Cholesystitis Fix

57
i KEPERAWATAN ENDOKRIN II ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CHOLECYSTITIS DISUSUN OLEH: KELOMPOK IV KELAS AJ2/B17 Zun Nur’ainy 131411123044 C. Ketut Subiyanto 131411123045 Hasanah Eka W. 131411123048 Nur Maziyya 131411123050 Siwi Sabdasih 131411123052 Diyah Hita M. 131411123054 Dessy Era P. 131411123056 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014

description

materi fix

Transcript of Cholesystitis Fix

Page 1: Cholesystitis Fix

i

KEPERAWATAN ENDOKRIN II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CHOLECYSTITIS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK IV

KELAS AJ2/B17

Zun Nur’ainy 131411123044

C. Ketut Subiyanto 131411123045

Hasanah Eka W. 131411123048

Nur Maziyya 131411123050

Siwi Sabdasih 131411123052

Diyah Hita M. 131411123054

Dessy Era P. 131411123056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2014

Page 2: Cholesystitis Fix

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan

makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Asuhan

Keperawatan pada Klien dengan Cholecystitis.

Makalah ini berisikan tentang konsep penyakit cholecystitis dan asuhan

keperawatan pada klien dengan cholecystitis dari berbagai sumber, yang berguna

sebagai informasi bagi pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami

harapkan demi kesempurnaan makalah kami.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga

Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Surabaya, Oktober 2014

Penyusun

Page 3: Cholesystitis Fix

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................... iv

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 2

C. Tujuan .................................................................................... 2

D. Manfaat .................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Kandung Empedu

1. Anatomi ........................................................................... 3

2. Fisiologi ........................................................................... 4

B. Konsep Penyakit

1. Pengertian ........................................................................ 9

2. Faktor Pencetus ................................................................ 9

3. Penyebab ........................................................................ 10

4. Klasifikasi ........................................................................ 11

5. Patofisiologi ..................................................................... 12

6. Tanda dan Gejala.............................................................. 13

7. Pemeriksaan Penunjang ................................................... 14

8. Penatalaksanaan .............................................................. 16

9. Komplikasi ....................................................................... 22

10. Prognosis ........................................................................ 23

C. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cholecystitis

1. Pengkajian ...................................................................... 24

2. Diagnosa Keperawatan..................................................... 25

3. Perencanaan...................................................................... 26

4. Implementasi .................................................................... 35

5. Evaluasi ........................................................................... 35

D. Asuhan Keperawatan Post Operatif Klien dengan Cholecystitis

1. Pengkajian ........................................................................ 35

Page 4: Cholesystitis Fix

iii

2. Diagnosa Keperawatan..................................................... 36

3. Perencanaan...................................................................... 36

4. Implementasi .................................................................... 38

5. Evaluasi ........................................................................... 38

BAB III WOC CHOLECYSTITIS ................................................... 39

BAB IV TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian Keperawatan ........................................................ 42

B. Diagnosa Keperawatan .......................................................... 46

C. Intervensi Keperawatan .......................................................... 47

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan ............................................................................ 50

B. Saran .................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 51

Page 5: Cholesystitis Fix

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Sistem Saluran Empedu di dalam dan di luar

Hepar ............................................................................... 4

Page 6: Cholesystitis Fix

v

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa:

Kami mempunyai kopi dari makalah ini yang bisa kami reproduksi jika makalah

yang dikumpulkan hilang atau rusak.

Makalah ini adalah hasil karya kami sendiri dan bukan merupakan karya orang

lain kecuali yang telah dituliskan dalam referensi, serta tidak ada seorangpun yang

membuatkan makalah ini untuk kami.

Jika dikemudian hari terbukti adanya ketidakjujuran akademik, kami bersedia

mendapatkan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Surabaya, 20 Oktober 2014

Nama NIM Tanda tangan mahasiswa

Zun Nur’ainy 131411123044 1.

C. Ketut Subiyanto 131411123045 2.

Hasanah Eka W. 131411123048 3.

Nur Maziyya 131411123050 4.

Siwi Sabdasih 131411123052 5.

Diyah Hita Mariyati 131411123054 6.

Dessy Era P. 131411123056 7.

Page 7: Cholesystitis Fix

i

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Beberapa kelainan mempengaruhi sistem bilier dan mempengaruhi

drainase empedu yang normal ke dalam duodenum. Penyakit kandung empedu

merupakan kelainan pada sistem bilier, kelainan ini mencakup karsinoma,

infeksi serta batu pada kandung empedu. Cholecystitis adalah radang kandung

empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung empedu (Noer,

2007). Pada kelainan bilier tidak semua kejadian infeksi pada kandung empedu

(cholecystitis) berhubungan dengan batu empedu (cholelithiasis) namun lebih

dari 90% penderita kolesistitis akut menderita batu empedu.

Berdasarkan literatur barat, pasien batu empedu ternyata sangat banyak.

Misalnya, di negara Amerika Serikat, sekitar 12% penduduk dewasa atau

sekitar 20 juta jiwa menderita batu empedu. Dari jumlah tersebut, pasien

wanita lebih banyak dibadingkan pria. Setiap tahun, 1 juta pasien batu empedu

baru ditemukan. Setiap tahun, 500.000 pasien batu empedu menjalani operasi

pengangkatan batu empedu (kolesistektomi laparoskopi), dengan total biaya

sekitar 4 triliun dollar (Suharjo, 2009).

Di Eropa dan Amerika utara, angka kejadian batu empedu 15%. Di

Inggris, berdasarkan penelitian menggunakan ultrasonografi, dilaporkan ada

6,9-8% populasi dewasa yang menderita batu empedu. Hal ini berarti ada 4,1

juta pasien batu empedu. Jumlah pasien batu empedu di Indonesia belum

diketahui karena belum ada studi tentang hal tersebut (Suharjo, 2009).

Kolesistektomi adalah tindakan pilihan untuk pasien dengan batu

empedu multipel/besar karena berulangnya pembentukan batu secara

simtomatologi akut atau mencegah berulangnya pembentukan batu. Pendekatan

lain yaitu dengan kolesistektomi dini. Keadaan umum diperbaiki dan sepsis

diatasi dengan pemberian antibiotik seperti yang dilakukan pada pengobatan

konservatif, sambil memastikan diagnosis memperbaiki keadaan umum, dan

mengatasi penyakit penyerta seperti pankreatitis. Setelah 24-48 jam, keadaan

penderita umumnya lebih baik dan infeksi telah dapat diatasi. Tindakan bedah

1

Page 8: Cholesystitis Fix

2

dini yang dapat dilakukan dalam 72 jam pertama perawatan ini memberikan

keuntungan karena mempersingkat masa rawat di rumah sakit sampai 5-7 hari,

dan mempersingkat masa sakit sekitar 30 hari (Sjamsuhidajat, 2011).

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah konsep penyakit cholecystitis dan asuhan keperawatan pada

klien dengan cholecystitis?

C. TUJUAN

1. Tujuan umum

Mengidentifikasi konsep cholecystitis dan asuhan keperawatan

yang dapat diterapkan pada kasus cholecystitis.

2. Tujuan khusus

a. Menjelaskan anatomi fisiologi kandung empedu

b. Menjelaskan pengertian cholecystitis

c. Menjelaskan faktor risiko cholecystitis

d. Menjelaskan etiologi cholecystitis

e. Menjelaskan klasifikasi cholecystitis

f. Menjelaskan patofisiologi cholecystitis

g. Menjelaskan manifestasi klinik cholecystitis

h. Menjelaskan pemeriksaan penunjang cholecystitis

i. Menjelaskan penatalaksanaan cholecystitis

j. Menjelaskan komplikasi cholecystitis

k. Menjelaskan prognosis cholecystitis

l. Menjelaskan Web Of Cautation (WOC) cholecystitis

m. Menjelaskan pengkajian keperawatan pada kasus cholecystitis

n. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada kasus cholecystitis

o. Menjelaskan intervensi pada kasus cholecystitis

D. MANFAAT

1. Mahasiswa memahami konsep dan proses asuhan keperawatan pada klien

cholecystitis dengan sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah.

2. Mahasiswa mengetahui proses asuhan keperawatan cholecystitis yang benar

sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.

Page 9: Cholesystitis Fix

i

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU

1. Anatomi

Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat

dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus

umumnya menonjol sedikit ke luar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan,

di tepi lateral m. Rektus abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan

tertanam di dalam jaringan hati. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh

peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi

ke permukaan hati oleh lapisan peritonium. Apabila kandung empedu

mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum

menonjol seperti kantong yang disebut kantong hartmann (Sjamsuhidajat,

2011).

Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm.

Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup

spiral heister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam

kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya (Sjamsuhidajat, 2011).

Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum

hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas

bawahnya distal papilla vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik

berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanilikulus empedu yang

meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus

lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hillus (Sjamsuhidajat,

2011).

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-

4 cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung

pada letak muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang

duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum

membentuk papilla vater yang terletak di sebelah medial dinding

duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang

mengatur aliran empedu kedalam duodenum. Duktus pankreatikus

3

Page 10: Cholesystitis Fix

4

umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus koledokus di

dalam papilla vater, tetapi juga dapat terpisah. Sering ditemukan variasi

anatomi kandung empedu, saluran empedu, dan pembuluh arteri yang

memperdarahi kandung empedu dan hati. Variasi yang kadang ditemukan

dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli bedah untuk

menghindari komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera pada

duktus hepatikus atau duktus koledokus (Sjamsuhidajat, 2011).

Gambar 1. Anatomi Sistem Saluran Empedu di dalam dan di luar Hepar

(Cahyono, 2009).

2. Fisiologi

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 mL

perhari. Di luar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam

kandung empedu, dan disini mengalami pemekatan sekitar 50%

(Sjamsuhidajat, 2011).

Pengaliran cairan empedu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu

sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter

koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-

alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu

berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke dalam duodenum.

Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara

intermitten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan

sfingter (Sjamsuhidajat, 2011).

Page 11: Cholesystitis Fix

5

Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD (amine precursor uptake

and decarboxylation cells) dari selaput lendir usus halus, dikeluarkan atas

rangsangan makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus.

Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung

empedu. Dengan demikian, CCK berperan besar terhadap terjadinya

kontraksi kandung empedu setelah makan (Sjamsuhidajat, 2011).

a. Fisiologi produksi empedu

Sebagai bahan sekresi, empedu mempunyai tiga fungsi

utama. Yang pertama, garam empedu, fosfolipid dan kolesterol

beragregasi di dalam empedu untuk membentuk micelles campuran.

Dengan emulsifikasi, komple micelles ini memungkinkan absorpsi

lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K) yang ada di

dalam usus. Absorpsi mineral tertentu (kalsium, tembaga, besi) juga

dipermudah. Kedua, empedu bertindak sebagai vehikel untuk ekskresi

usus bagi banyak senyawa yang dihasilkan secara endogen dan

eksogen (seperti bilirubin). Ketiga, sebagian dengan menetralisi asam

lambung, empedu membantu mempertahankan lingkungan alkali yang

tepat di dalam duodenum, yang dengan adanya garam empedu,

memungkinkan aktivitas maksimum enzim pencernaan sesudah

makan (Sabiston, 2012).

Normalnya hepatosit dan saluran empedu menghasilkan 500-

1500 ml empedu tiap harinya. Produksi empedu merupakan proses

kontinyu yang hanya sebagian menjadi sasaran regulasi saraf, hormon

dan humoral. Masukan (input) vagus bekerja langsung pada sel

saluran empedu untuk meningkatkan seksresi air dan elektrolit,

sedangkan aktivitas simpatis splanknikus cenderung menghambat

produksi empedusecara tidak langsung dengan menurunkan aliran

darah ke hati. Hormon gastrointestinal kolesistokinin (CCK), sekretin

dan gastrin memperkuat sekresi duktus dan aliran empedu dalam

respon terhadap makanan. Garam empedu sendiri bertindak sebagai

koleretik kuat selama masa sirkulasi enterohepatik yang dinaikkan

(Sabiston, 2012).

Page 12: Cholesystitis Fix

6

Sekresi aktif garam empedu oleh hepatosit merupakan faktor

utama yang meregulasi volume empedu yang disekresi. Air dan

elektrolit mengikuti secara pasif sepanjang perbedaan osmolar untuk

mempertahankan netralitas. Ekskresi lesitin dan kolesterol ke dalam

kanalikuli untuk membentuk micelles campuran, sulit dipahami dan

bisa digabung dengan sekresi garam empedu melintasi membrana

kanalikulus. Sistem transpor aktif terpisah dan berbeda menimbulkan

sekresi bilirubin dan anion organik lain. Sel duktulus meningkatkan

sekresi empedu dengan memompakan natrium dan bikarbonat ke

dalam lumen (Sabiston, 2012).

Empedu dieksresi secara kontinyu oleh hati kedalam saluran

empedu. Selama puasa, kontraksi tonik sfingter oddi menyebabkan

empedu refluks kedalam vesika biliaris, tempat dimana empedu

disimpan dan dipekatkan. Disini garam empedu, pigmen empedu dan

kolesterol dipekatkan sebanyak sepuluh kali lipat oleh absorpsi air dan

elektrolt. Sekitar 50% kumpulan garam empedu dalam vesika biliaris

selam puasa. Tunika mukosa vesika biliaris juga mensekresi mukus

yang bisa melakukan fungsi perlindungan. Dengan makan, CCK

dilepaskan oleh lemak dan dalam jumlah kecil oleh asam amino yang

memasuki duodenum; CCK merangsang kontraksi vesika biliaris dan

relaksasi sfingter oddi. Bila tekanan dalam duktus koledokus melebihi

tahanan mekanisme sfingter (15 sampai 20 cm H2O), maka empedu

memasuki lumen duodenum. Masukan (input) vagus memudahkan

memudahkan tonus dan kontraksi vesika biliaris; setelah vagotomi,

bila timbul stasis relatif dan merupakan predisposisi pembentukan

batu empedu. Setelah kolesistektomi, aliran empedu ke dalam

duodenum diregulasi hanya oleh sfingter (Sabiston, 2012).

b. Komposisi Empedu

Menurut Sabiston (2012), empedu merupakan larutan

kompleks dalam air yang mengandung elektrolit, garam empedu

terkonjugasi, fosfolipid (terutama lesitin), kolesterol, asam lemak,

Page 13: Cholesystitis Fix

7

musin, protein serta berbagai metabolit hati dan pigmen empedu.

Kandungan elektrolit dan osmolaritas empedu mendekati plasma.

1) Metabolisme garam empedu/sirkulasi enterohepatik

Garam empedu terdiri dari inti steroid yang disintesis langsung

dari kolesterol. Dua garam empedu primer, kolat dan

kenodeoksikolat, disintesis oleh hepatosit di bawah kendali

umpan balik yang belum dipahami. Garam empedu sekunder,

deoksikolat dan litokolat dibentuk di dalam kolon oleh degradasi

bakteri atas garam empedu primer yang lolos reabsorpsi di dalam

ileum. Litokolat diekskresi ke dalam feses, tetapi deoksikolat

direabsorpsi ke dalam darah porta dan bersama dengan garam

empedu primer yang direabsorpsi, diekstraksi oleh hepatosit.

Garam empedu ini dikonjugasikan dengan glisin atau taurin dan

disekresi secara aktif ke dalam kanalikuli biliaris sebagai 40%

kolat, 40% kenodeoksikolat dan 20% deoksikolat dalam

konsentrasi total 10 sampai 20 mol. Karean mempunyai daerah

hidrofilik dan hidrofobik, maka garam empedu berfungsi sebagai

deterjen. Garam empedu beragregasi spontan dalam kelompok 8

sampai 10 molekul untuk membentuk micelles. Inti hidrofobik

dalam melarutkan lesitin yang sulit larut dalam air, yang dengan

sendirinya lebih memperkuat kelarutan kolesterol dengan

memperluas daerah hidrofobik micelles. Kompleks garam

empedu-lesitin-kolesterol ini dinamakan micelles campuran.

Garam empedu dipekatkan lebih lanjut di dalam vesika biliaris

sampai 200-300 mol. Jumlah total kolesterol yang dilarutkan

bervariasi sesuai rasio relatif garam empedu dan lesitin maupun

konsentrasi garam empedu total.

Setelah memasuki usus halus bagian atas, micelle campuran ini

jelas mempotensiasi absorpsi lemak dengan memberikan vehikel

dan lingkungan yang sesuai bagi pelarutan, hidrolisis enzimatik

dan absorpsi. Sirkulasi enterohepatik garam empedu dilengkapi

bila garam empedu didekonjugasi secara enterik, direabsorpsi

Page 14: Cholesystitis Fix

8

dalam ileum terminalis oleh sistem transpor aktif dan akhirnya

diekstraksi dari sirkulasi porta oleh hepatosit. Lima persen garam

empedu yang lolos reabsorpsi di dalam ileum diubah menjadi

garam empedu sekunder di dalam kolon serta direabsropsi

sebagian sebagai deoksikolat. Kumpulan garam empedu total 2,5

sampai 5 g bersirkulasi enam sampai delapan kali sehari; 10

sampai 20% kumpulan total yang hilang bersama feses setiap

hari, diganti oleh sintesis baru oleh hati.

2) Lipid Empedu

Lesitin dan kolesterol membentuk sebagian besar lipid

empedu. Lesitin merupakan fosfolipid yang sebagian besar tak

larut air. Kolesterol disintesis oleh hati dan diabsorpsi oleh traktus

gastrointestinal, dan selain itu digunakan juga dalam lintasan

intrasel lain, diubah menjadi garam empedu atau diekskresi

langsung ke dalam empedu. Micelles garam empedu jelas

meningkatkan kelarutan lipid ini di dalam empedu. Tetapi

mekanisme transpor lipid intrasel ini ke dalam empedu belum

dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam empedu

melintasi membrana kanalikuli. Di dalam usus, lesitin dihdrolisis

menjadi kolin dan asam lemak. Kolesterol direabsorpsi ke dalam

sirkulasi enterohepatik dan bertindak sebagai mekanisme umpan

balik dalam kendali sintesis kolesterol di dalam hati.

c. Metabolisme bilirubin

Karena eritrosit yang sudah tidak berguna lagi didegradasi di

dalam sistem retikuloendotelial, maka hemoglobin dilepaskan dan

diubah menjadi biliverdin. Pigmen ini direduksi menjadi bilirubin

yang tak larut air yang tak terkonjugasi (bilirubin indirect yang diukur

dengan reaksi van den bergh), diangkut ke dalam darah dan terikat

pada albumin, diekstraksi oleh hepatosit. Di dalam sitoplasma,

bilirubin diangkut oleh protein Y dan Z ke retikulum endoplasma.

Dengan adanya glukoronil transferase, bilirubin dikonjugasikan

dengan asam glukoronat dan dalam jumla lebih sedikit dengan sulfat,

Page 15: Cholesystitis Fix

9

untuk membentuk bilirubin glukoronida dan bilirubin sulfat. Bilirubin

terkonjugasi yang larut dalam air ini (bilirubin direct) kemudian

disekresi ke dalam kanalikuli biliaris melalui mekanisme transpor

aktif yang sama dengan yang dimiliki oleh garam organik lain, tetapi

berbeda dari sekresi garam empedu. Beban bilirubin harian bagi

sekresi sekitar 30 mg. Di dalam usus, bakteri usus mengubah bilirubin

ke kelas senyawa yang dikenal sebagai urobilinogen. Urobilinogen ini

terutama diekskresikan di dalam feses, tetapi sebagian di reabsorpsi

dan di ekstraksi oleh hepatosit untuk memasuki sirkulasi enterohepatik

atau diekskresikan di dalam urin (Sabiston, 2012).

B. KONSEP PENYAKIT

1. Pengertian

Cholecystitis akut adalah peradangan akut pada dinding kandung

empedu yang terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu empedu

(Batticaca, 2009).

Cholecystitis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung

empedu, biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada

duktus kistik, menyebabkan distensi kandung empedu. Batu-batu (kalkuli)

dibuat oleh kolesterol, kalsium, bilirubin, atau campuran, disebabkan oleh

perubahan pada komposisi empedu (Doengoes, 2000).

Cholecystitis, yang merupakan keadaan inflamasi akut atau kronis

dengan menimbulkan distensi kandung empedu yang nyeri, biasanya

disertai batu empedu yang terjepit dalam duktus sistikus (Kowalak, 2011).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

Cholecystitis merupakan peradangan pada kandung empedu baik akut

maupun kronis yang sebagian besar terjadi karena batu empedu.

2. Faktor Pencetus

a. Kalkulus

Batu empedu dapat disebabkan oleh:

1) Jenis kelamin perempuan (Female). Perempuan lebih cenderung

untuk mengembangkan batu empedu kolesterol daripada laki-laki

Page 16: Cholesystitis Fix

10

khususnya pada masa reproduksi. Peningkatan batu empedu

disebabkan oleh faktor esterogen-progesteron sehingga

meningkatkan sekresi kolesterol bilier.

2) Peningkatan usia yakni lebih dari 40 tahun (Fourty). Peningkatan

usia baik pada pria dan wanita, keduanya meningkatkan risiko

terbentuknya batu pada kandung empedu.

3) Obesitas (Fatty). Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme

umum, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan

hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol

hepatika dan merupakan faktor risiko utama untuk pengembangan

batu empedu kolesterol.

4) Kehamilan (Fertile). Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi

pada wanita yang mengalami kehamilan multiple. Hal yang

dianggap sebagai faktor utama adalah peningkatan progesteron

pada saat kehamilan tinggi. Progesteron mengurangi kontraktilitas

kandung empedu, menyebabkan retensi berkepanjangan dan

konsentrasi lebih besar empedu di kandung empedu.

(Muttaqin, 2011)

b. Akalkulus

Menurut Sjamsuhidajat (2011), faktor risiko terjadinya cholecystitis

akalkulosa adalah:

1) Nutrisi intravena jangka panjang.

2) Pengosongan lambung yang memanjang (dipuasakan lama).

3) Dismotilitas kandung empedu.

4) Sepsis

5) Trauma multiple

3. Penyebab

a. Peradangan mekanis akibat tekanan intralumen dengan regangan yang

menimbulkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu.

b. Peradangan kimiawi akibat pelepasan lisolesitin (akibat kerja

fosfolipase pada lesitin dalam empedu) dan faktor jaringan lokal

lainnya.

Page 17: Cholesystitis Fix

11

c. Peradangan bakteri yang mungkin berperan pada 50%-85% klien

cholecystitis akut.

4. Klasifikasi

a. Cholecystitis akut

1) Cholecystitis kalkulus

Menurut Sjamsuhidajat (2011), hampir semua cholecystitis

akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak

di dalam kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada 5%

penderita kolelitiasis. cholecystitis akut tanpa batu empedu disebut

cholecystitis akalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah.

Pada cholecystitis akut, faktor trauma mukosa kandung

empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang

mengubah lesitin di dalam empedu menjadi lisolesitin, yaitu

senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal

penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian

dapat menjadi supurasi.

Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah

obstruksi dapat hilang sendiri atau tidak, derajat infeksi sekunder,

usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat keadaan seperti

Diabetes Mellitus.

2) Cholecystitis akalkulosa

Lebih kurang 5-10% cholecystitis akut terjadi tanpa batu.

Kelainan ini sering dijumpai pada penderita sakit berat yang sedang

dirawat karena trauma multiple, pascabedah besar, sepsis,

keracunan obat, dan gagal organ multiple. Penyebab lain ialah

penderita yang dipuasakan lama dan dirawat dengan nutrisi

intravena. Pada penderita biasanya timbul stasis empedu yang

kemudian menjadi lumpur empedu. Lumpur empedu yang terdiri

atas endapan kalsium bilirubinat agaknya ikut berperan untuk

menimbulkan cholecystitis akalkulus. Penyebab lain mungkin

invasi kuman secara primer, misalnya oleh Salmonella typhi, E.

Coli, dan Clostridium. Gangguan aliran darah melalui arteri sistika,

Page 18: Cholesystitis Fix

12

serta obstruksi duktus sistikus karena penyebab lain agaknya ikut

berperan dalam menimbulkan kolesistitis akalkulus (Sjamsuhidajat,

2011).

b. Cholecystitis kronik

Cholecystitis kronik merupakan kelainan kandung empedu

yang paling sering ditemukan. Penyebabnya hampir selalu batu

empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosis adalah kolik

bilier, dispepsia dan ditemukannya batu kandung empedu pada

pemeriksaan USG. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan berat,

seperti gorengan, yang mengandung banyak lemak, tetapi didapat juga

timbul setelah makan berbagai jenis kol. Kolik bilier yang khas

dirasakan di perut kanan atas dan nyeri alih ke titik Boas.

5. Patofisiologi

Pada cholecystitis akut, inflamasi dinding kandung empedu

biasanya terjadi setelah terdapat batu empedu yang terjepit di dalam duktus

sistikus. Pada cholecystitis akut, darah yang mengalir ke kantung empedu

mungkin menjadi terganggu yang pada gilirannya akan menyebabkan

permasalahan dengan pengisian dan pengosongan normal pada kantung

empedu. Batu bisa menghalangi saluran pipa cystic yang akan

mengakibatkan empedu menjadi terjerat didalam kantung empedu karena

radang di sekitar batu di dalam saluran pipa. Kalau aliran empedu

tersumbat, kandung empedu akan mengalami inflamasi dan distensi.

Empedu biasanya steril, tetapi dalam kondisi yang tidak biasa (misalnya di

dalam striktur bilier) bisa terkolonisasi bakteri. Pertumbuhan bakteri,

biasanya E. coli, bisa turut menimbulkan inflamasi. Edema kandung

empedu (dan kadang-kadang duktus sistikus) akan menyumbat aliran

empedu dan keadaan ini menimbulkan iritasi kimia pada kandung

empedu.Mekanisme kompensasinya adalah dengan darah yang mengalir

ke area radang akan diperkecil, melokalisir edema berkembang, kantung

empedu menggelembungkan karena empedu tertahan, dan perubahan

ischemic akan terjadi di dalam dinding kantung empedu. Sel-sel dalam

dinding kandung empedu dapat kekurangan oksigen dan mati ketika organ

Page 19: Cholesystitis Fix

13

mengalami distensi tersebut menekan pembuluh darah dan mengganggu

aliran darah. Sel-sel yang mati akan mengelupas sehingga kandung

empedu melekat pada struktur di sekitarnya (Batticaca, 2009).

Cholecystitis kronis terjadi ketika peristiwa kemacetan saluran pipa

cystic, yang umumnya karena batu. Ada radang kronis. Kantung empedu

sering kontraksi, yang menyebabkan permasalahan pada penyimpanan dan

gerakan empedu. Pasien dapat terjangkit penyakit kuning karena

tertekannya empedu atau penyakit kuning yang bersifat menghalangi.

Mereka akan memperlihatkan suatu warna kekuning-kuningan keselaput

lendir dan kulit. Jika pasien mempunyai suatu pewarnaan yang gelap pada

kulit mereka, periksa telapak tangan dan kaki. Icterus adalah perubahan

warna kuning yang terlihat diselaput putih mata (Batticaca, 2009).

6. Tanda dan Gejala

Menurut Batticaca (2009), tanda dan gejala yang dapat timbul

pada pasien dengan kolesistitis antara lain:

a. Perut atas, epigastric, atau sakit abdominal kanan atas yang dapat

menyebar ke punggung dan skapula kanan. Rasa sakit pada Right

Upper Quadrant (RUQ) meningkat dengan palpasi abdomen kanan

atas selama inspirasi (tanda Murphy) menyebabkan pasien berhenti

mengambil napas panjang. Nyeri bersifat kolik atau terus-menerus

disertai tanda rangsangan peritoneal berupa nyeri tekan, nyeri lepas

dan defans muskuler otot perut.

b. Mual dan muntah, terutama setelah makan makanan berlemak (pada

kolesistitis yang menyertai kolelitiasis).

c. Selera makan hilang.

d. Demam (38-38,5°C). Apabila timbul demam dan menggigil, harus

dicurigai komplikasi yang lebih berat atau penyakit lain.

e. Udara bertambah pada saluran usus (bersendawa, kentut).

f. Kulit gatal-gatal karena terbentuknya garam empedu.

g. Feses berwarna tanah liat karena kurangnya sterkobilin di dalam usus

(biasanya dikonversi dari bilirubin yang telah diblok dengan aliran

empedu).

Page 20: Cholesystitis Fix

14

h. Penyakit kuning-kulit berwarna kekuningan dan membran mukosa

berubah warna.

i. Icterus ringan-perubahan warna menjadi kekuningan pada sklera

(putih mata).

j. Urin berwarna gelap dan berbusa karena ginjal berusaha

membersihkan bilirubin.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doengoes (2012), pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan pada pasien dengan cholecystitis adalah:

a. Pemeriksaan laboratorium

1) Jumlah leukosit meningkat atau dalam batas normal. Apabila

jumlah leukosit melebihi 15.000 harus dicurigai komplikasi yang

lebih berat.

2) Kadar bilirubin meningkat sedang, mungkin karena sindrom

Mirizzi atau penjalaran radang ke duktus koledokus.

3) Fosfatase alkali sering kali mengalami kenaikan sedang, begitu

juga dengan kadar amilase darah.

b. Ultrasonografi

Dapat memperlihatkan gambaran batu di dalam kandung empedu.

Ultrasonografi juga dapat memperlihatkan gangren dengan gambaran

destruksi dinding dan nanah atau cairan sekitar kandung empedu pada

komplikasi abses perikolesistitis. Apabila secara klinis sulit

menentukan punktum maksimum nyeri dengan palpasi, terutama pada

kolesistitis gangren, dengan ultrasonografi sangat membantu.

c. Foto polos abdomen

Kandung empedu yang membesar serta dinding dan jaringan sekitar

yang mengalami peradangan, sering terlihat pada foto polos abdomen

sebagai bayangan massa jaringan lunak lonjong yang menekan

dinding kolon transversum yang berisi udara.

d. Kolangiopankreografi retrograd endoskopik

Memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledikus

melalui duodenum.

Page 21: Cholesystitis Fix

15

e. Kolangiografi transhepatik perkutaneus

Pembedaan gambaran dengan fluoroskopi antara penyakit kandung

empedu dan kandung pankreas (bila ikterik ada)

f. Kolesistogram (untuk kolesistitis kronis) menyatakan batu pada sistem

empedu. CATATAN : kontraindikasi pada cholecystitis karena pasien

terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut.

g. CT Scan

Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu,

dan membedakan antara ikterik obstruktif/non obstruktif

h. Scan hati dengan zat radioaktif (Sintigram radionuklir hepatobilier)

Menunjukkan obstruksi percabangan bilier.

Nursing Consideration

Menurut Smeltzer (2002), intervensi yang dapat dilakukan

perawat dalam pemeriksaan diagnostik adalah:

1. Memuasakan pasien pada malam hari sebelum dilakukan pemeriksaan

USG. Karena prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat

jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung

empedu dalam keadaan distensi.

2. Pada pasien yang akan dilakukan tindakan kolesistografi, harus

ditanyakan kepada pasien apakah ia mempunyai riwayat alergi terhadap

yodium atau makanan laut. Jika tidak ada riwayat alergi, pasien

mendapat preparat kontras oral pada malam hari sebelum pemeriksaan

radiografi dilakukan.

3. Sebelum tindakan ERCP, kepada pasien dijelaskan tentang prosedur

pemeriksaan dan peranan pasien dalam pemeriksaan tersebut karena

ERCP memerlukan kerjasama pasien untuk memungkinkan insersi

endoskop tanpa merusak struktur traktus gastrointestinal yang

mencakup percabangan bilier. Preparat sedatif diberikan sesaat sebelum

pemeriksaan dilakukan. Selaama pemeriksaan ERCP, perawat harus

memantau cairan infus yang diberikan, memberikan obta-obatan dan

mengatur posisi pasien.

Page 22: Cholesystitis Fix

16

4. Setelah pemeriksaan selesai dikerjakan, pasien harus diobservasi tanda-

tanda vitalnya.

8. Penatalaksanaan

Menurut Sjamsuhidajat (2011) terapi untuk kolesistitis akut berupa:

a. Penatalaksanaan pendukung dan diet

1) Tirah baring

2) Puasa, jika terjadi distensi abdomen.

3) Pemasangan pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung bila ada

ileus.

4) Pemberian nutrisi intravena untuk mengatasi dehidrasi dan gangguan

elektrolit serta pemenuhan kebutuhan nutrisi

5) Pemberian antibiotik atau antimikroba

Terapi antibiotik intravena biasanya diindikasikan pada pasien

dengan kolesistitis akut berat, meskipun superinfeksi empedu oleh

bakteri mungkin belum terjadi pada tahap-tahap awal proses

peradangan. Terapi antibiotik disesuaikan dengan organisme yang

paling besar kemungkinannya ditemukan, yaitu E. Colli, Klebsiella

spp., dan Streptococcus spp. Antibiotik yang efektif mencakup

ureidopenisilin, misalnya piperasilin atau mezlosilin, ampicilin,

sulbaktam, siprofloxacin dan moksifloksasin (Longo dan Fauci,

2014).

Penisillin dan kotrimoksasol sama-sama disekresi dalam

empedu namun sepertiga bakteri koliform empedu ini resisten

terhadap ampisillin. Sefotaksim (golongan sefalosforin generasi

ketiga) merupakan antibiotik terkini serta metronidazole (jika

dicurigai cholecystitis gangrenosa atau emfimatosa) akan mencakup

organisme yang paling sering (Ruben Stein, 2003).

Imipenem/meropenem merupakan antibiotik parenteral poten

yang mencakup keseluruhan spektrum bakteri penyebab kolangitis

asendens. Namun seyogyanya dicadangkan untuk untuk infeksi yang

paling parah yang mengancam nyawa (Longo dan Fauci, 2014).

Page 23: Cholesystitis Fix

17

6) Pemberian analgesik

Obat antiinflamasi non steroid (NSID) biasanya diberikan untuk

analgesia karena obat-obat ini tidak terlalu menimbulkan spasme

pada sfingter Oddi dibandingkan dengan obat seperti morfin (Longo

dan Fauci, 2014).

7) Diet

Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut,

biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak.

Menurut Almadzier (2006), tujuan diet penyakit hati dan

kandung empedu adalah untuk mencapai dan mempertahankan status

gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan cara:

a) Meningkatkan regenerasi jaringan hati dan mencegah kerusakan

lebih lanjut dan/atau meningkatkan fungsi jaringan hati yang

tersisa.

b) Mencegah katabolisme.

c) Mencegah penurunan berat badan dan atau meningkatkan berat

badan bila kurang.

d) Mencegah atau mengurangi ascites, varises esopagus dan portal.

Syarat diet:

a) Energi tinggi, untuk mencegah pemecahan protein, yang

diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan pasien yaitu 40-

45kkal/KgBB.

b) Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total, dalam

bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi. Bila pasien

mengalami steatorea, gunakan lemak dengan asam lemak rantai

sedang. Pemberian lemak sebanyak 45gr dapat mempertahankan

fungsi imun dan proses sintesis lemak.

c) Protein agak tinggi, yaitu 1,25-1,5 g/kgBB agar terjadi

anabolisme protein.

d) Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat defisiensi.

e) Bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual.

Page 24: Cholesystitis Fix

18

Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada

pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan

berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan (Smeltzer,

2012).

b. Pemberian pelarut batu empedu (Cholecystitis Kalkuli)

Asam ursodeoksilat (urdafalk) dan kenodeoksikolat

(chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu

radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.

Asam ursodeoksilat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang

menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dalam dosis kecil

untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah

menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga

terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada, dapat dikurangi

besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah

pembentukannya. Pada banyak pasien diperlukan terapi selama 6-12

bulan untuk melarutkan batu empedu dan selama terapi, keadaan pasien

dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien; cara

terapi ini umumnya dilakukan pada pasien yang menolak pembedahan

atau yang dianggap terlalu berisiko untuk menjalani pembedahan.

Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20 hingga

50% pasien sesudah terapi dihentikan; dengan demikian, pemberian

obat ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah

kekambuhan (Smeltzer, 2002).

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan

1) Pelarutan batu empedu

Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu

empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin

atau metil tertier butil eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu.

Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini:

a) Melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke

dalam kandung empedu;

Page 25: Cholesystitis Fix

19

b) Melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T-

tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat

pembedahan;

c) Melalui endoskop ERCP (Endoscopic Retrograde

Choledochopancreaticographic);

d) Kateter bilier transnasal;

Kateter dimasukkan melalui mulut dan diinsersikan ke

dalam duktus koledokus. Ujung proksimal kateter tersebut

kemudian dipindahkan dari mulut ke hidung dan dibiarkan pada

tempat tersebut. Cara ini memungkinkan pasien untuk tetap

makan dan minum secara normal sementara pelintasan batu dan

pemasukkan bahan kimia untuk melarutkan batu melalui infus

terus dipantau. Metode pelarutan batu ini tidak banyak

dilakukan pada pasien-pasien batu empedu (Smeltzer, 2002).

2) Pengangkatan nonbedah

a) Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya

disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistula yang terbentuk

pada saat insersi T-tube; jaring digunakan untuk memegang dan

menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus

(Smeltzer, 2002).

b) Penggunaan endoskop ERCP

Sesudah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat

endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus

koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut

mukosa atau papila dari sfingter Oddi sehingga mulut sfingter

tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu

yang terjepit untuk bergerak dengan spontan ke dalam

duodenum. Alat lain yang dilengkapi jaring dan balon kecil pada

ujungnya dapat dimasukkan melalui endoskop untuk

mengeluarkan batu empedu (Smeltzer, 2002).

Page 26: Cholesystitis Fix

20

c) ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)

Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang

yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu

atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu

tersebut menjadi sejumlah fragmen. Setelah batu dipecah secara

bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung

empedu dan duktus koledokus dan dikeluarkaan melalui

endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu

yang diberikan peroral (Smeltzer, 2002).

Nursing Consideration

Meskipun komplikasi sesudah tindakan jarang terjadi, namun

kondisi pasien harus diobeservasi dengan ketat untuk mengamati

kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi atau pankreatitis.

Persiapan pemulangan pasien dan perawatan sendiri di rumah harus

sudah diberikan karena pasien segera pulang. Penyuluhan atau

konseling mencakup pemberian informasi tentang gejala yang harus

dilaporkan. Penggunaan asam ursodeoksilat sesudah prosedur

dilaksanakan akan meningkatkan efektivitas terapi dan mencegah

kekambuhan. Apabila preparat oral garam empedu atau asam

ursodeoksilat diresepkan, maka jelaskan kepada pasien pentingnya

kepatuhan dalam mengikuti petunjuk dokter dan tindak lanjut

(Smeltzer, 2002).

d. Pembedahan

Kolesistektomi dini merupakan cara pengobatan terbaik untuk

mengatasi kolesistitis akut dan umumnya dapat dilaksanakan dengan

aman pada 90% penderita. Namun, penanggulangan awal kolesistitis

adalah perawatan konservatif. Sekitar 60% penderita akan sembuh

spontan. Pembedahan dilakukan sesuai perkembangan penyakit.

Apabila perkembangan memburuk, segera dibedah. Bila membaik,

pembedahan dilakukan secara elektif. Setelah serangan akut sembuh,

pasien dapat dipulangkan dengan kolesistektomi direncanakan 4-6

Page 27: Cholesystitis Fix

21

minggu kemudian, sewaktu peradangan telah sembuh (Sjamsuhidajat,

2011).

Indikasi pembedahan:

a. Metode duct first:

Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian

dipisahkan setelah kandung empedu diangkat.

Indikasi: tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD

Kontraindikasi: adanya adhesi dan eksudat

b. Metode fundus first

Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian

berlanjut pada duktus sistikus.

Indikasi: adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD

Penatalaksanaan medis untuk kolesistitis kronik adalah

menghindari makanan berlemak. Selain itu, semua pasien kolesistitis

kronis simtomatik harus diterapi pembedahan. Menurut Sabiston

(2012), hanya jika pasien mempunyai harapan hidup yang pendek atau

jika penyakit sistemik parah yang ada bersamaan merupakan

predisposisi risiko anastesi bermakna, maka kolesistektomi tak boleh

dilakukan.

Intervensi bedah dapat berupa:

1. Kolesistektomi

2. Minikolesistektomi

3. Kolesistektomi laparaskopik (atau endoskopik)

4. Koledokostomi

5. Bedah Kolesistotomi

6. Kolesistotomi perkutan

Nursing consideration

Menurut Smeltzer (2011), persiapan sebelum operasi kandung

empedu serupa dengan persiapan bagi setiap tindakan laparatomi

abdominal bagian atas. Instruksi dan penjelasan tentang mobilisasi

tubuh dan napas dalam harus sudah disampaikan sebelum pembedahan

dilakukan. Karena insisi abdomen dilakukan pada lokasi yang lebih

Page 28: Cholesystitis Fix

22

tinggi, pasien sering enggan untuk bergerak dan membalikkan

tubuhnya. Kepada pasien harus diberitahu bahwa segera setelah

tindakan pembedahan biasanya dibutuhkan untuk pemasangan selang

untuk drainase dan tindakan penghisapan.

Pada periode pascaoperatif, tanda-tanda vital pasien harus

dipantau dengan ketat. Drainase (jika T-tube terpasang) dan luka insisi

bedah harus diinspeksi untuk melihat kemungkinan perdarahan.

Kondisi pasien juga harus dikaji secara periodik untuk mengetahui

peningkatan nyeri tekan dan rigiditas pada abdomen. Jika terdapat

tanda-tanda dan gejala ini, semuanya harus dilaporkan kepada dokter

bedah. Pada pasien dan keluarganya perlu diberi tahu untuk melapor

pada dokter bedah jika terdapat perubahan warna feses karena keadaan

ini dapat menunjukkan adanya komplikasi.

Setelah menjalani kolisestektomi, perlu diberikan Health

Education pada pasien dan keluarga bahwa meskipun kandung empedu

telah diangkat, namun fungsi kandung empedu dapat digantikan oleh

hati yaitu untuk menyimpan cairan empedu dengan syarat bahwa organ

hati pasien dalam kondisi baik.

Setelah menjalani kolesistektomi endoskopik, pengkajian

kondisi pasien dilakukan untuk mendeteksi adanya penurunan selera

makan, muntah, rasa nyeri, distensi abdomen dan kenaikan suhu badan.

Semua gejala ini dapat menunjukkan infeksi atau gangguan pada traktus

gastrointestinal dan harus dilaporkan segera pada dokter.

Petunjuk lisan maupun tertulis harus disampaikan kepada

pasien dan keluarganya. Informasi mencakup tanda-tanda dan gejala

komplikasi intraabdomen yang harus dilaporkan. Kepada pasien harus

diberitahukan mengenai obat-obatan yang diperlukan dan cara kerja

obat tersebut

9. Komplikasi

Komplikasi meliputi:

a. Perforasi dan pembentukan abses

b. Pembentukan fistula

Page 29: Cholesystitis Fix

23

Fistulasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung

empedu akibat inflamasi dan pembentukan pelekatan. Fistula enterik

bilaris tenang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis

kroni. Fistula kolesistoenteritik asimptomatik kadang didiagnosis

dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos

abdomen.

c. Gangren

Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia pada dinding

kandung empedu dan nekrosis dengan bercak atau totak. Kelainan

yang mendasari adalah distensi kandung empedu, faskulitis, diabetes

mellitus, empiema, atau torsi.

d. Empiema

Terjadi akibat kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus

persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat disertai

kuman-kuman pembentuk pus. Gambaran klinis mirip dengan

kolangitis, yaitu demam tinggi, nyeri hebat pada kuadran kanan atas,

leukositosis berat, keadaan umum lemah(sering), risiko sepsis gram

negatif (dan atau perforasi).

e. Kolangitis

f. Hepatitis

g. Pankreatitis

h. Ileus Batu empedu

Menunjukkan pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan

lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen. Tempat terjepit batu

biasanya pada katup ileoseka.

i. Karsinoma

10. Prognosis

Perubahan ischemic dari dinding kantung empedu meningkatkan

risiko perforasi organ tubuh atau pengembangan gangren. Radang selaput

perut merupakan risiko yang potensial pada pasien jika suatu area penting

pada kantung empedu berlubang atau terdapat infeksi atau bisul terkait

yang menyebar. Presentase kecil dari pasien akan berkembang menjadi

Page 30: Cholesystitis Fix

24

kanker kantung empedu. Ada peningkatan risiko operasi pasien lanjut usia

atau pasien dengan komorbilitas.

C. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

CHOLESCYSTITIS

1. Pengkajian

Menurut Doengoes (2012) hal yang perlu dikaji pada penderita

cholecystitis preoperasi adalah:

a. Aktivitas/ istirahat

Gejala : Kelemahan.

Tanda : Gelisah.

b. Sirkulasi

Tanda : Takikardia, berkeringat.

c. Eliminasi

Gejala : Perubahan warna urin dan feses.

Tanda : Distensi abdomen.

Teraba massa pada kuadran kanan atas.

Urine gelap, pekat.

Feses warna tanah liat, steatorea.

d. Makanan/ cairan

Gejala : Anoreksia, mual/muntah.

Tidak toleran terhadap lemak dan makanan

“pembuat gas”; regurgitas berulang, nyeri

epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dyspepsia.

Tanda : Kegemukan, adanya penurunan berat badan.

e. Nyeri/ kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung

atau bahu kanan.

Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.

Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30

menit.

Page 31: Cholesystitis Fix

25

Tanda : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas

ditekan; tanda Murphy positif.

f. Pernapasan

Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan.

Pernapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal.

g. Keamanan

Tanda : Demam, menggigil.

Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal (pruritus).

Kecenderungan perdarahan (kekurangan Vitamin K).

h. Penyuluhan/ pembelajaran

Gejala : Kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu.

Adanya kehamilan/melahirkan; riwayat DM, penyakit

inflamasi usus, diskrasias darah.

Pertimbangan : DRG menunjukkan rata – rata lama dirawat

3–4 hari.

Rencana pemulangan : Memerlukan dukungan dalam perubahan

diet/ penurunan berat badan.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Doenges (2012), diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada

kasus cholecystitis sebelum dilakukan kolesistektomi antara lain :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, atau fisik)

atau kerusakan jaringan.

b. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikologis

kronik (metastase kanker, injuri neurologis, artritis)

c. Hipertermia berhubungan dengan penyakit/trauma, peningkatan

metabolisme atau dehidrasi.

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan mual/muntah.

e. Mual berhubungan dengan iritasi gaster, distensi gaster. Biofisika:

gangguan biokimia (Uremia). Situasional: faktor psikologis seperti

nyeri, takut, cemas.

Page 32: Cholesystitis Fix

26

f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status

metabolik.

g. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan

status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang

pengetahuan dan hospitalisasi.

h. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.

i. Kurang pengetahuan tentang kondisi berhubungan dengan

keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah,

kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui

sumber-sumber informasi.

3. Perencanaan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, atau fisik)

atau kerusakan jaringan.

NOC:

1) Pain level

2) Pain control

3) Comfort level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak mengalami

nyeri atau nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5) Tanda vital dalam rentang normal

6) Tidak mengalami gangguan tidur

Intervensi (NIC):

1) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

2) Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi,

Page 33: Cholesystitis Fix

27

distraksi, kompres hangat/ dingin

3) Tingkatkan istirahat

4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

5) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

6) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

pertama kali

8) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

dukungan

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri

10) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

11) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa

lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari

prosedur

b. Nyeri kronis berhubungan ketidakmampuan fisik-psikologis kronis

(metastase kanker, injuri neurologis, artritis)

NOC:

1) Comfort level

2) Pain control

3) Pain level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri kronis pasien

berkurang dengan kriteria hasil:

1) Tidak ada gangguan tidur

2) Tidak ada gangguan konsentrasi

3) Tidak ada gangguan hubungan interpersonal

4) Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan secara verbal

5) Tidak ada tegangan otot

NIC:

Pain Manajemen

1) Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri

Page 34: Cholesystitis Fix

28

2) Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat

3) Kelola anti analgetik

4) Jelaskan pada pasien penyebab nyeri

5) Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi, masase punggung)

c. Hipertermia berhubungan dengan penyakit/ trauma, peningkatan

metabolisme, atau dehidrasi

NOC: Termoregulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, menunjukkan suhu tubuh

dalam batas normal dengan kriteria hasil:

1) Suhu 36-37°C

2) Nadi dan RR dalam rentang normal

3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa

nyaman

Intervensi (NIC):

1) Monitor suhu sesering mungkin

2) Monitor warna dan suhu kulit

3) Monitor tekanan darah, nadi dan RR

4) Catat adanya fluktuasi tekanan darah

5) Monitor penurunan tingkat kesadaran

6) Monitor WBC, Hb, dan Hct

7) Monitor intake dan output

8) Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran

mukosa)

9) Selimuti pasien

10) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila

11) Tingkatkan sirkulasi udara

12) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

13) Berikan cairan intravena

14) Berikan antipiretik

15) Kelola antibiotik

Page 35: Cholesystitis Fix

29

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan mual/muntah.

NOC:

1) Nutritional status: food and fluid intake

2) Nutritional status: nutrient intake

3) Weight Control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria hasil:

1) Adanya peningkatan berat badan

2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

5) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan

6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Intervensi (NIC)

Nutrition Management

1) Kaji adanya alergi makanan

2) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

3) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang

dibutuhkan

4) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi

5) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe

6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C

7) Berikan substansi gula

8) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk

mencegah konstipasi

9) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli

gizi)

10) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian

11) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan

nutrisi yang dibutuhkan pasien

Page 36: Cholesystitis Fix

30

e. Mual berhubungan dengan iritasi gaster, distensi gaster. Biofisika:

gangguan biokimia. Situasional: faktor psikologis seperti nyeri, takut,

cemas.

NOC:

1) Comfort level

2) Hidrasi

3) Nutritional Status

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, mual pasien teratasi dengan

kriteria hasil:

1) Melaporkan bebas dari mual

2) Mengidentifikasi hal-hal yang mengurangi mual

3) Nutrisi adekuat

4) Status hidrasi: hidrasi kulit membran mukosa baik, tidak ada rasa

haus yang abnormal, panas, urin output normal, TD, HCT normal

Intervensi (NIC):

Fluid Management

1) Pencatatan intake output secara akurat

2) Monitor status nutrisi

3) Monitor status hidrasi (Kelembaban membran mukosa, vital sign

adekuat)

4) Anjurkan untuk makan pelan-pelan

5) Jelaskan untuk menggunakan napas dalam untuk menekan reflek

mual

6) Batasi minum 1 jam sebelum, 1 jam sesudah dan selama makan

7) Instruksikan untuk menghindari bau makanan yang menyengat

8) Berikan terapi IV kalau perlu

9) Kelola pemberian antiemetik

f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status

metabolik.

NOC:

1) Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes

2) Wound Healing : primer dan sekunder

Page 37: Cholesystitis Fix

31

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kerusakan integritas kulit

pasien teratasi dengan kriteria hasil:

1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,

temperatur, hidrasi, pigmentasi).

2) Tidak ada luka/lesi pada kulit.

3) Perfusi jaringan baik.

4) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya sedera berulang.

5) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit

dan perawatan alami.

6) Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka.

NIC:

Pressure Management

1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar

2) Hindari kerutan pada tempat tidur

3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali

5) Monitor kulit akan adanya kemerahan

6) Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan

7) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

8) Monitor status nutrisi pasien

9) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

10) Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan

11) Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,

karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-

tanda infeksi lokal, formasi traktus

12) Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka

13) Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin

14) Cegah kontaminasi feses dan urin

15) Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril

16) Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka

Page 38: Cholesystitis Fix

32

g. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, Stress, perubahan

status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang

pengetahuan dan hospitalisasi

NOC :

1) Kontrol kecemasan

2) Koping

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kecemasan klien teratasi dgn

kriteria hasil:

1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk

mengontrol cemas

3) Vital sign dalam batas normal

4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas

menunjukkan berkurangnya kecemasan

Intervensi (NIC) :

Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

1) Identifikasi tingkat kecemasan

2) Gunakan pendekatan yang menenangkan

3) Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

4) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

5) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut

6) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis

7) Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi

8) Libatkan keluarga untuk mendampingi klien

9) Dengarkan dengan penuh perhatian

10) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

11) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,

persepsi

12) Kelola pemberian obat anticemas

h. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.

NOC:

1) Fluid balance

2) Hydration

Page 39: Cholesystitis Fix

33

3) Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, defisit volume cairan tidak

terjadi dengan kriteria hasil:

1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ

urine normal,

2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik,

membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan

4) Orientasi terhadap waktu dan tempat baik

5) Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal

6) Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal

7) pH urin dalam batas normal

8) Intake oral dan intravena adekuat

Intervensi (NIC) :

1) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi

adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan

2) Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

3) Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,

osmolalitas urin, albumin, total protein )

4) Monitor vital sign setiap 15menit-1 jam

5) Monitor status nutrisi

6) Berikan cairan oral

7) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

8) Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50-100cc/jam)

9) Kolaborasi pemberian cairan IV

10) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk

11) Atur kemungkinan tranfusi

12) Persiapan untuk tranfusi

13) Pasang kateter jika perlu

i. Kurang pengetahuan tentang kondisi berhubungan dengan

keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah,

Page 40: Cholesystitis Fix

34

kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui

sumber-sumber informasi.

NOC:

1) Knowledge: disease process

2) Knowledge: health behavior

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien menunjukkan

pengetahuan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:

1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,

kondisi, prognosis dan program pengobatan

2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang

dijelaskan secara benar

3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang

dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya

NIC :

1) Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga

2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini

berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang

tepat.

3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit,

dengan cara yang tepat

4) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat

5) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat

6) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara

yang tepat

7) Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien

dengan cara yang tepat

8) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

9) Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second

opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan

10) Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara

yang tepat

Page 41: Cholesystitis Fix

35

4. Implementasi

Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah disusun.

5. Evaluasi

Evaluasi mengacu pada hasil yang diharapkan dari intervensi dan

implementasi.

D. ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERATIF KLIEN DENGAN

CHOLECYSTITIS

1. Pengkajian

Pengkajian pasien post operatif meliputi (Doenges, 2012):

a. Sirkulasi

Gejala : Riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit

vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko

pembentukan trombus).

b. Integritas ego

Gejala : Perasaan cemas, takut, marah, apatis; faktor-faktor stress

multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.

Tanda : Tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang;

stimulasi simpatis.

c. Makanan/ cairan

Gejala : Insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/

ketoasidosis); malnutrisi (termasuk obesitas); membran

mukosa yang kering (pembatasan pemasukan/ periode puasa

preoperasi)

d. Pernapasan

Gejala : Infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.

e. Keamanan

Gejala : Alergi/sensitif terhadap obat, makanan, plester, dan larutan;

Defisiensi imun (peningkatan risiko infeksi sistemik dan

penundaan penyembuhan); Munculnya kanker/terapi kanker

terbaru; Riwayat keluarga tentang hipertermia

malignan/reaksi anestesi; Riwayat penyakit hepatik (efek dari

Page 42: Cholesystitis Fix

36

detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi);

Riwayat transfusi darah/reaksi transfusi.

Tanda : Munculnya proses infeksi yang melelahkan; demam.

f. Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala : Penggunaan antikoagulasi, steroid, antibiotik, antihipertensi,

kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronkodilator, diuretik,

dekongestan, analgesik, antiinflamasi, antikonvulsan atau

transquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-

obatan rekreasional. Penggunaan alkohol (risiko akan

kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan

anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri

pascaoperasi).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post operatif meliputi:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik) atau kerusakan

jaringan.

b. Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan

jaringan dan peningkatan paparan lingkungan (Doenges,2012).

3. Perencanaan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik) atau kerusakan

jaringan.

NOC:

1) Pain level

2) Pain control

3) Comfort level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak mengalami

nyeri/nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri

Page 43: Cholesystitis Fix

37

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5) Tanda vital dalam rentang normal

6) Tidak mengalami gangguan tidur

Intervensi (NIC):

1) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

2) Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi,

distraksi, kompres hangat/ dingin

3) Tingkatkan istirahat

4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

5) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

6) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

pertama kali

8) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

dukungan

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri

10) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

11) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa

lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari

prosedur

b. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan

jaringan dan peningkatan paparan lingkungan.

NOC:

1) Immune Status

2) Knowledge : Infection control

3) Risk control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak mengalami

infeksi dengan kriteria hasil:

Page 44: Cholesystitis Fix

38

1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

3) Jumlah leukosit dalam batas normal

4) Menunjukkan perilaku hidup sehat

5) Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal

Intervensi (NIC):

1) Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

2) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

3) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,

dan drainase

4) Monitor adanya luka

5) Pertahankan teknik aseptif

6) Batasi pengunjung bila perlu

7) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

8) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

9) Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum

10) Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung

kencing

11) Tingkatkan intake nutrisi

12) Dorong masukan cairan

13) Dorong pasien untul istirahat

14) Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

15) Berikan terapi antibiotik

4. Implementasi

Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah disusun.

5. Evaluasi

Evaluasi mengacu pada hasil yang diharapkan dari intervensi dan

implementasi.

Page 45: Cholesystitis Fix

39

BAB III

WOC KOLESISTITIS

Kolelitiasis Infeksi bakteri (escherichia

coli) ke dalam k. empedu

Luka bakar >20% (derajat 3)

Aliran empedu

tersumbat

Distensi kandung

empedu

Lapisan dinding

kandung empedu

rusak

Trauma dinding

kandung empedu

Port of entri oral

(bersama makanan)

Terjadi proses

pencernaan di dalam

usus halus

Obstruksi duktus

sistikus dan common

bile duct

Terjadi absorpsi

oleh kapiler mukosa

usus halus

Nutrisi dan bakteri

menyebar melalui

aliran darah

(hematogen)

Invasi bakteri ke

vesica fellea

Pemasangan infus

(elektrolit) yang lama

Elektrolit

mengendap

membentuk kristal

dalam k.empedu

Cairan infus pekat

Cairan tdk dapat

diserap k.empedu

Kerusakan

kulit &

syaraf

Cairan

plasma, sel

darah, &

albumin

keluar dari

pembuluh

darah

Osmolaritas

darah

Endotel

pemb. darah

rusak

Sumbatan

pemb. darah

Reaksi radang

sistemik

berlebih

Kerusakan

pembuluh darah

Permeabilitas vaskuler

Evaporasi

perifer

Akut Kronis

Kalkuli Akalkuli

39

Pembedahan

Non-

bedah

Bedah

a. Disolusi Medis

b. ERCP c. ESWL

a. Kolisestek-tomi terbuka

b. Kolisestek-tomi Laparosk-opik

Luka post-operasi

Diskontinuitas

jaringan

Page 46: Cholesystitis Fix

40

KOLESISTITIS (radang kandung empedu)

Proses inflamasi

Migrasi leukosit ke

lokasi jejas

Merangsang serabut

saraf reseptor nyeri

Pengeluaran

prostaglandin

Penurunan peristaltik

usus dan lambung

Makanan tertahan di

lambung

Perubahan status

kesehatan

MK: Cemas MK: Defisiensi

pengetahuan

Dehidrasi

masif

Radang kandung

empedu

Inflamasi

Aliran darah di

lokasi jejas

Sirkulasi sistem GIT

Kontraktilitas GIT

Gg. Peristaltik usus

dan lambung

Statis empedu

Pengosongan kandung

empedu terganggu

MK:Nyeri

akut

MK:Risiko

Infeksi

Page 47: Cholesystitis Fix

41

Reaksi radang:

calor dan rubor

Suhu tubuh

Nyeri abdomen

kuadran kanan atas

MK: Nyeri akut

Rasa mual meningkat

MK: Mual

Nafsu makan

MK: Ketidakseimbangan

nutrisi : kurang dari

kebutuhan tubuh

Pengaktifan pusat

muntah (medula

oblongata)

Muntah

MK: Resiko

kekurangan

volume cairan

Pergerakan sel-sel PMN:

neutrofil, basofil, eosinofil

Fagositosis

Reaksi radang:

dolor

MK: Hipertermi

MK: Nyeri Kronis

PGD2 PGE2 PGF2

leukosit

Page 48: Cholesystitis Fix

BAB IV

TINJAUAN KASUS

Ny. T berusia 55 tahun MRS tanggal 15 September 2014 dengan keluhan

utama nyeri di daerah perut kanan atas, nyeri datang terus-menerus terutama pada

saat klien menarik napas. Diperoleh hasil TD: 120/60 mmHg. RR:26 x/menit,

N:110 x/menit, S:38,5°C. Klien juga mengatakan sehari sebelumnya muntah dua

kali. Setelah dilakukan pemeriksaan USG, tampak adanya pus pada kandung

empedu serta batu pada duktus sistikus. Foto polos abdomen menunjukkan adanya

batu pada kandung empedu. Pada pemeriksaan darah terjadi peningkatan jumlah

leukosit sebanyak 12500/uL dan bilirubin total 2 mg%, bilirubin direk 0,4 mg%.

Sejak MRS sampai saat pengkajian tanggal 17 September 2014, Ny. T mengeluh

perutnya kembung, mual dan tidak nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan ikterus pada sklera (+/+), perkusi abdomen pekak pada RUQ, Murphy

sign(+), BOAS sign (+). Pasien mengatakan sebelumnya pernah dirawat di rumah

sakit karena terkena batu empedu, dan menjalani operasi pemasangan stend 2

tahun yang lalu.

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. T

Umur : 55 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Surabaya

Reg. Med : 6897

MRS : 15 September 2014

Pengkajian: 17 September 2014

2. Keluhan Utama

Pasien mengeluh nyeri di daerah perut kanan atas, nyeri menyebar ke

punggung, terus-menerus terutama pada saat klien menarik napas.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Page 49: Cholesystitis Fix

43

Pasien mengatakan mulai merasakan nyeri pada perut kanan atas sejak 1

minggu yang lalu, nyeri semakin terasa ketika pasien menarik nafas. Mata

pasien mulai menguning 2 hari yang lalu. Nyeri perut semakin memberat

terasa menyebar ke punggung sehingga pasien dibawa ke IRD tanggal 15

September 2014.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit karena terkena

batu empedu, dan menjalani operasi pemasangan stend 2 tahun yang lalu.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti

yang diderita pasien sekarang.

6. Pola Fungsi Kesehatan

a. Aktivitas/ istirahat

Pasien mengatakan mudah lelah ketika beraktifitas, tidak mampu

beraktifitas lama dan selama di rawat pasien harus bedrest. Pasien

mengatakan susah tidur dan ketika tidur sering terbangun karena nyeri.

b. Eliminasi

Klien mengatakan kencingnya menjadi gelap seperti teh, BAB berwarna

seperti lumpur, dan seperti ada minyaknya.

c. Makanan/ cairan

Pasien mengeluh perutnya kembung dan mual serta tidak nafsu makan.

Pasien mengatakan sempat muntah.

d. Nyeri/ kenyamanan

Pasien mengeluh nyeri di daerah perut kanan atas, nyeri datang terus-

menerus terutama pada saat menarik napas dan menyebar ke punggung

atau bahu kanan

e. Keamanan

Pasien mengeluh badannya panas dan kulitnya terasa agak gatal.

7. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda Vital:

TD : 120/60 mmHg RR : 26 x/menit

N :110 x/menit S : 38,5°C

Page 50: Cholesystitis Fix

44

a. B1 (Breathing)

Inspeksi : RR 26x/ menit, pernafasan cepat dan dangkal, nampak

nyeri ketika bernapas.

Palpasi : Vocal fremitus teraba sama pada paru kanan dan kiri.

Auskultasi : Ronchi (-/-), wheezing (-/-).

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.

b. B2 (Blood)

Inspeksi : Nadi 110x/menit, reguler, kuat angkat, TD 120/60 mmHg,

pasien berkeringat, produksi urin 1500 cc/24 jam.

Palpasi : Tidak terdapat edema.

Auskultasi : Suara jantung S1S2 tunggal, reguler.

Perkusi : Batas kanan jantung: ICS II linea parasternal dextra. Batas

kiri jantung: ICS V linea midklavikula sinistra.

c. B3 (Brain)

Inspeksi : Klien tampak cemas, dapat menghitung ringan, GCS

E4V5M6.

d. B4 (Bladder)

Inspeksi : Urine berwarna gelap dan pekat.

e. B5 (Bowel)

Inspeksi : Bentuk cembung, distensi abdomen (+).

Palpasi : Terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas, nyeri tekan pada

abdomen RUQ pada saat klien inspirasi (Murphy sign [+]).

Auskultas : Bising usus 4x/menit.

Perkusi : Pekak pada RUQ.

f. B6 (Bone)

Inspeksi : Kulit jaundice, wajah kemerahan, terpasang infus pada

lengan kiri.

Palpasi :

+ +

Page 51: Cholesystitis Fix

45

Akral hangat

Oedema

CRT<2 dtk

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan USG: tampak adanya pus pada kandung empedu serta batu

pada duktus sistikus.

b. Foto polos abdomen menunjukkan adanya batu pada kandung empedu.

c. Pemeriksaan darah: Leukosit 12500/uL, bilirubin total 2 mg%, bilirubin

direk 0,4 mg%

Analisa Data

NO DATA KEMUNGKINAN

PENYEBAB

MASALAH

1

2

DS : Pasien mengeluh

nyeri di daerah perut

kanan atas, terus-

menerus dan semakin

sakit ketika menarik

napas.

DO :

- Perut tegang

- Pasien tampak meringis

menahan sakit.

- TTV:

Nadi: 110x/ menit

RR: 26x/ menit

DS : Pasien mengeluh

badannya terasa

panas.

DO :

- Suhu tubuh 38,5oC

- Nadi 110x/menit

- Kulit teraba hangat

Kantong empedu terinfeksi

Terjadi proses peradangan,

pembengkakan dan dipenuhi

oleh sel-sel radang lymfosit.

merangsang serabut saraf

reseptor nyeri untuk

mengeluarkan enzim

bradikinin dan serotinin.

Nyeri dipersepsikan

Invasi kuman ke dalam tubuh

Melakukan proses peradangan

Bakteri melepas endokrin

merangsang tubuh untuk

melepas zat pathogen dan

oleh leukosit.

Nyeri akut

Hiperthermi

+ +

- -

- -

+ +

+ +

Page 52: Cholesystitis Fix

46

3

DS : Pasien mengeluh

mual.

DO: -

Impuls disampaikan ke

hypothalamus bagian

thermoregulator melalui

ductus trofacicus

Suhu tubuh meningkat

Peradangan pada kantong

empedu

Penurunan peristaltik usus

Makanan tertahan di lambung

Mual

Mual

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan:

a. Pasien mengeluh nyeri di daerah perut kanan atas, terus-menerus dan

semakin sakit ketika menarik napas.

b. Perut tegang

c. Pasien tampak meringis menahan sakit.

d. TTV: Nadi: 110x/ menit

RR: 26x/ menit

2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi ditandai dengan:

a. Pasien mengeluh badannya terasa panas.

b. Suhu tubuh 38,5oC

c. Nadi 110x/menit

d. Muka tampak merah

e. Kulit teraba hangat

3. Mual berhubungan dengan penumpukan makanan di gaster sekunder

kolesistitis ditandai dengan:

Pasien mengeluh mual

Page 53: Cholesystitis Fix

47

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik)

NOC:

1) Pain level

2) Pain control

3) Comfort level

Setelah dilakukan tinfakan keperawatan, pasien tidak mengalami

nyeri/nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan

tehnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

nyeri

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5) Tanda vital dalam rentang normal

6) Tidak mengalami gangguan tidur

Intervensi (NIC) :

1) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

2) Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi,

distraksi, kompres hangat/ dingin

3) Tingkatkan istirahat

4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

5) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

6) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama

kali

8) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri

10) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

MK:Risiko

Infeksi

Page 54: Cholesystitis Fix

48

11) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama

nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

2. Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi

NOC: Termoregulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, menunjukkan suhu tubuh dalam

batas normal dengan kreiteria hasil:

1) Suhu 36-37°C

2) Nadi dan RR dalam rentang normal

3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa

nyaman

Intervensi (NIC):

1) Monitor suhu sesering mungkin

2) Monitor warna dan suhu kulit

3) Monitor tekanan darah, nadi dan RR

4) Catat adanya fluktuasi tekanan darah

5) Monitor penurunan tingkat kesadaran

6) Monitor WBC, Hb dan Hct

7) Monitor intake dan output

8) Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa)

9) Selimuti pasien

10) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila

11) Tingkatkan sirkulasi udara

12) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

13) Berikan cairan intravena

14) Berikan antipiretik

15) Kelola antibiotik

3. Mual berhubungan dengan penumpukkan makanan di gaster sekunder

kolesistitis ditandai dengan

NOC:

1) Comfort level

2) Hidrasil

3) Nutritional Status

Page 55: Cholesystitis Fix

49

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, mual pasien teratasi dengan

kriteria hasil:

1) Melaporkan bebas dari mual

2) Mengidentifikasi hal-hal yang mengurangi mual

3) Nutrisi adekuat

4) Status hidrasi: hidrasi kulit membran mukosa baik, tidak ada rasa haus

yang abnormal, panas, urin output normal, TD, HCT normal

Intervensi (NIC) : Fluid Management

1) Pencatatan intake output secara akurat

2) Monitor status nutrisi

3) Monitor status hidrasi (Kelembaban membran mukosa, vital sign

adekuat)

4) Anjurkan untuk makan pelan-pelan

5) Jelaskan untuk menggunakan napas dalam untuk menekan reflek mual

6) Batasi minum 1 jam sebelum, 1 jam sesudah dan selama makan

7) Instruksikan untuk menghindari bau makanan yang menyengat

8) Berikan terapi IV kalau perlu

9) Kelola pemberian anti emetik

Page 56: Cholesystitis Fix

50

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Cholecystitis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu.

Penyebabnya yakni karena peradangan mekanis, kimiawi dan bakteri.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita karena terbentuknya batu

kolesterol. Komplikasi yang terjadi adalah perforasi dan pembentukan abses,

pembentukan fistula, gangren sampai karsinoma.

Penatalaksanaan pasien dengan kolesistitis yakni terapi suportif dan

diet, medikasi pelarut batu empedu, pengangkatan nonbedah dan

pembedahan.

Peran perawat pada klien dengan cholecystitis adalah sebagai care

giver, educator, communicator, advocator dan manajer dalam pemberian

asuhan keperawatan pada setiap tahap keperawatan.

B. SARAN

1. Kepada masayarakat agar selalu menjaga pola hidup sehat khususnya

dalam hal pola dan diit sehari-hari. Diet tinggi lemak sangat merugikan

bagi tubuh karena efek jangka panjang dapat menimbulkan penyakit

cholecystitis.

2. Kepada petugas kesehatan, khususnya perawat, untuk menerapkan asuhan

keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis cholecystitis sesuai

dengan teori sehingga dapat memperbaiki keadaan umum pasien,

mencegah komplikasi serta mempercepat penyembuhan pasien dengan

cholecystitis.

Page 57: Cholesystitis Fix

51

DAFTAR PUSTAKA

Almadzier, Sunita 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Yogyakarta. Gramedia

Batticaca, F.B. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem

Pencernaan. Jakarta: Salemba Medika.

Cahyono, J. B. Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisius.

Doengoes, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Longo, Dan L. Dan Anthony S. Fauci. 2014. Harrison: Gastroenterologi dan

Hepatologi. Jakarta: EGC.

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi

Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Noer, Sjaifoellah. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Percetakan Jaya

Abadi.

Pridady. 2006. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Price S.A. dan Wilson L.M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Vol. 1 Ed. IV. Jakarta: EGC.

Ruben Stein, David, at all. 2003. Lecture Notes : Kedokteran Klinis. Jakarta:

Erlangga.

Sjamsuhidajat R dan Wim de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta:

EGC.

Suharjo, J. B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisius.