day#04 - absolutelyindonesia.com filefoto: pejede | [email protected]. pengunjung ini memang...

17
MEDIA EVENT Tajuk 01 Mencari Makna Pertunjukan Layar Utama 02 Wayang, Boneka dan Budaya Kosmopolitan Performance 05 Satirisme “Republic of Dreams” by Scene Infernale Theatre (Perancis) 07 “Street of Singapore” by Mascots and Puppets Specialists (Singapura) Profil 09 Bima Arya, si Dalang Bocah 10 Newsflash day#04 (05/09/2013)

Transcript of day#04 - absolutelyindonesia.com filefoto: pejede | [email protected]. pengunjung ini memang...

MED

IA E

VEN

T

Tajuk01 Mencari Makna Pertunjukan

Layar Utama02 Wayang, Boneka

dan Budaya Kosmopolitan

Performance

05 Satirisme “Republic of Dreams” by Scene Infernale Theatre (Perancis)

07 “Street of Singapore” by Mascots and Puppets Specialists (Singapura)

Profil09 Bima Arya, si Dalang Bocah

10 Newsflash

day#04 (05/09/2013)

tajuk

Sebagai bangsa dengan peradaban, manusia mengukur kemajuan kehidupan kualitas kesehatan dan umur, serta kebudayaan sebagai bentuk nyata dari alam pikir terdalamnya. Mulai dari kuliner, musik,

etika dan etos, olahraga, hingga kesenian dan pertunjukan; semua mencerminkan kebiasaan-kebiasaan dan paham-paham yang selalu dipegang manusia dalam mengarungi kehidupannya ini.

Wayang World Puppets Carnival (WWPC) 2013 tak lepas dari itu. Sebagai pertunjukan dengan medio boneka, WWPC hadir untuk merujuk kekuatan boneka dan representasi alam pikir manusia. Lebih dari 40 negara menghadirkan pertunjukannya, lengkap dengan kisah, joke, musikalitas, penghadiran karakter, serta bagaimana membangun animo audience. Tak ayal, Jakarta telah menjadi saksi bagi parade boneka yang menyimpan kultur dari masing-masing negara.

Maka, menonton WWPC tak harus dengan buku petunjuk acara. Sebaiknya memang ya, karena Anda tak akan mau duduk dan mendengarkan tekstualitas asing yang akan membuat Anda bingung. Namun, tontonlah pertunjukan secara utuh. Terimalah. Anda akan berada dalam warna-warni peradaban dunia. (pejede | [email protected])

MencariMakna Pertunjukan

01Jakarta, Sept 02-08

media event #05

layarutama

Menyaksikan Wayang World Puppets Carnival (WWPC) 2013 sore hari (4/9)

di Epiwalk, Kompleks Epicentrum, Jakarta, meninggalkan kesan tersendiri. Di tengah sebuah pusat perbelanjaan berkompleks menjadi satu dengan sebuah grup media televisi nasional, para pengunjung pusat perbelanjaan disuguhkan parade pertunjukan boneka dari para penampil WWPC 2013. Para

Wayang, Boneka, dan Budaya

Kosmopolitan Jakarta, Sept 02-08

02media event #05

foto

: pej

ede

| sin

ga.b

aron

g@gm

ail.c

om

pengunjung ini memang bukan penikmat pertunjukan, tapi toh mereka rela duduk di lantai untuk menyaksikan para penampil. Sebagian terhibur, sebagian beranggapan hal-hal semacam ini harus terus ditingkatkan. Sebagian lagi sibuk bertanya kepada pihak panitia, dimana dan kemana harus mencari informasi yang utuh tentang WWPC 2013. Sementara sebagian lagi, kalau boleh saya katakan “khas kelas menengah negara berkembang” bertanya antusias: ini semua gratis, kan?

Saya tertawa. Bagi masyarakat Jakarta, pertunjukan panggung memang belum menjadi budaya dan kesenian yang populer. Apalagi dibandingkan dengan pertunjukan film bioskop; warga rela mengantri untuk sebuah film box office. Selain film merupakan media yang mudah dicerna, pertunjukan panggung sarat dengan persiapan untuk setiap penonton yang menginginkan dirinya memahami pesan pertunjukan tersebut. Entah dari googling, membaca sekilas sinopsis pertunjukan, atau bertanya pada penyelenggara acara. Maka, tak heran kalau pertanyaan ‘gratis’ itu mengemuka. Toh, ini Jakarta, semua ada biayanya, bukan?

Malam harinya, saya meluncur ke Monumen Nasional, Jakarta.

Jakarta, Sept 02-08

03media event #05

foto

: pej

ede

| sin

ga.b

aron

g@gm

ail.c

om

layarutama

Kabarnya, sang dalang kondang Ki Enthus Susmono akan menggelar pentas di sana. Para petinggi Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) telah duduk di barisan kursi depan, tentunya sebagai inisiator WWPC 2013. Disinilah saya temukan perbedaan besar antara panggung pertunjukan modern dan panggung pertunjukan tradisional. Tak ada yang bertanya, “Ini ceritanya apa?”, atau “Harus mencari informasi di mana?”, atau bahkan “Ini gratis, kan?”. Semua kalangan audience memahami, pentas wayang tak pernah mbayar. Sekiranya ada yang membiayai pertunjukan, tentu

yang duduk di barisan kursi paling depan. Ceritanya pun sudah turun-temurun, semua ada di buku babon Mahabarata-Ramayana. Tinggal tugas besar sang dalang, apakah mampu mengemas seluruh pertunjukan ke dalam sebuah pentas yang mengena, atau justru penonton akan meninggalkannya. Kejam memang.

Saya melihat ke kiri dan ke kanan. Khas pertunjukan tradisional, berbagai pedagang menggelar lapaknya di sekitaran tenda pertunjukan. Ada lapak catur tiga langkah yang tak lagi saya temui di Jakarta. Ki Sihono Pandoyo, dalang asal Bontang, Kalimantan Timur membuka pagelaran pertama. Saya tak beranjak, masih di depan lapak catur tiga langkah, tenggelam bersama beberapa orang yang juga sibuk dengan kutak-katik di otaknya.

Jakarta, Sept 02-08

04

Bukan pada tempatnya memang, membandingkan secara langsung pertunjukan boneka internasional di Epiwalk dan pagelaran wayang di Monas. Namun, di perjalanan pulang menjelang dini hari, saya terenyuh. Apakah kita siap bersanding satu lawan satu dengan panggung pertunjukan dunia; sementara wayang masih menjadi tamu di ibukota negara ini? Apakah saya masih akan menemukan permainan catur tiga langkah di pentas-pentas wayang lainnya? Semoga ini bukan romantisme belaka. (pejede | [email protected])

layarutama

foto

: sin

ga.b

aron

g@gm

ail.c

om

media event #05

performance

Keunikan pertunjukan ini sudah terlihat sejak awal. Setting panggung yang dibawakan kelompok asal

Perancis ini tidak lazim. Panggung tidak hanya diisi oleh pemain, tapi juga penonton. Ya, sebagian penonton mengelilingi pemain. Sebagian lagi melihatnya agak jauh, dari kursi penonton. Maklum, penonton pertunjukan malam itu lebih padat dari biasanya, karena ada serombongan siswa/i SMU yang ikut menonton. Mereka tidak mau ketinggalan pertunjukan spesial yang didasari kisah nyata ini.

Scene Infernale Theatre asal Perancis mengambil sebuah kisah nyata yang dialami bekas penulis naskah mereka. Pementasannya diberi judul Republic of Dreams. Kisah ini boleh dibilang cukup satir karena menceritakan bagaimana penulis naskah mereka dulu ditembak lalu

Jakarta, Sept 02-08

05

Satirisme “Republic Scene Infernale

Theatre (Perancis) ofDreams”

foto: pejede | [email protected] event #05

Performance

Jakarta, Sept 02-08

06

foto: Marthin Sinaga | [email protected]

dimutilasi karena karyanya. Sepanjang pementasan, suasana hening sangat terasa. Beberapa adegan bahkan sengaja dibuat sedikit ‘menyayat hati’ penonton untuk menggambarkan pedihnya peristiwa itu bagi mereka. Pedihnya kian terasa saat di akhir pementasan, boneka yang seyogyanya adalah gambaran dari bekas penulis naskah mereka, badannya hancur berkeping-keping.

Terdiri dari empat orang, Scene Infernale Theatre memainkan boneka seukuran manusia yang dikendalikan oleh tiga orang pemain. Terkadang, boneka itu hanya dimainkan oleh dua, bahkan kadang satu pemain. Set panggungnya sederhana, namun properti yang digunakan cukup variatif. Tata cahaya temaram yang ditampilkan seakan menggambarkan temaramnya kisah yang mereka tampilkan. (Marthin Sinaga | [email protected])

media event #05

performance

Rabu, 4 September, Pk. 18 lewat sedikit. Stage 4 Museum Nasional (Gajah) sudah didatangi para penonton.

Pembawa acara memberikan pengantar, sedikit VT dari WWPC 2013, kemudian musik bernuansa Cina memenuhi ruangan yang tak lagi diterangi cahaya.

Saya tersenyum. Sebelum memasuki ruangan pertunjukan, saya memang mengharapkan sebuah

Jakarta, Sept 02-08

07

Mascots and Puppets Specialists(Singapore)

foto: pejede | [email protected]

“Street Singapore”

of

media event #05

performance

Jakarta, Sept 02-08

08foto: pejede | [email protected]

performance bernuansa kultur Cina dari Mascots and Puppets Specialists Singapore dengan tajuk “Streets of Singapore” . Setelah penampilan pertama selesai, Frankie Malachi sang sutradara keluar dan memperkenalkan diri, kemudian melanjutkan ke penampilan berikutnya, “Dance of Lions” , sebuah tarian barongsai dengan boneka yang menari-nari dengan atraktif.

Penampilan pemain boneka asal singapura ini menggunakan teknik boneka tali yang dimainkan dengan kelincahan jari tangan. Setiap tali terkait di hampir seluruh bagian tubuh boneka; bahkan terikat pula dengan properti tambahan seperti bola mainan. Teknik ini di WWPC mungkin bukan satu-satunya; Jose Navarro asal Peru juga memainkan teknik ini. Namun, Frankie dan Mascots and Puppets Specialists menyuguhkan sebuah panggung hiburan dengan parade bauran budaya masyarakat Singapura: kultur Cina, Melayu, India, Eropa, dan Peranakan. Di sebuah segmennya, Frankie memainkan boneka perempuan penyanyi Cina dengan teknik Bunraku yang sangat memikat penonton yang hadir.

Beberapa segmen cerita yang dimainkan Mascots and Puppets Specialists seperti boneka Elvis Prestley, boneka sirkus tali, boneka bermain bola, dan beberapa segmen lainnya. (pejede | [email protected])

media event #05

profil

Jakarta, Sept 02-08

09

Bima Arya melanjutkan sesi wayang golek setelah penampilan Apep Hudaya di Monumen Nasional (3/9). Melihat sang penampil adalah

anak kecil, para penonton-terutama yg berasal dari mancanegara, merasa antusias. Apalagi dalang bocah besutan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) ini terlihat sangat piawai memainkan wayang yang sekilas punya ukuran tak jauh berbeda dari tubuhnya tersebut. Dalam usianya yang masih sangat muda, kemampuan Bima mendalang sudah menyerupai Dalang dewasa.

Padunya Bima dengan Wayang telah menghantarkannya menyabet gelar juara dalam ajang Festival Dalang Bocah di Bandung. Dia bukan lagi pada taraf sekedar mengendalikan wayang sesuai kemauannya, jiwanya bagai sudah menyatu dengan Wayang. Bocah berusia 10 tahun ini seakan mengetahui benar, kemana ‘ruh’ wayang hendak bergerak, lalu dengan cekatan menyambutnya dalam penghayatan yang mendalam. Bima tahu betul bagaimana ‘menghidupkan’ Wayang. Bahkan gerakan-gerakan kecil seperti bernafas pun ia peragakan dengan sangat detil.

Para puppeters dari mancanegara yang hadir dalam pertunjukan tersebut pun tak bisa menahan decak kagumnya. Satu per satu mereka beranjak dari tempat duduknya. Bukan untuk pergi meninggalkan pertunjukan, namun ingin melihat langsung bagaimana Bima beraksi dari sisi panggung. Beberapa bahkan bergantian mencuri kesempatan untuk berfoto bersama Bima setelah pertunjukan.

Bima Arya“si Dalang Bocah” foto: pejede | [email protected]

media event #05

newsflash

Jakarta, Sept 02-08

10

“Odisea”La Gorda Azul

Argentina

Usmar Ismail

La Gorda Azul – Santa Fe, Argentina Teater Usmar Ismail dibuka oleh performance Drama musical “Odisea” yang merupakan sebuah teater humor yang sukses dimainkan oleh La Gorda Azul dari Argentina. Mereka adalah tiga orang pria berselera humor, sehingga sukses menarik perhatian penon-ton untuk ikut tertawa. Apalagi jika ada salah satu penonton yang tidak bertepuk tangan, maka sang pemain akan menggeretnya ke panggung untuk ikut bergabung bersama dalam teaterikalnya, it’s so kidding for them. Mereka berulang melakukan sebuah pertunjukan petualangan, seperti dicerita-kan bahwa mereka bertemu seseorang yang saling berbeda karakter satu sama lain dengan aktivitas yang berbeda pula seperti kapal pinisi, lautan, dan putri duyung. Dan ntah’lah lagi-lagi penonton hanya bisa dibuatnya tertawa geli melihatnya, tanpa tahu maksud yang jelas dari penampil Argentina ini. It’s so simply daily difficulties.

Memasuki stage 5 di Museum Nasional (Gajah) malam ini (4/9), saya menangkap sebuah panggung yang mengingatkan saya pada pertunjukan organ tunggal di sepanjang Pantura. Panggung minimalis, dengan tempelan typo berbahan kertas warna mengkilap pada latar penampilan, begitu kira-kira nuansa yang terban-gun. Namun ketika saya mendapatkan Ramdas Padhye memainkan boneka tangan yang mengeluarkan dialog dari perutnya, saya tersenyum. Sebuah pertunjukan yang sangat India!

Ramdas Padhye Group menampilan “Puppet Parade”, atau parade komedian boneka yang memberikan perspektif pertunjukan boneka di India. Beragam teknik dipertunjukkan untuk memperlihatkan lebih dari 150 tahun metamorfosa boneka tradisional kedalam sebuah pertunjukan boneka modern. Karena itu saya segera menangkap nuansa yang terbangun. Sederhana, lucu, beragam teknik, namun penuh dengan konten yang sederhana dan sehari-hari. Setidaknya, sehari-hari dalam kultur masyarakat India. (pejede | [email protected])

“Puppet Parade”Ramdas Padhye Group

India

Museum Nasional

media event #05

Jakarta, Sept 02-08

11

Pernah membayangkan punya pasangan sempurna yang terbuat dari adonan? Jangan pernah membayangkannya, ya. Itu hanya bisa dilakukan oleh Prassein Aloga Theater asal Yunani saat mentas di Teater Usmar Ismail, Kuningan.

Mulanya Taro, tokoh Perempuan dalam kisah ini, hanya iseng saja membuat adonan menyerupai manusia. Siapa sangka setelah dia berkata, “I wish you alive.” Celetukan itu jadi kenyataan. Taro pun berkenalan dengan teman barunya itu. Sang adonan memperkenalkan diri sebagai Sugarkneaded. Mereka pun memadu kasih, sampai akhirnya Taro pun melahirkan anak. Mereka pun hidup menjadi keluarga bahagia.

Seperti kebanyakan pertunjukan puppet mancanegara lainnya, The Sugarkneaded dibawakan dengan sangat sederhana. Pementasan tengah hari di Gedung Perfilman Usmar Ismail, Kuningan tersebut hanya dibawakan oleh satu orang yang juga berperan sebagai Taro, tokoh utamanya.

Di akhir pertunjukan, sang pemain sedikit menceritakan pesan yang hendak ia sampaikan dari pertunjukan tersebut. Sebuah pesan agar mereka yang berpasangan dimanapun tetap saling setia dan menerima pasangan apa adanya, niscaya kebahagiaan pun akan diraih. Sehabis pertunjukan, ia pun mempersilahkan penonton yang penasaran dengan puppets yang ia mainkan untuk mendekat. | Marthin Sinaga

“The Sugarkneaded”Prassein Aloga Theater

Yunani

Usmar Ismail

newsflash

media event #05

Jakarta, Sept 02-08

12

Ornamen berlatar biru yang menyerupai batik segera terlihat kala penonton menyandarkan tubuhnya di kursi menghadap panggung. Ditambah lukisan patung khas Hungaria, negara asal mereka, Budhapest Puppet Theatre menyajikan pementasan yang sederhana namun sangat indah. Narasi bahasa Inggris yang mengiringi cerita sangat membantu penonton dalam menangkap alur cerita. Apalagi penampilan dari puppets yang mereka mainkan, benar-benar memberikan gambaran tentang petualangan seorang pahlawan bernama, John.

John The Hero berkisah tentang petualangan seorang Pemuda Desa bernama John yang memiliki seekor Anjing setia. Pada suatu waktu, ia bersama Anjing setianya berhasil membantu Pasukan Kerajaan berhadapan dengan kawanan perampok yang sempat menahan Kapten Kerajaan. Atas jasanya, John kemudian diangkat menjadi salah satu anggota Pasukan Kerajaan dan menjadi orang kepercayaan yang sangat dekat dengan Sang Kapten. John pun mengalami berbagai pengalaman menarik yang diperolehnya melalui pertarungan-pertarungan besar. Salah satunya, menyelamatkan Putri Kerajaan Perancis dari kawanan perampok. Sayangnya, di tengah perjalanan pulang setelah menyelamatkan Putri Kerajaan Perancis, John harus terpisah dari Anjingnya. Kapal yang mereka tumpangi karam diterjang badai akibat ulah penyihir yang memberikan mantra negatif bagi perjalanannya.

Dipadu dengan beberapa teknik merubah tampilan panggung di sela-sela cerita, Budhapest Puppet Theatre berhasil menyuguhkan kisah klasik yang pertama kali dibuat pada 1845 ini menjadi sangat hidup. Kecuali narasi dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk mempermudah penonton mengikutilur cerita, keseluruhan penampilan mereka memberikan kesan yang sangat kuat tentang Hungaria. Mulai dari dialog dan cara bicara yang ditunjukkan melalui dialog, sampai keseluruhan pernak-pernik yang mereka gunakan, semuanya khas Hungaria. Suatu upaya jitu untuk memperluas pandangan tentang kebudayaan negara bekas kekuasaan Uni Soviet ini. | Marthin

“John The Hero”Budapest Puppet Theatre

Hungaria

Gedung Pewayangan, TMII

newsflash

media event #05

Jakarta, Sept 02-08

13

Alunan musik instrumental yang mengalir dengan hangat dan penuh hayat, menjadikan pertunjukan ini semakin emosional. Ditambah lagi dengan dentingan piano yang semakin lama semakin meninggi, kemudian menurun perlahan kembali.

Drama “Angels Are Close” menceritakan mengenai sebuah perjalanan cinta anak muda yang terlahir dijalanan. Empat orang teaterikal ini memperagakan bagaimana awal pertemuan mereka, hingga mereka menjalin cinta dalam kehidupan nyata. Dalam berbagai scene mereka memperagakan berbagai adegan seperti bersantai ditepi taman, menari-nari, hingga akhirnya terjatuh karna bercandaan. Keduanya sangat lucu, seperti kita mengingat masa lalu dan mengekspresikan dalam sebuah drama cerminan kisah nyata. (amel seftiana & pejede)

Di awal pertunjukan, musik mengalun dengan lembut melalui media kanvas putih, pertunjukan teater bercerita tentang seekor beruang kutub yang hidup di alam bebas, melalui berbagai musim dan mencoba untuk tetap bertahan hidup. Sebanyak tujuh orang penampil berhasil memukau kami, para penonton di Usmar Ismail. Uniknya mereka mempersembahkan sebuah teater hanya dengan media jari-jari tangan yang diputar-putar secara luwes, serta memberikan sentuhan pantomime tanpa kata-kata dan hanya terucap “Rrrr” dari mulut mereka. So Unique!

Dengan diiselingi instrumental musik yang lembut, nyany-ian , serta selingan sound effect yang memukau, mem-buat pertunjukan teater dari Georgia ini terlihat begitu menarik dan lucu, walaupun tanpa kata.

“The Four Seasons of The Year”“Angels are Close”

Georgian State Hand Shadow TheaterGeorgia

Ptah Kharkiv TheatreUkraina

Usmar Ismail

Epicentrum

newsflash

media event #05

Jakarta, Sept 02-08

14

Musik yang dilantunkan peserta WWPC asal Spanyol ini mengalun riang a la Taman Ria, selaras dengan sepoi angin yang berhembus di Epicentrum, Kuningan. Street program memang sengaja disajikan untuk membangun kedekatan antara khalayak luas selaku penonton dan pemain teater, dengan acara yang digelar untuk kali perdana di Indonesia ini.

Berdandan bak pesulap yang menghibur anak-anak kecil, penampil Mr. Fer-rano benar-benar menghadirkan suasana jenaka di pelataran Epicentrum Walk, Kuningan. Dari kopernya–yang juga mirip tas pesulap jalanan–dia men-geluarkan seekor anjing manis yang terbuat dari kayu tanpa menyentuhnya langsung, tapi menggunakan temali yang terhubung ke beberapa anggota badan si anjing. Uniknya, gerakan Anjing tersebut mirip sekali dengan gerakan Anjing pada umumnya, sangat hidup. Tak sedikit penonton yang mengge-leng-gelengkan kepala sambil tak kuasa menahan senyuman lucu melihat gerakan demi gerakan yang ditunjukan si Anjing.

Apalagi saat sang penampil, Mr. Ferrano dari Rambling Puppets membawa anjing kayunya mendekat ke penonton di sekeliling lalu bercanda dengan penonton, mirip seperti tingkah Anjing pada umumnya. Tatkala sedang ber-senda gurau dengan salah seorang penonton, si Anjing mengangkat satu kaki belakangnya dan tiba-tiba ada air yang mucrat dari antara penonton… Ups! Penonton pun terpingkal-pingkal atas ulah si Anjing. Tentu saja itu bukan air seni betulan karena itu cuma Kayu yang dibentuk menyerupai Anjing betulan. Benar-benar drama yang seru dan sangat menghibur. | marthin sinaga – amelia sef

“Canelo Show”Rambling Puppets

SpanyolEpicentrum

newsflash

media event #05

Jakarta, Sept 02-08

15

newsflash

Pagelaran wayang di Monumen Nasional (Monas) kali ini (4/9) terbilang cukup ‘wah’. Tiga dalang akan mementaskan lakonnya masing-masing, dimana Ki Enthus Susmono menjadi dalang gelar puncak semalam suntuk. Aksi dalang kondang asal Tegal, Jawa Tengah ini memang terbilang cukup menarik animo penonton, khususnya warga Jakarta dan penikmat wayang. Siapa tak kenal Ki Enthus, begitu kata seorang penjaja mainan anak yang menggelar lapaknya di belakang tenda besar pertunjukan.

Pagelaran malam ini dibuka oleh Ki Sihono Pandoyo, dengan lakon “Lampahan Rama Tundung”. Ki Sihono merupakan dalang dari Bontang, Kalimantan Timur. Aslinya Klaten, dan merupakan dalang festival besutan Persatuan Pedalangan Pepadi (Pepadi). Sekitar satu jam usai, giliran Farhan Maulana, dalang bocah berusia 10 tahun mempergelarkan pertunjukannya.

Pepadi selaku inisiator acara WWPC 2013 memang berkomitmen untuk terus membuka ruang bagi dunia wayang di tengah-tengah masyarakat. WWPC 2013 ini merupakan salah satu cara menempatkan wayang di dunia, sekaligus memberikan pagelaran bagi masyarakat yang terus haus dengan pertunjukan bersarat petuah ini. Untuk pendekatan profetik pedalangnya, Pepadi akan menempatkan tiga susunan pertunjukan di Monas selama WWPC 2013 berlangsung; berturut-turut dalang festival, dalang bocah (keduanya besutan Pepadi) yang kemudian ditutup dalang utama dengan pertunjukan semalam suntuk. “Set up-nya memang begitu. Selain terus memberikan panggung untuk para dalang, pertunjukan wayang semalam suntuk selama satu minggu akan memberikan hiburan bagi warga Jakarta yang rindu dengan pagelaran wayang,” tutur Bambang Asmoro dari Pepadi Pusat. (pejede | [email protected])

“Parade Pentas Wayang”Ki Sihono Pandoyo, Ki Farhan Maulana, Ki Enthus Susmono

IndonesiaMonumen Nasional

media event #05

more information

schedule

follow us

http://www.wayangcarnival.com/jadwal-event

@wayangcarnival

http://www.wayangcarnival.com

16media event #05

present by www.kotakpandora.com