 22,8 42 5 1,2 28,2 48 6 0,5 Tindakan pembe rantasan jen 2,0 6,9 12 3 16,6 30 4 4,7 15,5 28 4 5,0 B. I. D.F. (A.
Keterangan: H. : House Index C. : Container Index I. : Breteau Index.
D.F. L.R.
: Dengue : Landing Rate
Berdarah dan 742 anak dari daerah kontrol. Hasil pemeriksaan HI pada anak tersebut tampak pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Infeksi Dengue pada Anak di Daerah Endemis dengan Tindakan Pemberantasan Jentik dan Anak di Daerah Kontrol, Sidoardjo, 1983. Wilayah Endemis *) Kontrol Infeksi Dengue per sampel sebelum tindakan sesudah tindakan 17/373:4,5% 79/369: 21,4% 11/372:2,9% Trend infeksi
Turun 37% 168/373: 45,0% Naik 110%
*) Hanya pada daerah endemis Demam Berdarah ini diberi tindakan pemberantasan jentik Aedes, sehingga terjadi penurunan infeksi. Tampak di sini bahwa pada daerah kontrol, yaitu daerah sporadis Demam Berdarah yang memang tidak akan dilakukan tindakan apapun kecuali surveillance atau penyuluhan kesehatan. Ternyata terjadi kenaikan infeksi sebanyak 110% dari angka semula: Sedangkan pada daerah endemis yang dilakukan tindakan pemberantasan jentik Aedes terjadi penurunan infeksi sebesar 37% dari semula. Perbedaan antara infeksi di kedua daerah tersebut cukup bermakna. PEMBAHASAN Penyakit Demam Berdarah disebabkan oleh 4 tipe virus Dengue (D1, D2, D3 dan D4) yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes dewasa. Hal ini sudah terbukti semenjak laporan pertama penyakit Demam Berdarah di Filipina 1953 dan Thailand 1958. Penyebaran penyakit Demam Berdarah juga mengikuti pola penyebaran nyamuk Aedes, terutama untuk daerah Asean. Dengan demikian, strategi pem berantasan penyakit demam berdarah harus ditujukan pada pemberantasan nyamuk Aedes dewasa maupun jentiknya. Pemberantasan nyamuk Aedes dewasa dengan mengguna-
kan Malathion hanya diperlukan pada keadaan darurat saja. Karena dampak penurunan kepadatan nyamuk yang terjadi hanya dicapai sebentar saja, dan sekarang ini telah diduga efek Malathion terhadap nyamuk sebagai insektisida telah menurun (Pattanayah, 1985). Oleh karena itu, sekarang lebih baik memberantas jentik Aedes. Walauplin secara tidak langsung akan mengurangi jumlah kepadatan nyamuk dewasa yang dalam hal ini lebih berperan dalam penyebaran virus Dengue ke orang lain. Pemberantasan jentik Aedes mempunyai hambatan yaitu membutuhkan partisipasi masyarakat yang sulit diperoleh itu, membutuhkan persiapan yang lama dan mahal. Mempunyai efek yang tidak langsung, tetapi butuh waktu terlebih dulu. Kebaikannya adalah dampak penurunan kepadatan nyamuk maupun infeksi virus Dengue di Masyarakat lebih lama. Penelitian ini telah melakukan evaluasi serologi terhadap suatu tindakan pemberantasan jentik Aedes yang dikerjakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari Dit. Jen. P2M & PLP. Gambar 1 menunjukkan hubungan yang jelas antara penurunan dari infeksi Dengue pada anak setelah dilakukan tindakan pemberantasan jentik Aedes. Tampak bahwa dengan cakupan pemberantasan sarang jentik Aedes sebesar 93,4%, akan terjadi penurunan angka infeksi sebesar sepertiga (37%) pada daerah endemis. Sedangkan pada daerah yang baru dalam keadaan sporadis saja, tetapi kalau dibiarkan (kontrol), infeksi akan meningkat sebesar 2 kali semula (110%). Gambar 1. Perbaadingan Perubahan Infeksi Yang Terjadi Akibat Tindakan Pemberantasan Jentik dengan Kontrol
tidak dapat dicapai sehingga diduga pemberantasan jentik ini tidak dapat menurunkan angka infeksi. Apalagi kalau diketahui banyak container air yang lolos dari pengamatan, misalnya lobang pohon, kaleng bekas, talang air dan lainlain. Sehingga suatu prasyarat untuk melakukan tindakan pemberantasan jentik adalah ketelitian dalam mencari jumlah, jenis dan isi container pada daerah.itu. Pemakaian insektisida Themephos 1% SG untuk pemberantasan jentik Aedes masih dianggap cukup mahal, yaitu Rp. 172.050.000, untuk 3 kali aplikasi pada daerah HE (High Endemic) di Jakarta (Mansyhur, 1985). Cara lain yang lebih murah pernah dilakukan di negara lain, misalnya di RRC menggunakan ikan jenis Clarius fuscus. (berat 40 gr) atau ikan Macropodus spp yang sanggup makan larva Aedes sebanyak 1.000 ekor/hari. Ikan ini pernah dicoba pada suatu daerah di RRC' dengan dampak Breteau Index turun dari 66 menjadi di bawah 3 dalam waktu hanya 2 minggu saja. (Pao Lung et al 1985).. Atau di Thailand dengan menggunakan Larva trap (perangkap larva). Larva trap diletakkan pada daerah yang amat disenangi jentik, misalnya ditempat agak teduh dan lain-lain. Harga Larva trap semula adalah US $ 1.0 tetapi dengan dibuat lokal maka dapat ditekan menjadi sepertiga. Setiap larva trap dapat menangkap 300 ekor larva/malam (Boonluan et al, 1985). Percobaan ini belum dilakukan di suatu masyarakat. Kemungkinan lain ialah dengan memakai jentik nyamuk Toxorhynchites yang dapat memakan larva lain termasuk jentik Aedes. Jenis nyamuk ini begitu besar sehingga sekarang dipakai untuk melakukan isolasi virus Dengue dan belum pernah dicoba untuk tindakan pemberantasan jentik Aedes. Berbagai cara tindakan pemberantasan jentik Aedes telah dibahas disini, sedangkan yang dilakukan dengan menggunakan insektisida Themephos telah jelas dapat menurunkan angka infeksi Dengue di masyarakat sebesar 1/3 (37%) dari semula. KESIMPULAN Dari penelitian ini telah terbukti bahwa tindakan pemberantasan jentik Aedes dapat menurunkan angka infeksi Dengue menjadi 1/3 dari angka semula, bila dipakai insektisida Themephos 1% SG. Penurunan angka infeksi sebesar itu, dapat juga dicapai dengan menggunakan metoda pemberantasan lain seperti, ikan, jentik nyamuk Toxorhynchites, gerakan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Bahkan angka penurunan itu masih mungkin diperbesar lagi. Syarat penting dalam melakukan tindakan pemberantasan jentik adalah caku pan/coverage dari tindakan tersebut harus tinggi, mendekati angka 100%. Mengingat dengan coverage 100% saja, masih ada container outdoor yang lolos dari tindakan dan ini merupakan faktor kegagalan tindakan itu. Untuk mengurangi faktor kegagalan, dalam tindakan pemberantasan jentik harus dibuat persiapan yang lama dan cukup matang sehingga akan mendapat partisipasi masyarakat penuh. Dengan menurunnya daya bunuh insektisida untuk nyamuk dewasa, dan mengurangnya anggaran untuk penanggu-
Melakukan tindakan pemberantasan jentik diperlukan cakupan (coverage) tinggi, yaitu mendekati 100% agar supaya efek terhadap infeksi Dengue dapat dicapai. Sering target ini Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991
langan penyakit Demam Berdarah di Indonesia, jalan yang terbaik adalah dengan melakukan tindakan pemberantasan jentik secara terus.menerus dan persisten melalui cara apa saja. KEPUSTAKAAN
5. 6. 7.
1. 2.
WHO, Technical Guide on Dengue Haemorrhagic Fever, 1981. Clark & Cassal, Technique for Hemaglutination and Hemaglutination Inhibition with Arthropod-borne virus, AM J Trop. Med 1958; 7 : 561 573. 3. Imran Lubis es. Epidemiological Studies of DHF in Indonesia, Bull Pen Kes VII 1979; 1 : 23 27. 4. M. Masyhur. Comparison of the Cost-Effect of different methods. of vector control in Jakarta, 19841985, D. News letter 1985;
11:2533. Suroso T. Control and Prevention of Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia, strategy and Thrust, D Newsl, 1985; 11 : 17 24. Pattanayak, Collabrorative research projects on prospective Epidemiological study on Dengue Hemorrhagic Fever in Thailand, Sri Lanka and Indonesia, D. News 1985; 1, 11 : 1 3. Paoling, The use of Fish to control Aedes aegypti in water containers in the People's Republic of Cina, D. Newsl, 1981; 7 : 24.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih terutama disampaikan kepada, dr. I. Koiman, Kepala Puslit Penyakit Menular, Dokabu Sidoardjo beserta staff dan semua guru mau pun masyarakat lain yang telah menyumbangkan tenaganya dalam melaksanakan penelitian ini.
Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991
Penanggulangan Demam Berdarah Dengue dengan "Fogging" Malathion pada Tempat Penularan Potensial di Yogyakarta 1985/1986.Suharyono WuryadiPusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Telah dilakukan studi perbandingan penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) antara penyemprotan malathion atau fogging malathion pada tempat penularan potensial seperti sekolah-sekolah dengan cara penyemprotan malathion pada fokus-fokus. (metoda standar). Penelitian ini dilakukan di Kodya Yogyakarta. Untuk daerah pertama dipakai Kecamatan Gondomanan dan untuk daerah kedua dipakai Kecamatan Kraton. Kedua daerah tersebut mempunyai kesamaan dalam hal; jumlah kasus/bulan, kepadatan penduduk, luas wilayah dan lain-lain. Terlihat bahwa di Kecamatan Gondomanan penularan virus Dengue menurun dari 5,6% menjadi 3,4% setelah penyemprotan, sedang di Kecamatan Kraton penularan virus Dengue naik dari 5,9% menjadi 7,6% untuk periode yang sama. Jumlah kasus DBD di kecamatan Gondomanan ada sebanyak 22 sebelum dilakukan penyemprotan yang kemudian turun menjadi 13 setelah dilakukan penyemprotan. Sedang untuk kecamatan Kraton terdapat 24 kasus sebelum penyemprotan dan 26 kasus setelah periode yang sama. Pengamatan dilakukan selama 11 bulan setelah penyemprotan. PENDAHULUAN Pada saat ini penyakit Demam Berdarah (DBD) sudah endemis disebagian besar tanah air kita Mi. Dua puluh enam dari 27 propinsi yang ada telah dan selalu melaporkan adanya kasus Demam Berdarah Dengue yang baru. Jumlah laporan kasus pertahun untuk 3 tahun terakhir ini adalah sekitar 13. 000 dengan angka kematian (CFR) sekitar 4%. Sampai saat ini, mekanisme terjadinya penyakit masih belum jelas. Demikian juga dengan obat ataupun vaksin untuk pencegahannya juga belum didapatkan. Satu-satunya hal yang sudah diketahui dengan pasti adalah bahwa penyakit ini ditularkan oleh nyamuk, terutama nyamuk Aedes aegypti. Manusia merupa-
kan satu-satunya hospes dan belum/tidak diketahui adanya hospes lain yang dapat terlibat. Dari hal inilah kemudian dikembangkan cara pencegahan/pembrantasan dari penyakit ini yaitu dengan cara memutuskan rantai penularan dengan membunuh vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pemutusan rantai penularan dengan membunuh vektor tadi dapat dilakukan dengan berbagai cara: dapat secara mekanis, yaitu dengan membunuh langsung nyamuk dewasa atau jentiknya, (dengan menguras tempat perindukkannya), dapat secara biologis, misalnya dengan memasukkan ikan pemakan jentik nyamuk ke dalam tempat perindukkannya, dapat juga dengan menggunakan racun kimia. Racun kimia ini ada yang ditaburkan di air untuk membunuh jentik nyamuk (larvasida), ada yang diasapkan ke udara (fogging) sebagai kabut untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida). Di sini kita akan khusus membahas tentang pembrantasan vektor dalam hal ini nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan racun kimia yang disemprotkan ke udara sebagai . kabut (fogging). Cara ini jelas sangat baik, karena langsung semua nyamuk dewasa akan mati. Pada waktu terjadi letusan atau wabah, cara penyemprotan ini sangat bermanfaat dan efektif. Tetapi cara ini sangat mahal, membutuhkan tenaga dan peralatan khusus dan juga racun kimia yang digunakan. Dit.Jen. P2M & PLP di dalam program pembrantasan Demam Berdarah Dengue, di antaranya juga memakai cara penyemprotan ini. Kebijaksanaan yang dipakai sekarang adalah setiap ada kasus barn (fokus), maka di sekitar rumah penderita (dengan radius 100 mt) akan di fogging dengan malathion dua sildus dengan jarak antara 710 hari. Dengan cara ini makin banyak kasus akan makin banyak dana yang dikeluarkan sehingga di dalam kenyataannya, sering sekali dana yang tersedia tidak mencukupi, sehingga tidak semua kasus dapat ditanggulangi.
7
Di sini kami membandingkan cara di atas dengan cara penanggulangan dengan fogging malathion tetapi tidak pada kasus baru dan sekitarnya, melainkan pada tempat lain yang dianggap paling potensial, yaitu sekolah-sekolah dan sekitarnya. Adapun alasannya adalah sebagai berikut : Di Indonsia penularan (transmisi) virus Dengue yang tertinggi adalah pada anak-anak di bawah 15 tahun, yaitu golongan anak sekolah terutama dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Anak-anak di atas 15 tahun ke atas biasanya sudah banyak yang kebal. Vektor dari penyakit ini yaitu nyamuk Aedes aegypti, nyamuk yang hanya aktif menggigit pada waktu siang hari. Di sekolah berkumpul anak-anak dari pelbagai tempat, terutama pada siang hari, yaitu sama dengan waktu aktivitas menggigit tertinggi dari nyamuk Aedes aegypti. Jika seandainya ada nyamuk Aedes aegypti yang infektif, artinya di dalam kelenjar ludahnya sudah ada virus dengue, entah virus tersebut didapatkan dari pelajar yang sedang sakit di sekolah ataukah dari orang-orang di sekitar sekolah, dengan sendirinya penyebaran virus dengue pada seluruh anak sekolah tersebut akan cepat sekali terjadi. Ditambah dengan sifat nyamuk Aedes aegypti yang suka menggigit berpindah-pindah (multiple bite). Anak-anak sekolah biasanya berasal dari pelbagai tempat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat penularan yang terjadi di sekolah akan segera tersebar dibawa pulang kesegenap jurusan. Adanya nyamuk Aedes aegypti di sekolah-sekolah tidak perlu dibuktikan lagi, bahkan telah dibuktikan banyak sekolah mempunyai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti (hasil survey Sub. Dit. Arbovirosis, PPM & PLP). Oleh karena itu sekolah dianggap sebagai tempat potensial untuk penyebaran/penularan virus dengue di masyarakat. BAHAN DAN CARA KERJA Daerah yang dipakai pada penelitian ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kodya Yogya, yaitu di Kecamatan Kraton (untuk daerah yang hanya di fogging tempat terjadinya kasus baru, sekolah tidak di fogging) dan Kecamatan Gondomanan (daerah yang hanya di fogging sekolahnya). Di tempat yang tidak di fogging sekolahnya, pembrantasan tetap diadakan menurut program yang ada, yaitu fogging untuk daerah kasus baru (fokus) dan kegiatan penunjang yang lain, misalnya Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN). Sedang untuk daerah yang hanya sekolahnya saja yang di fogging daerah terjadinya kasus baru (fokus) tidak di fogging. Di sini juga kegiatan penunjang seperti PSN tetap dilakukan. Fogging untuk kedua kecamatan dilakukan dengan memakai mesin fogging (swing fog), dengan menggunakan bahan kimia malathion 4% dalam pelarut solar. Fogging dilakukan dua siklus dengan radius 100 meter dari rumah penderita (fokus), atau dari sekolah. Jarak antara kedua siklus adalah 7-10 hari. Fogging dilakukan pada pagi hari antara jam 6.00 10.00 atau sore hari antara jam 3.006.00.Waktu pelaksanaan fogging tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kecepatan angin dan suhu udara rendah. Abatisasi di kedua kecamatan juga dilakukan berdasar-
kan program yang ada, yaitu pemberian Abate SG 1% pada tempat-tempat penampungan air di rumah penderita dan sekitarnya dengan radius 100 meter. Demikian juga di sekolah dan sekitarnya juga dengan radius 100 meter. Pemberian Abate biasanya dilakukan 1 kali saja. Peyiaksanaan fogging di daerah sekolah dan sekitarnya dilakukan pada bulan Agustus 1985 secara serentak, dengan pertimbangan, pada saat itu kepadatan nyamuk Aedes aegypti adalah terendah (musim keying), sedang fogging di daerah kasus baru (fokus) dilakukan setiap ada laporan kasus baru dan dilakukan sepanjang tahun. Fogging di daerah sekolah dan sekitarnya dilakukan satu kali saja dalam satu tahun dan meliputi semua Taman KanakKanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan beberapa Sekolah Menengah Atas, yang ada di Kecamatan Gondomanan. Pada permulaan penelitian, di kedua kecamatan terpilih dilakukan survai serologi di antara anak-anak sekolah kelas I Sekolah Dasar, untuk mengetahui besarnya penularan (transmisi) virus dengue di daerah tersebut. Sebelum dilakukan tindakan, sejumlah 600 anak kelas I Sekolah Dasar dari kedua kecamatan (dipilih secara random) diambil spesimen darah dari ujung jari dengan menggunakan kertas filter. Selang 23 bulan diambil spesimen darah kedua pada anak yang sama dan dengan cara yang sama pula. Demikian dilakukan juga survai serologi setelah dilakukan tindakan di kedua kecamatan tersebut. Juga sebanyak 600 anak Sekolah Dasar kelas I, diambil spesimen darah dari ujung jari dengan menggunakan kertas filter. Pengambilan juga secara random dan selang 23 bulan kemudian dilakukan juga pengambilan spesimen darah yang ke-2 pada anak yang sama dan cara yang sama pula. Survai serologi yang kedua ini dilakukan setelah dilakukan tindakan fogging di sekolah-sekolah di kecamatan Gondomanan, yaitu pada bulan September/Oktober 1985 untuk yang pertama dan bulan Januari/Pebruari 1986 untuk yang kedua. Spesimen darah yang telah terkumpul dikirim ke Puslit Penyakit Menular di Jakarta dan kemudian diperiksa kadar zat kebalnya terhadap dengue dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dengan menggunakan antigen Dengue 2 sebanyak 48 unit. Uji Hemaglutinasi Inhibisi dilakukan bersamasama antara spesimen darah pertama dengan spesimen darah kedua untuk mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi waktu melakukan uji tersebut. Dari hasil uji HI tersebut ditentukan angka penularan (infection rate) sebelum dan setelah fogging dilakukan di kedua kecamatan tersebut. Dari uji tersebut juga dapat ditentukan besarnya transmisi virus dengue sebelum dan setelah diadakan tindakan. Dengan sendirinya untuk kecamatan Kraton hasilnya tidak memberikan banyak informasi karena besarnya tindakan di sini ditentukan oleh banyaknya kasus baru yang terjadi. Semua kegiatan di lapangan ini dilakukan oleh petugas kesehatan PPM & PLP Kodya Yogya, dengan supervisi dari Puslit Penyakit Menular di Jakarta. Survai kepadatan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus juga dilakukan dengan cara single larva method. Kegiatan ini juga dilakukan oleh
petugas kesehatan PPM & PLP Kodya Yogya. Kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi dan datang di rumah-rumah sakit di Yogya seperti RS Pugerah, RS. PKU Muhamadiah, RS. Bethesda, RS. Panti Rapih dan RS. Dr. Sardjito dicatat dan dianalisa, mana yang datang/berasal dari kedua kecarnatan tersebut. Pengamatan dan pencatatan kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi di kedua kecamatan diteruskan sampai 11 bulan (dari Agustus 1985 s/d Juni 1986). Hal ini dilakukan untuk mengetahui dampak atau basil dari fogging di sekolah-sekolah yang hanya dilakukan setahun sekali itu. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan kecamatan yang tidak di fogging sekolahnya tetapi hanya pada tempat-tempat adanya kasus baru saja (fokus) dan sekitarnya radius 100 meter. Di sin fogging dilakukan sepanjang tahun manakala ada kasus baru (fokus). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari Kecamatan Gondomanan sebanyak 23 sekolah : 5 Sekolah Taman Kanak-Kanak, 13 Sekolah Dasar, 3 Sekolah Menengah Pertama dan 2 Sekolah Menengah Atas telah di fogging sebanyak 2 siklus dengan malathion. Demikian juga rumahrumah di sekitar sekolah tersebut dengan jarak radius 100 meter dari sekolah. (Lihat Tabel I) ' Dari Kecamatan Kraton, di mana penanggulangan dilakukan sesuai dengan program yang ada, yaitu penyemprotan malathion tiap ada kasus baru. Selama periode Januari 1985 s/d Juli 1986 dilakukan penyemprotan fokus sebanyak 50 dengan perincian : 26 kasus terjadi antara Agustus 1985 s/d Juni 1986, dan 24 kasus antara Januari 1985 s/d Juli 1985. Semua penyemprotan dilakukan dengan swing fog sebanyak dua siklus, termasuk rumah-rumah di sekitar fokus dengan radius 100 meter.Tabel I. Data tentang luas daerah, jumlah penduduk dan jumlah sekolah di Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton, Kodya Yogya 1985. No. Uraian Kec. Gondomanan Kec. Kraton 1. Luas daerah 113 ha 2. Jumlah penduduk 22.797 jiwa 3. Jumlah sekolah TK 5 5 SD 13 14 SMP 3 2 137 ha 27.282 jiwa
Tabel 2. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue dari Januari 1985 s/d Juni 1986 Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton, Kodya, Jogya 1985/1986.No. Kecamatan Jan s/d Jul 1985 22 24 46 Jan. Agst. Sept. Okt. Nov. Des.
1. Gondomanan 2. Kraton TOTAL No. Kecamatan
2 10 12 Feb.
2 1 3
4 4 8 Mei Jun.
1 1 TTL
Mrt. Aprl. 1986
1. Gondomanan 2. Kraton TOTAL
2 4 6
1 1 2
2 2
2 2
-
1 1
35 50 85
disusul pengambilan kedua dengan jarak waktu 23 bulan dilakukan pada bulan Februari/Maret 1985 dan Juni/Juli 1985. Sedang pengambilan yang kedua dilakukan setelah fogging di sekolah, yaitu bulan Oktober 1985 disusul pengambilan kedua (23 bulan kemudian) yaitu bulan Januari/ Februari 1986. Dari Kecamatan Gondomanan pada periode pertama (Februari 1985 dan Juni - Jitli 1985) dapat terkumpul 302 pasang spesimen darah (label 3), sedang dari Kecamatan Kraton untuk periode pengumpulan yang sama dapat terkumpul 323 pasang spesimen darah (Tabel 4). Untuk periode kedua (Oktober 85 dan Januari 1986) untuk Kecamatan Gondomanan dapat dikumpulkan sebanyak 322 pasang spesimen dan dari Kecamatan Kraton terkumpul 300 pasang spesimen (label 5 dan Tabel 6). Spesimen darah tersebut diambil dari 14 SD di Kecamatan Kraton dan 13 SD di Kecamatan Gondomanan. Hasil uji hemaglutinasi inhibisi menunjukkan, untuk Kecamatan Gondomanan didapatkan angka infeksi sebesar 91,4% pada survai bulan Februari/Maret 1985, dan 97,0% untuk bulan Juni/Juli 1985 (label 3). Kecamatan Kraton angka infeksi menunjukkan angka sebesar 92,6% untuk bulan Februari/Maret 1985 dan 98,5% untuk bulan Juni/Juli 1985. (label 4). Pada pembacaan ini titer hemaglutinasi inhibisi (HI) sebesar 20 atau lebih dinyatakan positif. Kalau kita lihat sekarang besarnya transmisi (perbedaan titer HI darah pertama dan kedua sebesar empat kali atau lebih) di kedua kecamatan, terlihat bahwa di Kecamatan Gondomanan besarnya transmisi adalah 5,6% sedang di Kecamatan Kraton adalah 5,9%. Survai berikut yang dilakukan setelah fogging, yaitu pada bulan Agustus 1985, di tempat potensial di Kecamatan Gondomanan, terlihat bahwa untuk Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton terjadi kenaikan angka infeksi yaitu untuk Kecamatan Gondomanan pada bulan Oktober 1985 (survai kedua pengambilan pertama) sebesar 99,4% menjadi 99,7% (survai kedua pengambilan kedua, bulan Januari 1986), sedang untuk Kecamatan
Di Kecamatan Gondomanan, dalam periode yang sama, yaitu dari Januari 1985 s/d Juni 1986 diketemukan 35 kasus; dengan perincian 13 kasus terjadi antara bulan Agustus 1985 s/d Juni 1986 (12 bulan), dan 22 kasus antara bulan Januari 1985 s/d Juli 1985 (7 bulan) (Lihat Tabel 2). Nampak jelas setelah adanya fogging di tempat potensial di Kecamatan Gondomanan, kasus Demam Berdarah Dengue menurun. Survai serologi untuk menentukan besarnya infeksi dan transmisi virus dengue dilakukan dikedua Kecamatan tersebut. Survai ini dilakukan dua kali, di mana tiap kali kelompok anak Sekolah Dasar Kelas I diambil darahnya dua kali dengan waktu antara 23 bulan. Pengambilan darah ini yang pertama
Tabel 3. Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dari Kecamatan Gondomanan dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI), terhadap virus dengue, 19851986
Dengue yang baru, yaitu di rumah penderita dan rumah disekitarnya dengan radius 100 meter, kepadatan Aedes aegypti tidak menunjukkan banyak penurunan. Hanya pada bulan Agustus kepadatan nyamuk Aedes aegypti tampak rendah atau terendah dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Ini mungkin disebabkan karena pada bulan tersebut adalah bulan yang terkering sehingga dengan sendirinya kepadatan nyamuk Aedes aegypti juga yang terendah. Terlihat juga bahwa kepadatan nyamuk Aedes aegypti di daerah ini memang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kepadatan di Kecamatan Gondomanan.Tabel 5. Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dan Kecamatan Gondomanan dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Periode II, terhadap virus dengue 19851986.
Tabel 4. Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dan Kecamatan Kraton dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI), terhadap virus dengue 1985 1986.
Tabel 6.Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dari Kecamatan Kraton dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Periode II, terhadap virus dengue 1985 1986.
Kraton didapatkan kenaikan angka infeksi dan 97% menjadi 99,3%. Tetapi angka transmisi di Kecamatan Gondomanan terlihat menurun, yaitu menjadi 3,4% dibandingkan dengan angka transmisi di Kecamatan Kraton yang malah naik menjadi 7,6% (Tabel 5 dan Tabel 6). Jadi di sini terlihat, sebelum bulan Agustus 1985, dikedua kecamatan tersebut keadaannya hampir sama yaitu untuk besarnya angka infeksi dan transmisi tetapi kemudian di Kecamatan Gondomanan angka transmisi menurun sedang di Kecamatan Kraton angka transmisi justru naik. Hasil survai nyamuk yang dilakukan selama 8 bulan, yaitu mulai bulan April 1985 s/d Desemben 1985 dikedua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Di Kecamatan Gondomanan, di mana fogging dilakukan terhadap seluruh sekolah yang ada di wilayah tersebut, adanya penurunan kepadatan nyamuk Aedes aegypti yaitu pada bulan September, Oktober 1985 yang kemudian naik lagi pada bulan-bulan berikutnya (tabel 8). Di Kecamatan Kraton, dimana fogging hanya ilakukan pada waktu ada kasus Demam Berdarah
Ternyata disini penanggulangan Demam Berdarah Dengue dengan jalan penyemprotan malathion hanya pada tempat tempat yang potensial, dalam hal mi sekolah dapat menurunkan besarnya transmisi virus dengue di daerah tersebut. Sebagai kriteria evaluasi kalau hanya didasarkan atas jumlah kasus yang terjadi di daerah tersebut memang kurang tepat, mengingat kasus yang terjadi dapat berasal dan luar daerah tersebut ditambah dengan kenyataan, infeksi virus dengue tidak selalu bermanifestasi sebagai Demam Berdarah Dengue yang berat yang harus dirawat, tetapi mungkin hanya bersifat
10
ringan saja. Mengingat alasan dilakukannya cara penanggulangan ini adalah keterbatasan beaya, marilah kita lihat berapa besar beaya dengan cara ini. Pada cara ini untuk Kecamatan dengan luas '113 ha (Lihat Tabel I), yaitu Kecamatan Gondomanan harus disemprot 23 sekolah beserta rumah-rumah di sekitar sekolah radius 100 meter, jadi meliputi area seluas 92 haTabel 7. Hasil survai Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kecamatan Gondomanan Kodya Jogya, 1985.No. Kecamatan Gondomanan Rk. Ledokratmakam A.ae. A.alb A.ae. A.alb. CI% 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.CI
81% 0 0 0 1 0 0 0,5 0 14 19 20 16 7 9 11 12 0 0 0 2 0 0 1 0
HI% 13 18 17 17 11 10 11 12
A.ae. A.a LR 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15/41985 15/51985 11/61985 10/71985 13/81985 11/91985 9/101985 23/111985
7.14 9.36 10.36 8.04 8.04 9,44 9.14 9.71
Container index BI = Breateau index HI = House index LR A.ae. Landing Rate Aedes aegypti A.alb Aedes albopictus Tabel 8. Hasil survai Aedes agypti dan Aedes albopictus di Kecamatan Kraton, Kodya Jogya, 1985. A.ae. 1. 2. v. 4. 5. 6. 7. 8.CI
masuk beaya operasional. Jadi cukup mahal juga, padahal itu baru satu Kecamatan yang sedang besarnya. Tetapi kalau kita bandingkan dengan cara penanggulangan fokus, dalam hal ini Kecamatan Kraton, pada periode Agustus 1985 s/d Juni 1986 terdapat 26 kasus berarti 26 kali penanggulangan fokus. Terlihat bahwa cara penanggulangan fokus masih sedikit lebih mahal. Ini belum termasuk kalau terjadi ke naikan jumlah kasus, dengan sendirinya cara penanggulangan fokus akan meningkat sesuai dengan jumlah kasus yang terjadi, sedang cara menyemprot pada tempat potensial akan tetap. Dengan makin terbatasnya dana yang tersedia untuk penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue tahun 1987 ini, peran serta masyarakat dalam turut melakukan atau membantu melakukan penanggulangan penyakit ini sangat diharapkan. Masyarakat secara sendiri-sendiri atau bersamasama dapat melakukan pembasmian sarang nyamuk (PSN) dilingkungan mereka masing-masing. Menguras bak mandi, mengganti air di tempayan, vas bunga, mengubur kalengkaleng bekas, ban-ban bekas, bahkan kalau mungkin menyemprot rumahnya secara teratur dengan racun nyamuk yang dijual di toko dan lain-lain. Dan dengan menggunakan cara berpikir yang sama pada penanggulangan Demam Berdarah Dengue pada tetnpat potensial, kegiatan peran serta masyarakat ini dapat dititikberatkan pada sekolah-sekolah. KESIMPULAN Cara penanggulangan Demam Berdarah Dengue dengan jalan penyemprotan malathion hanya pada tempat potensial, yaitu sekolah-sekolah dapat menurunkan transmisi virus dengue di daerah tersebut dan sekaligus akan menurunkan jumlah kasus yang terjadi.KEPUSTAKAAN 1. Anon. Technical Guides for Diagnosis Treatment, Surveillance, Prevention and Control of Dengue Hemorrhagic Fever, WHO, Geneva, 1980. 2. Clarke DH and Casals J. Techniques for Heamagglutination and Heamagglutination Inhibition with Arthropod-borne viruses. Amarican Journal of Tropical Medicine and Hygiene 1980; 561. 3. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal P3M. Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Fokus Demam Berdarah, 1981. 4. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal P3M. Petunjuk Penanggulangan Wabah Demam Berdarah, 1981. Ucapan terima kasih Ditujukan kepada Bapak Kepala Kantor Wilauyah Departemen Kesehatan Daerah Istimewa .1ogyakarta dan seluruh staffnya, khususnya Dr Harundriyo DTMH, yang telah membantu terlaksananya penelitian ini sehingga dapat berhasil dengan baik.
CI% A.alb. A.ae. 0 1 0 0 0 0 0 0,9 14 18 20 12 4 10 14 12 BI =
BI% A.alb. A.ae. 0 2 2 0 0 0 0 2 14 18 18 12 4 10 14 14
HI% A.alb. A.ae. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
LR A.alb.
10/41985 6.42 8/51985 9 10/61985 9.6 15/71985 5.5 10/81985 2.4 12/91985 5.7 12/101985 6.6 9/111985 5,8
= Container index LR = Landing Rate A.ae = Aedes aegypti A.alb = Aedes albopictus
Breateau index HI = House index
(satu sekolah dengan radius 100 meter = 4 ha). Berarti dibutuhkan 92 liter malathion pekat (dua siklus), ditambah dengan 2000 liter solar sebagai pengencer. Belum termasuk bensin untuk mesin swing fog sendiri dan juga belum ter-
11
Infeksi "Japanese Encephalitis" pada Babi di Cengkareng, Jakarta, dan Peranannya dalam Penularan ke ManusiaSahat OmpusungguPusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
ABSTRAK Di Cengkareng, Jakarta, terdapat peternakan babi. Dari penelitian-penelitian terdahulu, diduga, kasus-kasus Japanese Encephalitis (JE) pada manusia di Jakarta. bersumber dari lokasi tersebut. Suatu penelitian untuk mengetahui keadaan infeksi JE pada babi di lokasi tersebut telah dilakukan pada tahun 1984. DI-. harapkan, dari hasil penelitian ini dapat diperkirakan kemungkinan penyebarannya ke penduduk di sekitarnya. Sebanyak 250 ekor babi berumur 212 bulan dipilih secara acak sederhana dan infeksi JE ditentukan dengan cara mendeteksi antibodi dengan uji Haemagglutination Inhibition (HI). Babi berumur 2 bulan dan lahir di lokasi itu, diamati secara prospektif. Dari hasil penelitian ini didapatkan besarnya angka infeksi pada babi masih relatif rendah (53,6%). Ada korelasi linier antara umur dengan proporsi infeksi pada babi. Babi berumur rendah lebih potensial sebagai sumber infeksi dibanding babi berumur lebih tua. Dengan didapatkannya kasus-kasus baru JE pada babi, menunjukkan, di lokasi itu terjadi proses penularan yang aktif. Kemungkinan penularan ke manusia dibahas. PENDAHULUAN Penyakit Japanese Encephalitis (JE) adalah radang otak yang disebabkan oleh virus JE. Virus ini adalah anggota Arbovirus kelompok B (flavivirus). Penyakit ini telah menyebar di banyak negara, mulai dari Asia Selatan dan Tenggara sampai di Asia Timur dan Siberia. Dugaan tentang munculnya penyakit ini di Indonesia telah dilaporkan pada tahun 19711. Kemudian dalam penelitianpenelitian selanjutnya, virus JE berhasil diisolasi dari babi di Cengkareng, Jakarta2 dan dari nyamuk Culex tritaeniorhynchus3, C. gelidus, C. fuscocephalus4 dan C. vishnuis di Jakarta dan sekitarnya. Secara serologis telah pula ditemukan infeksi JE pada anakanak di dua Rumah Sakit di Jakarta sebesar 25,4%6. Meski-
pun virus JE belum pernah diisolasi dari manusia di Indonesia, namun penemuan-penemuan tersebut menyebabkan adanya dugaan, infeksi JE ke manusia bersumber dari babi dengan perantaraan nyamuk-nyamuk tersebut. Laporan dari berbagai negara menyebutkan bahwa reservoir utama (amplifier) JE adalah babi. Berhubung di Cengkareng, Jakarta, terdapat peternakan babi dengan populasi lebih dari 10.000 ekor, ada dugaan bahwa penyebaran virus JE bersumber dari peternakan itu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan infeksi pada babi, antara lain menyangkut besarnya angka infeksi dan hubungannya dengan umur, titer antibodi dan besarnya insidensi (infeksi baru). Dengan keterangan itu, dapat diperkirakan kemungkinan besarnya penularan ke manusia di sekitarnya dan selanjutnya dapat dipakai sebagai pertimbangan bagaimana cara penanggulangannya. BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilakukan di peternakan babi di Cengkareng, Jakarta. Babi dipilih langsung secara acak di peternakan, lalu umur dan asal babi dicatat berdasarkan catatan pemilik peternakan. Umur babi yang dipilih berkisar antara 2 bulan (saat disapih) dan 1 tahun (saat dipotong), dengan pertimbangan, pada waktu mulai disapih, anak babi tidak lagi memperoleh antibodi maternal dari induknya. Dari setiap babi yang dipilih, diambil daralinya sebanyak 2,5 ml dari vena auricularis externa atau vena tarsea recurrentis untuk diperiksa secara HI (Haemagglutination Inhibition). Besarnya sampel adalah 250 ekor dan pengambilan darah hanya satu kali. Terhadap sebagian babi yang berumur 2 bulan dan dilahirkan di peternakan tersebut, dilakukan pengulangan pengambilan darah sampai tiga kali (sehingga togal menjadi empat kali) dengan interval setiap pengambilan selama satu bulan. Tujuannya adalah untuk mengetahui besarnya insidensi (infeksi baru) dan untuk memastikan bahwa infeksi baru tersebut terjadi di lokasi penelitian, atau bukan merupakan infeksi impor. Besar
12
sampel babi yang diperiksa ulang ini adalah 50 ekor, proporsional dengan populasinya (populasi babi berumur 2 bulan kira-kira seperempat dari populasi seluruh babi). Cara pemeriksaan HI sesuai dengan Clarke and Casals7. HASIL PENELITIAN Distribusi babi yang diperiksa menurut umur dan asalnya dapat dilihat pada tabel 1. Asal seluruh babi hanya dari dua kota, yaitu Jakarta dan Solo, dengan sebagian besar berasal dari Jakarta (87,6%) dan hanya sebagian kecil yang berasal dari Solo (12,4%). Sebagian besar babi tersebut (48,4%) berumur 11-12 bulan dan sebagian kecil (7,2%) berumur 9-10 bulan. Tabel 1. Distribusi babi sampel menurut umur dan asal di Cengkareng, Jakarta, 1984.
Besarnya infeksi JE pada babi adalah 53,6% (134/250). Distribusi babi yang positif JE tersebut menurut umur dapat dilihat pada tabel 2. Dengan analisa korelasi dan regresi linier, ternyata ada korelasi linier antara umur dengan proporsi infeksi JE (r = 0,99; P < 0,05). Persamaan garis regresi liniernya adalah: Y = 5,22X + 13,54. Gambar diagram tebar dan garis regresi liniernya dapat dilihat pada gambar 1. Tabel 2. Babi yang positif JE menurut umur di Cengkareng, Jakarta, 1984.
Gambar 1. Diagram tebar dan garis regresi linier antara umur dengar proporsi babi yang positif JE.
Tabel 3. Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi HI di Cengkareng, Jakarta, 1984. Titer antibodi 10 20 40 80 160 320 640Jumlah Jumlah %
28 16 28 21 18 9 14 134
20,9 11,9 20,9 15,7 13,4 6,7 10,5 100
Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 2. Jumlah paling tinggi adalah babi yang bertiter 10 dan 40 (masing-masing 20,9%) dan jumlah paling rendah pada titer 320 (6,7%). Distribusi babi yang positif JE tersebut menurut umur dan titer antibodi dapat dilihat pada tabel 4. Hasil analisa menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur babi dengan titer antobodi HI (P < 0,05). Namun bila umur babi tersebut dihubungkan dengan rata-rata titer geometrik antibodi HI (tabel 5), analisa dengan korelasi linier menunjukkan bahwa tidak ada korelasi linier antara keduanya (r = -0,86; P > 0,05). Sebanyak 50 ekor babi berumur dua bulan dan dilahirkan di Jakarta, diperiksa ulang setiap bulan sampai positif untuk mengetahui besarnya insidensi (infeksi baru). Jumlah babi yang diperiksa ulang dan besarnya insidensi setiap bulan se lama pengamatan dapat dilihat pada tabel 6. Besarnya insidensi setiap bulan berkisar antara 18,5-30,3%.
Gambar 2. Distribusi babi yang positif menurut titer antibodi HI di Cengkareng, Jakarta, 1984.
Tabel 4. Distribusi babi yang positif JE menurut umur dan antibodi HI di Cengkareng, Jakarta, 1984.Titer antibodi HI 10 20 40 80 160 320 640 Jumlah Jumlah tiap kelompok umur (bulan) Jumiah 2-3 14 0 1 1 1 1 0 18 4-5 5 1 3 1 2 1 2 15 9-10 0 1 3 4 1 0 2 11 11-12 9 14 21 15 14 7 10 90 28 16 28 21 18 9 14 134
Tabel 7. Besarnya infeksi JE pada babi di beberapa lokasi di Indonesia. Asal Surabaya Jawa Barat JawaTengah Bali Solo Pontianak Jakarta Jumlah sampel 15 102 64 156 79 88 132 206 210 250 Umur (bulan) ? 6-12 13-24 6-12 13-24 12 12 6 6 2-12 Positif JE (%) 100 94 97 88 92 64 80 90,7 100 53,6 No. pustaka 3 7
5 6 Penulis
* ? = tidak diketahui Bahwa umur babi mempengaruhi besarnya angka infeksi juga terbukti dalam penelitian (tabel 2 dan gambar 1) di mana hubungan tersebut merupakan korelasi linier. Hasil penelitian di Serawak juga menunjukkan, infection rate JE akan meningkat dengan meningkatnya umur babi12. Untuk mengetahui apakah babi yang positif JE tersebut dapat sebagai penular, dapat dilihat dari titer antibodinya. Dari 134 ekor babi yang positif JE, 20,9% di antaranya bertiter 10 (tabel 3 dan gambar 2). Babi yang memiliki titer antibodi yang rendah ini menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi belum lama beriangsung, atau dengan perkataan lain, babi tersebut potensial sebagai penular atau sumber infeksi. Ternyata titer antibodi tersebut dipengaruhi oleh faktor umur babi, terbukti dari adanya hubungan antara umur babi dengan titer antibodi (tabel 4), walaupun hubungan tersebut bukan merupakan korelasi linier bila umur babi itu dihubungkan dengan rata-rata titer antibodi (tabel 5). Ini menunjukkan, babi yang berumur muda lebih potensial sebagai sumber infeksi daripada yang berumur lebih tua. Bahwa hubungan tersebut bukan merupakan korelasi linier, di samping disebabkan oleh besar sampel yang tidak sama, kemungkinan juga bisa sebagai petunjuk bahwa perjalanan infeksi di daerah itu memang demikian. Artinya, titer antibodi akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur, hanya sampai dengan umur 9-10 bulan dan pada umur di atas 10 bulan titer antibodi itu dengan perlahan-lahan akan menurun. Pengamatan selama tiga bulan menunjukkan adanya kejadian infeksi baru (insidensi) setiap bulan di tempat tersebut, yang besarnya antara 18,5-30,3% (tabel 6). Ini merupakan bukti, di lokasi penelitian terjadi penularan yang aktif dari babi yang viremik ke vektor (Culex) dan seterusnya dari vektor yang transmisif ke babi kembali. Dalam penelitianpenelitian terdahulu telah ditemukan, vektor JE di Jakarta dan sekitarnya adalah Culex tritaeniorhynchus, C. gelidus, C. fuscocephalus dan C. vishnui. Kenyataan di Thailand menunjukkan, sebelum vektor yang mengandung virus JE menyerbu manusia, lebih dahulu terjadi penyebaran virus JE di antara babi-vektor-babi-vektor. Setelah populasi vektor ini sedemikian banyaknya, barulah terjadi penggigitan vektor ke penduduk dan selanjutnya terjadi penyebaran virus JE ke penduduk. Ditemukannya infeksi baru JE pada babi di peternakan di Cengkareng merupakan bukti bahwa penyebaran virus JE di antara babi-vektor-babi telah terjadi. Persoalan selanjutnya adalah, apakah keempat spesies Culex tersebut
Tabel 5. Rata-rata titer geometrik antibodi HI terhadap JE menurut umur di Cengkareng, Jakarta, 1984.Umur (bulan) 2-3 4 -5 9-10 11-12 Rata-rata titer geometrik antibodi HI 17 50 91 70 Jumlah babi 18 15 11 121
Tabel 6. Jumlah babi yang mendapat infeksi baru JE selama Maret Mei 1984 di Cengkareng, Jakarta.Waktu Jumiah Yang diperiksa pertama negatif 27 33 21 Pemeriksaan kedua positif Jumlah 5 10 5 % 18,5 30,3 23,8
Maret 1984 April 1984 Mei1984
PEMBAHASAN Besarnya infeksi JE pada babi dalam penelitian ini adalah 53,6% (tabel 2). Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya yang pernah dilakukan di Indonesia (tabel 7), angka infeksi dalam penelitian ini relatif lebih rendah. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor umur babi. Sampel babi dalam penelitian di Surabaya8 diambil dari abatoir setempat, jadi umur babi diduga di atas 6 bulan. Demikian juga dengan penelitian di Jawa Barat dan Jawa Tengah9, ' sampel babinya minimum berumur 6 bulan dan walaupun tidak dianalisa secara statistik, ternyata angka infeksi pada umur 13-24 bulan adalah lebih tinggi dari pada angka infeksi pada umur 6-12 bulan. Dalam penelitian yang dilaporkan ini, hampir separuh (44,4%) sampel babi berumur di bawah 6 bulan (tabel 1). Angka infeksi yang tinggi pada babi berumur di bawah 12 bulan di Bali10 dan pada babi berumur di bawah 6 bulan di Solo dan Pontianak11 , diduga disebabkan oleh faktor nyamuk (vektor). Sebagai suatu penyakit yang ditularkan dengan perantaraan nyamuk, maka faktor nyamuk yang menyangkut kepadatan, infection rate dan kesenangan menggigit nyamuk pada hospes, juga akan mempengaruhi angka infeksi pada hospes vertebratanya. Namun untuk mengetahui sampai seberapa besar pengaruh faktor nyamuk tersebut masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
senang menggigit manusia di sekitarnya? . Untuk mengetahui hal itu diperlukan penelitian lebih lanjut. Bila tanda-tanda kesenangan menggigit nyamuk-nyamuk itu pada manusia menunjukkan peningkatan, disarankan agar memulai penelitian cara-cara pemberantasannya, misalnya vaksinasi pada babi dan pemberantasan pada vektor atau vaksinasi pada manusia golongan umur yang peka (anak-anak). KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : Besarnya infeksi JE pada babi masih relatif rendah (53,6%). Ada korelasi linier antara umur dengan proporsi infeksi JE pada babi. Babi berumur rendah lebih potensial sebagai sumber infeksi (kepada babi maupun manusia). Di lokasi itu terdapat proses penularan yang aktif.KEPUSTAKAAN1. 2. 3. 4. 5. 6. Kho LK et al. Japanese B Encephalitis di Jakarta (laporan sementara). Maj Kes Indonesia. 1971; 21: 435448. ---- Isolation of Japanese Encephalitis Virus from Mosquitoes near Bogor, West Java, Indonesia. J Med EntomoL 1975; 12: 573-574. Van Peenen PFD et al. First Isolation of Japanese Encephalitis Virus from Java, Indonesia. J Military Med. 1974; : 821823. ----Japanese Encephalitis Virus from Pigs and Mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 1975; 69: 477479. Atmosoedjono, Soeroto. Vectors of Dengue Hemorrhagic Fever, Japanese B Encephalitis, Malaria and Filariasis. Unpublished paper. Jakarta: US Namru-2, t.th. Imran L dkk. Penelitian Penyakit Japanese Encephalitis (JE) pada Anak-anak di Jakarta. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Bio
7. 8.
9. 10.
11. 12. 13.
Media oleh Puslit Bio Medis, Badan Litbangkes, Depkes RI No 2 Ed 1. Jakarta: Puslit Bio Medis, Badan Litbangkes, Depkes RI, 1981; hal 2436. Clarke, Delphine H and Jordi Casale. Techniques for Haemagglutination and Haemagglutination-Inhibition with Arthropod-borne Viruses. Amer J Trop Med. 1958; 7: 561573. Hotta, Susumu. Arboviral Sero-Epidemiology of Indonesia. Viral Diseases in the Southeast Pasific Area and Africa Rep Ser, No 3. Tokyo: International Medical Foundation of Japan, March 1973. pp 316. Koesharjono C et al. Serological Survey of Pigs from a Sloughterhouse in Jakarta, Indonesia. Bul Penelit Kes. 1973; 1: 818. Imran L dan SUharyono W. Penelitian Penyakit Japanese Encephalitis (JE) pada Anak-anak di Denpasar, Bali. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Bio Medis, oieh Puslit Bio Medis, Badan Litbangkes, Depkes RI No 3, ed 1. Jakarta: Puslit Bio Medis, Badan Litbangkes, Depkes RI. 1982/1983, hal 80-95. ---- Faktor nyamuk Culex dan Babi dalam Penyebaran Virus Japanese Encephalitis (JE) di Pontianak dan Solo. Bul Penelit Kes. 1986; 14: 815. Pant CP. Vectors of Japanese Encephalitis and Their Bionomics in Countries other than India. Paper on WHO Inter-regional Meeting on Japanese Encephalitis. New Delhi, 1924 March 1979. Yamada, Takeshi et al. Studies on an Epidemic of Japanese En c e p h a l i t i s i n t h e N o rth ern R e g i o n o f Th a i l a n d i n 1 9 6 9 and 1970. Viral Diseases in the Southeast Pacific Area and Africa Rep Ser. No. 3. Tokyo: International Medical Foundation of Japan, March 1973, p 37.
Ucapan terima kasih Terima kasih banyak kami ucapkan kepada Bapak Dr. Iskak Koiman, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular etas pemberian izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Juga kepada Bapak Drh. Suharyono W., MPH dan Bapak Dr. lmran Lubis, CPH yang telah memberikan bantuan fasilitas, terima kasih ba..vak kami sampaikan. Kepada semua staf Virologi, Pusat Penelitian Penyakit Menular yang telah ikut membantu pemeriksaan spesimen, ucapan yang sama kami ucapkan.
Epidemiologi Demam Tifoid di Suatu Daerah Pedesaan di Paseh, Jawa BaratCyrus H. Simanjuntak*, Stephen L. Hoffman**, Narain H. Punjabi**, David C. Edman**, M.A. Hasibuan*, Wibisono Sumarno***, Iskak Koiman* *) Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/**) NAMRU 2, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. ***) Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Daerah Bandung.
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian epidemiologi pada penduduk di daerah pedesaan Paseh, yang berpenduduk sebesar 62.636 orang. Selama 3 bulan telah dilakukan pemeriksaan intensif, yakni pengambilan darah yang dilanjutkan dengan pembiakan secara bakteriologis; pemeriksaan klinis; dan pengajuan kwestioner pada setiap penderita demam yang di Puskesmas/Pembantu Puskesmas Poliklinik R.S.U. dan Swasta serta Praktek Dokter di Kecamatan Paseh. Hal yang sama juga dilakukan ditempat-tempat seperti disebutkan di atas di daerah berdekatan di sekitar Kecamatan tersebut bagi penderita demam yang berasal dari Kecamatan Paseh. Berdasarkan hasil pemeriksaan intensif tersebut di atas selama 3 bulan, yang kemudian dikonversikan ke dalam satu tahun, diperoleh data, angka kesakitan S. typhi paling sedikit 154 per 105 penduduk selama setahun. Angka ini sebesar 44,7 untuk S. paratyphi A dan 12,8 untuk Salmonella Group B. Sembilan puluh dua persen penyakit ini terdapat pada anak di atas 3 tahun dan dewasa muda (di bawah 30 tahun) Jumlah penderita laki-laki hampir sama dengan penderita perempuan dan kebanyakan terdapat pada anak-anak sekolah. Penderita yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit biasanya adalah anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, sedang anak-anak yang lebih kecil sebagian besar cukup berobat jalan saja. PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan problem kesehatan di masyarakat.di negara yang sedang berkembang. Demikian juga di Indonesia, terutama di daerah perkotaan, penyakit ini masih menimbulkan berbagai masalah 1,2. Walaupun penyakit ini tidak termasuk dalam 10 penyakit penting sebagai penyakit dengan morbiditas tertinggi
di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Ratna dkk3 , pada survei rumah tangga 1980, demam tifoid menyebabkan kematian sebesar 3,3% dari seluruh kematian di Indonesia. Demam tifoid umumnya menyerang anak yang lebih besar dan dewasa muda. Selain itu gejala yang terberat terdapat pada usia dewasa muda (32% penderita yang dirawat di R.S. Middleton di Singapura adalah pada usia 5 34 tahun)4 . Suatu studi prospektif di suatu daerah berpenduduk 60.000 orang di Jawa Barat mengungkapkan, demam tifoid merupakan penyebab ketiga dari kematian. Suatu data tidak resmis memberi petunjuk, di Jakarta sendiri pada tahun 1981 insidensi demam tifoid diperkirakan sebesar 100.000 pertahun. Akan tetapi semua data-data di atas adalah berdasarkan diagnosa klinik, tanpa ditunjang oleh pemeriksaan laboratoriurn berupa isolasi dari kuman Salmonella dari penderita demam tifoid. Adalah menjadi tujuan penelitian ini untuk membuktikan dan menentukan insidensi sebenarnya penyakit ini di salah satu kecamatan di Jawa Barat, suatu daerah yang semi rural, yang diperkirakan dapat memberi gambaran akan besarnya insidensi penyakit ini di Indonesia. BAHAN DAN CARA Deskripsi daerah penelitian : Daerah penelitian ialah suatu kecamatan yang bersifat semirural yang merupakan dataran rendah, di mana penduduknya sebagian besar adalah petani sawah. Jurnlah penduduk berdasarkan sensus 1980 adalah 62.636 orang. Terdapat 1 buah Puskesmas dan 5 buah Pembantu Puskesmas yang melayani seluruh penduduk dari 12 Desa di Kecamatan tersebut. Selain itu, terdapat sebuah rumah sakit yang melayani Kecamatan tersebut dan kecamatan yang berdekatan.
16
Cara pengumpulan sampel : Sampel dikumpulkan dari setiap penderita demam yang datang di sarana kesehatan yang ada di Kecamatan yang diteliti yang berasal dari Kecamatan tersebut, yaitu Puskesmas, Pembantu Puskesmas dan rumah sakit (Poliklinik dan Ruangan). Selain itu, data dikumpulkan juga dari Balai Pengobatan atau Praktek Dokter yang berada di Kecamatan tersebut. Datadata juga dikumpulkan dari Puskesmas, Sarana Kesehatan Swasta (Balai Pengobatan dan Praktek Dokter) yang. berada di sekitar Kecamatan yang diteliti yang mungkin dikunjungi oleh penderita yang berasal dari Kecamatan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan hanya terhadap mereka yang berasal dari Kecamatan Paseh, yaitu Kecamatan yang diteliti. Yang dimaksud dengan penderita demam, yang merupakan sampel sasaran, ialah mereka yang menderita demam selama 3 hari atau lebih yang datang ke sarana Kesehatan tersebut di atas. Sampel juga diambil dari mereka yang menderita demarn kurang dari 3 hari, bila oleh sesuatu sebab kepadanya harus diberikan antibiotika. Pengambilan sampel : Sampel yang diambil ialah berupa Data Klinis dan anamnestis, dan diikuti pengambilan darah vena. Dari setiap orang diambil 5 ml darah dan langsung dimasukkan dalam 45 ml ox gall 10 %. Darah ox gall yang diambil dari seluruh sarana kesehatan tersebut di atas setiap hari kerja, pada hari yang sama dikumpulkan di rumah sakit dalam inkubator 37C, hingga saat pengirimannya 2x seminggu ke Jakarta untuk isolasi dan identifikasi. Isolasi dan identifikasi dilakukan dengan cara konvensional6 . Lama mengumpulkan data : Lama mengumpulkan data secara intensif dilakukan selama tiga bulan, yang hasilnya diinterpolasikan ke dalam satu tahun. HASIL Selama 3 bulan intensive study telah berhasil diperiksa 1072 orang penduduk Paseh yang menderita demam yang datang di sarana kesehatan di Paseh dan sekitarnya, darimana berhasil diisolasi 56 S. typhi, 7 S. paratyphi A dan 2 Salmonel la Group B. Tabel 1 memperlihatkan angka kesakitan demam tifoid per Desa di Kecamatan Paseh. Tampak bahwa angka kesakitan S. typhi S. paratyphi A dan Salmonella Group B berturutturut adalah sebesar 357,6; 44,7 dan 12,8 per 10s penduduk selama setahun. Juga kelihatan bahwa angka kesakitan- dalam masing-masing desa tidak sama, dan ternyata di desa yang terpadat, yaitu Cipaku memperlihatkan angka yang lebih tinggi. Ternyata S. typhi jauh lebih tinggi dari S. paratyphi A atau Salmonella Group B (Ratio berturut-turut 28 : 3, 5 : 1). Selain itu, tampak bahwa penderita demam tifoid laki-laki (48%) tidak berbeda bermakna dengan penderita perempuan (52%). Angka kesakitan berdasar umur (Age specific morbidity Rate) dari S. typhi (tabel 2) memperlihatkan, morbiditas ter-
tinggi terdapat pada anak umur 10-15 tahun dan 77% dari penderita S. typhi terdapat pada umur 3-20 tahun (Grafik I). Penderita S. typhi yang memerlukan perawatan dan yang berobat jalan adalah 1 banding 6. Sedang mereka yang memerlukan perawatan ada tendensi terdapat pergeseran kepada umur yang lebih tua, artinya penderita anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda mempunyai tendensi untuk dirawat.Tabel 1. Angka Kesakitan (Kasus 100.000 Penduduk/Tahun) Demam Tifoid per Desa yang Diinterpolasikan dari 3 Nilai ke dalam 1 Tahun di Kecamatan Paseh, Jawa Barat. Jumlah Penduduk 7,268 10,538 5,194 5,518 7,523 5,028 5,127 7,979 8,461 62,636 SalmonelGroup B 0,0 38,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 12,8
No. Desa 1. Cipaku 2. Cipedes/ Tanglci mek l 3. Loa 4. Cigentur/Karang tunggal 5. Cijagra/Mekarpawitan 6. Drawati 7. Sindang Sari 8. Sukamantri 9. Sukamanah Jumlah
S. 880,4 417,5 308,4 217,5 53,2 159,1 390,1 100,3 567,3 357,6
S. paratyphi A 55,0 38,0 77,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 141,8 44,7
Tabel 2. Angka Kesakitan Berdasar Umur ("Age Specific Morbidity Rate") S. Typhi yang Diinterpolasikan dari 3 Bulan ke dalam Satu Tahun di Daerah Semi Rural, Paseh, Jawa Barat. Golongan Umur 0 3 5 10 15 20 30 40 50 60 Jumlah Penduduk 4.551 4.521 9.327 7.559 5.858 9.900 7.577 5.805 4.117 3.421 62.636 Kasus S. typhi seisms 3 bulan Angka Kesakitan 100.000 Berobat Rawat jalan Jumlah pen/tahun. 0 0 0 1 3 3 1 0 0 0 8 3 7 14 12 6 5 0 0 0 0 43 3 7 14 13 9 9 1 0 0 0 56 263,3 619,3 600,4 687,9 614,5 363,6 52,8 0,0 0,0 0,0 353,6
Jumlah
Penderita S. paratyphi A (7 kasus) dan Salmonella Group B. (2 kasus) tak satu pun yang dirawat, cukup berobat jalan saja. Berdasarkan profesinya, penderita terbanyak adalah anak sekolah, lalu menyusul golongan anak prasekolah dan Ibu-ibu rumah tangga (tabel 3). Berdasarkan kuesioner yang diajukan, 64% penderita demam tifoid datang ke sarana kesehatan setelah 3 - 5 hari demam. Duapuluh empat persen dari mereka itu datang setelah 6 had sakit atau lebih. Alasan mereka terlambat datang
17
Grafik I. Angka Kesakitan Berdasarkan Umur ("Age Specific Morbidity Rate") Penderita S. Typhi di Paseh, Jawa Barat.
Tabel 3. Kasus Demam Tifoid Berdasarkan Profesi (Pekerjaan), Paseh, Jawa Barat.No.
Pekerjaan Pelajar Anak (Prasekolah) Ibu Rumah BuruhGuru
S.
typhi%
S.paratyphi A% 14,3 85,7 0 0 0 0 0 0 100
Salmonella Group B % 0 100,0 0 0 0 0 0 0 100
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
61,7 25,5 6,3 2,1 2,1 2,1 0 0 100
rate) terhadap kuman penyebab demam tifoid. Oleh karena itu angka morbiditas sebenarnya di lapangan diperkirakan lebih tinggi daripada 357,6 per 105 penduduk pertahun. Angka ini akan lebih tinggi lagi bila sampel yang diambil itu adalah sumsum tulang, karena daya isolasi terhadap S. typhi hampir 100% bila yang diperiksa itu sumsum tulang, sedang darah ox-gall hanya memberi daya isolasi sebesar 6070%9. Penelitian di Kompleks Pertamina Plaju, di mana fasilitas laboratorium bakteriologi sangat baik memberi angka morbiditas jauh lebih besar (670 per 105 penduduk pertahun). Dari kedua angka di atas, yang tentu saja belum merupakan angka morbiditas untuk seluruh Indonesia, tapi kedua angka tersebut paling sedikit memberi gambaran pada kita bahwa morbiditas demam tifoid di masyarakat ternyata cukup tinggi di Indonsia, jika dibandingkan dengan negara - negara lain. Vulnerable Group penderita tersebut ternyata adalah di sekitar umur 320 tahun, dengan puncaknya pada umur 1015 tahun. Hal ini mungkin disebabkan berbagai faktor, antara lain bahwa golongan umur tersebut sering jajan makanan di luar rumah. Juga diperkirakan, golongan ini mulai kehilangan daya imunitas yang diperolehnya dari ibunya, yang kemudian dengan bertambahnya umur, ekspos alami mengembalikan daya imunitasnya, sehingga morbiditas pada umur dewasa yang lebih tua menjadi turun.
Petani Dagang Pegawai/ABRI Jumlah
KEPUSTAKAAN1. 2. 3. 4. 5. Budiyono M, Soewandoyo E dan Juwono R. Typhus abdominalis dengan Penyakit Perdarahan Usus yang Massif. Maj. Kedokteran Indonesia 1986; 36 (4): 17983. Iskandar Z. Typhus abdominalis di R.S. Persahabatan, Jakarta. Naskah Lengkap Kopandi HI, Bandung, 1975. Ratna L. Budiarso, Putrali J dan Muchtaruddin. Survei Kesehatan Rumah tangga 1980. Penyunting Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan' Dep.Kes. R.I, 1975. Goh KT. Epidemiological Surveillance of Communicable Diseases in Singapore Ed. SEAMIC, Tokyo 1983, 5688. Panjabi NH, Hoffman SL, Rockill RC, Muchtar A, Sutomo A dan Sukri N. Isolasi S. typhi dan S. paratyphi dari penderita-penderita demam enterik. Pengalaman mengenai effektifitas pembiakan aspirasi sumsum tulang, kultur darah tunggal dan usapan rektal: Mikrobiologi di Indonesia Proseeding Kongres Nasional Mikrobiologi III, Jakarta, 2628 November 1981; hal 5053. Edwards PR dan Ewing WH. Identification of Enterrobacterceae. Terbitan III Burgers Publishing Company Minneapolis Minnesota 55415;1972. Wandan MH, Serie C, Cerisier Y, Sallam S and Germanier R. A controlled field trial of live Salmonella typhi strain Ty 21 a oral vaccine against Typhoid: Three year results. J Inf Dis 1982; 145: 292-5. Levine MM, Black RE, Ferrecio C, Clements ML, Lanata C, Rooney J and Germanier R. The efficacy of attenuated Salmonella typhi oral vaccine strain Ty 21 a evaluated in controlled field trials Development of Vaccines and Drugs against Diarrhe. Eds Jan Holmgren ALf Linberg Roland Millby. 11th Nobel conference, Stockholm 1985;90101.
ialah obati sendiri dulu, berobat dulu ke mantri atau dukun atau tak ada biaya. PEMBAHASAN Angka morbiditas S. typhi (357,6 per 10s penduduk pertahun merupakan angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan di negara-negara lain. Angka ini hampir 3 x lebih besar dari angka morbiditas (4450 per 10 5 anak-anak sekolah pertahun) di Alexandria Mesir 7, dan 23 kali lebih besar dari angka morbiditas (141,7210,9 per 10 5 penduduk) di a Santiago Chili . Mengingat bahwa indentifikasi dan isolasi dilakukan tidak di tempat penelitian, melainkan darah-ox gal yang diambil di lapangan dari penderita demam dikumpulkan sementara di rumah sakit di daerah penelitian dan pengiriman ke Jakarta dilakukan hanya 2 x seminggu. Mekanisme pemeriksaan ini diperkirakan akan menurunkan daya isolasi (isolation
6. 7. 8.
18
Uji Coba Vaksin Oral Ty 21 A Salmonella Typhi di Kompleks Pertamina, PlajuCyrus H.Simanjuntak*, Fred P. Paleologo**, Narain H.Punjabi**, Soeprawoto***, RuwidoDarmowigoto****, Ratna L. Budiarso*, David .Edman***) Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta **) NAMR U 2, Jakarta ***) Biro Kesehatan Pertamina, Jakarta ****) Kesehatan Pertamina, Plaju/Palembang
ABSTRAK Vaksin-parenteral Salmonella typhi yang dimatikan, yang selama ini dipakai untuk pencegahan penyakit demam tifoid, selain mempunyai daya proteksi yang sedang (4080)%, juga mempunyai gejala samping yang sangat mengganggu. Dengan ditemukannya vaksin-oral yang diperkirakan cukup poten yang terdiri dari strain Ty 21 a S. typhi yang dilemahkan oleh Germanier, timbul suatu harapan yang menggembirakan untuk mencegah penyakit ini, di mana dalam uji coba di masyarakat di Mesir mempunyai daya lindung sebesar 96%. Sehubungan dengan itu, dalam rangka uji coba di masyarakat, telah dilakukan pemberian vaksin-oral Ty 21 a S. typhi kepada penduduk yang terdiri dari karyawan Pertamina dan keluarganya di Plaju, untuk menilai daya lindungnya secara double blind controlled trial. Telah divaksinasi sebanyak 22.001 orang penduduk, di mana 20.543 orang mendapat 3 dosis, 927 orang dengan 2 dosis dan 531 orang dengan 1 dosis. Dari jumlah tersebut, 11.025 orang mendapat vaksin dalam bentuk kapsul enterik berlapis, di mana vaksin sebenarnya dan plasebo dalam jumlah berimbang (5526 dan/atau 5499); dan 10.476 orang mendapat vaksin dalam bentuk bubuk yang diencerkan dengan buffer sitrat (liquid formulation) di mana vaksin sebenarnya dan plasebo juga dalam jumlah yang berimbang (5508 dan/atau 5468). Follow-up ada tidaknya S. typhi dilakukan selama 3 tahun di dalam masyarakat yang divaksinasi. Walaupun demikian, dalam waktu 4 bulan setelah vaksinasi, telah terlihat adanya penurunan penderita S. typhi, di mana dari 25 kasus pada bulan Oktober 1986 menjadi 13 dan 17 kasus secara berturutturut pada bulan Nopember dan Desember 1986 di daerah vaksinasi. PENDAHULUAN Demam tifoid hingga saat ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di negara yang sedang berkembang. Demikian juga di Indonesia, terutama di kota-kota besar, penyakit ini masih menimbulkan berbagai masalah''2. Walaupun penyakit ini tidak termasuk dalam 10 penyakit penting sebagai penyakit dengan morbiditas tertinggi di Indonesia pada survai rumah tangga tahun 19803, akan tetapi demam tifoid merupakan penyebab kematian sebesar 3,3% dari se-
luruh kematian di Indonsia. Hingga sekarang vaksin yang dipergunakan untuk demam tifoid ialah vaksin parenteral, yang merupakan seluruh sel Salmonella typhi yang dimatikan dengan aseton atau yang dipanasi dengan phenol sebagai bahan pengawet. Vaksin parenteral ini memberi daya perlindungan yang bervariasi di berbagai negara. Uji coba lapangan di dua tempat, yaitu Polandia dan Jugoslavia4,5 memberi perlindungan sebesar 5186%, dan di pulau Tonga6 memberi perlindungan yang kira-kira sama besarnya. Vaksin ini, yang diberikan secara parenteral menimbulkan gejala samping berupa demam dan badan lesu secara sistemik, dan rasa sakit, indurasi dan kemerahan di tempat suntikan (lokal). Walaupun daya lindungnya cukup besar, akan tetapi timbulnya gejala samping yang sangat tidak menyenangkan, maka pemakaian vaksin ini akhir-akhir ini kurang popular, bahkan pemakaiannya di Indonsia secara nasional tidak dianjurkan. Oleh Germanier dan Fuhrer7, telah ditemukan suatu vaksin oral yang cukup poten, yang berasal dari strain S. typhi yang dilemahkan, Ty 21 a. Vaksin oral ini, pada studi pendahuluan terhadap sukarelawan di Amerika Utara, memberi perlindungan yang sangat bermakna tanpa adanya gejala sampingan seperti yang terdapat pada vaksin parenteral (kuman yang dimatikan)8 . Selain itu, uji coba di lapangan di Alexandria, Mesir oleh Wandan dkk9, vaksin oral yang baru ditemukan itu memberi daya prlindungan sebesar 95% untuk masa paling sedikit 3 tahun. Menyusul uji coba di Mesir, oleh Levine dkk10, telah pula dilakukan uji coba di lapangan di Santiago, Chili. Hasilnya sungguh di luar dugaan, karena memberi daya perlindungan yang berbeda dengan uji coba di Mesir. Uji coba di Chili memberi perlindungan hanya sebesar 54 62%. Apa yang menyebabkan perbedaan ini sulit untuk dijawab. Yang jelas ialah : 1. Formula yang dipergunakan di Mesir tak dapat diulangi lagi, karena menurut Germanier penemunya strain tersebut tak dapat diproduksi lagi. 2. Vaksin yang dipakai di Mesir berupa kapsul gelatin yang ditelan 10 menit sesudah mengunyah tablet Natriumbikarbont untuk menetralisir asam lambung. Pemberian cara ini menyebabkan pemakaiannya secara masal kurang praktis. 3. Vaksin yang dipakai di Chili berupa kapsul enterik berlapis
19
sehingga sangat praktis untuk penggunaan massal. 4. Group kontrol pada uji coba di Mesir ternyata mempunyai insidensi yang sangat rendah (4450 per 105), dan jauh di bawah insidensi di daerah endemis pada umumnya, sehingga sulit untuk diterapkan di daerah dengan endemis sedang dan berat yang daya infeksinya cukup besar. Berhubung karena hal-hal yang disebutkan di atas, dilakukanlah uji coba lapangan di masyarakat di Kompleks Pertamina Plaju, yang insidensinya 12 14 kali lebih besar dari Mesir dan 3 5 kali lebih besar dari Chili. BAHAN DAN CARA Vaksin yang dipakai merupakan galactose epimerase (Gal E) yaitu suatu mutant S. typhi Ty 21 a yang dibuat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk kapsul enterik berlapis dan bentuk bubuk (sachet). Tiap kapsul atau tiap bungkus bubuk berisi 1 3 x 109 kuman Ty 21 a S. typhi. Plasebo kapsul dan Plasebo bubuk terdiri dari 109 kuman Lactobacillus acidophylus yang sudah dimatikan. Vaksin plasebo bubuk, diencerkan dulu dengan buffer sitrat sebelum diminum. Seperti biasanya vaksin oral, cold chain dari vaksin selalu harus dijaga di bawah 8C. Untuk menghindari air yang diklorinasi, air yang dipakai pada waktu meminum atau mengencerkan vaksin, ialah aqua. Target vaksinasi Yang menjadi sasaran vaksinasi ialah Karyawan Pertamina dan keluarganya yang berumur 344 tahun. Mereka dibagi dalam 4 kelompok sama besar secara acak, masing-masing kelompok akan mendapat vaksin kapsul, vaksin bubuk, Plasebo kapsul dan Plasebo bubuk secara seimbang. Masing-masing kelompok disebut dengan kode A, D, C dan E. Dosis vaksin Setiap orang, dewasa atau anak-anak akan mendapat 3 dosis vaksin dengan selang waktu satu minggu. Kode vaksin Oleh karena vaksin terdiri dari vaksin sebenarnya dan plasebo, maka untuk kapsul diberi kode A dan D dan untuk bubuk diberi kode C dan E, sedang kunci mana yang vaksin dan mana yang plasebo dipegang oleh WHO. Setelah 2 tahun follow up, kunci ini baru dapat dibuka. Masing-masing kelompok vaksinee diberikan vaksin (sebenarnya atau plasebo) dengan kode yang sesuai. Pemberian vaksin Vaksin diberikan langsung ditelan/diminum di tempat vaksinasi. Suatu pemberian vaksin dianggap gagal apabila, vaksinee tidak dapat menelan kapsul atau gagal meminum paling sedikit h dari bubuk yang sudah diencerkan dengan buffer atau memuntahkan vaksin dalam waktu 20 menit setelah vaksinasi. Bila ada yang gagal meminumkan vaksin kapsul, dicoba menggantinya dengan vaksin bubuk yang kode vaksinnya diundi secara acak. Demikian juga halnya bila ada yang gagal dengan vaksin bubuk penggantian dilakukan secara acak dengan vaksin kapsul pengganti. Penggantian vaksin hanya berlaku pada kesempatan dosis pertama dan orang yang vaksinnya diganti akan mendapat vaksin pengganti tersebut hingga 3 kali vaksinasi.
HASIL Telah berhasil divaksinasi 22.001 orang Karyawan Pertamina Plaju dan Keluarganya, di man 20.543 orang berhasil mendapat 3 dosis, 927 orang dengan 2 dosis dan 531 orang dengan 1 dosis saja (tabel 1). Tabel 2 memperlihatkan jumlah vaksinee yang mendapat vaksin berbentuk kapsul dan bubuk. Beberapa anak terutama anak balita yang dengan acak kebetulan mendapat vaksin dalam bentuk kapsul tak dapat menelannya dan terpaksa diganti dengan vaksin bentuk bubuk secara acak. Sebaliknya orang dewasa banyak yang tak mampu minum vaksin yang bubuk dan muntah, terpaksa diganti dengan vaksin kapsul. Ada 78 orang (0,35%) dari 22.001 orang yang divaksinasi mengalami penggantian jenis vaksin yang diberikan (tabel 3). Sedang yang langsung gagal menelan/meminum vaksin dari seluruhnya ada 11 (0,05%) orang. Tak ada ditemukan gejala samping yang berarti selama vaksinasi; hanya ditemukan ada 2 orang anak yang menderita urtikaria. Selama 4 bulan setelah vaksinasi, tampak penurunan yang cukup berarti (Tabel 4) kasus S. typhi dan juga S. paratyphi A dari penduduk yang telah divaksinasi, walaupun hasil daya proteksi dari vaksin bard dapat ditetapkan setelah kode vaksin dibuka, 2 tahun setelah vaksinasi. PEMBAHASAN Vaksin parenteral demam tifoid seperti vaksin Typa atau Chotypa, sebenarnya sudah memberi daya perlindungan yang cukup lumayan4'5'6 , akan tetapi vaksin ini memberi gejala sampingan yang sangat mengganggu. Selain itu, pemberian vaksinnya memerlukan persiapan dan peralatan suntik serta harus diberikan oleh tenaga medis atau paramedis. Vaksin oral dari sel S. typhi yang dimatikan. telah pula dicoba dipergunakan. Akan tetapi walaupun vaksin ini tidak memberi gejala samping, vaksin ini tidak dapat dipergunakan karena tidak memberi daya perlindungan yang memadaill : Oleh karena itu vaksin oral hidup yang dilemahkan dari strain Ty 21 a penemuan Prof. Germanier almarhum7, merupakan jalan keluar sebagai usaha untuk memberantas penyakit demam tifoid melalui imunisasi. Hasil uji coba lapangan di Mesir yang memberi daya perlindungan yang meyakinkan9 sangat menggembirakan. Sayang, selain tidak layak dipakai secara besar-besaran di masyarakat, vaksin ini tidak dapat diproduksi secara besar-besaran pula (Germanier, hubungan pribadi). Uji coba di lapangan di Santiago . Chili, yang mempergunakan vaksin dalam bentuk kapsi enterik berlapis memberi basil yang berbeda dengan di Mesir, walaupun kandungan kuman per dosis kira-kira sama, yakni 18 x 109 di Mesir dan 15 x 109 di Chili. Walaupun penilaian daya lindung dari vaksin ini baru dapat ditetapkan setelah analisa data dari 2 tahun follow up, penderita demam tifoid di daerah vaksinasi, setelah vaksinasi, akan tetapi grafik 1 telah memperlihatkan adanya penurunan S. typhi yang berarti, 4 bulan setelah vaksinasi. Hal ini merupakan suatu petunjuk adanya daya perlindungan dari vaksin ini di daerah dengan insidensi S. typhi yang cukup tinggi. Pada tahun 1985 insidensi S. typhi di Kompleks Pertamina Plaju adalah 670 per 10s penduduk, yang berarti 1214 kali lebih tinggi dari di Mesir (4450/10s) dan 35 kali lebih tinggi dari di Chili (141,9210,9 per 105). Uji coba di Chili memperlihatkan bahwa dosis 3 kali telah
20
Tabel 1. Penduduk Pertamina, Plaju yang divaksinasi oral dengan Ty 21 A S. typhi, Tahun 1986. Dosis Vaksin 1 2 3 Jumlah A Jumlah 115 202 5.209 5.526 % 2,08 3,66 94,26 100,0 Jenis / Golongan Vaksin D C Jumlah % Jumlah % 124 253 5.122 2,25 4,60 93,15 128 234 5.146 2,32 2,25 93,43 E Jumlah 164 238 5.066 5.468 Jumlah % lumlah % 2,40 4,20 93,40 100,0
3,00 531 4,35 927 92,65 20.543 100,0 22.001
5.499 100,0
5.508 100,0
Tabel 2. Penduduk Pertamina Plaju, yang mendapat Vaksin Oral dalam Bentuk Kapsul atau Bubuk Dosis Vaksin 1 2 3 Kapsul enteric berlapis A 115 202 5.209 5.526 D 124 253 5.122 5.499 Jumlah 239 455 10.331 11.025 C 128 234 5.146 5.508 Bubuk E 164 238 5.066 5.468 Jumlah 292 472 10.212 10.976
Kasus demam tifoid (S.typhi dan S.paratyphi A) di kompleks Pertamina Plaju 1982 s/d 1984
Tabel 3. Vaksin yang diganti dari Jenis yang Satu ke Jenis lainnya, Pertamina Plaju, 1986Vaksinyang
Vaksin pengganti
A 2 8 10
D 5 9 14
C 10 8 18
E 14 22 36
Jumlah 24 30 7 17 78 1982 TAHUN 2. 1983 1984 1985 1986
A D C F. Jumlah
Tabel 4. Pemeriksaan Darah yang Positif terhadap Salmonella dari Kasus-kasus Demam yang berobat ke R.S. Pertamina Plaju, 22 September 31 Desember 1986 Bulan 22-31 Sept. 1986 Oct. 1986 Nov. 1986 Des. 1986 Total Jumlah Diperiksa 71 203 227 272 773 Positif untuk Salmonella S. typhi (%) S. paratyphi A (%) Group C 9 (12,6) 23 (11,3) 17 ( 7,5) 18 ( 6,6) 67 ( 8,6) 13 (18,3) 6 (2,9) 4 ( 1,7) 4 ( 1,5) 27 ( 3,5) 0 1 0 0 1
cukup untuk memberi perlindungan untuk paling sedikit selama 33 bulan. Selain itu, jarak 2 hari antara pemberian dosis memberi perlindungan yang sama dengan jarak 21 hari antara dosis. Selain itu ditemukan pula adanya kros-proteksi sebesar 39% dari 2 dosis Ty 21 a terhadap S. parathypi B. Sedangkan dalam uji coba di Plaju terlihat adanya tanda-tanda adanya kros-proteksi terhadap S. paratyphi A.KEPUSTAKAAN 1. Iskandar Z. Typhus abdominalis di R.S. Persahabatan, Jakarta. Naskah lengkap KOPADMI III, Bandung, 1975.
Budiyono M, Soewandojo E dan Juwono R. Typhus abdominalis dengan penyulit Pendarahan Usus yang Massif. Maj Kedoktr Indon 1986; 36 (4): 17983. 3. Ratna L. Budiarso, Putrali J dan Muchtaruddin. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Penyunting: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep.Kes. R.I. 1985. 4. Hejfec LB, Salmin LV, Lejtman MZ, Kuzminova ML, Vasileva AV Lev ina LA , B e ncianov a TG , Pav l o b a E A a n d A n t o n o v a A A . A controlled field trial and laboratory study of live typhoid vaccine in the USSR. Bull WHO 1966; 34: 3219. 5. Yugoslav Typhoid commission. A controlled field trial of the effectiveness of aceton-dried and inactivated and heat-phenolinactivated typhoid vaccines in Jugoslavia. Bull WHO 1964; 30: 62330. 6. Tapa S and Cvjetanovic B. Controlled field trial on the effectiveness of one and two doses of acetone-inactivated and dried typhoid vaccine. Bull WHO 1972; 52: 7580. 7. Germanier R and Furer E. Isolation and Characterization of Gal E mutant Ty 21 a of Salmonella typhi: A candidate strain fo r a live, o ral typho id v accine. J Inf Dis 1975 ; 131 : 553 8 . 8. Gilman RH, Hornick RB, Woodward WE, Du Pont HL, Snyder MJ, Levine MM and Libonati JP. Immunity in typhoid fever evaluation of Ty 21 a, an epimeraseless mutant of S. typhi as a live oral vaccine. J Inf Dis 1977; 136: 71723. 9. W a n d a n M H , S e r i e C , C e ris ie r Y , Sai la m S a nd Ge r man ie r R A controlled field trial of live Salmonella typhi strain Ty 21 a oral vaccine against Typhoid; Three year results. J Inf Dis 1982; 145: 2925. 10. Levine MM, Black RE, Ferrecio C, Clements ML, Lanata C, Rooney J and Germanier R. The effecacy of attenuated Salmonella typhi oral vaccine strain Ty 21 a evaluated in controlled field trials Development of Vaccines and Drugs against Diarrhea 11th Nobel conference, Stockholm 1985 pages: 90101. Eds Jan Holmgren Alf Lindberg Roland Millby. 11. Chuttani CS, Prakash K, Vergese A, Sharma U, Shingha P, Ghosh Ray B dan Agarwal A. Controlled field trial of oral killed typhoidvaccine in India. Inf J Epidemiol 1972; 1: 3943.
21
Reaksi Kekebalan Anak-anak Sekolah Dasar terhadap Toksoid Difteri 2 LFDyah W Isbagio, Muljati Prijanto, Eko Suprijanto Rini PangastutiPu sat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba vaksin difteri yang lebih murni (vaksin Td 4 Lf/ml) untuk mengetahui tanggap kebal dari vaksin tersebut bila dibandingkan dengan vaksin lama (vaksin DT 40 Lf/ml). Sebagai kelompok kontrol dipergunakan vaksin tetanus (TT). Penelitian dilakukan pada 545 siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Bekasi, berusia antara 78 tahun. Vaksinasi sebanyak 2 dosis @ 0.5 cc diberikan secara intra-muskuler dengan selang waktu 46 minggu. Pengambilan darah vena sebanyak 1 cc dilakukan sebelum dan 23 bulan sesudah vaksinasi, kemudian diukur kadar antitoksin terhadap difteri dengan teknik PHA. Hasil penelitian menunjukkan, kadar antitoksin difteri pada 253 siswa yang menerima vaksin Td meningkat dari 0.0159 HAU/ml menjadi 0.3827 HAU/ml, dengan sero-konversi sebesar 96.3%. Sedangkan kadar antitoksin difteri pada 233 siswa yang menerima vaksin DT meningkat dari 0.0113 HAU/ml menjadi 0.456 HAU/ml, dengan sero-konversi sebesar 95%. Analisa statistik menunjukkan, reaksi kekebalan siswa terhadap toksoid difteri yang lebih murni (vaksin Td) tidak berbeda reaksinya dengan toksoid difteri yang lama (vaksin DT). Dengan didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam kemampuan menimbulkan tanggap kebalnya antara vaksin DT dan Td, maka vaksin yang barn tadi dapat dipergunakan untuk menggantikan vaksin yang lama. PENDAHULUAN Penyakit difteri adalah penyakit akut pada tonsil, faring dan hidung, kadang-kadang pada selaput lendir dan kulit, dengan kuman penyebab penyakit adalah Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini masih inerupakan masalah pada anak-anak sampai umur 14 tahun. Case fatality rate yang
tertinggi terutaina didapatkan pada anak-anak berumur di bawah satu tahun' ,2 Untuk mencegahnya, dalam PPI imunisasi terhadap penyakit difteri dilaksanakan dengan pemberian vaksinasi DPT kepada bayi berumur 314 bulan paling sedikit dua kali, kecuali pada daerah wabah polio diberikan 3 dosis2. WHO menyarankan pemberian booster pada anak usia masuk sekolah, kurang lebih pada umur 5 tahun3 . Menurut data yang didapat dari laporan rumah-sakit mengenai jumlah penderita menurut golongan umur, menunjukkan, kurang lebih 50% dari penderita-penderita difteri yang dirawat terdiri dari kelompok anak usia sekolah. Berdasarkan hal tersebut, dalam Pelita IV ini, vaksinasi DT sebagai booster juga diberikan kepada anak usia sekolah' . Toksoid difteri yang digunakan sekarang yaitu 40 Lf/ml (vaksin DT, dengan kemurnian 1000 Lf/mg N), bila digunakan untuk pencegahan pada anak-anak umur lebih dari tujuh tahun ternyata banyak memberikan reaksi samping karena kurang murninya antigen3 -7. Sehingga pemberian imunisasi tersebut akan dapat menimbulkan hambatan operasionil dalaam PPI. Trinca JC, 19757 bahkan menganjurkan tak usah diberikan pada orang dewasa dan anak di atas tujuh tahun. Walaupun demikian telah diadakan percobaan-percobaan untuk mengurangi efek samping tersebut, tanpa mengganggu potensinya, yaitu dengan cara pemurnian baik pada saat pembuatan toksinnya atau pada waktu pembuatan toksoidnya3,5,6. Pada proses pemurnian antigen tadi, kadang-kadang dapat mengurangi pula sifat antigenisitasnya, yang mungkin disebabkan dnegan hilangnya sejumlah substansi yang mempunyai efek ajuvan3. Kosdarminta A3 telah melakukan percobaan yang berhubungan dengan pembuatan toksoid yang dapat digunakan untuk orang dewasa dengan cara purifikasi toksin difteri untuk mengurangi efek samping, tetapi dapat
22
meningkatkan atau tanpa merubah imunogenisitasnya. WHO menunjukkan kebaikan dan kekurangan dari pemurnian toksin dan setelah toksin ditoksoiding. Tetapi Relyveld EH dkk (1979) menganjurkan bahwa detoksifikasi dari toksin murni lebih baik dari pada toksin yang belum murni. Banyak cara telah dilakukan, tetapi yang berhasil baik untuk persiapan pembuatan vaksin untuk orang dewasa adalah metode dari Relyveld EH & Raynaud (1954) dan Relyveld (1977) 3 . Kosdarminta A3 masih melakukan beberapa perubahan, yaitu pada pembuatan toksoid tahap terakhir purifikasi secara kristalissai diganti dengan proses presipitasi yang berulangulang dan detoksifikasi. Ajuvan yang dipakai adalah formalin dan aluminium fosfat sebagai pengganti glutaraldehida dan kalsium fosfat. kemudian diperoleh vaksin murni, vaksin Td 4 Lf/ml, dengan kemurnian 3000 Lf/mg N, yang telah diuji pada hewan percobaan dan memberikan reaksi kekebalan yang baik. Tetapi dengan Lf yang rendah ini apakah sudah cukup dapat memberikan perlindungan pada anak? Hal ini belum cukup dapat dipergunakan dalam PPI. Karena itu akan dilakukan suatu penelitian apakah dengan Lf yang rendah dn kemurnian yang tinggi, dapatkah dihasilkan reaksi kekebalan yang baik dengan efek samping yang kurang, sehingga dapat menunjang PPl dalam hal penggunaan vaksin yang poten dan aman. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada 3 Pusat Kesehatan Masyarakat : Tambun, Perumnas II dan Karangkitri, Kabupaten Bekasi. Dipilihnya daerah tersebut dengan pertimbangan, daerah ini telah mengikuti PPI, infeksi difteri nya rendah, anak-anak belum pernah mendapat booster toksoid DT, kesediaan daerah setempat, tersedianya staf yang memadai dan partisipasi masyarakat yang baik. Seribu seratus delapan puluh tujuh siswya kelas 1 Sekolah Dasar yang tersebar pada 22 Sekolah Dasar dilibatkan dalam penelitian ini. Siswa tadi dibagi dalam 3 kelompok, masingmasing kelompok menerima : Kelompok Jumlah anak Toksoid Tiap ml toksoid isi: Toksoid tetanus Toksoid difteri Aluminium fosfat ThiomersalI 555 II 510 III122
lakukan berupa rekasi lokal pada tempat suntikan (eritema, indurasi, sakit, nekrosis) dan reaksi umum (panas, pusing, kejang), dapat dilaporkan pada dokter puskesmas setempat, untuk dapat dilakukan pengobatan seperlunya. Spesimen berupa sediaan darah vena sebanyak 1 cc yang diambil pada saat imunisasi pertama dan 23 bulan setelah imunisasi yang ke II. Sediaan darah ditaruh dalam rabung steril, disimpan dalam cool-box, dibawa ke PusLit Penyakit Menular di Jakarta. Pemisahan serumnya dilakukan dengan pemutaran tabung 3000 rpm selama 5 menit. Serum disimpan pada suhu -20C sampai waktu pemeriksaan. Sera yang disimpan pada suhu -20C ini masih dapat diukur titer antitoksinnya terhadap difteri sampai 4 tahun lamanya walaupun telah mengalami proses cair-beku sebanyak 510x tanpa penurunan titernya8. Cara pemeriksaan sera terhadap difteri dilakukan dengan cara hemaglutinasi pasif menurut Kameyama9. Titer 0.01 HAU/ml sera dianggap sebagai batas minimal kadar zat anti protektif. Penghitungan titer antitoksin dari masing-masing kelompok dilakukan secara geometric-mean. Analisa data di