Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

7
Sura & Baya Karya: Oki Feri Juniawan Bila kita menengok sedikit ke belakang, ke masa-masa dimana masih terdapat kerajaan-kerajaan besar yang bertahta di seluruh Indonesia, tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Kuncara yang dipimpin oleh raja agung dan bijaksana bernama Raja Baskara. Kerajaan dengan bangunan-bangunannya yang megah serta pelataran taman-tamannya yang indah, memiliki seorang putri tunggal yang kecantikannya mengalahkan pesona indahnya taman bunga pada musim semi. Dialah Putri Baya. Satu-satunya putri Raja Baskara yang memiliki hati selembut mata yang dipancarkannya, yang dapat membuat semua orang yang menatapnya menjadi terpesona. Namun dibalik kelembutannya, Putri Baya juga suka berlatih pedang dan menunggang kuda. Kerajaan Kuncara merupakan kerajaan yang di segani oleh kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan yang terletak di Jawa Timur ini berbatasan dengan Kerajaan Purbawesa, sebuah kerajaan yang tidak kalah megahnya dan merupakan musuh bebuyutan kerajaan Kuncara. Dua kerajaan tersebut sering berperang, namun karena keduanya sangat kuat dan tangguh, maka tidak ada yang menang dan kalah dalam setiap peperangan tersebut. Hingga pada suatu hari, “Lapor paduka, hamba membawa kabar penting dari mata-mata kita yang sedang bertugas di Kerajaan Purbawesa”, seorang prajurit Kerajaan Kuncara tergesah-gesah memasuki aula kerajaan. “Apa kabar penting itu? Cepat katakan!”, hardik Raja Baskara dengan tidak sabar. “Ampun paduka, saya mendengar kabar, bahwa Kerajaan Purbawesa sedang menyiapkan pasukannya untuk menyerang kerajaan kita”, jawab prajurit tersebut. “Kurang ajar, berani-beraninya mereka menyerang kerajaan kita lagi. Kalau begitu pertahankan daerah perbatasan kita. Perang kali ini kita harus menang. Kita harus menumpas habis mereka semua. Jangan sampai ada yang tersisa. Namun, yang aku herankan, mengapa Kerajaan Purbawesa tiba-tiba hendak menyerang kita? Apa mau mereka? Apa mereka tetap ingin menguasai kerajaan kita yang subur ini?”, geram Raja Baskara. “Ampun paduka, mata- mata kita mengabarkan bahwa Kerajaan Purbawesa ingin membalas perbuatan paduka raja yang telah mengusir dengan kasar dan bahkan hendak menghukum mati putra tunggal dari Raja Cakrabirawa, yakni Raden Sura”. Lapor prajurit tersebut dengan gemetar. “Apa kamu bilang? Anak dari Cakrabirawa? Melihatnya saja aku tidak pernah, apalagi mengusir dan bahkan hendak menghukum mati dia? Apa maksud semua ini?”, Raja Baskara kebingungan akan laporan yang baru ia terima, begitu pula para hadirin yang sedang berada di aula

description

Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa

Transcript of Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

Page 1: Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

Sura & BayaKarya: Oki Feri Juniawan

Bila kita menengok sedikit ke belakang, ke masa-masa dimana masih terdapat kerajaan-kerajaan besar yang bertahta di seluruh Indonesia, tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Kuncara yang dipimpin oleh raja agung dan bijaksana bernama Raja Baskara. Kerajaan dengan bangunan-bangunannya yang megah serta pelataran taman-tamannya yang indah, memiliki seorang putri tunggal yang kecantikannya mengalahkan pesona indahnya taman bunga pada musim semi. Dialah Putri Baya. Satu-satunya putri Raja Baskara yang memiliki hati selembut mata yang dipancarkannya, yang dapat membuat semua orang yang menatapnya menjadi terpesona. Namun dibalik kelembutannya, Putri Baya juga suka berlatih pedang dan menunggang kuda.

Kerajaan Kuncara merupakan kerajaan yang di segani oleh kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan yang terletak di Jawa Timur ini berbatasan dengan Kerajaan Purbawesa, sebuah kerajaan yang tidak kalah megahnya dan merupakan musuh bebuyutan kerajaan Kuncara. Dua kerajaan tersebut sering berperang, namun karena keduanya sangat kuat dan tangguh, maka tidak ada yang menang dan kalah dalam setiap peperangan tersebut. Hingga pada suatu hari, “Lapor paduka, hamba membawa kabar penting dari mata-mata kita yang sedang bertugas di Kerajaan Purbawesa”, seorang prajurit Kerajaan Kuncara tergesah-gesah memasuki aula kerajaan. “Apa kabar penting itu? Cepat katakan!”, hardik Raja Baskara dengan tidak sabar. “Ampun paduka, saya mendengar kabar, bahwa Kerajaan Purbawesa sedang menyiapkan pasukannya untuk menyerang kerajaan kita”, jawab prajurit tersebut. “Kurang ajar, berani-beraninya mereka menyerang kerajaan kita lagi. Kalau begitu pertahankan daerah perbatasan kita. Perang kali ini kita harus menang. Kita harus menumpas habis mereka semua. Jangan sampai ada yang tersisa. Namun, yang aku herankan, mengapa Kerajaan Purbawesa tiba-tiba hendak menyerang kita? Apa mau mereka? Apa mereka tetap ingin menguasai kerajaan kita yang subur ini?”, geram Raja Baskara. “Ampun paduka, mata-mata kita mengabarkan bahwa Kerajaan Purbawesa ingin membalas perbuatan paduka raja yang telah mengusir dengan kasar dan bahkan hendak menghukum mati putra tunggal dari Raja Cakrabirawa, yakni Raden Sura”. Lapor prajurit tersebut dengan gemetar. “Apa kamu bilang? Anak dari Cakrabirawa? Melihatnya saja aku tidak pernah, apalagi mengusir dan bahkan hendak menghukum mati dia? Apa maksud semua ini?”, Raja Baskara kebingungan akan laporan yang baru ia terima, begitu pula para hadirin yang sedang berada di aula tersebut, termasuk Putri Baya yang sedang duduk menyimak seksama laporan prajurit kerajaan. Kemudian prajurit melanjutkan, “Ampun paduka, menurut kabar yang hamba terima, seorang pelatih kuda yang paduka usir waktu itulah anak dari Raja Cakrabirawa, namanya Raden Sura”. Begitu gemparnya kabar tersebut sehingga membuat semua orang di aula terkejut. Dan bahkan Putri Baya yang dikabarkan menjalin hubungan dengan pelatih kudanya yang tak lain adalah Raden Sura jatuh pingsan di atas kursi indahnya.

***

Sementara di Kerajaan Purbawesa, Raja Cakrabirawa sedang sibuk menyiapkan para prajurit perang untuk menyerang Kerajaan Kuncara. Penyerangan akan mereka lakukan esok pagi. Beberapa taktik perang sudah mereka persiapkan. Raja Cakrabirawa yang sombong merasa begitu yakin akan mendapatkan kemenangan dalam pertempuaran kali ini. Sedangkan Raden Sura yang memiliki sifat lemah lembut merasa gundah dan gelisah memikirkan dampak yang akan terjadi akibat pertempuran antara Kerajaaan Purbawesa dan Kerajaan Kuncara kali ini. Dia merasa badai hitam akan meyelimuti peperangan kali ini. Raden Sura merasakn sesuatu yang tidak biasa. Padahal sudah beberepa kali Kerajaan Purbawesa dan Kerajaan Kuncara berperang, namun perasaan gelisah hanya ia rasakan pada peperangan kali ini.

Dengan berat hati, Raden Sura mengutarakan gegelisahannya kepada ayahandanya. “Ayanhanda, tidakkah engkau merasa gelisah dalam peperangan kita kali ini?”. Kemudian Raja Carabirawa menjawab dengan begitu tegas, ”Apa yang membuatku gelisah? Prajurit kita sudah siap

Page 2: Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

untuk berperang, dan kemenanagn kita sudah ada di depan mata. Dan Baskara yang biadap itu akan membalas perbuatannya yang telah lancang mengusir dan bahakan hendak membunuh mati anak kesayangannku, anak dari Penguasa Purbawesa yang tentunya sebentar lagi akan mengusasi Kuncara. Hahaha”. Semakin gelisahlah hati Raden Sura mendengar perkataan ayahandanya. Kemudian ia berkata, ”Tentu kerajaan kita akan menang melawan Kerajaan Kuncara, Ayahanda. Tetapi yang menjadi permasalahnnya sekarang, bukanlah soal kalah dan menang. Tetapi ayahanda perlu ingat, kitalah yang memulai kesalahan ini dengan ayanhanda mengutusku untuk memata-matai kerajaan Kuncara dan menyuruhku untuk mendekati Putri Baya dengan menyamar sebagai pelatih kudanya hanya agar aku bisa memilikinya dan mendapat tahta di Kerajaan Kuncara. Bukankah tidak salah jika Raja Baskara mengusirku, dan bahkan sedikitpun dia tidak bersalah ketika hendak menghukum mati putra kesayanganmu ini karena telah lancang mendektai putri kesayangannya?”. Raja Cakrabirawa geram mendengar penuturan putra kesaynagnya, ia merasa seolah-olah ialah yang salah dal hal ini. Kemudian ia berkata, ”Tau apa kau tentang semua ini. Tidaklah kau malu telah dipermalukan oleh Baskara di hadapan rakyatnya waktu itu. Sebagai seorang pangeran Purbawesa hendaknya kau menyimpan dendam terhadap orang yang telah mempermalukanmu. Sekarag ini yang terpenting bukanlah masalah salah atau benar, tetapi martabat dan kehormatanlah yang harus kita junjung tinggi sebagai bangsawan Purbawesa.” Raja Cakarabirawa melanjutkan, “Persiapkanlah dirimu untuk perang esok pagi, semua prajurit kita telah kupersiapkan dan taktik perang pun sudah matang. Dan kini Sura anakku, persiapkan dirimu untuk membalaskan dendam kita. Karena sekali kau dipermalukan, kerajaan kita termasuk aku pun juga ikut malu”. Tanpa mengurangi hormatnya sebagai seorang anak yang berbakti kepada ayahandanya, Raden Sura mengutarakan maksud hatinya, “Ayahandaku, bukannya aku ingin menolak dan mengingkari perintah ayahanda. Tetapi hatiku merasa menolak untuk ikut bergabung dalam perang kali ini. Aku merasa akan ada badai yang akan menyelimuti peperangan ini. Aku merasa gelisah dan takut. Biarlah aku disini saja menantikan dan mendoa’kan keselamatan Ayahanda”. Raja Cakrabira menjawab dengan tertawa lebar, “Hahaha.. Jika itu maumu anakku, maka tunggulah disini tanpa rasa gelisah sedikitpun. Karena aku yakin, kemengan akan berpihak pada Purbawesa kali ini. Siapkanlah pesta kemenagan dengan meriah. Sambutlah ayahandamu ini sebagai Raja penakluk Kerajaan Kuncara.” Bertambah gelisahlah hati Raden Sura mendengar kata-kata dari ayahandanya. Ia bukan hanya melihat kabut hitam yang akan meyelimuti kedua krajaan yang sedang bersiteru, ia juga melihat adanaya petanda buruk yang akan menimpa dirinya kelak.

***

Pagi berdarah pun tiba. Pertempuran dua kerajaan besar di mulai. Dimana-mana darah mengalir dari ujung pedang dan anak panah. Warnanya yang merah menyala megalahkan nyala merah mentari di pagi hari. Lolongan kesakitan prajurit yang mati terluka menutupi lolongan ayam jago milik para petani, membangunkan tidur bayi dalam dekapan ibu mereka yang sedang ketakutan.

Lolongan kematian pajurit yang menggema terasa pula di dalam batin Putri Baya. Ia yang hanya bisa menanti kedatangan ayahandanya, tidak dapat melakukan apa-apa kecuali berdo’a di dalam kamarnya. Kamar yang biasanya terasa nyaman dan hangat menjadi dingin dan mencekam. Ia merasa cemas dan takut akan keselamtan kerajaan terutama Ayahandanya yang sekarang sedang pergi berperang.

Putri Baya tetap tidak menyangka. Ia merasa, semua ini seperti mimpi. Ia teringat kembali bayang-bayang waktu itu. Ketika ia lalai dalam mengontrol diri sebagai seorang putri sehingga ia jatuh cinta kepada pelatih kudanya dan menjalin hubungannya sembunyi-sembunyi. Ia merasa dibodohi dan ditipu oleh Raden Sura. Ia kesal dan marah pada dirinya sendiri. Mengapa waktu itu ia menghentikan ayahnya untuk menghukum mati Raden Sura. Padahal jelas-jelas Raden Sura adalah anak dari Raja Cakrabirawa, musuh bebuyutan ayahnya. Tetapi cintalah yang membuatnya ia

Page 3: Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

memohon dan merengek pada ayanhnya untuk melepaskan Raden Sura yang pada waktu itu masih tidak ada yang tahu bahwa ia Raden Sura.

Kebenciannya kini pada Raden Sura menjalari hati Putri Baya. Ia kesal padanya karena telah lancang menipu dan mendekatinya. Bahkan saat pertama kali bertemu, Raden Sura telah berani menggoda Putri Baya karena ia terpikat oleh kecantikan Putri Kuncara tersebut. Namun dibalik kebenciannya, Putri Baya masih menyimpan sedikit rasa cinta kepada Raden Sura. Karena pada kenyataannya, Putri Baya memang terpikat dengan godaan yang dilakukan oleh Raden Sura pada saat mereka pertama kali bertemu. Putri Baya pun mulai menyukai kelembutan dan kesabaran Raden Sura ketika ia berlatih berkuda bersamanya. Ia teringat kembali saat-saat ia dan Raden Sura tengah asik bermadu kasih di hamparan padang rumput di belakang istana Kuncara. Mereka berdua sering melakukannya secara tersembunyi. “Alangkah indahnya waktu itu”, gumam Putri Baya. “Tapi cintamu padaku hanya sebatas tipuan saja, Sura. Aku yakin, kau mendekatiku hanya untuk memnafaatkan posisiku sebagai putri tuggal kerajaan ini. Kau melamarku waktu itu, hanya untuk mendapatkan tahta ayahku. Oh.. Betapa bodohnya aku. Tertipu oleh cintamu yang palsu”, terisak Putri Baya mengingatnya.

Kemudian ia teringat kembali kepada ayahandanya. Kekhawatiran pada ayahanda tercintanya belumlah reda. Ia takut ayahandanya tewas dalam peperangan. Ia terus memikikannya. Hingga beberapa jam kemudian ketika langit sore sudah mulai menampakan cahayanya, datanglah seorang prajurit pembawa pesan. Ia berlari-lari memasuki aula kerajaan dengan berlumuran darah. “Ampun paduka Putri, hamba hendak melaporkan pesan dari Raja Baskara untuk tuan Putri”. Mendengar ayahandanya mengirimkan pesan kepadanya, Putri Baya terlonjak gembira. “Ayahanda mengirimkanku pesan padaku? Bararti ia selamat? Kerajaan kita menang?”. Tanya Putri Baya dengan tidak sabar. “Ampun paduka putri, Paduka Raja Baskara selamat dalam perang, tetapi kerajaan kita belum sepenuhnya menang”. Kebingungan Putri Baya mendengar hal tersebut. “Apa maksudmu? Cepat jelaskan!”. Gertak Putri Baya dengan tidak sabar. “Ampun paduka putri, Paduka Raja Baskara memang telah mengalahkan Raja Cakrabirawa dengan berhasil membunuhnya. Tetapi Raja Baskara berkata pada kami semua bahwa ini bukanlah kemenangan seutuhnya, karena kemenagan yang seseungguhnya ialah dengan terbunuhnya Raden Sura, orang yang telah berani mendekati putri. Oleh karena itu Paduka Raja Baskara berpesan pada Tuan Putri agar tetap berdiam diri di istana sampai Raden Sura terbunuh dan kita semua pulang membawa kemenagan yang sesunggunya”.

Putri Baya terdiam setelah mendengar penuturan parajuritnya. Ia bepikir sejenak. Kemudian dengan tegas ia berkata, “Bawa aku ke medan perang”. Terkejutlah prajurit tersebut.”Ampun Paduka Putri, bukankah perintah Paduka Raja Baskara sudah jelas agar Paduka Putri tetAp berdiam di istana sampai perang ini uasai”. Putri Baya menjawab, “Aku ingin melihat sendiri bagaimana ayahandaku menumpas habis Sura. Dan jika memang nanti ayahandakulah yang akan tewas di tangan Sura, maka hanya akulah yang kemudian berhak menbunuh Sura”. Ujar Putri Baya dengan tegas sambil menahan air matanya.

Maka berangkatlah Putri Baya ke medan peperangan dengan menunggangi kuda kesayanagnnya. Detak jantungnya semkain menjadi-jadi selama di perjalanan. Dan ketika ia sampai, betapa terkejutnya ia melihat banyak sekali korban perang yang begelimpanagan di hadapanya. Ia melihat dari kejauhan ayahandanya sedang berduel dengan orang yang ia kenal, Raden Sura. Rupanya Raden Sura tidak tahan ketika mendengar kabar akan kematian ayahandanya. Niat untuk tidak mengukuti peperangan sudah tidak lagi ia indahkan. Yang ia pikiran sekarang adalah keselamatan kerajaannya.

Mereka berduel berjam-jam lamanya. Keduanya masing-masing sangat tangkas dalam berperang. Walaupun tubuh Raden Sura lebih kecil daripada Raja Baskara, ia tetap dapat menangkis serangan-serangan mematikan yang diluncurkan Raja Baskara. Semangat juang Raden Sura dan rasa sayangnya kepada ayahandanya yang kini sudah jadi mayat menjadikannya tidak henti-

Page 4: Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

hentinya terus meyerang Raja Baskara dengan pedangnya. Sedangkan Raja Baskara yang sudah kelelahan akibat seharian berperang mulai kewalaha menagkis serangan Raden Sura. Lama-kelamaan Raja Baskara kehabisan energi, dan ia pun dapat dipojokan oleh Raden Sura. Dan akhirnya pedang yang dari tadi masih bersih mengkilap mulai berlumuran oleh darah Raja Baskara. Dengan sangat gagah berani Raden Sura menusukkan pedangnya tepat di perut Raja Baskara. Lolongan kematian keluar dari mulut Raja Baskara. Sejenak semua orang terdiam hening. Pasukan Kerajaan Purbawesa menatap denga takjub peristiwa yang baru saja terjadi. Sedaangkan pasukan Kerajaan Kuncara berdiri lemas. Pedang dan panah mereka mulai jatuh lemas ke tanah.

Raden Sura tersenyum puas. Sedangkan dari kejauhan Putri Baya menjerit histeris, ia berlari ke tempat ayahandanya terbaring mati. Ia kemudian memeluk tubuh yang kini sudah menjadi mayat. Menangis ia di atas mayat ayahandanya. Raden Sura terpaku melihat Putri Baya menangis. Rasa penyesalan mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia tak mampu brkata-kata. Ia hanya bisa bergumam, “Baya? Kau kah itu?”. Putri Baya kemudian menghentikan tangisannya, ia berdiri menatap Raden Sura. ”Sudah puaskah kau setelah membunuh ayahandaku? Sudah tuntaskah niatmu untuk menguasai kerajaanku?”. Putri Baya tidak kuat menahan kemarahannya. “Kau orang yang keji Sura, setelah kau berhasil menipuku dengan cintamu yang palsu, sekarang kau membunuh orang yang begitu akau sayangi, dan sebentar lagi kau bahkan akan menguasai kerajaan yang aku cintai. Sungguh kau orang yang keji”. Raden Sura menatap Putri Baya dan berkata. “Tiada maksud aku untuk menguasai kerajaanmu Baya. Awalnya aku mendapat titah dari ayahku untuk menjadi mata-mata di kerajaanmu, kemudian ayahku juga memberiku tugas untuk mendekatimu, tapi itu semua bukan kehendakku, itu semua bukan kemauanku, tapi sebagai seorang anak yang berbakti aku harus melakukannya walaupun dengan berat hati”. Tetap dengan menatap Putri Baya, Raden Sura melanjutkan. “Tetapi, setelah melihat dan mengenalmu Baya, aku mulai memutuskan untuk mengakui semuanya pada waktu itu. Aku ingin kau tau bahwa cintaku tulus padamu. Tetapi kau tau sendiri hubungan kita terbongkar sebelum aku sempat menjelaskan kebenaran hatiku kepadamu. Maafkan aku Baya, telah menipumu waktu itu. Aku telah menyamar dan telah mencintaimu sebagai seorang pelatih kudamu, bukan sebagai diriku sendiri. Maafkan aku Baya. Tapi aku tulus mencintaimu”. Mendengar semua itu, Putri Baya semakin geram. “Begitu? Itukah cintamu padaku Sura? Kau bohong. Kau mencitaikau tetapi kau telah tega membunuh ayhandaku. Itukah bentuk cintamu padaku?”. Air mata mulai menetes kembali di mata Puri Baya. Kemudian berkatalah Raden Sura “Aku menyesal Baya, maafkan aku. Aku rela melakukan apapun untuk menebus semua ini”. Putri Baya kemudian membalasnya dengan menahan amarahnya, “Baik. Jika kau berkata sepeti itu, apakah kau juga rela mati seperti ayahku? Apa kau rela mati ditanganku, Sura?”. Kemudian suasana menjadi hening. Tak lama setelahnya Raden Sura berkata lirih “Lakukan, Baya!”

Putri Baya mengambil pedang yang tertancap di perut ayahandanya, dan menusukannya kepada perut Raden Sura. Raden Sura hanya diam tanpa melawan. Ia rela dibunuh oleh Putri Baya. Dan sebelum ia benar-benar mati, ia berbisik pada Putri Baya, “Maafkan aku Baya. Aku mencintaimu”. Kata-kata tersebut menjadi kata-kata terakhir Raden Sura. Kemudian ia hembuskan nafas terakhirnya. Pergi menyusul ayahandanya.

Kembali Putri Baya menangis. Kali ini tangisanya semakin menjadi-jadi. Ia telah kehilangan ayah tercintanya. Dan sekarang di hadapanya, terbaring pula orang yang begitu mencintainya. Orang yang tulus menintai Putri Baya sehingga ia rela mati di tangannya.

“Oh.. Gusti. Mengapa begini? Apa yang harus kulakukan?”. Seru Putri Baya diantara keheningan. Para prajurit Kuncara dan Purbawesa hanya bisa terdiam menyaksikan kejadian di hadapan mereka. Kemudian Putri Baya kembali menatap tubuh Raden Sura yang sudah tidak bernyawa. Air matanya terus mengalir tanpa henti membasahi pipinya yang merona. Ia tak kuasa menghadapi semua ini. Ia berkata dengan lantang. “Sura, kau sudah membuktikan cintamu padaku dengan rela menghakhiri nyawamu di tanganku. Sekarang giliranku untuk membuktikan bahwa akupun masih cinta padamu”. Kemudian ia cabut pedang yang terancap di perut Raden Sura. Dan ia

Page 5: Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)

hunuskan pedang tersebut ke dalam perutnya sendiri. Jerit kesakitannya mengalahkan jeritan histeris prajurit di sekitaranya. Darahpun mengucur deras keluar dari perutnya. Dan Matilah ia diatas mayat Raden Sura.

Maka orang-orang menyebut medan pertempuran yang menewaskan Raden Sura dan Putri Baya dengan nama Surabaya.